Anda di halaman 1dari 17

Nama : Ahmad Julianto

NIM : 03031281823030
Shift/Kelompok : Rabu (13.00-16.20 WIB)/II

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Mikroba, yang juga disebut mikroorganisme, adalah makhluk hidup
individu yang biasanya tidak dapat dilihat oleh mata telanjang (Nur Hidayat, 2018).
Kelompok yang mencakup hal tersebut adalah bakteri, jamur (ragi dan jamur),
protozoa dan ganggang mikroskopik. Virus juga termasuk namum kadang-kadang
dianggap menangkangi perbatasan antara kehidupan dan bukan kehidupan.
Organisme tingkat rendah maupun tingkat tinggi, tersusun atas jutaan sel
sebagai unit struktural dan fungsional terkecil. Proses kerja di dalam tubuh diatur
dan bermula dari sel sebagai semua fungsi kehidupan. Suatu jaringan dibentuk dari
kumpulan sel yang sejenis dan memiliki fungsi yang sama, berlanjut menjadi organ,
sistem organ, dan tubuh dari organisme secara lengkap. Sel memiliki ukuran
mikroskopis, sehingga terlihat sangat kecil dan mustahil untuk mampu diamati
dengan mata telanjang tanpa adanya bantuan dari alat optik.
Secara umum, struktur seluler dipelajari dengan bantuan peralatan optis
pembesar dikenal sebagai mikroskop. Dalam melakukan pengamatan tersebut,
perlu tersedia suatu media untuk meningkatkan komunikasi edukatif dalam proses
pemahaman materi praktikum, khususnya mengenai sel (Chaeri dkk., 2008). Media
tersebut adalah preparat histologis/preparat mikroskopis. Mikroskop banyak
digunakan di berbagai laboratorium yang berkaitan dengan mikrobiologi atau
bioteknologi sebagai instrumen optik untuk mengamati organisme mikroskopis
seperti sel dan jaringan. Penggunaan alat bantu optik diperlukan karena indera
manusia memiliki kemampuan terbatas untuk mengenali makhluk berukuran
terbatas. Jamur dan bakteri termasuk dalam kategori mikroorganisme yang sering
digunakan untuk pengamatan mikroskopis untuk penelitian atau tujuan komersial.
Praktikum yang akan dilaksanakan menggunakan prosedur kerja yang
sederhana untuk mengetahui berbagai macam kondisi mikroorganisme, sehingga
identifikasi dapat dilakukan. Mahasiswa diharapkan mampu dalam mengetahui,
melakukan pengamatan, menganalisis stuktur sel dan membandingkan struktur sel

1
2

yang segar dan membusuk. Metode yang dilakukan untuk pengamatan yang benar
dengan menggunakan alat optik yaitu mikroskop juga menjadi suatu tolak ukur
yang penting mengenai praktikum ini untuk dilakukan kepada praktikan.

1.2. Rumusan Masalah


1. Bagaimana pengaruh pemberian warna methylene blue pada hasil
pengamatan morfologi sel bahan?
2. Bagaimana bentuk sel jamur pada bahan yang telah mengalami
pembusukan?
3. Bagaimana pengaruh kerusakan sel terhadap komposisi-komposisi sel?

1.3. Tujuan Percobaan


1. Mengetahui pengaruh pemberian warna methylene blue pada hasil
pengamatan morfologi sel bahan.
2. Mengetahui bentuk sel jamur pada bahan yang telah mengalami
pembusukan.
3. Mengetahui pengaruh kerusakan sel terhadap komposisi-komposisi sel.

1.4. Manfaat Percobaan


1. Percobaan ini memberikan wawasan lebih kepada praktikan mengenai
morofologi sel.
2. Praktikum ini memberikan gambaran secara umum mengenai
mikroorganisme yang ada disekitar lingkungan.
3. Percobaan ini sebagai sarana latihan untuk menambah pengalaman
praktikan yang nantinya akan meneliti hal lebih kompleks.

1.5. Hipotesa Percobaan


1. Sel jamur mati tidak dapat mereduksi methylen blue, sehingga methylen
blue teroksidasi dan tampak biru menjadi hitam (Suryaningsih dkk, 2018).
2. Sel jamur berbentuk lonjong atau bulat, dengan diameter 3-5 µm yang
dapat menghasilkan pseudo-Ifa (Simanjuntak dan Butar-butar, 2019).
3. Perubahan secara genetik terjadi dalam kurun waktu yang sangat lama
dalam satu periode evolusi, komposisi DNA-nya cenderung stabil (Diana
dan Lasmini, 2016).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Mikroorganisme Uniseluler


Fifendy (2017) menyatakan bahwa organisme uniseluler ialah makhluk
hidup yang terdiri dari sel tunggal. Organisme ini mengandalkan satu sel untuk
semua aktivitas seluler, termasuk makan, berkembang biak, berpindah tempat, dan
membuang limbah. Organisme bersel tunggal dapat bertahan hidup dalam dua
koloni dan dapat hidup sendiri, serta dianggap lebih sederhana daripada organisme
multisel. Kategori utama suatu organisme uniseluler adalah bakteri, amuba,
paramecium, dan alga uniseluler. Ciri-ciri suatu organisme bersel tunggal adalah
memiliki bentuk tubuh yang tidak terlihat dan bersifat mikroskopis, yang hanya
dapat jika dilihat dengan bantuan mikroskop, namun terkadang ada beberapa di
antaranya dapat dilihat dengan mata telanjang atau tanpa bantuan mikroskop.

