Anda di halaman 1dari 38

CRITICAL BOOK REVIEW

Sejarah Sastra Indonesia

(Rosida Erowati, M.Hum ; Ahmad Bahtiar, M.Hum)

NAMA MAHASISWA : SEPTI BUTARBUTAR (2202411020)


MARTHA JULIANA MARPAUNG (2202411023)
KELAS : REGULER C 2020
DOSEN PENGAMPU : ELLY PRIHASTY
MATA KULIAH : TEORI DAN SEJARAH SASTRA

PROGRAM STUDI S1 PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA


FAKULTAS BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
2020

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur senantiasa kita panjatkan ke hadirat Allah swt, atas berkat kasih dan karunia-
Nya maka Critical Book Report mata kuliah ini diselesaikan tepat pada waktunya.
Dalam kesempatan ini saya sebagai penyusun mengucapkan terima kasih kepada semua
pihak yang telah membantu selesainya pembuatan Critical Book Report ini. Saya menyadari
bahwa dalam penyusunan ini tidak terlepas dari kesalahan dan sangat jauh dari sempurna. Oleh
sebab itu, saya sangat mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun demi
sempurnanya Critical Book Report ini.
Saya berharap semoga Critical Book Report ini dapat digunakan sebagaimana mestinya
dan bisa memberikan manfaat bagi kita semua. Semoga Tuhan mencurahkan rahmat dan karunia-
Nya kepada kita semua.

Porsea, September 2020

Penulis

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.................................................................................................................... i
BAB I .............................................................................................................................................. 2
PENDAHULUAN ......................................................................................................................... 2
A. RASIONALISASI PENTINGNYA CBR ............................................................................2
B. TUJUAN .................................................................................................................................2
C.MANFAAT..............................................................................................................................2
D. IDENTITAS BUKU ..............................................................................................................2
BAB II ............................................................................................................................................ 4
RINGKASAN BUKU.................................................................................................................... 4
Ringkasan buku utama ..............................................................................................................4
Ringkasan buku pembanding......................................................................................................20
BAB III.........................................................................................................................................36
PENILAIAN BUKU......................................................................................................................36
A. BUKU UTAMA.............................................................................................................................36
B. BUKU PEMBANDING..........................................................................................................................37
BAB IV.............................................................................................................................................38
A. Kesimpulan........................................................................................................................38
B. Saran..................................................................................................................................38
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................................38

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. RASIONALISASI PENTINGNYA CBR


Mengkritik buku merupakan salah satu cara yang dapat dilakukan untuk meningkatkan
ketertarikan minat baca. Dengan mengulas suatu buku kita dapat mengetahui dan memahami apa
yang disajikan dalam suatu buku. Pada dasarnya book review menitikberatkan pada evaluasi (
penjelasan, interpretasi dan analisis ) mengenai kelemahan dan kelebihan sehingga kita dapat
mengetahui kualitas buku yang dibaca dengan membandingkan terhadap karya dari penulis yang
sama atau penulis lainnya, apa yang menarik dan bagaimana buku tersebut bisa merubah persepsi
dan cara berfikir serta menjadi pertimbangan apakah dari pengetahuan yang didapat mampu
menambah pemahaman terhadap suatu bidang kajian tertentu. Selain mengkritik buku, juga dapat
melatih kemampuan kita dalam menganalisis dan mengevaluasi pembahsan yang disajikan
penulis. Serta memberi masukan kepada penulis buku berupa kritik dan saran terhadap isi buku.

B. TUJUAN
➢ Untuk memenuhi tugas Critical Book Review dari Mata Kuliah
➢ Untuk membahas lebih dalam tentang
➢ Untuk menambah pengetahuan tentang

C.MANFAAT
1. Sebagai salah satu bentuk pengasahan cara berpikir kritis seorang mahasiswa dalam
membandingkan sebuah buku.
2. Sebagai sumber referensi agar pembaca mengetahui isi kajian buku yang
dibandingkan.
3. Sebagai referensi pembaca untuk mengetahui kelebihan dan kelemahan buku.

D. IDENTITAS BUKU

2
Buku Utama

Judul : SEJARAH SASTRA INDONESIA

Pengarang : Rosida Erowati, M.Hum ; Ahmad Bahtiar, M.Hum

Penerbit : UIN

Tahun terbit : 2011

Banyak halaman : 95 halaman

ISBN : 978-602-8606-98-1

Buku Pembanding

JUDUL : pengantar teori sastra


PENGARANG : Dr. wahyudi siswanto
KOTA TERBIT : Jakarta
PENERBIT : Grasindo
TAHUN TERBIT : 2008
BANYAK HALAMAN : 207 Halaman
ISBN : 9789790252950

3
BAB II

RINGKASAN BUKU

RINGKASAN BUKU UTAMA

BAB 1 HAKIKAT SEJARAH SASTRA


1.1 Pengertian Sejarah Sastra
Sejarah merupakan topik yang kerap kali kurang populer di kalangan
mahasiswa. Mendengar kata sejarah menjadi momok karena mengandung gagasan
bahwa mempelajari topik tersebut berarti harus menghafal atau mendengar
ceramah tentang berbagai peristiwa di masa lalu. Pemahaman semacam ini perlu
diperhatikan oleh para pengajar sejarah agar mata kuliahnya tidak jatuh menjadi
peristiwa menghafal bagi mahasiswa. Luxemburg, dalam Pengantar Ilmu Sastra menjelaskan
bahwa sejarah sastra ialah ilmu yang membahas periode-periode kesusastraan, aliran-aliran,
jenis-jenis, pengarang-pengarang dan reaksi pembaca. Sedangkan menurut Zulfanur Z.F. dan
Sayuti Kurnia, Sejarah Sastra ialah ilmu yang mempelajari perkembangan sejarah suatu bangsa
daerah, kebudayaan, jenis karya sastra, dan lain-lain4. Sejarah sastra, dengan demikian,
merupakan pengetahuan yang mencakup uraian deskriptif tentang fungsi sastra dalam
masyarakat, riwayat para sastrawan, riwayat pendidikan sastra, sejarah munculnya genre-genre
sastra, kritik, perbandingan gaya, dan perkembangan kesusastraan.

1.2 Fungsi Sejarah Sastra


Sejarah sastra tidak hanya memberikan gambaran tentang perkembangan karya sastra
suatu bangsa, tetapi perkembangan sastra daerah atau sastra lokal, dan perkembangan sastra
lainya sebagai bentuk hasil budaya bangsa.Selain itu sejarah sastra dapat digunakan untuk
penelitian sastra secara khusus dan budaya secara umum. Dengan sejarah sastra juga kita dapat
mengetahui persoalan-persoalan yang timbul dalam kesusastraan selama ini. Persoalan sastra
yang erat kaitannya dengan perubahan zaman dan gejolak sosial politik yang secara teoretis

4
dipercaya besar pengaruhnya terhadap warna kehidupan sastra. Karena pada dasarnya peristiwa-
peristiwa kesusastraan selalu ada kaitannya dengan peristiwa sosial politik yang terjadi pada
suatu bangsa. Peristiwa sosial politik tidak hanya pijakan penulisan sejarah sastra tetapi menjadi
menjadi bahan penulisan atau latar sebuah karya sastra.

1.3 Kedudukan dan Cakupan Sejarah Sastra


Teori sastra tidak dapat dilepaskan dari sejarah sastra dan kritik sastra demikian pula
sebaiknya. Sejarah sastra adalah ilmu yang memperlihatkan perkembangan karya sastra dari
waktu ke waktu, para penulis memilih karyakarya yang menonjol, karya-karya puncak dalam
suatu kurun waktu, ciri-ciri dari setiap kurun waktu perkembangannya, peristiwa-peristiwa yang
terjadi di seputar masalah sastra. Untuk dapat melihat karya sastra yang menonjol dan
merupakan karya-karya puncak kurun waktu tertentu sejarah sastra perlu melibatkan kritik
sastra. Sedangkan ciri-ciri dan sifat karya sastra pada suatu waktu dapat diketahui melalui teori
sastra.
Sejarah sastra mempunyai cakupan yang luas dan kompleks, meliputi sejarah sastra sebuah
bangsa atau nasional. Pengertian nasional ditandai dengan batas suatu negara. Jadi, sejarah sastra
Amerika dan Inggris walaupun sama-sama menggunakan bahasa Inggris, adalah dua hal yang
berbeda. Sejarah sastra sebuah bangsa yang lainnya mencakup , sejarah sastra Indonesia, Cina,
Jepang, Mesir danlain. Sejarah sastra suatu daerah mencakup berbagai sastra yang hadir di
nusantara seperti sastra Sunda, Jawa, Bali, Aceh, Lombok, dan Bugis. Sejarah sastra daerah
apabila dikaitkan dengan kebudayaan nasional merupakan unsur kebudayaan yang memperkuat
dan memperkaya kebudayaaan nasional. Ciri yang muncul pada sastra daerah adalah penggunaan
bahasa daerah. Beberapa pengarang Indonesia seperti Ajip Rosidi selain menulis dalam bahasa
Indonesia beberapa karanganya terutama pada awal kepenulisannnya juga menggunakan bahasa
daerahnya, bahasa Sunda.

1.4 Pandangan-pandangan dalam Penulisan Sejarah Sastra


Sejarah sastra dapat ditulis berdasarkan berbagai perspektif. Yudiono K.S merujuk artikel
Sapardi Djoko Damono “Beberapa Catatan tentang Penulisan Sejarah Sastra” (tahun 2000),
bahwa penulisan sejarah sastra Indonesia dapat didasarkan pada perkembangan stilistik, tematik,
ketokohan, atau konteks sosial, yang semuanya merupakan sarana menempatkan sastra

5
sedemikian rupa sehingga memiliki makna bagi masyarakatnya, terkait dengan berbagai
permasalahan yang dihadapi oleh masyarakatnya.
Sebuah kajian sastra misalnya dapat berangkat dari persoalan proses kreatif, atau persoalan
distribusi, atau proses publikasi suatu karya, bahkan tanggapan pembaca terhadap karya tersebut.
Novel semacam Siti Nurbaya karya Marah Rusli menjadi penting disebutkan dalam sejarah
sastra Indonesia karena telah 20 kali cetak, sehingga dapat dipermasalahkan berapa tiras setiap
kali terbit, berapa royaltinya, siapa ahli warisnya, apakah terjadi perubahan teks, dan bagaimana
sambutan pembaca.

