DISUSUN OLEH :
NURUL ANDRIANI
RAHMA
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah swt yang telah memberikan rahmat dan
karunianya kepada kita semua sehingga saya bias menyelesaikan makalah ini shalawat beserta
salam selalu tercurahkan kepada nabi kita Muhammad SAW beserta keluarganya sahabat-
sahabatnya dan kita selaku umatnya hingga akhir zaman.
Saya menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna, hal ini karena
kemampuan dan pengalaman saya yang masih ada dalam keterbatasan. Untuk itu, saya
mengharapkan saran dan kritik yang sifatnya membangun, demi perbaikan dalam makalah ini
yang akan dating.
Semogah makalah ini bermanfaat sebagai subangsih penulis demi penambah pengetahuan
terutama bagi pembaca umunya dan bagi penulis khususnya.
Akhir kata saya sampaikan terimakasih semoga Allah SWT senantiasa meridhai segala usaha
kita aamiin
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..................................................................................
DAFTAR ISI.................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN.............................................................................
A. Definisi...............................................................................................
B. Insiden ...............................................................................................
C. Etiologi...............................................................................................
D. Clasifikasi..........................................................................................
E. Manifestasi klinik ..............................................................................
F. Patofisiologi.......................................................................................
G. Pemeriksaan penunjang ....................................................................
H. Penatalaksanaan ................................................................................
I. Komplikasi ........................................................................................
J. Prognosis ...........................................................................................
K. Pencegahan .......................................................................................
L. Pemeriksaan KDM ............................................................................
M. Asuhan keperawatan..........................................................................
A. Kesimpulan........................................................................................
B. Saran..................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................
BAB I
LATAR BELAKANG
A. Latar Belakang
Dekubitus adalah suatu keadaan kerusakan jaringan setempat yang disebabkan oleh
iskemia pada kulit (kutis dan sub-kutis) akibat tekanan dari luar yang berlebihan. Umumnya
terjadi pada penderita dengan penyakit kronik yang berbaring lama. Ulkus dekubitus sering
disebut sebagai ischemic ulcer, pressure ulcer, pressure sore, bed sore.
Dekubitus juga beresiko tinggi pada orang-orang yang tidak mampu merasakan nyeri,
karena nyeri merupakan suatu tanda yang secara normal mendorong seseorang untuk bergerak.
Kerusakan saraf (misalnya akibat cedera, stroke, diabetes) dan koma. Diabetes mellitus adalah
suatu penyakit kronis yang disebabkan oleh berkurangnya produksi insulin oleh pankreas, baik
yang diturunkan maupun yang didapat, atau oleh ketidakefektifan produksi insulin. Kekurangan
ini meningkatkan kosentrasi glukosa dalam daarah, dimana ini bisa membahayakan sistem tubuh,
khususnya pembuluh darah dan syaraf sehingga menyebabkan berkurangnya kemampuan untuk
merasakan nyeri sehingga merupakan salah satu resiko terjadi dekubitus (WHO, 2005).
Kerusakan integritas kulit dapat berasal dari luka karena trauma dan pembedahan, namun
juga dapat disebabkan karena tertekannya kulit dalam waktu yang lama yang menyebabkan
iritasi dan akan berkembang menjadi luka tekan atau dekubitus (Mukti, 2005). 2 Kejadian
dekubitus di Amerika tergolong masih cukup tinggi dan perlu mendapatkan perhatian dari
kalangan tenaga kesehatan. Hasil penelitian menunjukan bahwa insidensi terjadinya dekubitus
bervariasi, tapi secara umum dilaporkan bahwa 5-11% terjadi ditatanan perawatan acute care, 15-
25% ditatanan perawatan jangka panjang atau longterm care, dan 7-12% ditatanan perawatan
rumah/homecare (Mukti, 2005). Masalah ini menjadi problem yang cukup serius baik di negara
maju maupun di negara berkembang, karena mengakibatkan meningkatnya biaya perawatan dan
memperlambat program rehabilitas bagi penderita.
Salah satu faktor untuk mencegah dekubitus adalah pengetahuan. Pengetahuan seseorang
erat kaitannya dengan perilaku yang akan diambilnya, karena dengan pengetahuan tersebut
memilliki alasan untuk menentukan suatu pilihan. Kekurangan pengetahuan tentang penyakit
yang diderita akan mengakibatkan tidak terkendalinya proses perkembangan penyakit, termasuk
deteksi dini adanya komplikasi penyakit (Palestin, 2006).
