Disusun Oleh:
Amalia Safitri
1707101130005
Flow adalah suatu momen sukacita yang besar, suatu kenikmatan luar biasa,
saat seseorang bergumul dengan persoalan yang sulit dalam bidangnya masing-
masing, yang menuntutnya mengerahkan segala keterampilan, daya upaya dan
sumber daya yang mereka miliki sampai ke batas-batasnya atau bahkan
melampauinya (Setiadi, 2016).
Flow adalah keadaan psikologis yang optimal ketika individu menjadi sangat
‘tenggelam’ dan terjadi keseimbangan antara tantangan dan keterampilan yang
dirasakan dalam suatu kegiatan (Csikszentmihalyi, 1990). Keseimbangan yang
terjadi antara tantangan tugas dan keterampilan individu sering dilihat sebagai
prasyarat suatu keadaan flow. Keadaan flow meliputi gairah, konsentrasi dan minat
yang cukup intens untuk mengerjakan suatu tugas, mengarah pada pengalaman
yang menyenangkan, seseorang secara sadar dan aktif menggunakan semua
kemampuannya untuk memenuhi tugas tersebut.
2. Aspek-aspek flow
Menurut Bakker (2005) flow memiliki tiga aspek yaitu absorption, enjoyment,
intrinsic motivation. Ketiga aspek tersebut merupakan komponen penting dari teori
flow dan akan ditinjau secara singkat sebagai berikut:
a. Absorption
Absorption mengacu pada keadaan konsentrasi total, dimana semua
perhatian, kewaspadaan, dan konsentrasi berfokus pada kegiatan yang
dilakukannya saja, sehingga tidak menyadari kejadian di sekitarnya. Individu
yang menikmati pekerjaan mereka akan merasa senang dan membuat penilaian
positif tentang kualitas aktivitas mereka.
b. Enjoyment
Enjoyment adalah hasil dari evaluasi kognitif dan afektif dari pengalaman
flow. Perasaan nyaman muncul dalam melakukan kegiatan tersebut sehingga
individu dalam waktu lama mampu melakukan kegiatan tersebut.
c. Intrinsic Motivation
Intrinsic motivation mengacu pada kebutuhan untuk melakukan kegiatan dengan
tujuan memperoleh kesenangan dan kepuasan dalam aktivitas yang dijalani.
Motivasi intrinsik muncul dari dalam diri individu untuk melakukan kegiatan tanpa
adanya penghargaan dari orang lain.
C. Spiritualitas
a. Pengertian spiritualitas
Tischler (2002) mengatakan bahwa spiritualitas mirip atau dengan suatu cara,
berhubungan dengan emosi atau perilaku dan sikap tertentu dari seorang individu.
Menjadi seorang yang spiritual berarti menjadi seorang yang terbuka, memberi, dan
penuh kasih.
Spiritualitas adalah kebutuhan bawaan manusia untuk berhubungan dengan
sesuatu yang lebih besar dari diri manusia itu. Istilah ”sesuatu yang lebih besar dari
manusia”adalah sesuatu yang diluar diri manusia dan menarik perasaan akan diri
orang tersebut. Pengertian spiritualitas oleh Wigglesworth ini memiliki dua
komponen, yaitu vertikal dan horizontal:
Komponen vertikal, yaitu sesuatu yang suci, tidak berbatas tempat dan
waktu, sebuah kekuatan yang tinggi, sumber, kesadaran yang luar biasa. Keinginan
untuk berhubungan dengan dan diberi petunjuk oleh sumber ini.
Komponen horizontal, yaitu melayani teman-teman manusia dan planet
secara keseluruhan. Komponen vertikal dari Wigglesworth sejalan dengan
pengertian spiritualitas dari Schreurs (2002) yang memberikan pengertian
spiritualitas sebagai hubungan personal terhadap sosok transenden. Spiritualitas
mencakup inner life individu, idealisme, sikap, pemikiran, perasaaan dan
pengharapannya terhadap Yang Mutlak.
Selain itu juga sejalan dengan pendapat Elkins et al. (1988) yang
mengartikan spiritualitas sebagai suatu cara menjadi dan mengalami sesuatu yang
datang melalui kesadaran akan dimensi transenden dan memiliki karakteristik
beberapa nilai yang dapat diidentifikasi terhadap diri sendiri, kehidupan, dan apapun
yang dipertimbangkan seseorang sebagai Yang Kuasa.
b. Aspek-Aspek Spiritualitas
Menurut Schreurs (2002) spiritualitas terdiri dari tiga aspek yaitu aspek eksistensial,
aspek kognitif, dan aspek relasional:
a. Aspek eksistensial, dimana seseorang belajar untuk “mematikan” bagian dari
dirinya yang bersifat egosentrik dan defensif. Aktivitas yang dilakukan seseorang
pada aspek ini dicirikan oleh proses pencarian jati diri (true self).
