Anda di halaman 1dari 72

KONSEP DAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA

PASIEN NY.N DENGAN GANGGUAN SISTEM


MUSKULOSKELETAL : FRAKTUR

diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah


Keperawatan Medikal Bedah III
Dosen pengampu : Popy Siti Aisyah, S.Kep., Ners., M.Kep.

Disusun oleh:
Kelompok 2

Resha Eka Febryani 302018012 Amelia Fatimah 302018036


Krisda Amelia 302018017 Lulu Fauziah Qisti 302018039
Dian Rismawati 302018020 Sheila Ananda F 302018040
Hevita Nur Wulansari 302018030 Erina Fikar Febriana 302018041
Bunga Yustikania D.P 302018035 Vera Permata Dewi 302018052

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ‘AISYIYAH BANDUNG
2020
DAFTAR TILIK
PENILAIAN MAKALAH
NO. ASPEK PENILAIAN KRITERIA B N BxN
4 Konsep lengkap dan integratif
3 Konsep lengkap
2 Konsep hanya sebagian
1. Kelengkapan Konsep Hanya menunjukkan sebagian kecil 3
1
Konsep
Konsep diungkapkan dengan tepat,
4
lengkap baik analisis maupun sintesis
Konsep diungkapkan dengan tepat,
3
namun deskriptif
Sebagian besar konsep diungkapkan,
2. Kebenaran Konsep 2 3,5
namun masih ada yang terlewatkan
Aspek penting konsep kurang
1
terungkap dan bertele-tele
Bahasa menggugah pembaca untuk
4
mencari tahu konsep lebih dalam
3 Bahasa menambah informasi pembaca
Bahasa deskriptif, tidak terlalu
2
3. Bahasa menambah pengetahuan 2
Informasi dan data yang disampaikan
1
tidak menarik dan membingungkan
Makalah dibuat sesuai pedoman
4 penulisan makalah, menarik, dan dijilid
Rapi
Makalah dibuat sesuai pedoman

3 penulisan makalah, tidak menarik, dan


dijilid rapi
Makalah dibuat tidak sesuai pedoman
4. Kerapian 2 penulisan makalah, menarik, dan dijilid 1,5
Rapi
Makalah dibuat tidak sesuai pedoman
1 penulisan makalah, tidak menarik, dan
tidak dijilid rapi
TOTAL NILAI (B x N) / 10 x 25

i
DAFTAR PENILAIAN PEER- GROUP

PENILAIAN KELOMPOK
(Dilihat dari kerjasama,
No NAMA MAHASISWA kontribusi, dan partisipasi)

(Rentang Nilai 0 – 100)

1. Resha Eka Febryani

2. Krisda Amelia

3. Dian Rismawati

4. Hevita Nur Wulansari

5. Bunga Yustikania Dewi Permana

6. Amelia Fatimah

7. Lulu Fauziah Qisti

8. Sheila Ananda Febrianti

9. Erina Fikar Febriana

10. Vera Permata Dewi

iii
DAFTAR ISI

DAFTAR TILIK PENILAIAN MAKALAH...........................................................i


DAFTAR PENILAIAN PEER- GROUP...............................................................iii
DAFTAR ISI...........................................................................................................iv
KATA PENGANTAR.............................................................................................v
BAB I. PENDAHULUAN.......................................................................................1
A. Latar Belakang Masalah............................................................................1
B. Tujuan Penulisan.......................................................................................2
BAB II. KONSEP PENYAKIT SISTEM MUSKULOSKELETAL.......................4
A. Anatomi, Fisiologi, Biokimia Sistem Muskuloskeletal.............................4
B. Pengkajian Sistem Muskuloskeletal........................................................13
C. Modalitas Penatalaksanaan Gangguan Sistem Muskuloskeletal.............29
D. Gangguan-gangguan Sistem Muskuloskeletal........................................33
1. Fraktur..................................................................................................33
2. Dislokasi..............................................................................................42
3. Osteomyelitis.......................................................................................47
4. Osteosarcoma.......................................................................................51
BAB III. ANALISIS KASUS................................................................................58
A. KASUS....................................................................................................58
B. ASUHAN KEPERAWATAN.................................................................59
PEMBAHASAN INTEGRASI EBP (Evidence Based Practice)..........................65
BAB IV. PENUTUP..............................................................................................68
A. KESIMPULAN.......................................................................................68
B. SARAN...................................................................................................68
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................69

iv
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
dengan rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya, kami dapat menyelesaikan
Makalah yang berjudul “Konsep dan Asuhan Keperawatan pada Pasien Tn. N
dengan Gangguan Sistem Muskuloskeletal: Fraktur” dengan rasa syukur dan
mengumpulkan tepat pada waktunya. Tidak lupa, shalawat serta salam semoga
tercurah limpahkan kepada Nabi Muhammad SAW. Kami juga berterimakasih
kepada dosen mata kuliah Keperawatan Medikal Bedah III yang telah
memberikan tugas ini kepada kami.
Kami menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini masih terdapat
kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap adanya
kritik, saran dan usulan dari pembaca demi perbaikan makalah ini. Karena
tentunya kami berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah
wawasan serta pengetahuan kita mengenai peran perawat dalam pemeriksaan di
masa yang akan datang.
Semoga makalah ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya,
sekiranya hal- hal yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun
orang yang akan membacanya. Mohon maaf apabila terdapat kesalahan dalam
pembuatan makalah ini.

Bandung, 27 November 2020

Penyusun

v
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Sistem muskuloskeletal adalah sistem yang berperan dalam menunjang,
melindungi, dan menggerakan tubuh. Rangka merupakan bingkai bagi struktur
tubuh untuk melindungi organ internal yang rentan dari kerusakan. Di dalam
sistem ini terdapat otot dengan bantuan sendi, ligamen, dan tendon yang
memungkinkan tulang rangka bergerak. Sistem ini terdiri atas banyak sendi
dan 206 tulang yang merupakan penyokong berbagai gerakan tubuh seperti:
fleksi, extensi, adduksi, abduksi, rotasi, sirkumduksi, supinasi, pronasi,
inversion, dan eversio.
Namun seiring bertambahnya usia, perubahan fisiologis pun dapat terjadi
pada sistem ini, seperti jaringan yang semula kuat dan integritas mulai
mengalami penurunan fungsi dan total sel tubuh, jaringan konetif kehilangan
beberapa elastisitas dan daya pegas terutama pada kartilago artikular sendi dan
invertebral spina, bahkan hilangnya kalsium pada tulang yang membuat tulang
menjadi rapuh (osteoporosis) dan kehilangan resistennya terhadap fraktur
sehingga menyebabkan nyeri akibat degenerasi sendi.
Fraktur merupakan suatu kondisi patahnya tulang dan atau tulang rawan
yang umumnya disebabkan oleh cedera, baik secara langsung maupun tidak
langsung. Dalam kasus disinggung mengenai fraktur leher femur, yaitu fraktur
yang terjadi di persambungan antara tulang panggul dan tulang paha (Kartika,
KTP, Dkk. 2018).
Fraktur leher femur umumnya disebabkan oleh karena terjatuh. Namun
ada beberapa faktor risiko lain seperti usia, jenis kelamin, indeks masa tubuh
(IMT), etnik, riwayat cedera pasien, riwayat penggunaan obat- obatan seperti
kortikosteroid, dan riwayat diabetes serta osteoporosis. Penatalasanaan untuk
kasus fraktur leher femur dibagi menjadi 2, yaitu tindakan operasi dan tanpa
operasi. Pada usia anak- anak masih memiliki kemampuan regenerasi tulang
sehingga penanganan yang dilakukan lebih dominan dengan tanpa operasi.

1
2

Sedangkan pada usia dewasa lansia tindakan yang diambil biasanya lebih
dominan dengan cara operasi karena kemampuan regenerasi tulang di usia
tersebut sudah mulai menurun.
Menurut E- jurnal medika Vol. 7 No.12 tahun 2018, jumlah kasus fraktur
ini mencapai lebih dari 250.000 kasus setiap tahunnya di Amerika Serikat dan
biasanya banyak terjadi pada pasien di atas usia 50 tahun. Selain itu fraktur
ekstremitas bawah juga memiliki angka prevalensi yag tinggi di Indonesia
sebesar 46,2% dibandingkan dengan fraktur lainnya. Berdasarkan data rekam
medis RSUP Sanglah tahun 2012, kasus fraktur femur sebanyak 239 kasus
(24,54%) atau rata- rata sebanyak 20 kasus per bulan, dimana mayoritas
kejadian dialami oleh pasien dengan rentang usia 20-65 tahun (lansia).
Berdasarkan uraian di atas, dapat disadari bahwa angka insiden fraktur
leher femur di Indonesia cukup tinggi dan diperkirakan akan terus mengalami
peningkatan seiring bertambahnya jumlah geriatri dan banyaknya faktor
risiko. Oleh karena itu, dalam makalah ini akan dibahas berbagai konsep
materi mengenai kelainan- kelainan yang terjadi di sistem muskuloskeletal
meliputi anatomi fisiologi, definisi, etiologi, patofisiologi, manisfestasi klinis,
penatalaksanaan medis, farmakoterapi, hingga asuhan keperawatan sebagai
sarana pengaplikasian perawatan untuk pasien yang mengalami gangguan di
sistem muskuloskeletal.
B. Tujuan Penulisan
Tujuan merupakan penjabaran mengenai sesuatu yag ingin dicapai dalam
penulisan makalah. Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai
berikut.
1. Tujuan umum
Untuk mengetahui bagaimana konsep asuhan keperawatan pada
pasien Ny.N dengan gangguan sistem muskuloskeletal: fraktur.
2. Tujuan khusus
a. Untuk mengetahui Anatomi fisiologi sistem muskuloskeletal.
b. Untuk mengetahui gangguan-gangguan yang terjadi pada sistem
muskuloskeletal meliputi : definisi, etiologi, manisfestasi klinis,
3

patofisiologi, penatalaksanaan medis, terapi farmakologi, dan


terapi diet.
c. Untuk mengetahui asuhan keperawatan pada pasien fraktur.
BAB II

KONSEP PENYAKIT SISTEM MUSKULOSKELETAL

A. Anatomi, Fisiologi, Biokimia Sistem Muskuloskeletal


1. Struktur Tulang
Sel tulang mencakup osteoblast (sel yang membentuk tulang), osteosit
(sel yang mempertahankan matriks tulang), osteoklas (sel yang meresorpsi
tulang), dan sel osteoprogenitor (sumber semua sel tulang kecuali
osteoklas). Matriks tulang adalah elemen ekstraseluler jaringan tulang;
tulang terdiri atas serabut kolagen, mineral (terutama kalsium dan fosfat),
protein, karbohidrat, dan substansi dasar. Substansi dasar adalah bahan
gelatin yang memfasilitasi difusi gizi, sampah, dan gas antara pembuluh
darah dan jaringan tulang. Tulang ditutupi dengan periosteum, jaringan ikat
berlapis ganda. Lapisan luar periosteum mengandung pembuluh darah dan
saraf; lapisan dalam menjangkarkan tulang.
Tulang tersusun atas jaringan ikat kaku yang disebut jaringan oseus, ada
dua jenis, yaitu tulang laminar (tulang kuat dan matur pada skeleton orang
dewasa) dan tulang beranyam (yang memberikan kerangka sementara untuk
menyokong dan ditemukan pada fetus yang berkembang, sebagai bagian
penyembuhan fraktur, dan pada area sekitar tumor dan infeksi tulang). Ada
dua jenis tulang matur, yaitu tulang padat dan tulang kanselosa (berongga).
Tulang padat membentuk kulit luar tulang, sedangkan tulang kanselosa
ditemukan di bagian dalam tulang. Tulang kanselosa tersusun atas struktur
seperti kisi-kisi (trabekula), dilapisi dengan sel osteogenik dan diisi dengan
sumsum tulang merah atau kuning.
Unit struktur dasar tulang laminar adalah system Havers (juga dikenal
sebagai osteon). System Havers terdiri atas kanal sentral, disebut kanal
Havers; ruang antara lamella, disebut lakuna; osteosit dalam lakuna; dan
saluran kecil, disebut kanalikuli. Bagian berongga pada tulang panjang dan
tulang pipih mengandung jaringan untuk hematopoiesus. Pada orang
dewasa, bagian ini disebut rongga sumsum tulang merah, ada di pusat