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Masalah
TINJAUAN TEORI
A. Definisi
Dekubitus berasal dari bahasa latin decumbree yang berarti merebahkan diri yang
didefinisikan sebagai suatu luka akibat posisi penderita yang tidak berubah dalam jangka waktu
lebih dari 6 jam (Sabandar, 2008). Dekubitus adalah kerusakan struktur anatomis dan fungsi kulit
normal akibat dari tekanan eksternal yang berhubungan dengan penonjolan tulang dan tidak
sembuh dengan urutan dan waktu yang biasa. Selanjutnya gangguan ini terjadi pada individu
yang berada di atas kursi atau diatas tempat tidur sering kali pada inkontinensia, malnutrisi,
ataupun individu yang mengalami kesulitan makan sendiri, serta mengalami gangguan tingkat
kesadaran (potter & perry, 2005).
Luka tekan telah lama dikenal di kalangan perawatan kesehatan dan ini merupakan
masalah cukup sulit diatasi bagi para praktisi perawatan karena memang banyak faktor yang
terkait dengan upaya penyembuhan luka tekan (Fatmawati, 2007).
Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa Dekubitus adalah kerusakan jaringan
terlokalisir yang disebabkan karena adanya penekanan jaringan lunak 7 diatas tulang yang
menonjol (Bony Prominence) akibat adanya tekanan dari luar dalam jangka waktu lama.
Perawatan kulit yang dengan minyak zaitun dapat mengurangi tingkat kejadian dekubitus di
rumah sakit. Minyak zaitun yang dioleskan dapat mempercepat penyembuhan kulit yang luka
atau iritasi. Orang-orang Yunani kuno bahkan menggunakan daun zaitun untuk membasuh luka.
Daun zaitun mengandung antimikroba dan sangat efektif memerangi sejumlah jamur, virus, dan
bakteri (Surtiningsih, 2005). Perawatan kulit dengan Minyak membantu memelihara
kelembapan, kelenturan, serta kehalusan kulit karena minyak zaitun mengandung asam lemak
( Khadijah, 2008).
B. Insiden
Dari tahun 2008 sampai 2012, Amerika Serikat mencatat bahwa jumlah rata-rata kasus
pasien dengan dekubitus sebanyak 670.767 (Bauer, Rock, Nazzal, Jones, & Qu, 2016).
Sedangkan, insiden dekubitus di Indonesia sendiri cukup tinggi yaitu sebesar 33.3 %, angka ini
sangat tinggi bila dibandingkan dengan insiden dekubitus di ASEAN yang hanya berkisar 2.1-
31.3 % (Sugama et al., 1992; Seongsook et al., 2004; Kwong et al., 2005 dalam Yusuf, 2011).
Dari Januari 2017 sampai Februari 2018, jumlah kasus dekubitus yang tercatat di salah satu
rumah sakit swasta di Indonesia bagian Tengah sebanyak 4 dari 1654 pasien (0.002%) rawat inap
dan ICU (berdasarkan data yang diambil dari salah satu rumah sakit swasta di Indonesia bagian
Tengah periode 2016-2018, pada tanggal 21 Maret 2018). Data yang diperoleh dari hasil
observasi tim peneliti sejak tanggal 21 Desember 2017 sampai 12 Maret 2018 yang ternyata
tidak tercatat oleh pihak rumah sakit adalah sebanyak 13 dari 267 pasien rawat inap dan ICU
(0.05%) yang mendapatkan dekubitus akibat tirah baring lama di rumah sakit.