1.5 Problematika Penulisan Sejarah Sastra


Penulisan sejarah sastra sangatlah rumit dan komplek. Hal itu disebabkan karena batasan
atau pengertian sastra Indonesia sangat kabur. Banyak pendapat dari berbagai pakar beserta
argumen-argumennya yang menjelaskan awal dari sastra Indonesia. Hal itu menyebabkan titik
tolak awal perkembangan kesuastraan Indonesia pun berberda pula. Perbedaan tersebut juga
dalam mememandang setiap peristiwa atau persoalan yang kaitannya dengan kehidupan sastra.
Akibatnya sebuah peristiwa dalam pandangan seorang penulis dianggap penting sehingga harus
dimasukkan dalam sejarah kesusastraaan Indonesia. Tetapi penulis lain dapat beranggapan
berbeda sehingga peristiwa tersebut tidak perlu menjadi catatan dalam Perkembangan
Kesusastraan Indonesia. Beberapa peristiwa berkenaan dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat
(Lekra) dan beberapa pengaranngya tidak pernah dibicarakan ataupun kalau dibicarakan hanya
mendapat porsi yang kecil oleh para penulis dan pemerhati sejarah sastra Indonesia.

BAB 2 KELAHIRAN DAN PERIODE SASTRA INDONESIA


2.1 Beberapa Pendapat Kelahiran Sastra Indonesia
a. Umar Junus
Umar Junus membicarakan lahirnya Kesuastraan Indonesia Modern dalam karangannya yang
dimuat dalam majalah Medan Ilmu Pengetahuan (1960). Ia berpendapat bahwa : sastra ada
sesudah bahasa ada. “ Sastra X baru ada setelah bahasa X ada, yang berarti bahwa sastra
Indonesia baru ada setelah bahasa Indonesia ada,” katanya. Dan karena bahasa Indonesia baru
ada tahun 1928 (dengan adanya Sumpah Pemuda), maka Umar Junus pun berpendapat bahwa

6
“Sastra Indonesia baru ada sejak 28 Oktober 1928”.

b. Ajip Rosidi
Pendapat Ajip Rosidi mengenai lahirnya Kesusastraan Indonesia dapat kita baca dalam bukunya
“Kapankah Kesusastraan Indonesia Lahir” yang dimuat dalam bukunya Kapankah Kesusastraan
Indonesia Lahir (1985).Ajip memang mengakui bahwa sastra tidak mungkin ada tanpa bahasa.
Akan tetapi, sebelum sebuah bahasa diakui secara resmi, tentulah bahasa itu sudah ada
sebelumnyua dan sudah pula dipergunakan orang. Oleh sebab itu, Ajip tidak setuju
diresmikannya suatu bahasa dijadikan patokan lahirnya sebuah sastra (dalam hal ini sastra
Indonesia). Di pihak lain, Ajip berpendapat bahwa kesadaran kebangsaanlah seharusnya
dijadikan patokan.

c. A. Teeuw
Pendapat Teeuw mengenai lahirnya Kesusastraan Indonesia Modern dapat kita baca dalam
bukunya Sastra Baru Indesia 1 (1980). Agak dekat dengan tahun yang diajukan Ajip Rosidi,
Teuuw pun berpendapat bahwa kesusastraan Indonesia Modern lahir sekitar tahun 1920. Alasan
Teeuw adalah :“Pada ketika itulah para pemuda Indonesia untuk pertama kali mulai menyatakan
perasaan dan ide yang pada dasarnya berberda dengan perasaan dan ide yang padadasarnya
berbedea daripada perasaan dan ide yang terdapat dalam masyarakat setempat yang tradisional
dan mulai demikian dalam bentuk-bentuk sastra yang pada pokoknya menyimpang dari bentuk-
bentuk sastra Melayu, Jawa, dan sastra lainnya yang lebih tua, baik lisan maupun tulisan.

d. Slamet Mulyana
Slamet Mulyana melihat kelahiran Kesusatraan Indonesia dari sudut lain. Beliau melihat dari
sudut lahirnya sebuah negara Indonesia adalah sebuah negara di antara banyak negara di dunia.
Bangasa Indonesia merdeka tahun 1945. Pada masa itu lahirlah negara baru di muka bumi ini
yang bebas dari penjahan Belanda, yaitu negara Republik Indonesia.

7
e. Sarjana Belanda
Hooykass dan Drewes, dua peneliti Belanda menganggap bahwa Sastra Indonesia merupakan
kelanjutan dari Sastra Melayu (Meleise Literatur).Perubahan “Het Maleis” menjadi “de bahasa
Indonesia” hanyalah perubahan nama termasuknya sastranya. Dengan demikian Kesusastraan
Indonesia sudah mulai sejak Kesuastraan Melayu.

2.2Karakteristik Periode Sastra Indonesia


a. Periode 1850 – 1933
Karya sastra yang banyak ditulis adalah roman yang beralur lurus, gaya bahasanya
mempergunakan perumpamaan klise dan peribahasa-peribahasa, tapi menggunakan bahasa
percakapan sehari-hari, banyak digresi, bercorak romantis, dan didaktis.
b. Periode 1933 – 1942
Karya sastra yang banyak ditulis adalah puisi, selain drama, cerpen, roman yang beraliran
romantik, puisi jenis baru dan soneta. Puisi-puisi tersebut menggunakan kata-kata nan indah,
bahasa perbandingan, gaya sajaknya diafan dan polos, rima merupakan sarana kepuitisan.

c. Periode 1942 – 1945


Periode ini ditandai dengan banyaknya karya propaganda dan sarat dengan politik Jepang. Untuk
mempengaruhi rakyat Indonesia membantu Jepang dalam perang Asia Raya, pemerintah melalui
Balai Pustaka (Keimen Bunka Shidosho) menerbitkan karya-karya baik novel, puisi, dan cerpen
yang kebaikan dan keunggulan Jepang.

d. Periode 1945 – 1961


Puisi, cerpen, novel, dan drama berkembang pesat dengan mengetengahkan masalah
kemanusiaan umum atau humanisme universal, hak-hak asasi manusia (karena dampak perang),
dengan gaya realitas bahkan sinis ironis, disamping mengekpresikan kehidupan batin/kejiwaan,
dengan mengenakan filsafat ekstensialisme.

e. Periode 1961 – 1971

8
Periode ini meneruskan gaya periode sebelumnya terutaama struktur estetisnya, mempersoalkan
masalah kemasyarakatan yang baru dalam suasana kemerdekaan, dengan berorientasi pada
bahan-bahan sastra dari kebuyaan Indonesia sendiri, karena dampak parta-parta corak sastranya
bermacam-macam, ada beride keislaman (Lesbumi,) Ide kenasionalisan (Lesbumi), ide rakyat
(Lekra), dan ada yang bebas mengabdi kemanusiaan.

f. Periode 1971 – 1998


Peride selain maraknya karya-karya populer juga banyaknya bentuk eksperimentasi sastra dalam
sastra. Dalam karya puisi memunculkan 4 jenis gaya puisi yaitu mantera, puisi imajisme, puisi
lugu, dan puisi lirik. Masalah yang diangkat dalam puisi mempersoalkan masalah sosial,
kemiskinan, pengangguran, jurang kaya dan miskin, menggunakan cerita-cerita dan kepercayaan
rakyat dalam balada. Prosanya umumnya menggambarkan kehidupan sehari-hari yang kental
dengan warna daerah dan pedesaan.

g. Periode 1998 – Sekarang


Periode ini ditandai dengan maraknya karya-karya sastra, puisi, cerpen, maupun novel, yang
bertema sosial-politik, khususnya seputar reformasi. Di rubrik sastra harian Republika misalnya,
selama berbulan-bulan dibuka rubrik sajak-sajak peduli bangsa atau sajak-sajak reformasi.
Berbagai pentas pembacaan sajak dan penerbitan buku antologi puisi juga didominasi sajak-sajak
bertema sosial-politik.

BAB 3 SASTRA INDONESIA PERIODE 1850 – 1933


3.1 Sastra Melayu Tionghoa
Di Indonesia sastra Melayu-Cina tumbuh dan berkembang sebelum muncul sastra Indonesia
modern akhir abad ke-19. Nio Joe Lan menyebutnya dengan sastra Indonesia Tionghoa. Menurut
Jakob Sumardjo dalam bukunya Dari Khasanah Sastra Dunia (1985), jenis sastra ini diawali
dengan terjemahan-terjemahan. Kisah-kisah dalam Karya Sastra Melayu-Tionghoa
menggambarkan pergulatan mencari identitas dan pengakuan yang dialami etnis Tionghoa di
Indonesia. Tampak pula keragaman dalam masyarakat Tionghoa yang berorientasi ke tanah
leluhur, memuja kolonialisme Belanda atau berusaha menjadi orang Indonesia. Sebuah fakta lagi

9
yang menguak betapa heterogennya masyarakat Tionghoa di Indonesia, dimana sering
disamaratakan dengan stereotipe tertentu.

3.2 Bacaan Liar


Perkembangan Kesusastraan Indonesia pada periode awal ditandai dengan produksi bacaan
kaum pergerakan yang sering disebut oleh negara kolonial sebagai "Bacaan Liar. Kaum
pergerakan memandang produksi bacaan mereka sebagai bagian yang tak terpisahkan dari mesin
pergerakan: untuk mengikat dan menggerakkan kaum kromo--kaum buruh dan kaum tani yang
tak bertanah. Produksi bacaan dapat berbentuk surat kabar, novel, buku, syair sampai teks lagu.
Pemahaman "bacaan liar" akan komprehensif, apabila kita baca karya-karya pemimpin
pergerakan, seperti Raden Darsono yang melakukan perang suara (perang pena) dengan Abdoel
Moeis. Serangan Darsono terhadap Abdoel Moeis berjudul "Moeis telah mendjadi Boedak Setan
Oeang." Atau karya Darsono lainnya yang menentang peraturan kolonial yang berjudul
"Pengadilan Panah Beratjun." Dan juga Karya Semaoen Hikayat Kadiroen--buah karya di dalam
penjara.

