Anda di halaman 1dari 35

Nama : Aqiella Fadya Haya

NIM : 04011181823006
Kelas : Gamma 2018

Learning Issue Skenario B Blok 20 Tahun 2020

ANATOMI TULANG EKSTREMITAS INFERIOR

Gambar 1. Sendi coxae. A. Facies articularis pandangan anterior. B. Gerak collum


ossis femoris ketika rotasi ke medial dan lateral.
(Sumber: Drake, 2010)

Gambar 2. Membrana fibrosum dan ligamenta sendi coxae (atas), suplai darah
pada sendi coxae (bawah).
(Sumber: Drake, 2010)

1
Gambar 3. Tulang Femur
(Sumber: Snell 2002)

Pusat caput terdapat lekukan kecil yang disebut fovea capitis, yaitu untuk
tempat perlekatan dari ligamentum capitis femoris. Sebagian pendarahan untuk
caput femoris dari arteria obturatoria dihantarkan melalui ligamentum ini dan
memasuki tulang melalui fovea capitis. Collum, yang menghubungkan caput
dengan corpus, berialan ke bawah, belakang, dan lateral dan membentuk sudut
lebih kurang 125 derajat (pada perempuan lebih kecil) dengan sumbu panjang
corpus femoris. Bt-.samya ludut ini dapai merubah akibat adanya penyakit
Trochanter major dan minor nrerupakan tor-rjolan besar pada batas antara
collum dan corpus. Linea intertrochanterica menghubungkan kedua trochanter
ini di anterior dan oleh crista intertrochanterica di sebelah posterior, pada crista
ini terdapat tuberculum quadratum. Corpus femoris permukaan anteriornya licin
dan bulat, sedangkan permukaan posterior mempunyai rigi, disebut linea aspera.
Pada linea ini melekat otot-otot dan septa intermuscularis. Pinggir-pinggir linea
aspera melebar ke atas dan bawah. Pinggir medial melanjutkan diri ke distal
sebagai crista supracondylaris medialis yang menuju ke tuberculum adductorum
pada condylus medialis. pinggirlateral melanjutkan diri ke distal sebagai crista
supracondylaris lateralis. Pada permukaan posterior corpus, di bawah trochanter

2
major terdapat tuberositas glutea untuk tempat melekatnya musculus gluteus
maximus. Corpus melebar ke arah ujung distalnya dan membentuk daerah
segitiga datar pada permukaan posteriornya, yang disebut fossa popliteal. Ujung
bawah femur mempunyai condylus medialis dan lateralis, yang di bagian
posterior dipisahkan oleh incisura intercondylaris. Permukaan anterior condylus
bersendi dengan facies articularis patellae. Kedua condylus ikut serta dalam
pembentukan articulatio genu. Di atas condylus terdapat epicondylus lateralis
dan medialis. Tuberculum adductorum dilanjutkan oleh epicondylus medialis.
1. Ligamentum
Tiga ligamenta memperkuat permukaan eksternal membrana fibrosum dan
menstabilkan sendi: ligamenta iliofemorale, pubofemorale, dan
ischiofemorale.
• Ligamentum iliofemorale terletak di anterior terhadap sendi coxae dan
berbentuk segitiga (Gambar 2). Apexnya melekat pada ilium di antara
SIAI dan tepi acetabulum dan basisnya melekat di sepanjang linea
intertrochanterica ossis femoris. Bagian-bagian ligamentum yang
melekat di atas dan di bawah linea intertrochanterica lebih tebal dari
pada yang melekat pada bagian tengah linea intertrochanterica. Hasilnya
ligamentum iliofemorale memiliki bentuk seperti huruf Y.
• Ligamentum pubofemorale terletak anteroinferior terhadap sendi coxae
(Gambar 2B). Bentuknya juga segitiga, dengan basis melekat di medial
dari eminentia iliopubica, tulang di dekatnya. dan membrana
obturatoria. Ke arah lateral, ligamentum pubofemorale bergabung
dengan membrana fibrosum dan dengan permukaan dalarn ligamentum
iliofemorale.
• Ligamentum ischiofemorale memperkuat aspectus posterior membrana
fibrosum (Gambar 2C) Ligamentum ischiofemorale ke arah medtal
melekat pada ischium, tepat di posteroinferior dari acetabulum. dan ke
arah lateral pada trochanter major. di sebelah dalam dari ligamentum
iliofemorale (Snell, 2002)

3
OSTEOPOROSIS
a. Definisi
Osteoporosis merupakan penyakit tulang yang ditandai dengan
menurunnya massa tulang secara keseluruhan akibat ketidakmampuan
tubuh dalam mengatur kandungan mineral dalam tulang dan disertai dengan
rusaknya arsitektur tulang atau dapat dikatakan sebagai pengeroposan
tulang sehingga menyebabkan penurunan kekuatan tulang. Hal ini memiliki
risiko untuk terjadinya fraktur tulang. Secara statistik, osteoporosis
didefinisikan sebagai keadaan dimana Densitas Mineral Tulang (DMT)
berada di bawah nilai rujukan menurut umur atau standar deviasi berada di
bawah nilai ratarata rujukan pada usia dewasa muda (Depkes, 2002).

b. Prevalensi
Osteoporosis merupakan permasalahan kesehatan yang sering
dijumpai di seluruh dunia, terutama di negara berkembang. Menurut data
World Health Organization menunjukkan bahwa terdapat sekitar 200 juta
orang yang menderita osteoporosis di seluruh dunia. Pada tahun 2050,
angka kejadian patah tulang pinggul diperkirakan akan meningkat dua kali
lipat pada wanita dan tiga kali lipat pada pria. Laporan WHO juga
menyebutkan bahwa 50% patah tulang adalah patah tulang paha atas yang
mengakibatkan kecacatan seumur hidup dan kematian. Menurut survei
kependudukan di Indonesia, jumlah penduduk usia ≥ 55 tahun meningkat
lebih dari 50% dalam kurun waktu 20 tahun sehingga diprediksi angka
kejadian osteoporosis juga meningkat. Penelitian terbaru dari International
Osteoporosis Foundation (IOF) mengungkapkan bahwa 1 dari 4 wanita di
Indonesia dengan rentang usia 50-80 tahun memiliki risiko terkena
osteoporosis. Hasil penelitian white paper dan Perhimpunan Osteoporosis
Indonesia pada tahun 2007 melaporkan bahwa proporsi penderita
osteoporosis pada penduduk yang berusia di atas 50 tahun ialah 32,3% pada
wanita dan 28,8% pada pria.