C. Etiologi
1. Faktor intrinsic :
Penuaan (regenerasi sel lemah), sejumlah penyakit yang menimbulkan seperti DM, status
gizi, underweight atau kebalikannya overweight, anemia, hipoalbuminemia, penyakit-penyakit
neurologik dan penyakit-penyakit yang merusak pembuluh darah, Keadaan hidrasi/cairan
tubuh. 2. Faktor Ekstrinsik :
Kebersihan tempat tidur, alat-alat tenun yang kusut dan kotor, atau peralatan medik yang
menyebabkan penderita terfiksasi pada suatu sikap tertentu, duduk yang buruk, posisi yang
tidak tepat, perubahan posisi yang kurang. Di bawah ini adalah penjelasan dari masing masing
faktor diatas :
Mobilitas adalah kemampuan untuk mengubah dan mengontrol posisi tubuh, sedangkan
aktivitas adalah kemampuan untuk berpindah. Pasien yang berbaring terus menerus ditempat
tidur tanpa mampu untuk merubah posisi beresiko tinggi untuk terkena luka tekan. Imobilitas
adalah faktor yang paling signifikan dalam kejadian luka tekan. Penelitian yang dilakukan
Suriadi (2003) di salah satu rumah sakit di Pontianak juga menunjukan bahwa mobilitas
merupakan faktor yang signifikan untuk perkembangan luka tekan.
c. Kelembaban
Merupakan kekuatan mekanis yang meregangkan dan merobek jaringan, pembuluh darah
serta struktur jaringan yang lebih dalam yang berdekatan dengan tulang yang menonjol.
Contoh yang paling sering dari tenaga yang merobek ini adalah ketika pasien diposisikan
dalam posisi semi fowler yang melebihi 30 derajad. Pada posisi ini pasien bisa merosot
kebawah, sehingga mengakibatkan 17 tulangnya bergerak kebawah namun kulitnya masih
tertinggal. Ini dapat mengakibatkan oklusi dari pembuluh darah, serta kerusakan pada jaringan
bagian dalam seperti otot, namun hanya menimbulkan sedikit kerusakan pada permukaan
kulit.
e. Pergesekan ( friction)
Pergesekan terjadi ketika dua permukaan bergerak dengan arah yang berlawanan.
Pergesekan dapat mengakibatkan abrasi dan merusak permukaan epidermis kulit. Pergesekan
bisa terjadi pada saat penggantian sprei pasien yang tidak berhati-hati.
f. Nutrisi
g. Usia
Pasien yang sudah tua memiliki resiko yang tinggi untuk terkena luka tekan karena kulit
dan jaringan akan berubah seiring dengan penuaan. Penuaan mengakibatkan kehilangan otot,
penurunan kadar serum albumin, penurunan respon inflamatori, penurunan elastisitas kulit,
serta penurunan kohesi antara epidermis dan dermis. Perubahan ini berkombinasi dengan
faktor penuaan lain akan membuat kulit menjadi berkurang toleransinya terhadap tekanan,
pergesekan, dan tenaga yang merobek.
i. Stress emosional
Depresi dan stress emosional kronik misalnya pada pasien psikiatrik juga merupakan
faktor resiko untuk perkembangan dari luka tekan.
j. Merokok
Nikotin yang terdapat pada rokok dapat menurunkan aliran darah dan memiliki efek
toksik terhadap endotelium pembuluh darah. Menurut hasil penelitian Suriadi (2002) ada
hubungaan yang signifikan antara merokok dengan perkembangan terhadap luka tekan.
k. Temperatur kulit
Menurut hasil penelitian Sugama (2000) peningkatan temperatur merupakan faktor yang
signifikan dengan resiko terjadinya luka tekan. Menurut hasil penelitian, faktor penting
lainnya yang juga berpengaruh terhadap risiko terjadinya luka tekan adalah tekanan antar
muka ( interface pressure). Tekanan antar muka adalah kekuatan perunit area antara tubuh
dengan permukaan matras. Apabila tekanan antar muka lebih besar dari pada tekanan kapiler
rata-rata, maka pembuluh darah kapiler akan mudah kolap, daerah tersebut menjadi lebih
mudah untuk terjadinya iskemia dan nekrotik. Tekanan kapiler rata rata adalah sekitar 32
mmHg. Menurut penelitian Suriadi (2003) tekanan antar muka yang tinggi merupakan faktor
yang signifikan untuk perkembangan luka tekan. Tekanan antar 19 muka diukur dengan
menempatkan alat pengukur tekanan antar muka ( pressure pad evaluator) diantara area yang
tertekan dengan matras.