b. Aspek kognitif, yaitu saat seseorang mencoba untuk menjadi lebih reseptif
terhadap realitas transenden. Biasanya dilakukan dengan cara menelaah
literatur atau melakukan refleksi atas suatu bacaan spiritual tertentu, melatih
kemampuan untuk konsentrasi, juga dengan melepas pola pemikiran kategorikal
yang telah terbentuk sebelumnya agar dapat mempersepsi secara lebih jernih
pengalaman yang terjadi serta melakukan refleksi atas pengalaman tersebut,
disebut aspek kognitif karena aktivitas yang dilakukan pada aspek ini merupakan
kegiatan pencarian pengetahuan spiritual.
c. Aspek relasional, merupakan tahap kesatuan dimana seseorang merasa bersatu
dengan Tuhan (dan atau bersatu dengan cintaNya). Pada aspek ini seseorang
membangun, mempertahankan, dan memperdalam hubungan personalnya
dengan Tuhan. Selanjutnya akan diuraikan mengenai kompetensi apa saja yang
didapat dari spiritualitas yang berkembang.
D. Review Literatur
Latar Belakang Sebagian besar dari populasi dunia saat ini tinggal di kota besar
sehingga pemerintah memberi prioritas dalam peningkatan
kesejahteraan penduduk di kota
Kehidupan di kota besar dapat membawa dampak baik dan
buruk. Meskipun warga kota, pada umumnya, memiliki kualitas
hidup yang lebih baik dibandingkan pedesaan dalam hal
sanitasi, nutrisi, kontrasepsi, dan perawatan kesehatan, namun
kehidupan perkotaan juga dapat diikuti dengan peningkatan
kemunculan penyakit kronis, kehidupan sosial yang membuat
stres, serta kesenjangan sosial yang besar
Salah satu dampak buruk terkait kualitas hidup yang dinilai
terbukti muncul pada warga perkotaan adalah masalah
kesehatan mental, yaitu depresi serta kecemasan. Hasil meta-
analisis menunjukkan bahwa warga kota memiliki peningkatan
resiko yang lebih besar untuk mengalami gangguan kecemasan
(sebesar 21%) dan gangguan mood (sebesar 39%) (Peen,
Schoevers, Beekman, & Dekker, 2010).
Belakangan ini, di berbagai negara umumnya, dan khususnya
Indonesia, sudah mulai berkembang penelitian-penelitian
mengenai topik transpersonal, dimana mindfulness sebagai
salah satu bagian di dalamnya.
Kemampuan mindfulness dapat dilatih dan ditingkatkan melalui
serangkaian proses pelatihan.
Beberapa penelitian yang dilakukan di Indonesia menunjukkan
pentingnya peran trait mindfulness dalam kehidupan sehari-hari.
Masalah yang masyarakat perkotaan seperti di Jabodetabek, kehidupan yang
akan serba cepat, kemacetan, serta ada banyaknya distraksi dengan
diselesaikan adanya paparan informasi teknologi, bisa menjadi pengganggu
kualitas hidup.
Peneliti berhipotesis bahwa mindfulness memiliki hubungan
dengan kualitas hidup terkait kesehatan warga di Jabodetabek,
khususnya pada aspek kesehatan mental.
Tujuan Untuk melihat hubungan mindfulness dengan kualitas hidup
Penelitian terkait kesehatan warga di Jabodetabek, khususnya pada aspek
kesehatan mental.
Subjek Partisipan penelitian adalah penduduk yang tinggal di kawasan
Penelitian Jabodetabek dan berusia 18 tahun ke atas.
Jumlah partisipan yang berhasil diperoleh peneliti adalah
sebanyak 324 orang terdiri dari 182 orang pria (56.2%) dan 142
orang wanita (43.8%).
Metode Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan desain
Penelitian asosiatif, yang terdiri atas dua variabel yaitu trait mindfulness
sebagai variabel pertama dan kualitas hidup sebagai variabel
kedua.
Pengumpulan data Teknik pengambilan sampel yang dilakukan
adalah non-probability sampling karena tidak adanya
kesempatan yang sama pada setiap individu yang menjadi
populasi untuk menjadi sampel penelitian.
Menggunakan 2 skala yaitu Skala FFMQ dan
Skala EQ 5D5L
Analisa Data Penelitian ini menggunakan beberapa teknik analisis data.
Berdasarkan hasil uji normalitas terhadap data menggunakan uji
normalitas Kolmogorov-Smirnov, Selain itu, skala EQ-5D, juga
merupakan skala yang menggunakan jenis data ordinal. Oleh
karena itu, pada penelitian ini digunakan uji statistik non-
parameterik, yaitu korelasi spearman, untuk mengetahui kaitan
antara trait mindfulness dengan kualitas hidup pada orang
dewasa di Jabodetabek.
