Anda di halaman 1dari 11

MODUL PERKULIAHAN

Perpajakan II
Membahas dan mendiskusikan secara
mendalam materi perpajakan meliputi
Konsep Pajak Penghasilan dan Kredit
Pajak Penghasilan
Disusun Oleh
Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK
Tim Dosen

01
Ekonomi S1 Akuntansi MK Dr. Diana Sari, S.E., M.Si., Ak., QIA.,
01510002 CA
Citra Mariana, S.Pd., M.Ak..
Diah Andari, S.E., M.Acc., Ak.
Dr. Dyah Purnamasari., S.E., M.Si., Ak.,
CA
Hafied Noor Bagja, S.H., M.Kn.
Radhi Abdul H.R., SE., M.M., Ak.,CA.,
BKP., CSRA.
Yati Mulyati., S.E., M.Ak., Ak., CA
Yoga Tantular Rachman, S.E., M.Si.
Dosen Akuntansi Fakultas Ekonomi
dan Bisnis

Abstract Kompetensi
Pajak Penghasilan (PPh) adalah Mahasiswa memiliki kemampuan
pajak yang dikenakan kepada orang menjelaskan konsep pajak
pribadi atau badan atas penghasilan penghasilan dan kredit pajak
yang diperoleh pada periode tahun penghasilan
pajak. Umumnya dikatakan sebagai
Wajib Pajak jika orang pribadi atau
badan telah memenuhi syarat
subjektif (telah memenuhi syarat
sebagai subjek pajak) dan telah
memenuhi syarat objektif (telah
memperoleh penghasilan).
Review Konsep Pajak Penghasilan
Pajak Penghasilan (PPh)
Pajak penghasilan (PPh) adalah pajak yang dikenakan terhadap subjek pajak atas penghasilan
yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak. Dimaksud dengan penghasilan adalah setiap
tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal baik
dari Indonesia maupun dari luar Indonesia yang dapat digunakan untuk konsumsi atau untuk
menambah kekayaan dengan nama dan dalam bentuk apapun.

Subjek Pajak
Pajak Penghasilan dikenakan terhadap Subjek Pajak atas penghasilan yang diterima atau
diperolehnya dalam tahun pajak. Yang menjadi subjek pajak adalah:
A. Subjek Pajak Penghasilan
1) Orang Pribadi
a) Dalam Negeri (SPDN : Subjek Pajak Dalam Negeri)
Ketentuan :
− Bertempat tinggal di Indonesia
− Tinggal di Indonesia lebih dari 183 hari dalam waktu 1 tahun atau 12 bulan
− Dalam 1 tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk menetap
Kewajiban pajak subjektifnya dimulai dari orang tersebut dilahirkan, berada atau berniat
tinggal di Indonesia dan berakhir pada saat meninggal dunia atau meninggalkan
Indonesia.

b) Luar Negeri ( SPLN : Subjek Pajak Luar Negeri )


Ketentuan :
− Tidak bertempat tinggal di Indonesia
− Berada di Indonesia kurang dari 183 hari
− Menjalankan usaha melalui BUT di Indonesia
− Menerima penghasilan dari Indonesia tapi bukan dari BUT
Kewajiban pajak subjektifnya bagi yang mempunyai BUT kewajibannya dimulai saat
orang itu melakukan usaha melalui BUT dan berakhir pada saat tidak lagi melaksanakan
kegiatan BUT tersebut, dan bagi yang tidak mempunyai BUT kewajibannya dimulai saat
orang tersebut mendapat penghasilan dari Indonesia dan berakhir saat tidak lagi menerima
penghasilan dari Indonesia.
2) Warisan yang belum terbagi.