D. Klasifikasi
Salah satu cara yang paling awal untuk mengklasifisikan dekubitus adalah dengan
menggunakan sistem nilai atau tahapan (Potter, 2006).
a. Tahap I
Eritema tidak pucat pada kulit utuh, lesi kulit yang diperbesar, kulit tidak berwarna, hangat atau
keras juga dapat menjadi indikator.
b. Tahap II
Hilangnya sebagian ketebalan kulit meliputi epidermis dan atau dermis, ulkus superfisial dan
secara klinis terlihat seperti abrasi lecet atau lubang yang dangkal.
c. Tahap III
Hilangnya seluruh ketebalan kulit meliputi jaringa subkutan yang rusak atau nekrotik yang
mungkin akan melebar kebawah, tapi tidak melampaui yang dalam dengan atau tanpa merusak
jaringan sekitarnya.
d. Tahap IV
Hilangnya seluruh ketebalan kulit disertai dekstruksi ekstensif, kerusakan jaringan atau
kerusakan otot, atau struktur penyangga seperti tendon, kapsul sendi, dll.
Metode lain klasifikasi luka adalah warna luka, yang memperlihatkan fase penyembuhan.
Luka nekrotik diklasifikasikan dengan luka hitam, luka disertai eksudat dan debris berserat
kuning diklasifikasikan dengan luka kuning, dan luka pada fase penyembuhan aktif dan bersih
disertai dengan granulasi berwarna merah muda hingga merah dan jaringan epitel
diklasifikasikan dengan warna merah. Tidak ada konsensus mengenai cara terbaik dalam
mengklasifikasi luka dekubitus, tapi secara umum disepakati bahwa diperlukan lebih dari
sekedar klasifikasi tahapan atau warna untuk memberi gambaran dekubitus yang lengkap dan
komprehensif.
E. Manifestasi Klinik
Terjadi pada pasien-pasien paraplegia, quadriplegia, spina bifida, multipel sklerosis dan
imobilisasi lama di rumah sakit. Selain itu, factor lain perlu diketahui dari riwayat penderita
meliputi onset, durasi, riwayat pengobatan sebelumnya, perawatan luka, riwayat operasi
sebelumnya, status gizi dan perubahan berat badan, riwayat alergi, konsumsi alkohol, merokok
serta keadaan sosial ekonomi penderita. Anamnesa sistem termasuk di dalamnya antara lain
demam, keringat malam, spasme (kaku), kelumpuhan, bau, nyeri (Arwaniku, 2007). Menurut
NPUAP ( National Pressure Ulcers Advisory Panel ), luka tekan dibagi menjadi empat
stadium ,yaitu :
1. Stadium 1 :
Ulserasi terbatas pada epidermis dan dermis dengan eritema pada kulit. Penderita dengan
sensibilitas baik akan mengeluh nyeri, stadium ini biasanya reversible dan dapat sembuh dalam
5-10 hari.
2. Stadium 2 :
Ulserasi mengenai dermis, epidermis dan meluas ke jaringan adiposa terlihat eritema dan
indurasi serta kerusakan kulit partial (epidermis dan sebagian dermis) ditandai dengan adanya
lecet dan lepuh . Stadium ini dapat sembuh dalam 10- 15 hari.
3. Stadium 3 :
Ulserasi meluas sampai ke lapisan lemak subkulit dan otot sudah mulai terganggu dengan
adanya edema dan inflamasi, infeksi akan hilang struktur fibril. Kerusakan seluruh lapisan kulit
sampai subkutis, tidak melewati fascia. Biasanya sembuh dalam 3-8 minggu.
4. Stadium 4 :
Ulserasi dan nekrosis meluas mengenai fasia,otot serta sendi. Dapat sembuh dalam 3-6 bulan.
1. Stadium 1 :
a. Adanya perubahan dari kulit yang dapat diobservasi. Apabila dibandingkan dengan kulit
yang normal, maka akan tampak salah satu tanda sebagai berikut: perubahan temperatur kulit
(lebih dingin atau lebih hangat)
d. Pada orang yang berkulit putih, luka mungkin kelihatan sebagai kemerahan yang menetap.
Sedangkan pada yang berkulit gelap, luka akan kelihatan sebagai warna merah yang menetap,
biru atau ungu.
2. Stadium 2 :
Hilangnya sebagian lapisan kulit yaitu epidermis atau dermis, atau keduanya. Cirinya adalah
lukanya superficial, abrasi, melempuh, atau membentuk lubang yang dangkal.
3. Stadium 3 :
Hilangnya lapisan kulit secara lengkap, meliputi kerusakan atau nekrosis dari jaringn subkutan
atau lebih dalam, tapi tidak sampai pada fascia. Luka terlihat seperti lubang yang dalam.
