Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH PSIKOLOGI POSITIF

Mindfulness, Flow, and Spirituality

Disusun Oleh:

Amalia Safitri

1707101130005

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SYIAH KUALA
BANDA ACEH
2019
A. Mindfulness
1. Pengertian Mindfulness
Mindfulness dalam bahasa Inggris merupakan kata yang cukup lama yang
mengindikasikan kualitas menjadi sadar (aware) dan pemusatan perhatian (Kabat-
Zinn, 2013). Mindfulness merupakan kemampuan manusia yang utama, dan merujuk
pada perhatian dan pengetahuan tentang setiap kondisi yang terjadi (Brantley dan
Millstine, 2011). Mindfulness adalah kualitas kesadaran diri (consciousness), yang
mencakup keadaan sadar terjaga (awareness) dan perhatian (attention) dan harus
dibedakan dari proses mental seperti kognisi (perencanaan-pengawasan), motivasi,
dan keadaan emosi (Brown dan Ryan, 2003).

Bishop (2002; Kabat-Zinn, 2004) menjelaskan bahwa mindfulness


merupakan proses yang mengantarkan kualitas perhatian kepada pengalaman
disini-saat ini tanpa perlu mengelaborasi, tanpa penilaian, dan penerimaan akan
pikiran, perasaan, ataupun sensasi yang muncul dari pusat keadaan sadar terjaga
saat ini. Semua yang dirasakan, dilihat, didengar, reaksi emosi dan pemikiran yang
menyertai, diperhatikan sebagai peristiwa mental yang muncul dalam arus
kesadaran. Keadaan mindfulness diartikan bahwa pemikiran dan perasaan
merupakan peristiwa mental yang muncul di pikiran tanpa perlu
mengidentifikasikannya secara berlebihan, dan bereaksi secara otomatis dengan
kebiasaan perilaku yang cenderung terdorong secara emosional.

Pendapat lain, mengartikan mindfulness merupakan bentuk ketrampilan yang


dapat membantu individu agar memiliki kesadaran dan tidak bersikap reaktif akan
apa yang terjadi saat ini, sebuah cara untuk memaknai peristiwa baik positif, negatif,
maupun netral sehingga mampu mengatasi perasaan tertekan dan menimbulkan
kesejahteraan diri (Germer, Siegel, dan Fulton, 2005). Sedangkan Snyder dan Lopez
(2002) mendefinisikan mindfulness adalah keadaan pikiran yang fleksibel, yaitu
terbuka dengan hal-hal baru, proses menggambarkan sesuatu yang baru. Ketika
seseorang sadar, seseorang menjadi lebih sensitif terhadap suatu konteks dan
perspektif dalam suatu situasi saat ini.
2. Aspek-aspek mindfulness
Menurut Umniyah dan Afiatin (2009) mindfulness memiliki kriteria yang harus
dipenuhi, di antaranya:
a. Non Konseptual (Non-Conceptual)
Mindfulness merupakan kesadaran tanpa proses pemikiran (Germer,
Siegel, dan Fulton, 2005; Wallin, 2007; Flores, 2015).
b. Fokus pada Peristiwa Sekarang
Mindfulness selalu berada pada kondisi saat ini. Pemikiran tentang
pengalaman masa lalu pada orang dengan mindfulness dihapus saat
seseorang menghadapi peristiwa yang sedang terjadi (Germer, Siegel, dan
Fulton, 2005).
c. Tanpa Penilaian (Non-Judgemental)
Kesadaran tidak muncul secara bebas jika seseorang mengharapkan
pengalaman yang dimiliki menjadi pengalaman yang lain (Germer, Siegel,
dan Fulton, 2005).
d. Dilakukan dengan Sengaja (Intentional)
Menjadi “pengingat (alert)” menuntut seseorang secara terus menerus
dengan intens untuk menarik perhatian seseorang pada seseuatu yang
dihadapi. Pada peristiwa sekarang, dan di waktu saat ini (Flores, 2015).
e. Observasi Subjek
Mindfulness tidak dapat dipisahkan dengan kesaksian. Mindfulness
merupakan pengalaman pemikiran dan tubuh secara kesatuan (Wallin,
2007).
f. Non Verbal
Pengalaman mindfulness tidak dapat dijelaskan dengan kata-kata, karena
kesadaran muncul sebelum kata-kata timbul dalam pemikiran (Germer,
Siegel, dan Fulton, 2005; Wallin, 2007; Flores, 2015).
g. Membebaskan (liberating)
Menurut setiap pengalaman mindfulness yang terjadi adalah bentuk
kesadaran secara penuh yang merupakan wujud dari pembebasan dari
kejadian-kejadian yang menyakitkan (Germer, Siegel, dan Fulton, 2005;
Wallin, 2007).
B. Flow
1. Pengertian Flow
Menurut Csikszentmihalyi (1975b: 36, dalam Smolej, 2007), flow adalah
keadaan psikologis yang menyenangkan yang mengacu pada sensasi perasaan
menyeluruh terhadap aktivitas yang dijalani. Individu yang mengalami flow sangat
terlibat dalam aktivitasnya, dan tidak ada yang begitu penting saat melakukannya
melainkan hanya kesenangan yang besar dan motivasi yang kuat dari dalam dirinya.

