i
I. SISTEM PENYALURAN AIR LIMBAH
I.1. Pendahuluan
Perkembangan pesat pembangunan ditujukan dalam rangka peningkatan taraf hidup dan
kesejahteraan masyarakat. Pembangunan diarahkan pada peningkatan kuantitas perumahan dan
diikuti fasilitas penunjang, seperti perkantoran, sekolah, serta fasilitas umum lainnya. Setiap
ekspansi proses pembangunan selalu menghasilkan dampak bagi lingkungan. Peningkatan
jumlah air limbah, air limbah rumah tangga (domestic sewage) dan air limbah industri (non-
domestic sewage), merupakan salah salah produk hasil yang dapat memberikan efek negatif bagi
stabilitas daya dukung lingkungan. Kurangnya perhatian terhadap pencemaran akibat air limbah
merupakan masalah yang sangat ironis, terutama di negara berkembang. Penggunaan anggaran
belanja total dari pemerintah maupun swasta untuk penanggulangan pencemaran jauh lebih kecil
dibandingkan untuk pembangunan sarana dan infrastruktur wilayah sehingga ketersediaan
langsung sumber air bersih yang sesuai dengan standar baku mutu semakin sulit ditemui.
Efek samping air limbah menyebabkan:
a. Peningkatan akumulasi penyakit sehingga berbahaya bagi kesehatan manusia
b. Kerugian pada sektor ekonomi karena air limbah menimbulkan kerusakan pada satu elemen
barang atau bangunan, serta kematian pada hewan dan tumbuhan.
c. Penurunan kualitas lingkungan seperti degradasi kualitas air, tanah, dan udara (seperti
timbulnya bau busuk) sehingga stabilitas lingkungan terganggu.
Industri maupun rumah tangga diperkenankan membuang air limbah ke lingkungan melalui
standar persyaratan yang berlaku. Pernyataan tersebut memberikan satu pernyataan bahwa
tidak semua industri dan rumah tangga mencemari lingkungan karena lingkungan merupakan
media akhir pembuangan air limbah. Pengolahan sesuai dengan karakteristik air limbah
mencegah dampak akumulasi polutan berbahaya di lingkungan. Pengolahan air limbah didukung
oleh strategi produksi bersih akan memberikan dampak perbaikan efisiensi dan performansi
lingkungan yang baik. Produksi bersih adalah usaha peningkatan produktivitas melalui
pemberian tingkat efisiensi yang lebih baik pada penggunaan bahan mentah, energi, dan air;
peningkatan performansi lingkungan melalui reduksi sumber pembangkit limbah dan emisi;
serta reduksi dampak produk terhadap lingkungan dari siklus produk ramah lingkungan dan
efektif dari segi biaya (Indrasti dan Fauzi, 2009).
1
Pengolahan air limbah selalu bersinergi dengan sistem penyaluran air limbah membentuk
elemen tidak terpisahkan di dalam sistem pengelolaan air limbah. Sistem penyaluran berfungsi
sebagai sarana untuk memompa dan mengangkut air limbah dari sumber penghasil menuju
pengolahan (Linsley et al., 1991). Sistem penyaluran air limbah sangat penting diperhatikan
karena merupakan elemen yang vital terhadap kelancaran pengolahan air limbah. Ruang lingkup
perencanaan sistem penyaluran adalah dekripsi lokasi perencanaan, kriteria perencanaan,
penentuan jalur perpipaan, penentuan debit air limbah, perencanaan dimensi saluran, dan
perencanaan perletakkan perlengkapan saluran.
2
I.2.2. Faktor Pertimbangan Perencanaan Saluran Air Limbah
Beberapa faktor perlu dipertimbangkan dalam perencanaan air limbah, antara lain:
a) Jangka waktu perencanaan; perencanaan harus memperhitungkan fasilitas pelayanan dan
proyeksi jumlah penduduk pada masa datang dalam waktu tertentu.
b) Jumlah penduduk terlayani; proyeksi jumlah penduduk harus diperkirakan dalam
perencanaan daerah pelayanan melalui penentuan faktor-faktor pengaruh perubahan jumlah
penduduk pada rentang waktu tertentu. Berbagai macam metode perhitungan proyeksi
jumlah penduduk, antara lain aritmatika, geometri, dan increamental increase (Tabel I.1).
c) Keadaan sosial ekonomi
d) Kuantitas air limbah; jumlah air limbah mempengaruhi jenis penyaluran dan pengolahan
untuk perencanaan sekarang dan masa depan.
e) Pilihan antara terpisah dan tercampur; air limbah seharusnya tidak diperkenankan untuk
dicampur dengan air hujan, tetapi dapat dicampur pada kondisi tertentu berdasarkan
beberapa faktor di lapangan sehingga membutuhkan konstruksi tersendiri.
f) Pembagian wilayah; satu sistem membutuhkan pembagian wilayah pelayanan untuk
mengalirkan air limbah menuju instalasi pengolahan.
g) Denah sistem pengumpulan; perencanaan penyaluran air limbah membutuhkan perhitungan
antara penggunaan pengaliran secara gravitasi atau pompa. Bila pengaliran secara gravitasi
dipilih, maka jarak dan kedalaman galian perlu diperhitungkan secara detil.
3
Gambar I.1 Denah Kota Banyuasih
4
Tabel I.2. Jenis pipa air limbah
Jenis pipa Deskripsi
a) Pipa persil menyalurkan air limbah dari instalasi plambing bangunan ke
pipa service.
b) Diameter pipa persil berkisar 4-6 inchi (100-150 mm).
Pipa persil c) Ukuran pipa persil harus sama atau lebih besar dari pipa plambing utama.
d) Kemiringan saluran minimum dianjurkan sebesar 2%
e) Teknik penyambungan pipa persil dengan pipa service menggunakan tee
dengan sudut 45ᵒ atau lebih.
a) Pipa service menyalurkan air limbah dari pipa persil ke pipa lateral.
Pipa service b) Diameter pipa service berkisar antara 6-8 inchi (150-200 mm).
c) Pipa service diharapkan mampu melayani 50 sambungan rumah.
a) Pipa lateral menyalurkan air limbah dari pipa service ke pipa induk.
b) Untuk sistem jaringan penyaluran air limbah skala kecil, pipa service dapat
berfungsi sebagai pipa lateral, sedangkan pipa lateral dapat berkembang
Pipa lateral menjadi pipa induk pada jaringan skala besar.
c) Ukuran pipa lateral tergantung dari jumlah pipa service (debit air limbah
dialirkan dari kondisi hidrolis yng diinginkan).
d) Diameter pipa lateral sekitar 12 inchi (300 mm)
a) Pipa induk merupakan pipa penyalur air limbah terakhir menuju instalasi
Pipa induk pengolahan air limbah atau tempat pembuangan akhir.
b) Ukuran pipa induk tergantung dari jumlah populasi di daerah pelayanan.
Sebagai pelengkap informasi, peta Kota Banyuasih (Gambar I.1) diberikan secara detil sehingga
dapat memberikan gambaran umum perencanaan. Peta dibuat dalam skala 1:11.500 (cm). Selain
perumahan, kota ini dilengkapi sarana pendukung yang cukup memadai bagi penduduknya,
seperti perkantoran, sekolah, rumah sakit, mesjid, dan terminal bis. Data sekunder sarana-sarana
tersebut tersaji di Tabel 3.3 pada Modul TPSA.
5
Tugas Praktikum-1 (Pertemuan ke-2) - Lanjutan
Setelah sistem penyediaan air bersih telah berhasil dibuat, permasalahan lingkungan lain di
Kota Banyuasih adalah buruknya sanitasi lingkungan, terutama pengelolaan air limbah. Dari data
di atas, instalasi pengolahan air limbah domestik (IPAL) skala perkotaan diharapkan segera
dibangun dengan tahap awal adalah perencanaan sistem penyaluran air limbah dari sumber
menuju rencanan lokasi IPAL. Data sekunder debit perencanaan air limbah diperoleh dari debit air
bersih pada setiap blok wilayah pelayanan. Perencanaan pipa air limbah terbagi menjadi empat
tahap perhitungan, yaitu penentuan debit, dimensi pipa, volume air limbah dan debit
penggelontoran, dan penanaman pipa.
6
pipa pada koefisien kekasaran Manning (n) sebesar 0,013 dan 0,015 dapat mencapai 0,4
m/detik (Tabel I.3).
b) Kedalaman aliran
− Kedalaman aliran minimum dalam saluran harus diperhitungkan karena air limbah
mengandung partikel padatan yang belum hancur.
− Kedalaman minimum berkisar antara 7,5-10 cm.
− Perencanaan kedalaman aliran minimum harus mampu membawa partikel padatan
tersebut mengikuti aliran pada kecepatan minimum.
− Kedalaman aliran maksimum sebesar 80% dari diameter saluran.
Tabel I.3. Kecepatan aliran minimum saat debit puncak berdasarkan daya pembilasan
Kecepatan self cleansing
Diameter
(m/detik)
(mm)
n = 0,0013 n = 0,015
200 0,47 0,41
250 0,49 0,42
300 0,50 0,44
375 0,52 0,45
450 0,54 0,47
(Sumber: Departemen Pekerjaan Umum)
d) Persamaan aliran
Pendekatan hidrolika pada saluran tertutup (closed conduit) dibutuhkan dalam menentukan
dimensi saluran. Persamaan-persamaan hidrolika tersebut disajikan pada Tabel I.4-I.7.
Perhitungan debit air limbah meliputi debit rata-rata (Qr), debit minimum (Qmin), debit
maksimum (Qm), debit infiltrasi, dan debit puncak (Qp). Persamaan untuk mencari jenis debit
tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut:
7
Tabel I.4. Persamaan hidrolika perpipaan air limbah
Nama Formula Keterangan
0,5
𝐶 = 1,107 (𝑅𝑒 )
Chezy Re = Bilangan Reynolds
𝑣 = 𝐶 (𝑅 𝑆)0,5
C = koefisien (tergantung jenis
157,6
Bazin 𝐶= formula)
1,81 + 𝐾/𝑅
R = jari-jari hidrolis (m)
0,00155 1
23 + (
𝑆
)+( )
𝑁 v = keepatan aliran (m/detik)
Ganguillet-Kutter 𝐶= S = kemiringan/slope
𝑁 23 + 0,00155
1 + 0,5 [ ]
𝑅 𝑆 K = koefisien Bazin
Hazen William 𝑄 = 0,2785 𝐶 𝐷2,63 𝑆 0,54 N = koefisien Ganguillet-Kutter
𝑅1/6 D = diameter pipa (m)
𝐶=
𝑛 n = koefisien kekasaran Manning
1 2/3 0,5 HL = kehilangan tekan/head loss
Manning 𝑣= 𝑅 𝑆
𝑛 (m)
1 2/3 0,5
𝑄= 𝑅 𝑆 𝐴 f = faktor friksi
𝑛
g = gaya gravitasi (m/detik2)
𝐿 𝑣2
Darcy Weisbach 𝐻𝐿 = 𝑓
𝐷 2𝑔
(Sumber: Giles et al., 1994)
8
a) Debit air limbah domestik
− Debit ini dihasilkan dari seluruh aktivitas peruntukkan lahan rumah hunian dan dibuang
ke saluran pengumpul.
− Penentuan debit air limbah domestik dihitung melalui persamaan:
Qab bervariasi sesuai dengan peruntukkan lahan. Kebutuhan penggunaan air bersih sesuai
dengan pemakaian air rata-rata dalam satu hari untuk permukiman berdasarkan rumah
sederhana, rumah mewah, dan apartemen ditampilkan pada Tabel I.8.
− Departemen Pekerjaan Umum juga telah mengeluarkan standar penggunaan air bersih
untuk sektor non-domestik dengan mengacu pada analisis terakhir fasilitas-fasilitas
sosial ekonomi pada daerah perencanaan. Tabel I.9−I.11 menjelaskan standar kebutuhan
air bersih non-domestik berdasarkan kategori kota tipe metro/I (>1.000.000 jiwa),
besar/II (500.000−1.000.000 jiwa), sedang/III (100.000−500.000 jiwa), kecil/IV
(20.000-100.000 jiwa), dan desa/V (<20.000 jiwa).
9
Tabel I.8. Standar pemakaian air bersih setiap hari berdasarkan jenis bangunan
Jangka waktu
Pemakaian air
pemakaian air
No. Jenis bangunan rata-rata sehari Keterangan
rata-rata sehari
(L)
(jam)
Perumahan Setiap penghuni
1. 250 8-10
mewah
2. Rumah biasa 160-250 8-10 Setiap penghuni
250 L (mewah)
3. Apartemen 200-230 8-10 180 L (menengah)
120 L (sederhana - satu orang)
4. Asrama 120 8 Sederhana - satu orang
Setiap tempat tidur pasien
>1000 (mewah)
Catatan: 8 L (pasien luar)
5. Rumah sakit 500-1000 (menengah) 8-10
120 L (staf/pegawai)
350-500 (umum)
160 L (keluarga pasien)
6. Sekolah dasar 40 5 100 L (guru)
7. SMP 50 6 100 L (guru)
SMA dan lebih
8. 80 6 100 L (guru/dosen)
tinggi
9. Rumah-toko 100-200 8 160 L (penghuni)
10. Gedung kantor 100 8 Setiap pegawai
Toserba (toko Pemakaian air hanya untuk kakus,
11. serba ada, 3 7 belum termasuk untuk bagian
departemen store) restoran.
60 (buruh pria) Per orang, setiap giliran (bila
12. Pabrik/industri 8
100 (buruh wanita) kerja lebih dari 8 jam sehari)
Setiap kedatangan atau
13. Stasiun/terminal 3 15
keberangkatan penumpang
14. Restoran 30 5 160 L (penghuni)
160 L (penghuni)
100 L (pelayan)
15. Restoran umum 15 7 70% dari jumlah tamu perlu 15
L/orang untuk kakus, cuci tangan,
dan sebagainya.
16. Gedung eksibisi 30 5 Bila penggunaan siang dan
malam, pemakaian air dihitung
per penonton.
17. Bioskop 10 3
Jam pemakaian air dalam tabel
untuk satu kali pertunjukkan.
30 L/tamu (pedagang besar)
18. Toko pengecer 40 6
150 L/staf atau 5 L/hari/m2 lantai
Untuk setiap tamu.
19. Hotel 250-300 10 120-150 L (staf)
200 L (penginapan)
Gedung Berdasarkan jumlah jemaah
20. 10 2
peribadatan setiap hari.
Untuk setiap pendatang yang
21. Perpustakaan 25 6
membaca di tempat.