4
5

berongga tulang pipih (khususnya sternum) dan hanya pada tulang panjang,
yaitu humerus dan kepala femur. (Lemone etc all, 2016)

System Havers

2. Jenis Persendian
Berdasarkan sifat geraknya:
a. Sinartrosis (Sendi Mati) atau tidak memungkinkan adanya gerak
Sinartrosis adalah hubungan antara kedua ujung tulang yang
direkatkan oleh suatu jaringan ikat yang mengalami osifikasi dan tidak
memungkinkan adanya gerakan atau persendian yang tidak dapat
digerakkan. Permukaan tulang hamper kontak langsung, hanya dikaitkan
oleh jaringan ikat atau kartilaho hialin. Contoh: hubungan antara tulang-
tulang tengkorak.
6

b. Amfiartrosis (Sendi Kaku) atau memungkinkan adanya sedikit gerak


Amfiartrosis adalah bentuk hubungan antara kedua ujung tulang
yang dihubungkan oleh jaringan kartilago, sehingga memungkinkan
tetap adanya sedikit gerakan atau pada persendian ini dapat bergerak
sedikit. Tulang dihubungkan dengan serat kolagen atau kartilago.
Contoh: tulang simphisis pubis, persendian vertebra.
c. Diartrosis (Sendi Gerak) atau memungkinkan adanya gerak bebas
Diartrosis adalah hubungan antara tulang yang satu dengan yang
lain, tidak dihubungkan oleh jaringan sehingga memungkinkan
terjadinya gerakan tulang secara bebas. Adanya suatu susunan dibangun
oleh ligament, kapsul, cairan synovial, membrane synovial, dan tulang
rawan hialin. Disebut juga persendian synovial, pergerakan lebih luas
dibandingan persendian lain. Persendian ini dikelilingi oleh kapsul
persendian fibrus dan membrane synovial yang melapisi ruang
persendian.
Sendi ini dapat melakukan gerakan, protraksi (gerakan bagian tubuh
kea rah depan/maju seperti gerakan mandibula); fleksi/ekstensi,
memiliki rongga sendi dan eprmukaan sendi dilapisi tulang rawan hialin,
sinovium yang menghasilkan cairan kental yang membasahi permukaan
sendi. Contoh: panggul, lutu, bahu, siku. (Risnanto etc all, 2014)
3. Mekanisme Kerja Otot dan Rangka
a. Mekanisme Kerja Otot
Pada tahun 1955, Hansen dan Huxly mengemukakan teori sliding
filaments (filament yang bergeser) pada otot lurik. Mereka menyatakan
bahwa saat otot kontraksi tidak terjadi pemendekan filament, namun
hanya pergeseran filament-filamen. Melalui pengamatan dengan
menggunakan mikroskop electron dan difraksi sinar X, Hansen dan
Huxly menemukan dua set filament, yaitu aktin dan myosin. Aktin dan
myosin tersebut bergeser sehingga otot dapat memendek dan
memanjang saat otot berkontraksi atau berelaksasi.
7

Filamen tersebut terdapat di dalam sarkomer. Sarkomer terdapat


dalam sel otot. Jumlah filament dalam satu sarkomer dapat mencapai
ratusan hingga ribuan filament, bergantung jenis ototnya. Filament-
filamen tersebut membangun 80% massa sarkomer.

Pada saat berkontraksi, filament aktin berikatan dan meluncur


sepanajang filament myosin. Pada gambar dibawah, Zona H adalah
bagian terang yang berada diantara bagian A yang berupa pita gelap. Pita
yang terang disebut pita I. Pada saat berkontraksi, di zona-zona tersebut
terjadi perubahan. Pita I dan zona H akan berubah jadi semakin sempit,
atau bahkan hilang sama sekali.

Kontraksi otot dipacu oleh potensial aksi dari sinaps sel daraf yang
menyebabkan pelepasan ion kalsium (Ca2+) oleh reticulum sarkoplasma
(reticulum endoplasma yang terspesialisasi) di otot. Pelepasan Ca2+
menyebabkan protein regulator tropomiosin dan troponin berubah
8

bentuk. Hal ini memungkinkan terjadi ikatan antara kepala myosin dan
filament aktin. Ketika filament-filamen aktin meluncur menuju tengah
sarkomer, oto memendek (kontraksi). Pada saat relaksasi, filament-
filamen tersebut kembali ke bentuk semula.
Pada saat filament aktin meluncur, kepala myosin akan membentuk
ikatan (cross bridges) dengan sebuah bonggol pada badan filament aktin.
Agar dapat berikatan, dibutuhkan energy yang diperoleh dari pemecahan
ATP (adenosine triphosphate) menjadi ADP (adenosine diphosphate).
Kombinasi aktin dan myosin dengan bantuan energy ATP ini disebut
aktomiosin.
ATP ADP + P
Aktin + Miosin Aktomiosin
Sel otot umunya hanya menyimpan sedikit ATP untuk beberapa
kali kontraksi. Untuk kontraksi berulang, diperlukan ATP lebih banyak.
Energy tersebut diperoleh dari cadangan energy berupa keratin fosfat.
Cadangan energy ini memberikan gugus fosfat kepada ADP untuk
membentuk ATP. Namun, cadangan kreatin fosfat akan habis jika otot
bekerja lebih keras.
Untuk menunjang pergerakan otot yang lebih keras dan lama,
mitokondria sel otot lebih banyak memerlukan glukosa dan oksigen.
Oleh karena itu, detak jantung dan napas akan lebih cepat. Glukosa dan
oksigen digunakan untuk respirasi sel dan menghasilkan ATP.
Meskipun detak jantung dan napas lebih cepat, namun tetap
diperlukan waktu bagi glukosa dan oksigen mencapai sel otot. Untuk
menyediakan energy secara cepat, glukogen yang terdapat pada otot
dapat dipecah menjadi glukosa dan asam laktat. Secara normal sel
memerlukan oksigen untuk memecah karbohidrat dan menyitesis ATP.
Namun, pemecahan glikogen dapat terjadi tanpa oksigen, yaitu melalui
proses fermentasi asam laktat.
Selama latihan keras, asam laktat terakumulasi di otot. Asam laktat
di otot dapat menyebabkan otot lelah dan sakit. Namun, asam laktat
9

secara berkala terbawa aliran darah menuju hati. Kemudian, asam laktat
diubah menjadi asam piruvat oleh sel hati. Proses fermentasi asam laktat
untuk menghasilkan ATP ini disebut juga respirasi anaerob.
Ketika detak jantung dan napas bertambah kencang, hal ini
memberikan lebih banyak udara pada sel otot sehingga sel otot mampu
melakukan respirasi secara normal (respirasi aerob). Sebagian besar ATP
yang dihasilkan mitokondria melalui proses fosforilasi oksidatif. Proses
ini menggunakan energy kimia yang berasal dari katabolisme
karbohidrat, lemak, atau protein. (Factor & Moekti, 2007)
b. Mekanisme Kerja Rangka
1) Koordinasi dengan Sistem Peredaran Darah
System peredaran darah mengangkut darah, dengan
bantuan pembuluh darah, keseluruh bagian tubuh, langsung dari
kepala ke jari kaki. Konstituen pertama darah adalah
hematocytes, yakni sel darah merah dan sel darah putih
diproduksi oleh sumsum tulang.
Sumsum tulang terletak pada poros berongga di tulang.
Sumsum yang baru awalnya akan berwarna merah, sedangkan
sumsum tua berwarna kuning. Sumsum tulang mampu
memproduksi kurang lebih 2,6 juta hematocytes per detik.
Apabila sumsum berhenti memproduksi sel-sel darah, tentu
manusia tidak akan mampu bertahan hidup lama, sebab sel-sel
darah putih mencapai imunitas tubuh terhadap serangan dari
berbagai penyakit.
2) Koordinasi dengan Sistem Otot
Peran utama dari system rangka manusia, bersama dengan
system otot, yakni untuk memberikan gerakan. System kerangka
utama yang terdiri dari tulang klasifikasi dan massa bisa lebih
lembut atau yang dikenal dengan tulang rawan, dan terhubung
ke otot-otot oleh tendon.
4. Proses Pembentukan Tulang
10

Pembentukan tulang terus-menerus dan dapat berupa pemanjangan dan


penebalan tulang. Kecepatan Pemesanan tulang berubah selama hidup.
Pembentukan tulang ditentukan oleh stimulasi hormonal, faktor makanan,
dan stres yang dibebankan pada tulang, dan terjadi akibat aktivitas sel
Reservasi tulang, osteoblas. Osteoblas dijumpai pada permukaan luar dan
bagian dalam tulang osteoblas berespons terhadap berbagai sinyal kimia
untuk menghasilkan matriks organik. Ketika pertama kali dibentuk, matriks
organik disebut osteoid. Dalam beberapa hari, garam kalsium mulai
mengendap pada osteoid, dan disebut osteosit atau sel tulang sejati. Ketika
tulang terbentuk, osteosit di matriks membentuk tonjolan ke setiap tulang
yang lain sehingga membentuk sistem kanal mikroskopik (kanalikuli) di
tulang. Aktivitas osteoblas terlihat oleh stimulasi diet hormonal, dan
olahraga. Faktor yang dapat dilihat dan bersifat dinamis sehingga
menyebabkan pesanan tulang yang berbeda sepanjang hidup.
a. Olahraga dan Aktivasi Osteoblas
Aktivitas osteoblas distimulasi oleh olahraga dan menahan beban,
akibat arus listrik yang dihasilkan ketika mengenai tulang. Fraktur
tulang secara dramatis menstimulasi aktivitas osteoblas, namun pastinya
belum jelas.
b. Stimulasi Hormonal dan Aktivasi Osteoblas
Estrogen, testosteron, dan pertumbuhan hormon meningkatkan
aktivitas osteoblas dan pertumbuhan tulang. Pertumbuhan tulang di
percepat selama pubertas akibat melonjaknya kadar hormon tersebut.
Estrogen dan testosteron akhirnya menyebabkan tulang panjang berhenti
tumbuh dengan menstimulasi penutupan lempeng epifisis (ujung
pertumbuhan tulang). Ketika kadar estrogen turun setelah menopause,
aktivitas osteoblas berkurang. Defisiensi hormon pertumbuhan
melayani pemesanan tulang.
c. Diet dan Aktivitas Osteblas
Diet yang adekuat selama masa kanak-kanak dan remaja sangat
penting untuk pertumbuhan tulang yang maksimal. Defisiensi kalsium
11