‘20 Seminar Perpajakan Biro Akademik dan Pembelajaran


2 Dr. Dyah Purnamasari, S.E., M.Si., Ak., CA http://www.widyatama.ac.id
Subjek pajak pengganti, bila wajib pajak meninggal dipertengahan tahun pajak, yang
menggantikan wajib pajak yang meninggal adalah warisannya.
Kewajiban pajak subyektif warisan yang belum terbagi dimulai pada saat timbulnya warisan
yang belum terbagi tersebut dan berakhir pada saat warisan tersebut selesai dibagi.
3) Badan
Badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia, kecuali unit tertentu dari badan
pemerintah yang memenuhi kriteria:
a) Pembentukannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan
b) Pembiayaannya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah
c) Penerimaannya dimasukkan dalam anggaran Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah
d) Pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional negara
Kewajiban pajak subyektif badan dimulai pada saat badan tersebut didirikan atau bertempat
kedudukan di Indonesia dan berakhir pada saat dibubarkan atau tidak lagi bertempat
kedudukan di Indonesia.
4) BUT (Bentuk Usaha Tetap)
Adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal
di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka
waktu 12 bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia
untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia, yang dapat berupa:
− tempat kedudukan manajemen
− cabang perusahaan
− kantor perwakilan
− gedung kantor
− pabrik
− bengkel
− gudang

‘20 Seminar Perpajakan Biro Akademik dan Pembelajaran


3 Dr. Dyah Purnamasari, S.E., M.Si., Ak., CA http://www.widyatama.ac.id
Untuk lebih memperjelas pengertian, kapan mulai dan berahirnya sebagai subjek pajak dalam
negeri maupun subjek pajak luar negeri, berikut ini diberikan table mulai dan berakhirnya kewajiban
pajak subjektif;
Mulai Berakhir
Subjek Pajak Dalam Negeri Orang Subjek Pajak Dalam Negeri Orang
Pribadi: Pribadi:
• Saat dilahirkan • Saat meninggal
• Saat berada di Indonesia atau berniat • Saat meninggalkan Indonesia untuk
bertempat tinggal di Indonesia selama-lamanya.
Subjek Pajak Dalam Negeri Badan: Subjek Pajak Dalam Negeri Badan:
• Saat didirikan atau bertempat • Saat dibubarkan atau tidak lagi
kedudukan di Indonesia bertempat kedudukan di Indonesia
Subjek Pajak Luar Negeri Melalui BUT: Subjek Pajak Luar Negeri Melalui BUT:
• Saat menjalankan usaha atau melakukan • Saat tidak lagi menjalankan usaha atau
kegiatan melalui BUT di Indonesia melakukan kegiatan melalui BUT di
Indonesia
Subjek Pajak Luar Negeri Tidak Melalui Subjek Pajak Luar Negeri Tidak Melalui
BUT: BUT:
• Saat menerima atau memperoleh • Saat tidak lagi menerima atau
penghasilan dari Indonesia memperoleh penghasilan dari Indonesia
Warisan Belum Terbagi: Warisan Belum Terbagi:
• Saat timbulnya warisan yang belum • Saat warisan telah selesai dibagikan
terbagi

B. Tidak Termasuk Subjek Pajak Penghasilan


1) Kantor perwakilan negara asing;
2) Pejabat-pejabat perwakilan diplomatik, dan konsultan, dan konsulat atau pejabat-pejabat lain
dari negara asing, dan bertempat tinggal bersama-sama mereka, dengan syarat :
• Bukan warga negara Indonesia dan di Indonesia tidak menerima atau memperoleh
penghasilan lain di luar jabatan atau pekerjaannya tersebut.
• Negara yang bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik;
3) Organisasi-organisasi internasional yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan,
dengan syarat:
• Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut;

‘20 Seminar Perpajakan Biro Akademik dan Pembelajaran


4 Dr. Dyah Purnamasari, S.E., M.Si., Ak., CA http://www.widyatama.ac.id
• Tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari
Indonesia selain pemberian pinjaman kepada pemerintah yang dananya berasal dari iuran
para anggota;
4) Pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan dengan Keputusan
Menteri Keuangandengan syarat:
• Bukan warga negara Indonesia.
• Tidak menjalankan usaha atau kegiatan atau pekerjaan lain untuk memperoleh
penghasilan dari Indonesia.

