Anda di halaman 1dari 37

JURNAL READING

Recent developments in imaging of epilepsy

Pembimbing : dr. Ra Neilan Amroisa, Sp.S, M.Kes

KOASS:

M U H A M M A D FA K I H A B D U R R A H M A N
1818012114

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT SARAF


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG
RSUD DR H. ABDUL MOELOEK BANDAR LAMPUNG
2020
ANALISIS PICO

Perkembangan terbaru
Imaging Non-invasive pada
epilepsi Tidak ada Comparison

PROBLEM INTERVENTION COMPARISON OUTCOME

Tidak ada intervensi Kombinasi berbagai teknik


MRI dengan FUS membuka
jalan baru untuk pengobatan
epilepsi.
Purpose of Review

Pencitraan merupakan salah satu pilar utama dalam pemeriksaan diagnostik setelah kejang
pertama serta untuk pemeriksaan pra operasi pada epilepsi. Peran pencitraan dalam situasi
emergensi, terutama untuk mendukung diagnosis yang memadai, serta perannya dalam
perencanaan terapi dengan noninvasive image-guide. Di sini, kami memberikan overview
tentang temuan pencitraan peri-iktal untuk mendukung diagnosis banding dalam situasi
emergensi dan mendeskripsikan upaya terbaru terhadap terapi invasif minimal dalam
pengobatan epilepsi dan komorbiditasnya didasarkan pada kombinasi teknik pencitraan dengan
ultrasound.
Recent findings

Perubahan perfusi peri-iktal dapat membedakan mimik stroke iktal dari stroke iskemik
akut jika peningkatan perfusi pada area fokal digambarkan dengan computed
tomography atau MRI. Pola perfusi postictal pada pasien dengan gejala neurologis
yang menetap sering kali normal dan tidak mencapai sensitivitas diagnostik yang cukup
untuk membedakan antara stroke dan mimiknya. Teknik resonansi magnetik noninvasif
sebagai label arterial spin dapat memberikan sensitivitas yang lebih tinggi, terutama
dalam kombinasi dengan diffusion-weighted MRI dan Susceptibility-weigted MRI.
Pencitraan yang dipandu focused ultrasound (FUS) memiliki potensi untuk mengalami
ablasi jaringan epileptogenik dan memungkinkan penekanan aktivitas epileptik.
Pencitraan blood-brain-barrier dengan FUS menawarkan opsi baru untuk pemberian
obat lokal.
Summary

MRI harus dipertimbangkan sebagai metode pilihan


dalam diagnosis banding dari temuan pencitraan
peri-iktal dan diagnosis banding mereka. Kombinasi
berbagai teknik MRI dengan FUS membuka jalan
baru untuk pengobatan epilepsi.
Introduction

Dalam ulasan terbaru Sidhu et al. , mereka memberikan tinjauan luas


dari kemajuan terbaru dalam struktur dan metode pencitraan
fungsional dan postprocess-metode untuk meningkatkan identifikasi
pra-bedah dari zona onset kejang pada pasien dengan epilepsi.
Jurnal ini memberikan ulasan pelengkap metode penggambaran
advance, yang fokus pada :
(1) Pencitraan peri-ictal
(2) Perkembangan baru untuk terapi berbasis pencitraan/imaging
Peri-ictal Imaging

