Nam : Laila Rahma Milenia, Nia Damayanti, Farhan Jordan Akbar
Asal : Universitas Diponegoro, Semarang
Boba, Manis tapi Sadis!
Saat ini kuliner telah menjadi bagian dari gaya hidup karena munculnya berbagai makanan dan minuman yang dianggap menarik untuk dicicipi. Berdasarkan data Riskesdas tentang Analisis Survei Konsumsi Makanan Individu, sebesar 40,7% masyarakat Indonesia mengonsumsi makanan berlemak, dan 53,1% mengonsumsi makanan manis. Pada dasarnya, manusia hanya membutuhkan air putih untuk memenuhi kebutuhan cairan tubuh. Namun seiring dengan rasa ingin tahu manusia yang semakin bertambah, berbagai jenis minuman pengganti air putih semakin bervariasi. Perkembangan jenis-jenis minuman yang saat ini sedang naik daun di masyarakat, khususnya anak muda atau kaum milenial, salah satunya adalah boba. Bahan utama boba adalah tepung tapioka. Tapioka sendiri tidak punya rasa, namun rasa manis boba berasal dari gula atau madu yang direndam sebelum disajikan. Minuman boba banyak variasinya, diantaranya milk tea, fruit smoothie and slushies, blended coffee dan teh. Selain itu, bahan lain yang biasanya ditambahkan ke minuman boba adalah jeli dan egg pudding. Boba milk tea adalah salah satu contoh minuman kekinian yang berasal dari Asia Timur yang ditemukan pada 1980-an di Taiwan. Beberapa jenis minuman kekinian memiliki kalori yang tinggi tetapi miskin akan makronutrien dan mikronutrien contohnya vitamin dan mineral. Namun minuman tersebut tinggi akan jumlah gula. Tiap gelasnya, jika dhitung hanya cairan milk teanya saja mengandung 6 sendok makan gula pasir setara dengan 84 gram gula pasir sama dengan sekitar 300 kalori. Padahal, jumlah harian yang wajar dikonsumsi remaja adalah 4 sendok makan gula. Topping yang paling tinggi kalorinya adalah milk foam 203 kalori dan cheese foam 180 kalori, sedangkan boba mengandung 156 kalori. Jadi, segelas boba milk tea memiliki 200-450 kalori tergantung jenis minuman boba dan bahan tambahan apa yang disertakan. Berdasarkan kalorimeter, segelas bubble tea ini setara dengan satu hingga dua piring nasi. Pedoman Diet (2010) merekomendasikan bahwa tidak lebih dari sekitar 5-15% dari total kalori harian berasal dari tambahan gula dan lemak padat dalam makanan. Pada pengukuran sakarida yang dikumpulkan, jumlah kalori dan tambahan gula dalam boba milk tea ini mengandung seluruh jumlah asupan gula maksimum harian yang direkomendasikan untuk pria (38 g) dan lebih dari 150% untuk wanita (25 g). Ketika dikombinasikan dengan bahan tambahan dalam minuman, sakarida yang dikumpulkan dengan mudah melebihi asupan gula harian maksimum yang disarankan untuk semua populasi. Salah satu studi dari ahli nutrisi menunjukkan bahwa minuman teh boba adalah bagian dari kelompok dari sugar-sweetened beverages (SSB), karena minuman ini biasanya dipermanis dengan high fructose corn syrup (HFCS). Kandungan kalori dan gula yang tinggi dari minuman boba menimbulkan masalah kesehatan masyarakat. Di antara remaja, peningkatan perhatian telah difokuskan pada mengatasi konsumsi SSB sebagai faktor risiko obesitas. Telah didokumentasikan dengan baik dalam literatur kesehatan bahwa SSB menyumbang sejumlah besar gula, total kalori, yang dapat meningkatkan tingkat obesitas, penyakit kardiovaskular, diabetes, dan asam urat yang lebih tinggi. Fakta lain menunjukkan bahwa minuman yang mengandung gula tidak menggantikan kalori dari makanan, sebagai gantinya, mereka menyediakan kalori “tambahan” dan dengan