Flow adalah suatu momen sukacita yang besar, suatu kenikmatan luar biasa,
saat seseorang bergumul dengan persoalan yang sulit dalam bidangnya masing-
masing, yang menuntutnya mengerahkan segala keterampilan, daya upaya dan
sumber daya yang mereka miliki sampai ke batas-batasnya atau bahkan
melampauinya (Setiadi, 2016).

Daniel Goleman (2015) berpendapat bahwa flow adalah keadaan ketika


seorang sepenuhnya terserap ke dalam apa yang dikerjakannya, perhatiannya
hanya terfokus ke pekerjaan yang dilakukan. Mampu mencapai keadaan flow
merupakan puncak kecerdasan emosional yang dapat menumbuhkan perasaan
senang dan bahagia. Dalam keadaan flow, emosi tidak hanya ditampung dan
disalurkan, tetapi juga bersifat mendukung, memberi tenaga, selaras dengan tugas
yang dihadapi.

Flow adalah keadaan psikologis yang optimal ketika individu menjadi sangat
‘tenggelam’ dan terjadi keseimbangan antara tantangan dan keterampilan yang
dirasakan dalam suatu kegiatan (Csikszentmihalyi, 1990). Keseimbangan yang
terjadi antara tantangan tugas dan keterampilan individu sering dilihat sebagai
prasyarat suatu keadaan flow. Keadaan flow meliputi gairah, konsentrasi dan minat
yang cukup intens untuk mengerjakan suatu tugas, mengarah pada pengalaman
yang menyenangkan, seseorang secara sadar dan aktif menggunakan semua
kemampuannya untuk memenuhi tugas tersebut.
2. Aspek-aspek flow
Menurut Bakker (2005) flow memiliki tiga aspek yaitu absorption, enjoyment,
intrinsic motivation. Ketiga aspek tersebut merupakan komponen penting dari teori
flow dan akan ditinjau secara singkat sebagai berikut:
a. Absorption
Absorption mengacu pada keadaan konsentrasi total, dimana semua
perhatian, kewaspadaan, dan konsentrasi berfokus pada kegiatan yang
dilakukannya saja, sehingga tidak menyadari kejadian di sekitarnya. Individu
yang menikmati pekerjaan mereka akan merasa senang dan membuat penilaian
positif tentang kualitas aktivitas mereka.
b. Enjoyment
Enjoyment adalah hasil dari evaluasi kognitif dan afektif dari pengalaman
flow. Perasaan nyaman muncul dalam melakukan kegiatan tersebut sehingga
individu dalam waktu lama mampu melakukan kegiatan tersebut.
c. Intrinsic Motivation
Intrinsic motivation mengacu pada kebutuhan untuk melakukan kegiatan dengan
tujuan memperoleh kesenangan dan kepuasan dalam aktivitas yang dijalani.
Motivasi intrinsik muncul dari dalam diri individu untuk melakukan kegiatan tanpa
adanya penghargaan dari orang lain.