Peningkatan ketersediaan penggunaan metode advance neuroimaging pada


emergensi unit telah mensupport pengetahuan mengenai abnormalitas peri-ictal yang
berhubungan dengan proses transient biologi yang berhubungan dengan kejang
epilepsy.
Gejala klinis mungkin menyerupai stroke iskemik akut, kebanyakan pada pasien
dewasa menimbulkan gejala stroke mimic dengan kejang karena nonconvulsive
status epilepticus (NCSE)
Pada populasi anak-anak kejang yang timbul sebagai stroke mimic terutama
berhubungan dengan penyakit neurological akut.
Sroke mimic dapat ditemukan pada 2-30% pasien di unit stroke, dimana gejala peri-
ictal dapat terjadi pada 20% dari semua stroke mimic.
Transient peri-ictal abnormalities (TPA) dapat digambarkan dengan
Computed Tomography (CT) dengan menggunakan kontras perfusi
teriodinasi atau dengan MRI menggunakan diffusion-weighted imaging
(DWI), susceptibility-weighted imaging (SWI), arterial spin labeling (ASL)
atau gadolinium-enhanced perfusion.
TPA dengan demikian dapat mencakup focal DWI restriksi, perubahan terkait
perfusi pada susceptibility-weighted imaging (SWI), atau abnormalitas
perfusi regional.
Insidensi dan pola imaging TPA berdasarkan time-dependent dan mungkin
bervariasi antar populasi yang heterogen
Sequele imaging mungkin sebagian kembali jika Interval antara ictus dan
pemindaian akuisisi delay. Fluktuasi dinamis dari parameter pencitraan
dapat terjadi seiring waktu, mulai dari awal hiperperfusi ,edema predominant
vasogenik ekstraseluler hingga edema sitotoksik dan renal loss dan gliosis
yang terkait ictal.
Computed Tomography
Keseluruhan sensitivitas perfusi CT (PCT) untuk mengidentifikasi
anomali perfusi pada pasien dengan deficit neurologi persistent adalah
moderate tergantung pada waktu antara onset ictus dan scanning.
Van Cau wenberge et al. : secara retrospektif 133 pasien dengan
defisit neurologis fokal post iktal atau kejang yang sedang berlangsung
dalam 3,25 jam masuk dengan volume PCT.
Hiperperfusi persisten terjadi pada 59% dari pasien dengan kejang
yang sedang berlangsung selama scanning dan 38% dari mereka yang
dirawat dengan kejang.
Sensitifitas rendah karena kebanyakan pasien postictal memiliki
perfusi yang normal atau hipoperfusi cortical-subcortical.
Strambo et al. meneliti pasien dengan deficit neurologi yang persisten
lebih dari 1 jam dan diagnosis akhir berupa kejang atau status
epilepticus yang menerima PCT untuk dugaan Transient Iskemik
Attack (TIA) atau stroke iskemik akut dalam 24 jam. Mereka
mendeteksi hiperperfusi fokal pada 30% dan hipoperfusi fokal pada 8%
pasien mereka. Ada hubungan yang signifikan antara status klinis pada
saat PCT dan temuan pencitraan, dengan hipoperfusi terdeteksi pada
pasien dengan defisit neurologis fokal dan hiperperfusi yang timbul
saat sedang berlangsung aktivitas kejang klinis.
Austein et al. melaporkan hiperperfusi 59% dan hipoperfusi 40% pada
pasien dengan gejala seperti stroke yang diperiksa dengan PCT dan
dengan defisit neurologis persisten, terutama (75%) dalam waktu 3 jam
dari gejala serangan.