4
c. Etiologi
Menurut etiologinya osteoporosis dapat dikelompokkan dalam
osteoporosis primer dan osteoporosis sekunder. Osteoporosis primer terjadi
akibat kekurangan massa tulang yang terjadi karena faktor usia secara alami.
Osteoporosis primer ini terdiri dari dua bagian:
1. Tipe I (Post Menopausal) Terjadi 15-20 tahun setelah menopause (usia
53-75 tahun). Ditandai oleh fraktur tulang belakang tipe crush,
Colles’fracture, dan berkurangnya gigi geligi. Hal ini disebabkan
luasnya jaringan trabekular pada tempat tersebut, dimana jaringan
trabekular lebih responsif terhadap defisiensi estrogen.
2. Tipe II (Senile) Terjadi pada pria dan wanita usia ≥70 tahun. Ditandai
oleh fraktur panggul dan tulang belakang tipe wedge. Hilangnya massa
tulang kortikal terbesar terjadi pada usia tersebut[1] . Osteoporosis
sekunder dapat terjadi pada tiap kelompok umur yang disebabkan oleh
penyakit atau kelainan tertentu, atau dapat pula akibat pemberian obat
yang mempercepat pengeroposan tulang. Contoh penyebab osteoporosis
sekunder antara lain gagal ginjal kronis, hiperparatiroidisme (hormon
paratiroid yang meningkat), hipertirodisme (kelebihan horman gondok),
hipogonadisme (kekurangan horman seks), multiple mieloma,
malnutrisi, faktor genetik, dan obat-obatan (Kurniawan, 2017)
d. Klasifikasi
Osteoporosis dibagi menjadi dua golongan besar menurut
penyebabnya, yaitu: Osteoporosis Primer adalah osteoporosis yang bukan
disebabkan oleh suatu penyakit (proses alamiah), dan Osteoporosis
sekunder bila disebabkan oleh berbagai kondisi klinis/penyakit, seperti
infeksi tulang, tumor tulang, pemakaian obat-obatan tertentu dan
immobilitas yang lama.
1. Osteoporosis Primer
Osteoporosis primer berhubungan dengan berkurangnya massa
tulang dan atau terhentinya produksi hormon (khusus perempuan)
disamping bertambahnya usia. Osteoporosis primer terdiri dari :

5
a) Osteoporosis Primer Tipe I
Sering disebut dengan istilah osteoporosis pasca menopause,
yang terjadi pada wanita pasca menopause. Biasanya wanita berusia
50-65 tahun, fraktur biasanya pada vertebra (ruas tulang belakang),
iga atau tulang radius.
b) Osteoporosis Primer Tipe II
Sering disebut dengan istilah osteoporosis senil, yang terjadi
pada usia lanjut. Pasien biasanya berusia ≥70 tahun, pria dan wanita
mempunyai kemungkinan yang sama terserang, fraktur biasanya
pada tulang paha. Selain fraktur maka gejala yang perlu diwaspadai
adalah kifosis dorsalis bertambah, makin pendek dan nyeri tulang
berkepanjangan.

2. Osteoporosis Sekunder

Osteoporosis sekunder, adalah osteoporosis yang disebabkan oleh


berbagai penyakit tulang (chronic rheumatoid, artritis, tbc spondilitis,
osteomalacia, dll), pengobatan steroid untuk jangka waktu yang lama,
astronot tanpa gaya berat, paralise otot, tidak bergerak untuk periode
lama, hipertiroid, dan lain-lain (Menkes, 2008).

e. Faktor resiko

Faktor risiko osteoporosis pada dasarnya terdiri dari faktor risiko


yang dapat dimodifikasi dan faktor risiko yang tidak dapat modifikasi.

Faktor Risiko Yang Tidak Dapat Dimodifikasi


1. Usia
Usia adalah salah satu dari faktor risiko osteoporosis yang tidak
dapat direkayasa. Pada lansia daya serap kalsium akan menurun seiring
dengan bertambahnya usia.

6
2. Gender
Diperkirakan selama hidup, wanita akan kehilangan massa tulang
30%- 50%, sedangkan pria hanya 20%-30%, namun tidak berarti semua
wanita yang telah mengalami menopause akan mengalami osteoporosis.
3. Genetik
Diperkirakan 80% kepadatan tulang diwariskan secara genetik
sehingga dapat diartikan bahwa osteoporosis dapat diturunkan
4. Gangguan hormonal
a) Wanita yang memasuki masa menopause mengalami
pengurangan hormon esterogen, sehingga pada umumnya
wanita diatas usia 40 tahun lebih banyak terkena osteoporosis
dibanding dengan pria.
b) Pria yang mengalami defisit testosteron ( hormon ini dalam
darah diubah menjadi estrogen ).
c) Ganguan hormonal lain seperti : tiroid, para retiroid, insulin dan
glucocorticoid.
5. Ras
Seperti yang digambarkan oleh grafik perbandingan ras yang ada di
Amerika, orang berkulit putih cenderung lebih berisiko osteoporosis
dibanding dengan orang berkulit hitam (Menkes, 2008).

Faktor Risiko Yang Dapat Dimodifikasi


1. Imobilitas
Imobilitas dalam waktu yang lama memiliki risiko yang lebih tinggi
untuk terkena osteoporosis dibandingkan menopause. Imobilitas akan
berakibat pada pengecilan tulang dan pengeluaran kalsium dari tubuh
(hiperkalsiuria). Imobilitas umumnya dialami orang yang berada dalam
masa penyembuhan yang perlu mengistirahatkan tubuhnya untuk waktu
lama.
2. Postur tubuh kurus
Postur tubuh yang kurus cenderung mengalami osteoporosis
dibandingkan dengan postur ideal (dengan berat badan ideal), karena

7
dengan postur tubuh yang kurus sangat mempengaruhi tingkat
pencapaian massa tulang.
3. Kebiasaan (mengkonsumsi alkohol, kopi, minuman yang mengandung
kafein, dan rokok yang berlebih)
Dengan berhenti merokok secara total, membuat esterogen dalam
tubuh seseorang tetap beraktifitas dan juga dapat mengeliminasi risiko
kehilangan sel pembentuk tulang selama hidup yang mencakup 20%-
30% pada pria dan 40%-50% pada wanita. Minuman yang mengandung
alkohol, kafein dan soda berpotensi mengurangi penyerapan kalsium ke
dalam tubuh, sehingga jenis minuman tersebut dikategorikan sebagai
faktor risiko osteoporosis.
4. Asupan gizi rendah.
Pola makan yang tidak seimbang yang kurang memperhatikan
kandungan gizi, seperti kalsium, fosfor, seng, vitamin B6, C, D, K, serta
phytoestrogen (estrogen yang berasal dari tumbuh-tumbuhan, seperti
toge), merupakan faktor risiko osteoporosis.
5. Kurang terkena sinar matahari
Orang jarang terkena sinar matahari, terutama sinar pada pagi dan
sore hari, karena pada saat tersebut sinar dibutuhkan untuk memicu kulit
membentuk vitamin D3, dimana vitamin D (D3 + D2/berasal dari
makanan) di ubah oleh hepar dan ginjal menjadi kalsitriol
6. Kurang aktifitas fisik.
Kurangnya olahraga dan latihan secara teratur, menimbulkan efek
negatif yang menghambat proses pemadatan massa tulang dan kekuatan
tulang. Namun olahraga yang sangat berlebih (maraton, atlit) pada usia
muda, terutama anak perempuan yang telah haid, akan menyebabkan
haidnya terhenti, karena kekurangan estrogen, sehingga penyerapan
kalsium berkurang dengan segala akibatnya.
7. Penggunaan obat untuk waktu lama.
Pasien osteoporosis sering dikaitkan dengan istirahat total yang
terlalu lama akibat sakit, kelainan tulang, kekurangan bahan pembentuk
dan yang terutama adalah pemakaian obat yang mengganggu