3.3 Sastra Koran


Perkembangan Kesusastraan Indonesia tidak dapat lepas dari peranan koran atau surat kabar.
Surat kabar mulai menunjukkan peranannya dalam menopang kehidupan sastra dengan banyak
melahirkan penulis-penulis novel dari kalangan wartawan. Ini bahkan dapat dilacak sejak
terbitnya surat kabar pertama yang menggunakan bahasa Melayu dengan tulisan latin, yakni
Surat Kabar Bahasa Melaijoe tahun 1856 dan beberapa surat kabar lain sesudah itu yang
memunculkan penulis-penulis Tionghoa.

3.4 Dari Max Havelaar ke Politik Etis


Salah satu karya penting berbicara kesadaran politik ialah Max Havelaar, of de koffij-
veilingen der Nederlandsche Handel-Maatschappij (Max Havelaar, atauLelang Kopi Perusahaan
Dagang Belanda) ditulis oleh Multatuli (artinya “aku banyak menderita”), nama samaran Eduard
Douwes Dekker, orang Belanda yang humanis dan menaruh simpati besar terhadap penderitaan

10
rakyat Indonesia, khususnya Jawa.Ditulis dalam waktu sebulan disebuah kamar loteng di Brussel
diterbitkan tahun 1860. Buku ini bercerita tentang kesewenangan Bupati Lebak dan
begundalnya”. Cerita ini diterjemahkan oleh HB Jasin (yang kemudian diundang ke Belanda
selama setahun dan mendapat penghargaan Martinus Nijhoff).

3.5 Balai Pustaka


Perkembangan Kesuastraan Indonesia Mondern tidak bisa dipisahkan dari keberadaan Balai
Pustaka. Balai Pustaka sendiri pada awalnya adalah Komisi untuk Bacaan Sekolah Pribumi dan
Bacaan Rakyat atau Commissie voor de Inlandsche School en Volksectuur yang didirikan pada
tahun 1908. Sekalipun didirikan mulai tahun 1908, serta kemudian diperluas pada tahun 1917,
pekerjaan Balai Pustaka sebenarnya barulah produktif sesudah tahun 1920-an. Pada zaman itu
Balai Pustaka menghasilkan bermacam, buku, majalah dan alamnak. Buku-buku populer yang
terbit meliputi kesehatan, pertanian, perternakan, budi pekeri, sejarah, adat dan lain-lain.

BAB 4 SASTRA INDONESIA PERIODE 1933 – 1942


4.1 Pujangga Baru
Berdirinya majalah Pujangga Baru merupakan bukti kebutuhan masyarakat pada zaman itu
akan suatu media publikasi yang menampung dan membahas tentang sastra dan kebudayaan.
Pujangga Baru terbit sebagai reaksi atas banyaknya sensor yang dilakukan oleh Balai Pustaka
terhadap karya tulis sastrawan pada masa tersebut, terutama terhadap karya sastra yang
menyangkut rasa nasionalisme dan kesadaran bangsa. Sastra Pujangga Baru adalah sastra
intelektual, nasionalistik, dan elitis.

4.2 Polemik Kebudayaan


Dalam edisi kedua (Agustus) tahun itu, munculah artikel Alisjahbana “Menuju Masyarakat
dan Kebudayaan Baru” yang kemudian mengundang reaksi banyak pihak. Artikel ini pula yang
belakangan menjadi titik pangkal terjadinya polemik kebudayaan yang p melebar dari Pujangga
Baru lewat Poerbatjaraka (3/III/ September 1935) sampai ke media massa lain, seperti Suara
Umum (Surabaya), Bintang Timur (Ja-karta), Pewarta Deli (Medan) dan Wasita (Yogyakarta).
Di antara kritik atas artikel itu, Alisjahbana malah melanjutkan gagasannya dan sekalian

11
melakukan kritik balik atas berbagai sanggahan yang dialamatkan kepadanya. Serangkaian
perbalahan itulah yang kemudian dikumpulkan Achdiat Karta Mihardja dan kemudian
menerbitkannya dalam buku Polemik Kebudayaan (1948).

BAB 5 SASTRA INDONESIA PERIODE 1942 – 1945


5.1 Masa Pendudukan Jepang
Pada awal Maret 1942, Jepang mendarat di Pulau Jawa. Setelah itu dimulailah
pemeritanahn Jepang di Indonesia. Jepang datang ke Indonesia dengan cara yang simpatik
seolah-olah membebaskan dari penjajahan Belanda. Gerakan 3 A : Jepang pemimpin Asia;
Jepang pelindung Asian; dan Jepang cahaya Asia merupaka slogan Jepang untuk mendapatkan
penerimaan yang baik dari rakyat Indonesia. Jepang dengan semboyan 3 A Kedatangan Jepang
pada awalnya diterima dengan baik karena dianggap membebaskan Indonesia dari cengkraman
Belanda.
H.B. Jassin mengumpulkan karya zaman pendudukan Jepang yang tersebar di berbagai
surat kabar dan media lannya dalam Kesusastraan Indonesia di Masa Jepang (1969) dan Gema
Tanah Air 1 (1992). Akan tetapi apa yang dilakukan Jassin dalam kedua buku itu tidak jelas
dasarnya. Karya-karya yang dimuat dalam buku Kesusastraan Indonesia di masa Jepang
mestinya karya yang muncul antara tahun 1942-1945 atau tepatnya karya yang terbit sejak 8
Maret 1942, saat Jepang masuk ke Indonesia sampai 17 Agustus 1945, saat Indonesia merdeka.
Kenyataannya Jassin tidak melakukan itu. Sejumlah karya yang dimuat selepas merdeka dimuat
pula dalam buku itu. Sedangkan karya yang harusnya masuk zaman Jepang dimasukkan dalam
buku Gema Tanah Air.

5.2 Sastra Propaganda


Pada bulan Agustus 1942 Pemerintah Jepang mendirikan sebuah badan bertugas mengurus
kegiatan propaganda Jepang yang diberi nama Sendenbu. Lembaga-lembaga ini berusaha
membangun citra pemerintah Jepang melalui berbagai cara termasuk mempropagandakan
kebijaksanaaan pemerintah Jepang. Lembaga ini
kemudian mendirikan Barisan Propaganda yang anggotanya terdiri budayawan, wartawan, dan
seniman. Kegiatan lainnya yang dilaksanakan Barisan Propganda ini adalah mendirikan Surat
Kabar Indonesia Raya yang berisi pesan pemerintah, berita

12
perang, dan iklan kebuayaan. Surat kabar yang hanya berisi empat halaman ini terbit setiap hari
kecuali hari libur dan minggu.
Banyak sastrawan yang menulis karya sastra untuk tujuan propaganda beberapa sastrawan
memiliki sikap pentingnya kejujuran dan keiklasan dalam berkarya Mereka lebih menekankan
pentingnya seni untuk seni, bukan untuk tujuan propaganda. Hal ini bisa terlihat pada artikel-
artikel yang mereka tulis. Tulisan “Seni Oentoek Seni karangan Soebrata Arya Mataram,
“Kesoestraan’ karya Amal Hamzah, “Bahasa dan Sastera” karya B. Rangkoeti, “Kesenian Kita di
Masa jang Datang” dan “Peperangan di Medan Keboedayaan” keduanya karya Darmawidjaya.

BAB 6 SASTRA INDONESIA PERIODE 1945 – 1961


6.1 Gelanggang Seniman Merdeka
Nama Chairil Anwar mulai dikenal di kalangan seniman pada tahun 1943. Ia dikenal sebagai
penyair muda yang memperkenalkan gagasan baru dalam puisi. Karena sifatnya yang invidual
dan bercorak ke Barat, ia banyak mengejek seniman-seniman di kantor pusat kebudayaan pada
zaman Jepang. Chairil sempat bekerja menjadi redaksi majalah Gema Suasana (1948). Iahanya
bertahan selama tiga bulan di sana (Januari—Maret ), kemudian ke luar dan bekerja di mingguan
Berita Siasat. Di sana ia menjadi anggota redaksi ruang kebudayaan Gelanggang bersama Ida
Nasoetion, Asrul Sani dan Rivai Apin. Dia salah seorang pemikir yang memberi kontribusi pada
lahirnya Surat Kepercayaan Gelanggang.

6.2 Lembaga Kebudayaan Rakyat


Lembaga Kebudayaan Rakyat atau dikenal dengan Lekra didirikan atas inisiatif D.N. Aidit,
Nyoto, M.S. Ashar, dan A.S. Dharta pada tanggal 17 Agustus1950, enam bulan setelah
diumumkan “Surat Kepercayaan Gelanggang” yang berpandangan humanisme Universal.
Sekretaris Jendral pertama (1950-1959) adalah A.S. Dharta Lekra memiliki beberapa seksi, yaitu
seksi : sastra, seni rupa, seni suara, seni drama, film, filsafat, dan Olahraga.

6.3 Krisis Sastra


Pada bulan April 1952 di Jakarta diselenggarakan sebuah simposium tentang “Kesulitan-
kesulitan Zaman Peralihan Sekarang” dalam simposium itu dilontarkan istilah “Krisis Akhlak”,
“Krisis Ekonomi” dan berbagai krisis lainnya. Tahun 1953 di Amsterdam diselenggarakan

13
simposium tentang kesusastraan Indonesia antara lain berbicara dalam simposium itu Asrul Sani,
Sultan Takdir Ali Sjahbana, Prof. Dr. Werthim dan lain-lain. Disinilah untuk pertama kali
dibicarakan tentang “Impasse (kemacetan) dan “krisis sastra Indonesia” sebagai akibat dari
gagalnya revolusi Indonesia, tetapi persoalan tentang krisis baru menjadi bahan pembicaraan
yang ramai ketika terbit majalah konfrontasi pada pertengahan tahun 1954. Nomor pertama
majalah ini memuat essay Soejatmako berjudul “Mengapa konfrontasi” dalam karangan ini
secara tandas dikatakan oleh penulisnya bahwa sastra penulisnya sedang mengalami krisis.
Soejatmoko mengatakan bahwa sastra Indonesia sedang mengalami krisis karena yang ditulis
hanya cerpen-cerpen kecil yang “berlingkar sekitar psikologisme perseorangan semata-mata”
roman-roman besar tak ada ditulis.