Hasil dan Berdasarkan data ditemukan bahwa:
Pembahasan 1. Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara trait mindfulness
dengan dimensi kualitas hidup terkait dengan mobilitas, perawatan
diri, aktivitas sehari-hari, dan ketidaknyamanan/sakit.
2. Terdapat hubungan negatif yang signifikan antara dimensi non-
reactivity (r= -0.017, p<0.05) dengan depresi/kecemasan. Hal ini
mengindikasikan bahwa semakin seseorang mampu untuk tidak
langsung bersikap reaktif dan menjaga jarak terhadap masalah atau
rasa sakit yang dirasakannya, maka kecenderungannya untuk
merasa depresi atau cemas juga akan lebih rendah.
3. Selain itu, ditemukan pula bahwa non-judging juga berhubungan
negatif dengan masalah depresi/kecemasan (r= -0.113, p<0.05). Hal
ini berarti apabila seseorang mampu untuk menerima dan tidak
memberi penilaian baik buruk terhadap perasaan dan pikirannya,
maka semakin rendah kecenderungan depresi/kecemasan yang
dimilikinya.
4. Terdapat hubungan yang positif antara dimensi observing dengan
persepsi partisipan mengenai status kesehatan yang dimilikinya (r =
0.120, p<0.05), yang mengartikan bahwa semakin seseorang
mampu untuk mengamati dan merasakan berbagai sensasi, pikiran,
emosi, baik bersumber dari internal maupun eksternal, maka
semakin ia merasa memiliki kesehatan yang lebih baik.
5. Terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara dimensi
non-reactivity dengan persepsi seseorang mengenai status
kesehatan yang dimilikinya (r = 0.165, p<0.01). Hal ini
mengindikasikan bahwa semakin seseorang mampu menjaga jarak,
tetap tenang, dan tidak bereaksi berlebihan terhadap pikiran, emosi,
atau sensasi tubuh yang dirasakannya, maka ia akan semakin
merasa memiliki kesehatan yang lebih baik.
Seperti halnya dipaparkan dalam hasil, tampak bahwa sesuai
hipotesis penelitian, trait mindfulness memiliki hubungan
dengan kualitas hidup warga di Jabodetabek. Dalam hal ini,
dimensi non-reactivity dan non-judging berhubungan terbalik
dengan depresi/kecemasan, serta terdapat pula hubungan
positif antara dimensi non-reactivity dan observing dengan
persepsi partisipan mengenai status kesehatannya secara
umum.
Kesimpulan dan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, dapat
Saran disimpulkan bahwa trait mindfulness memiliki hubungan yang
signifikan dengan kualitas hidup terkait kesehatan, khususnya
pada domain kesehatan mental serta persepsi akan status
kesehatan. Semakin seseorang mampu untuk tidak bersikap
reaktif, menerima apa adanya, dan tidak melebih-lebihkan
segala sesuatu yang terjadi (memiliki sikap non-reactivity),
maka semakin rendah kecenderungan depresi/kecemasan yang
dimilikinya serta semakin ia merasa sehat.
Saran Saran dalam penelitian ini terdiri dari saran teoretis dan praktis.
Saran teoretis meliputi teknik sampling yang perlu diperbaiki
agar lebih mampu mewakili profil demografis dari warga
Jabodetabek, validasi skala dengan menggunakan standar
psikometri yang lebih baik, serta meneliti variabel lainnya yang
mungkin memediasi hubungan antara kualitas hidup dan trait
mindfulness.
Secara praktis, implikasi dari penelitian ini adalah terkait dengan
pentingnya mengembangkan trait mindfulness untuk
peningkatan kualitas hidup warga Jabodetabek. Mengingat
bahwa mindfulness juga adalah keterampilan yang bisa
dikembangkan, terdapat beberapa pelatihan dapat dilakukan
untuk meningkatkan mindfulness, seperti pelatihan meditasi
mindfulness, yoga, ataupun body scanning.
Daftar Pustaka
Brown, K. W., & Ryan, R. M. (2003). Perils and Promise in Defining and Measuring
Mindfulness: Observations from Experience. Clinical Psychology: Science and
Practice, 11, 242–248.
Germer, C. K., Siegel, R. D., & Fulton, P. R. (2005). Mindfulness and Psychotherapy.
New
York: The Guilford Press.
Bakker, A. 2005. Flow Among Music Teachers and Their Students: The Crossover of
Peak Experience. Journal of Vocational Behavior 66, 26-44.
Csikzentmihalyi, M. 2014. Flow and the Foundation of Positive Psychology. New York:
Springer Science+Business Media Dordrecht.