TPA dapat dibedakan dari pola stroke iskemik, jika CT angiografi di


include ke dalam protokol dan penyebab lain dari defisit perfusi
simptomatik (mis. karena serangan migraine, sindrom ensefalopati
reversibel, gangguan metabolisme atau inflamasi) dapat di exclude.
MRI
Magnetic resonance (MR) berbasis advance neuroimaging pada periode perriictal
terutama digunakan dalam diferensiasi cepat antara kondisi yang berhubungan
dengan peningkatan kebutuhan metabolic dan berasosiasi dengan hiperperfusi
korteks atau kondisi dimana terjadi penurunan regulasi aktifitas neuronal karena
kelelahan metabolic atau dikompensasi oleh aktivitas interneuron nhibitor.
Transient peri-ictal MRI abnormalities (TPMA) termasuk berbagai lesi otak
reversible yang mencakup kelainan sinyal pada sekuens T2w dan FLAIR
konvensional, vasogenik dan edema sitotoksik pada DWI, diamagnetik dan
perubahan paramagnetic susceptibility dan, mirip dengan PCT, Kelainan perfusi.
Systematic review terbaru 96 artikel dengan 575 deskripsi kasus dengan ictal induced
MRI changes mengidentifikasi mesial struktur temporal dan neokorteks sebagai
lokasi kortikal yang paling rentan dan thalamus serta pulvinar sebagai lokasi materi
abu-abu subkortikal yang paling sering. Frekuensi kelainan MRI bervariasi antara
0,007% setelah single seizure atau seizure cluster dan 29,4% setelah status
epilepticus.
Temuan MRI meliputi difusi terbatas/restricted diffusion, Pengurangan
nilai koefisien difusi, dan area hiperintense pada gambar FLAIR atau
T2w
Studi perfusi yang ditingkatkan kontrasnya menyerupai pola PCT,
dengan hiperperfusi terjadi terutama selama aktivitas kejang yang
sedang berlangsung atau segera post ictal atau hypoperfusi pada fase
post ictal. Asimetri perfusi telah dilaporkan dalam 22% pasien dengan
migrain berhubungan dengan aura, tahan hingga 24 jam setelah onset
gejala.
Pada contrast TPMA, DWI restriksi pada pasien dengan migraine adalah
pengecualian dan cortical oligemia diamati pada korteks parieto-oksipital,
yang mencerminkan sebagian besar gejala bahasa dan sensorik pada pasien
dengan kelainan perfusi . Mitokondria miopati, ensefalopati, asidosis laktat,
dan episode seperti stroke dapat muncul dengan kombinasi atipikal
hipoperfusi fokal dan hiperperfusi dengan edema sitotoksik dan vasogenik
dan secara klinis memanifestasikan sakit kepala dan / atau kejang dan harus
dianggap sebagai stroke-mimic, migrain-mimic dan / atau epilepsi-mimik.
Kelainan TPMA juga dapat digambarkan tanpa injeksi gadolinium.
Psseudo-narrowing vena cortical telah ditunjukkan berasosiasi dengan
peningkatan perfusi fokal pada pasien dengan NCSE, mengindikasikan
hubungan antara level deoxyhemoglobin yang rendah pada vena
cortical dan peningkatan perfusi fokal serebral.
Dibandingkan contrast-enhanced PCT dan MRI, ASL (Arterial Spin
Labelling) memiliki keunggulan saat perubahan secara perlahan fungsi
otak yang bervariasi diselidiki.
ASL mengungguli DWI sebagai pengganti marker TPMA; Namun, dalam
temuan studi perfusi TPMA merupakan temuan yang tidak konsisten
dalam ASL
Beberapa studi retrospektif melaporkan prolong hiperperfusi melebihi
periode defisit neurologis postictal tanpa berlangsungnya aktivitas
kejang di EEG dalam beberapa hari. Temuan ini mungkin menjelaskan
sebagian bahwa lesi epileptogenic yang mungkin mempengaruhi
heperperfusi itu sendiri, tekanan jaringan local, level CO2, atau
aktivitas epilepsy yang berlangsung lama tidak terdeteksi oleh Surface
EEG.
Pasien dengan epilepsi umum idiopatik, yang diselidiki dengan
multidelay, Multiparametrik perfusi ASL MRI, menunjukkan
hipoperfusi jika dibandingkan dengan kontrol sehat atau sukarelawan
yang sehat.
Studi ASL terbaru mengungkapkan konsistensi downregulation CBF,
terlokalisasi pada area otak yang terlibat dalam kejang dan propagasi pada
periode awal postictal (rata-rata 65 menit). Hal ini ditunjukkan pada pasien
dengan epilepsi yang resistan terhadap obat saat dibandingkan dengan
periode interiktal dan bebas kejang.