Objek Pajak
Objek pajak adalah penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima
atau diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun luar Indonesia, yang dapat
dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan, dengan
nama dan dalam bentuk apa pun.
A. Objek Pajak Final
Sesuai dengan pengertian tentang penghasilan yang luas, yang dianut oleh Undang-
Undang Pajak Penghasilan Indonesia, penghasilan di bawah ini dapat dikenai pajak bersifat final:
1) Penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan surat utang
negara, dan bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi orang
pribadi sebesar 20% (tariff tunggal);
2) Penghasilan berupa hadiah undian, tarif tunggal 25%;
3) Penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya, transaksi derivatif yang
diperdagangkan di bursa, dan transaksi penjualan saham atau pengalihan penyertaan modal
pada perusahaan pasangannya yang diterima oleh perusahaan modal ventura;
4) Penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/ atau bangunan, usaha jasa
konstruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah atau bangunan; dan
5) Penghasilan tertentu lainnya yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.
6) Dividen yang diterima pribadi
Dengan mempertimbangkan kemudahan dalam pelaksanaan pengenaan serta agar tidak
menambah beban administrasi baik bagi wajib pajak maupun Direktorat Jenderal Pajak, maka
pengenaan pajak penghasilan dalam ketentuan ini dapat bersifat final.Atas penghasilan yang
diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan dari transaksi penjualan saham di bursa efek
dipungut pajak penghasilan yang bersifat final.Besarnya pajak penghasilan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) adalah 0,1% dari jumlah bruto nilai transaski penjualan.”

‘20 Seminar Perpajakan Biro Akademik dan Pembelajaran


5 Dr. Dyah Purnamasari, S.E., M.Si., Ak., CA http://www.widyatama.ac.id
B. Bukan Objek Pajak
Penghasilan-penghasilan tertentu yang diterima atau diperoleh wajib pajak tidak
dikarenakan pajak penghasilan (yang tidak termasuk sebagai objek pajak) adalah :
1) Sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat
yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan para penerima zakat yang berhak;
2) Harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat,
dan oleh badan keagamaan atau badan pendidikan atau Menteri Keungan; sepanjang tidak ada
hubungan dengan usaha mikro atau makro;
3) Warisan;
4) Harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagai pengganti saham atau sebagai
pengganti penyerahan modal;
5) Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau
diperoleh dalam bentuk natura (benefit in kind) dan atau kenikmatan dari wajib pajak atau
pemerintah;
6) Pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan asuransi
kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa;
7) Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai wajib pajak
dalam negeri, koperasi, BUMN, atau BUMD, dari penyerahan modal pada badan usaha yang
didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia yang memenuhi syarat;
8) Iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh
Menteri Keungan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai;
9) Penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun;
10) Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang modalnya
tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma dan kongsi termasuk
pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif;
11) Bunga obligasi yang diterima atau diperoleh perusahaan reksadana selama 5 tahun pertama
sejak pendirian perusahaan atau pemberian ijin usaha (dihapus dalam Undang Undang Pajak
Penghasilan yang mulai berlaku tanggal 1 Januari 2009);
12) Penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa bagian laba dari
badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia,
dengan syarat badan pasangan usaha tersebut:
13) Sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia.
14) Beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan
atau berdasarkan Peraturan Menteri Keungan
15) Sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang bergerak dalam
bidang pendidikan dan atau bidang penelitiann dan pengembangan, yang telah terdaftar pada
instansi yang membidanginya, yang ditanamkan kembali dalam bentuk sarana dan prasarana

‘20 Seminar Perpajakan Biro Akademik dan Pembelajaran


6 Dr. Dyah Purnamasari, S.E., M.Si., Ak., CA http://www.widyatama.ac.id
kegiatan pendidikan dan/ atau penelitian dan pengembangan , dalam jangka waktu paling
lama 4 tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut, yang ketentuannya diatur lebih lanjut
dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;
16) Bantuan atau santunan yang dibayarkan oleh BPJS tertentu.