6.4 Majalah Kisah


Salah satu alasan yang mengemukakan adanya “Krisis Sastra” adalah karena sedikitnya
jumlah buku yang terbit. Hal ini disebabkan karena kesulitan yang dialami oleh beberapa
penerbitan. Tidak hanya penerbitan yang sudah lama, seperti Balai Pustata tetapi juga
penerbitan-penerbitan lain diantaranya Pustaka Rakyat, Pembangunan, Tintamas dan lain-
lainnya. Perubahan status yang berkali-kali, pergantian pimpinan yang tidak mengusai
bidangnya, adalah permasalahan yang dihadapi Balai Pustaka pada waktu selain kekurangan
keuangan.Menghadapi hal tersebut maka pengarang lebih banyak menulis di majalahmajalah
Siasat, Zenith, Mimbar Indonesia dan lain-lain. Karena keterbatasan ruang maka majalah hanya
memuat sajak, cerpen, dan karangan-karangan lain yang tidak begitu panjang. Keadaan itulah
yang menyebabkan lahirnya istilah “sastra majalah”. Istilah ini dikenalkan oleh Nugroho
Notosusanto dalam tulisannya “Situasi 1954” yang dimuat majalah Kompas yang dipimpimnya.

BAB 7 SASTRA INDONESIA PERIODE 1961 -1971


7.1 Manifestasi Kebudayaan
Perubahan pemerintahan dari demokrasi liberal ke demokrasi terpimpin tidak menjadikan
kondisi politik Indonesia makin membaik. Keluarnya Manifesto Politik Republik Indonesia
(Manipol) dengan ketetapan MPRS No. 1/MPRS/1960 yang menetapkan lima pokok sebagai

14
Garis Besar Haluan Negara (GBHN) yaitu UUD 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi
Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribdian Indonesia yang kemudian dikenal Manipol-
Usdek memperbesar pengaruh PKI. Hal itu tentunya menguntungkan organisasi yang bernaung
dibawahnya seperti Lekra. Pengarang-pengarang lain diteror untuk bergabung dengan Lekra atau
dihancurkan. Hal itu menyebabkan banyak pengarang yang akhirnya menggabungkan diri
dengan Lekra agar selamat.
Sebagai reaksi dan kritik total terhadap segala teror yang lancarkan Lekra maka
dideklrasikan Manifes Kebudayaan pada 17 Agustus 1963. Naskah Manifes Kebudayaan dibuat
oleh Wiratmo Soekito dimuat pertama kali dalam ruang kebudayaan harian Berita Republik, 19
Oktober 1963, dan majalah Sastra, nomor 9/10, September /Oktober 1963.

7.2 Majalah Horison


Kehidupan politik selama tahun 1964, 1965, dan awal tahun 1966 berpengaruh terhadap
kehidupan kesusastraan. Kesusastraan Indonesia kurang menggembirakan . Buku-buku sastra
jarang terbit. Majalah kebudayaan terutama sastra, tempat pengarang menyebarkan hasil
karyanya juga tidak terbit (kecuali majalah basis di Yogyakarta). Angin segar mulai bertiup
kembali dengan terbitnya majalah sastra Horison pada Majalah ini terbit pada 1 Mei 1966.
Pengasuh malah ini terdiri dari Mochtar Lubis (penanggung jawab), H. B. Jassin, Zaini, Taufiq
Ismail, Arief Budiman, dan D.S. Moeljanto.Majalah ini merupakan kekuatan baru atau baru
dalam kesusastraan Indonesia. Kreativitas para seniman dan sastrawan yang selama ini
terbungkan mendapat penyaluran dalam majalah ini. Kesusastran Indonesia seolah-olah hidup
kembali.

7.3 Heboh Sastra


Majalah Sastra sudah terbit pada tahun 1960-an, namun pada zaman Orde Lama menjadi
bulan-bulanan Lekra dan akhirnya terpaksa berhenti pada bulan Maret 1964. Namun, penerbitan
hanya berlangsung hingga Oktober 1969 karena Kasus Pemuatan cerpen “Langit Makin
Mendung” karya Kipandjikusmin pada edisi Agustus 1968.
Cerpen “Langit Makin Mendung” sendiri sebetulnya adalah bagian pertama dari sebuah cerita
panjang. Akan tetapi, karena timbul heboh, bagian keduanya tidak dimuat majalah Sastra.
Sementara itu, Kipandjikusmin 22 Oktober 1968 menyatakan mencabut cerpen tersebut dan

15
menganggapnya tidak ada. Peristiwa yang dikenal dengan “Heboh Sastra” dimuat dalam buku
Pledoi Sastra Kontroversi Cerpen Langit Makin Mendung karya Ki Panji Kusmin (2004) Karya
Muhidin M.

BAB 8 SASTRA INDONESIA PERIODE 1971 – 1998


8.1 Sastra Populer
Karya-karya yang tampil di beberapa media massa karena menggunakan media publik maka
isinya disesuaikan dengan selera publik atau populer. Maka, karya-karyanya pun disebut karya
populer. Istilah populer mencakup karya-karya penerbitan yang diproduksi secara massal dan
cepat. Karena diproduksi massal itulah harganya murah. Sebagian besar ceritanya mengangkat
peristiwa aktual yang terjadi pada waktu itu yang disajikan secara secara ringan. Hal-hal itulah
yang menyebabkan karya-karya populer temasuk novel populer banyak disukai masyarakat.

8.2 Sastra Eksperimentasi


Bentuk eksperimentasi karya sastra di Indonesia di awali lahirnya puisi mbeling. Pada
mulanya adalah nama ruangan puisi dalam majalah aktuail terbitan Bandung (1972-1978).
Kemudian, puisi-puisi yang dimuat dalam ruagan tersebut di namai juga puisi mbeling. Mbeling
sendiri menurut redaksi majalal aktuail ialah “sikap nakal yang punya aturan” sedangkan tujuan
memunculkan puisi-puisi seperti ini ialah untuk menggugah nilai-nilai yang bokek—nilai seni
kaum tua yang terlalu dinjlimetkan dengan teori-teori yang sudah tidak cocok, kaku.

8.3 Pengadilan Puisi


Bentuk lain pemberontakan kalangan muda terhadap kemapanan majalah Horison maupun
kemapanan pengarang-pengarang senior adalah pengadilan Puisi. Acara yang diadakan di
Bandung, 8 September 1974, untuk mengadili puisi mutakhir. Penyelenggaranya Yayasan Arena,
mengambil tempat di Kampus Universitas Parahyang. Dalam acara itu, bentindak sebagai
“Hakim Ketua” : Sanento Yuliman, “Hakim Anggota : Darmanto Jt., “Jaksa” : Slamet Kirnanto,
“Pembela” : Taufiq Ismail, dan “ Saksi” : Sejumlah pengarang Indonesia. Ide mengadakan
Pengadilan Puisi ini berawal dari Darmanto Jt pada 1970. Menurutnya Pengadilan Puisi perlu
diadakan untuk mensahkan hak hidup puisi di Indonesia.

8.4 Sastra Akademik/Fakultas Sastra

16
Sejarah perkembangan kesuastraan Indonesia tidak dapat dilepaskan dari kegiatan kritik
sastra. Kegiatan penelaahan karya sastra di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari peran para
kritikus yang berasal dari kalangan akademik yang hasil kajian dikenal sebagai kritik akademik.
Banyak sumbangan yang diberikan kalangan akademik dalam perkembangan kesusastraan
Indonesia. Telaah mereka terhadap karya sastra Indonesia memberikan sumbangan yang besar
pada berbagai permasalahan kesusastraan di Indonesia.Kalangan akademik atau kritikus
akademik di hasilkan oleh fakultas-fakultas sastra yang pada awal dekade 1970 masih belum
populer.

BAB 9 SASTRA INDONESIA PERIODE 1998 – SEKARANG


9.1 Perempuan Pengarang Kontemporer
Periode ini dicirikan dengan bermunculan para penulis muda banyak yang bebas
mengeksplorasi bahasa dan tak terkungkung menabukan seks. Pengarang wanita tersebut salah
satunya Djenar Mahesa Ayu. dengan karyanya Mereka Bilang, Saya Monyet. Kumpulan cerita
pendek (cerpen) yang memuat 11 cerpen ditulis Djenar pada 2001-2002. Sedangkan novel
pertamanya adalah Nayla (2005) yang mengangkat secara ringan berbagai persoalan
penyimpangan seks. Kemudian kumpulan cerpen Jangan Main-main dengan Kelaminmu (2004)
yang juga mengangkat persoalan seks.
Pengarang lainnya ialah Ayu Utami dengan novel Saman yang meraih penghargaaan Dewan
Kesenian Jakarta 1997 dan dicetak ulang 22 kali. Novel ini pada awalnya direncanakan sebagai
fragmen dari novel pertama Ayu Utami, Laila Tak Mampir di New York. Saman (1998)
mengambil seting Indonesia tahun 80-an dan 90-an, di mana para tokohnya saling berinteraksi di
tengah kondisi sosial, politik dan budaya Indonesia pada masa itu.
Pengarang perempuan yang penting pada periode ini adalah Oka Rusmini. Oka melalui novel
Tarian Bumi (2000) dan Kenanga (2003) menggugat tradisi adat, budaya, dan agama yang selalu
memojokan posisi perempuan. Dalam Tarian Bumi, tokoh utama Ida Ayu Telaga Pidada,
perempuan bangsawan yang karena menikah dengan seorang Wayan, lelaki dari kasta yang lebih
rendah, kerap dituding sebagai biang kesialan keluarga. Telaga akhirnya iklas menanggalkan
kasta kebangsawanannya dan memilih menjadi perempuan sudra yang utuh.

9.2 Sastra Cyber


Penggunaan istilah sastra cyber sendiri menyatakan jenis medium yang dipakai: medium
cyber, persis sama halnya dengan istilah sastra koran, sastra majalah, sastra buku, sastra
fotokopian/stensilan, sastra radio, sastra dinding, dan sebagainya. Jadi, semua tulisan sastra yang
dipublikasikan melalui medium cyber disebut sastra cyber.
Situs sastra yang menjadi awal sastra cyber di Indonesia adalah Cybersastra.com. Situs yang
dikelola oleh Masyarakat Sastra Internet (MSI) dengan redaktur Nanang Suryadi dan kawan-
kawan, mengawali Cybersastra di Indonesia. Karena masalah teknis situs ini pindah ke domain

17
lain dan menjadi Cybersastra.net. Setelah itu lembaga-lembaga terutama yang bergerak dalam
bidang kesenian seperti Yayasan Lontar dengan www.lontar.org. Yayasan lain yang memiliki
situs seperti itu ialah Yayasan Taraju, KSI, Akubaca, Aksara, dan Aikon.