22. Bar 30 6 Setiap tamu.
Perkumpulan
23. 30 Setiap tamu.
sosial
24. Kelab malam 120-350 Setiap tempat duduk.
Gedung
25. 150-200 Setiap tamu.
perkumpulan
26. Laboratorium 100-200 8 Setiap staf.
(Sumber: Morimura, 2000)
10
Tabel I.9. Kebutuhan air non-domestik untuk jenis kategori kota tipe I, II, III, dan IV
Sektor Nilai Satuan
Sekolah 10 L/siswa/hari
Rumah sakit 200 L/tempat tidur/hari
Puskesmas 2000 L/unit/hari
Mesjid 3000 L/unit/hari
Kantor 10 L/pegawai/hari
Pasar 12000 L/ha/hari
Hotel 150 L/tempat tidur/hari
Rumah makan 100 L/tempat duduk/hari
Komplek militer 60 L/jiwa/hari
Kawasan industri 0,2-0,8 L/detik/ha
Kawasan pariwisata 0,1-0,3 L/detik/ha
(Sumber: Ditjen Cipta Karya PU, 1996)
Tabel I.10. Kebutuhan air non-domestik untuk jenis kategori kota tipe V
Sektor Nilai Satuan
Sekolah 5 L/siswa/hari
Rumah sakit 200 L/tempat tidur/hari
Puskesmas 2000 L/unit/hari
Mesjid 3000 L/unit/hari
Mushalla 2000 L/unit/hari
Pasar 12000 L/ha/hari
Komersial/industri 10 L/ hari
(Sumber: Ditjen Cipta Karya PU, 1996)
c) Debit rata-rata
− Debit rata-rata air limbah (Qr) merupakan kumulatif debit rata-rata kontribusi segmen
pipa hulu.
− Debit rata-rata setiap segmen pipa (Qr) dapat terdiri atas debit satu atau beberapa sumber
air limbah melalui persamaan berikut:
11
a1,2,n = luas daerah 1, 2, 3, hingga n (ha)
Daerah pelayanan C
Qr1 . a1 Qr2 . a2
QrA QrC
d) Debit minimum
− Debit minimum air limbah (Qmin) terjadi saat kecepatan air limbah juga minimum. Bila
debit minimum tidak diketahui, maka kondisi kedalaman berenang (floating depth) dapat
tidak tercapai, terdapat endapan di dalam pipa, dan akan terjadi proses pembusukan
bahan organik di dalam air limbah.
− Debit minimum dihitung melalui persamaan berikut:
− Jumlah populasi ekuivalen adalah jumlah penduduk ekuivalen yang setara dengan debit
rata-rata dari sumber air limbah dan dilayani oleh satu segmen pipa per 1000 jiwa. Nilai
PE diketahui melalui persamaan berikut:
𝑄r𝑛 𝑎n
PE = (I − 5)
𝑄r
𝑄m = 5 ∙ PE 0.8 ∙ 𝑓m 𝑄r (I − 6)
Keterangan:
Qm = debit maksimum air limbah (L/detik)
fm = faktor harian maksimum = 1,25−2
12
f) Debit infiltrasi
− Debit infiltrasi (Qinf.) adalah penambahan debit air limbah akibat infiltrasi air tanah, air
permukaan, dan air hujan ke dalam saluran yang masuk melalui sambungan-sambungan
atau celah pipa.
− Besar debit infiltrasi merupakan akumulasi dari debit infiltrasi permukaan (surface) dan
infiltrasi saluran.
− Debit infiltrasi permukaan (QS) diketahui dari persamaan berikut:
𝑄S = 𝐶r ∙ PE ∙ 𝑄r (I − 7)
Keterangan:
QS = debit infiltrasi permukaan (L/adetik)
Cr = 0,1−0,3
𝐿
𝑄lr = ( )𝑞 (I − 8)
1000 inf.
Keterangan:
Qlr = debit infiltrasi saluran (L/detik)
L = panjang segmen pipa (m)
qinf = nilai infiltrasi saluran = 1−3 L/detik/1000 panjang pipa
g) Debit puncak
− Debit puncak merupakan debit pemakaian air bersih terbesar dalam satu jam selama satu
hari. Dengan deskripsi lain, debit puncak air limbah adalah kondisi ketika air limbah
dihasilkan pada kondisi maksimum dalam satu hari. Debit puncak diperlukan untuk
menentukan perencanaan dimensi saluran air limbah pada kondisi puncak.
− Debit puncak diketahui dari persamaan berikut:
𝑄p = 𝑄m + 𝑄inf. (I − 9)
Dengan demikian,
𝑄p = 𝑄m + 𝑄S + 𝑄lr (I − 10)
13
Tugas Praktikum-2 (Pertemuan ke-3)
Perencanaan Debit Air Limbah
1. Buat tabel sesuai dengan contoh Tabel I.14.
2. Isi kolom ke-1 untuk nomor node bagian hulu (upstream) dan hilir (downstream).
3. Isi kolom ke-2 dengan panjang segmen berdasarkan jarak antar node.
4. Isi kolom ke-3 untuk kode blok pelayanan pada setiap segmen.
5. Isi kolom ke-4 untuk luas blok pelayanan berdasarkan Tabel 1.1 di Modul TPSA.
6. Isi kolom ke-5 untuk jenis peruntukkan sesuai kode blok pelayanan, seperti permukiman,
sekolah, rumah sakit, mesjid, dan lain-lain.
7. Isi kolom ke-6 untuk debit air bersih setiap daerah pelayanan dari data perencanaan sistem
penyediaan air bersih pada modul TPSA untuk tahun perencanaan 2049.
8. Isi kolom ke-7 untuk debit air bersih pada setiap daerah pelayanan setelah ditambahkan nilai
kehilangan air. Nilai kehilangan air (KH) diperoleh dari Tabel 3.5 pada modul TPSA.
9. Isi kolom ke-8 untuk debit air bersih jam puncak. Faktor harian maksimum mengacu pada
Tabel 3.5 (Modul TPSA). Lihat prosedur l - m pada Tugas 3.3 (Modul TPSA).
10. Isi kolom ke-9 untuk debit air limbah domestik (Qd) berdasarkan Persamaan (I-1). Pilih nilai
80% dari debit air bersih (Qam).
11. Isi kolom ke-10 untuk penduduk ekuivalen berdasarkan Persamaan I-5.
12. Isi kolom ke-11 untuk nilai PE kumulatif dari PE setiap blok pelayanan. Nilai PE kumulatif
tergantung dari pola aliran perencanaan air limbah.
13. Isi kolom ke-12 untuk debit minimum berdasarkan Persamaan (I-4).
14. Isi kolom ke-13 untuk debit harian maksimum berdasarkan Persamaan (I-6).
15. Isi kolom ke-14 untuk debit infiltasi permukaan berdasarkan Persamaan (I-7).
16. Isi kolom ke-15 untuk debit infiltasi saluran berdasarkan Persamaan (I-8).
17. Isi kolom ke-16 untuk debit puncak berdasarkan Persamaan (I-10).
Bentuk saluran sebaiknya menggunakan bentuk penampang hidrolik terbaik dengan luas
penampang minimum, tetapi mampu mengalirkan debit maksimum (Sukarto, 1999). Beberapa
faktor penentu pemilihan jenis saluran adalah:
a) Luas penampang saluran
b) Kemiringan saluran
c) Kekasaran saluran
d) Kondisi aliran
e) Belokan atau rintangan lainnya.
f) Karakteristik efluen
14
d) Kekuatan struktur atau konstruksi.
e) Kemudahan dalam pemasangan dan pemeliharaan.
f) Kemudahan tersedia di pasaran dalam berbagai ukuran.
g) Harga terjangkau.
Pemilihan bahan pipa harus dipertimbangkan dengan cermat mengingat air limbah banyak
mengandung bahan yang mengganggu kekuatan pipa. Demikian pula selama pengangkutan dan
pemasangan, kemudahan serta kekuatan fisik diperlukan secara memadai sehingga faktor di atas
diperhatikan secara menyeluruh.
Bahan jenis pipa air limbah di pasaran antara lain besi baja (Cast Iron Pipe/CIP, Ductile Iron
Pipe/DIP, Fabricated Steel Pipe), asbes (Asbestos Cement Pipe/ACP), beton (concrate pipe), tanah
liat (clay pipe), dan plastik (Poly Vynil Cloride/PVC). Jenis profil saluran berbentuk bulat
lingkaran, elips, segi empat, dan semi sirkuler.
15
Tabel I.13. Kemiringan minimal pipa
Diameter Kemiringan minimal (m/m)
(mm) n = 0,013 n = 0,015
200 0,0033 0,0044
250 0,0025 0,0033
300 0,0019 0,0026
375 0,0014 0,0019
450 0,0011 0,0015
(Sumber: Ditjen Cipta Karya PU, 1996)
Selain dari Tabel I.13, formula praktis penentuan kemiringan pipa adalah:
2
𝑆min = atau 𝑆min = 0,01 𝑄0,667 (I − 11)
3𝐷
Keterangan:
Smin = kemiringan minimum pipa (m/m)
D = diameter pipa (mm)
Q = debit aliran air limbah (L/detik)
Kemiringan muka tanah lebih curam daripada kemiringan pipa minimal dapat digunakan
sebagai kemiringan rancangan selama kecepatan aliran di bawah kecepatan maksimum.
Penentuan kemiringan pipa ditentukan oleh beberapa faktor pertimbangan, yaitu:
a) Sifat pengaliran air limbah adalah aliran terbuka secara gravitasi. Dengan demikian,
kemiringan pipa sangat dipengaruhi oleh kecepatan aliran.
b) Kemiringan harus diusahakan sekecil mungkin, tetapi mampu memberikan kecepatan yang
diharapkan sehingga galian dapat dilakukan seminimal mungkin.
c) Kemiringan diperoleh dari perbedaan ketinggian antara dua tempat dibagi dengan jarak dua
tempat tersebut.
d) Kemiringan pipa dibutuhkan bila kemiringan dibuat berdasarkan kebutuhan kecepatan
minimum.
e) Kemiringan pipa terbesar pada batas yang diizinkan perlu diketahui agar kecepatan
maksimum tidak terlampaui sehingga tidak menimbulkan kerusakan pada saluran.
16
Tabel I.14. Penentuan debit air limbah
Jalur pipa
(nomor
Panjang Blok pelayanan Debit air
Debit air bersih
Debit air PE
Qinf.
node)
segmen bersih
(L/detik)
limbah
PE
kumulatif Qmin Qm (L/detik) Qp
-1- (jiwa) (L/detik) (L/detik) (L/detik)
(m) (L/detik) (L/detik) (jiwa)
Luas Jenis (+ kehilangan Debit jam -10- -12- -13- -16-
Dari Ke
-2- Kode
(ha) peruntukan
-6-
air) puncak (Qjp)
-9- -11- QS Qlr
-3- -14- -15-
-4- -5- -7- -8-
a
1 2 Kolom 3–6 a+b
b Persamaan (I-4), (I-6),
diperoleh dari
data sekunder c a+b+c (I-7), (I-8), dan (I-10)
2 3 modul TPSA d +d
𝑄r𝑛 𝑎n e a+…+d
3 6 𝑃𝐸 = f +e+f+
𝑄r
g g
h
5 6 h+i
i
a+…g+
6 7 j
h+i+j
17
Gambar I.3. Grafik design of main sewers (partial flow diagram)
(Sumber: Qasim, 1999)
18
Tugas Praktikum-2 (Pertemuan ke-3)
Penentuan dimensi pipa air limbah
1. Buat tabel sesuai dengan contoh pada Tabel I.15.
2. Isi kolom ke-1 dengan nomor node pada segmen pipa.
3. Isi kolom ke-2 dengan panjang segmen berdasarkan jarak antar node.
4. Isi kolom ke-3 untuk debit puncak dari hasil perhitungan pada kolom ke-16 di Tabel I.14.
5. Tentukan nilai rasio ketinggian air dan diameter pipa [proporsional depth (d/D)] sebesar 0,8
pada kolom ke-4.
6. Isi kolom ke-5 untuk nilai rasio Qp/Qfull pada grafik design of main sewers (Gambar I.3).
7. Tentukan nilai Qfull awal pada kolom ke-6 melalui persamaan berikut:
𝑄P
𝑄full awal =
𝑄P Τ𝑄full
8. Tentukan kecepatan aliran (v) asumsi antara 0,6−3 m/detik pada kolom ke-7.
9. Tentukan diameter (D hitung) pada kolom ke-8 melalui persamaan:
4 (𝑄full awalΤ𝑣full asumsi)
𝐷 hitung = ඨ
𝜋
10. Isi kolom ke-9 dengan diameter desain atau pasaran.
11. Tentukan jari-jari hidrolis (R) menggunakan persamaan dimensi optimum pipa berbentuk
lingkaran melalui persamaan: 𝑅 = 0,25 𝑑 pada kolom ke-10
12. Isi kolom ke-11 dengan kemiringan (slope) tanah melalui persamaan:
elevasi tanah 𝑛𝑜𝑑𝑒 1 − elevasi tanah 𝑛𝑜𝑑𝑒 2
𝑆𝑙𝑜𝑝𝑒 tanah =
𝐿
13. Isi kolom ke-12 untuk kemiringan (slope) minimum pipa menggunakan Persamaan (I-11).
14. Isi kolom ke-13 dengan standar kemiringan pipa pada Tabel I.13. Kosongkan kolom apabia
diameter pasaran tidak tercantum di dalam standar. Bandingkan kemiringan minimum pipa
hasil perhitungan dan standar. Bila kemiringan hasil perhitungan tidak memenuhi standar,
ubahlah diamater pipa. Perhatikan perubahan diameter pipa untuk segmen pipa selanjutnya.
15. Isi kolom ke-14 untuk kecepatan full (vfull) menggunakan persamaan:
1
𝑣full = 𝑅2/3 𝑆 1/2
𝑛
16. Isi kolom ke-15 untuk Qfull akhir menggunakan persamaan:
1
𝑄full akhir = 𝜋 (𝐷desain )2 𝑣full
4
17. Tentukan vP/vfull pada kolom ke-16 dari grafik design of main sewers (Gambar I.3)
18. Isi kolom ke-17 untuk kecepatan puncak (vP) menggunakan persamaan
𝑣P
𝑣P = ( )𝑣
𝑣full full
Jaringan perpipaan air limbah selalu dilengkapi elemen pelengkap untuk mendukung
kelancaran penyaluran air limbah dan mempermudah pemeliharaan pipa. Elemen pelengkap
tersebut terdiri atas manhole, drop manhole, junction atau transition, belokan (bend), terminal
clean out, ventilasi, bangunan penggelontor, dan pompa.
19
a) Manhole
Manhole adalah lubang pada jalur pipa air limbah untuk mempermudah petugas masuk dalam
melakukan pemeriksaan, perbaikan, maupun pembersihan saluran dari kotoran yang
menghambat aliran. Perencanaan manhole harus memperhatikan kriteria-kriteria sebagai
berikut:
− Lubang manhole harus cukup dimasuki petugas, dan luas bagian di dalam manhole harus
memungkinkan keleluasaan bergerak bagi petugas.
− Struktur dinding manhole harus tahan terhadap pengaruh gaya luar.
− Bahan manhole berupa beton atau pasangan batu bata atau batu kali dan diberi lapisan kedap
air.
− Konstruksi tutup manhole harus kuat untuk menahan beban di atas.