Tarif Pajak
Tarif PPh dibedakan atas:
1. Tarif Pasal 17 untuk WP Dalam Negeri (orang pribadi/badan/warisan yang belum dibagi) dan
WP BUT sebagaimana diatur di Pasal 17 UU PPh. Disebut tarif Pasal 17 karena ketentuannya
diatur di Pasal 17 UU PPh. Tarif Pasal 17 digunakan untuk menghitung PPh tahunan dan PPh
bulanan Pasal 21.
2. Tarif Fiksi/Khusus yaitu tarif yang besarnya ditentukan berdasarkan kira-kira saja oleh UU PPh,
seperti tarif PPh Pasal 23 sebesar 15% atau oleh pejabat yang diberi wewenang oleh UU PPh (bisa
Presiden, Menteri Keuangan, Dirjen Pajak), seperti tariif PPh final dan tarif PPh Pasal 22. Tarif
Fiksi/Khusus digunakan untuk pemajakan bulanan, PPh Final, Uang Muka PPh seperti PPh
bulanan Pasal 21, PPh Pasal 22, PPh Pasal 23.
3. Tarif Pasal 26 untuk WP luar negeri selain BUT sebagaimana diatur di Pasal 26 UU PPh.
Dinamai tarif Pasal 26 karena ketentuannya diatur di Pasal 26 tarif PPh. Tarif Pasal 26 digunakan
untuk pemajakan/perhitungan pasal 26.

Besarnya Tarif Pajak Penghasilan


Tarif PPh 21 dijelaskan pada Pasal 17 ayat (1) huruf a Peraturan Direktur Jenderal Pajak
Nomor PER-32/PJ/2015. Tarif PPh 21 berikut ini berlaku pada Wajib Pajak yang memiliki Nomor
Pokok Wajib Pajak (NPWP):
Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak
Penghasilan tahunan hingga Rp50.000.000 5%
Penghasilan tahunan di atas Rp50.000.000 – Rp250.000.000 15%
Penghasilan tahunan di atas Rp250.000.000 – Rp500.000.000 25%
Penghasilan tahunan di atas Rp500.000.000 30%

Sementara, bagi penerima penghasilan (wajib pajak) yang tidak punya NPWP, tarif yang
dikenakan lebih tinggi 20% dari tarif yang diterapkan terhadap wajib pajak yang memiliki NPWP.
Berikut ini rincian tarifnya:
• Jumlah PPh Pasal 21 yang harus dipotong adalah sebesar 120% dari jumlah PPh Pasal 21
yang seharusnya dipotong dalam hal yang bersangkutan memiliki NPWP.
• Ketentuan di atas diterapkan untuk pemotongan PPh Pasal 21 yang bersifat tidak final.

‘20 Seminar Perpajakan Biro Akademik dan Pembelajaran


7 Dr. Dyah Purnamasari, S.E., M.Si., Ak., CA http://www.widyatama.ac.id
• Dalam hal pegawai tetap atau penerima pensiun berkala sebagai penerima penghasilan yang
telah dipotong PPh Pasal 21 dengan tarif yang lebih tinggi mendaftarkan diri untuk
memperoleh NPWP dalam tahun kalender yang bersangkutan paling lama sebelum
pemotongan PPh Pasal 21 untuk Masa Pajak Desember, selisih pengenaan tarif sebesar
20% lebih tinggi tersebut diperhitungkan untuk bulan-bulan selanjutnya setelah memiliki
NPWP.