C. Spiritualitas
a. Pengertian spiritualitas
Tischler (2002) mengatakan bahwa spiritualitas mirip atau dengan suatu cara,
berhubungan dengan emosi atau perilaku dan sikap tertentu dari seorang individu.
Menjadi seorang yang spiritual berarti menjadi seorang yang terbuka, memberi, dan
penuh kasih.
Spiritualitas adalah kebutuhan bawaan manusia untuk berhubungan dengan
sesuatu yang lebih besar dari diri manusia itu. Istilah ”sesuatu yang lebih besar dari
manusia”adalah sesuatu yang diluar diri manusia dan menarik perasaan akan diri
orang tersebut. Pengertian spiritualitas oleh Wigglesworth ini memiliki dua
komponen, yaitu vertikal dan horizontal:
Komponen vertikal, yaitu sesuatu yang suci, tidak berbatas tempat dan
waktu, sebuah kekuatan yang tinggi, sumber, kesadaran yang luar biasa. Keinginan
untuk berhubungan dengan dan diberi petunjuk oleh sumber ini.
Komponen horizontal, yaitu melayani teman-teman manusia dan planet
secara keseluruhan. Komponen vertikal dari Wigglesworth sejalan dengan
pengertian spiritualitas dari Schreurs (2002) yang memberikan pengertian
spiritualitas sebagai hubungan personal terhadap sosok transenden. Spiritualitas
mencakup inner life individu, idealisme, sikap, pemikiran, perasaaan dan
pengharapannya terhadap Yang Mutlak.
Selain itu juga sejalan dengan pendapat Elkins et al. (1988) yang
mengartikan spiritualitas sebagai suatu cara menjadi dan mengalami sesuatu yang
datang melalui kesadaran akan dimensi transenden dan memiliki karakteristik
beberapa nilai yang dapat diidentifikasi terhadap diri sendiri, kehidupan, dan apapun
yang dipertimbangkan seseorang sebagai Yang Kuasa.
b. Aspek-Aspek Spiritualitas
Menurut Schreurs (2002) spiritualitas terdiri dari tiga aspek yaitu aspek eksistensial,
aspek kognitif, dan aspek relasional:
a. Aspek eksistensial, dimana seseorang belajar untuk “mematikan” bagian dari
dirinya yang bersifat egosentrik dan defensif. Aktivitas yang dilakukan seseorang
pada aspek ini dicirikan oleh proses pencarian jati diri (true self).
b. Aspek kognitif, yaitu saat seseorang mencoba untuk menjadi lebih reseptif
terhadap realitas transenden. Biasanya dilakukan dengan cara menelaah
literatur atau melakukan refleksi atas suatu bacaan spiritual tertentu, melatih
kemampuan untuk konsentrasi, juga dengan melepas pola pemikiran kategorikal
yang telah terbentuk sebelumnya agar dapat mempersepsi secara lebih jernih
pengalaman yang terjadi serta melakukan refleksi atas pengalaman tersebut,
disebut aspek kognitif karena aktivitas yang dilakukan pada aspek ini merupakan
kegiatan pencarian pengetahuan spiritual.
c. Aspek relasional, merupakan tahap kesatuan dimana seseorang merasa bersatu
dengan Tuhan (dan atau bersatu dengan cintaNya). Pada aspek ini seseorang
membangun, mempertahankan, dan memperdalam hubungan personalnya
dengan Tuhan. Selanjutnya akan diuraikan mengenai kompetensi apa saja yang
didapat dari spiritualitas yang berkembang.
D. Review Literatur

Judul Hubungan Mindfulness dan Kualitas Hidup Orang Dewasa


Jurnal Conference: Forum Ilmiah Psikologi Indonesia (FIPI) 2016
At:Universitas Tanumanegara
Volume & Vol. 1 Halaman 1-12
Halaman
Tahun 2016
Penulis Endang Fourianalistyawati, Ratih Arruum Listiyandini, dan Titi
Sahidah Fitriana
Reviewer Amalia Safitri (1707101130005)
Tanggal Review Tanggal 23 Oktober 2019