− Tutup manhole harus rapat sehingga aliran air dari luar tidak masuk ke dalam manhole, kecuali
manhole dilengkapi ventilasi udara untuk mengeluarkan gas serta mengatur keseimbangan
tekanan udara.
Penempatan manhole ditetapkan pada tempat-tempat tertentu, yaitu:
− Perubahan arah aliran (belokan, bend, pertemuan saluran, junction)
− Perubahan diameter pipa
− Perubahan kemiringan (slope) pipa
− Pada jarak tertentu berdasarkan kesepakatan
20
− Dimensi horizontal harus cukup untuk melakukan pemeriksaan dan pembersihan di dalam
saluran. Dimensi vertikal tergantung pada kedalaman.
− Lubang masuk (acces shaft) minimal 50 × 50 cm atau diameter 60 cm.
− Dimensi minimal di bawah lubang masuk untuk kedalaman hingga 0,8 m adalah 75 × 75 cm;
kedalaman 0,8 − 2,1 m adalah 90 × 120 cm atau diameter 1,2 m; kedalaman lebih besar dari
2,1 m adalah 90 × 120 cm atau diameter 1,4 m.
b) Drop manhole
Fungsi drop manhole serupa dengan manhole, tetapi penggunaannya berbeda. Drop manhole
diterapkan pada pertemuan saluran yang mempunyai perbedaan ketinggian. Pengertian
perbedaan ketinggian antara aliran masuk dan aliran keluar ini sebenarnya relatif, minimum 60
cm (sumber lain menyebutkan 90 cm). Tujuan pemasangan drop manhole untuk melindungi
petugas di dalam manhole terhadap terjunan aliran air limbah secara tiba-tiba.
21
Gambar I.5 Gambar potongan drop manhole
(Sumber: EPA, 1991)
d) Belokan (bend)
Belokan (bend) berfungsi untuk membelokkan arah aliran. Pada belokan terjadi kehialangan
energi yang cukup besar sehingga dibutuhkan perencanaan dengan memperhatikan kriteria
berikut:
− Pada belokan, perubahan diameter atau kemiringan tidak boleh terjadi.
22
− Dinding bagian dalam harus licin.
− Manhole diperlukan untuk memudahkan pemeriksaan dan pemeliharaan.
− Radius belokan yang terlalu kecil harus dihindari untuk mengurangi kehilangan tekanan.
Radius minimum belokan harus lebih besar atau sama dengan diameter saluran.
f) Ventilasi
Ventilasi udara dalam saluran air limbah ditempatkan pada tutup manhole. Ventilasi udara
ini sangat diperlukan untuk:
− Mencegah pembentukan gas dari pembusukan zat-zat organik.
23
− Mencegah akumulasi gas yang mudah meledak di dalam saluran.
− Mengurangi akumulasi hidrogen sulfida di dalam saluran yang menyebabkan korosif pada
pipa beton maupun logam.
g) Bangunan penggelontoran
Bangunan penggelontoran adalah bangunan tempat air penggelontoran dikumpulkan. Di
samping itu, bangunan penggelontoran juga dilengkapi dengan peralatan untuk keperluan
penggelontoran yang dapat bekerja secara otomatis maupun manual. Penggelontoran adalah
penambahan volume air dengan debit dan kecepatan tertentu di dalam saluran. Penggelontoran
dilakukan apabila kecepatan (vmin) dan tinggi air (dmin) kurang dari nilai persyaratan.
Penggelontoran dilakukan apabila dmin<100 mm dan/atau vmin< 0,6 m/detik.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penggelontoran:
− Ketersediaan debit air penggelontor cukup sesuai dengan kebutuhannya.
− Air penggelontor harus jernih, tidak mengandung partikel padat atau koloid, serta tidak
bersifat asam dan basa sehingga tidak mengotori saluran.
− Saat penggelontoran, kecepatan aliran harus diperhitungkan terhadap keamanan di dalam
pipa sehingga pukulan air (water hammer) yang besar dapat dicegah.
Sistem penggelontoran terbagi menjadi dua sistem, yaitu:
− Sistem kontinu melalui penggelontoran secara terus-menerus dengan debit konstan.
− Sistem periodik melalui penggelontoran secara berkala pada kondisi aliran minimum dan
paling sedikit dilakukan sekali dalam satu hari.
Persamaan-persamaan untuk perhitungan penggelontoran adalah sebagai berikut:
24
𝑑g = 2/5 × dg
dmin = kedalaman titik berat air pada saat mencapai kedalaman minimum (mm)
h) Instalasi pompa
Instalasi pompa berfungsi untuk mengangkut air limbah dari elevasi rendah menuju elevasi
yang lebih tinggi untuk menghindari penanaman pipa terlalu dalam di tanah, serta memberikan
tekanan (head) yang cukup menuju proses pengolahan. Beberapa faktor untuk diperhatikan di
dalam perencanaan pompa, adalah:
− Kapasitas pompa dan perpipaan pada rumah pompa direncanakan berdasarkan debit puncak
air limbah.
− Jumlah pompa ditetapkan berdasarkan fluktuasi aliran influen dan karakteristik air limbah.
− Pompa harus dapat bekerja secara otomatis bila air limbah di dalam saluran pengumpul telah
mencapai ketinggian tertentu. Sumur pengumpul berfungsi untuk menampung debit rata-
rata dalam suatu periode hingga 30 menit. Perencanaan periode waktu ini harus
diperhitungkan agar tidak terjadi pengendapan partikel padatan air limbah di dalam
pengumpul.
Jenis pompa secara umum terbagi atas dua jenis, yaitu pompa sentrifugal dan pompa
pneumatic ejector. Jenis pompa sentrifugal non clogging lebih banyak digunakan di dalam sistem
penyaluran air limbah karena mempunyai kemampuan yang baik dalam membawa air limbah
yang mengandung partikel padatan. Operasi pompa ini pada umumnya memiliki kecepatan
spesifik yang rendah dan mempunyai efisiensi yang tinggi. Jenis pompa setrifugal digolongkan
menjadi tiga jenis, yaitu axial flow pump, mixed flow pump, dan radial flow pump. Pompa
pneumatic ejector menggunakan kompresi udara melalui prinsip venturi untuk mengevakuasi
udara pada tekanan udara tertentu. Pompa ini lebih digunakan untuk tingkat aliran debit yang
rendah.
Tekanan (head) pompa harus disediakan untuk mengalirkan sejumlah air dari instalasi pada
daerah pelayanan. Tekanan pompa dapat dirumuskan melalui persamaan berikut:
𝐿 𝑣2
𝐻f = 𝑓 ( ) ( ) (I − 15)
𝐷 2𝑔
25
𝑣2 𝑣2
𝐻m = (𝐾 ∙ jumlah bend) + (𝐾 ∙ jumlah sambungan) (I − 16)
2𝑔 2𝑔
𝐻T = 𝐻s + 𝐻f + 𝐻m (I − 17)
Keterangan:
f = faktor friksi di dalam pipa
K = faktor form-loss pada sambungan pipa
Hf = kehilangan tekanan utama pipa/head loss (m)
Hm = kehilangan tekanan minor (m)
HT = total tekanan pompa (m)
26
Tugas Praktikum-3 (Pertemuan ke-4) - Lanjutan
Tabel I.17 – Penentuan volume dan debit penggelontoran (lanjutan):
7. Isi kolom ke-9 untuk Afull menggunakan persamaan: 𝐴full = 0,25 𝜋𝐷 2
8. Isi kolom ke-10 untuk Amin menggunakan persamaan:
𝐴min
𝐴min = ( ) 𝐴full
𝐴full
9. Tentukan rasio dg/Dfull (kolom ke-11) berdasarkan nilai dg dari kolom ke-4 dan Dfull dari kolom
ke-2.
10. Tentukan nilai rasio Ag/Afull di kolom ke-12 pada grafik design of main sewers (Gambar I.3)
berdasarkan nilai rasio dg/Dfull pada setiap segmen pipa penggelontoran.
11. Isi kolom ke-13 untuk Ag menggunakan persamaan:
𝐴g
𝐴g = ( ) 𝐴full
𝐴full
12. Tentukan nilai kecepatan aliran penghantar (vw) pada kolom ke-14 menggunakan Persamaan
(I-12)
13. Isi kolom ke-15 untuk panjang segmen (L) berdasarkan jarak antar node.
14. Tentukan nilai debit penggelontoran (Qg) dan volume penggelontoran (Vg) berturut-turut pada
kolom ke-16 dan ke-17 menggunakan Persamaan (I-13) dan Persamaan (I-14).
Perletakkan manhole:
1. Lihat kembali denah Kota Banyuasih pada Gambar 1.1 yang telah dilengkapi jalur perpipaan
air limbah dan node.
2. Tentukan posisi manhole pada denah sesuai dengan persyaratan yang tercantum pada sub-
bab I.6 point a dan Tabel I.14.
3. Berikan deskripsi jumlah manhole dan dasar pemilihan lokasi pada laporan praktikum.
4. Berikan kode huruf kapital untuk setiap manhole. Apabila manhole dan node berada pada
lokasi yang sama, gabungkan kode, misalnya kode “1,A; 3,F; dst.“
5. Desain kembali denah dan potongan manhole pada Gambar I.4 menggunakan Autocad,
ukuran kertas A3 dilengkapi kepala gambar dan skala yang proporsional.
27
Tabel I.16 Penentuan debit dan kecepatan minimum awal
Jalur pipa Panjang
Qmin Qfull D dmin vfull Vmin
(Nomor node) segmen Qmin/Qfull dmin/Dfull vmin/vfull Keterangan
(m3/detik) (m3/detik) (mm) (mm) (m/detik) (m/detik)
-1- -2- -5- -6- -9- -12-
-3- -4- -7- -8- -10- -11-
Dari Ke (m)
28
Pipa Transmisi dan Pipa Distribusi serta Bangunan Pelintas Pipa” dapat diaplikasikan. Menurut
standar ini, galian untuk jalur pipa harus mempunyai lebar galian (W) lebih besar dari 200 mm
ditambah diameter pipa untuk struktur tanah stabil (Gambar I.7) atau sesuai dengan Tabel I.19
dan Gambar I.8 pada struktur tanah tidak stabil agar pipa dapat diletakkan dan disambung
dengan baik. Galian pipa pada area terbuka yang cukup besar dapat dibangun dengan lebar galian
di bagian atas lebih luas dibandingkan lebar galian di bagian dasar saluran untuk mencegah
dinding saluran runtuh akibat struktur tanah yang tidak stabil (Gambar I.8). Maksimum lebar
galian berdasarkan diameter pipa harus sesuai dengan Tabel I.19.
Tabel I.19 Lebar galian (W) jaringan pipa transmisi dan distribusi
Kedalaman pipa untuk PVC berdasarkan kondisi permukaan jalan menurut SNI 7511-2011
ditentukan sebagai berikut:
a) kedalaman 300 mm untuk pipa yang tertanam di bawah permukaan tanah biasa;
b) kedalaman 450 mm untuk pipa yang tertanam di sisi jalan dan di bawah permukaan jalan kecil;
c) kedalaman 600 mm untuk pipa yang tertanam di bawah permukaan jalan besar dengan
perkerasan;
d) kedalaman 750 mm untuk pipa yang tertanam di bawah permukaan jalan besar tanpa
perkerasan.
Selain itu, kedalaman dan lebar galian ditentukan berdasarkan diameter pipa, sesuai pada
Gambar I.9.
29
Gambar I.8 Galian pipa pada tanah tidak stabil
(Sumber: SNI 7511-2011)
30
di dalam jaringan peripaan air bersih. Skematik profil melintang pipa hasil perhitungan tersaji
pada Gambar I.10.
31
i) Kedalaman galian (KG):
KG (𝑈S ) = ET (𝑈S ) − EDS (𝑈S ) (I − 22)
- KG(US)a-b = (407,67 – 406,52) m = 1,15 m
KG (𝐷S ) = ET (𝐷S ) − EDS (𝐷S ) (I − 23)
- KG(DS)a-b = (402,63 – 402,41) m = 0,22 m
Catatan: Kedalaman 0,22 m untuk diameter 200-250 mm tidak memenuhi standar sehingga KG perlu diperdalam
hingga memenuhi batas minimum standar melalui penggunaan drop manhole. Akibatnya, nilai EDS(DS)a-b dan
EMA(DS)a-b tidak sama dengan EDS(US)b-c dan EMA(US)b-c. Penambahan node di antara a dan b perlu juga
dipertimbangkan sehingga L dapat diperpendek.
32
Gambar I.10 Skematik penggambaran profil melintang pipa
33
II. SISTEM DRAINASE PERKOTAAN
II.1. Pendahuluan
Permasalahan drainase terutama di kota-kota besar di Indonesia selalu menjadi pembicaraan
penting ketika banjir dan genangan air sering terjadi sehingga mengganggu permukiman warga,
infrastruktur, dan sistem transportasi. Drainase tidak berfungsi secara optimal akibat tingkat
pemeliharaan saluran dan bangunan drainase yang rendah, serta tingkat kesadaran masyarakat
terhadap fungsi drainase sebagai tempat pembuangan limbah padat. Dengan demikian, drainase
perkotaan harus direncanakan pada salah satu aspek terpenting yang terintegrasi di dalam
sistem prasarana perkotaan sehingga perencanaannya perlu mempertimbangkan faktor-faktor
terkait dengan pembanguanan prasarana perkotaan yang lain (perumahan, industri, jalan, dan
sebagainya).
Sistem drainase terbagi atas dua macam, yaiu drainase permukaan (surface drainage) dan
drainase permukaan bawah tanah (subsurface drainage) (Sukarto, 1999). Drainase permukaan
berfungsi mengalirkan air di atas permukaan tanah ke luar daerah yang akan dikeringkan,
sedangkan drainase permukaan bawah tanah berfungsi untuk mengalirkan air yang masuk ke
dalam tanah. Pada implementasi di lapangan, drainase permukaan lebih mudah dan murah untuk
konstruksi dan perawatan dibandingkan drainase permukaan bawah tanah. Melalui kemiringan
tanah yang cukup, air hujan dapat segera ditampung di dalam saluran drainase untuk dialirkan
menuju badan air.
Konsep drainase perkotaan dahulu menggunakan paradigma lama ketika beban air berlebih
pada titik genangan harus secepatnya dialirkan menuju menuju alur-alur saluran sehingga
diharapkan banjir tidak terjadi pada saat curah hujan tinggi. Sistem drainase tersebut diterapkan
sebelum pola pikir kemprehensif berkembang ketika masalah genangan, banjir, kekeringan, dan
kerusakan lingkungan masih dipandang sebagai masalah lokal dan sektoral dan ditangani secara
lokal dan sektoral pula, tanpa melihat kondisi sumber daya air dan lingkungan di luar area
pelayanan. Dengan memperhatikan terhadap perubahan tata lingkungan, kelebihan air hujan
tidak harus cepat dibuang ke badan air dalam waktu singkat, tetapi dapat disimpan pada lokasi
tertentu sehingga dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan lain. Air hujan dapat digunakan untuk
mengisi/konservasi air tanah, meningkatkan kualitas ekosistem dan lingkungan, atau menambah
debit air limbah sebagai media penggelontoran (PU, 2012; Kurniawan dan Dewi, 2015). Atas
34
dasar pemikiran tersebut, sistem drainase berwawasan lingkungan lebih dibutuhkan saat ini
melalui konfigurasi jaringan sistem berupa saluran induk/primer, saluran sekunder, saluran
tersier, bangunan peresapan, bangunan tampungan beserta sarana pelengkap yang berhubungan
secara sistemik antar jaringan.