Gaxiola et al. melaporkan penurunan perfusi postictal 71,4% dan sebagian


untuk melengkapi overlap dengan zona awitan kejang yang diperkirakan
80% dari kasus dengan hipoperfusi terbuka. Hipoperfusi postictal juga
berkorelasi positif dengan durasi kejang, sementara hipoperfusi interiktal
dalam periode bebas kejang jarang ditemukan
TPMA SETELAH KEJANG PERTAMA
Beberapa studi menunjukkan bahwa keadaan vascular, setalah terjadi
kerusakan otak post infeksi dan post traumatic meningkatkan resiko
kejang lanjutan sebesar lebih dari 70% jika tidak ada terapi yang
spesifik.
MRI telah menjadi metode pilihan untuk mendeteksi structural lesi
epileptogenic pada pasien dengan predisposisi terjadinya epilepsy
setalah kejang pertama.
Hubers et al. mengidentifikasi DWI restriksi pada 19% dari pasien
dengan SE / seri kejang dan pada 3% pasien setelah single focal dan
2,5% setelah kejang umum tunggal yang menjalani MRI dalam waktu
24 jam setelah serangan kejang .
Kim et al. meneliti secara retrospektif 69 pasien yang datang dengan
kejang pertama atau status epilepticus dalam 24 jam setelah onset
kejang . Abnormal Hiperintense pada image DWI dan FLAIR dicatat
pada 16%, mempengaruhi neokorteks, struktur hippocampal dan
thalamus, mengkonfirmasikan area predileksi pada penelitian
sebelumnya pada pasien dengan status epilepticus atau setelah kejang
tunggal. Perfusi ASL mengungkapkan area focal hiperperfusi yang
sesuai dengan dugaan onset zona kejang pada bayi baru lahir dan pada
anak-anak yang disajikan dengan kejang pertama dan MRI normal.
Perubahan perfusi terdeteksi pada 58% anak-anak (fokus pada 36 dan
digeneralisasi dalam tujuh pasien) dengan area yang tumpang tindih
antara TPMA dan dugaan zona onset kejang pada 76%.
Sebuah pendekatan di luar pencitraan TPMA adalah untuk menyelidiki
perbedaan jaringan skala besar antara pasien dengan new onset epilepsi
dan kontrol yang sehat. Penurunan konektivitas fungsional antar region
dengan jaringan fronto-parietal dan area lain dari otak baru-baru ini telah
ditunjukkan pada pasien dengan epilepsi yang baru didiagnosis dan MRI
otak normal. Temuan ini membuka jendela baru yang potensial untuk
pencitraan, karena mereka memberikan bukti awal bahwa kelainan
fungsional otak tidak selalu merupakan konsekuensi dari efek sekunder
dari epilepsi kronis daripada pada awal epilepsi.
NEURONAL IMAGING SAAT INI

Meskipun Perfusi MRI dan DWI adalah metode indirect yang berfokus pada imaging
yang berkorelasi dengan pelepasan hypersynchronous dan postictal exhaustion,
upaya alternatif telah difokuskan pada fMRI metode yang dapat mendeteksi medan
magnet saraf secara langsung.
Metode MRI baru menggunakan spin-lock pulse telah menarik perhatian karena
potensinya untuk mendeteksi medan magnet kecil yang berosilasi.
Laporan pertama efek pada gangguan medan magnet dalam skala kecil
serangkaian pasien yang menjalani Pemeriksaan pra-bedah fase II
melaporkan kecocokan hemisferik pada tujuh dari delapan pasien.
Khususnya, efek dari spin-lock experiment tidak ada setelah operasi
epilepsy yang sukses (Engel Kelas I), tetapi tetap bisa terdeteksi dalam
kasus-kasus hasil yang kurang menguntungkan.
Studi klinis wajib untuk memvalidasi teknik eksperimental ini pada
pasien, misalnya setelah kejang pertama.
PERKEMBANGAN TERBARU IMAGING
BASED THERAPY
Dalam beberapa tahun terakhir, terobosan penelitian telah difokuskan
pada imaging bedasarkan teknik USG yang memungkinkan terapi
invasif rendah atau non-invasive baru untuk penyakit otak.