Gambar 2.1. Organisme Uniseluler Paramecium sp.


(Sumber: Beale dan Preer, 2008)

Sel dari organisme bersel tunggal relatif sederhana, tetapi memiliki fungsi
yang luar biasa. Hal ini terlihat dari aktivitas yang diasumsikan dilakukan oleh sel
fungsional lain, namun sel organisme seluler dapat melakukan aktivitasnya sendiri.
Sel-sel organisme bersel tunggal memiliki dinding luar yang tipis, sehingga kulit
luar ini dapat ditembus oleh bahan kimia (Dworkin, 2006). Cairan dinding sel yang
terdapat di dalam organisme bersel tunggal menyerupai tekstur selai yang disebut
sitoplasma. Sitoplasma ini mengandung struktur kecil yang disebut organel.

3
4

2.2. Definisi Mikrorganisme Multiseluler


Organisme yang terdiri dari lebih dari satu sel disebut organisme
multiseluler. Sel-sel ini akan mengenali dan menempel satu sama lain, membentuk
organisme multisel. Perbedaan utama antara organisme uniseluler dan multiseluler
adalah sifatnya yang terlihat, yaitu sebagian besar organisme multiseluler dapat
dilihat dengan mata telanjang (Hidayat dkk., 2018). Sel-sel organisme multisel
cenderung memiliki umur yang lebih panjang karena terdapat banyak sel yang
berbeda untuk menjalankan fungsi spesifiknya. Manusia, tanaman, hewan dan
beberapa jenis ganggang yang berasal dari sebuah sel tunggal yang kemudian
bertumbuh menjadi orgainsme yang memiliki sel banyak. Diketahui jumlah
organisme multiseluler lebih banyak dibandingkan organisme uniseluler.

Gambar 2.2. Jenis Organisme Multiseluler


(Sumber: Suyitno dan Sukiman, 2009)

Organisme multiseluler memiliki beberapa ciri-ciri yaitu memiliki ukuran


yang besar, komposisi dan struktur tubuh dari sel sangat kompleks dan rumit, serta
memiliki berbagai organ yang menjalankan fungsi yang berbeda. Inti sel organisme
multiseluler berada terpisah dari Deoxyribonucleic Acid (DNA). Lukitasari (2009)
menyatakan bahwa pembelahan sel yang terjadi pada suatu organisme multiseluler
terkoordinasi secara baik dan teratur untuk mencegah suatu pembelahan sel yang
tidak normal dan adanya suatu kecacatan pada suatu pertumbuhan sel.
Perkembangan pada suatu organisme multiseluler disertai dengan spesialisasi sel
dan suatu pembagian kerja, sehingga suatu sel menjadi efisien dalam suatu satu
proses dan tidak bergantung pada suatu sel yang bukan sel nya.
5

2.3. Bagian-Bagian dari Sel Bakteri


Bakteri tersusun atas komponen-komponen yang berukuran mikroskopis.
Komponen tersebut terdiri dari dinding sel dan inti sel. Selubung atau kapsul sel
terdapat pada bagian luar dari dinding sel. Bakteri tidak memiliki membran sel dan
organel bermembran seperti kloroplas dan mitokondria pada bagian dalamnya.
Menurut Fifendy (2017), struktur tubuh bakteri dari lapisan luar hingga bagian
dalam sel terdiri dari berbagai bagian yang terkoordinasi. Bagian-bagian tersebut di
antaranya dinding sel, lapisan lendir, membran sel, flagela, ribosom, dan endospora.
2.3.1. Dinding Sel
Dinding sel dapat ditemukan pada semua bakteri hidup bebas kecuali pada
mikoplasma. Dinding sel memiliki fungsi dalam melindungi kerusakan sel terhadap
lingkungan bertekanan osmotik rendah dan memelihara bentuk sel. Fenomena ini
dapat diperlihatkan melalui plasmolisis dengan mengisolasi partikel selubung sel
setelah sel bakteri mengalami kerusakan secara mekanik. Penghancuran juga dapat
dilakukan menggunakan enzim lisozim. Selubung sel atau seluruh sel diisolasi, lalu
diberi enzim lisozim. Partikel dinding sel bakteri dengan perlakuan lisozim tersebut
akan membentuk golongan bakteri gram positif dan bakteri gram negatif.
Dinding sel disusun atas peptidoglikan, yaitu polisakarida yang berikatan
dengan protein. Tubuh bakteri memiliki bentuk yang tetap dengan adanya dinding
sel. Dinding sel berfungsi untuk melindungi sel serta memberikan bentuk kaku pada
tubuh bakteri. Dinding sel yang kaku berfungsi mencegah sel membengkak dan
pecah akibat tekanan osmosis yang terjadi apabila diletakkan pada larutan yang
memiliki konsentrasi rendah atau hipotonik. Bakteri dibedakan menjadi dua, yaitu
bakteri gram positif dan bakteri gram negatif berdasarkan struktur protein serta
polisakarida yang terkandung di dalam dinding sel. Bakteri gram positif memiliki
peptidoglikan di luar membran plasma. Peptidoglikan pada bakteri gram negatif ada
di antara membran plasma dan membran luar, serta memiliki jumlah yang lebih
sedikit dari bagian lainnya. Bakteri gram negatif memiliki struktur dinding sel yang
relatif lebih sederhana dibandingkan dengan jenis bakteri gram positif. Dinding sel
mampu ditemukan pada semua bakteri hidup bebas kecuali pada mikoplasma.
6