35
Pengaliran sistem drainase mempunyai prinsip sebagai berikut:
a) Pengaliran air hujan dari lokasi dampak hingga ke lokasi penampungan atau badan air harus
diusahakan cepat.
b) Tempat pembuangan akhir harus dekat dengan daerah pelayanan.
c) Daerah pengaliran sekecil mungkin.
d) Kapasitas saluran harus mencukupi untuk menampung dan mengalirkan limpasan
permukaan dari wilayah penangkapan (catchment area) saluran tersebut.
e) Kecepatan aliran dalam saluran tidak boleh mengakibatkan kerusakan dan pengendapan
lumpur pada badan saluran.
f) Badan saluran harus cukup kuat terutama akibat aliran air di dalam saluran tersebut. Pada
kecepatan aliran self-cleaning, konstruksi harus diperkeras dengan material yang sesuai
untuk tipe saluran tanah biasa.
g) Kemiringan dasar saluran diusahakan mengikuti elevasi permukaan tanah. Untuk daerah
rata, kemiringan dasar saluran didasarkan pada kecepatan self-cleaning minimum.
h) Untuk daerah kemiringan besar, kemiringan dasar saluran didasarkan pada kecepatan
maksimum yang diizinkan.
i) Saluran ditutup sesuai dengan keadaan dan kebutuhan daerahnya.
36
− Rencana tata ruang wilayah (RTRW).
b) Data hidrologi meliputi data hujan minimal sepuluh tahun terakhir; serta data tinggi muka
air, debit sungai, pengaruh air balik, peil banjir, dan pasang surut air laut.
c) Data kondisi eksisting sistem drainase, meliputi:
− Data kuantitatif banjir atau genangan meliputi luas genangan, lama genangan, kedalaman
rata-rata genangan, frekuensi genangan, serta hasil rencana induk pengendalian banjir
wilayah sungai di daerah tersebut.
− Data saluran dan bangunan pelengkap.
− Data sarana drainase lainnya seperti kolam tandon dan kolam.
d) Data hidrolika, terdiri atas:
− Data keadaan, fungsi, jenis, geometri dan dimensi saluran, serta bangunan pelengkap
seperti gorong-gorong, pompa, pintu air, kolam tandon, dan kolam resapan.
− Data arah aliran dan kemampuan resapan.
e) Data teknik lainnya, seperti data eksisting dan perencanaan prasarana dan fasilitas kota,
antara lain jaringan jalan kota, jaringan drainase, jaringan air limbah, tempat pengolahan
sampah sementara (TPS), tempat pemrosesan akhir (TPA), jaringan telepon, jaringan listrik,
jaringan pipa air minum, jaringan gas (jika ada), dan jaringan utilitas lainnya.
f) Data non teknik, meliputi data pembiayaan termasuk biaya operasional, peraturan-peraturan
terkait, data institusi/kelembagaan, data sosial ekonomi dan budaya (kearifan lokal), data
peran serta masyarakat serta data keadaan kesehatan lingkungan permukiman.
37
c) Topografi dan geologi setempat, mempengaruhi kecepatan dan jumlah aliran permukaan.
Persentase jumlah aliran air hujan ke dalam saluran terhadap jumlah air hujan yang jatuh
dipengaruhi oleh:
− Jenis permukaan tanah saat dilalui air hujan
− Kemiringan tanah
− Iklim
d) Penguapan (evaporasi), adalah fungsi dari efek temperatur, kecepatan angin, dan
kelembapan relatif.
e) Pencegatan (intersepsi), yaitu air hujan dicegat sebelum jatuh ke permukaan tanah, termasuk
penahanan air di atas daun-daun tanaman atau permukaan lain.
f) Penampungan di cekungan (depression storage), yaitu air tertahan di tempat-tempat dengan
elevasi rendah selama proses pengaliran di permukaan tanah.
g) Peresapan (infiltrasi), dipengaruhi oleh jenis tanah, intensitas curah hujan, kondisi
permukaan, dan tumbuh-tumbuhan/vegetasi (yang dapat mengubah porositas tanah).
Data-data hidrologi untuk perencanaan diperoleh dan dikumpulkan dari institusi pengelola
seperti Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG). Data curah hujan diambil dalam jangka waktu
berbeda-beda sesuai dengan rancangan bangunan hidrolik. Data-data hidrologi tersebut adalah:
a) Tipe hujan
b) Intensitas hujan
c) Lama waktu hujan
d) Distribusi hujan
e) Topografi
f) Geologi
g) Keadaan fauna
h) Perubahan-perubahan tata guna lahan.
𝑠 ∙ 𝑦n 𝑠 ∙ 𝑌T
𝑅24 = (𝑅̅i − )+( ) (II − 1)
𝑠n 𝑠n
Keterangan:
R24 = curah hujan (mm/hari)
38
𝑅̅i = rata-rata curah hujan (mm/hari)
s = standar deviasi
sn = reduksi standar deviasi berdasarkan jumlah sampel n (Tabel II.1)
yn = reduksi mean berdasarkan jumlah sampel n (Tabel II.2)
𝑇r −1
YT = reduksi variate berdasarkan periode ulang hujan/PUH (Tabel II.3) = − ln [− ln ( )]
𝑇r
Tabel II.1 Hubungan reduksi standar deviasi (sn) dengan jumlah sampel
N sn n sn n sn n sn
10 0,9496 33 1,1226 56 1,1696 79 1,1930
11 0,9676 34 1,1255 57 1,1708 80 1,1938
12 0,9833 35 1,12865 58 1,1721 81 1,1945
13 0,9971 36 1,1313 59 1,1734 82 1,1953
14 1,0095 37 1,1339 60 1,1747 83 1,1959
15 1,0206 38 1,1363 61 1,1759 84 1,1967
16 1,0316 39 1,1388 62 1,1770 85 1,1973
17 1,0411 40 1,1413 63 1,1782 86 1,1987
18 1,0493 41 1,1436 64 1,1793 87 1,1987
19 1,0565 42 1,1458 65 1,1803 88 1,1994
20 1,0628 43 1,1480 66 1,1814 89 1,2001
21 1,0696 44 1,1499 67 1,1824 90 1,2007
22 1,0754 45 1,1519 68 1,1834 91 1,2013
23 1,0811 46 1,1538 69 1,1844 92 1,2020
24 1,0864 47 1,1557 70 1,1854 93 1,2026
25 1,0915 48 1,1574 71 1,1854 94 1,2032
26 1,0861 49 1,1590 72 1,1873 95 1,2038
27 1,1004 50 1,1607 73 1,1881 96 1,2044
28 1,1047 51 1,1623 74 1,1890 97 1,2049
29 1,1086 52 1,1638 75 1,1898 98 1,2055
30 1,1124 53 1,1658 76 1,1906 99 1,2060
31 1,1159 54 1,1667 77 1,1915 100 1,2065
32 1,1193 55 1,1681 78 1,1923
(Sumber: Soemarto, 1999)
39
Tabel II.2 Hubungan reduksi mean (yn) dengan jumlah sampel
n yn n yn n yn n yn
10 0,4952 34 0,5396 58 0,5515 82 0,5672
11 0,4996 35 0,5402 59 0,5518 83 0,5574
12 0,5035 36 0,5410 60 0,5521 84 0,5576
13 0,5070 37 0,5418 61 0,5524 85 0,5578
14 0,5100 38 0,5424 62 0,5527 86 0,5580
15 0,5128 39 0,5430 63 0,5530 87 0,5581
16 0,5157 40 0,5436 64 0,5533 88 0,5583
17 0,5181 41 0,5442 65 0,5535 89 0,5585
18 0,5202 42 0,5448 66 0,5538 90 0,5586
19 0,5220 43 0,5453 67 0,5540 91 0,5587
20 0,5236 44 0,5458 68 0,5543 92 0,5589
21 0,5252 45 0,5463 69 0,5545 93 0,5591
22 0,5268 46 0,5468 70 0,5548 94 0,5592
23 0,5283 47 0,5473 71 0,5550 95 0,5593
24 0,5296 48 0,5477 72 0,5552 96 0,5595
25 0,5309 49 0,5481 73 0,5555 97 0,5596
26 0,5320 50 0,5485 74 0,5557 98 0,5598
27 0,5332 51 0,5489 75 0,5559 99 0,5599
28 0,5343 52 0,5493 76 0,5561 100 0,5600
29 0,5353 53 0,5497 77 0,5563
30 0,5362 54 0,5501 78 0,5565
31 0,5371 55 0,5504 79 0,5567
32 0,5380 56 0,5508 80 0,5569
33 0,5388 57 0,5511 81 0,5570
(Sumber: Soemarto, 1999)
Tabel II.3 Hubungan reduksi variate (YT) sebagai fungsi waktu balik
Tr (tahun) YT
2 0,36651
5 1,9940
10 2,25037
20 2,97019
50 3,90194
100 4,60015
200 5,29561
500 6,21361
1000 6,90726
2000 7,60065
5000 8,51709
10000 9,21029
20000 9,90346
50000 10,81977
100000 11,51292
(Sumber: Soemarto1999)
40
Tugas Praktikum-4 (Pertemuan ke-5)
Analisis frekuensi kejadian hujan
Curah hujan Kota Banyuasih tercatat pada rentang waktu antara tahun 1999-2019 adalah sebagai
berikut:
1. Data curah hujan masing-masing kelompok akan diisi oleh dosen praktikum.
2. Tentukan analisis perhitungan hujan rencana berdasarkan periode ulang hujan 2, 5, dan 10
tahun. Gunakan metode Gumbel pada Persamaan (II-1).
A
𝑅 ∙ 60
𝐼obs. = (II − 2)
𝑡
Keterangan:
R = curah hujan pada jangka waktu pendek (mm) = (𝐴 ∙ 𝑅24 )Τ(𝐵 + 𝑅24 )
R24 = curah hujan pada periode ulang hujan (mm)
t = periode hujan (menit)
A, B = konstanta (Tabel II.4)
60 = konversi menit ke jam
I = intensitas hujan observasi (mm/jam)
41
Tabel II.4 Konstanta A dan B pada waktu hujan tertentu
Waktu hujan B
A
(menit)
1 5,85 21,6
5 29,1 116
10 73,8 254
15 138 424
20 228 636
25 351 909
30 524 1272
35 774 1781
40 1159 2544
45 1811 3816
50 3131 6360
55 7119 13992
59 39083 75048
Intensitas hujan pada selang waktu tertentu (durasi hujan) tergantung pada penentuan
periode ulang hujan (PUH). PUH akan menentukan estimasi debit genangan/banjir. Semakin
besar PUH, semakin besar pula debit genangan terjadi. Penetapan banjir rencana didasarkan
pada pertimbangan-pertimbangan faktor hidro-ekonomis, terutama mengenai jumlah kerugian
yang akan diderita jika bangunan air rusak oleh genangan/banjir. Pada umumnya, semakin besar
nilai t (Persamaan II-2), intensitas hujan semakin kecil. Jika tidak ada waktu untuk mengamati
jumlah intensitas hujan atau tidak tersedia alat pengamatan, cara empiris berikut dapat ditempuh
dengan menggunakan persamaan Talbot, Sherman, dan Ishiguro.
42
a) Persamaan Talbot
𝑎
𝐼e = (II − 3)
𝑡+𝑏
Keterangan:
Ie = intensitas hujan empiris (mm/jam)
a, b = konstanta
n = jumlah data pada Tabel II.4
∑𝑛𝑗=1(𝐼obs ∙ 𝑡) ∑𝑛𝑗=1(𝐼obs 2 ) − ∑𝑛𝑗=1(𝐼obs 2 ∙ 𝑡) ∑𝑛𝑗=1(𝐼obs )
𝑎= 2
𝑛 ∑𝑛𝑗=1(𝐼obs 2 ) − (∑𝑛𝑗=1(𝐼obs ))
∑𝑛𝑗=1(𝐼obs ) ∑𝑛𝑗=1(𝐼obs ∙ 𝑡) − 𝑛 ∑𝑛𝑗=1(𝐼obs 2 ∙ 𝑡)
𝑏= 2
𝑛 ∑𝑛𝑗=1(𝐼obs 2 ) − (∑𝑛𝑗=1(𝐼obs ))
b) Persamaan Sherman
𝑎
𝐼e = (II − 4)
𝑡𝑏
Keterangan:
∑𝑛𝑗=1(log 𝐼obs ) ∑𝑛𝑗=1(log 𝑡)2 − ∑𝑛𝑗=1(log 𝐼obs ∙ log 𝑡) ∑𝑛𝑗=1(log 𝑡)
log 𝑎 = 2
𝑛 ∑𝑛𝑗=1(log 𝑡)2 − (∑𝑛𝑗=1(log 𝑡))
∑𝑛𝑗=1(log 𝐼obs ) ∑𝑛𝑗=1(log 𝑡) − 𝑛 ∑𝑛𝑗=1(log 𝐼obs ∙ log 𝑡)
𝑏= 2
𝑛 ∑𝑛𝑗=1(log 𝑡)2 − (∑𝑛𝑗=1(log 𝑡))
c) Persamaan Ishiguro
𝑎
𝐼e = (II − 5)
√𝑡 + 𝑏
Keterangan:
∑𝑛𝑗=1(𝐼obs ∙ √𝑡) ∑𝑛𝑗=1(𝐼obs 2 ) − ∑𝑛𝑗=1(𝐼obs 2 ∙ √𝑡) ∑𝑛𝑗=1(𝐼obs )
𝑎= 2
𝑛 ∑𝑛𝑗=1(𝐼obs 2 ) − (∑𝑛𝑗=1(𝐼obs ))
43
Tabel II.6 Perhitungan intensitas hujan empiris untuk PUH n tahun
t R
Iobs Iobs × t Iobs 2 Iobs 2 × t log t log Iobs log t x log Iobs (log t)2 t0.5 Iobs x t0.5 Iobs 2 x t0.5
(menit) (mm) -3- -4- -5- -6- -7- -8- -9- -10- -11- -12- -13-
-1- -2-
1
5
……..