8
metabolisme tulang. Jenis obat tersebut antara lain : kortikosteroid,
sitostatika (metotreksat), anti kejang, anti koagulan (heparin, warfarin).
8. Lingkungan
Lingkungan yang berisiko osteoporosis, adalah lingkungan yang
memungkinkan orang tidak terkena sinar matahari dalam jangka waktu
yang lama seperti : daerah padat hunian, rumah susun, apartemen, dan
lain-lain (Menkes, 2008).

f. Patogenesis
Patogenesis semua macam osteoporosis adalah sama yaitu adanya
balans tulang negatif yang patologik dan kekurangan kalsium yang dapat
disebabkan oleh peningkatan resorpsi tulang dan atau penurunan
pembentukan tulang. Massa tulang pada semua usia ditentukan oleh 3
variabel yaitu massa tulang puncak, usia dimana kekurangan massa tulang
mulai terjadi dan kecepatan kehilangan tulang meningkat.
Massa tulang akan terus meningkat sampai mencapai puncaknya
pada usia 30-35 tahun. Puncak masa tulang ini lebih tinggi pada laki-laki
daripada perempuan. Untuk jangka waktu tertentu keadaan massa tulang
tetap stabil dan kemudian terjadi pengurangan massa tulang sesuai dengan
pertambahan umur. Densitas tulang yang rendah pada usia lanjut dapat
terjadi akibat puncak massa tulang yang tidak cukup atau meningkatnya
kehilangan tulang sebagai kelanjutan usaha untuk mencapai massa tulang
yang normal
Pada osteoporosis didapat massa tulang yang rendah dan kerusakan
mikroarsitektur jaringan tulang dengan akibat peningkatan fragilitas tulang
dan resiko fraktur. Bertambahnya kehilangan tulang dapat disebabkan oleh
umur, menopause, dan beberapa faktor sporadic (Ramadani, 2010).

g. Gambaran Klinis
Bila tidak disertai dengan penyakit pemberat lain (komplikasi),
penderita osteoporosis bisa saja tidak merasakan gejala apapun. Keluhan
yang mungkin timbul hanya berupa rasa sakit dan tidak enak dibagian
punggung atau daerah tulang yang mengalami osteoporosis. Namun perlu

9
diwaspadai, bahwa patah tulang bisa terjadi hanya karena sedikit goncangan
atau benturan yang sering pada tulang yang manahan beban tubuh. Rasa
nyeri bisa hilang sendiri setelah beberapa hari atau beberapa minggu, dan
kemudian timbul lagi bila proses osteoporosis terjadi lagi ditempat lain.
Pemadatan ruas tulang punggung yang luas (multiple compression) bisa
memperlihatkan gejala membungkuk pada tulang belakang, yang terjadi
perlahan dan menahun dengan keluhan nyeri tumpul. Gejalanya, penderita
nampak bongkok sebagai akibat kekakuan pada otot punggung (Ramadani,
2010).

h. Diagnosis
Berikut langkah-langkah dalam mendiagnosis osteoporosis menurut
pedoman osteoporosis Kementerian Kesehatan Republik Indonesia:
1. Anamnesis
Beberapa tanda dan gejala yang perlu diwaspadai kemungkinan
osteoporosis ialah:
• Adanya faktor predisposisi sebagai faktor risiko
• Terjadi patah tulang secara tiba-tiba karena trauma ringan atau
tanpa trauma
• Timbul rasa nyeri yang hebat sehingga pasien tidak dapat
melakukan pergerakan
• Tubuh makin pendek dan bongkok (kifosis dorsal bertambah)
Untuk melengkapi anamnesis, formulir tes semenit risiko
osteoporosis yang dikeluarkan oleh IOF dapat digunakan untuk
osteoporosis (Menkes, 2008).

10
Gambar 1. Formulir tes semenit osteoporosis

2. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan dilakukan dengan mengamati penurunan tinggi badan
dan postur tubuh (Menkes, 2008).

3. Pemeriksaan laboratorium
Berikut beberapa pemeriksaan yang dapat dilakukan sebagai
berikut:
• Kadar serum (puasa) kalsium (Ca), fosfat (PO4) dan fosfatase
alkali
• Bila ada indikasi, dianjurkan juga untuk melakukan pemeriksaan
fungsi (rutin) tiroid, hati dan ginjal.
• Pengukuran ekskresi kalsium urin 24 jam berguna untuk
menentukan pasien malabsorpsi kalsium (total ekskresi 24 jam
kurang dari 100 mg) dan untuk pasien yang jumlah ekskresi
kalsium sangat tinggi (lebih dari 250 mg/24 jam) yang bila diberi

11
suplemen kalsium atau vitamin D atau metabolismenya mungkin
berbahaya.
Bila dari hasil klinis, darah dan urin diduga adanya
hiperparatiroidisme, maka perlu diperiksa kadar hormon paratiroid
(PTH). Bila ada dugaan ke arah malabsorpsi maka perlu diperiksa kadar
25 OH D (Menkes, 2008).

4. Pemeriksaan radiologi
Pemeriksaan radiologis umumnya terlihat jelas apabila telah terjadi
osteoporosis lanjut, atau jika hasil BMD yang diperoleh dari
pemeriksaan dengan menggunakan alat densitometer menunjukkan
positif tinggi (Menkes, 2008).
Pemeriksaan radiologik untuk menilai densitas massa tulang sangat
tidak sensitif. Seringkali penurunan densitas massa tulang spinal lebih
dari 50% belum memberikan gambaran radiologik yang spesifik.
Gambaran radiologik yang khas pada osteoporosis adalah penipisan
korteks dan daerah trabekuler yang lebih lusen. Hal ini akan tampak
pada tulang-tulang vertebra yang memberikan gambaran picture-frame
vertebra.
Bowing deformity pada tulang-tulang panjang, sering didapatkan
pada anak-anak dengan osteogenesis imperfekta, rikets, dan displasia
fibrosa.