4. Stadium 4 :
Hilangnya lapisan kulit secara lengkap dengan kerusakan yang luas, nekrosis jaringan,
kerusakan pada otot, tulang atau tendon. Adanya lubang yang dalam serta saluran sinus juga
termasuk dalam stadium IV dari luka tekan.
F. Patofisiologi
3. Toleransi jaringan.
Dekubitus terjadi sebagai hasil hubungan antar waktu dengan tekanan (Potter & Perry,
2005). Semakin besar tekanan dan durasinya,maka semakin besar pula insidensinya terbentuknya
luka (Potter & Perry, 2005). Kulit dan jaringan subkutan dapat mentoleransi beberapa tekanan.
Tapi pada tekanan eksternal terbesar dari pada tekanan dasar kapiler akan menurunkan atau
menghilangkan aliran darah ke dalam jaringan sekitarnya. Jaringan ini menjadi hipoksia
sehinggan terjadi cedera iskemi. Jika tekanan ini lebih besar dari 32 mmHg dan tidak
dihilangkan dari tempat yang mengalami hipoksia, maka pembuluh darah kolaps dan trombosis
(Potter & Perry, 2005). Jika tekanan dihilangkan sebelum titik kritis maka sirkulasi pada jaringan
akan pulih kembali melalui mekanisme fisiologis hiperemia reaktif, karena kulit mempunyai
kemampuan yang lebih besar untuk mentoleransi iskemi dari otot, maka dekubitus dimulai di
tulang dengan iskemi otot yang berhubungan dengan tekanan yang akhirnya melebar ke
epidermis (Potter & Perry, 2005). Pembentukan luka dekubitus juga berhubungan dengan adanya
gaya gesek yang terjadi saat menaikkan posisi klien di atas tempat tidur. Area sakral dan tumit
merupakan area yang paling rentan (Potter & Perry, 2005). Efek tekanan juga dapat di tingkatkan
oleh distribusi berat badan yang tidak merata.
Seseorang mendapatkan tekanan konstan pada tubuh dari permukaan tempatnya berada
karena adanya gravitasi (Potter & Perry, 2005). Jika tekanan tidak terdistribusi 20 secara merata
pada tubuh maka gradien tekanan jaringan yang mendapatkan tekanan akan meningkat dan
metabolisme sel kulit di titik tekanan mengalami gangguan
G. Pemeriksaan Penunjang
1. Darah lengkap
2. Biopsi luka
3. Kultur swab
Dibuat untuk memperlihatkan sifat serta luasnya kelainan kulit atau ulkus dan dipergunakan
untuk perbaikan setelah dilakukan terapi. (Subandar, 2008).
H. Penatalaksanaan
Salah satu aspek utama dalam pemberian asuhan keperawatan pada pasien dekubitus
adalah mempertahankan integritas kulit. Hal ini dapat tercapai dengan memberikan perawatan
kulit yang terencana dan konsisten. Perawatan kulit yang tidak terencana dan konsisten dapat
mengakibatkan gangguan integritas kulit (Potter & Perry, 2005). Salah satu intervensi dalam
menjaga integritas kulit adalah dengan cara memberikan olesan minyak zaitun karena integritas
kulit yang normal dapat dipertahankan dengan memberikan minyak zaitun. Minyak zaitun
mengaandung asam lemak yang dapat memelihara kelembapan, kelenturan, serta kehalusan kulit
(Khadijah, 2008). Minyak zaitun dengan kandungan asam oleat hingga 80% dapat mengenyalkan
kulit dan melindungi elastis kulit dari kerusakan karena minyak zaitun yang dioleskan dapat
mempercepat penyembuhan kulit yang luka atau iritasi (Surtiningsih, 2005).
I. Komplikasi
Komplikasi sering terjadi pada luka dekubitus derajat III dan IV, walaupun dapat terjadi
pada luka yang superfisial. Menurut subandar (2008) komplikasi yang dapat terjadi antara lain:
J. Prognosis
Prognosis pada pasien luka tekan umumnya baik pada derajat awal apabila dilakukan tata
laksana yang adekuat. Penyebab terbesar kematian akibat ulkus dekubitus antara lain gagal
ginjal, amyloidosis, maupun sepsis terkait infeksi sekunder.