2.3.2. Lapisan Lendir


Lapisan lendir merupakan lapisan bakteri yang paling luar, menutupi
seluruh bagian dinding sel. Ketebalan lapisan ini berbeda-beda untuk tiap jenis
bakterinya. Lapisan tebal yang mengandung suatu bakteri disebut kapsul, dan
lapisan tipis disebut lapisan lendir. Tidak semua jenis bakteri berbagi lapisan lendir.
Bakteri yang mengandung lapisan lendir adalah bakteri humus, yang mendapatkan
makanannya dari organisme lainnya. Lapisan lendir tersusun dari air dan senyawa
polisakarida. Lapisan lendir bertindak sebagai suatu agen sitoprotektif, mencegah
sel mengering pada sel bakteri lain atau substratnya (Prescott dkk., 2008).
2.3.3. Membran sel
Membran sel merupakan jenis universal yang dimiliki oleh semua jenis
sel. Membran sel tersusun atas molekul lemak dan protein, seperti membran sel
organisme lainnya. Membran sel bersifat semipermiabel serta berfungsi mengatur
keluar masuknya zat keluar atau ke dalam sel. Membran permukaan sel memiliki
sifat yang permeabel terhadap sebagian senyawa glukosa, asam amino, dan gliserol.
2.3.4. Flagela
Flagela merupakan filamen protein uliran dengan panjang dan diameter
yang sama, dan dimiliki oleh beberapa bakteri patogen untuk bergerak bebas dan
pergerakan berenang. Flagela disusun oleh tiga bagian, yaitu filamen, hook, dan
basal body. Bagian dasar menancap pada membran disusun oleh suatu tangkai serta
satu atau dua rangkaian cincin yang mengelilingi flagela dan berhubungan dengan
membran plasma, peptidoglikan. Flagela di bakteri gram negatif juga berhubungan
dengan membran luar yang berfungsi untuk membungkus sel (Dworkin, 2006).
Flagela berada pada salah satu ujung, kedua ujung, atau pada permukaan
sel. Flagela memiliki fungsi memudahkan bakteri untuk bergerak. Tipe-tipe flagela
dibedakan menjadi empat jenis, meliputi monoatrik, amfitrik, lofotrik, dan peritrik
berdasarkan letak dan jumlahnya. Flagela terbuat dari protein yang disebut flagelin.
Bentuk flagela yang seperti pembuka sumbat botol memiliki fungsi untuk bergerak.
Mekanisme flagela sebagai alat gerak ialah dengan berputar seperti baling-baling
untuk menggerakkan tubuh sel bakteri. Susunan flagela sel yang dapat diidentifikasi
dikelompokkan menjadi dua golongan, yaitu flagela peritrichous dan flagela polar.
7