Latar Belakang  Sebagian besar dari populasi dunia saat ini tinggal di kota besar
sehingga pemerintah memberi prioritas dalam peningkatan
kesejahteraan penduduk di kota
 Kehidupan di kota besar dapat membawa dampak baik dan
buruk. Meskipun warga kota, pada umumnya, memiliki kualitas
hidup yang lebih baik dibandingkan pedesaan dalam hal
sanitasi, nutrisi, kontrasepsi, dan perawatan kesehatan, namun
kehidupan perkotaan juga dapat diikuti dengan peningkatan
kemunculan penyakit kronis, kehidupan sosial yang membuat
stres, serta kesenjangan sosial yang besar
 Salah satu dampak buruk terkait kualitas hidup yang dinilai
terbukti muncul pada warga perkotaan adalah masalah
kesehatan mental, yaitu depresi serta kecemasan. Hasil meta-
analisis menunjukkan bahwa warga kota memiliki peningkatan
resiko yang lebih besar untuk mengalami gangguan kecemasan
(sebesar 21%) dan gangguan mood (sebesar 39%) (Peen,
Schoevers, Beekman, & Dekker, 2010).
 Belakangan ini, di berbagai negara umumnya, dan khususnya
Indonesia, sudah mulai berkembang penelitian-penelitian
mengenai topik transpersonal, dimana mindfulness sebagai
salah satu bagian di dalamnya.
 Kemampuan mindfulness dapat dilatih dan ditingkatkan melalui
serangkaian proses pelatihan.
 Beberapa penelitian yang dilakukan di Indonesia menunjukkan
pentingnya peran trait mindfulness dalam kehidupan sehari-hari.
Masalah yang  masyarakat perkotaan seperti di Jabodetabek, kehidupan yang
akan serba cepat, kemacetan, serta ada banyaknya distraksi dengan
diselesaikan adanya paparan informasi teknologi, bisa menjadi pengganggu
kualitas hidup.
 Peneliti berhipotesis bahwa mindfulness memiliki hubungan
dengan kualitas hidup terkait kesehatan warga di Jabodetabek,
khususnya pada aspek kesehatan mental.
Tujuan  Untuk melihat hubungan mindfulness dengan kualitas hidup
Penelitian terkait kesehatan warga di Jabodetabek, khususnya pada aspek
kesehatan mental.
Subjek  Partisipan penelitian adalah penduduk yang tinggal di kawasan
Penelitian Jabodetabek dan berusia 18 tahun ke atas.
 Jumlah partisipan yang berhasil diperoleh peneliti adalah
sebanyak 324 orang terdiri dari 182 orang pria (56.2%) dan 142
orang wanita (43.8%).
Metode  Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan desain
Penelitian asosiatif, yang terdiri atas dua variabel yaitu trait mindfulness
sebagai variabel pertama dan kualitas hidup sebagai variabel
kedua.
 Pengumpulan data Teknik pengambilan sampel yang dilakukan
adalah non-probability sampling karena tidak adanya
kesempatan yang sama pada setiap individu yang menjadi
populasi untuk menjadi sampel penelitian.
 Menggunakan 2 skala yaitu Skala FFMQ dan
Skala EQ 5D5L
Analisa Data  Penelitian ini menggunakan beberapa teknik analisis data.
Berdasarkan hasil uji normalitas terhadap data menggunakan uji
normalitas Kolmogorov-Smirnov, Selain itu, skala EQ-5D, juga
merupakan skala yang menggunakan jenis data ordinal. Oleh
karena itu, pada penelitian ini digunakan uji statistik non-
parameterik, yaitu korelasi spearman, untuk mengetahui kaitan
antara trait mindfulness dengan kualitas hidup pada orang
dewasa di Jabodetabek.
Hasil dan  Berdasarkan data ditemukan bahwa:
Pembahasan 1. Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara trait mindfulness
dengan dimensi kualitas hidup terkait dengan mobilitas, perawatan
diri, aktivitas sehari-hari, dan ketidaknyamanan/sakit.
2. Terdapat hubungan negatif yang signifikan antara dimensi non-
reactivity (r= -0.017, p<0.05) dengan depresi/kecemasan. Hal ini
mengindikasikan bahwa semakin seseorang mampu untuk tidak
langsung bersikap reaktif dan menjaga jarak terhadap masalah atau
rasa sakit yang dirasakannya, maka kecenderungannya untuk
merasa depresi atau cemas juga akan lebih rendah.
3. Selain itu, ditemukan pula bahwa non-judging juga berhubungan
negatif dengan masalah depresi/kecemasan (r= -0.113, p<0.05). Hal
ini berarti apabila seseorang mampu untuk menerima dan tidak
memberi penilaian baik buruk terhadap perasaan dan pikirannya,
maka semakin rendah kecenderungan depresi/kecemasan yang
dimilikinya.
4. Terdapat hubungan yang positif antara dimensi observing dengan
persepsi partisipan mengenai status kesehatan yang dimilikinya (r =
0.120, p<0.05), yang mengartikan bahwa semakin seseorang
mampu untuk mengamati dan merasakan berbagai sensasi, pikiran,
emosi, baik bersumber dari internal maupun eksternal, maka
semakin ia merasa memiliki kesehatan yang lebih baik.
5. Terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara dimensi
non-reactivity dengan persepsi seseorang mengenai status
kesehatan yang dimilikinya (r = 0.165, p<0.01). Hal ini
mengindikasikan bahwa semakin seseorang mampu menjaga jarak,
tetap tenang, dan tidak bereaksi berlebihan terhadap pikiran, emosi,
atau sensasi tubuh yang dirasakannya, maka ia akan semakin
merasa memiliki kesehatan yang lebih baik.
 Seperti halnya dipaparkan dalam hasil, tampak bahwa sesuai
hipotesis penelitian, trait mindfulness memiliki hubungan
dengan kualitas hidup warga di Jabodetabek. Dalam hal ini,
dimensi non-reactivity dan non-judging berhubungan terbalik
dengan depresi/kecemasan, serta terdapat pula hubungan
positif antara dimensi non-reactivity dan observing dengan
persepsi partisipan mengenai status kesehatannya secara
umum.
Kesimpulan dan  Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, dapat
Saran disimpulkan bahwa trait mindfulness memiliki hubungan yang
signifikan dengan kualitas hidup terkait kesehatan, khususnya
pada domain kesehatan mental serta persepsi akan status
kesehatan. Semakin seseorang mampu untuk tidak bersikap
reaktif, menerima apa adanya, dan tidak melebih-lebihkan
segala sesuatu yang terjadi (memiliki sikap non-reactivity),
maka semakin rendah kecenderungan depresi/kecemasan yang
dimilikinya serta semakin ia merasa sehat.
Saran Saran dalam penelitian ini terdiri dari saran teoretis dan praktis.
 Saran teoretis meliputi teknik sampling yang perlu diperbaiki
agar lebih mampu mewakili profil demografis dari warga
Jabodetabek, validasi skala dengan menggunakan standar
psikometri yang lebih baik, serta meneliti variabel lainnya yang
mungkin memediasi hubungan antara kualitas hidup dan trait
mindfulness.
 Secara praktis, implikasi dari penelitian ini adalah terkait dengan
pentingnya mengembangkan trait mindfulness untuk
peningkatan kualitas hidup warga Jabodetabek. Mengingat
bahwa mindfulness juga adalah keterampilan yang bisa
dikembangkan, terdapat beberapa pelatihan dapat dilakukan
untuk meningkatkan mindfulness, seperti pelatihan meditasi
mindfulness, yoga, ataupun body scanning.
Daftar Pustaka