5. Pemeriksaan densitometer (Ultrasound)


Pemeriksaan dengan densitometer untuk mengukur kepadatan
tulang (BMD), berdasarkan Standar Deviasi (SD) yang terbaca oleh alat
tersebut. Densitometer merupakan alat test terbaik untuk mendiagnosis
seseorang menderita osteopeni atau osteoporosis, namun tes ini tidak
dapat menentukan cepatnya proses kehilangan massa tulang. Dengan
demikian, jika densitometer ultrasound menunjukkan nilai rendah (T
score dibawah -2,5), sebaiknya disarankan menggunakan densitometer
X - ray (rontgen). Osteoporosis terdiagnosis setelah terjadi keretakan

12
tulang. Pemeriksaan rontgen berguna untuk mengidentifikasi keretakan
tulang, tapi bukanlah suatu metode yang tepat untuk mengukur
kepadatan tulang. Osteoporosis dapat dideteksi dengan mudah tanpa
prosedur yang invasif yaitu menggunakan Dual-Energy X-Ray
Absorptiometry (DEXA), tes ini mengukur kekuatan tulang atau
densitas tulang dan mineral. Adanya risiko tinggi untuk mengalami
osteoporosis, pemeriksaan DEXA sangat disarankan (Menkes, 2008).

i. Pencegahan
Osteoporosis merupakan penyakit tersembunyi, terkadang tanpa gejala dan
tidak terdeteksi, sampai timbul gejala nyeri karena mikrofraktur atau karena
patah tulang anggota gerak. Karena tingginya morbiditas yang terkait
dengan patah tulang, maka upaya pencegahan merupakan prioritas.
Pencegahan osteoporosis dapat dibagi dalam 3 kategori yaitu primer,
sekunder dan tersier (sesudah terjadi fraktur).
1. Pencegahan Primer
Pencegahan primer merupakan upaya terbaik serta dirasa paling murah
dan mudah. Yang termasuk ke dalam pencegahan primer adalah:
a) Kalsium
Mengkonsumsi kalsium cukup baik dari makanan sehari-hari
ataupun dari tambahan kalsium, pada umumnya aman kecuali
pada pasien dengan hiperkalsemia atau nefrolitiasis. Jenis
makanan yang cukup mengandung kalsium adalah sayuran hijau
danjeruk sitrun. Sedangkan diet tinggi protein hewani dapat
menyebabkan kehilangan kalsium bersama urin. Dalam suatu
penelitian dikatakan bahwa perempuan yang melakukan diet
vegetarian lebih dari 20 tahun mengalami kehilangan mineral
tulang lebih rendah yaitu sebesar 18% dibandingkan perempuan
non vegetarian sebesar 35%.
b) Latihan fisik
Latihan fisik harus mempunyai unsur pembebanan pada anggota
tubuh/ gerak dan penekanan pada aksis tulang seperti jalan,

13
joging, aerobik atau jalan naik turun bukit.Olahraga renang tidak
memberikan manfaat yang cukup berarti. Sedangkan jika latihan
berlebihan yang mengganggu menstruasi (menjadi amenorrhea)
sangat tidak dianjurkan karena akan mengakibatkan terjadinya
peningkatan kehilangan massa tulang. Demikian pula pada laki-
laki dengan latihan fisik berat dan berat dapat terjadi kehilangan
massa tulang. Hindari faktor yang dapat menurunkan absorpsi
kalsium, meningkatkan resorpsi tulang, atau mengganggu
pembentukan tulang, seperti merokok, minum alkohol dan
mengkonsumsi obat yang berkaitan dengan terjadinya
osteoporosis. Kondisi yang diduga akan menimbulkan
osteoporosis sekunder, harus diantisipasi sejak awal (Ramadani,
2010).
2. Pencegahan sekunder
a) Konsumsi kalsium tambahan
Konsumsi kalsium dilanjutkan pada periode menopause, 1200-
1500 mg per hari, untuk mencegah negative calcium balance.
Pemberian kalsium tanpa penambahan estrogen dikatakan
kurang efektif untuk mencegah kehilangan massa tulang pada
awal periode menopause. Penurunan massa tulang terlihat jelas
pada perempuan menopause yang asupan kalsiumnya kurang
dari400mgperhari.Hasilpenelitianmenunjukkanbahwa
pemberian kalsium bersama dengan estrogen dapat menurunkan
dosis estrogen yang diperlukan sampai dengan 50%.
b) Estrogen Replacement Therapy (ERT)
Semua perempuan pada saat menopause mempunyai resiko
osteoporosis. Karena itu dianjurkan pemakaianERT pada
mereka yang tidak ada kontraindikasi. ERT menurunkan resiko
fraktur sampai dengan 50% pada panggul, tulang radius dan
vertebra.

14
c) Pemberian kalsitonin
Kalsitonin bekerja menghambat resorpsi tulang dan dapat
meningkatkan massa tulang apabila digunakan selama 2 tahun.
Nyeri tulang juga akan berkurang karena adanya efek
peningkatan stimulasi endorfin. Pemakaian kalsitonin
diindikasikan bagi pasien yang tidak dapat menggunakan ERT,
pasien pasca menopause lebih dari 15 tahun, pasien dengan nyeri
akibat fraktur osteoporosis, dan bagi pasien yang mendapat
terapi kortikosteroid dalam waktu lama.
d) Terapi
Terapi yang juga diberikan adalah vitamin D dan tiazid,
tergantung kepada kebutuhan pasien. Vitamin D membantu
tubuh menyerap dan memanfaatkan kalsium. Dua puluh lima
hidroksi vitamin D dianjurkan diminum setiap hari bagi pasien
yang menggunakan suplemen kalsium (Ramadani, 2010).
3. Pencegahan tersier
Setelah pasien mengalami fraktur osteoporosis, pasien jangan dibiarkan
imobilisasi terlalu lama. Sejak awal perawatan disusun rencana
mobilisasi mulai dari mobilisasi pasif sampai dengan aktif dan berfungsi
mandiri. Beberapa obat yang mempunyai manfaat adalah bisfosfonat,
kalsitonin, dan NSAID bila ada nyeri. Dari sudut rehabilitasi medik,
pemakaian ortose spinal/ korset dan program fisioterapi/ okupasi terapi
akan mengembalikan kemandirian pasien secara optima (Ramadani,
2010).

j. Tatalaksana
Tujuan utama ialah meningkatkan kepadatan tulang. Seluruh wanita
terutama yang menderita osteoporosis harus mengonsumsi kalsium dan
vitamin D dalam jumlah yang mencukupi. Pengaruh kekurangan hormon
dan proses penuaan yang membuat tulang makin rapuh sehingga beberapa
pengobatan dibutuhkan. Pasien yang memerlukan pengobatan umumnya
telah mengalami kehilangan massa tulang yang cukup berat, sehingga pada