2.3.5. Ribosom
Ribosom merupakan organel yang berfungsi dalam sintesis protein dan
sebagai mesin yang mengatur komponen-komponen yang terlibat dalam sintesis
protein. Bentuknya berupa butiran kecil dan tidak diselubungi membran. Ribosom
tersusun atas protein dan ribonucleic acid (RNA). Bakteri Escherichia coli pada
bagian dalamnya terkandung 150.000 ribosom, atau kira-kira sekitar seperempat
massa sel bakteri tersebut. Ribosom memiliki fungsi penting bagi bakteri (Riandari,
2007). Kumpulan dari ribosom disebut dengn polisom atau poliribosom.
2.3.6. Endospora
Bakteri dengan genus tertentu, seperti Clostridium sp. dan Bacillus sp.
akan membentuk endospora atau spora yang dihasilkan di bagian dalam sel. Proses
pembentukan endospora ini merupakan cara bakteri mengatasi kondisi lingkungan
yang kurang menguntungkan. Endospora bersifat dorman, yaitu berupa keadaan
saat sel tidak aktif dan proses metabolisme mengalami penurunan. Endospora dapat
bertahan hidup dalam keadaan kekurangan nutrien, kekeringan, radiasi ultraviolet,
dan bahan kimia. Endospora bisa tahan terhadap panas, sehingga tidak akan mati
karena proses memasak pada temperatur biasa. Sifat-sifat ini menyebabkan butuh
perlakuan yang keras untuk mewarnainya. Endospora dapat mati jika terpapar panas
pada suhu di atas 120⁰C, Endospora dapat tumbuh dan berkembang menjadi bakteri
seperti sedia kala apabila kondisi telah membaik. Ukuran dan letak dari endospora
di dalam sel merupakan karakteristik yang dipakai untuk membedakan spesies
bakteri pembentuknya. Spora bakteri bukan alat perkembangbiakan, tetapi usaha
melindungi diri dari keadaan yang kurang menguntungkan (Prescott dkk, 2008).

2.4. Dinding sel


Dinding sel tumbuhan adalah matriks ekstraseluler yang mengelilingi
setiap sel menanam. Dindingnya tersusun dari serat selulosa yang tertanam pada
polisakarida dan protein lain serta jauh lebih tebal dari pada membran plasma yang
memiliki ketebalan 0,1 µm hingga beberapa mikron. Dinding sel melindungi sel
tumbuhan, mempertahankan bentuknya, dan mencegah penyerapan air yang
berlebihan. Dinding atau dinding sel adalah suatu struktur di luar membran plasma
yang membatasi ruang tempat suatu sel dapat mengembang dengan sendirinya.
8

Sejarahnya, ilmuwan Inggris Robert Hooke yang merancang mikroskop


majemuk dengan sumber cahayanya sendiri, sehingga lebih mudah digunakan. Dia
mengamati serpihan gabus melalui mikroskop, dan dalam makalah yang diterbitkan
pada tahun 1665, dia menggambarkan struktur mikro gabus sebagai "pori-pori
berpori tetapi tidak teratur seperti sarang lebah." Hooke menyebutnya sel pori
karena mirip dengan sel (bilik kecil) di biara atau penjara. Apa yang sebenarnya
dilihat Hooke adalah suatu dinding yang terdiri dari suatu sel kosong.
Antara 1675 dan 1679, ilmuwan Italia Marcello Malpighi mendeskripsikan
blok bangunan Dia menyebutnya tanaman aconitum ("tas"). Menurut
pengamatannya, setiap rongga diisi cairan dan dikelilingi dinding padat. Nehemiah
Grew dari Inggris juga mendeskripsikan sel tumbuhan dalam sebuah makalah yang
diterbitkan pada tahun 1682. Ia mampu mengamati banyak struktur hijau kecil pada
sel daun tumbuhan, yang merupakan suatu bagian yang disebut kloroplas.
Sel tumbuhan dikelilingi oleh dinding sel yang tebal dan kaku (Bahtiar
dkk., 2016). Hampir semua sel prokariotik memiliki selubung sel di luar membran
sel. dalam hal Selubungnya berisi lapisan kaku yang terbuat dari karbohidrat atau
karbohidrat-protein kompleks, peptidoglikan, dan lapisan ini disebut dinding sel
(Subagiartha, 2018). Dinding sel yang kaku terbuat dari selulosa dan polimer lain
mengelilingi sel tanam dan buat dia kuat. Jamur juga memiliki dinding sel, tetapi
komposisinya berbeda dengan bakteri dan tumbuhan. Di antara dinding sel
tumbuhan yang berdekatan ada saluran yang disebut ciliates.

2.5. Sitoskeleton
Tulang manusia atau hewan adalah sistem yang terkenal. Sifat tulang yang
padat dan keras dapat melindungi dan mendukung keberadaan jaringan lunak
manusia. Jaringan ini berperan sangat penting dalam mengatur pergerakan tubuh.
Sel eukariotik juga memiliki sistem kerangka yang disebut sitoskeleton. Selain itu,
diyakini bahwa jaringan memiliki peran yang lebih besar, yaitu membantu
mengatur berbagai organel dan molekul yang tersebar di dalam sel. Sitoskeleton
membentuk jaringan terintegrasi yang menghubungkan hampir semua struktur sel
dan memiliki permukaan yang sangat luas, yang dapat mengikat berbagai protein
dan komponen sitoplasma ke permukaannya (Rudijanto dan Kalim 2006).
9