selama masa remaja akan menghasilkan tulang yang kurang padat pada
masa selanjutnya dalam kehidupan. Sebagian besar kalsium yang
terdapat dalam tulang hidup individu dideposit sebelum usia 20 tahun.
d. Kontrol Vitamin D pada Aktivitas Osteoblas
Vitamin D menstimulasi klasifikasi tulang secara langsung dengan
bekerja pada osteoblas, dan secara tidak langsung dengan menstimulasi
kalsium di usus. Peningkatan absorpsi kalsium meningkatkan
konsentrasi kalsium darah, yang mendorong klasifikasi tulang. Dengan
demikian, vitamin D sangat penting untuk memastikan absorpsi kalsium
yang adekuat di usus. Akan tetapi, vitamin D dalam jumlah yang sangat
besar dapat meningkatkan kadar kalsium serum. Vitamin D dalam
jumlah besar tanpa kalsium yang adekuat dalam makanan, sebenarnya
dapat meningkatkan resorpsi tulang.
5. Proses Penyembuhan Tulang
Fraktur tulang diklasifikasikan menjadi berikut ini.
a. Sederhana: ujung tulang tidak menonjol ke kulit.
b. Majemuk: ujung tulang menonjol ke kulit.
c. Patologis: fraktur tulang diperlemah dengan penyakit.
Setelah fraktur, ujung tulang yang patah disatukan oleh deposisi tulang
yang baru. Penyembuhan tulang terjadi dalam beberapa tahap
a. Hematoma terbentuk di antara ujung tulang dan di sekitar jaringan
lunak.
b. Selanjutnya perkembangan perkembangan inflamasi dan akumulasi
eksudat inflamasi yang mengandung makrofag yang memfagosit
hematoma dan sedikit sisa tulang tanpa suplai darah (yang
berlangsung sekitar 5 hari). Fibroblas berpindah ke sisi; jaringan
granulasi dan kapiler baru terbentuk.
c. Tulang baru terbentuk saat banyak osteoblas menyekresi tulang
berongga, yang menyatukan ujung yang patah dan dilindungi oleh
lapisan luar tulang dan kartilago; deposit tulang baru ini dan kartilago
disebut kalus.
12

d. Setelah beberapa minggu berikutnya, kalus menjadi matur, lalu


kartilago secara bertahap dengan tulang yang baru.
e. Pembentukan kembali tulang abadi dan dengan bertahap, kanal
medula dibuka kembali melalui kalus (dalam beberapa minggu atau
bulan). Pada saat tulang sembuh dengan sempurna semua jaringan
kalus tergantung dengan tulang padat yang matang. Sering kali,
tulang yang lebih tebal dan lebih kuat di sisi perbaikan, sisi
sebaliknya, fraktur kedua cenderung teriad di sisi yang berbeda.
Faktor yang memperlambat penyembuhkan fraktur.
a. Sisa jaringan di antara ujung tulang
Serpihan tulang yang mati dan sisa jaringan lunak tidak disingkirkan
oleh fagositosis dapat menyembuhkan penyembuhan.
b. Defisiensi suplai darah
Hal ini mendukung pertumbuhan jaringan granula dan pembuluh
darah baru. Hipoksia juga mengurangi jumlah osteoblas dan
meningkatkan jumlah kondrosit yang terbentuk dari sel orang tua
mereka. Hal ini menyebabkan penyatuan kartilago saat fraktur, yang
menyebabkan perbaikan yang lebih lambat.
c. Kesejajaran ujung tulang yang buruk
Hal ini disebabkan oleh pesanan, yang besar dan ireguler yang
sembuh dengan lambat dan sering kali menyebabkan disabilitas yang
permanten.
d. Mobilitas yang terus-menerus pada ujung tulang
Pergerakan yang terus-menerus menyebabkan jaringan granulasi
yang diikuti oleh penyatuan fraktur fibrosa.
e. Lain-lain
Meliputi infeksi, penyakit sistemik, malnutrisi, obat misal
kortikosteroid, dan penuaan.
Komplikasi fraktur
a. Infeksi (osteomielitis).
13

Patogen masuk ke kulit yang rusak, kadang kadang kala dapat masuh
ke darah. Penyembuhan tidak akan terjadi hingga infeksi sembuh;
b. Embolisme lemak
Emboli berisi lemak yang berasal dari sumsurn di kanal medula dapat
menjaga sirkulasi melalui vena yang robek. Embolisme lemak
cenderung menyumbat paru.
B. Pengkajian Sistem Muskuloskeletal
1. Riwayat Kesehatan
a. Keluhan Utama
Keluhan utama yang sering terjadi pada pasien dengan gangguan
system musculoskeletal adalah sebagai berikut.
1) Nyeri
Kebanyakan pasien dengan penyakit atau kondisi traumatic,
baik yang terjadi pada otot, tulang, dan sendi biasanya
mengalami nyeri. Nyeri tulang dapat dijelaskan secara khas
sevagai nyeri dalam dan tumpul yang bersifat menusuk,
sementara nyeri otot dijelaskan sebagai adanya rasa pegal.
Nyeri fraktur tajam dan menusuk dan dapat dihilangkan dengan
imobilisasi. Nyeri tajam juga bisa ditimbulkan oleh infeksi
tulang akibat spasme otot atau penekanan pada saraf sensori.
2) Deformitas
Deformitas atau kelainan bentuk merupakan suatu keluhan
yang menyebabkan pasien meminta pertolongan layanan
kesehatan. Pengkaji perlu menanyakan berapa lama keluhan
dirasakan, ke mana pernah pasien meminta pertolongan
sebelum ke rumah sakit, apakah pernah ke dukun urut/patah
tulang karena pada beberapa kasus deformitas setelah pasien
meminta pertolongan dengan dukun patah, atau apakah tanpa
ada tindakan apa-apa setelah mengalami suatu trauma. Perlu
diarahkan pertanyaan pada pasien apakah kcadaan/masalah
14

kelainan bentuk pada dirinya menyebabkan perubahan pada


Citra diri pasien.
3) Kekakuan/instabilitas pada sendi
Kekakuan atau ketidakstabilan pada sendi merupakan suatu
keluhan yang dirasakan pasien mengganggu aktivitas pasien
sehari-hari dan menyebabkan pasien meminta pertolongan
layanan keschatan. Pengkaji perlu menanyakan berapa lama
keluhan dirasakan scrta sejauh mana keluhan menyebabkan
gangguan pada aktivitas pasien. Kelainan ini bisa bersifat
umum misalnya pada artritis rematoid, ankilosing spondilitis,
atau bersifat lokal pada sendi-scndi tertentu. Locking
merupakan suatu kekakuan sendi yang terjadi secara tiba-tiba
akibat blok secara mekanis pada sendi oleh tulang rawan atau
meniskus. Perlu diketahui apakah kelainan yang ada
menyebabkan ketidakstabilan sendi dan ditelusuri pula
pcnyebabnya apakah karena kelcmahan Otot atau
kelemahan/robekan pada ligamen dan selaput sendi.
4) Pembengkakan/benjolan
Keluhan karena adanya pembcngkakan pada ekstremitas
merupakan suatu tanda adanya bekas trauma yang terjadi pada
pasien. Pembengkakan dapat terjadi pada jaringan lunak, sendi,
atau tulang. Hal Yang perlu ditanyakan adalah lokasi spesifik
pembcngkakan, sudah berapa lama proses terjadinya trauma,
apakah sudah meminta pertolongan untuk mengatasi keluhan,
dan apakah terjadi secara perlahan-lahan, misalnya pada
hematoma progresif dalam beberapa waktu. Pembengkakan
juga dapat disebabkan oleh infeksi, tumor jinak, atau ganas.
5) Kelemahan otot
Keluhan adanya kelemahan otot biasanya dapat bersifat
umum misalnya pada penyakit distrofi muskular atau bersifat
lokal karena gangguan neurologis pada otot, misalnya pada
15

Morbus Hansen, adanya perineal paralisis, atau pada penyakit


poliomielitis. Tabel 3.2 menunjukkan pengkajian secara
komprehensif.
6) Gangguan atau hilangnya fungsi
Keluhan gangguan dan hilangnya fungsi dari organ
muskuloskeletal ini merupakan gejala yang sering menjadi
keluhan utama pada masalah gangguan sistem
muskuloskcletal. Gangguan atau hilangnya fungsi pada sendi
dan anggota gerak dapat disebabkan oleh berbagai hal, seperti
gangguan fungsi karcna nyeri yang terjadi setelah trauma,
adanya kekakuan sendi, atau kelemahan otot. Anamnesis
yang dilakukan pengkaji untuk menggali keluhan utama dari
pasien adalah berapa lama keluhan muncul, lokasi, atau organ
yang mengalami gangguan atau hilangnya fungsi dan apakah
ada keluhan lain yang menyertai.
7) Gangguan sensibilitas
Keluhan adanya gangguan sensibilitas terjadi apabila
melibatkan kerusakan saraf pada upper/lower motor neuron,
baik bersifat lokal maupun menyeluruh. Gangguan
sensibilitas dapat pula terjadi apabila terdapat trauma atau
penekanan pada saraf. Gangguan sensoris sering
berhubungan dengan masalah muskuloskeletal. Pasien
mungkin menyatakan mengalami parestesia (perasaan
terbakar atau kesemutan) dan kebas. Perasaan tersebut
mungkin akibat penekanan pada serabut saraf ataupun
gangguan peredaran darah.
Pembengkakan jaringan lunak atau trauma langsung
terhadap struktur tersebut dapat mengganggu fungsinya.
Kehilangan fungsi dapat terjadi akibat gangguan struktur
saraf dan peredaran darah yang terletak sepanjang sistem
muskuloskeletal. Status neurovaskular di daerah
16

muskuloskeletal yang terkena harus dikaji untuk mempcroleh


informasi untuk perencanaan intervcnsi. Hal yang perlu
ditanyakan adalah apakah pasien mengalami perasaan yang
tak normal atau kebas; apakah gangguan ini bertambah berat
atau malah makin berkurang sctelah permulaan keluhan
muncul sampai pada saat wawancara; apakah ada keluhan
lain yang pasien rasakan seperti mengalami nyeri dan
bengkak (edema); apakah ada perubahan warna kulit bagian
distal dari daerah yang terkena seperti pucat dan sianosis.
b. Riwayat Klinis
1) Riwayat Penyakît Sekarang
Pada wawancara awal, pengkaji bcrusaha memperoleh
gambaran umum status kesehatan pasien. Pengkaji
memperoleh data subjektifdari pasien mengenai awitan
masalahnya dan bagaimana penanganan yang sudah
dilakukan. Persepsi dan harapan pasien sehubungan dengan
masalah kesehatan dapat memengaruhi perbaikan kesehatan.
Diperlukan keahlian, pengetahuan, dan pengalaman dari
pengkaji dalam menyususn setiap pertanyaan yang sistematis
agar dapat mendukung bagaimana keluhan utama menjadi
muncul. Suatu contoh adalah keluhan utama nyeri maka perlu
diuraikan bagaimana proses nyeri tersebut terjadi. Perlu
diketahui dari pasien apakah pernah mengalami trauma yang
kemungkinan trauma ini membcrikan gangguan pada
muskuloskeletal baik berupa kelainan maupun komplikasi-
komplikasi lain yang dialami saat ini.
Pengkajian lainnya yang juga penting adalah pengkajian
pada status kesehatan secara umum dan sistem lainnya yang
berhubungan dengan penjadwalan operasi (pada pasien yang
direncanakan operasi elektif), meliputi status sistem
kardiovaskular, pernapasan, perkemihan dan gastrointestinal
17

yang semuanya bisa berpengaruh pada jenis pembiusan


secara umum.
2) Riwayat Penyakit Dahulu
Perlu ditanyakan penyakit-penyakit yang dialami
sebclumnya yang kemungkinan mempunyai hubungan dengan
masalah yang dialami pasien sekarang, seperti apakah pasien
pernah mengalami fraktur atau trauma sebelumnya,
peningkatan kadar gula darah, atau tekanan darah tinggi.
Riwayat operasi pasien perlu ditanyakan karena
kemungkinan ada hubungannya dengan keluhan sekarang
seperti operasi karsinoma prostat dan karsinoma mammae yang
dapat memberikan metastasis ke tulang dengan segala
komplikasinya.
Hal lain yang perlu ditanyakan adalah penggunaan obat-
obatan yang digunakan oleh pasien sebelumnya perlu
dilakukan karena dapat menimbulkan komplikasi misalnya
pemakaian kortison dapat menimbulkan nckrosis avaskular
pada panggul. Selain itu ditanyakan pula pada pasien tentang
adanya riwayat alergi terhadap obat-obatan.
3) Riwayat Keluarga
Penelusuran riwayat keluarga sangat penting, karena
beberapa penyakit muskuloskeletal berkaitan dengan kelainan
genetik dan dapat diturunkan. Perlu ditanyakan apakah pada
generasi terdahulu ada yang mengalami keluhan sama dengan
keluhan pasien saat ini.
4) Pengkajian Psiko-Sosial-Spiritual
Pengkajian psikologis pasien meliputi beberapa dimensi
Yang memungkinkan pengkaji untuk memperoleh persepsi
yangjelas mengenai status emosi, kognitif, dan perilaku pasien.
Pengkaji mengumpulkan pengkajian awal pasien tcntang
kapasitas fisik dan intelektual saat ini, yang menentukan
18