15
umumnya telah mengalami satu atau beberapa kali fraktur tulang. Dengan
demikian tujuan utama pengobatan osteoporosis simptomatis adalah
mengurangi rasa nyeri dan berusaha untuk menghambat proses resorpsi
tulang dan meningkatkan proses formasi tulang untuk meningkatkan
kekuatan tulang serta meningkatkan sampai di atas ambang fraktur.
Berdasarkan AACE, terapi farmakologi diberikan pada pasien dengan
keadaan sebagai berikut:
- Pasien dengan osteopenia atau massa tulang yang rendah dan
riwayat fraktur pinggul atau tulang belakang
- Pasien dengan skor-T (BMD) -2,5 atau kurang dari itu pada tulang
belakang, leher femur, pinggul, atau radius
- Pasien dengan skor-T -1 – -2,5 pada tulang belakang, leher femur,
pinggul, atau radius, jika probabilitas FRAX 10 tahun untuk fraktur
osteoporotic ≥20%
Tabel berikut memaparkan terapi farmakologi yang dapat diberikan
sebagai pengobatan atau pencegahan osteoporosis post-menopause

Tabel 1. Terapi farmakologi yang dapat diberikan sebagai pengobatan


atau pencegahan osteoporosis post-menopause.
Sumber tabel: https://www.aace.com/files/postmenopausal-
guidelines.pdf

16
Beberapa hormon dan obat yang memiliki efek pada tulang dan
digunakan dalam pengobatan osteoporosis diklasifikasikan sebagai berikut:
- Obat-obatan yang terutama bekerja dalam mengurangi atau
mencegah terjadinya resorpsi tulang
- Obat-obatan yang merangsang terjadinya formasi tulang.
Beberapa jenis hormon dan obat yang dapat diberikan:
- Hormonal
• Estrogen (Pemberian estrogen saat ini masih pro dan kontra,
sehingga pemberiannya perlu berhati-hati dan harus diberikan
oleh ahlinya.)
• Kombinasi estrogen dan progesterone
• Testosteron
• Steroid anabolik
- Non-hormonal
• Kalsitonin
• Bifosfonat
• Kalsium
• Vitamin D dan metabolismenya
• Tiasid
• Fitoestrogen (berasal dari tumbuhan: semangi, kedelai, kacang
tunggak) (Menkes, 2008).
Secara umum menurut Kementerian Kesehatan Republik Indonesia,
penatalaksanaa osteoporosis dapat dilihat pada bagan berikut di bawah ini:

17
Bagan 1. Penatalaksanaan osteoporosis
(Sumber: Menkes, 2008).

FRAKTUR
a. Definisi
Fraktur adalah rusaknya kontinuitas dari struktur tulang, tulang rawan
dan lempeng pertumbuhan yang disebabkan oleh trauma dan non trauma.
Tidak hanya keretakan atau terpisahnya korteks, kejadian fraktur lebih
sering mengakibatkan kerusakan yang komplit dan fragmen tulang terpisah.
Tulang relatif rapuh, namun memiliki kekuatan dan kelenturan untuk
menahan tekanan. Fraktur dapat diakibatkan oleh cedera, stres yang

18
berulang, kelemahan tulang yang abnormal atau disebut juga fraktur
patologis (Solomon et al., 2010).

b. Klasifikasi Fraktur
Secara klinis, fraktur dibagi menurut ada tidaknya hubungan patahan
tulang dengan dunia luar, yaitu fraktur terbuka dan fraktur tertutup. Fraktur
tulang terbuka dibagi menjadi tiga derajat yang ditentukan oleh berat
ringannya luka dan fraktur yang terjadi, seperti yang dijelaskan pada tabel
1.
Tabel 1. Derajat fraktur terbuka menurut Gustillo
Derajat Luka Fraktur
I Laserasi <1 cm kerusakan Sederhana, dislokasi
jaringan tidak berarti relatif fragen minimal
bersih
II Laserasi >1cm tidak ada Dislokasi fragmen jelas
kerusakan jaringan yang
Hebat atau avulsi, ada
kontaminasi
III Luka lebar dan rusak hebat Kominutif, segmental,
Atau hilangnya jaringan fragmen tulang ada
disekitarnya. Kontaminasi yang hilang
Hebat

(Sumber: Sjamsuhidajat & Jong, 2010)

Fraktur sangat bervariasi dari segi klinis, namun untuk alasan praktis,
fraktur dibagi menjadi beberapa kelompok, yaitu :
- Complete fractures
Tulang terbagi menjadi dua atau lebih fragmen. Patahan fraktur yang
dilihat secara radiologi dapat membantu untuk memprediksi
tindakan yang harus dilakukan setelah melakukan reduksi. Pada
fraktur transversal (gambar 1a), fragmen tetap pada tempatnya
setelah reduksi, sedangkan pada oblik atau spiral (gambar 1c) lebih

19
cenderung memendek dan terjadi pergeseran meskipun tulang telah
dibidai. Fraktur segmental (gambar 1b) membagi tulang menjadi 3
bagian. Pada fraktur impaksi fragmen menumpuk saling tumpang
tindih dan garis fraktur tidak jelas. Pada raktur kominutif terdapat
lebih dari dua fragmen, karena kurang menyatunya permukaan
fraktur yang membuat tidak stabil (Solomon et al., 2010).
- Incomplete fractures
Pada fraktur ini, tulang tidak terbagi seutuhnya dan terdapat
kontinuitas periosteum. Pada fraktur buckle, bagian yang mengalami
fraktur hampir tidak terlihat (gambar 1d). Pada fraktur greenstick
(gambar 1e dan 1f), tulang melengkung atau bengkok seperti ranting
yang retak. Hal ini dapat terlihat pada anak‒anak, yang tulangnya
lebih elastis daripada orang dewasa. Pada fraktur kompresi terlihat
tulang spongiosa tertekan kedalam (Solomon et al., 2010).

Gambar 1. Variasi fraktur. Keterangan : Complete fractures: (a) transversal;


(b) segmental; (c) spiral. Incomplete fractures: (d) fraktur buckle; (e, f) fraktur
greenstick (Solomon et al., 2010).