demikian meningkatkan asupan kalori total, menghasilkan penambahan berat badan dari waktu ke waktu, dan dengan demikian risiko obesitas lebih tinggi. Beban glikemik diet tinggi dari SSB karena fruktosa, dalam bentuk HFCS atau sukrosa, dapat meningkatkan risiko resistensi insulin hati, pengendapan lemak viseral, dan peningkatan trigliserida dan kolesterol. Selain itu, penelitian terbaru menunjukkan bahwa minum sekitar 1 L atau setara dengan dua ons SSB 16 ons per hari selama 6 bulan dapat menginduksi fitur sindrom metabolik dan penimbunan lemak pada hati. Minum terlalu banyak boba juga dapat menyebabkan jerawat. Produk dairy tidak secara langsung menyebabkan jerawat, namun susu sapi dapat menyebabkan peradangan. Kulit mungkin tidak toleran terhadap laktosa dan hormon dalam susu dapat bereaksi dengan testosteron dalam tubuh dan meningkatkan produksi sebum (zat berminyak yang bertanggung jawab untuk menyumbat pori-pori) di kulit yang menyebabkan jerawat. Selain itu tepung tapioka yang direbus dalam gula memicu kadar insulin untuk meningkat dan menyebabkan pori-pori tersumbat dan masalah kulit lain seperti eksim, rosacea, dan psoriasis. Terlalu banyak karbohidrat dari makanan seperti gula rafinasi menempel pada protein kolagen dan lemak dalam kulit kita dalam proses yang dikenal sebagai glikasi. Selama proses glikasi, terdapat zat baru yang terbentuk yaitu AGE. AGE ini sangat merusak. Ini adalah enzim yang memecah dan melemahkan serat elastin dan kolagen sehingga memungkinkan kulit untuk meregang, kulit menjadi kasar, kusam, berubah warna, terdapat kerutan dan kendur. Oleh karena itu, rekomendasi dari Lembaga Kesehatan Masyarakat menyarankan konsumsi minuman ini dalam jumlah sedang. Selain itu, alternatif yang lebih sehat disarankan ketika memesan minuman boba, seperti memilih teh boba tanpa susu atau susu rendah lemak, tambahkan sedikit atau tanpa gula ke teh anda, dan meninggalkan bahan tambahan seperti pudding dan jeli. Alternatif ini dapat mengurangi nilai kalori keseluruhan dari minuman teh boba, serta diimbangi dengan minum air putih yang banyak agar dapat memenuhi kebutuhan cairan tubuh sehari-hari, ditunjang juga dengan kebiasaan sehat yaitu berolahraga atau melakukan aktivitas fisik minimal 150 menit seminggu, dan juga memakan lebih banyak buah dan sayuran. DAFTAR PUSTAKA 1. Han, Y. (2018). Study on Consumption Behavior of Milk Tea Based on the Customer Value Theory Taking "A Little Tea" in Shenzhen as an Example. International Conference on Management, Economics, Education and Social Sciences (MEESS 2018). Atlantis Press. 2. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Panduan Pelaksanaan Gerakan Nusantara Tekan Angka Obesitas (GENTAS). Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit. Jakarta: Depkes RI;2017. 3. Kucharska, A., Szmurło, A., & Sińska, B. (2016). Significance of diet in treated and untreated acne vulgaris. Advances in Dermatology and Allergology/Postȩpy Dermatologii i Alergologii, 33(2), 81. 4. Min, J. E., Green, D. B., & Kim, L. (2017). Calories and sugars in boba milk tea: implications for obesity risk in Asian Pacific Islanders. Food science & nutrition, 5(1), 38-45. 5. National Institutes of Health. (2013). Changing your habits: Steps to better health. 6. Tinambunan, E. C., Syahra, A. F., & Hasibuan, N. (2020). Analisis Faktor Yang Mempengaruhi Minat Milenial Terhadap Boba vs Kopi di Kota Medan. Journal of Business and Economics Research (JBE), 1(2), 80-86.