Pada sel eukariotik, hal yang perlu dibahas adalah kemampuan sitoplasma
yang telah diekstraksi dan dipisahkan dari organel untuk mempertahankan bentuk
selnya bahkan menyusut atau bergerak. Molekul yang berperan dalam kapasitas
sitoplasma adalah sitoskeleton, penyelenggara utama sitoplasma (Goodman, 2008).
Sitoskeleton adalah jaringan intraseluler yang kompleks dalam bentuk filamen,
yang didistribusikan di dalam sitoplasma antara membran sel dan inti sel.
Sitoskeleton berperan penting sebagai protein struktural yang menjaga bentuk sel,
yang dapat menggerakkan organel, kromosom, dan sel itu sendiri (Rimbun, 2015).
Sitoskeleton yang terdapat di dalam sel terdiri dari tiga filamen yang
tersusun berseberangan. Jaringan ini memungkinkan akses antara dinding sel, inti
sel, atau berbagai organel di dalam sel. Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa
peran masing-masing jenis filamen sitoskeleton di berbagai saluran mekanis
digunakan sebagai jalur pergerakan organel dan protein dalam sel. Jalur ini
memungkinkan pergerakan organel, protein, atau molekul lemak berpindah ke
posisi yang telah ditentukan sebelumnya. Sitoskeleton adalah suatu sistem di dalam
sel, fungsinya sebagai kerangka dan alat gerak, dan strukturnya adalah anyaman
benang. Sejumlah protein motor menggerakkan berbagai organel di sepanjang
sitoskeleton eukariota. Protein sitoskeleton pada sitoskeleton eukariota ditemukan
pula pada prokariota. Sebagian besar sel hewan memiliki empat struktur sitoskeletal
dengan protein penyusun yang berbeda, yaitu filamen aktin, mikrotubulus, filamen
perantara, dan protein aksesori (Wahjuningsih dan Djati, 2006).

2.6. Substrat
Substrat adalah substansi tempat organisme hidup, tumbuh dan mati. Bagi
hewan-hewan bentonik, tipe dari substrat merupakan sesuatu yang sangat penting,
sehingga dengan mengetahui tipe dari substrat suatu daerah dapat diperkirakan apa
yang akan ditemukan di daerah tersebut, baik pada kumpulan fosil atau kumpulan
hewan yang masih hidup. Faktor yang paling penting dari suatu substrat adalah
besarnya butir yang ada di substrat itu sendiri (grain size) (Isnaeni, 2019).
Kehidupan foraminifera sangat dipengaruhi oleh lingkungan hidupnya
seperti batimetri, salinitas, temperatur, substrat, penetrasi cahaya, nutrisi dan
kandungan oksigen. Kemampuan foraminifera dalam beradaptasi dengan
10

lingkungan hidupnya sangat tinggi, terutama foraminifera bentonik kecil.


Foraminifera bentonik kecil adalah foraminifera yang hidup di dasar laut. Tekstur,
kimia dan mineral alami dari substrat memegang peranan dalam distribusi dan
morfologi bentonik foraminifera. Bentuk lektin, karena memperoleh komponen
pembentuk cangkang langsung dari dasar laut, secara langsung berkaitan dengan
kondisi matriks, bukan secara langsung berkaitan dengan suatu bentuk kalsium
cangkang yang langsung diproduksi oleh bentuk dari kimiawi yang berasal dari
ekstrak kandungan kalsium (Boltovskoy dan Wright, 1976 dan Valchev, 2003).
Pada konsentrasi substrat rendah, laju reaksi meningkat seiring dengan
konsentrasi substrat sedangkan pada konsentrasi tinggi, laju reaksi meningkat
secara perlahan dan lama-lama akan mencapai laju maksimumnya. Inhibitor
kompetitif memperlambat laju maksimum, inhibitor nonkompetitif menurunkan
laju maksimum. Aktivitas enzim dikendalikan dengan feedback, dimana produk
hasil reaksi dapat sebagai inhibitor atau aktivator enzim pertama dalam reaksi dan
oleh allosteric control dimana struktur kuartener enzim berubah bentuk karena
berikatan dengan inhibitor atau aktivator. Pengendalian juga dapat dilakukan secara
sintesis zimogen dan kontrol yang dilakukan secara genetik (Isnaeni, 2019).

2.7. Definisi Enzim


Enzim adalah biomolekul yang berupa protein globular, tersusun dari satu
rantai polipeptida atau lebih dari satu rantai polipeptida. Enzim berperan sebagai
katalis atau senyawa dan dapat mempercepat proses reaksi tanpa bereaksi
sempurna. Dengan adanya enzim tersebut, molekul awal yang disebut substrat akan
diakselerasi menjadi molekul lain yang disebut produk. Keunggulan enzim sebagai
biokatalis antara lain adalah spesifisitas yang tinggi, mempercepat reaksi kimia
tanpa pembentukan produk sampingan, produktivitas tinggi dan kemampuan
menghasilkan produk akhir yang tidak tercemar, sehingga mengurangi biaya
pemurnian yang dilakukan kepada subtrat tersebut dan dampak kerusakan yang
dihasilkan kepada suatu lingkungan sekitar (Chaplin and Bucke, 1990).
Semua enzim adalah protein, terkadang dengan komponen non-protein
yang disebut kofaktor. Kofaktor berupa molekul organik (koenzim) atau ion logam.
Hilangnya koenzim adalah protein yang menyebabkan inaktivasi koenzim.
11

Holoenzim adalah enzim yang terdiri dari akoenzim dan kofaktor. Gugus prostetik
adalah kofaktor yang tergabung dalam enzim dan sulit dipisahkan tanpa merusak
aktivitasnya. Hanya holoenzim yang merupakan katalis aktif.