Kemampuan klinisi untuk menilai ulkus dekubitus, menilai komplikasi yang akan terjadi, dan
penggunaan antibiotik sesuai dengan spektrum dapat menghindari perburukkan dari ulkus
dekubitus. Keterlambatan penatalaksanaan dan terapi tidak adekuat akan mengakibatkan
komplikasi yang dapat bersifat fatal.
K. Pencegahan
A. Primary Prevention
Primary prevention atau upaya pencegahan primer merupakan upaya pencegahan yang
dilakukan sebelum suatu penyakit terjadi. Upaya ini umumnya bertujuan mencegah terjadinya
penyakit dan sasarannya adalah faktor penyebab, faktor penjamu, serta lingkungan. Primary
prevention ini dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu: health promotion dan general &
specific protection.
1. Health promotion Health promotion atau promosi kesehatan merupakan salah satu upaya
preventif yang dapat dilakukan untuk mencegah penyakit dekubitus. Adapun bentuk-bentuk
pencegahan-nya adalah sebagai berikut :
Penyuluhan kesehatan merupakan salah satu upaya dalam rangka pelayanan kesehatan yang
optimal kepada masyarakat. Penyakit dekubitus merupakan salah satu penyakit yang harus
diketahui oleh masyarakat dan peran sebuah puskesmas atau lembaga kesehatan lainnya
dalam memberikan pendidikan kesehatan menjadi harapan yang sangat penting bagi
masyarakat, namun disamping itu peran dari anggota keluarga sangatlah berperan penting
dalam keberhasilan ini karena yang kontak langsung dengan penderita setiap saat adalah
keluarga.
Mengubah perilaku dalam menanggulangi penyakit dekubitus salah satunya yaitu berorientasi
pada perilaku yang diharapkan perilaku sehat sehingga mempunyai kemampuan mengenal
masalah dalam dirinya, keluarga dan kelompok dalam meningkatkan kesehatannya.
Penyakit dekubitus suatu komplikasi dari sebuah penyakit yang dapat disebabkan oleh banyak
hal antara lain kelembaban dari kulit penderita, kurangnya aktivitas mobilisasi fisik, hygiene
lingkungan dari penderita. Mengubah gaya hidup yaitu dengan pastikan penderita selalu
diingatkan atau diajarkan untuk jadwal mobilisasi fisik, menjaga kebersihan lingkungan
terutama kulit, serta merubah-ubah posisi tidur untuk memiring-miringkan. Selain itu, kita
juga harus menjaga kebersihan diri dan lingkungan, menghindari kontak dengan sumber
infeksi lain.
Meyakinkan kepada seluruh masyarakat khususnya daerah tempat tinggal kita, bahwa bahaya
penyakit dekubitus bukanlah penyakit yang bisa disepelekan begitu saja.
B. Secondary prevention
1. Early diagnosis
Area eritema yang tidak memucat, pembengkakan jaringan, dan kongesti, dan pasien mengeluh
tidak nyaman. Suhu kulit meningkat karena peningkatan vasodilatasi. Kemerahan berubah
menjadi lebih gelap, tampak sianotik biru keabuan, yang diakibatkan oleh oklusi pada kapiler
kulit dan melemahnya subkutan.
Menunjukkan luka pada kulit epidermis dan/atau dermis. Abrasi, lepuh atau lubang yang
dalam. Terjadi nekrosis. Terjadi penebalan vena dan trombosis serta edema dengan ekstravasasi
selular dan infiltrasi.
Meluas sampai jaringan subkutan. Secara klinis terdapat lubang yang dalam dengan atau tanpa
erosi jaringan yang berdekatan.
Meluas ke dalam struktur di bawahnya, termasuk otot dan kemungkinan tulang. esi kulit hanya
menggambarkan “puncak dari gunung es” karena permukaan ulkus yang kecil mungkin timbul
di atas area erosi yang luas.