9.3 Banjir Cerpen


Jika kita melihat lebih saksama awal Kesusastraan Indonesia tidak bisa lepas kehadiran
cerpen di koran atau majalah. Cerpen-cerpen yang dimuat dalam koran atau majalah mendahului
kahadiran penerbitan novel, puisi dan drama. Namun, cerpen yang memanfaatkan media massa
tersebut dikaburkan oleh para penulis sejarah sastra dengan lebih menonjolkan peranan
penerbitan yang dalam ini adalah Balai Pustaka.
Setiap periode Kesuastraan Indonesia tak pernah sepi dari kehadiran cerpen-cerpen yang
dimuat di surat kabar. Pada saat tidak muncul novel-novel penting pada saat pendudukan Jepang
atau pada sekitar tahun 1950-an, cerpen tetap muncul disurat kabar dengan produksi yang
melimpah. Perkembangan cerpen dirasakan sangat cepat karena ruang dan kesempatan untuk
berkarya lebih terbuka. Satu hal yang memungkinkan cepatnya perkembangan cerpen karena
dipengaruhi oleh sikap revolusionis, kepekaan masyarakat Indonesia untuk sebuah perubahan
yang cepat dan signifikan, sehingga menuntut kehadiran sebuah bentuk karya sastra yang bersifat
santai, cepat saji, dan mudah dipahami oleh seluruh pembaca dan kecendrungan itu mengarah
pada cerpen.

RINGKASAN BUKU PEMBANDING

BAB 1
SASTRAWAN DAN LATAR BELAKANGNYA
Latar Belakang Sosiologis Sastrawan

Sebagai makhluk sosial, sastrawan dipengaruhi oleh latar belakang sosiologisnya yang berupa
struktur sosial dan proses sosial, termasuk perubahan sosial. Struktur sosial adalah keseluruhan
jalinan antara unsur-unsur yang pokok, yaitu kaidah-kaidah sosial, lembaga sosial, kelompok

18
sosial dan lapisan sosial. Proses sosial adalah pengaruh timbal balik antara kehidupan ekonomi,
politik, hukum, agama dan sebagainya. Sebagai contoh akan diperlihatkan hubungan sosial pada
diri sastrawan Budi Darma.
Budi Darma dilahirkan di Rembang, Jawa Tengah 25 April 1937. Sekarang beliau tinggal di
Surabaya. Beliau sudah sering berkeliling ke kota-kota Indonesia dan mancanegara. Di
Bloomington, Budi Darma menempuh dan menyelesaikan S-2 dan S-3. Selama di Bloomington
ia tinggal di apartemen Tulip Tree. Dalam cerpen “Keluarga M” diungkapkan tempat tinggal
tokoh yang merupakan manipulasi dari tempat tinggal Budi Darma di apartemennya tersebut.
Novel kedua Budi Darma, Rafilus (1988) banyak mengambil latar tempat di Surabaya. Novel ini
begitu detail menggambarkan keadaan kota Surabaya. Novel ketiga Budi Darma, novel Ny. Talis
(1996) juga banyak mengambil latar kota Surabaya. Tokoh utama novel ini bertempat tinggal di
Jalan Yosodipuro. Dari penjelasan di atas dapat dipahami bila asal sosial sastrawan akan
berpengaruh pada karya sastranya.
Kelas sosial sastrawan adalah kedudukan di dalam masyarakatnya. Hal ini berkaitan dengan
apakah sastrawan berasal dari kelas atas, menengah atau bawah. Pendidikan, baik formal
maupun informal juga berpengaruh terhadap kesastrawanan seseorang. Chairil Anwar,
A.A.Navis, Wildan Yatim banyak membaca buku karya sastra sebagai wujud dari pendidikan
informal.
Latar Belakang Psikologis Sastrawan

Selain ditentukan oleh oleh sistem organ biologis, perilaku seseorang juga dipengaruhi oleh akal
dan jiwanya. Hampir semua sastrawan berkarya karena dorongan akan keindahan meski
kadarnya untuk setiap sastrawan berbeda. Karya sastra dimanfaatkan oleh sastrawan sebagai
ungkapan keindahan-menghibur dalam arti yang luas. Yang paling remeh, dengan berkarya
sastrawan dapat mempermainkan bunyi dan kata. Karya sastra hanya bermain-main tanpa
keseriusan, walaupun yang berlaku demikian jarang. Yang mendorong seseorang untuk berkarya
tidak hanya satu dorongan. Penggolongan dorongan di atas merupakan salah satu penggolongan
saja. Sebagai contoh, Budi Darma mengaku menjadi sastrawan karena takdir dan karena obsesi.
Bakat, kemauan, kesempatan, dan hambatan menulis hanyalah rangkaian pernyataan takdir. Ia
merasa ada sesuatu di dalam dirinya yang memaksanya untuk menulis.
Latar Belakang Kebahasaan dan Kesastraan Sastrawan

19
Ketika sastrawan ingin menyampaiakn pesannya, ia harus mempergunakan bahasa sebagai
mediumnya. Bahasa tersebut harus dimengerti oleh pembacanya. Oleh karena itu, bahasa yang
digunakan juga berangkat dari bahasa natural, yakni bahasa yang digunakan berkomunikasi
sehari-hari. Sebagai komunikasi yang timbal balik, sistem bahasa yang diciptakan sastrawan
harus diterima oleh pembaca dengan cara yang sama. Bila tidak, komunikasi ini bisa dikatakan
gagal. Itulah sebabnya bahasa sastra bukan bahasa yang melanggar kaidah bahasa natural, tetapi
memang mempunyai kaidah tersendiri. Bahasa sastra adalah bahasa yang khas. Dalam
berkomunikasi, sastrawan juga harus memperhatikan sistem sastra. Ketika sastrawan ingin
menyampaiakn pesannya dalam bentuk puisi, maka kata-kata, lambang, simbol, ungkapan dan
bentuk pesannya akan berbeda bila sastrawan menyampaikannya dalam bentuk drama, novel,
roman ataupun cerpen.

Bab 2
SASTRAWAN DAN PROSES KREATIF
2.1 Alasan dan Dorongan Menjadi Pengarang
Menurut Koentjaraningrat (1986:109-110) ada tujuh macam dorongan naluri. Ketujuh dorongan
itu adalah dorongan: (1) untuk mempertahankan hidup, (2) seksual, (3) untuk mencari makan, (4)
untuk bergaul, (5) untuk meniru tingkah laku sesamanya, (6) untuk berbakti, (7) akan keindahan.
Bagi masyarakat religius, ada satu dorongan lagi yang penting, yakni dorongan akan rasa
ketuhanan. Dilihat dari sudut ini, karya sastra bagi sastrawan juga berfungsi untuk memenuhi
dorongan-dorongan tersebut dengan berbagai tingkatan.
2.2 Kegiatan Sebelum Menulis
2.2.1 Berjalan-jalan
Beberapa sastrawan banyak mendapatkan ide setelah berjalan-jalan. Semua karya Budi Darma
menurut pengakuannya lahir dalam perjalanan. Contohnya novel Olenka, Rafilus, dan novel Ny.
Talis. Banyak gagasan yang diperoleh Budi darma saat melakukan jalan-jalan.
2.2.2 Membaca
Bekal menjadi pengarang adala banyak membaca. Biasanya setiap pengarang memiliki riwayat
hidup masa kecil yang gemar membaca. Banyak sastrawan Indonesia yang suka membaca
sebelum mereka menjadi sastrawa, seperti Chairil Anwar, S. Takdir Alishjabana, A.A.Navis,
Nh.Dini, dan lain-lain.

20
2.2.3 Mendengarkan
Kegiatan ketiga yang bisa dilakukan sastrawan sebelum mengarang adalah mendengarkan.
Taufiq Ismail misalnya, suka mendengar wayang kulit dan hikayat. Contoh sastrawan Indonesia
yang suka mendengarkan atau memperoleh ide menulis karya sastranya dari mendengarkan
adalah A.A.Navis, Wildan Yatim, Arswendo atmowiloto, Nh.Dini dan Budi Darma.
2.2.4 Memperoleh Pengalaman
Kegiatan yang dilakukan sastrawan sebelum mengarang adalah mencari pengalaman. Misalnya
saja Hemingway, sebelum menulis novel, ia terlebih dulu membuat petualangan. Ia pergi ke
Spanyol ikut berperang disana dan lahirlah novel Petempuran penghabisan.
2.3 Kegiatan Pada Saat Menulis
2.3.1 Sastrawan Perajin dan Sastrawan Kesurupan
Sastrawan perajin mengarang dengan penuh keterampilan, terlatih, dan bekerja dengan serius
dan tanggungjawab. Sastrawan kesurupan dalam mengarang berada dalam keadaan kesurupan,
penuh emosi, dan menulis dengan spontan.
2.3.2 Sastrawan Cepat dan Lambat
Budi Darma merupakan sastrawan yang dapat menulis dengan cepat. Budi Darma menulis tiga
cerpen dalam sehari saat ia bertemu dengan Nugroho. Semuanya dimuat dalam majalah sastra
Cerita. Sebaliknya, banyak sastrawan yang dalam kariernya sebagai sastrawan hanya
menghasilkan beberapa karya saja. Mereka bisa dimasukkan dalam kelompok sastrawan yang
lambat.
2.3.3 Sastrawan Pemerhati Pembaca dan Terlepas dari Pembaca
Ada sastrawan yang saat menulis menulis karya sastranya sudah membayangkan dan
memerhatikan pembacanya. Karena ingin banyak dibaca oleh banyak orang, contohnya adalah
Putu Wijaya. Di sisi lain ada sastrawan yang pada saat menulis karya sastra tidak memerhatikan
pembacanya, contohnya Budi Darma.
2.3.4 Sastrawan Produktif dan Tidak Produktif
Sastrawan yang produktif antara lain S.Takdir Alishjabana, Subagio Sastrowardoyo. A.A.Navis,
Nh.Dini dan lain-lain. Di sisi lain ada sastrawan yang mempunyai sedikit karya. Ada seorang
sastrawan yang hanya mempunyai satu cerpen atau puisi yang masih dimuat di majalah seperti
Horison.
2.4 Kegiatan Setelah Menulis

21
2.4.1 Merevisi
Revisi bisa berupa bentuk mengetik kembali tulisannya yang berupa tulisan tangan. Revisi bisa
juga dalam bentuk mengubah tulisan yang sudah jadi.
2.4.2 Melakukan Perenungan
Proses perenungan yang dilakukan Budi Darma adalah memeriksa kembali karyanya, melihat
kembali bagaimana proses penulisannya, melihat hubungn karyanya dengan karya sastra lain,
serta melihat hubungan karyanya dengan karya sastra lain.
2.4.3 Akan Menulis Lagi ataukah Berhenti Menulis
Setelah menulis karya sastra, sastrawan bisa mengambil keputusan apakah ia akan menulis karya
sastra lagi ataukah ia berhenti untuk menulis
2.5 Modal Menjadi Sastrawan
Modal menjadi sastrawan merupakan kemampuan yang harus dimiliki seorang penulis antara
lain bakat, pekerja keras, keberanian moral untuk jujur dan bertanggungjawab terhadap
kebenaran, keyakinan tentang apa yang ditulis adalah benar dan perlu.