59
Persamaan Talbot a = ……… b = ………
Persamaan Sherman a = ……… b = ………
Persamaan Ishiguro a = ……… b = ………
Tabel II.8 Standar deviasi intensitas hujan empiris untuk PUH n tahun
t Metode Talbot Metode Sherman Metode Ishiguro
Iobs
(menit) -2- Ie Δ Ie Δ Ie Δ
-1- -3- -4- -5- -6- -7- -8-
1
5
………
59
STDEV = …… …… ……
44
Tugas Praktikum-4 (Pertemuan ke-5)
Intensitas curah hujan empiris
1. Buat tabel sesuai contoh Tabel II.6 untuk PUH 2, 5, dan 10 tahun.
2. Inputkan data t pada Tabel II.4 untuk kolom pertama pada Tabel II.6.
3. Inputkan data kolom ke-7 dan ke-8 pada Tabel II.5 untuk kolom ke-2 dan ke-3 pada Tabel II.6.
4. Kalkulasikan seluruh data untuk kolom ke-4 hingga ke-13 (Tabel II.6) sehingga diperoleh
konstanta a dan b berdasarkan Persamaan (II-2), (II-3), dan (II-4).
5. Buat tabel sesuai contoh Tabel II.7 untuk PUH 2, 5, dan 10 tahun.
6. Inputkan data t pada Tabel II.4 untuk kolom pertama pada Tabel II.7.
7. Inputkan nilai konstanta a dan b berdasarkan untuk setiap metode persamaan. Hitung Ie
berdasarkan Persamaan (II-2), (II-3), dan (II-4).
8. Buat tabel sesuai contoh Tabel II.8 untuk PUH 2, 5, dan 10 tahun.
9. Inputkan data t, Iobs, dan Ie berdasarkan kalkulasi pada tabel sebelumnya pada kolom 1,2, dan
3 di Tabel II.8.
10. Hitung selisih (Δ) nilai Iobs, dan Ie pada kolom ke-4,6, dan 8 (Tabel II.8),
11. Hitung standar devisi dari nilai Δ untuk ketiga metode persamaan di atas. Metode terpilih
berdasarkan nilai standar devisi Δ terkecil.
12. Buat kurva intencity duration of frequency (IDF) pada metode terpilih berdasarkan PUH 2, 5,
dan 10 tahun. Lihat contoh pada Gambar II.1.
45
II.5. Pola Sistem Saluran Drainase
Perencanaan sistem drainase perkotaan secara umum terbagi atas lima pola (Sukarto, 1999),
yaitu:
a) Pola tegak lurus (perpendicular pattern), untuk saluran pembuangan air hujan atau saluran
pembuang tercampur (combined sewerage). Air hujan dibuang secepatnya melalui jarak
terpendek ke saluran induk pembuang atau ke sungai. Sistem ini sudah mulai ditinggalkan
karena pencampuran air hujan dan limbah dapat mencemari badan air tanpa melalui
pengolahan terlebih dahulu.
b) Pola pencegat (intercepter pattern), untuk mencegah air hujan langsung dibuang ke badan air
melalui sistem pencegat (intercepter). Batas kemampuan intercepter dalam menampung
limpasan air hujan tidak melebihi dari debit maksimum aliran pada musim kering. Lebih dari
jumlah debit ini, air hujan akan melimpas ke badan air melalui lubang keluar (outlet) sebelum
memasuki intercepter.
c) Pola wilayah (zone pattern), untuk saluran pembuangan air hujan tercampur. Pola ini
membagi pola ke dalam satu atau lebih rangkaian seri saluran untuk daerah-daerah yang
sejajar atau berbeda elevasi dan mempunyai intercepter pada masing-masing rangkaian
secara terpisah.
46
Gambar II.4 Pola wilayah sistem drainase perkotaan
(Sumber: Sukarto, 1999)
d) Pola kipas (fan pattern), untuk saluran pembuangan air hujan terpisah dengan air limbah.
Pola ini memusatkan sistem aliran dari pinggiran daerah pelayanan menuju ke dalam untuk
dibuang ke satu tempat pengeluaran (single outfall). Pola ini sangat memungkinkan melintasi
daerah dengan kepadatan penduduk tinggi sehingga sulit meningkatkan kapasitas sistem.
e) Pola radial (radial pattern), untuk saluran pembuangan air hujan terpisah atau tercampur
dengan air limbah. Pada pola ini, sistem aliran menuju ke luar dari pusat daerah pelayanan
dengan pola mengikuti jari-jari roda. Pola ini memiliki jalur relatif pendek, tetapi jumlah
tempat pengolahan dapat berlipat ganda.
47
Tugas Praktikum-5 (Pertemuan ke-6)
Setelah sistem penyediaan air bersih dan sistem penyaluran air limbah telah berhasil dibuat,
Kota Banyuasih membutuhkan perencanaan sistem drainase perkotaan untuk mengatasi
permasalahan genangan akibat air hujan. Dari analisis data hidrologi, sistem drainase
direncanakan untuk periode ulang hujan (PUH) selama 10 tahun. Data PUH tersebut akan
digunakan sebagai dasar perencanaan untuk penentuan debit, dimensi saluran, dan parameter-
parameter profil melintang saluran.
48
𝐴1 𝐶1 + 𝐴2 𝐶2 + ⋯ + 𝐴n 𝐶n
𝐶= (II − 6)
𝐴1 + 𝐴2 + ⋯ + 𝐴n
Keterangan:
C1, C2, Cn = koefisien pengaliran untuk setiap sub-catchment area
A1, A2, An = luas sub-catchment dengan karakteristik seragam untuk permukaan tanah (km2)
Tabel II.10 Koefisien run-off (C) alternatif untuk setiap area peruntukkan lahan
Peruntukkan lahan C
Perumahan 0,4
Kantor 0,7
Sekolah 0,9
Rumah sakit 0,4
Pasar 0,75
Mesjid 0,75
Terminal bis 0,75
Taman 0,1
(Sumber: McGhee dan Steel, 1991)
49
Nilai koefisien C dipengaruhi oleh:
a) Keadaan hujan
b) Luas dan bentuk daerah aliran
c) Daya infiltrasi dan perkolasi tanah
d) Kebasahan tanah
e) Suhu udara, angin, dan evaporasi
f) Letak daerah aliran terhadap arah angin
g) Daya tampung palung sungai dan daerah sekitarnya
Standar nilai koefisien C dapat ditentukan berdasarkan tipe daerah aliran berdasarkan
kriteria perencanaan tata guna lahan pada lokasi setempat. Tabel II.9 dan II.10 mendeskripsikan
nilai C berdasarkan kisaran dan nilai peruntukkan pada kawasan permukiman dan komersial.
1⁄
108 ∙ 𝑛 ∙ 𝐿o 3
𝑡o = 1⁄ (II − 8)
𝑆o 5
58,5 ∙ 𝐿o
𝑡o = (II − 9)
𝐴0.1 𝑆o 0.2
Keterangan:
(𝐻o(1) − 𝐻o(2) )
So = kemiringan medan limpasan (%) (Gambar II.7) = ⁄
cos 𝜃 ∙ 𝐿o
Lo = panjang limpasan (m)
C = koefisien pengaliran
n = koefisien kekasaran saluran (Tabel II–11)
to = inlet time (waktu pengaliran air hujan untuk mencapai saluran) atau waktu limpasan (menit)
50
Ho(1) = elevasi muka tanah awal limpasan (m)
Ho(2) = elevasi muka akhir limpasan (m)
Θ = sudut medan limpasan
51
II.6.3. Waktu Pengaliran
Waktu pengaliran (td) air pada saluran dapat dihitung dari perhitungan hidrolik saluran
melalui pendekatan rumus pada Persamaan (II–11).
𝐿
𝑡d = (II − 10)
𝑣d
Keterangan:
L = panjang segmen saluran (m)
vd = kecepatan rata-rata dalam saluran (m/detik)
td = waktu pengaliran (menit)
Sebagai catatan, S dan jenis material saluran mempengaruhi kecepatan aliran (vd) di dalam
saluran drainase (Tabel II–12 dan Tabel II–13). Pada aplikasi di lapangan, kemiringan saluran (S)
hampir sama dengan kemiringan medan limpasan (So) apabila saluran dibangun mengikuti
topografi untuk sifat aliran secara gravitasi (Tabel II–12).
vd di dalam saluran tertutup (closed conduit) tergantung dari bahan, sifat-sifat hidrolik
saluran, dan kondisi fisik. vd minimum pada sistem drainase sangat bervariasi dan tidak dapat
ditentukan dengan tepat. Untuk saluran tertutup dengan lapisan lining atau tahan erosi, vd
minimum berkisar 0,6–0,9 m/detik, sedangkan untuk saluran terbuka vd minimum berkisar 0,4 –
0.6 m/detik (Chow, 1989; Sukarto, 1999). Kecepatan ini sangat diperlukan untuk mencegah
pengendapan dan pertumbuhan tanaman air yang dapat menghambat aliran di sistem drainase.
vd maksimum adalah kecepatan pengaliran terbesar untuk mencegah erosi di permukaan saluran.
Untuk saluran dengan material tertentu, vd maksimum sebesar 2,5–3,5 m/detik, sedangkan
saluran alam (saluran tanah) sebesar 2,0 m/detik.
52
Tabel II.13 Kecepatan aliran (vd) berdasarkan jenis material saluran
Jenis bahan Kecepatan aliran rata-rata,
vd (m/detik)
Pasir halus 0,45
Lempung berpasir 0,50
Lanau aluvial 0,60
Kerikil halus 0,75
Lempung kokoh 0,75
Lempung padat 1,10
Kerikil kasar 1,20
Batu-batu besar 1,50
Pasangan batu 1,50
Beton 1,50
Beton bertulang 1,50
Selain Persamaan (II–11) di atas, penentuan waktu tc dapat ditentukan melalui pendekatan
sebagai berikut:
a) Persamaan Kirpich
b) Persamaan Bransby-Williams
53
kondisi rumah. Perhitungan debit aliran dapat diketahui melalui metode rasional (Persamaan
(II-14)) dengan memperhitungkan penyimpanan (storage) air di dalam saluran. Metode rasional
merupakan metode tertua untuk menggambarkan hubungan antara debit dan curah hujan pada
luasan daerah penangkapan hingga 500 Ha.
Keterangan:
Q = debit air hujan pada PUH n tahun (m3/dtk)
Ie = intensitas hujan empiris untuk lama (durasi) curah hujan yang sama dengan waktu pengumpulan (tc)
pada PUH n tahun (mm/jam)
A = luas daerah pengaliran atau catchment area (km2)
C = koefisien pengaliran
2𝑡c
CS = koefisien penyimpanan (storage factor) = ⁄(2𝑡 + 𝑡 )
c d
Koefisien penyimpanan (CS) adalah koefisien pengurangan debit banjir rencana akibat adanya
penyimpanan atau penampungan debit banjir di saluran maupun genangan di daerah tangkapan.
Untuk saluran tersier dengan daerah tangkapan kecil dan bebas banjir, koefisien CS mempunyai
nilai satu (CS = 1). Untuk saluran primer dengan luas daerah tangkapan besar dan masih diizinkan
terjadi genangan, koefisien CS mempunyai nilai kurang dari satu (CS < 1).
54
sedang maupun kecil. Penampang parabola digunakan untuk saluran alami ukuran sedang dan
kecil. Modifikasi bentuk persegi panjang dan segitiga dapat dibulatkan pada dasar penampang
akibat penggalian dengan sekop. Penampang segitiga dengan dasar dibulatkan merupakan
bentuk pendekatan parabola. Modifikasi bentuk lingkaran dapat berupa setengah lingkaran,
elips, setengah elips, bulat telur, dan tapal kuda. Tabel II.18 memperlihatkan deskripsi singkat
pemilihan berbagai bentuk tipe penampang saluran untuk berbagai kondisi.
Pada Tabel II.17, beberapa unsur-unsur geometrik penampang saluran ditampilkan untuk
dipakai dalam perhitungan dimensi saluran. Menurut Chow (1989), unsur-unsur geometrik
tersebut dapat didefinisikan sebagai berikut:
a) Kedalaman aliran (depth of flow), y, adalah jarak vertikal titik terendah pada penampang
saluran hingga ke permukaan bebas. Istilah ini sering kali disalahtafsirkan dengan kedalaman
penampang aliran (depth of flow section), d, dengan definisi tinggi penampang saluran yang-
55
Tabel II.14 Penentuan debit limpasan air hujan
Jalur Tata
Daerah A H o(1) H o(2) to Ld vd td tc I Q
Saluran Guna C C·A Σ C·A L (m) S o (m) CS PUH
Pengaliran (km2) (m) (m) (menit) (m) (m/detik) (menit) (menit) (mm/jam) (m3/detik)
Dari Ke Lahan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Tabel II.16 Penentuan elevasi dasar saluran dan muka air saluran drainase perkotaan
Saluran Y F H V L Kemiringan/slope Elevasi tanah (m) Elevasi dasar Elevasi muka air
(m) (m) (m) (m/detik) (m) saluran (m) (m)
Dari Ke -3- -4- -5- -6- -7- Tanah Saluran US DS US DS US DS
-1- -2- -8- -9- -10- -11- -12- -13- -14- -15-
56
Tabel II.17 Unsur-unsur geometrik penampang saluran (Sumber: Chow, 1989)
Penampang Luas, A Keliling basah, P Jari-jari hidrolik, R Lebar puncak, T Kedalaman hidrolik, h Faktor penampang, Z
𝑏𝑦
𝑏𝑦 𝑏 + 2𝑦 𝑏 𝑦 𝑏𝑦1,5
𝑏 + 2𝑦
Persegi panjang
𝑧𝑦 √2 2,5
𝑧𝑦 2 2𝑦√1 + 𝑧 2 2𝑧𝑦 0,5𝑦 𝑧𝑦
2√1 + 𝑧 2 2
Segitiga
(sin 0,5𝜃)𝐷
1 1 1 sin 𝜃
atau
1 𝜃 − sin 𝜃 √2 (𝜃 − sin 𝜃)1,5 2,5
(𝜃 − sin 𝜃)𝐷2 𝜃𝐷 (1 − )𝐷 ( )𝐷 𝐷
8 2 4 𝜃 8 sin 0,5𝜃 32 (sin 0,5𝜃)0.5
2√𝑦(𝐷 − 𝑦)
Lingkaran
∗
8 𝑦2
𝑇+
2 3𝑇 2𝑇 2 𝑦 3𝐴 2 2
𝑇𝑦 *Perkiraan yang paling cocok 𝑦 √6𝑇𝑦1,5
3 3𝑇 2 + 8𝑦 2 2𝑦 3 9
untuk interval untuk 0<x≤1
Parabola bila x = 4y/T
𝜋 𝜋 𝜋 1,5
𝜋 ( − 2) 𝑟 2 + (𝑏 + 𝑧𝑟)𝑦 ( − 2) 𝑟 2 [( − 2) 𝑟 2 + (𝑏 + 𝑧𝑟)𝑦]
( − 2) 𝑟 2 + (𝑏 + 𝑧𝑟)𝑦 (𝜋 − 2)𝑟 + 𝑏 + 2𝑦 2 𝑏 + 2𝑟 2 2
2 +𝑦
(𝜋 − 2)𝑟 + 𝑏 + 2𝑦 𝑏 + 2𝑟 √𝑏 + 2𝑟
Persegi panjang
sisi yang dibulatkan
𝑇2 𝑟2
𝑇2 𝑟2 𝑇 2𝑟 𝐴 − (1 − 𝑧 cot −1 𝑧) 𝐴
− (1 − 𝑧 cot −1 𝑧) √1 + 𝑧 2 − (1 − 𝑧 cot −1 𝑧) 2 [𝑧(𝑦 − 𝑟) + 𝑟√1 + 𝑧2 ] 4𝑧 𝑧 𝐴ඨ
4𝑧 𝑧 𝑧 𝑧 𝑃 2[𝑧(𝑦 − 𝑟) + 𝑟√1 + 𝑧 2 ] 𝑇
Segitiga,
dasar dibulatkan
57
diliputi air. Untuk saluran dengan sudut kemiringan θ, dapat dilihat bahwa y sama dengan d
dibagi cos θ. Dengan demikian, kedua istilah ini harus dibedakan penggunaannya.