tingkat perlunya pengkajian psiko-sosial-spiritual yang


saksama.
Suatu pengkajian psikologis meliputi penampilan, perilaku,
afek, suasana hati, lafal, isi dan kecepatan berpikir, persepsi,
serta kognitif. Pengkajian status cmosional dan mental secara
fisik lebih meliputi pengkajian fungsi serebral meliputi tingkat
kesadaran pasien, perilaku, penampilan, bahasa, dan fungsi
intelektual, termasuk ingatan, pcngetahuan, kemampuan
bcrpildr abstrak, asosiasi, dan penilaian.
Pengkajian status sosial dan ekonomi, salah satunya, jenis
pekerjaan diperlukan untuk menghubungkan dengan gangguan
muskuloskletal yang sedang didcrita. Pengkajian yang relevan
dan detail diperlukan agar bisa menentukan tujuan intervensi
yang akan direncanakan kemudian sesuai dengan kondisi dari
pasien. (Noor, Zairin. 2020)
2. Pemeriksaan Fisik Sistem Muskuloskeletal
Pengkajian keperawatan system musculoskeletal dapat dilakukan
sebagai bagian pengkajian total, atau sendiri untuk pasien yang diketahui
atau dicurigai mengalami masalah. Teknik yang digunakan untuk
mengkaji system musculoskeletal adalah inspeksi, palpasi, dan
pengukuran massa otot dan rentang gerak sendi (Range Of Motion, ROM).
Pasien harus memakai pakaian yang nyaman sehingga gerakan semua
sendi dapat jelas terlihat. Pasien dapat berdiri, duduk, atau berbaring;
rangkaian pemeriksaan harus sedemikian hingga agar pasien tidak perlu
sering mengganti posisi.
Sebelum pemeriksaan, kumpulkan semua peralatan dan jelaskan teknik
untuk menurunkan ansietas pasien. Angkaian pemeriksaan
musculoskeletal sebagai berikut:
a. Mulai pemeriksaan dengan pengkajian gaya berjalan dan postur.
Observasi cara pasien berjalan, duduk dan/atau bergerak disekitar
tempat tidur.
19

b. Inspeksi dan palpasi tulang untuk semua deformitas yang nyata


atau perubahan dalam hal ukuran atau bentuk. Palpasi juga akan
menunjukan nyeri tekan atau nyeri.
c. Ukur panjang dan lingkar ekstremitas. Sebelum melakukan
pengukuran, pastikan pasien berbaring pada posisi yang nyaman.
Ingat untuk membandingkan ekstremitas secara bilateral.
d. Kaji massa otot dengan pertama kali menginspeksi peningkatan
atau penurunan ukuran yang nyata. Kaji dan dokumentasikan
kekuatan otot pada skala 0 hingga 5.
Skala Pengkajian
0 (tidak tampak) kontraksi, paralisis
Kontraksi otot yang terjadi hanya berupa perubahan dari tonus
1 otot yang dapat diketahui dengan palpasi dan tidak dapat
menggerakan sendi.
Otot hanya mampu menggerakkan persendian tetapi kekuatannya
2
tidak dapat melawan pengaruh gravitasi.
Di samping dapat menggerakan sendi, otot juga dapat melawan
3 pengaruh gravitasi tetapi tidak kuat terhadap tahanan yang
diberikan oleh pengkaji.
Kekuatan otot seperti pada skala 3 disertai dengan kemampuan
4
otot terhadap tahanan yang ringan.
5 Kekuatan otot normal.

Panduan untuk Mengkaji Kekuatan Otot


Pada orang dewasa, otot kuat secara bilateral. Akan tetapi, penyakit
neuromuscular, gangguan metabolic, atau infeksi dapat menyebabkan kelemahan
otot. Kekuatan otot diharapkan lebih besar pada tangan dan tungkai dominan.
Pada sebagian besar keadaan (dan khususnya ketika menggerakan jari dan
ekstremitas), perawat memberi tahanan dengan mendorong pada arah yang
berlawanan.
Otot Instruksi Pasien
Otot dan kelopak okular Menutup mata hingga rapat
Otot jari Berjabat tangan, membuat kepalan tangan,
melebarkan jari
Otot wajah Menggelembungkan pipi, mengeluarkan lidah
Otot pinggul Meluruskan tungkai seraya meninggikan ketika
supine
Otot leher Tekuk leher ke depan dan ke belakang
Otot gluteal dan tungkai Menyilangkan lengan ketika duduk
Otot deltoid Memegang lengan
20

Otot bisep Menekuk lengan


Otot kuadrisep Meluruskan tungkai
Otot trisep Meluruskan lengan
Otot pergelangan tangan Menekuk tangan ke depan dan ke belakang
Otot pergelangan kaki Menekuk kaki ke atas dan ke bawah
dan kaki

e. Kaji sendi untuk pembengkakan, nyeri, kemerahan, hangat,


krepitus, dan ROM. Hanya kaji ROM pada setiap sendi jika pasien
memiliki masalah musculoskeletal khusus; akan tetapi, mengkaji
satu sendi atau lebih merupakan bagian umum asuhan keperawatan.
Teknik/Temuan Normal Temuan Abnormal
Pengkajian Gaya Berjalan dan Postur Tubuh

Inspeksi postur tubuh dan gaya berjalan.  Kekakuan sendi, nyeri, deformitas, dan
Postur tubuh harus tegak; gaya berjalan kelemahan otot dapat menyebabkan perubahan
harus halus dan mantap. pada gaya berjalan dan postur.

Inspeksi spina untuk kurvatura. Minta  Dengan diskus lumbal herniasi, kurva
pasien untuk berdiri dan bungkuk ke lumbaldatar dan mobilitas spinal menurun.
belakang secara perlahan sejauh mungkin,  Peningkatan kurva lumbal, disebut lordosis,
bengkokkan secara perlahan ke kanan dan dapat dilihat pada obesitas atau kehamilan.
kemudian ke kiri sejauh mungkin, kembali  Lateral, kurvatura berbentuk S pada spina
secara perlahan ke kanan dan ke kiri pada disebut scoliosis. Scoliosis fungsional biasanya
gerakan memutar, dan bungkuk ke depan merupakan respons kompensasi terhadap otot
secara perlahan dan coba untuk menyentuh paravertebral yang nyeri, diskus herniasi, atau
jari hingga jari kaki. diskrepansi pada panjang tungkai. Menghilang
Ketika dilihat dari belakang, tulang servikal dengan fleksi ke depan. Scoliosis structural
dan lumbal konkaf, tulang toraks konveks, sering kali kongenital dan cenderung tampak
dan spina lurus. selama remaja. Menonjol ketika bungkuk ke
depan.
 Kifosis adalah kurvatura toraks berlebihan pada
spina yang umum terjadi pada lansia.
Pengkajian Sendi

Inspeksi sendi mengenai adanya deformitas,  Penyakit sendi dapat dimanifestasikan dengan
pembengkakan, dan kemerahan. beberapa deformitas seperti kerusakan jaringan,
Seharusnya tidak ada deformitas yang pertumbuhan berlebihan jaringan, kontraktur,
tampak, pembengkakan, atau kemerahan. atau pemendekan otot dan tendon yang bersifat
ireversibel.
Palpasi sendi untuk nyeri tekan, kehangatan,  Edema pada sendi dapat menyebabkan
krepitasi, konsistensi, dan massa otot. pembengkakan yang nyata.
Sendi seharusnya tidak nyeri dan konsisten  Kemerahan, bengkak, dan nyeri merupakan
21

secara bilateral dan tanpa hangat, bukti inflamasi atau infeksi pada sendi.
krepitasi, atau massa berlebihan yang  Inflamasi dan cedera menyebabkan nyeri sendi.
tampak atau terpalpasi.  Artritis, bursitis, tendonitis, dan osteomyelitis
(infeksi tulang) menyebabkan nyeri, sendi
panas.
 Krepitasi (suara memarut) ada dalam sendi
ketika permukaan berartikulasi kehilangan
kartilago, seperti pada artritis.
Pengkajian Rentang Gerak Sendi

Kaji ROM sendi dengan meminta pasien  Suara klik atau meletus, penurunan ROM, sendi
untuk melakukan aktivitas spesifik untuk dan pmbengkakan dapat mengindikasikan
setiap sendi, seperti berikut ini: sindrom sendi temporomandibular atau pada
Semua sendi bilateral harus bergerak kasus yang jarang, osteoarthritis.
melalui seluruh rentang gerak sendi.

Sendi temporomandibular:
“Buka mulut Anda lebar-lebar dan
kemudian tutup mulut”. (Karena pasien
membuka dan menutup mulut, palpasi sendi
temporomandibular dengan jari telunjuk dan
jari tengah.

Spina Servikal:  Nyeri leher dan ekstensi terbatas dengan


Fleksi 45 derajat: “Sentuh dagu ke dada menekuklateral terlihat dengan diskus servikal
Anda”. herniasi dan pada spondilosis servikal.
Ekstensi 55 derajat: “Lihat langit-langit”.  Leher immobile dengan kepala dan leher
Menekuk lateral 38 derajat: “Coba untuk terdorong ke depan terlihat pada orang yang
menyentuh telinga kanan hingga bahu kanan mengalami spondylitis ankilosis.
Anda”. Ulangi sisi kiri.
Rotasi 70 derajat: “Coba untuk menyentuh
dagu Anda untuk setiap bahu”.

Spina Lumbar:  Penurunan pergerakan atau nyeri saat bergerak


Fleksi 75 hingga 90 derajat: “Sentuh jari dapat mengindikasi kurvatura spinal abnormal,
kaki Anda dengan jari tangan”. (Gambar A) artritis, diskus herniasi, atau spasme otot
Ekstensi 30 derajat: “Tekuk ke belakang paravertebral.
secara perlahan”.
Tekuk lateral 35 derajat: “Tekuk kanan dan
kiri”. (Gambar B)
Rotasi 30 derajat: “Pelintir bahu Anda ke
kanan dan kiri”. (Gambar C)
22

A B C
Jari:  Fleksi dan ekstensi jari berkurang pada artritis.
Fleksi: “Membuat kepalan tangan”.  Nodus Heberden dan Bouchard merupakan
Ekstensi: “Membuka tangan Anda”. nodul keras, tidak lunak pada bagian dorsolateral
Abduksi: “Buka jari Anda”. sendi interfalangeal distal dan proksimal,
Adduksi: “Rapatkan jari Anda”. berturut-turut. Kondisi ini umum pada
osteoarthritis.
 Sendi jari kaku, nyeri, bengkak terlihat pada
artritis rheumatoid akut.
 Deformitas Boutonniere dan leher angsa terlihat
pada artritis rheumatoid kronik.
 Sendi jari membengkak dengan rabas berwarna
putih kapur dapat terlihat pada gour kronik.

Pergelangan Tangan:  Pembengkakan kronik bilateral pada


Fleksi 90 derajat: “Tekuk pergelangan pergelangan tangan terlihat pada artritis.
tangan ke bawah”.
Ekstensi 70 derajat: “Tekuk pergelangan
tangan ke atas”.
Deviasi Ulna 55 derajat: “Tekuk
pergelangan tangan ke arah jari kelingking”.
Deviasi Radial 20 derajat: “Tekuk
pergelangan tangan kea rah ibu jari”.