Bab 3
SASTRAWAN DAN SEMESTA
Hubungan Sastrawan dengan Alam Semesta

Semua karya manusia disusun berdasarkan alam semesta. Apa yang berhasil diindera,
ditanggapi, diingat dan difantasikan manusia semuanya disimpan dan disampaiakn melalui
bahasa dengan segala perangkatnya. Bahasa dalah wadah objektif dari timbunan makna dan
pengalaman yang besar. Hubungan antara seni dan kenyataan merupakan interaksi yang
kompleks dan tak langsung karena ditentukan oleh konvensi bahasa, konvensi sosio-budaya, dan
konvensi sastra. Hubungan ini merupakan interaksi interaksi dan saling memengaruhi. Konvensi
tidak terjadi tanpa dipengaruhi kenyataan. Kenyataan berpengaruh dan mengarahkan terjadinya
konvensi. Sebaliknya, pengamatan dan penafsiran kenyataan diarahkan pula oleh konvensi
tersebut. Interaksi itu dijadika prinsip semiotik utama: pembaca selalu harus bolak balik antara
kenyataan dan rekaan, antara mimetik dan creatio. Membaca teks sebagai pencerminan
kenyataan belaka pasti menyesatkan, tetapi sebaliknya membaca teks sebagai rekaan murni juga
keliru.

22
Sastrawan dan Pancaindera

Banyak sastrawan yang memasukkan hasil pengamatannya ke dalam karya sastra. Budi Darma
dalam novelnya Olenka, banyak memasukkan unsur pengamatan ke dalam novelnya. A.A.Navis
mendapatkan ide menulis novel kemarau setelah ia melihat film Naked Island. Wildan Yatim
banyak mengangkat hasil penglihatannya ke dalam karya sastranya. Cerpennya “Berakhir di
Jakarta” temanya timbul setelah ia menjenguk seorang kawan sekampungnya dari Sumatera
Barat yang mengidap kanker payudara. Apa yang dilihat oleh sastrawan tidak hanya terbatas
pada dunia di sekelilingnya atau peristiwa yang dilihatnya. Sastrawan bisa mendapat ide dari
membaca, baik membaca bebas maupun membaca karya sastra oranglain.

Bab 4
SASTRAWAN DAN KARYA SASTRA
Problematika Menentukan Karya Sastra
Ada beberapa problematika dalam mendefinisikan karya sastra. Problematika tersebut bersumber
pada beberapa hal. Pertama, kebanyakan orang mendefinisikan karya sastra dalam satu definisi
yang umum. Kedua, definisi karya sastra hanya didasarkan pada satu sudut pandang saja. Kita
tidak mendefinisikan karya sastra berdasarkan situasi kesusastraan. Ketiga, dalam
mendefinisikan hakikat karya sastra, definisi hanya didasarkan pada definisi evaluatif. Keempat,
banyak definisi karya sastra di Indonesia diambil dari contoh-contoh dan definisi-definisi karya
sastra barat. Definisi yang diambil dari Barat kurang memerhatikan bentuk-bentuk khusus dari
karya sastra yang kita miliki. Kita memiliki sastra yang mempunyai estetika tersendiri, misalnya
Tembang di Jawa.
Ciri Umum Karya Sastra

Pertama, sebuah karya dikatakan sebagai karya sastra bila ada niat dari sastrawan untuk
menciptakan karya sastra. Kedua, karya sastra adalah hasil proses kreatif. Karya sastra bukanlah
hasil pekerjaan yang memerlukan keterampilan semata. Karya sastra memerlukan perenungan,
penegndapan ide, pematangan, langkah tertentu. Ketiga, karya sastra diciptakan bukan semata-
mata untuk tujuan praktis dan pragmatis. Keempat, bentuk dan gaya karya sastra khas.
Maksudnya sebagai bentuk dan gaya yang berbeda dengan bentuk dan gaya nonsastra. Kelima,
bahasa yang digunakan dalam karya sastra khas. Keenam, karya sstra mempunyai logika sendiri.

23
logika karya sastra erat kaitannya dengan konvensi karya sastra. Ketujuh, karya sastra
merupakan dunia rekaan. Kedelapan, karya sastra memiliki nilai keindahan tersendiri.
Kesembilan, karya sastra adalah sebuah nama yang diberikan masyarakat kepada hasil tertentu.
Ciri Karya Sastra yang Baik
Pertama, karya sastra yang baik bisa mengkristal. Bisa melampaui ruang dan waktu. Kedua,
mempunyai sistem yang bulat, baik sistem bentuk, bahasa maupun isi. Di dalam karya sastra
harus ada keutuhan, keseimbanagn, keselarasan, tekanan yang tepat. Ketiga, bisa
mengungkapkan isis jiwa sastrawan dengan baik. Keempat, penafsiran kehidupan dan
mengungkapkan hakikat kehidupan. kelima, tidak bersifat menggurui. Keenam, tidak terikat oleh
nilai-nilai dan fakta-fakta setempat, tetapi lebih bersifat universal. Ketujuh, tidak melodramatis,
tidak mempunyai kesan diatur-atur. Kedelapan, harus menunjukkan kebaruan, keindividualan,
dan keaslian.
Hubungan Sastrawan dengan Karya Sastra
Karya sastra dimanfaatkan oleh sastrawan sebagai ungkapan keindahan. Karya sastra harus
berfungsi mengajarkan sesuatu. Sastrawan bisa menggunakn karya sastranya untuk berbagai
keperluan praktis, misalnya mencari uang, memperluas pergaulan. Karya sastra tidak hanya
menampung fungsi indah yang bisa meliputi fungsi ekspresif dan imajinasi.

Bab 5
SASTRAWAN DAN PEMBACA
Pembaca Karya Sastra
Dari pendekatan pragmatik, dikenal resepsi sastra. Resepsi sastra adalah kajian yang
mempelajari bagaimana pembaca memberikan makna terhadap karya sastra yang dibacanya
sehingga dapat memberikan reaksi atau tanggapan terhadapnya, baik tanggapan pasif maupun
tanggapan aktif. Pentingnya peranan pembaca dalam memberikan arti terhadap karya sastra
dapat dilihat pada klenyataan bahwa karya yang sama akan dimaknai secara berbeda oleh
pembaca yang berbeda. Dalam bidang kritik, dua orang kritikus tidak mungkin menghasilkan
kritik-kritik yang persis sama meskipun mereka telah bertemu dengan sajak yang sama.
Hubungan Sastrawan dengan Pembaca

Pertama, hubungan sastrawan dengan pembacanya sangat khas dari sifat komunikasinya.
Hubungannya timbal balik. Kedua, kekhasan komunikasi antara sastrawan dan pembacanya bisa

24
dilihat pada diri pembaca itu sendiri. ketiga, kekhasan komunikasi antara sastrawan dan
pembacanya bisa dilihat pada pesannya yaitu karya sastra itu sendiri. keempat, kekhasan
komunikasi antara sastrawan dan pembacanya bisa dilihat pada diri sastrawannya. Ada sastrawan
yang mengajak, mendikte, atau bersikap menggurui pembaca.
Pandangan Ahli terhadap Pembaca Sastra

Gerald Prince mengemukakan teorinya tentang narrate. Narratee adalah orang yang kepadanya
pencerita menyampaikan wacananya. Narratee berbeda dengan pembaca. Menurut Martin
Heidegger, kesadaran kita memproyeksikan benda-benda dunia dan juga pada waktu yang sama
ditundukkan dunia oleh kodrat keberadaannya yang sebenarnya di dunia. Stanley Fish
mengemukakan pendapatnya dalam pengalaman pembaca. Ia berpusat pada penyesuaiana-
penyesuaian harapan yang dibuat pembaca ketika mereka membaca sepanjang teks pada tingkat
rangkaian kalimat.

Bab 6
PUISI
Bentuk Komunikasi Puisi

Puisi adalah teks-teks monolog yang isinya pertama-tama bukan merupakan sebuah alur. Atau
dengan kata lain, isinya bukan semata-mata sebuah cerita, tetapi lebih merupakan ungkapan
perasaan. Yang menggubah karya sastra adalah penyair. Penyair bertanggungjawab terhadap
semua yang ada dalam karya sastranya, baik bentuk maupun isinya. Akan tetapi, di dalam karya
sastra itu sendiri, penyair tidak ikut berbicara, yang berbicara adalah seseorang yang disebut aku
atau subjek lirik. Hal ini disebabkan pengarang bukanlah berada dalam dunia karya sastra.
Bentuk dan Struktur Fisik Puisi

Perwajahan Puisi(Tipografi)

Perwajahan adalah pengaturan dan penulisan kata, larik, dan bait dalam puisi. Pada puisi
konvensional, kata-katanya diatur dalam deret yang disebut larik atau baris. Pengaturan dalam
bait-bait ini sudah berkurang atau sama sekali tidak ada pada puisi modern atau puisi
kontemporer.