2.8. Definisi Mikroskop


Mikroskop adalah sebuah alat yang digunakan untuk melihat objek yang
berukuran sangat kecil yang tidak bisa dilihat secara langsung dengan kasat mata.
Mikroskop merupakan alat yang dapat ditemukan hampir di seluruh laboratorium
untuk mengamati organisme yang berukuran kecil. Sel memiliki ukuran yang
sangat kecil, sehingga diperlukan bantuan alat mikroskop untuk melihatnya. Awal
terungkapnya adanya mikroba dan organisme kecil lainnya yang hidup di bumi
adalah semenjak ditemukannya alat pembesar mikroskop (Fifendy, 2017).
Sel mengandung sedikitnya satu nukleus yang sulit untuk dilihat di bawah
mikroskop, tetapi lebih mudah untuk dilihat setelah diwarnai. Mikroskop digunakan
untuk memperoleh bayangan yang halus dari benda dengan perbesaran yang dapat
disesuaikan, sehingga dapat terlihat susunan benda yang tak dapat dilihat secara
kasat mata. Mikroskop yang pertama kali diciptakan di dunia dan merupakan jenis
mikroskop yang paling umum digunakan adalah jenis mikroskop optik.
Mikroskop optis merupakan jenis mikroskop yang terdiri dari satu atau
lebih lensa yang dapat memproduksi gambar yang diperbesar dari sebuah benda
yang diletakan di bidang fokal dari lensa tersebut. Mikroskop dapat dikategorikan
menjadi dua jenis berdasarkan sumber cahaya yang digunakan, yaitu mikroskop
cahaya dan juga mikroskop elektron. Mikroskop cahaya biasa digunakan untuk
melihat sel dari mikroorganisme dan dapat dilakukan perbesaran maksimal hingga
1000 kali perbesaran. Mikroskop cahaya dapat dikategorikan lebih lanjut menjadi
dua kelompok besar, yaitu berdasarkan suatu kegiatan pengamatan dan berdasarkan
kerumitan kegiatan pengamatan yang dilakukan saat melakukan kegiatan
pengamatan suatu mikroorganisme disuatu praktikum tertentu.
Mikroskop cahaya berdasarkan kegiatan pengamatannya dapat dibedakan
menjadi mikroskop diseksi. Mikroskop tersebut dapat digunakan untuk pengamatan
bagian permukaan. Jenis lain yaitu mikroskop monokuler serta binokuler yang
12

digunakan untuk mengamati bagian-bagian yang terdapat di dalam sel. Mikroskop


monokuler merupakan mikroskop yang hanya memiliki satu lensa okuler dan
mikroskop binokuler memiliki dua lensa okuler. Mikroskop cahaya berdasarkan
kerumitan kegiatan pengamatan yang dilakukan dibagi menjadi dua bagian, yaitu
mikroskop sederhana yang umumnya digunakan oleh pelajar. Jenis lain yaitu
mikroskop riset, berupa dark-field, fluoresens, fase kontras, dan konfokal.
Menurut Arifin (2007), lensa objektif dan lensa okuler merupakan lensa
cembung. Lensa objektif secara garis besar akan menghasilkan suatu bayangan
sementara yang mempunyai sifat semu, posisi terbalik, dan diperbesar terhadap
posisi awal dari benda, lalu sifat bayangan akhir ditentukan oleh lensa okuler.
Mikroskop cahaya memiliki bayangan akhir yang bersifat semu, posisi terbalik, dan
kondisi yang lebih diperbesar. Mikroskop elektron, bayangan akhirnya mempunyai
sifat yang sama seperti gambar benda nyata, sejajar, dan ukuran diperbesar.