Siku:  Siku yang bengkak, nyeri, inflamasi tampak


Fleksi 160 derajat: “Sentuh tangan hingga pada artritis gout dan artritis rheumatoid.
bahu Anda”.  Nyeri dan nyeri tekan pada epikondil lateral
Ekstensi 180 derajat: “Luruskan siku Anda”. terjadi pada siku tenis.
Supinasi 90 derajat: “Tekuk siku Anda 90
derajat, dan putar telapak tangan ke atas”.
Pronasi 90 derajat: “Tekuk siku Anda 90
derajat dan turunkan kepalan tangan ke
bawah”.
23

Bahu:  Nyeri dan nyeri tekan di atas tendon bisep


Fleksi 180 derajat: “Tahan lengan Anda terjadi dengan tendonitis (inflamasi tendon).
lurus ke atas dan keluar”.  Lengan tidak dapat di abduksi penuh ketika
Hiperekstensi 50 derajat: “Letakkan lengan tendon supraspinatus bahu rupture.
lurus Anda di belakang punggung”.  Nyeri dan abduksi terbatas juga terlihat dengan
Rotasi internal 90 derajat: “Letakkan lengan bursitis (inflamasi bursa) dan cadangan kalsium
bawah di belakang punggung bawah”. di area ini.
Abduksi 180 derajat: “Angkat lengan lurus
ke atas dan keluar sisi”.
Adduksi 50 derajat: “Letakkan lengan lurus
Anda melewati dada”.

Jari Kaki:  Jempol kaki mengalami abduksi secara


Fleksi 90 derajat: “Berjalan dengan jari kaki berlebihan pada hallux valgus.
Anda”.  Sendi jempol kaki membengkak, inflamasi, dan
nyeri pada artritis gout.
 Terdapat hiperekstensi sendi dan fleksi
metatarsophalangeal pada sendi interfalangeal
proksimal dengan jari palu (hammer toe).

Pergelangan Kaki:  Kontraktur tendon Achilles dapat terjadi pada


Dorsi fleksi 20 derajat: “Arahkan kaki Anda pasien dengan artritis rheumatoid atau setelah
ke langit-langit”. tirah baring yang lama.
Plantar fleksi 45 derajat: “Arahkan kaki
Anda ke lantai”.
Inversi 30 derajat: “Berjalan pada sisi luar
kaki Anda”.
Eversi 20 derajat: “berjalan pada sisi dalam
kaki Anda”.

Lutut:  Pembengkakan di atas kantong suprapatelar


Fleksi 130 derajat: “Tekuk lutut”. terlihat saat inflamasi dan cairan pada kapsul
Ekstensi 180 derajat: “Duduk dan tahan kaki articular lutut. Sinovitis merupakan inflamasi
kurus di depan Anda”. membrane synovial yang melapisi kapsula
articular sendi. Umum terjadi dengan trauma
lutut.
 Pembengkakan di atas patella terlihat pada
bursitis.

Pinggul: (Pasien berbaring)  Gerakkan pinggul terbatas dan/atau nyeri pada


Fleksi 120 derajat: “Tekuk lutut hingga artritis.
menyentuh dada".
Hiperekstensi 30 derajat: “Berbaring
telentang dan angkat satu kaki”.
Abduksi 45 derajat: “Tahan tungkai Anda
24

tetap lurus dan pindahkan ke samping”.


Rotasi internal 38 derajat: “Tekuk lutut dan
putar kea rah tungkai Anda yang lain”.
Rotasi eksternal 45 derajat: “Tekuk lutut dan
putar ke samping luar”.
Pengkajian Khusus

Lakukan pemeriksaan Phalen.  Baal dan sensasi terbakar pada jari selama
Minta pasien untuk menahan pergelangan pemeriksaan Phalen dapat mengindikasi
tangan pada posisi fleksi akut selama 60 Sindrom lorong karpal (carpal tunnel syndrome).
detik. Seharusnya tidak ada kesemutan,
baal, atau nyeri.

Periksa sedikit cairan pada lutut dengan  Pembengkakan cairan mengindikasikan


melakukan pemeriksaan pembengkakan penigkatan cairan pada sendi lutut daripada
(bulge). Peras ke atas pada sisi medial lutut pembengkakan jaringan lunak.
dan kemudian ketuk sisi lateral patella.
Tidak ada pembengkakan cairan harus
tampak pada sisi medial lutut.

Periksa untuk jumlah cairan yang banyak  Peningkatan cairan akan menyebabkan suara
dengan melakukan pemeriksaan ketukan karena patella mengganti cairan dan
ballottement untuk mendeteksi cairan yang mengenai femur.
25

banyak di lutut. Beri tekanan ke bawah pada


lutut dengan satu tangan seraya menekan
patella ke belakang melawan femur dengan
tangan yang lain.
Seharusnya tidak ada gerakan patella.
Patella harus istirahat dengan kuat di atas
femur.

Lakukan pemeriksaan McMurray.  Nyeri, mengunci (ketidakmampuan untuk


Ketika berbaring, minta pasien untuk melakukan ekstensi penuh lutut), atau suara
menurunkan lutut yang fleksi ke arah pusat meletus dapat mengindikasi cedera pada
tubuh. Stabilkan lutut dengan satu tangan, meniscus, diskus jaringan kartilago pada lutut.
dan berikan tekanan pada tungkai bawah
dengan satu tangan lain.
Seharusnya tidak ada nyeri atau bunyi klik.

Lakukan pemeriksaan Thomas.  Kontraktur fleksi pinggul akan menyebabkan


Minta pasien berbaring dan melakukan tungkai ekstensi terangkat.
ekstensi satu tungkai seraya membawa lutut
tungkai yang berlawanan ke dada.
Tungkai yang di ekstensi seharusnya tidak
terangkat.

3. Pemeriksaan Diagnostik Sistem Muskuloskeletal


Nama Pemeriksaan Tujuan dan Deskripsi
Artrosentesis Prosedur ini dilakukan untuk mendapatkan cairan synovial dari
sendi untuk diagnosis (seperti infeksi) atau mengeluarkan
kelebihan cairan. Jarum dimasukkan melalui kapsula sendi dan
cairan diaspirasi.
Artoskopi Pemeriksaan endoskopik permukaan interior sendi, artoskopi
digunakan untuk melakukan pembedahan dan diagnosis penyakit
pada patella, meniscus, dan synovial serta membrane
26

ekstrasinovial. Selain itu, cairan dapat didrain dari sendi dan


jaringan yang diangkat untuk biopsy. Endoskopi fiberotik
dimasukkan ke sendi, baik menggunakan anesthesia local atau
anesthesia umum. Artrografi (pemeriksaan sinar X pada sendi)
dilakukan sebelum artroskopi.
Kimia Darah Alkali fosfatase (ALP), kalsium (Ca), Fosfor (P), Fosfat (PO4),
Faktor Reumatoid (RF), Asam urat, Antigen Leukosit manusia,
Kreatinin Kinase (creatinine kinase, CK)
Kepadatan Tulang (blood Pemeriksaan kepadatan tulang dilakukan untuk mengevaluasi
density, BD) kepadatan mineral tulang dan untuk mengevaluasi derajat
- Absorpsiometri sinar X osteoporosis. DEXA dapat menghitung ukuran dan kepadatan
dual energy (duan energy tulang. Osteoporosis di diagnosis jika kadar massa tulang puncak
x-ray absorptiometry, dibawah >2,5 standar deviasi.
DEXA) Nilai normal: 1 standar deviasi di bawah puncak massa tulang.
- Ultrasonografi kuantitatif
(quantitative ultrasound,
QUS)
- Kepadatan mineral tulang
(bone mineral density,
BMD)
- Absorpsiometri tulang
Scan Tulang Selama scan tulang, derajat ambilan radioisotope (berdasarkan
pada suplai darah ke tulang) diukur dengan penghitung Geiger dan
dicatat pada kertas. Ambian meningkat pada osteomyelitis,
osteoporosis, kanker tulang, dan pada beberapa fraktur. Ambilan
menurun pada nekrosis avascular.
Computed Tomography (CT) CT tulang panjang dan sendi memberikan gambaran tiga dimensi
Scan-tulang panjang dan yang digunakan untuk mengevaluasi trauma musculoskeletal
sendi, spina (fraktur) dan abnormalitas tulang (seperti tumor). CT spina dapat
mengidentifikasi tumor, kista, malformasi vascular, dan herniasi
diskus intervertebra.
Elektromiogram (EMG) EMG mengukur aktivitas kelistrikan pada otot skeletal pada saat
istirahat dan selama kontraksi; informasi ini berguna dalam
mendiagnosis penyakit neuromuscular. Jarum elektroda dipasang
kedalam otot skeletal (seperti pada tungkai) dan aktivitas
kelistrikan dapat didengar, dilihat pada osiloskop, dan dicatat pada
kertas grafik. Normalnya, tidak ada aktivitas kelistrikan pada saat
istirahat.
Magnetic Resonance Imaging MRI struktur tulang digunakan dalam diagnosis dan evaluasi
(MRI) nekrosis avascular, osteomyelitis, tumor, abnormalitas diskus, dan
robekan pada ligament atau kartilago. Pemeriksaan ini
menggunakan gelombang radio dan bidang magnet; gadolinium
dapat diinjeksikan untuk meningkatkan visualisasi tulang atau
struktur otot.
Sinar-X skeletal Sinar-X dilakukan untuk mengidentifikasi dan mengevaluasi
kepadatan dan struktur tulang.
27

Somato Sensory Evoked SSEP mengukur konduksi saraf sepanjang jaras untuk
Potential (SSEP) mengevaluasi pemicu potensial kontraksi otot. Digunakan untuk
mengidentifikasi disfungsi neuron motoric bawah dan juga
penyakit otot. Elektroda transkutaneus atau perkutaneus diletakkan
di kulit dan memberi catatan.

C. Modalitas Penatalaksanaan Gangguan Sistem Muskuloskeletal


1. Pasien dengan Traksi
Traksi adalah penggunaan kekuatan penarikan pada bagian tubuh. Ini
dicapai dengan memberi beban yang cukup untuk mengatasi penarikan
otot.
a. Jenis-jenis traksi, meliputi:
1) Traksi lurus atau langsung. Traksi ini memberi gaya tarikan
dalam satu garis lurus dengan bagian tubuh berbaring di tempat
tidur.
2) Traksi suspensi seimbang. Traksi ini memberi dukungan pada
ekstremitas yang skait di atas tempat tidur, sehingga
memungkinkan mobilisasi pasien sampai batas tertentu tanpa
terputusnya gaya tarikan.
b. Cara pemasangan traksi, sebagai berikut.
1) Traksi kulit adalah traksi yang dapat dilakukan pada kulit.
Berat beban yang dipasang tidak boleh lebih dari 2-3 kg, tetapi
pada traksi pelvis umumnya 4,5-9kg bergantung pada berat
badan pasien. Traksi kulit, antara lain: Ekstensi Buck, Traksi
Runssel, Traksi Dunlop.
2) Traksi Skelet adalah traksi yang dilakukan langsung pada
skelet/tulang tubuh. Metode ini digunakan paling sering untuk
menangani fraktur femur, tibia, humerus, dan tulang leher.
Traksi dipasang langsung ke tulang menggunakan pin logam
atau kawat yang dimasukkan ke dalam tulang di sebelah distal
garis fraktur, menghindari saraf dan pembuluh darah, otot, serta
tendon dan sendi. Tong yang dipasang di kepala difiksasi di
28