25
Diksi

Diksi adalah pemilihan kata-kata yang dilakukan oleh penyair dalam puisinya. Pemilihan kata
dalam puisi berhubungan erat dengan makna, keselarasan bunyi, dan urutan kata. Pemilihan kata
berhubungan erat dengan latar belakang penyair. Semakin luas wawasan penyair, semakin kaya
dan berbobot kata-kata yang digunakan. Kata dalam puisi tidak hanaya sekadar kata-kata yang
dihafalkan, tetapi sudah mengandung pandangan pengarang. Penyair yang religius akan
menggunakan kosakata yang berbeda dengan pengarang yang sosialis.

Imaji

Imaji adalah kata atau kelompok kata yang dapat mengungkapkan pengalaman indrawi, seperti
penglihatan, pendengaran, dan perasaan. Imaji dapat dibagi menjadi tiga: imaji suara, imaji
penglihatan, dan imaji raba atau sentuh. Imaji dapat mengakibatkan pembaca seakan-akan
melihat, mendengar, dan merasakan seperti yang dialami oleh penyair. Imaji berhubungan erat
dengan kata kongkrit.

Kata Konkret

Kata konkret adalah kata-kata yang dapat ditangkap dengan indra. Dengan kata konkret akan
memungkinkan imaji muncul.

Bahasa Figuratif (Majas)

Majas ialah bahasa berkias yang dapat menghidupkan atau meningkatkan efek dan menimbulkan
konotasi tertentu. Bahasa figuratif meyebabkan pusi menjadi prismatis, artinya memancarkan
banyak makna atau kaya akan makna. Bahasa figuratif mampu menghasilkan kesenangan
imajinatif

Verifikasi (Rima, Ritme dan Metrum)

o Rima

26
Rima adalah persamaan bunyi pada puisi, baik di awal, tengah, maupun akhir baris puisi. Rima
mencakup (1) onomatope yakni tiruan terhadap bunyi. Di dalam puisi, bunyi ini memberikan
warna suasana tertentu seperti yang diharapkan oleh penyair. (2) bentuk intern pola bunyi
meliputi aliterasi, asonansi, persamaan akhir, persamaan awal, sajak berselang, sajak berparuh,
sajak penuh, repetisi bunyi (3) pengulangan kata.

Ritma dan Metrum

Ritma merupakan tinggi-rendah, panjang pendek, keras lemahnya bunyi. Ritma sangat menonjol
bila puisi itu dibacakan. Biasanya ritma disamakan dengan metrum.

Struktur Batin Puisi

o Tema atau Makna

Media puisi adalah bahasa. Salah satu tataran dalam bahasa dalah hubungan tanda dengan makna
yang dipelajari dalam semantik. Untuk puisi yang konvensional tiap kata-baris, bait sampai
keseluruhan puisi mempunyai makna, tatapi mulai berkurang pada puisi modern.

Rasa

Rasa dalam puisi adalah sikap penyair terhadap pokok permasalahan yang terdapat dalam
puisinya. Pengungkapan tema dan rasa berkaitan erat dengan latar belakang sosial dan psikologis
penyair. Kedalaman pengungkapan tema dan ketepatan dalam menyikapi suatu masalah tidak
bergantung pada kemampuan penyair memilih kata-kata, rima, gaya bahasa, dan bentuk puisi
saja tetapi lebuih banyak bergantung kepada wawasan, pengetahuan, pengalaman dan
kepribadian yang terbentuk oleh latar belakang sosiologis dan psikologisnya.
6.3.3 Nada
Nada dalam puisi adalah sikap penyair terhadap pembacanya. Nada juga berhubungan dengan
tema dan rasa.
6.3.4 Amanat atau Tujuan

27
Ada tujuan yang mendorong penyair menciptakan puisi. Tujuan tersebut bisa dicari sebelum
penyair itu menciptakan puisi maupun dapat ditemui dalam puisinya.

Bab 7
PROSA REKAAN
7.1 Pengertian Prosa Rekaan
Menurut Aminuddin, prosa rekaan adalah kisahan atau cerita yang diemban oleh pelaku-pelaku
tertentu, dengan peranan, latar serta tahapan dan rangkaian cerita tertentu yang bertolak dari hasil
imajinasi pengarangnya sehingga menjalin suatu cerita. Prosa rekaan tersebut dimaksudkan oleh
pengarang sebagai prosa rekaan dan diterima oleh pembaca sebagai prosa rekaan dengan
memperhatikan konvensi sastra, bahasa, dan budaya yang ada.

Bentuk Komunikasi Prosa Rekaan

Di dalam karya sastranya, sastrawan mengemukakan pikiran dan perasaannya kepada pembaca
lewat pencerita. Pencerita inilah yang bercerita tentang tokoh, peristiwa, tempat, dan hal lain
yang ada di dalam karya sastra kepada pembaca atau pendengar. Bentuk komunikasi dalam prosa
rekaan, baik antara pengarang dan pembaca maupun bentuk komunikasi di dalam karya prosa
rekaan sangat khas. Secara skematis bentuk komunikasi itu adalah sebagai berikut:
Sastrawan pencerita tokoh tokoh pembaca/pendengar dalam teks
Pembaca nyata

Bentuk dan Struktur Fisik Prosa Rekaan

Dalam bentuk tertulis, kata-kata yang terdapat dalam prosa rekaan memenuhi seluruh halam dari
tepi kiri sampai kanan. Kumpulan kata dibentuk menjadi kalimat. Dalam bentuk lisan, prosa
rekaan lebih bnyak berupa cerita. Bentuk ini mempunyai tokoh, jalan cerita, latar cerita, tema,
nilai yang disampaikan cukup jelas. Prosa rekaan bisa dibedakan atas prosa lama dan prosa
modern. Prosa lama berwujud folktale. Prosa rekaan modern berupa roman, novel, novelet dan
cerpen.

28
Unsur Intrinsik Prosa Rekaan

o Tokoh, Watak dan Penokohan

Tokoh adalah pelaku yang mengemban peristiwa dalam cerita rekaan sehingga peristiwa itu
menjalin suatu cerita, sedangkan cara sastrawan menampilakn tokoh disebut penokohan. Tokoh
dalam karya rekaan selalu mempunyai sifat, sikap, tingkah laku atau watak tertentu. Pemberian
watak tokoh disebut perwatakan.

Latar Cerita (Setting)

Menurut Aminuddin (1984:62) setting merupakan latar peristiwa dalam karya fiksi baik berupa
tempat, waktu maupun peristiwa, serta memiliki fungsi fisikal dan fungsi psikologis. Bagi
sastrawan, latar cerita dapat digunakan sebagai penjelas tentang tempat, waktu dan suasana yang
dialami tokoh. Sastrawan juga bisa menggunakan lattar untuk menggambarkan watak tokoh,
suasana cerita, alur, tema cerita.

Titik Pandang/Sudut Pandang

Titik pandang diartikan sebagai cara pengarang menampilkan para pelaku dalam cerita yang
dipaparkannya. Titik pandang meliputi sudut pandang fisik, sudut pandang netral, sudut pandang
pribadi.

Gaya Bahasa

Ada tiga masalah yang erat hubungannya dengan pembicaraan mengenai gaya. Pertama, masalah
media berupa kata dan kalimat. Kedua, masalah hubungan gaya dengan makna dan
keindahannya. Ketiga, seluk beluk ekspresi pengarangnya sendiri yang akan berhubungan erta
dengan masalah individual kepengarangan, maupun konteks sosial masyarakat yang
melatarbelakanginya.

Alur (Plot)

29
Ialah rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa sehingga menjalin sebuah
cerita yang dihadirkan oleh para pelaku dalam suatu cerita. Aminuddin membedakan tahapan
peristiwa atas pengenalan, konflik, komplikasi, klimaks, peleraian dan penyelesaian.

Tema dan Amanat

Tema adalah ide yang mendasari suatu cerita. Tema berperan sebagai pangkal tolak pengarang
dalam memaparkan karya rekaan yang diciptakannya. Tema merupakan kaitan hubungan antara
makna dengan tujuan pemaparang prosa rekaan oleh pengarangnya. Amanat adalah gagasan
yang m,endasari karya sastra.

Gaya penceritaan

Gaya penceritaan mencakup teknik penulisan dan teknik enceritaan. Teknik penulisan adalah
cara yang digunakan oleh pengarang dalam menulis karya sastranya. Teknik penceritaan adalah
cara yang digunakan oleh pengarang untuk menyajikan karya sastranya seperti teknik
pemandangan, teknik adegan, teknik montase.

Perbedaan Prosa Rekaan dengan Drama

o Pengertian Drama

Drama adalah karya sastra yang bertujuan untuk menggambarkan kehidupan dengan
mengemukakan tikaian dan emosi lewat lakuan dan dialog. Unsur teks drama hampir sama
dengan prosa rekaan yakni plot, tokoh, watak dan penokohan, latar cerita, gaya bahasa dan tema.
Bentuk Komunikasi Drama

Pengarang aktor aktor pembaca


Bentuk dan Jenis Drama

Berdasarkan masanya, dibedakan atas drama tradisional dan drama modern. Drama tradisional
adalah drama yang lahir dan diciptakan masyarakat tradisional. Drama modern adalah drama
yang lahir pada masyarakat industri.