20
a. Fraktur Pada Pasien Osteoporosis
Tingkat lanjut dari osteoporosis dapat berupa fraktur osteoporotik, yang
paling sering adalah: fraktur panggul, fraktur vertebra dan fraktur
pergelangan tangan. Sedangkan fraktur osteoporosis yang paling serius
ialah fraktur panggul (Gambar 2). Fraktur pada pasien osteoporosis pada
usia lanjut tidak hanya berpengaruh pada kualitas hidup, namun juga
mengancam jiwa (life threatening)
- Fraktur Osteoporosis Panggul
- Prognosis semakin jelek jika operasi ditunda hingga lebih
dari 3 hari
- Prognosis pasien fraktur panggul pasca terapi terkini:
- Sepertiga akan tetap di tempat tidur/kursi roda
- Sepertiga secara fungsional terbatas dan memerlukan
bantuan
- Hanya sepertiganya kembali fungsional secara penuh

Gambar 2. Fraktur osteoporosis panggul


(Sumber: Menkes, 2008)

- Fraktur Osteoporosis Vertebra


Kebanyakan asimtomatik atau menimbulkan gejala yang minimal
untuk itu perlu dilakukan anamnesis (investigasi). Antara umur 60-
90 tahun, insidennya pada wanita meningkat 20 kali lipat, dan pada

21
laki-laki meningkat 10 kali lipat. Lokalisasi biasanya mid thoracic
atau thoracolumbar junction (daerah paling lemah). Kualitas hidup
Pasien lebih rendah daripada Pasien dengan fraktur pinggul.
Sebanyak 4% memerlukan bantuan dalam kehidupan sehari-hari.
Beban ekonomis pada umumnya karena perawatan jalan, asuhan
keperawatan sementara, dan kehilangan waktu kerja.

Gambar 3. Fraktur osteoporotik vertebra


(Sumber: Menkes, 2008)

- Fraktur Osteoporosis Pergelangan Tangan


Pasien dengan fraktur pergelangan tangan, memiliki risiko fraktur
panggul dua kali lebih besar dikemudian hari. Sebanyak 90% pasien
fraktur osteoporosis pergelangan tangan dioperasi. Pada wanita,
umumnya terjadi dalam 4 tahun pasca menopause. Puncak kejadian
pada umur 60-70 tahun. Angka kesakitan lebih tinggi dibandingkan
fraktur panggul.

22
Gambar 4. Fraktur osteoporosis pergelangan tangan
(Sumber: Menkes, 2008)

PEMERIKSAAN FISIK DAN RADIOLOGI


Tabel 1. Pemeriksaan fisik

NO. PEMERIKSAAN HASIL INTERPRETASI


1 Status generalis Dalam batas normal Normal
2 Panjang ekstremitas Femur dekstra lebih Abnormal
bawah pendek dibanding
femur sinistra dengan
Limb Length
Discrepancy 3 cm.
3 REMS (Regional Deformitas pada regio Abnormal
Examination of The femur dekstra: fleksi
Musculoskeletal System) dan eksternal rotasi
sendi panggul dekstra
4 Neurovaskular distal Dalam batas normal Normal
5 ROM sendi panggul Gerakan terbatas Abnormal
kanan
6 ROM sendi lutut kanan Dalam batas normal Normal

23
Tabel 2. Pemeriksaan radiologi
GAMBARAN INTERPRETASI
Kemungkinan terjadi pada daerah collum
femur atau termasuk ke dalam klasifikasi
fraktur panggul intrakapsular.

Sumber: Babu Varun, Frank Gaillard. Femoral neck fracture.


https://radiopaedia.org/articles/femoral-neck-fracture.
Diakses pada tanggal 28 Desember 2020

24
ANALISIS MASALAH
a. Bagaimana hubungan usia dan jenis kelamin dengan keluhan pada kasus?
Jenis kelamin wanita mempunyai resiko tinggi mengalami osteoporosis
(penurunan kualitas tulang dan kuantitas kepadatan tulang), sehingga risiko
mengalami fraktur meningkat.

b. Bagaimana mekanisme nyeri hebat di pangkal paha yang terjadi pada


pasien?
Nyeri pangkal paha disebabkan oleh fraktur pada colum femur yang telah
mengalami osteoporosis. Fraktur mengakibatkan terangsangnya saraf nyeri
di sekitar area tulang yang fraktur sehingga terasa nyeri.

c. Mengapa ketika pasien terjatuh bisa terjadi fraktur pada pangkal paha?
Osteoporosis yang dialami pasien menyebabkan penurunan kepadatan
tulang dan perubahan mikroarsitektur tulang sehingga bila terjadi trauma
minor dalam hal ini ialah jatuh ke lantai, tulang rentan fraktur. Bagian
pangkal paha cenderung mudah mengalami kerapuhan pada osteoporosis

d. Apa saja faktor yang dapat memperberat nyeri akibat fraktur?


Pada kasus, nyeri disebabkan karena fraktur. Fraktur yang terjadi pada
pangkal paha yang notabenenya merupakan tempat origodan/atau insersio
dari beberapa otot cenderung mengakibatkan nyeri yang dapat dicetuskan
dengan adanya gerakan atau aktivitas fisik.

e. Bagaimana hubungan keluhan ngilu dan nyeri tulang 3 tahun lalu dengan
nyeri pada pangkal paha sekarang?
Nyeri yang dirasakan saat ini ialah nyeri akibat fraktur femur dekstra yang
dirasakan oleh Ny.A, terjadinya fraktur ini karena osteoporosis pada Ny.
A. Tanda-tanda osteoporosis telah ada sejak 3 tahun lalu yaitu nyeri
punggung.

25
f. Mengapa nyeri dan ngilu dirasakan tidak bertambah berat dan pasien masih
dapat beraktivitas seperti biasa?
Osteoporosis adalah “silent disease” sampai penderita mengalami patah
tulang. Fraktur baru-baru ini di situs kerangka utama mana pun, seperti
vertebra (tulang belakang), femur proksimal (pinggul), lengan bawah
(pergelangan tangan), atau bahu pada orang dewasa yang berusia lebih dari
50 tahun dengan atau tanpa trauma, harus menunjukkan bahwa diagnosis
osteoporosis perlu penilaian mendesak lebih lanjut yang melibatkan
diagnosis dan pengobatan. Proses degeneratif pada osteoporosis
berlangsung progresif, jika ada trauma baik itu trauma ringan, dapat terlihat
manifestasi dari osteoporosis.

g. Bagaimana mekanisme abnormalitas dari pemeriksaan fisik?

NO. PEMERIKSAAN HASIL PENYEBAB


1. Ukuran panjang Femur dekstra lebih
ekstremitas bawah pendek dibanding
femur sinistra dengan
Limb Length
Discrepancy 3 cm. Fraktur pada colum
2. REMS (Regional Deformitas pada regio femur dekstra
Examination of The femur dekstra: fleksi
Musculoskeletal dan eksternal rotasi
System) sendi panggul dekstra
3. ROM sendi Gerakan terbatas
panggul kanan

26
h. Bagaimana interpretasi dari hasil pemeriksaan radiologi?
GAMBARAN INTERPRETASI
Kemungkinan terjadi pada daerah collum femur
atau termasuk ke dalam klasifikasi fraktur
panggul intrakapsular

i. Pemeriksaan radiologi apa saja yang dapat digunakan untuk mendeteksi


fraktur pada pasien?
Rontgent. Beberapa fraktur bisa tidak terlihat jelas hanya dengan rontgen
sehingga diperlukan pemeriksaan radiologis lain, seperti Computed
Tomography (CT) Scan, Magnetic Resonance Imaging (MRI), dan
radioisotope scanning.

j. Bagaimana indikasi dari pemeriksaan pada kasus?