Brown, K. W., & Ryan, R. M. (2003). Perils and Promise in Defining and Measuring
Mindfulness: Observations from Experience. Clinical Psychology: Science and
Practice, 11, 242–248.

Germer, C. K., Siegel, R. D., & Fulton, P. R. (2005). Mindfulness and Psychotherapy.
New
York: The Guilford Press.

Kabat-Zinn, J. (2003). Mindfulness-Based Intervention in Context: Past, Present, and


Future. Clinical Psychology: Science and Practice, 10 (2), 144-156.

Snyder, C. R. & Lopez, S. J. (2002). Handbook of Positive Psychology. Newyork: Oxford


University Press

Snyder, C. R. & Lopez, S. J. (2002). Handbook of Positive Psychology. Newyork: Oxford


University Press

Tischler, L. (2002). Linking Emotional Intelligence, Spirituality and Workplace


Performance: Definitions, Models and Ideas for Research. Journal of Managerial
Psychology. 17 (3): 203

Wigglesworth, C. (2004). Spiritual Intelligence and Why it Matters. Di akses dari :


www.consciouspursuits.com tanggal akses 5 April 2008.

Bakker, A. 2005. Flow Among Music Teachers and Their Students: The Crossover of
Peak Experience. Journal of Vocational Behavior 66, 26-44.

Csikszentmihalyi, M. 1990. Flow: The Psychology of Optimal Experience. New York:


Harper & Row.

Csikszentmihalyi, M. 1997. Finding Flow. New York: Basic Books.

Csikzentmihalyi, M. 2014. Flow and the Foundation of Positive Psychology. New York:
Springer Science+Business Media Dordrecht.

Anda mungkin juga menyukai