30
Bab 8
SASTRA DAN PENDIDIKAN
8.1 Pendidikan tentang Sastra
Pendidikan tentang sastra adalah pendidikan yang membahas hal ihwal tentang sastra.
Pendidikan semacam ini bertujuan untuk mengembangkan kompetensi teori sastra. Aspek yang
dikembangkan lebih pada aspek kognitif peserta didik. Pendidikan tentang sastra juga
mengajarkan sejarah sastra. Yang diajarkan pada sejarah sastra lebih pada menghafal periodisasi
sastra. Peserta didik dituntuk untuk menghafal macam-macam angkatan yang ada di Indonesia,
toko yang menonjol di setiap angkatan, sebab timbulnya angkatan, nama sastrawan di setiap
angkatan beserta judul karya sastranya.
8.2 Pendidikan Sastra
Pendidikan sastra adalah pendidikan yang mencoba untuk mengembangkan kompotensi apresiasi
sastra, kritik sastra, dan proses kreatif sastra. Kompetensi yang diasah dalam pendidikan ini
adalah kemampuan menikmati dan menghargai karya sastra. Dengan pendidikan semacam ini,
peserta didik diajak untuk langsung membaca, memahami, menganalisis, dan menikmati karya
sastra secara langsung. Pendidikan kreatif sastra mencoba membelajarkan peserta didik untuk
mau dan mampu menulis karya sastra. Pendidikan sastra yang mengapresiasi prosa rekaan akan
mengembangkan kompetensi anak untuk memahami dan menghargai keindahan karya sastra
yang tercermin pada setiap unsur rekaan dengan secara langsung membaca karya sastranya.
Dengan pendidikan sastra, peserta didik tidak hanya diajak untuk memahami dan menganalisis
berdasarkan bukti nyata yang ada di dalam karya sastra dan kenyataan yang ada di luar sastra,
tetapi juga diajak untuk mengembangkan sikap positif terhadap karya sastra. Pendidikan
semacam ini akan mengembangkan kemampuan fikir, sikap dan keterampilan peserta didiknya.
Pendidikan kririk sastra akan mengembangkan kompetensi peserta didik untuk memahami dan
menilai karya sastra. Peserta didik diajak untuk menentukan kualitas dan nilai karya sastra
seperti baik buruk, asli tidaknya, atau bermutu tidaknya sebuah karya sastra dengan pendekatan
dan kriteria tertentu.
8.3 Pendidikan Melalui Sastra
8.3.1 Pembelajaran Sastra yang Seimbang

31
Pembelajaran sastra hendaknya mempertimbangkan keseimbangan pengembangan pribadi dan
kecerdasan peserta didik. Pembelajaran semacam ini akan mempertimbangkan keseimbangan
antara spiritual, emosional, etika, logika, estetika dan kinestetika. Kompetensi intelektual antara
lain berupa kemampuan berpikir dan bernalar, kemampuan kreatif dan inovatif, kemampuan
memecahkan masalah, dan kemampuan mengambil keputusan strategis yang mendukung
kehidupan global. Kompetensi emosional merupakan kompetensi untuk memahami diri sendiri
dan oranglain. Kompetensi atas kecerdasan bahasa antara lain berupa kemahirwacanaan,
kemampuan menguasai sarana komunikasi mutakhir, kemampuan menguasai suatu bahasa,
kemampuan bekerjasama, dan kemampuan membangun hubungan dengan pihak lain.
8.3.2 Pembelajaran Sastra untuk Kecakapan Hidup
Kecakapan hidup dapat dikelompokkan menjadi lima jenis. Kelima jenis kecakapan itu adalah
(1) kecakapan mengenal diri (2) kecakapan berpikir rasional (3) kecakapan sosial (4) kevakapan
akademik (5) kecakapan vokasional.
8.3.3 Pendidikan Menyeluruh dan Kemitraan
Pendidikan sastra sesuai dengan upaya peningkayan mutu pendidikan pada abad ke-21 yang
dicanangkan UNESCO dengan dikeluarkannya dokumen mengenai pendidikan bagi semua.
Dalam dokumen pendidikan bagi semua itu antara lain dikemukakan ihwal empat pilar
pendidikan kesejagatan yaitu belajar mengetahui, belajar melakukan, belajar menjadi, dan
belajar hidup bersama.semua ini bisa diajarkan melalui pembelajaran sastra.
8.3.4 Model Pembelajaran Sastra
Model pembelajaran kontekstual menawarkan strategi pembelajaran yang memungkinkan
peserta didik lebih aktif dan kreatif. Dalam pembelajaran kontekstual, konsepnya dikenal sebagai
Contextual Teaching and Learning (CTL). Model kontekstual ini berasal dari pandangan dan
pendekatan kontruktivisme. Pendekatan ini menekankan pentingnya siswa membangun sendiri
pengetahuan mereka melalui keterlibatan aktif proses belajar mengajar.

Bab 9
KAJIAN SASTRA (Sebuah Rangkuman)
9.1 Pendekatan Ekspresif
Adalah pendekatan dalam kajian sastra yang menitikberatkan kajiannya pada ekspresi perasaan
atau temperamen penulis. Dalam pendekatan ini, penilaian terhadap karya seni ditekankan pada

32
keaslian dan kebaruan. Penialaian sebuah karya seni sebagian besar bergantung pada kadar
kebaruan dan penyimpangannya terhadap karya sebelumnya. Yang indah hanya yang baru.
Sesuatu yang baru dianggap lebih baik daripada yang lama. Sebenarnya, cita-cita kebaruan dan
keaslian ini menjadi dominasi sejak zaman Renaissance, ketika alam dan ciptaan Tuhan sebagai
model dan modal yang harus diteladani oleh seniman digantikan oleh ciptaan seniman sendiri.
9.2 Pendekan Objektif
Adalah pendekatan kajian sastra yang menitikberatkan kajiannya pada karya sastra. Karya sastra
dipandang sebagi tanda, lepas dari fungsi referensialnya atau mimetiknya. Karya sastra menjadi
tanda yang otonom, yang hubungannya dengan kenyataan bersifat tidak langsung. Tugas peneliti
adalah pertama-tama meneliti karya sastra yang kompleks dan multidimensional yang setiap
aspek dan unsurnya berkaitan dengan aspek dan unsur yang lain yang semuanya mendapat
makna penuh dan fungsinya dalam totalitas karya itu.
9.3 Pendekatan Mimetik
Adalah pendekatan kajian sastra yang menitikberatkan kajiannya terhadap hubungan karya sastra
dengan kenyataan di luar karya sastra. Pendekatan yang memandang karya sastra sebagai imitasi
dari realitas. Kajian semacam ini dimulai dari pendapat Plato tentang seni. Plato berpendapat
bahwa seni hanya dapat meniru dan membayangkan hal-hal yang ada dalam kenyataan yang
tampak. Ia berdiri di bawah kenyataan itu sendiri. eujud yang ideal tidak bisa terjelma langsung
dalam karya seni. Ini ada kaitannya dengan pandangan Plato menegenai tataran tentang Ada.
9.4 Pendekatan Pragmatik
Adalah pendekatan kajian sastra yang menitikberatkan kajiannya terhadap peranan pembaca
dalam menerima, memahami, dan menghayati karya sastra. Pembaca sangat berperanan dalam
menentukan sebuah karya itu merupakan karya sastra atau bukan. Sebagai sebuah keutuhan
komunikasi sastrawan-karya sastra-pembaca, maka pada hakikatnya karya yang tidak sampai ke
tangan pembacanya bukanlah karya sastra. Karya sastra tidak mempunyai keberadaan nyata
sampai karya sastra itu dibaca. Pembacalah yang menerapkan kode yang ditulis sastrawan untuk
menyampaikan pesannya.
9.5 Pendekatan Interdisipliner Sastra
Bidang interdisipliner lain adalah pendidikan dan sastra. Ada tiga hal yang dibahas bila kita
membicarakan sastra dan pendidikan. Pendidikan tentang sastra adalah pendidikan yang
membahas hal ihwal tentang sastra. Pendidikan ini hanya mengembangkan kompetensi teori

33
sastra. Pendidikan sastra adalah pendidikan yang mencoba untuk mengembangkan kompetensi
apresiasi sastra, kritik sastra dan proses kreatif sastra. Pendidikan melalui sastra mengembangkan
kompetensi peserta didik di luar kompetensi bidang sastra.

BAB III

PENILAIAN BUKU

A.BUKU UTAMA
1.Kelebihan
• Dari segi cover buku sudah bagus dan menarik perhatian pembaca
• Jenis dan ukuran tulisan sudah pas rata kanan dan kiri buku ini sangat rapi
• Bahasanya sudah menggunakan bahasa Indonesia yang baik
• Pembahasan dalam buku ini sudah bagus bagi pembaca yang ingin mengetahui
tentang sejarah sastra terlebih periode-periode nya

2.Kekurangan
• Dalam buku ini tidak ada mencantumkan gambar sehingga bisa membuat pembaca
cepat bosan
• Sering di jumpai penulisan yang kurang benar, penggunaan spasi dan tanda baca
yang salah.
• Buku ini tidak di lengkapi dengan rangkuman tiap babnya sehingga pembaca agak
sulit mendapat intisari dari tiap babnya
• Buku ini jg tidak dilengkapi dengan soal-soal evaluasi yg dapat menguji
kemampuan pembaca

34
B.BUKU PEMBANDING
1.Kelebihan Buku
• Dari cover buku, bukunya sudah cukup bagus.
• identitas bukunya sudah lengkap sehingga saya dalam mereview tidak sulit dalam
mengerjakannya.
• Penulis menyertakan fakta dan data yang terpercaya. Penulis tidak hanya menyampaikan
pendapat-pendapatnya saja. Tetapi, menyampaikan juga fakta-fakta dan data-data yang
terpercaya.
• Terdapat pendapat-pendapat para ahli
• Menambah kosakata Bahasa indonesia bagi para pembaca

2. kekurangan buku 1
• Dalam menjelaskan skema pengajaran tidak begitu mendetail, sehingga pembaca sulit
memahami isi buku tersebut
• Banyak kalimat yang terbelit-belit.

BAB IV

PENUTUP
A.KESIMPULAN
Kedua Buku teori dan sejarah sastra ini, sangat bermanfaat dan cocok bagi seseorang yang
ingin mempelajari bagaimana teori dan sejarah sastra . Meskipun kedua buku ini memiliki
perbedaan serta kelebihan dan kekurangan yang terdapat di dalamnya tetapi pada dasarnya
memiliki tujuan yang sama yaitu membahas tentang teori dan sejarah sastra.

B. SARAN
1. Sebaiknya penulis menggunakan bahasa yang mudah dipahami.

35
2. Akan lebih mudah dipahami jika terdapat penjelasan lebih rinci mengenai hal terkait.
3. Ketika menulis sebuah buku, sebaiknya meminimalisir penggunakan kata yang bertele-tele
dan memeriksa kembali buku agar tidak terdapat kesalahan penulisan.
4. Sebaiknya kedua buku ini dilengkapi dengan glosarium untuk memudahkan pembaca
memahami bahasa-bahasa yang kurang dimengerti,

DAFTAR PUSTAKA
Rosida Sriwati, M.Hum ; Ahmad Bahtiar, M.Hum 2011 Sejarah Sastra Indonesia UIN
Dr. Wahyudi Siswanto 2008 Pengantar Teori Sastra Jakarta Grasindo

36

Anda mungkin juga menyukai