Dasar Pengenaan Pajak


Yang menjadi dasar pengenaan pajak penghasilan adalah Penghasilan Kena Pajak. Adapun
sistematika dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak dapat dilihat;
1 Jumlah seluruh penghasilan
2 (-) Penghasilan yang tidak objek pajak penghasilan
3 (=) Penghasilan bruto
4 (-) Biaya fiskal dapat dikurangkan
(+/-) (koreksi biaya fiskal tidak dapat dikurangkan)
5 (=) Penghasilan neto
6 (-) Kompensasi kerugian (bila ada)
7 (-) PTKP (WP perseorangan)
8 (=) PKP
9 (x) Tarif
10 (=) Pajak Penghasilan Terutang
11 (-) Kredit Pajak
12 (=) Pajak Penghasilan (Lebih bayar/ kurang bayar/ nihil

Kredit Pajak Penghasilan


Pengertian Kredit Pajak Penghasilan
Kredit Pajak Penghasilan adalah pajak yang sudah dibayar sendiri oleh Pembayar Pajak
ditambah dengan pokok Pajak Terutang dalam Surat Tagihan Pajak karena Pajak Penghasilan dalam
tahun berjalan tidak atau kurang dibayar, ditambah dengan pajak yang dipotong atau dipungut,
ditambah dengan pajak atas penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri.
PPh yang dilunasi tahun berjalan baik yang dibayar sendiri maupun dipotong/dipungut pihak
lain merupakan angsuran pajak yang dapat dikreditkan terhadap PPh yang terutang untuk tahun pajak
yang bersangkutan, kecuali PPh yang dilunasi tersebut bersifat final. Rincian Kredit Pajak adalah:
1. Angsuran PPh 25 (dibayar sendiri)
2. PPh yang dipotong/dipungut pihak lain

‘20 Seminar Perpajakan Biro Akademik dan Pembelajaran


8 Dr. Dyah Purnamasari, S.E., M.Si., Ak., CA http://www.widyatama.ac.id
• PPh Pasal 21
• PPh Pasal 22
• PPh Pasal 23
• PPh Pasal 24
• PPh Pasal 26

Penghasilan yang dikenakan pajak bersifat final merupakan penghasilan-penghasilan tertentu


yang dikenai PPh dengan tarif tertentu (final) baik melalui pemotongan oleh pihak lain atau dengan
menyetor sendiri. Penghasilan-penghasilan tersebut perlu diberikan perlakuan tersendiri dalam
pengenaan pajaknya dengan pertimbangan antara lain perlu adanya dorongan dalam rangka
perkembangan investasi dan tabungan masyarakat, kesederhanaan dalam pemungutan pajak,
berkurangnya beban administrasi baik bagi Wajib Pajak maupun Direktorat Jenderal Pajak,
pemerataan dalam pengenaan pajaknya, dan memperhatikan perkembangan ekonomi dan moneter.
Untuk menghitung penghasilan neto fiskal yang dikenai PPh berdasarkan ketentuan umum,
penghasilan dari sumber di Indonesia yang dikenai PPh final harus dikeluarkan kembali sehingga
dengan pengurangan penghasilan tersebut pada jumlah penghasilan neto fiskalnya akan menjadi
nihil/netral. Wajib Pajak wajib memperlihatkan serta membuat daftar rincian bukti-bukti
pemotongan/pembayaran pajaknya apabila diminta untuk keperluan pemeriksaan kewajiban pajak.
Penghasilan Wajib Pajak Badan yang dikenai pajak bersifat final antara lain sebagai berikut:
1. Bunga deposito/tabungan dan diskonto Sertifikat Bank Indonesia/Surat Berharga Negara;
2. Bunga/diskonto obligasi;
3. Penghasilan penjualan saham yang diperdagangkan di bursa efek;
4. Penghasilan penjualan saham milik perusahaan modal ventura;
5. Penghasilan Usaha Penyalur/Dealer/Agen Produk BBM;
6. Penghasilan Pengalihan Hak atas Tanah/Bangunan;
7. Penghasilan Persewaan atas Tanah/Bangunan;
8. Imbalan Jasa Konstruksi;
9. Perwakilan Dagang Asing;
10. Pelayaran/Penerbangan Asing;
11. Pelayaran Dalam Negeri;
12. Penilaian Kembali Aktiva Tetap;
13. Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran
Bruto Tertentu