kepala untuk memberi traksi yang mengimobilisasi fraktur


leher.
Setelah pemasanagan pin atau kawat dihubungkan dengan
lengkungan traksi atau kapiler, ujung kawat dibungkus dengan
gabus atau plester untuk mencegah cedera pada pasien.
Pemberat dihubungkan dengan lengkungan pin atau kawat
dengan system katrol tali yang dapat meneruskan arah dan
tarikan yang sesuai agar traksi efektif. Traksi skelet biasanya
menggunakan beban 7-12 kg untuk mencapai efek terapi.
Pemberat yang dipasang harus dapat melawan daya
pemendekan akibat spasme otot yang cedera. Ketika otot relaks
pemberat dapat dikurangi untuk mencegah dislokasi garis
fraktur dan mencapai penyembuhan fraktur. Bebat Thomas
dengan pengait Pearson sering digunakan bersama-sama traksi
skelet pada fraktur femur.
3) Traksi manual adalah traksi yang dapat dipasang dengan
tangan. Ini merupakan traksi yang sementara yang dapat
digunakan pada saat pemasangan gips, memberi perawatan
kulit dibawah boot busa ekstensi Buck, atau saat menyesuaikan
dan mengatur alat traksi.
2. Pasien dengan Gips
Gisps merupakan mineral yang terdapat di alam berupa batu putih
yang mengandung unsur kalsium sulfat dan air. Gips adalah alat
imobilisasi eksternal yang terbuat dari bahan mineral yang terdapat di
alam dengan formula khusus dengan tipe plester atau fiberglass.
Jenis-jenis Gips sebagai berikut:
a. Gips lengan pendek. Gips ini dipasang memanjang dari bawah siku
sampai lipatan telapak tangan dan melingkar erat didasar ibu jari.
b. Gips lengan panjang. Gips ini dipasang memanjang dari setinggi
lipat ketiak sampai disebelah proksimal lipatan telapak tangan.
Siku biasanya diiomobilisasi dalam posisi tegak lurus.
29

c. Gips tungkai pendek. Gips ini dipasang memanjang dari bawah


lutut sampai dasar jari kaki. Aki dalam sudut tegak lurus pada
posisi netral.
d. Gips tungkai panjang. Gips ini memanjang dari perbatasan
sepertiga atas dan tengah paha sampai dasar jari kaki. Lutut harus
sedikit fleksi.
e. Gips berjalan. Gips tungkai panjang atau pendek yang dibuat lebih
kuat dan dapat disertai telapak untuk berjalan.
f. Gips tubuh. Gips ini melingkar di batang tubuh.
g. Gips spika. Gips ini melibatkan sebagian batang tubuh dan satu
atau dua ekstremitas (gips spika tunggal atau ganda).
h. Gips spika bahu. Jaket tubuh yang melingkari batang tubuh, bahu
dan siku.
i. Gips spika pinggul. Gips ini melingkari batang tubuh dan satu
ekstremitas bawah (gips spika tunggal atau ganda).
3. Pasien Pra- dan PascaOperasi Ortopedi
Beberapa pasien yang mengalami disfungsi musculoskeletal
memerlukan pembedahan untuk mengoreksi masalah yang dialami,
sehingga dapat melakukan aktivitas seperti biasa. Maslaah yang perlu
dikoreksi dengan operasi atau pembedahan, antara lain fraktur, deformitas,
penyakit sendi, jaringan infeksi atau nekrosis, gangguan peredaran darah
atau adanya tumor.
Pembedahan Ortopedi meliputi:
a. Reduksi terbuka, yaitu melakukan reduksi dan membuat
kesejajaran tulang yang patah setelah terlebih dahulu dilakukan
diseksi dan pemajanan tulang patah.
b. Fiksasi interna adalah stabilisasi tulang patah yang telah direduksi
dengan skrup, plat, paku dan pin logam.
c. Graft tulang adalah penggantian jaringan tulang untuk
memperbaiki penyembuhan, menstabilkan, atau mengganti tulang
yang berpenyakit.
30

d. Amputasi adalah penghilangan bagian tubuh.


e. Artroplasti adalah memperbaiki masalah sendi dengan artroskop
atau melalui pembedahan sendi terbuka.
f. Menisektomi adalah eksisi fibrokartilago sendi yang telah rusak.
g. Penggantian sendi. Penggantian permukaan sendi dengan bahan
logam atau sintetis.
h. Penggantian sendi total. Penggantian kedua permukaan articular
dalam sendi dengan bahan logam atau sintetis.
i. Transfer tendo adalah pemindahan insersi tendo untuk
memperbaiki fungsi atau gerakan.
j. Fasiotomi yaitu pemotongan fasia otot untuk menghilangkan
kontriksi otot atau mengurangi kontraktur fasia.
4. Osteomalasia
Osteomalasia adalah penyakit metabolism tulang yang ditandai
dengan tidak memadainya mineralisasi tulang. Pada orang dewasa,
osteomalasia bersifat kronis dan deformitas skeletalnya tidak seberat pada
anak karena pertumbuhan skeletal telah selesai.
Penyebab osteomalasia adalah kekurangan kalsium dalam diet,
malabsorpsi kalsium, kelainan gastrointestinal, gagal ginjal berat dapat
mengakibatkan asidosis, dan kekurangan vitamin D. (Suratun etc all,
2008)
5. Penatalaksanaan
a. Reduksi fraktur terbuka atau tertutup: tindakan manipulasi
fragmen-fragmen tulang yang patah sedapat mungkin untuk
kembali seperti letak semula.
b. Imobilisasi fraktur.
c. Dapat dilakukan dengan fiksasi eksterna atau interna.
d. Mempertahankan dan mengembalikan fungsi.
e. Reduksi dan imobilisasi harus dipertahankan sesuai kebutuhan.
f. Pemberian analgetik untuk mengurangi nyeri.
31

g. Status neurovaskuler (missal: peredaran darah, nyeri, perabaan


gerakan) dipantau.
h. Latihan isometric dan setting otot diusahakan untuk
meminimalkan atrofi disuse dan meningkatkan peredaran darah.
D. Gangguan-gangguan Sistem Muskuloskeletal
1. Fraktur
a. Definisi
Fraktur adalah patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma
atau tenaga fisik. Kekuatan dan sudut dari tenaga tersebut, keadaan
tulang, dan jaringan lunak sekitar tulang akan menentukan apakah
fraktur yang terjadi itu lengkap atau tidak lengkap (Price & Wilson,
2006).
Ketika terdapat suatu gaya atau kekuatan yang melampaui
kekuatan menahan kompresi atau regangan(kemampuan tulang untuk
menyatu menjadi satu jaringan yang utuh), maka terjadilah fraktur
tulang (Kowalak, Welsh & Mayer 2013). Fraktur yaitu patah tulang
akibat adanya kekuatan menahan kompresi yang berlebihan atau
melampaui batas.
b. Etiologi
Faktor risiko penyebab terjadinya faktur (Kowalak, Welsh &
Mayer 2013), antara lain:
1. Kejadian terjatuh
2. Kecelakaan kendaraan
3. Olahraga
4. Pemakaian obat yang mengganggu mobilitas
5. Usia muda (immaturitas tulang)
6. Tumor tulang.
7. Penyakit metabolic (hipopatiroidisme atau
hiperparatiroidisme)
8. Obat-obat yang menyebabkan osteoporosis iatrogenic
(preparat steroid)
32

Menurut Sjamsuhidayat & Wim de jong, 2010 dalam jurnal


Medula, Volume 2, Nomor 3, Maret 2014 penyebab fraktur adalah
trauma.
1) Trauma Langsung
Trauma langsung yaitu benturan pada tulang, biasanya
penderita terjatuh dengan posisi miring dimana daerah trokhater
mayor langsung terbentur dengan benda keras (jalanan).
2) Trauma Tidak Langsung
Titik benturan dan fraktur berjauhan, misalnya jatuh
terpeleset dikamar mandi.
3) Trauma Ringan
Keadaan yang dapat menyebabkan fraktur bila tulang itu
sendiri sudah rapuh atau underlying deases atau fraktur patologis.
c. Klasifikasi Fraktur
1) Klasifikasi Umum Fraktur
a) Simpleks (tertutup)
Fragmen tulang tidak menembus kulit.
b) Compound (terbuka)
Fragmen tulang menembus kulit.
c) Inklompeta (parsial)
Kontinuitas tulang belum terputus seluruhnya.
d) Kompleta (total)
Kontinuitas tulang sudah terputus seluruhnya.
2) Klasifikasi berdasarkan tingkat kegawatdaruratan atau tingkat
kesakitannya Menurut Jacobs, 1997 dalam jurnal Medula,
Volume 2, Nomor 3, Maret 2014:
a) Derajat I (Grade I)
Luka laresari lebih dari 1 cm atua tusukan-tusukan pada
kulit dengan kerusakan optimal.
b) Derajat II (Grade II)
33

Luka laserasi lebih dari 2 cm atau seperti derajat I


dengan kulit dan otot mengalami luka memar.
c) Derajat III (Grade III)
Luka lebar atau hebat atua hilangnya jaringgan
sekitarnya. Luka lebih dari 6-8 cm dengan kerusakan sel-
sel darah, saraf, otot dan kulit.
3) Klasifikasi berdasarkan posisi
a) Kominutiva (communited, remuk)
Tulang pecah menjadi menjasi sejumlah potongan kecil-
kecil.
b) Imapkta (impacted)
Salah satu fragmen fraktur masuk ke dalam fragmen
yang lain.
c) Angulate (bersudut)
Kedua ragmen fraktur berada pada posisi yang
membentuk sudut terhadap yang lain.
d) Dislokata
Fragmen fraktur saling terpisah dan menimbulkan
deformitas.
e) Nondislokata
Kedua potongan tulang tetap mempertahankan kelurusan
yang pada dasarnya masih normal.
f) Ovevrriding
Fragmen fraktur saling mmenumpuk, sehingga
keseluruhan Panjang tulang memendek.
g) Segmental
Fraktur terjadi pada dua daerah yang berdekatan dengan
segmen sentral yang terpisah.
h) Avulsi
Fragmen fraktur tertarik dari posisi normal karena
kontraksi otot atau resistensi ligament.
34

4) Klasisikasi Berdasarkan Garis Fraktur


a) Linier
Garis fraktur berjalan sejajar dengan sumbu tulang.
b) Longitudinal
Garis fraktur membentang dalam arah longitudinal tetapi
tidak sejajar di sepanjang sumbu tulang.
c) Oblik
Garis fraktur menyilang tulang pada sudut sekitar 45°
terhadap sumbu tulang.
d) Spiral
Garis raktur yang menyilang tulang pada sudut yang
oblik sehingga membentuk pola spiral.
e) Transversal
Garis fraktur membentuk sudut tegak luurus terhadap
sumbu tulang.
d. Manifestsi Klinis Fraktur
Tanda dan gejala klinis fraktur, diantaranya:
1) Deformitas akibat kehilangan kelurusan (aligment) yang
alami.
2) Pembengkakan akibat vasodilatasi dan infiltrasi leukosit
serta sel-sel mast.
3) Spasme otot.
4) Nyeri tekan.
5) Kerusakan sensibilitas disebelah distal lokasi fraktur oleh
trauma atau fragmen tulang.
6) Kisaran gerak yang terbatas.
7) Krespitasi atau bunyi berderik Ketika bagian fraktur
digerakkan akibat gesekan fragmen tulang.
38

e. Patofisiologi Fraktur
39

f. Penatalaksanaan Medis
Penanganan fraktur menurut (Kowalak, Welsh & Mayer 2013),
antara lain:
1) Untuk fraktur lengan atau tungkai, Tindakan kedaruratan
terdiri atas:
a) Pembidaian anggota gerak diatas dan dibawah bagian yang
dicurigai fraktur yang bertujuan untuk imobilisasi.
b) Kompres dingin untuk mengurangi rasa nyeri dan edema.
c) Elevvasi anggota gerak tersebut untuk mengurangi rasa
nyeri dan edema.
2) Penanganan fraktur dalam 24 jam pertama yaitu RICE.
a) Rest (istirahat)
b) Ice (kompres dengan es)
c) Compression (kompresi, pemasangan pembalut tekan)
d) Elevasi (meninggikan bagian fraktur)
3) Penanganan fraktur berat yang menyebabkan kehilangan
darah:
a) Penekanan langsung untuk mengendalikan perdarahan.
b) Penggantian cairan dengan memasang infus secepat
mungkin untuk mencegah atau mengtaasi syok
hipovolemik.
4) Setelah memastikan diagnosis fraktur penanganan dimulai
dengan reposisi. Reposisi tertutup meliputi:
a) Manipulasi manual
b) Anestesi local (seperti lidokain [xylovaine])
c) Obat analgetic (seperti penyuntikan morfin IM)
d) Obat relaksan otot (diazepam [valium] IV)
e) Sedative (midazolam [versed]) untuk memudahkan
peregangan otot yang diperlukan untuk meluruskan tulang
yang patah.
40