b) Luas basah (water area), A, adalah luas penampang melintang aliran yang tegak lurus arah
aliran.
c) Keliling basah (wetted perimeter), P, adalah panjang garis perpotongan dari permukaan basah
saluran dengan bidang penampang melintang yang tegak lurus arah aliran.
d) Jari-jari hidrolik (hydraulic depth), R, adalah rasio luas basah dengan keliling basah, atau:
𝐴
𝑅= (II − 15)
𝑃
e) Lebar puncak (top width), T, adalah lebar penampang aluran pada permukaan bebas.
f) Kedalaman hidrolik (hydraulic depth), h, adalah rasio luas basah dengan lebar puncak, atau:
𝐴
ℎ= (II − 16)
𝑇
g) Faktor penampang (section factor), Z, untuk perhitungan aliran kritis adalah perkalian antara
luas basah dan akar kedalaman hidrolik, atau:
𝐴
𝑍 = 𝐴√ℎ = 𝐴ඨ (II − 17)
𝑇
Tinggi jagaan (freeboard) adalah jarak vertikal dari sisi atas saluran ke permukaan air. Jarak
ini digunakan untuk mencegah air dari dalam saluran keluar menuju tepi saluran akibat
gelombang permukaan air. Tinggi jagaan untuk saluran terbuka dengan permukaan diperkeras
(lining) ditentukan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan antara lain:
a) Ukuran saluran
b) Kecepatan pengaliran
c) Arah dan lengkung (belokan) saluran
d) Debit banjir
e) Gelombang permukaan akibat tekanan aliran angin
Tinggi jagaan dapat diestimasi melalui persamaan:
58
Tabel II.18 Deskripsi kriteria penampang saluran drainase perkotaan
No. Bentuk Deskripsi pemilihan
penampang
1. Persegi • Digunakan apabila debit (Q) besar
panjang • Muka air maksimum dalam saluran harus berjarak 5 cm dari tepi atas saluran
(untuk saluran besar) dan 10 cm dari tepi atas saluran (untuk saluran kecil).
Pada saluran besar/lebar, perbedaan tinggi air 1 cm saja sudah memberikan
Q yang besar.
• Saluran dibuat dari pasangan batu atau beton bertulang. Untuk saluran yang
besar (lebar), bagian dasar saluran tidak diperkeras, tetapi berupa tanah.
• Pada dinding saluran, lubang-lubang drainase (wheep holes) dibuat dengan
pemberian lapisan ijuk di bagian belakang dinding.
2. Segitiga. • Bila Q kecil
• Daerah pengaliran kecil
• Kecepatan besar sehingga cocok untuk daerah berpasir.
• Ekonomis jika sudut kemiringan dinding saluran 45ᵒ dan dasar bawah
saluran tidak perlu dibulatkan.
• Sebaiknya, saluran diperkeras (diberi lapisan dinding dari pasangan batu
muka atau beton tipis) untuk mencegah erosi jika kemiringan dasar saluran
cukup besar. Pelaksanaan perkerasan harus dari ujung bawah ke atas (dari
hilir ke hulu), agar saluran dapat berfungsi saat ada hujan.
3. Setengah • Bila Q kecil
lingkaran • Daerah pengaliran kecil
• Kecepatan aliran kecil
• Dibuat dari beton tumbuk dengan panjang 1 meter.
• Diletakkan pada gang atau jalan kecil
4. Trapesium • Baik untuk Q besar
• Bentuk ini ekonomis jika sudut kemiringan dinding saluran 60ᵒ.
• Dinding saluran diperkeras dengan pasangan batu muka atau beton tipis
(tidak ada tekanan tanah dari samping)
• Pada dinding saluran, lubang-lubang drainase (wheep holes) perlu dibuat
untuk mengalirkan air tanah dalam mengurangi tekanan air tanah. Di
belakang lubang-lubang tersebut, lapisan ijuk diberikan untuk mencegah
butiran tanah terbawa keluar yang bisa menyebabkan pembentukan rongga-
rongga di belakang dinding saluran sehingga saluran menjadi retak/pecah.
• Pada dinding saluran dari beton, sambungan muai-susut (sambungan
dilatasi) diperlukan setiap panjang 5–10 m. Bila digunakan beton bertulang,
sambungan diperlukan setiap 15–20 m.
5. Lingkaran • Digunakan bila debit konstan (Qmaks ~ Qmin)
• Dibuat dari bahan beton tumbuk atau tanah liat yang dibakar dengan panjang
± 1 meter setiap bagian.
6. Bulat telur • Digunakan apabila Qmaks dan Qmin tidak konstan
• Dimaksudkan untuk memperoleh ymin yang cukup guna dapat mengalirkan
benda-benda hanyutan; ymin dapat diperbesar dengan memperkecil r2 (≤ 0,5
r 1)
7. Elips Digunakan bila dijumpai keadaan-keadaan yang memaksa (sebagai ganti
bentuk lingkaran).
8. Tapal kuda Digunakan apabila Q besar dan konstan (Qmaks Qmin), dan y terbatas.
59
Tabel II.19 Koefisien tinggi jagaan (C) terhadap debit aliran
C Debit aliran (m3/detik)
C ≤ 0,14 Q < 0,6
0,14 < C ≤ 0,23 0,6 < Q < 8,0
C > 0,23 Q > 8,0
(Sumber: Sukarto, 1999)
Tabel II.20 menjelaskan hubungan antara debit dan tinggi jagaan minimum.
Perbandingan antara lebar dengan dalam saluran, yaitu w = b/H ketika H = y + tinggi jagaan
(F) ditentukan sesuai Tabel II.21.
60
Tugas Praktikum-6 (Pertemuan ke-7)
Penentuan dimensi saluran
1. Buat tabel sesuai dengan contoh pada Tabel II.15.
2. Dimensi saluran dibuat dengan penampang berbentuk trapesium dengan θ = 60ᵒ. Tentukan
nilai z.
3. Isi kolom ke-1 dan ke-2 dengan nomor node pada segmen saluran.
4. Isi kolom ke-3 dengan debit aliran berdasarkan hasil perhitungan di Tabel II.14 pada kolom
ke-20.
5. Asumsikan lebar saluran (b) terlebih dahulu pada kolom ke-4.
6. Isi kolom ke-5 dengan kecepatan aliran (vd) berdasarkan hasil perhitungan di Tabel II.14 pada
kolom ke-14.
7. Tentukan nilai y pada kolom ke-6 berdasarkan pendekatan dari hukum kontinuitas:
𝑄 = 𝑣d ∙ 𝐴
Melalui subtitusi nilai A (Tabel II.17), nilai y dapat diperoleh melalui persamaan:
√𝑣d (𝑏 2 𝑣d + 4𝑄𝑧)−𝑏𝑣d
𝑌=
2 ∙ 𝑣d ∙ 𝑧
8. Inputkan nilai C pada kolom ke-7 berdasarkan Tabel II.19 sesuai dengan debit perencananaan.
9. Tentukan nilai F sesuai dengan Persamaan (II–18) pada kolom ke-8.
10. Tentukan nilai H pada kolom ke-9 berdasarkan penjumlahan nilai y dan F.
11. Tentukan nilai rasio w pada kolom ke-10 dan bandingkan dengan kisaran nilai w pada Tabel
II.21. Apabila rasio w tidak terpenuhi, ubahlah asumsi nilai b hingga nilai w dapat terpenuhi
sesuai dengan acuan debit perencanaan.
12. Tentukan nilai P, R, T, h, Z dari kolom ke-11 hingga ke-15 sesuai dengan persamaan pada
Tabel II.14.
13. Tentukan kemiringan/slope saluran (S) pada kolom ke-16 melalui persamaan:
2
𝑣d ∙ 𝑛
𝑆=( 2⁄ )
𝑅 3
61
f) Elevasi dasar saluran (EDS)
− EDS awal (US) = ET awal (US) – H = (406,9 – 0,87) m = 406,03 m
Karena kemiringan tanah dan kemiringan pipa sama, maka:
− EDS akhir (DS) = ET akhir (DS) – H = (402,92 – 0,87) m = 402,05 m
Karena pada titik ke-2 mengalami penambahan kedalaman (w) pada jalur 2-3, maka:
− EDS akhir (DS)= 405,05 - (H2-3 – H1-2) = 405,05 – (0,907 –- 0,87) m = 402,01 m
Dengan demikian, EDS1-2 akhir akan sama dengan EDS2-3 awal.
g) Elevasi muka air (EMA)
− EMA awal (US)= EDS awal (US)+ y = (406,03 + 0,576) m = 406,6 m
− EMA akhir (DS) = EDS akhir (DS)+ y = (402,01 + 0,576) m = 402,586 m
Karena pada titik ke-2 mengalami penambahan kedalaman (H) maka seharusnya EMA akhir
jalur 1-2:
− EMA akhir (DS) = 402,586 + (y2-3 – y1-2) = 402,586 m + (0,605 – 0,576) m
= 402,6 m
Dengan demikian, EMA1-2 akhir akan sama dengan EMA2-3 awal.
62
b) Inlets
Inlets sangat berguna untuk mengatur kuantitas aliran yang masuk dari permukaan jalan.
Kapasitas dan ukuran inlets mempengaruhi pembagian aliran antara saluran bawah tanah
dengan parit. Bila aliran masuk lebih besar dari kapasitas saluran, maka banjir atau genangan
akan terjadi. Oleh karena itu, desain inlets harus memperhatikan:
− Inlets harus mempunyai kapasitas aliran yang lebih atau sama besar dengan aliran puncak
limpasan air hujan. Untuk itu, desain inlets dirancang agar dapat menangkap aliran dari
permukaan jalan sebanyak mungkin.
− Untuk intensitas hujan yang lebih besar dari kapasitas saluran, kapasitas inlets harus
terkontrol sehingga aliran air yang ada harus dapat ditangkap oleh sistem drainase.
Beberapa jenis-jenis inlets diantaranya:
− Curb inlets, sangat efektif digunakan pada aliran yang membawa padatan penyumbat saluran,
seperti pasir.
− Gutter inlets, baik untuk mengalirkan air dalam kapasitas kecil, tetapi kurang efektif untuk
menahan masuknya padatan-padatan yang terbawa oleh arus.
− Inlets kombinasi antara curb inlets dan gutter inlets.
c) Bak Perangkap
Bak perangkap adalah sebuah kolam yang dibuat di bawah inlets. Fungsi utama dari
perangkap ini adalah untuk mencegah padatan masuk pada saluran drainase. Buangan padatan
ditangkap oleh bak pengendap untuk dipisahkan antara padatan berat dan padatan ringan yang
akan muncul ke permukaan. Kadangkala bak perangkap dilengkapi dengan saringan untuk
memisahkan bermacam-macam padatan dan polutan. Bak perangkap dilengkapi dengan pompa
pada saluran dengan kemiringan relatif datar, ketika terdapat endapan pada saluran dan
akhirnya akan mengurangi kapasitas sistem saluran drainase.
63
d) Bangunan Terjun
Bangunan terjun digunakan untuk menghindari saluran yang terlalu curam sehingga
kecepatan aliran tidak melebihi 3 m/detik untuk menghindari pengikisan pada dinding saluran.
Oleh karena itu, dasar saluran dibuat tidak mengikuti kemiringan muka tanah, tetapi dibuat
normal tidak melebihi kemiringan terbesar yang diizinkan. Saluran dibagi atas ruas-ruas dan tiap
ruas dihubungkan dengan bangunan terjun. Batas ketinggian bangunan terjun adalah 2 meter.
Untuk di dalam kota, biasanya bangunan terjun sekitar 0,5–1,0 meter.
e) Gorong-gorong
Gorong-gorong dibangun pada saluran drainase yang mengalir di bawah bangunan seperti
jalan, jembatan, rel kereta api, dan sebagainya. Biasanya gorong-gorong membutuhkan
pemeliharaan yang lebih intensif dibanding perangkat lainnya. Agar tidak menghambat
pergerakan, gorong-gorong sebaiknya dibangun landai agar tidak terjadi endapan.
64
Gambar II.10 Potongan memanjang dan melintang gorong-gorong
f) Kolam Olakan
Kolam olakan berfungsi untuk meredam energi air pada hilir bangunan terjun atau pada lokasi
yang dapat mengakibatkan pengikisan.
65
III. RANCANGAN PENGOLAHAN AIR LIMBAH
III.1. Pendahuluan
Tingkat aktivitas manusia terus meningkat seiring dengan pertambahan jumlah penduduk
sebagai usaha perbaikan taraf hidup dan kesejahteraan. Komponen vital penunjang aktivitas
manusia adalah air. Tidak hanya sebagai media pembantu pada proses metabolisme tubuh
manusia, air dibutuhkan dalam berbagai proses produksi industri. Hingga kini, sektor tersebut
terus digalakkan oleh pemerintah Indonesia sebagai usaha peningkatan pendapatan negara.
Semakin besar peningkatan area industri dan perumahan, maka semakin berat lingkungan
menetralisasi air limbah dari sisa penggunaan air bersih. Di Indonesia, sebagian besar kuantitas
air limbah langsung dibuang ke badan sungai, tanpa melalui pengolahan (treatment) untuk
mereduksi kontaminan berbahaya. Kondisi tersebut mengancam kelestarian lingkungan karena
kemampuan lingkungan memulihkan kondisi secara alami (self purification) mempunyai batasan.
Berdasarkan permasalahan tersebut, bangunan pengolahan air limbah diperlukan untuk
menurunkan tingkat pencemaran, melindungi ekosistem perairan, dan menurunkan beban
tingkat pengolahan pada instalasi pengolahan air minum menurut standar yang ditetapkan.
Penggunaan standar mengacu pada standar aliran (stream standard) dan standar efluen
(effluent standard). Standar aliran merupakan standar ambang batas kualitas air limbah ketika
tercampur pada badan air penerima. Standar efluen merupakan standar ambang batas kualitas
air limbah ketika air limbah dihasilkan dari sumber sebelum memasuki badan air penerima.