C. Tertiary prevention
Tertiary prevention atau upaya pencegahan tersier merupakan upaya pencegahan yang
dilakukan saat proses penyakit sudah lanjut. Tujuannya adalah untuk pencegahan cacat dan
komplikasi, bertambahnya penyakit, dan kematian. Sedangkan, sasarannya adalah penderita
penyakit itu sendiri. Pada proses pascapatogenesis, terdapat beberapa kemungkinan tingkat
kesembuhan, yaitu: sembuh sempurna, baik bentuk dan fungsi tubuh kembali semula seperti
keadaan sebelum sakit; sembuh dengan cacat, kesembuhan tidak sempurna, dan ditemukan cacat
pada pejamu (kondisi cacat dapat berupa cacat fisik, fungsional dan sosial); serta karier, dalam
diri pejamu masih ditemukan bibit penyakit dan suatu saat penyakit dapat timbul kembali (daya
tahan tubuh menurun). Untuk meminimalisir kondisi cacat dan kerier ketika pasca-patogenesis,
dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu disability limitation dan rehabilitation.
1. Disability limitation
2. Rehabilitation
Rehabilitasi adalah usaha untuk mencegah terjadinya akibat samping dari penyembuhan penyakit
& pengembalian fungsi fisik, psikologik dan sosial. Tindakan ini dilakukan pada seseorang yang
proses penyakitnya telah berhenti. Tujuannya adalah untuk berusaha mengembalikan penderita
kepada keadaan semula (pemulihan kesehatan) atau paling tidak berusaha mengembalikan
penderita pada keadaan yang dipandang sesuai dan mampu melangsungkan fungsi
kehidupannya. Dalam penyembuhan penyakit dekubitus, proses rehabilitasi meliputi:
a) Rehabilitasi mental
Yaitu agar bekas penderita dapat menyesuikan diri dalan hubungan perorangan dan social secara
memuaskan. Seringkali bersamaan dengan terjadinya cacat badaniah muncul pula kelainan-
kelainan atau gangguan mental. Untuk hal ini bekas penderita perlu mendapatkan bimbingan
kejiwaan sebelum kembali ke dalam masyarakat. Seperti pada penderita dekubitus yang
mengalami penurunan semangat hidup, penderita harus menjalani rehabilitasi mental untuk
mengembalikan semangat hidup.
b) Rehabilitasi social vokasional Yaitu agar bekas penderita menempati suatu pekerjaan/jabatan
dalam masyarakat dengan kapasitas kerja yang semaksimal-maksimalnya sesuai dengan
kemampuan dan ketidakmampuannya.
c) Rehabilitasi aesthetis
Usaha rehabilitasi aesthetis perlu dilakukan untuk mengembalikan rasa keindahan, walaupun
kadang-kadang fungsi dari alat tubuhnya itu sendiri tidak dapat dikembalikan misalnya:
penggunaan mata palsu. Seperti pada penderita dekubitus tidak memungkinkan fungsi kulitnya
yang terkena luka tersebut kembali baik sempurna seperti sebelum terkena luka.
L. Pemeriksaan KDM
M. Asuhan Keperawatan
A. PENGKAJIAN
Oleh : Herry Purwanto Sumber data : Pasien, keluarga pasien dan status rekam medis
pasien Metode : wawancara, observasi, pemeriksaan fisik dan studi dokumentasi
1. Identitas
a. Pasien
4. Agama : Islam
5. Pendidikan : SLTA
1. Nama : Bp. S
2. Umur : 52 Tahun
3. Pendidikan : SLTA
c. Riwayat Kesehatan
1. Kesehatan Pasien
1) Keluhan utama : saat pengkajian Pasien mengatakan lutut kanan nyeri, kemeng-kemeng,
sakit,kalau ditekuk tidak bisa, kaku dan terasa sakit sekali.
2) Riwayat Kesehatan Sekarang
a) Alasan masuk RS :
Pasien mengatakan lutut kanan nyeri, kemeng-kemeng, sakit,kalau ditekuk tidak bisa
sudah 1 minggunan, pada hari 33 Senin, 2 Juli 2018 pasien terpeleset jatuh dan saat itu
lutut kanan merasakan sakit yang luar biasa.
Kemudian pada hari Selasa, 3 Juli 2018 dibawa ke Puskesmas Danurejan diperiksa
Dokter dan selanjutnya diberi rujukan ke RS. Dr. Soetarto ( DKT ) lalu opname.
Pasien mengatakan sudah 1 minggunan lutut kanan nyeri, kemeng-kemeng, sakit untuk
berjalan.
B. DIAGNOSA
Simtom : Lutut kanan terasa kaku , nyeri kalau ditekut terasa sakit sekali.