5) Jika reposisi tertutup tidak memungkinkan untuk dilakukan,


maka lakukan reposisi terbuka dengan cara pembedahan yang
meliputi:
a) Imobilisasi fraktur dengan bantuan paku, plat atau skrup,
dan pemasnagan gips.
b) Terapi profilaksis tetanus.
c) Terapi profilaksis antibiotic.
d) Pembedahan untuk memperbaiki kerusakan pada jaringan
lunak.
e) Pembersihan atau debridemen luka secara cermat.
f) Fisioterapi sesudah gips dilepas untuk memulihkan
mobilitas anggota gerak.
6) Jika pemasangan gips tidak berhasilmempertahankan reposisi
maka dapat melakukan imobilisasi yang memerlukan traksi
kulit atau skeletal dengan menggunakan serangkaian beban
dari katrol. Tindakan ini dapat meliputi:
a) Pemasangan pembalut elastis dan tutup kkulit domba untuk
memasang alat raksi pada kulit pasien.
b) Pemasanan pen atau kawat pada ujung tulang di sebelah
distal fraktur yang kemudian disambung dengan beban
untuk memungkinkan traksi dalam waktu lama (trakski
skeletal).
Prinsip penanggulangan cedera muskulodkeletal adalah
rekognisi (mengenali), reduksi/reposisi (mengembalikan),
retaining (mempertahankan) dan rehabilitasi. Agar
penangannya baik perlu diketahui kerusakan apa saja yang
terjadi, baik pada jaringan lunaknya maupun tulangnya.
Mekanisme trauma juga harus diketahui, apakah akibat
trauma tumpul atau tajam, langsung atau tidak langsung.
Resuksi/reposisi berarti mengembalikan jaringan atau
fragmen ke posisi semula. Dengan Kembali ke bentuk
41

semua diharapkan bagian yang sakit dapat berfungsi


Kembali dengan maksimal.
g. Terapi Farmakologi
Reposisi tertutup meliputi:
1) Manipulasi manual
2) Anestesi local (seperti lidokain [xylovaine])
3) Obat analgetic (seperti penyuntikan morfin IM)
4) Obat relaksan otot (diazepam [valium] IV)
5) Sedative (midazolam [versed]) untuk memudahkan peregangan
otot yang diperlukan untuk meluruskan tulang yang patah.
h. Terapi Diet
Makanan yang harus di anjurkan untuk klien yang mengalami
fraktur yaitu:
1) Sumber kalori : nasi, kentang, roti, gandum, jagung, dll.
2) Sumber protein hewani : ayam, daging, hati, susu, telur, dan
keju.
3) Sumber protein nabati : kacang-kacangan, tahu, tempe, dan
oncom.
4) Sumber protein vitamin D : ikan lele, sarden, ikan salmon,
minyak ikan, telur ayam, hati sapi.
Zat-zat yang dibutuhkan pada fraktur:
1) Kalsium
Berperan membentuk tulang dan mempertahankan kepadatan
tulang.
2) Vitamin D
Mendorong penyerapan kalsium dan membantu membentuk
dan mempertahankan tulang yang kuat.
3) Fosfor
Fosfor bergabung dengan kalsium untuk membentuk kalsium
fosfat yaitu yang memberikan kekerasan pada tulang.
4) Magnesium
42

Sekitar 50% dari seluuruh magnesium tubuh ditemukan


didalam tulang dan berkontribusi pada kerangka fisik tulang.
2. Dislokasi
a. Definisi
Dislokasi sendi adalah cedera yang menyebabkan ujung tulang
mengalami perubahan posisi dari posisi normal dan artikulasi sendi
hilang. Dislokasi biasanya mengikuti trauma seperti terjatuh dan
pukulan. Meskipun dislokasi dapat terjadi pada semua sendi, mereka
terjadi sering di bahu dan sendi akromioklavikular (Brunner, 2001;
Kneale, Julia, 2011).
b. Etiologi
Penyebab dislokasi sendi yang paling sering dialami adalah
terjatuh. Cedera olahraga biasanya menyebabkan dislokasi adalah
sepak bola dan hoki serta olahraga yang beresiko jatuh, misalnya:
terperosok akibat bermain ski, senam, volly, basket, pemain sepak
bola paling sering mengalami dislokasi pada tangan dan jari-jari
karena secara tidak sengaja menangkap bola dari pemain lain. Trauma
yang tidak berhubugan dengan olah raga benturan keras pada sendi
saat kecelakaan motor biasanya menyebabkan dislokasi, terjatuh dari
tangga atau terjatuh saat berdansa diatas lantai yang licin, terjati ‘tear’
ligamen dan kapsul articuler yang merupakan komponen vital
penghubung tulang (Brunner, 2001; Kneale, Julia, 2011).
c. Manifestasi klinis
Manifestasi dislokasi sendi adalah nyeri akut yaitu nyeri yang
seing terdapat pada dislokasi sendi bahu, sendi siku, matakarpal
phalangeal dan sendi paha servikal, kemudian terjadi perubahan
kontur sendi, perubahan panjan eksremitas, mengalami deformitas
pada persendian, perubahan sumbu tulang yang mengalami dislokasi,
dan kehilangan mobilitas normal, serta terjadi gangguan gerakan otot-
otot tidak dapat bekerja dengan baik pada tulang tersebut.
43

Pembengkakan dan kekakuan juga menjadi manifestasi klinis dari


dislokasi sendi (Brunner, 2001; Kneale, Julia, 2011).
d. Patofisiologi dislokasi
Cedera pada dislokasi sendi berbagai macam, seperti cedera saat
trauma, terjatuh dan cedera akibat olahraga dikarenakan beberapa hal
seperti tidak melakukan exercise sebelum olahraga memungkinkan
terjadi dislokasi, dimana cedera olahraga menyebabkan terlepasnya
kompresi jaringan tulang dari kesatuan sendi sehingga dapat merusak
struktur sendi dan ligamen. Keadaan selanjutnya terjadi kompresi
jaringan tulang yang terdorong ke depan sehingga merobek
kapsul/menyebabkan tepi glenoid teravulsi akibatnya tulang berpindah
dari posisi normal. Keadaan tersebut dikatakan sebagai dislokasi.
Trauma kecelakaan karena kurang kahati-hatian dalam melakukan
suatu tindakan atau saat berkndara tidak menggunakan helm dan
sabuk pengaman memungkinkan terjadinya dislokasi. Trauma
kecelakaan dapat kompresi jaringan tulang dari kesatuan sendi sehinga
dapat merusak struktur sendi dan liigamen. Keadaan selanjutnya
terjadi kompresi jaringan tulang yang terdorong ke depan sehingga
merobek kapsul/menyebabkan tepi glenoid tervulsi akibatnya tulang
berpindah dari posisi normal yang menyebabkan dislokasi (Brunner,
2001; Sjamsuhidaajat, 2011).
e. Klasifikasi dislokasi
1) Klasifikasi berdasarkan penyebab
a) Dislokasi kogenital : terjadi sejak lahir akibat kesalahan
pertumbuhan, paling sering terlihat dipinggang.
b) Dislokasi spontan atau patologik : akibat penyakit sendi
dan atau jaringan sekitar sendi. Misalnya tumor, infeksi,
atau osteopororsis tulang. Ini disebabkan oleh kekuatan
tulang yang berkurang.
c) Dislokasi traumatik : kedaruratan ortopedi (pasokan darah,
susunan saraf rusak dan mengalami stress berat, kematian
44

jaringan akiat anokoksia) akibat oedema (karena


mengalami pengarasan). Terjadi karena trauma yang kuat
sehingga dapat mengeluarkan tulang dari jaringan
disekelilingnya dan mungkin juga merusak struktur sendi
ligamen, syaraf, dan sistem vaskular. Kebanyakan terjadi
pada orang dewasa (Brunner, 2001).
2) Klasifikasi berdasarka tempat terjadi
a) Dislokasi sendi rahang : dislokasi sendi rahang dapat
terjadi karena menguap terlalu lebar atau terkena pukulan
keras ketika rahang sedang terbuka, akibatnya penderita
tidak bisa menutup mulutnya.
b) Disokasi sendi bahu : pergeseran karput humerus dari
sendu gloenehumeral berada di anterior dan medial
glenoid (dislokasi anterior), di posterior (dislokasi
posterior), dan dibawah glenoid (dislokasi inferior).
c) Dislokasi sendi siku : cedera biasanya akibat terjatuh pada
tangan yang dapat menimbulkan dislokasi sendi siku ke
arah posterior dengan siku jelas berubah bentuk dengan
kerusakan sambungan tonjolan-tonjolan tulang siku.
d) Dislokasi sendi jari : sendi jari mudah mengalami
dislokasi dan bila tidak ditolong dengan segera sendi
tersebut akan menjadi kaku kelak. Sendi jari dapat
mengalami dislokasi ke arah telapak tanga atau punggung
tangan.
e) Dislokasi sendi metacarpophalangeal : dislokasi sendi ini
disebabkan oleh hiperekstensi–ekstens persendian.
f) Dislokasi sendi panggul : bergesernya carput femur dari
sendi panggul, berada di posterior dan atas acetabulum
(dislokasi posterior), di anterior acetabulum (dislokasi
anterior), dan carput femur menembus acetabulum
(dislokasi sentra).
45

g) Dislokasi sendi lutut : dislokasi ini terjadi apabila


penderita mendapat trauma dari depan dengan lutut dalam
keadaan fleksi. Dislokasi ini bersifat anterior, posterior,
lateral, medial,atau rotasi. Trauma juga dapat
menyebabkan dislokasi yang tejadi disertai dengan
kerusakan nervus peroneus dan arteri poplitea (Brunner,
2001).
f. Penatalaksanaan medis
1) Melakukan reposisi segera
2) Memanipiulasi secara hati-hati permukaan sendi yang
diluruskan kembali. Tindakan ini sering dilakukan anastesi
umum untuk melemaskann otot-ototnya.
3) Dislokasi sendi
a) Dislokasi sendi kecil dapat direposisi ditempat kejadian
kerja tanpa anastesi, misalnya dislokasi jari (pada fase
shock), dislokasi siku, dislokasi bahu.
b) Dislokasi sendi besar, misalnya panggul memerlukan
anastesi umum.
c) Fisioterapi harus segera mulai untuk mempertahankan
fungsi otot dan latihan yang aktif dapat diawali secara dini
untuk mendorong gerakan sendi yang penuh, khususnya
pada sendi bahu.
d) Tindakan pembedahan harus dilakukan bila terdapat
tanda-tanda gangguan neurommuskular yang berat atau
jika tetap ada gangguan vaskuler setelah reposisi tertutup
berhasil dilakukan secara lembut. Pembedahan terbuka
mungkin diperlukan, khususnya kalau jaringan lunak
terjepit diantara permukaan sendi.
e) Persendian tersebut disangga dengan pemasangan gips.
Misalnya pada sendi pangkal paha untuk memberikan
kesembuhan pada ligamentum yang teregang.
46

f) Dislokasi reduksi yaitu dikebalikan ke tempat semula


dengan menggunakan anastesi jika dislokasi berat.
g) Kaput tulang yang mengalami dislokasi dimanipulasi atau
dikembalikan ke rongga sendi.
h) Sendi kemudian dimobilisasi dengan bidai, gips, atau
traksi dan dijaga agar tetap dalam posisi stabil, setelah
reduksi dilakukan mobilisasi halus 3-4 kali sehari yang
berguna untuk mengebalikan kisaran sendi (Brunner,
2011).
g. Terapi farmakologi
Pemberian obat-obatan : analgesik non narkotik
1) Analsik yang berfungsi untuk mengatasi nyeri otot, sendi,
sakit kepala, nyeri pinggang. Efek samping dari obat ini
adalah agranulositosis. Dosis: sesudah makan. Dewasa: 3x1/2
kapsul.
2) Bimastan yang berfungsu untuk menghilangkan nyeri ringan
atau sedang, kondisi akut atau kronik termasuk nyeri
persendian, nyeri otot, nyeri setalah melahirkan. Efek
samping dari obat ini adalah mual, muntah, agranulositosis,
aeukopenia. Dosis: dewasa; dosis awal 500mg lalu 250mg
tiap 6 jam.
h. Terapi diet
Terapi diet untuk pasien dislokasi adalah :
1) Tinggi protein : tubuh membutuhkan protein untuk
membangun kembali jaringan, contoh : ikan, daging sapi.
2) Vitamin C : membangun kembali kolagen, komponen penting
dari kulit dan jaringan, contoh : buah jeruk, paprika
strawberry, brokoli.
3) Zink : reaksi kimia untuk membangun kembali jaringan,
contoh : daging sapi, biji labu, bayam.
47

4) Tinggi kalium : mempercepat penyembuhan, contoh : air


kelapa.