Standar efluen mempunyai nilai ambang batas lebih ketat dibandingkan standar aliran,
tergantung dari jenis produksi.
Tujuan pengolahan air limbah untuk:
a) menghilangkan material tersuspensi terlarut;
b) mengolah bahan organik biodegradable;
c) menghilangkan organisme patogen;
d) mereduksi komponen organik toksik; dan
e) menghilangkan kontaminan lain seperti bahan organik sukar larut, anorganik terlarut, dan
lain-lain.
Berdasarkan tujuan tersebut, rancangan instalasi pengolahan perlu direncanakan dengan tepat
untuk memperbaiki mutu air di dalam satu kesatuan unsur fungsional (sumber, proses setempat,
66
pengumpul, penyaluran, pengolahan dan pembuangan) yang tidak dapat dipisahkan dalam
perencanaan sanitasi lingkungan. Tujuan rancangan Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL)
adalah sebagai dasar usulan dan rekomendasi yang layak dari sisi teknis, ekonomi, dan
lingkungan untuk memudahkan pengelolaan lingkungan secara global terhadap ancaman limbah
cair.
67
lain-lain. Menurut Metcalf & Eddy Inc. et al. (2013) dan Qasim (1999), besar infiltrasi rata-
rata sebesar 0,2-28 m3/hari/ha, sedangkan faktor inflow musim hujan dapat menambah
besar faktor infiltrasi hingga mencapai 470 m3/hari ha. Nilai faktor ini sangat tergantung pada
kualitas material, kualitas konstruksi sistem perpipaan, kualitas pemeliharaan sistem, dan
elevasi air tanah.
(ii) Kualitas air limbah
Nilai ini berupa zat-zat, senyawa-senyawa, atau partikel-partikel di dalam air limbah.
Komponen tersebut berkaitan dengan penentuan rencana rancangan unit operasi maupun
unit proses dan kualitas efluen air limbah dari IPAL. Kualitas air limbah terdiri atas
karakteristik fisika, kimiawi dan biologis. Karakteristik air limbah dijabarkan lebih terperinci
pada sub-bab III.3.
68
Beberapa analisis penentuan ciri-ciri fisik, kimiawi dan biologis dari kontaminan di dalam air
limbah dapat dilihat pada Tabel III.1.
69
Singkatan/
Pengujian Keterangan
Definisi
Ukuran kebutuhan jumlah oksigen
Kebutuhan oksigen biokimia karbon
BODL untuk menstabilkan limbah secara
tertinggi.
biologis.
Ukuran kebutuhan jumlah oksigen
untuk mengoksidasi secara biologis
Kebutuhan oksigen pada bahan NOD
unsur nitrogen dalam air limbah
nitrogen
menjadi nitrat.
Ciri-ciri biologis:
Batas toleransi Pengujian kadar racun pada air limbah.
Kadar racun, 96 jam - TLM
tengah 96 jam
Jumlah terbanyak Pengujian keberadaan bakteri patogen
Organisme coliform yang mungkin ada dan efektivitas proses klorinasi.
(MPN)
Pengkajian keberadaan organisme
Tumbuh-
khusus sehubungan dengan operasi
Organisme mikro khusus tumbuhan,
instalasi dan penggunaan kembali air
protista, virus.
limbah.
(Sumber: Linsley et al., 1991)
Pengujian karakteristik air limbah secara berkala diperlukan saat air limbah sebelum diolah
(influen), maupun telah diolah dan meninggalkan instalasi pengolahan (effluen) karena ciri-ciri
fisik dan kimiawi air limbah bervariasi sepanjang hari. Penentuan karakteristik air limbah akan
berhasil apabila contoh uji (sample) mewakili keseluruhan.
Air limbah domestik dan non domestik sebaiknya dirancang pada sistem pengolahan terpisah.
Kedua jenis limbah tersebut dapat dicampur dengan konsentrasi beban pencemar bila
dihadapkan beberapa kendala melalui pendekatan Persamaan (III–1).
Persamaan (IV-1) di atas dapat pula digunakan ketika air limbah bercampur di badan air.
Perhitungan konsentrasi campuran tiap parameter menggunakan debit sungai minimum dan
konsentrasi maksimum dari tiap parameter kontaminan air limbah karena kondisi sungai berada
dalam keadaan ekstrim.
70
III.4. Evaluasi Air Limbah Terhadap Standar
Salah satu cara tindakan preventif pencemaran air adalah penetapan standar pengawasan
terhadap kualitas air limbah dan badan air penerima. Standar tersebut didefinisikan sebagai
baku mutu. Baku mutu dibutuhkan sebagai monitoring efektivitas proses pengolahan air limbah
secara tepat guna. Dua jenis standar digunakan untuk penilaian evaluasi kualitas lingkungan
akibat input air limbah, yaitu standar aliran (stream standard) dan standar efluen (effluent
standard). Evaluasi kualitas air limbah dilakukan melalui perbandingan hasil data karakteristik
air limbah dan jenis standar terpilih. Proses evaluasi diperlukan sebagai penentu kompleksitas
pengolahan untuk mereduksi beberapa parameter air limbah yang tidak memenuhi baku mutu
dan sebagai tolak ukur awal perkiraan efisiensi pengolahan sehingga unit-unit pengolahan di
dalam perencanaan pengolahan air limbah dapat ditentukan.
71
umum digunakan saat sungai dalam kondisi masih baik. Penggunaan regulasi untuk evaluasi
standar aliran kualitas air limbah di Indonesia adalah Peraturan Pemerintah Nomor 82 tahun
2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air.
72
Tabel III.2 Unit pengolahan fisik pada pengolahan air limbah
Nama Unit Penggunaan
Bar Screen Pembuangan padatan kasar melalui cara pencegatan (penapisan permukaan).
Comminutor Penggilingan bahan padat kasar menjadi ukuran homogen.
Ekualisasi Penyeragaman aliran dan beban massa BOD, COD, serta padatan.
Pencampuran bahan-bahan kimia dan gas-gas dalam air limbah, serta menjaga
Mixing
bahan padat tetap terapung.
Penggumpalan partikel-partikel kecil menjadi flok untuk memudahkan
Flokulasi
pembuangan dengan cara pengendapan secara gravitasi.
Sedimentasi Pengendapan bahan padat tersuspensi dan pengentalan lumpur.
Pembuangan padatan terapung dan partikel-partikel dengan berat jenis
Flotasi
partikel mendekati berat jenis air, serta pengentalan lumpur secara biologis.
Pembuangan sisa padatan halus terapung setelah pengolahan secara kimiawi
Filtrasi
dan biologis.
Serupa dengan filtrasi, serta pembuangan ganggang dari efluen kolam
Microscreen
stabilisasi.
(Sumber: Metcalf & Eddy Inc. et al., 2013)
73
Jenis Nama Unit Penggunaan
Proses Anoxic
Suspended Growth Suspended growth denitrification
Denitrifikasi
Attached Growth Fixed bed denitrification
Proses Anaerobik
Anaerobic digestion
a. Laju standar, satu tahap Stabilisasi, pembuangan
Suspended Growth b. Kecepatan tinggi, satu tahap BOD karbon
c. Dua tahap
Kontak anaerobik Pembuangan BOD karbon
Pembuangan BOD karbon,
Anaerobic filter
stabilisasi, denitrifikasi
Attached Growth
Pembuangan BOD karbon,
Anaerobic pond
stabilisasi
Proses Aerobik/Anoxic atau Anaerobik
Suspended Growth Pembuangan BOD karbon,
Nitrifikasi-denitrifikasi satu tahap
nitrifikasi, denitrifikasi
Attached Growth Nitrifikasi-denitrifikasi Nitrifikasi, denitrifikasi
Hybrid (proses Kolam fakultatif
gabungan Maturation Pond Pembuangan BOD karbon,
suspended-attached Kolam anaerobik-fakultatif nitrifikasi
growth) Kolam anaerobik-fakultatif-aerobik
(Sumber: Metcalf & Eddy Inc. et al., 2013)
74
Gambar III.1 Diagram urutan pengolahan air limbah menurut tingkat perlakuan
75
III.6. Alternatif Pengolahan
Alternatif pengolahan pada air limbah diperlukan untuk menganalisis reduksi bahan-bahan
organik hasil penguraian biologis dan organisme patogen sehingga fungsi-fungsi pengolahan
pada IPAL dapat dijalankan secara optimal. Dalam pemilihan alternatif pengolahan, jenis
pencemar tertentu dapat menyebabkan permasalahan berbeda-beda sehingga pemilihan unit
satuan operasi dan satuan proses perlu dilakukan secara komprehensif. Unit operasi adalah unit
pengolahan air limbah melalui transformasi secara fisika, sedangkan unit proses adalah unit
pengolahan air limbah melalui transformasi secara kimiawi. Penerapan metode pengolahan
terpilih sesuai dengan jenis pencemar dapat diamati pada Tabel III.5.
Tabel III.5. Pencemar penting dalam air limbah disertai penggunaan unit operasi dan proses
Pencemar Akibat Unit Operasi dan Unit Proses
Sedimentasi; bar screen dan
Bahan padat terapung menyebabkan comminutor; variasi-variasi
Bahan padat lumpur dalam kondisi anaerobik bila air filtrasi; flotasi; penambahan
terapung limbah tidak diolah dan dilepaskan ke polimer kimiawi/pengendapan;
badan air penerima. koagulasi/pengendapan; land
treatment systems.
Bahan organik menyebabkan sumber Variasi-variasi activated sludge;
Bahan-bahan
oksigen alamiah berkurang dan kondisi trickling filter/RBC; variasi-variasi
organik hasil
pembusukan berkembang apabila kolam (pond); filtrasi pasir
penguraian
dilepaskan ke badan air penerima tanpa terputus-putus; land treatment
biologis
diolah. systems; sistem fisika-kimiawi.
Bakteri-bakteri Bakteri patogen menyebabkan penyakit- Klorinasi; Hipoklorinasi; Ozonisasi;
patogen penyakit menular. land treatment systems.
Logam berat dari kegiatan komersial dan
industri menyebabkan pencemaran berat Pengendapan kimiawi; Pertukaran
Logam-logam
pada badan air sehingga konsentrasi logam ion (ion exchange); land treatment
berat
diusahakan untuk direduksi bila air limbah systems.
akan digunakan kembali.
Nitrogen:
Variasi-variasi nitrifikasi dan
denitrifikasi suspended growth;
variasi-variasi nitrifikasi dan
denitrifikasi fixed film bed;
Bila dilepaskan ke lingkungan air, gulma air
ammonia stripping; pertukaran
akan tumbuh scara tidak terkendali. Bila
Nutrien ion; klorinasi; land treatment.
dilepaskan ke lahan secara berlebihan, air
Phosphorus removal:
tanah dapat tercemar.
Metal salt addition/
sedimentasi; lime coagulation/
sedimentasi; biological chemical
phosphorus removal; land
treatment systems.
Bahan-bahan organik ini cenderung untuk
Bahan-bahan
menghambat metode pengolahan air Adsorpsi karbon; ozonisasi tersier;
organik yang sulit
limbah konvensional. Contohnya, surfaktan, land treatment systems.
diproses
fenol, dan pestisida pertanian.
Garam-garam Garam organik bersifat karsinogenik ketika Pertukaran ion; reverse osmosis;
anorganik terlarut memasuki sistem penyediaan air bersih. elektrodialisis.
(Sumber: Linsley et al., 1991)
76
Pemilihan proses diawali dengan pengelompokkan karakteristik kontaminan dalam air
limbah melalui penggunaan indikator parameter sesuai Tabel III.1. Dalam pengajuan alternatif
pengolahan, beberapa hal di bawah ini perlu dipertimbangkan, antara lain :
a) Beban pengolahan
Kualitas dan kuantitas influen harus dipertimbangkan untuk penentuan beban pengolahan.
Penetapan target kualitas efluen perlu dilakukan sehingga pengajuan alternatif unit pengolahan
dapat memenuhi tujuan pengolahan dalam mereduksi kontaminan berbahaya.
b) Efisiensi pengolahan
Efisiensi pengolahan tergantung pada perkiraan kemampuan unit-unit pengolahan dalam
mereduksi substansi pencemar. Nilai efisiensi pada setiap unit pengolahan dapat diamati pada
Tabel III.6. Efisiensi pengolahan dari beberapa unit umumnya telah diketahui melalui literatur
dari berbagai percobaan dan data dari unit pengolahan yang telah ada sebelumnya. Dalam
kenyataannya, nilai efisiensi dapat berubah tergantung dari karakteristik air limbah, stabilitas
proses, nutrien, variabel operasional, dan lain-lain. Namun demikian, perkiraan efisiensi masih
dibutuhkan untuk pemilihan alternatif unit pengolahan ditinjau dari aspek teknis dan ekonomi.
Tabel III.6 Tingkatan pencapaian pengolahan dari berbagai unit operasi dan unit proses
Nilai Efisiensi Penyisihan (%)
Unit Pengolahan
BOD COD TS P Org-N NH3-N
Bar screen 0 0 0 0 0 0
Grit chamber 0-5 0-5 0-5 0-5 0-5 0-5
Sedimentasi primer 30-40 30-40 50-65 10-20 10-20 0
Lumpur aktif konvensional 80-95 80-85 80-90 10-25 15-50 8-15
Trickling filter
a. High rate dengan media batu 65-80 60-80 60-85 8-12 15-50 8-15
b. Super rate dengan media plastik 65-85 65-85 65-85 8-12 15-50 8-15
Rotating biological contactor 60-85 80-85 80-85 10-25 15-50 8-15
Klorinasi 0 0 0 0 0 0
Koagulasi dan sedimentasi setelah
pengolahan primer dan sekunder 40-70 40-70 50-80 70-90 60-90 0
Koagulasi di pengolahan biologis 80-90 80-90 70-90 75-85 60-90 0
Penambahan kapur satu tahapan di
pengolahan biologis 80-90 80-90 70-80 75-85 60-90 0
Penambahan kapur dua tahapan
setelah pengolahan primer atau
pengolahan biologis 50-85 50-85 50-90 85-95 70-90 0
Ammonia stripping 0 0 0 0 0 60-95
Filtrasi 20-50 20-50 60-80 20-50 50-70 0
Adsorbsi karbon 50-85 50-85 50-80 10-30 50-70 0
Reverse osmosis 90-100 90-100 0 90-100 30-50 60-90
Elektrodialisis 20-60 20-60 0 0 80-95 30-50
Pertukaran ion 0 0 0 0 0 80-90
(Sumber: Metcalf & Eddy Inc. et al., 2013; Qasim, 1999)
77
Gambar III.2 Diagram alir pengolahan air limbah dan lumpur (biosolids): (a) konvensional pengolahan
primer dan sekunder tipe lumpur aktif (activated sludge), (b) alternatif pengolahan biologis
menggunakan biological nutrient removal (BNR), (c) pengolahan air limbah lanjutan, (d) pengolahan
lumpur dari unit sedimentasi primer dan unit sedimentasi sekunder (excess biological sludge).