C. PERENCANAAN KEPERAWATAN
Ruang :Kirana
ABSTRAK
Latar Belakang: Dekubitus merupakan masalah yang sering ditemukan pada lansia
imobilisasi. Dekubitus berdampak pada penurunan kualitas hidup lansia. Seringkali dekubitus
menimbulkan komplikasi infeksi yang bila pengelolaanya tidak adekuat bisa mengakibatkan
bakteriemia hingga menyebabkan kematian. Tindakan pencegahan penting dilakukan guna
mempertahankan kualitas hidup lansia.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan pengaruh tindakan pencegahan terhadap
kejadian dekubitus pada lansia imobilisasi.
METODE
Penelitian ini menggunakan desain pra eksperimen one-group pre test-post test design,
yaitu peneliti ingin melakukan suatu intervensi pada kelompok responden. Kelompok
responden diobservasi sebelum dan sesudah intervensi untuk selanjutnya dilihat perbedaan
kondisi responden sebelum dan sesudah intervensi berupa tindakan pencegahan dekubitus.
Populasi penelitian ini adalah masyarakat lansia yang tinggal di wilayah kerja Puskesmas
Karang Rejo Kota Tarakan. Kriteria inklusi ditetapkan adalah lansia yang mengalami
imobilisasi dan menjalani perawatan selain di unit pelayanan kesehatan.
Besar sampel ditetapkan 18 subjek dengan mengacu pada pendapat Gay sebagaimana
dikutip oleh Setyawati (2011) bahwa ukuran minimal sampel untuk penelitian metode
eksperiman adalah 15 subjek. Peneliti menggunakan teknik consecutive sampling dan
menetapkan kurun waktu tiga bulan untuk pengambilan sampel, yaitu bulan Mei sampai Juli
2017.
Instrumen yang digunakan pada penelitian ini diadopsi dari Reuben (2015). Penilaian
dilakukan dengan Skor Norton. Lembar observasi digunakan untuk mengetahui kondisi kulit
responden sebelum dan sesudah mendapatkan intervensi berupa tindakan pencegahan
dekubitus. Setiap responden dilakukan pengamatan dua kali yaitu sebelum dan sesudah
intervensi. Intervensi yang diberikan berupa tindakan pencegahan dekubitus selama paling
sedikit sepuluh hari. Data dianalisis dengan uji statistik bertingkat dari Wilcoxon.
Hasil: Hasil penelitian menunjukkan bahwa tindakan pencegahan yang dilakukan dapat
menghindarkan lansia imobilisasi dari kejadian dekubitus. Terjadi perbaikan kondisi kulit
setelah tindakan pencegahan dibanding sebelumnya dengan tingkat signifikansi 0,000 (p <
0,05. Kesimpulan: Penelitian ini mampu membuktikan manfaat tindakan pencegahan
terhadap kejadian dekubitus pada lansia imobilisasi. Peneliti menemukan lansia berjenis
kelamin perempuan adalah yang terbanyak-
D. CATATAN PERKEMBANGAN
Nama pasien/No.CM : Ny E
Ruang : Kirana
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dekubitus berasal dari bahasa latin decumbree yang berarti merebahkan diri yang
didefinisikan sebagai suatu luka akibat posisi penderita yang tidak berubah dalam jangka waktu
lebih dari 6 jam (Sabandar, 2008). Dekubitus adalah kerusakan struktur anatomis dan fungsi kulit
normal akibat dari tekanan eksternal yang berhubungan dengan penonjolan tulang dan tidak
sembuh dengan urutan dan waktu yang biasa. Selanjutnya gangguan ini terjadi pada individu
yang berada di atas kursi atau diatas tempat tidur sering kali pada inkontinensia, malnutrisi,
ataupun individu yang mengalami kesulitan makan sendiri, serta mengalami gangguan tingkat
kesadaran (potter & perry, 2005).
3. Toleransi jaringan.
Salah satu aspek utama dalam pemberian asuhan keperawatan pada pasien dekubitus adalah
mempertahankan integritas kulit. Hal ini dapat tercapai dengan memberikan perawatan kulit
yang terencana dan konsisten.
B. Saran
Sebagai seorang perawat harus benar benar mengetahui bagaimana cara merawat luka
akut, kronik dan lain lain sesuai dengan penggolongan lukanya, oleh karena itu kita harus selalu
belajar supaya kita dapat merawat luka sesuai dengan prosedur yang dianjurkan.