2.8. Penelitian Terkait


Penelitian yang dilakukan oleh Joindida Frensisco Sianipar dkk (2015)
dengan judul karakterisasi dan evaluasi morfologi bawang merah lokal samosir
(allium ascalonicum l.) pada beberapa aksesi di kecamatan bakti raja. Tujuan
penelitian ini adalah mendapatkan informasi mengenai karakterisasi morfologi
bawang merah lokal Samosir yang ada di wilayah sekitar Daerah Tangkapan Air
(DTA) Danau Toba untuk dapat dijadikan bibit unggul dengan produktifitas tinggi.
Penelitian ini dibagi menjadi dua tahap. Tahap pertama adalah eksplorasi
dan tahap kedua adalah karakterisasi dan evaluasi. Tahap pertama, pekerjaan
eksplorasi dilakukan di sentra penanaman bawang merah lokal Samosir di sekitar
daerah tangkapan air (DTA) Danau Toba, yang meliputi kawasan Bhakti Raja
(Kabupaten Humbang Hasundutan) dan Kecamatan Muara ( Kabupaten Tapanuli
Utara) dan Kecamatan Sitio-Theo (Kabupaten) Samosir Tahap kedua adalah
mengamati kondisi morfologi dan teknik budidaya penanaman kucai lapang, dan
mengadopsi Rancangan Acak Kelompok (RAK) non faktorial (RBD) Metode,
menggunakan beberapa tanaman kucai sebagai sampel, dilakukan 3 kali percobaan
berulang, dan dilakukan dari bulan Juni 2015 sampai Juli 2015.
13

Bahan yang digunakan adalah bawang merah yang diyakini merupakan


bawang merah lokal Samosir yang terletak di 6 desa di Kecamatan Bakti Raja. Alat
yang digunakan adalah kuesioner, kaliper digital, penggaris, timbangan digital,
amplop, lembar data, alat tulis dan kamera. Parameter yang diamati adalah umur
berbunga (DAS), warna daun, bentuk umbi, warna umbi, panjang tanaman (cm),
jumlah daun (strip), ers per cluster (menit), berat basah umbi per rumpun. Umbi
kering (g), jumlah umbi per tabung (tabung), diameter umbi (mm), berat 100 umbi
kering (g) dan berat susut umbi kering basah (%).
Tabel 1 mencantumkan karakteristik dari setiap spesies bawang Samosir
asli. Dapat dilihat dari Tabel 1 bahwa ciri morfologi Samosé vetiver menunjukkan
bahwa tidak ada perbedaan secara keseluruhan antara keenam spesies tersebut.
Misalnya parameter umur, bentuk daun silindris berpori, warna daun hijau muda,
bentuk bunga umbellate, bentuk umbi lebar lonjong, warna umbi ungu atau putih.

Tabel 2.1.Karakteristik Spesies Bawang Samosir Asli


Aksesi Bentuk Warna Bentuk Bentuk Warna umbi
daun daun bunga umbi
Siunong-unong Silindris Serperti Putih Broad Ungu/putih
Julu berlubang paying oval
Marbun dolok Silindris Serperti Putih Broad Ungu/putih
berlubang paying oval
Simamora Silindris Serperti Putih Broad Ungu/putih
berlubang paying oval
Marbun Toruan Silindris Serperti Putih Broad Ungu/putih
berlubang paying oval
Sinambela- Silindris Serperti Putih Broad Ungu/putih
Simanulang berlubang paying oval
Simangulampe Silindris Serperti Putih Broad Ungu/putih
berlubang paying oval
(Sumber: Joindida Frensisco Sianipar dkk., 2015)
BAB III
METODOLOGI PERCOBAAN

3.1. Alat dan Bahan


3.1.1. Alat
1. Mikroskop
2. Api bunsen
3. Tabung reaksi
4. Jarum ose
5. Pipet tetes
6. Pinset
7. Pisau cutter tajam
3.1.2. Bahan
1. Aquadest
2. Serat kapas
3. Methylene blue
4. Daun
5. Minyak emersi
6. Roti (segar dan rusak)
7. Air comberan
8. Tempe (segar dan rusak)
9. Bawang merah
10. Kentang (segar dan rusak)

3.2. Prosedur Percobaan


3.2.1. Simple Staining (Pewarnaan sederhana)
1. Kaca objek dibersihkan dengan alkohol 95%.
2. Setetes air comberan atau lendir makanan basi yang akan diwarnai
disiapkan.
3. Satu atau dua ose biakan diambil dan diletakkan di tengah gelas objek.
4. Ujung jarum ose digunakan agar biakan dapat disebar hingga melebar dan
diperoleh apusan tipis berdiameter 1-2 cm.

14
15

5. Fiksasi dilakukan dengan diangin-anginkan atau dengan dilewatkan di atas


nyala api bunsen hingga apusan tampak kering dan transparan.
6. Methylen blue diteteskan ke atas kaca objek tadi.
7. Sedikit aquadest disemprotkan.
8. Sampel dikeringkan secara hati-hati dengan tissue (jangan sampai terkena
apusan).
9. Sampel diamati dengan mikroskop dengan variasi perbesaran dan bantuan
minyak emersi.
10. Bentuk sel yang terlihat digambar.
3.2.2. Pengamatan Sel Bawang Merah, Daun, dan Serat Kapas
1. Kaca objek dibersihkan.
2. Helaian bawang merah atau daun atau serat kapas diiris tipis.
3. Sampel diambil dengan pinset dan diletakan di kaca objek.
4. Ditetesi aquadest.
5. Sampel diamati di bawah mikroskop dengan variasi perbesaran.
6. Bentuk sel yang terlihat digambar.
3.2.3. Pengamatan untuk Roti, Tempe, Kentang (Segar dan Rusak)
1. Kaca objek dibersihkan.
2. Preparat yang segar diambil sedikit.
3. Aquadest ditetesi.
4. Sampel diamati di bawah mikroskop dengan variasi perbesaran.
5. Hal yang sama dilakukan untuk preparat dengan bahan yang rusak.
6. Hasilnya dibandingkan.
7. Bentuk sel yang terlihat digambar.
DAFTAR PUSTAKA

Arifin, Z. 2007. Morfologi. Jakarta: Grasindo.