- Limb Length Discrepancy: Pemeriksaan dilakukan apabila ada
kecurigaan terdapat fraktur pada salah satu ekstremitas. Diukur dari
hasil rontgent atau pada pertumbuhan anak yang abnormal
- Range of motion hip joint: pemerikasaan dilakukan apabila ada
kecurigaan pada sendi pinggul terdapat kesalahan/gangguan pada
sendi, seperti: Inflamasi, fraktur, dan lain-lain.
- REMS: Bila terdapat keluhan muskuloskeletal pada anamnesis.

27
k. Bagaimana gambaran klinis dari hasil pemeriksaan radiologi?

l. Apa tujuan dokter memberikan terapi skin traction?


Secara umum, indikasi traksi digunakan untuk menahan kerangka pada
posisi sebenarnya, penyembuhan, mengurangi nyeri, mengurangi kelainan
bentuk atau perubahan bentuk.
Tujuan lain dari traksi adalah untuk menangani fraktur, dislokasi atau
spasme otot dalam usaha untuk memperbaiki deformitas dan mempercepat
penyembuhan, untuk menjaga mereka immobile sedang hingga mereka
bersatu.

m. Apa tujuan dokter memberikan terapi analgetik?


Untuk mengurangi rasa nyeri

n. Apa tujuan dokter memberikan terapi Partial Hip Replacement?


Partial hip replacement merupakan sebuah prosedur pembedahan yang
digunakan untuk mengganti sebagian dari sendi panggul, meliputi
pergantian bagian sendi panggul berbentuk seperti bola yang telah usang
karena arthritis, degenerasi, atau sebuah fraktur serius pada bagian tersebut.

o. Apa indikasi dilakukan Partial Hip Replacement?


Adapun indikasi untuk tindakan ini, yaitu: Fraktur pada leher femur,
osteoarthritis, rheumatoid arthritis, traumatic arthritis, dan avascular
necrosis

p. Apa dampak/komplikasi apabila keluhan tidak segera diterapi?


Ada beberapa komplikasi fraktur. Komplikasi tergantung pada jenis cedera
, usia klien, adanya masalah kesehatan lain (komordibitas) dan penggunaan

28
obat yang mempengaruhi perdarahan, seperti warfarin, kortikosteroid, dan
NSAID. Komplikasi yang terjadi setelah fraktur antara lain :
1. Cedera saraf
Fragmen tulang dan edema jaringan yang berkaitan dengan cedera
dapat menyebabkan cedera saraf. Perlu diperhatikan terdapat pucat dan
tungkai klien yang sakit teraba dingin, ada perubahan pada kemampuan
klien untuk menggerakkan jari-jari tangan atau tungkai. parestesia, atau
adanya keluhan nyeri yang meningkat.
2. Sindroma kompartemen
Kompartemen otot pada tungkai atas dan tungkai bawah dilapisi oleh
jaringan fasia yang keras dan tidak elastis yang tidak akan membesar
jika otot mengalami pembengkakan. Edema yang terjadi sebagai respon
terhadap fraktur dapat menyebabkan peningkatan tekanan
kompartemen yang dapat mengurangi perfusi darah kapiler. Jika suplai
darah lokal tidak dapat memenuhi kebutuhan metabol jaringan, maka
terjadi iskemia. Sindroma kompartemen merupakan suatu kondisi
gangguan sirkulasi yang berhubungan dengan peningkatan tekanan
yang terjadi secara progresif pada ruang terbatas.
3. Kontraktur Volkman
Kontraktur Volkman adalah suatu deformitas tungkai akibat sindroma
kompartemen yang tak tertangani. Oleh karena itu, tekanan yang terus-
menerus menyebabkan iskemia otot kemudian perlahan diganti oleh
jaringan fibrosa yang menjepit tendon dan saraf. Sindroma
kompartemen setelah fraktur tibia dapat menyebabkan kaki nyeri atau
kebas, disfungsional, dan mengalami deformasi.
4. Sindroma emboli lemak
Emboli lemak serupa dengan emboli paru yang muncul pada pasien
fraktur. Sindroma emboli lemak terjadi setelah fraktur dari tulang
panjang seperti femur, tibia, tulang rusuk, fibula, dan panggul

29
q. Bagaimana diagnosis utama pada kasus?
Ny. A, 67 tahun mengalami fraktur patologis collum femur dextra akibat
osteoporosis dan trauma.

r. Bagaimana diagnosis banding pada kasus?


1. Osteomalasia
Osteomalasia adalah penyakit metabolisme tulang yang ditandai oleh
kurangnya mineral dari tulang pada orang dewasa (menyerupai
penyakit ricketsia pada anak-anak), berlangsung kronis dan dapat
terjadi deformitas skeletal yang disebabkan oleh defisiensi vitamin D.
Penurunan densitas tulang secara umum (pseudofraktur) merupakan
pita translusens yang sempit pada tepi kortikal, dan merupakan tanda
diagnostik untuk osteomalasia. Kelainan ini paling sering terlihat pada
iga, skapula, ramus pubis, dan aspek medial femur proksimal.
2. Paget’s Disease
Alkali fosfatase meningkat. Kalsium meningkat. Fosfor dapat normal
atau sedikit meningkat. Osteokalsin normal.
3. Multiple myeloma
Multiple myeloma merupakan tumor ganas primer pada sumsum
tulang, di mana terjadi infiltrasi pada daerah yang memproduksi
sumsum tulang pada proliferasi sel-sel plasma yang ganas. Tulang
tengkorak, tulang belakang, pelvis, iga, skapula, dan tulang aksial
proksimal merupakan yang terkena secara primer dan mengalami
destruksi sumsum dan erosi pada trabekula tulang; tulang distal jarang
terlibat. Saat timbul gejala sekitar 80-90% di antaranya telah
mengalami kelainan tulang.
Pada gambaran radiologis akan tampak: osteoporosis umum dengan
penonjolan pola trabekular tulang, terutama pada tulang belakang, yang
disebabkan oleh keterlibatan sumsum pada jaringan mieloma.
Hilangnya densitas tulang mungkin merupakan tanda radiologis satu-
satunya pada penyakit ini. Fraktur patologis sering dijumpai.