A. Ablasi jaringan dengan high-intensity focused ultrasound


(HIFUS).
B. Non invasive Neuromodulation of deep and superficial targets
C. Opening Blood-Brain-Barrier dengan focused Ultrasound
Ablasi jaringan dengan high-intensity focused
ultrasound (HIFUS)
Kondisi terkini untuk ablasi HIFUS adalah Transduser hemispherical
yang disetujui FDA dengan 1024 saluran, yang dipasang di tabel MRI.
Mereka beroperasi baik pada 650 kHz untuk ablasi thermal, atau pada
220 kHz untuk ablasi termal dan histotripsy (mis. kerusakan mekanis
karena osilasi gelembung gas yang melekat pada target jaringan).
pencitraan tensor difusi membantu untuk mendefinisikan lokalisasi
target neuroanatomical yang tepat untuk ablasi. Fungsional MRI dapat
digunakan untuk memantau efek ablasi. Pentingnya HIFUS untuk
penyakit epilepsy berkaitan dengan kemungkinan ablasi zona
epileptogenik atau mengganggu jaringan epilepsi dengan invasi
rendah. Uji klinis sedang menyelidiki ablasi FUS untuk lesi epilepsy
(termasuk displasia) dan untuk menghilangkan fokus kejang kortikal.
Percobaan lebih lanjut berkonsentrasi menyangkut pencegahan
generalisasi partial onset epilepsy berulang dengan menargetkan inti
talamus anterior
Non invasive Neuromodulation of deep and
superficial targets
Perkembangan teknis terbaru memungkinkan stimulasi neuron fokal yang
ditargetkan tepat melalui tengkorak dan ke area otak mana pun yang menggunakan
USG dan pencitraan.
FUS biasanya beroperasi pada frekuensi kurang dari 0,7MHz,tingkat energi kurang
dari 100 W / cm2 dalam mode pulse, dan memiliki resolusi lateral dan aksial sekitar
5 dan 20 mm. Resolusi spasial tertinggi yang dilaporkan adalah 90 mm.
Mekanisme pusat aksi pada efek langsung pada membran sel melalui saluran ion
mechanosensitive, perubahan potensi membran dan pembentukan pore.
Ini dapat menyebabkan peningkatan kadar serotonin, dopamin, dan berbagai faktor
neurotropik, juga proliferasi sel dan aktivasi glial. Beberapa penelitian menunjukkan
modulasi aktivitas otak manusia yang superficial dan deep dengan efek pada potensi
yang ditimbulkan, perilaku motorik dan kognisi.
Lohse-Busch et al. menggunakan teknik stimulasi pulse transkranial
dengan pendekatan stimulasi global non-navigasi. Aplikasi potensi
klinis mencakup semua penyakit yang sudah ada yang dipelajari oleh
teknik elektromagnetik, tetapi untuk pertama kalinya stimulasi area
otak dalam noninvasif mungkin dilakukan. Untuk epilepsi, penekanan
yang efisien aktivitas epilepsi telah ditunjukkan pada hewan melalui
stimulasi thalamus. Aplikasi terapeutik fokus pada penekanan kejang,
modulasi jaringan epilepsi, dan kognitif rehabilitasi
Opening Blood-Brain-Barrier dengan focused
Ultrasound
Teknik ini menggabungkan administrasi intravena microbubble dengan FUS energi
rendah.
Kebocoran BBB artificial memungkinkan focal administrasi dari obat (98%
komponen obat diblok oleh BBB) hal ini juga memungkinkan focal gene delivery
untuk ekspresi jangka panjang terapeutik protein via viral vector, liposome atau
nanobubble (200nm).
Selanjutnya, pembukaan BBB menghasilkan imunogenik respon (mis. aktivasi
mikroglia dan neuroglia) dan merangsang neurogenesis. Ini juga dapat memodulasi
aktivitas saraf lokal, termasuk peningkatan kognitif. Kelayakan ablasi jaringan
nonthermal dan pemutusan fokus komponen jaringan otak juga telah ditunjukkan
pada studi pada hewan.
Pentingnya alat pencitraan berkaitan dengan definisi target BBB,
kontrol dari brain temperature dengan resonansi magnetic termometri
dan kontrol pembukaan BBB melalui Gd- MRI DTPA. Konsekuensi
fungsional dapat dipantau melalui fungsional MRI.
Meski tidak ada studi yang spesifik tentang epilepsi belum diterbitkan,
mekanisme terapetik yang berlaku dapat mencakup pemberian obat-
obatan lokal antiepilepsi dosis tinggi, ablasi alternatif dari jaringan
epileptogenik, gangguan jaringan epilepsi alternatif, peningkatan
kognitif dan manfaat dari stimulasi neurogenesis.
Kesimpulan

Kejang yang menyebabkan TPA dapat digambarkan oleh teknik


pencitraan struktural dan fungsional.
TPA dapat menjadi peringatan bagi dokter untuk mempertimbangkan
kejang atau NCSE dalam diagnosis banding defisit neurologis fokal
dalam situasi darurat.
Kombinasi berbagai teknik MRI dengan FUS membuka jalan baru
untuk pengobatan epilepsi.
CRITICAL APPRAISAL
MULROW Yes No Unclear
1. Was the specific purpose of the review stated?

2. Were sources and methods of the citation search identified?

3. Were explicit guidelines provided that determined the material included


in, and excluded from, the review?
4. Was a methodologic validity assessment of material in the review
performed?
5. Was the information systematically integrated with explication of data
limitations and inconsistencies?
6. Was the information weighted or pooled?
7. Was a summary of pertinent findings provided?
8. Were specific directions for new research initiatives proposed?

Anda mungkin juga menyukai