‘20 Seminar Perpajakan Biro Akademik dan Pembelajaran


9 Dr. Dyah Purnamasari, S.E., M.Si., Ak., CA http://www.widyatama.ac.id
Dasar Hukum Kredit Pajak Penghasilan
Pajak Penghasilan (PPh) di Indonesia diatur pertama kali dengan UU Nomor 7 Tahun 1983
dengan penjelasan pada Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50. Selanjutnya
berturut-turut peraturan ini diamandemen oleh :
• Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991
• Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994, dan
• Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000
• Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008

Mulai Juli 2003 sampai Desember 2004, pemerintah menerapkan system pajak yang
ditanggung pemerintah yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2003 dan
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 486/KMK.03/2003.

Perubahan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) telah disesuaikan juga beberapa kali dalam;
• Peraturan Menteri Keuangan Nomor 564/KMK.03/2004, berlaku untuk tahun pajak 2005
(sekaligus meniadakan pajak yang ditanggung pemerintah)
• Peraturan Menteri Keuangan Nomor 137/KMK.03/2005, berlaku untuk tahun pajak 2006.

Mekanisme Perhitungan Umum PPh


Mekanisme Perhitungan PPh Pasal 21
Suatu Secara umum rumus menghitung PPh 21 adalah:
Penghasilan Bersih per bulan xxx
Penghasilan bersih disetahunkan xxx (x12 bulan)

PTKP xxx (-)


Penghasilan Kena Pajak xxx
PPh Terutang setahun xxx (x tarif PPh 21)

PPh Terutang per bulan xxx (÷ 12 bulan)

Secara umum, langkah-langkah atau mekanisme dalam penghitungan umum PPh Badan
adalah sebagai berikut:
1. Menghitung Penghasilan Kena Pajak (PKP)
Yaitu dengan cara menghitung (menentukan) besarnya penghasilan neto fiskal dikurangi dengan
kompensasi kerugian fiskal

‘20 Seminar Perpajakan Biro Akademik dan Pembelajaran


10 Dr. Dyah Purnamasari, S.E., M.Si., Ak., CA http://www.widyatama.ac.id
2. Menghitung PPh Terutang
Penghitungan PPh Terutang dilakukan dengan cara mengalikan Penghasilan Kena Pajak (PKP)
dengan tarif pajak yang berlaku (sesuai dengan kriteria Wajib Pajak), dikurangi dengan
pengembalian/pengurangan kredit pajak luar negeri yang (PPh Pasal 24) yang telah
diperhitungkan tahun lalu

PPh Terutang = Penghasilan Kena Pajak X Tarif PPh Badan atau dapat dijelaskan sebagai berikut:
Peredaran Bruto Rp xxxxx
Biaya – biaya Rp xxxxx
-------------------
Penghasilan Neto Rp xxxxx
Kompensasi Kerugian Rp xxxxx
-------------------
Penghasilan Kena Pajak Rp xxxxx
Tarif Pajak xxx %
------------------X
PPh Terutang Rp xxxxx

Daftar Pustaka

Prof. Dr. Mardiasmo, MBA.,AK, Dkk. (2011). Perpajakan. Yogyakarta: Andi Yogyakarta.
Sari, Diana. (2016). Konsep Perpajakan. Bandung: PT. Rafika Aditama.
Wahyuningsih , Tiesnawati. (2015). Administrasi Perpajakan. Banten: Universitas Terbuka.
www.online.pajak.com. (2016). Tarif Pajak PPh 21. (Online), (https://www.online-pajak.com
/tarif-pajak-pph-21), diakses tanggal 07 Agustus 2020.

‘20 Seminar Perpajakan Biro Akademik dan Pembelajaran


11 Dr. Dyah Purnamasari, S.E., M.Si., Ak., CA http://www.widyatama.ac.id

Anda mungkin juga menyukai