(Sumber: Metcalf & Eddy Inc. et al., 2013)
78
c) Aspek ekonomi
Aspek ini mencakup pembiayaan untuk konstruksi, pemeliharaan, dan operasional.
d) Aspek teknis
Aspek teknis mencakup ketersediaan lahan, kemudahan teknis pelaksanaan, dan pengadaan
material dalam pembangunan instalasi. Selain itu, aspek ini juga harus mempertimbangkan
prosedur operasional, ketersediaan tenaga ahli, kemudahan dalam pengadaan barang-barang
penunjang operasional. dan juga pemeliharaan instalasi.
e) Aspek lingkungan
Pengaruh keberadaan instalasi terhadap lingkungan sekitar harus dipertimbangkan dalam
memilih alternatif pengolahan. Prinsip-prinsip dasar pemilihan lokasi instalasi, yaitu (Qasim,
1999):
− Kondisi topografi lokasi instalasi lebih rendah dari daerah pelayanan sehingga
memungkinkan pengaliran secara gravitasi.
− Lokasi instalasi mempunyai lahan yang cukup sehingga mampu mengantisipasi pertambahan
kapasitas air limbah di masa depan.
− Lokasi instalasi bukan merupakan daerah rawan banjir.
− Lokasi instalasi mempunyai jarak yang dekat dengan badan air penerima.
− Lokasi instalasi harus memperhatikan rencana pengembangan dan pemanfaatan lahan kota
79
Gambar III.2 (b) menunjukkan opsi lain pengolahan biologis berupa biological nutrient
removal (BNR). Unit pengolahan ini dibutuhkan untuk membatasi proses eutrofikasi pada badan
air penerima. Diagram alir pada Gambar III.2 (b) serupa dengan Gambar III.2 (a), kecuali
penggunaan unit pengolahan biologis yang lebih kompleks. Ketika air siap minum menjadi opsi
dari produksi air limbah, pengolahan lanjutan dibutuhkan setelah pengolahan sekunder
(secondary treatment) untuk menghilangkan residu tersuspensi, koloid, bahan terlarut (Gambar
III.2 (c)). Konfigurasi pengolahan lanjutan ini menjadi kompleks tergantung dari konsentrasi
parameter air limbah setelah melalui proses biologis. Pengolahan lumpur sangat dibutuhkan
ketika sedimentasi primer dan sedimentasi sekunder menghasilkan lumpur sehingga
membutuhkan proses peningkatan kadar padatan lumpur melalui thickening, stabilisasi secara
anaerobik melalui anaerobic digester, serta pengeringan melalui dewatering (Gambar III.2 (d)).
Pengolahan opsional cairan dalam bentuk supernatant hasil dari thickening dan dewatering dapat
ditambahkan apabila standar tidak terpenuhi ketika dibuang ke lingkungan.
Input dan output mengacu pada pengangkutan bersih zat ke dalam reaktor, penurunan selama
proses mengacu pada produksi atau destruksi bersih oleh reaksi atau proses fisik, dan akumulasi
adalah jumlah tersisa.
Pada aplikasi di lapangan, penggunaan analisis kesetimbangan massa dan aliran hidrolik
terkadang sulit diterapkan karena proses pengolahan air limbah sangat dinamis dan variabilitas
pembebanan efluen tidak diketahui dengan pasti (Puig et al., 2008). Dengan demikian, tanpa
pemeriksaan keakuratan data IPAL, informasi terukur melalui analisis kemungkinan akan
mengandung tingkat kesalahan cukup besar. Untuk mencegah ketidakpastian data tersebut, nilai
keamanan (safety factor) perlu diinputkan ke dalam kalkulasi desain dan operasi (Bixio et al.,
2002).
80
Tugas Praktikum-7 (Pertemuan ke-8)
Desain perencanaan saluran penyaluran air limbah di Kota Banyuasih telah selesai dilakukan pada
bab terdahulu sehingga menghasilkan estimasi debit rata-rata (Qr) dan debit puncak (Qp) sebagai
data kuantitas air limbah untuk perencanaan IPAL. Di dalam pelaksanaannya, data sekunder debit
fluktuasi, konsentrasi BOD, dan konsentrasi SS selama 24 jam, serta data kualitas air limbah dapat
dilampirkan pada tabel di bawah ini.
81
No. Parameter Konsentrasi (mg/L)
4. Karbon organik total (TOC)
5. Kebutuhan oksigen kimiawi (COD)
6. Nitrogen (total sebagai N)
7. Fosfor (total sebagai P)
8. Klorida
9. Sulfat
10. Alkalinitas (sebagai CaCO3)
11. Lemak
1. Lihat standar efluen untuk Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 112 Tahun
2003 dan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor
P.68/MENLHK-SETJEN/2016.Perubahan apa yang terjadi terhadap nilai parameter kualitas air
limbah pada kedua peraturan tersebut? Berikan penjelasan secara detil.
2. Lihat standar aliran untuk Peraturan Pemerintah Nomor 82 tahun 2001. Berikan penjelasan
terhadap klasifikasi mutu air berikut nilai kualitas air dari setiap kelas mutu air tersebut.
3. Bandingkan parameter air limbah domestik Kota Banyuasih dengan standar efluen dan aliran.
4. Standar mana yang harus dilihat untuk penentuan efisiensi di dalam perencanaan unit IPAL?
Berikan penjelasan secara detil.
5. Hitung efisiensi konsentrasi setiap parameter pencemar untuk mencapai standar minimal baku
mutu terpilih.
6. Buatlah diagram alternatif konfigurasi/runtutan unit pengolahan air limbah menggunakan
persentase nilai efisiensi penyisihan setiap unit (Tabel III.6), dengan pilihan proses biologis
suspended growth dan attached growth berdasarkan Gambar III.1.
7. Tentukan pilihan terbaik berdasarkan dari perkiraan akhir konsentrasi pencemar.
82
III.7, sedangkan persamaan kesetimbangan untuk debit aliran air limbah tersaji pada Tabel III.8.
Dari tabel tersebut, setiap aliran akan mengalami kesetimbangan pada setiap unit pengolahan,
baik di influen atapun efluen. Persamaan tersebut tidak bersifat independen, melainkan dibangun
dari keseimbangan aliran tiap unit pengolahan sehingga persamaan dapat berubah seiring
dengan adanya modifikasi unit atapun perubahan pola aliran.
Gambar III.3 Contoh diagram alir kesetimbangan massa pada IPAL menggunakan lumpur aktif
(Sumber: Droste, 1997)
Tabel III.7 Deskripsi variabel kesetimbangan massa dan debit aliran air limbah
Notasi Deskripsi
S0 Konsentrasi BOD (dan/atau COD) influen (mg/L)
X0 Konsentrasi influen TSS (tidak termasuk screening dan grit chamber)
Q0 Debit aliran influen (m3/hari)
Qsc Debit aliran setelah screening (m3/hari)
Qscw Laju volumetrik screening (m3/detik)
Xscw Jumlah material yang terkumpul di screening (m3/1000 m3)
Qg Debit aliran setelah grit chamber (m3/hari)
Qgw Laju volumetrik grit chamber (m3/detik)
Xgw Jumlah pasir yang terkumpul di grit chamber (m3/1000 m3)
Qp0 Total debit aliran yang masuk ke sedimentasi primer (m3/hari)
Xp0 Total konsentrasi TSS influen sedimentasi primer (mg/L)
Qp Debit aliran supernatan efluen sedimentasi primer (m3/hari)
Xp Konsentrasi TSS supernatan efluen sedimentasi primer (mg/L)
Sp Konsentrasi BOD (dan/atau COD) efluen sedimentasi primer (mg/L)
Xup Konsentrasi TSS aliran bawah (underflow) efluen sedimentasi primer (kg/L)
Qup Debit aliran bawah (underflow) efluen sedimentasi primer (m3/hari)
QA Debit aliran efluen aerasi-lumpur aktif (m3/hari)
SA Konsentrasi BOD (dan/atau COD) efluen aerasi-lumpur aktif (mg/L)
QS Debit aliran supernatan efluen sedimentasi sekunder (m 3/hari)
XS Konsentrasi TSS supernatan efluen sedimentasi sekunder (mg/L)
QuS Debit aliran bawah (underflow) efluen sedimentasi sekunder (m3/hari)
83
Notasi Deskripsi
XuS Konsentrasi TSS aliran bawah (underflow) efluen sedimentasi sekunder (mg/L)
r rasio debit aliran recycle sedimentasi sekunder ke debit aliran efluen sedimentasi primer
Qf Debit aliran efluen desinfeksi (m3/hari)
Qw Debit aliran limbah lumpur aktif dari sedimentasi sekunder (m3/hari)
Qt Debit aliran bawah (underflow) efluen thickener (m3/hari)
Xt Konsentrasi TSS aliran bawah (underflow) efluen thickener (kg/L)
QtS Debit aliran supernatan efluen thickener menuju influen sedimentasi primer (m3/hari)
XtS Konsentrasi TSS supernatan efluen thickener menuju influen sedimentasi primer (mg/L)
Qd Debit aliran bawah (underflow) efluen digester anaerobik (m3/hari)
Xd Konsentrasi TSS aliran bawah (underflow) efluen digester anaerobik (g/L)
Qpl Laju aliran conditioning polimer untuk sentrifugasi (m3/hari)
Xpl Konsentrasi TSS polimer untuk sentrifugasi (kg/L)
Qck Debit volumetrik pembuangan padatan kering (cake) dari centrifuge (m3/hari)
Xck Konsentrasi TSS padatan kering (cake) efluen sentrifugasi (kg/L)
Qct Debit aliran centrate dari sentrifugasi menuju influen sedimentasi primer (m3/hari)
Xct Konsentrasi TSS centrate dari sentrifugasi menuju influen sedimentasi primer (mg/L)
84
b) Grit chamber
Serupa dengan screening, konsentrasi padatan pada influen tidak mengalami perubahan
signifikan. Konsentrasi pasir (grit) yang terkumpul (Xgw) berdasarkan basis volume sebesar 0,008
m3/1000 m3.
c) Sedimentasi primer
Kesetimbangan padatan:
Tidak ada perubahan X0 pada dua unit pengolahan awal.
𝑄p 𝑋p
= 𝑅p (III − 18)
𝑄p0 𝑋p
Kesetimbangan substrat:
Tidak ada perubahan konsentrasi BOD (dan/atau COD) pada dua unit pengolahan awal pada
aliran Qct dan Qts. Nilai reduksi BOD (dan/atau COD) di sedimentasi primer (fpBOD) sebesar 30-
40% (Tabel III.6). BOD (dan/atau COD) pada aliran bawah (underflow) sedimentasi primer
juga diabaikan sehingga kesetimbangan substrat menjadi:
Persamaan (III–19) di atas menggambarkan reduksi BOD (dan/atau COD) pada sedimentasi
primer.
85
Kesetimbangan substrat:
Kesetimbangan substrat untuk bak aerasi termasuk nilai S untuk reduksi konsentrasi BOD
(dan/atau COD):
𝑄p 𝑆p + 𝑟 𝑄p 𝑆A = 𝑄A 𝑆A + ∆𝑆 (IV − 21)
Untuk menentukan X pada Persamaan (III–21), koefisien hasil (yield) bersih (Y) telah
diketahui pada data informasi awal. ΔX berdasarkan reduksi BOD (dan/atau COD) pada bak
aerasi adalah:
∆𝑋 = 𝑌 ∆𝑆 (III − 22)
e) Sedimentasi sekunder
Kesetimbangan padatan pada unit sedimentasi sekunder adalah:
Tidak ada perubahan konsentrasi padatan ketika QuS terpecah menjadi Qp dan Qw.
f) Desinfeksi
Tidak ada perubahan pada konsentrasi TSS di bak desinfeksi karena klorin merupakan zat
terlarut. Jumlah BOD (dan/atau COD) sangat kecil ketika dioksidasi oleh klorin sehingga dapat
diabaikan.
g) Thickener
Rasio pengumpulan di thickener didefinisikan sebagai Ct.
h) Digester anaerobik
Reduksi padatan pada digester anaerobik diketahui dengan menggunakan faktor fAD:
i) Sentrifugasi (dewatering)
Laju pembubuhan dosis polimer didefinisikan sebagai Dpt. Rasio pengumpulan di sentrifugasi
didefinisikan melalui notasi Cc.
86
(𝑄pt 𝑋pt )/(𝑄d 𝑋d ) = 𝐷pt (III − 27)
𝑄ck 𝑋ck
= 𝐶c (III − 29)
𝑄d 𝑋𝑑 + 𝑄pl 𝑋pl
87
DAFTAR PUSTAKA
Bixio, D., Parmentier, G., Rousseau, D., Verdonck, F., Meirlaen, J., Vanrolleghem, P.A. Thoeye, C., 2, 2002. A
quantitative risk analysis tool for design/simulation of wastewater treatment plants. Water Sci.
Techno 46, 301–307. https://doi.org/10.1016/j.watres.2008.08.009
Droste, R.R., 1997. Theory and Practice of Water and Wastewater Treatment, 2nd ed. John Wiley & Sons
Inc., New York.
Giles, R. V., Evett, J.B., Liu, C., 1994. Fluid Mechanics and Hydraulics. McGraw-Hill, New York.
Indrasti, N.S., Fauzi, A.M., 2009. Produksi Bersih. IPB Press, Bogor.
Kurniawan, A., 2013. Konsep Kesetimbangan Massa dan Aliran Hidrolik Model Completely Mixed Pada
Unit Pengolahan Air Limbah Industri, in: Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Sumberdaya Alam
Dan Lingkungan: Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Alam Dan Lingkungan Dalam Mewujudkan
Pembangunan Berkelanjutan. Semarang, pp. 447–454.
Linsley, R.K., Franzini, J.B., Freyberg, D.L., Tchobanoglous, G., 1991. Water Resources Engineering, 4th ed.
McGraw-Hill, New York.
Metcalf & Eddy Inc., AECOM, Tchobanoglous, G., Stensel, H.D., Tsuchihashi, R., Burton, F., 2013.
Wastewater Engineering: Treatment and Resource Recovery. McGraw-Hill, New York.
Morimura, T., 2000. Perancangan dan Pemeliharaan Sistem Plambing. Pradnya Paramita, Jakarta.
Puig, S., van Loosdrecht, M.C.M., Colprim, J., Meijer, S.C.F., 2008. Data evaluation of full-scale wastewater
treatment plants by mass balance. Water Res. 42, 4645–4655.
https://doi.org/10.1016/j.watres.2008.08.009
Qasim, S.R., 1999. Wastewater Treatment Plants: Planning, Design, and Operation, 2nd ed. CRC Press,
Boca Raton.
Soemarto, C.D., 1999. Hidrologi Teknik, 2nd ed. Erlangga, Jakarta.
Water Environment Federation, American Society of Civil Engineers, The Environmental and Water
Resources Institute, 2009. Design of Municipal Wastewater Treatment Plants - Volume 1: Planning and
Configuration of Wastewater Treatment Plants, 5th ed. McGraw-Hill, New York.
88