30
4. Fraktur kompresi pada badan vertebra
Lesi-lesi litik yang menyebar dengan batas yang jelas, lesi yang berada
di dekat korteks menghasilkan internal scalloping. Ekspansi tulang
dengan perluasan melewati korteks, menghasilkan massa jaringan
lunak.
5. Hiperparatiroidisme
Hiperparatiroidisme terdapat dalam dua bentuk: primer dan sekunder.
Bentuk primer adalah karena fungsi yang berlebihan dari
kelenjar paratiroid, biasanya adalah adenoma. Namun, sejak
dikenalnya hemodialisis, penyebab yang lebih umum untuk
hiperparatiroidisme adalah bentuk sekundernya, yaitu karena penyakit
ginjal kronis, terutama penyakit glomerular. Penyakit tulang terlihat
pada pasien ini biasanya disebut sebagai osteodystrophy ginjal.

s. Bagaimana epidemiologi dan etiologi pada kasus?


Osteoporosis merupakan permasalahan kesehatan yang sering dijumpai di
seluruh dunia, terutama di negara berkembang. Menurut data World Health
Organization menunjukkan bahwa terdapat sekitar 200 juta orang yang
menderita osteoporosis di seluruh dunia. Pada tahun 2050, angka kejadian
patah tulang pinggul diperkirakan akan meningkat dua kali lipat pada
wanita dan tiga kali lipat pada pria. Laporan WHO juga menyebutkan
bahwa 50% patah tulang adalah patah tulang paha atas yang mengakibatkan
kecacatan seumur hidup dan kematian. Menurut survei kependudukan di
Indonesia, jumlah penduduk usia ≥ 55 tahun meningkat lebih dari 50%
dalam kurun waktu 20 tahun sehingga diprediksi angka kejadian
osteoporosis juga meningkat. Penelitian terbaru dari International
Osteoporosis Foundation (IOF) mengungkapkan bahwa 1 dari 4 wanita di
Indonesia dengan rentang usia 50-80 tahun memiliki risiko terkena
osteoporosis. Hasil penelitian white paper dan Perhimpunan Osteoporosis
Indonesia pada tahun 2007 melaporkan bahwa proporsi penderita
osteoporosis pada penduduk yang berusia di atas 50 tahun ialah 32,3% pada
wanita dan 28,8% pada pria.

31
t. Bagaimana manifestasi klinis pada kasus?
Gejala bervariasi pada usia lanjut, beberapa tidak timbul gejala, seringkali
menunjukkan gejala klasik nyeri punggung, seringkali gejala dipicu oleh
stress fisik, seringkali gejala akan hilang dengan sendirinya. Terdapat juga
gambaran klinis fraktur tulang, penurunan tinggi badan, pembungkukan
punggung (deformitas pada vertebral torakal tengah). Fraktur sering terjadi
pada area leher femur dan colles.

u. Bagaimana pathogenesis penyakit pada kasus?


Patogenesis semua macam osteoporosis adalah sama yaitu adanya balans
tulang negatif yang patologik dan kekurangan kalsium yang dapat
disebabkan oleh peningkatan resorpsi tulang dan atau penurunan
pembentukan tulang. Massa tulang pada semua usia ditentukan oleh 3
variabel yaitu massa tulang puncak, usia dimana kekurangan massa tulang
mulai terjadi dan kecepatan kehilangan tulang meningkat.
Massa tulang akan terus meningkat sampai mencapai puncaknya pada usia
30-35 tahun. Puncak masa tulang ini lebih tinggi pada laki-laki daripada
perempuan. Untuk jangka waktu tertentu keadaan massa tulang tetap stabil
dan kemudian terjadi pengurangan massa tulang sesuai dengan
pertambahan umur. Densitas tulang yang rendah pada usia lanjut dapat
terjadi akibat puncak massa tulang yang tidak cukup atau meningkatnya
kehilangan tulang sebagai kelanjutan usaha untuk mencapai massa tulang
yang normal
Pada osteoporosis didapat massa tulang yang rendah dan kerusakan
mikroarsitektur jaringan tulang dengan akibat peningkatan fragilitas tulang
dan resiko fraktur. Bertambahnya kehilangan tulang dapat disebabkan oleh
umur, menopause, dan beberapa faktor sporadic (Ramadani, 2010).

32
v. Bagaimana tatalaksana dan prognosis pada kasus?

w. Bagaimana pencegahan dan edukasi penyakit pada kasus?


Osteoporosis merupakan penyakit tersembunyi, terkadang tanpa gejala dan
tidak terdeteksi, sampai timbul gejala nyeri karena mikrofraktur atau
karena patah tulang anggota gerak. Karena tingginya morbiditas yang
terkait dengan patah tulang, maka upaya pencegahan merupakan prioritas.
Pencegahan osteoporosis dapat dibagi dalam 3 kategori yaitu primer,
sekunder dan tersier (sesudah terjadi fraktur).

33
x. Bagaimana prognosis pada kasus?
Osteoporosis
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad malam
Ad sanationam : malam

Fraktur Tertutup
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad malam
Ad sanationam : dubia ad bonam

y. Bagaimana SKDI pada kasus?

Tingkat kemampuan 2: mendiagnosis dan merujuk


Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik terhadap penyakit
tersebut dan menentukan rujukan yang paling tepat bagi penanganan pasien
selanjutnya. Lulusan dokter juga mampu menindaklanjuti sesudah kembali
dari rujukan.

Tingkat kemampuan 3: mendiagnosis, melakukan penatalaksanaan awal,


dan merujuk
3A. Bukan gawat darurat
Lulusan dokter mampu membuat duagnosis klinik dan memberikan terapi
pendahuluan pada keadaan yang bukan gawat darurat. Lulusan dokter
mampu menentukan rujukan yang paling tepat bagi penanganan pasien
selanjutnya. Lulusan dokter juga mampu menindaklanjuti sesudah kembali
dari rujukan.

34
DAFTAR PUSTAKA

Apley, G.A and Solomon, L. 2010. Apley’s System of Orthopaedics and Fractures.
9th ed. London: Hodder Arnold.
Babu Varun, Frank Gaillard. Femoral neck fracture.
https://radiopaedia.org/articles/femoral-neck-fracture. Diakses pada tanggal 28
Desember 2020
Drake, R. 2010. Gray's Anatomy for Students. 2nd ed. Elsevier.
Kurniawan, D. Y. 2017. Osteoporosis. Semarang. Jurnal Universitas
Diponegoro. Diakses Melalui
http://eprints.undip.ac.id/55170/3/Daniel_Yoga_Kurniawan_22010113120041_La
pKTI_BAB_2.pdf pada 28 Desember 2020
Menteri Kesehatan Republik Indonesia. 2008. Pedoman Pengendalian
Osteoporosis. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Ramadani, Meri. 2010. Faktor-Faktor Risiko Osteoporosis dan Upaya
Pencegahannya. Jurnal Kesehatan Masyarakat. 4(2): 111-115.
Snell, Richard.s. 2002. Anatomi Klinis. Washington DC: EGC.

35

Anda mungkin juga menyukai