Bahtiar, E. T., dkk. 2016. Pengaruh Komponen Kimia dan Ikatan Pembuluh
terhadap Kekuatan Tarik Bambu. Jurnal Teknik Sipil. 23(1). 31–40.
Beale, G. H., dan Preer, J. R. 2008. Paramecium Genetics and Epigenetics. New
York: CRC Press.
Boltovskoy, E. dan Wright, R., 1976. Recent Foraminifera. New York: Dr. W.Junk
b.v. publishers the Hague.
Chaplin, M.F. dan Bucke. 1990. Enzyme Technology. Cambridge: Cambridge
University Press.
Chaeri, A., Dkk. (2008). Praktikum Struktur Hewan.Jakarta:Universitas Terbuka
Press.
Diana, L., dan Titi, L. 2016. Isolasi dan Identifikasi Khamir Selulolitik Dari Tanah
Rizosfer Anggrek Puser Bumi (Pecteilis susannae L.) di Hutan Wonosadi
Gunung Kidul DIY. Jurnal UIN ALAUDDIN. 4(1). 21-28.
Dworkin, M. 2006. The Prokaryotes: A Handbook on the Biology of Bacteria. New
York: Springer.
Fifendy, M. 2017. Mikrobiologi. Depok: Kencana.
Goodman, S. R. 2008. Medical Cell Biology. In Medical Cell Biology. San Diego:
Academic Press.
Hidayat, N., dkk. 2018. Mikroorganisme dan Pemanfaatnnya. Malang: UB Press.
Isnaeni, N. 2019. Enzim. Jakarta: UI Press
Lukitasari, A. 2009. Pembentukan Senyawa Oksigen Reaktif. Jurnal Kedokteran
Syiah Kuala. 9(1): 5-11.
Joindida F. S., dkk. 2015. Karakterisasi dan Evaluasi Morfologi Bawang Merah
Lokal Samosir (Allium ascalonicum L.) pada Beberapa Aksesi di
Kecamatan Bakti Raja. Jurnal Agroekoteknologi. 4(1). 1962–1972.
Nur Hidayat. 2018. Mikroorganisme dan Pemanfaatannya. Malang: Universitas
Brawijaya Press
Prescott, dkk. 2008. Microbiology 7th Edition. USA: McGraw Hill Book Company.
Riandari, H. 2007. Sains Biologi. Solo: Tiga Serangkai.
Rimbun. 2015. STRUKTUR DAN PERAN SITOSKELETON PADA
ERITROSIT. Majalah Biomorfologi. 28(2). 38–45.
Rudijanto, A., dan Kalim, H. 2006. Pengaruh Hiperglemi Terhadap Peran
Sitoskeleton (Cytoskeleton) Sebagai Jalur Transduksi Signal (Signal
Transduction). Journal of Internal Medicine. 7(3). 245-257
Simanjuntak, H., A., dan Butar-butar, M. 2019. UJI AKTIVITTAS ANTIFUNGI
EKSTRAK ETANOL UMBI BAWANG MERAH (Allium cepa L.)
TERHADAP Candida albicans DAN Pityrosporum ovale. Jurnal
Penelitian dan Pembelajaran MIPA. 4(2). 79-134.
Suryaningsih, V., dkk. 2018. KARAKTERISTIK MORFOLOGI, BIOKIMIA,
DAN MOLEKULER ISOLAT KHAMIR IK-2 HASIL ISOLASI DARI
JUS BUAH SIRSAK (Annona muricata L.). Jurnal Biologi. 7(1). 18-25.
Subagiartha, I. M. 2018. Sel Struktur, Fungsi, dan Regulasi. Anesthesiologi Dan
Terapi Intensif. 2(3). 6–18.
Suyitno, A. dan Sukirman. 2009. Biologi 1 SMP Kelas VII. Jakarta: Yudhistira.
Valchev, B., 2003. On The Potential of Small Benthic Foraminiferal as
Paleoecology indicators: Recent Advances. Geology and geophysics.
46(1). 189-194.
Wahjuningsih, S., dan Djati, M. S. 2006. Perubahan Struktur Sitoskeleton Berbasis
Mikrotubulus Dan Ultrastruktur 00sit Pasca Kriopreservasi Dengan
Metode Vltrlflkasl. Malang: UB Press.

Anda mungkin juga menyukai