3. Osteomyelitis
a. Definisi
Osteomyelitis adalah infeksi pada tulang dan medulla tulang baik
karena infeksi piogenikatau non piogenik misalnya mikrobacterium
tuberkulosa. Infeksi ini dapat bersiffat akut maupun kronis. Pada
anakanak infeksi tulang sering kali timbul sebagai komplikasi dari
infeksi pada tempat- tempat lain seperti infeksi faring (faringitis),
telinga 9otitis media),dan kulit (imprtigo). (Nurarif & Kusuma, 2015)

b. Etiologi
1) Bakteri
2) Staphylococcus aureus (70% - 80%), selain itu juga bisa
disebabkan oleh Escherichia coli, Pseudomonas, Klebsiella,
Salmonella, dan Proteus
3) Virus, Jamur, Mikroorganisme lain.
c. Manifestasi klinis
Osteomyelitis Akut
1) Infeksi dibawa oleh darah
a) Biasanya awitannya mendadak
b) Sering terjadi dengan septicemia (mis : menggigil,
demam tinggi, denyut nadi cepat, malaise, pembesaran
kelenjar limfe regional)
2) Infeksi menyebar dari rongga sumsum ke korteks tulang
Bagian yang terinfeksi menjadi nyeri, bengkak, dan sangat
nyeri tekan
3) Infeksi terjadi akibat penyebaran dari infeksi disekitarnya
atau kontaminasi langsung
a) Daerah infeksi membengkak,hangat, nyeri dan nyeri
tekan
48

b) Sering ada riwayat infeksi sebelumnya atau ada luka


c) Lab: anemia, leukositosis
Osteomyelitis Kronik
Ditandai dengan pus yang selalu mengalir kelur dari sinus
atau mmengalami eriode berulangnyeriinflamasi,pembengkakan
dan pengeluaran pus, lab = LED meningkat.
49

d. Patofisiologi

Factor Predisposisi Invasi mikroorganisme dari Masuk kejuksta epifisis tulang


-Usia tempat lain yang beredar panjang
-Virulensi kuman melalui sirkulasi darah
-Riwayat trauma
-Nutrisi dan luka infeksi

Fagositosis Osteomyelitis

Pembentukan pus dan


Demam Proses inflamasi nekrosis jaringan
hyperemia,pembengkakakn,
gangguan fungsi,
pembentukan pus, dan
Gangguan termoregulasi kerusakan integritas jaringan Penyebaran infeksi keorgan
penting

Peningkatan tekanan jaringan


Resiko infeksi
Kemampuan tonus otot tulang dan medulla
menurun
Nyeri

Nafsu makan menurun Iskemia dan nekrosis tulang


Pembentukan abses tulang

Kelemahan fisik Pembentukan tulang baru,


pengeluaran pus
Ketidakseimbangan nutrisi
kurang dari kebutuhan tubuh

Deformitas dan bau dari


adanya luka
Tirah baring lama
Hambaatan mobilitas fisik
penekanan lokal

Gangguan citra tubuh

Kerusakan integritas kulit


50

e. Penatalaksanaan
1) Imobilisasi area yang sakit : lakukan rendam salin noral hangat
selama 20 menit beberapa kali sehari.
2) Kultur darah : lakukan smear cairan abses untuk
mengidentifikasi organisme dan memilih antibiotic
3) Terapi cairan intravena sepanjang waktu
4) Berikan antibiotic peroral jika infeksi tampak dapat terkontrol:
teruskan selama 3 bulan.
5) Bedah debridement tulang jika tidak berespon terhadap
antibiotic pertahankan terapi antibiotic tambahan.
f. Terapi Farmakologi
1) Istirahat dan pemberian analgesic untuk menghilangkan nyeri.
Sesuai kepekaan penderita dan reaksi alergi penderita.
2) Penicillin cair 500.000 milion unit IV setiap 4 jam
3) Erithromisin 1-2gr IV setiap 6 jam.
4) Cephazolin 2grIv setiap 6 jam
5) Gentamicin 5mg/kg BB IV selama 1 bulan
6) Pemberian cairan intravena dan klu perlu transfuse darah.
(Brunner, Suddart.2001)
g. Terapi Diet
1) Asupan nutrisi tinggi protein, vit A, B, C, D dan K
2) Vitamin K : diperlukan untuk pengerasan tulang karena
vitamin K dapat mengikat kalsium, karena tulang itu bentukny
berongga, vitamin K membantu mengikat kalsium dan
menempatkannya ditempat yang tepat.
3) Vitamin A, B, dan C : untuk dapat membantu pembentukan
tulang
4) Vitamin D : untuk membantu pengerasan tulang dengan cara
mengatur untuk kalsium dan fosfor pada tubuh agar ada di
dakam darah yang kemudian diendapkan pada proses
pengerasan tulang. Salah satu cara pengerasan tulang ini
51

adalaah pada tulang kalsitiriol dan hormone paratiroid


merangsang pelepasan kalsium dari permukaan tulang masuk
ke dalam daraah. (Brunner, Suddart.2001)
4. Osteosarcoma
a. Definisi
Osteosarcoma adalah suatu degenerasi massa tulang, yang
manifestasinya dalam bentuk massa putih atau kemerahan, lardaceous
dan tegas pada tahap awal penyakit ini, tetapi pada tahap selanjutnya,
dapat berupa pelunakan, cerebrifrom matter, ekstravasasi darah, dan
cairan kental berwarna putih atau kekuningan di dalamnya. (Peltier
dalam Seger, 2014)
Osteosarcoma adalah kanker tulang dan dapat terjadi pada apapun,
biasanya pada ekstremitas tulang panjang dekat lempeng pertumbuhan
metafise. Tempat yang paling umun adalah femur (42% dan sebesar
75% di femur distal), tibia (19% dan sebesar 80% di tibia proksimal),
dan humerus (10% dan 90% di humerus proksimal). Lokasi penting
lainnya adalah tengkorak dan rahang (8%) dan panggul (8%).
b. Etiologi
Penyebab dari osteosarcoma ini masih belum jelas dan hanya
beberapa faktor risiko yang diketahui.
1) Faktor genetic
Faktor yang diduga memiliki peranan penting dalam terjadinya
osteosarcoma, seperti ekspresi gen Met dan Fos secara
berlebihan, mutasi gen TP53, dan beberapa penyakit bawaan
sejak lahir yang dicurigai dapat menimbulkan terjadinya
osteosarcoma seperti retinoblastoma herediter.
2) Faktor lingkungan
Paparan lingkungan juga memiliki peranan penting dalam
terjadinya osteosarcoma, seperti paparan radiasi yang dapat
menimbulkan terjadinya mutasi gen sehingga membentuk
suatu keganasan. (Putra, dkk 2020)
52

3) Virus
Rous sarcoma virus yang mengandung gen V-Src yang
merupakan proto-onkogen, virus FBJ yang mengandung proto-
onkogen c-Fos yang menyebabkan kurang responsif terhadap
kemoterapi.
c. Manifestasi Klinis
Menurut Smeltzer (2008), manifestasi klinis dari Osteosarkoma
adalah.
1) Nyeri/pembengkakan ekstremitas yang terkena (biasanya
menjadi semakin parah pada malam hari dan meningkat sesuai
dengan progresivitas penyakit).
2) Pembengkakan pada tulang atas atau persendian serta
pergerakan terbatas.
3) Teraba massa tulang dan peningkatan suhu tubuh kulit di atas
massa serta adanya pelebaran vena.
4) Gejala-gejala penyakit metastatik meliputi nyeri dada, batuk,
demam, berat badan menurun dan malaise.
d. Patofisiologi
Patofisiologi Osteosarkoma menurut Saferi Wijaya dan Mariza
Putri (2013), adanya tumor di tulang menyebabkan reaksi tulang
normal dengan respons osteolitik (destruksi tulang) atau respons
osteoblastik (pembentukan tulang). Beberapa tumor tulang sering
terjadi dan lainnya jarang terjadi, beberapa tidak menimbulkan
masalah, sementara lainnya ada yang sangat berbahaya dan
mengancam jiwa.
Tumor ini tumbuh di bagian metafisis tulang panjang dan biasa
ditemukan pada ujung bawah femur, ujung atas humerus dan ujung
atas tibia. Secara histolgik, tumor terdiri dari massa sel-sel kumparan
atau bulat yang berdiferensiasi jelek dan sering dengan elemen
jaringan lunak seperti jaringan fibrosa atau miksomatosa atau
kartilaginosa yang berselang seling dengan ruangan darah sinusoid.
53

Sementara tumor ini memecah melalui dinding periosteum dan


menyebar ke jaringan lunak sekitarnya; garis epifisis membentuk
terhadap gambarannya di dalam tulang.Adanya tumor pada tulang
menyebabkan jaringan lunak diinvasi oleh sel tumor. Timbul reaksi
dari tulang normal dengan respon osteolitik yaitu proses destruksi atau
penghancuran tulang dan respon osteoblastik atau proses
pembentukan tulang. Terjadi destruksi tulang lokal. Pada proses
osteoblastik, karena adanya sel tumor maka terjadi penimbunan
periosteum tulang yang baru dekat lempat lesi terjadi sehingga terjadi
pertumbuhan tulang yang abortif.
54

Pathway

Virus onkogenik Sinar radiasi Trauma Hereditar/ketrunuan

Kerusakan gen

Poliferasi sel tulang secara abnormal

Neoplasma

Osteosarcoma

Pembekakan lokal Di dalam tulang Di permukaan tulang Kerusakan struktur


tulang

Menekan ujung syaraf Tumbuh sampai


pusat jaringan lunak di sekitar Tulang lebih rapuh
tulang epifisis & tulang
rawan sendi
Persepsi nyeri Resiko fraktur

Nyeri Neoplasma tumbuh ke Resiko Tinggi Cedera


dalam sendi

Jaringan lunak diinvasi oleh sel tumor


Gangguan Citra
Tubuh

Reaksi tulang abnormal


Pengangkatan organ

Respon osteolitik & respon osteobastik

Amputasi

Penimbunan periosteum di skitar lesi

Tindakan
medis
Pertumbuhan tulang yang abotif/abnormal Pembedahan

Hambatan Mobilitas Fisik Kerusakan Integritas Terputusnya jaringan


Jaringan
55

e. Penatalaksanaan Medis
1) Pembedahan
a) Lim Salvage Surgery
Lim Salvage Surgery (LSS) merupakan suatu prosedur
pembedahan yang dilakukan untuk menghilangkan tumor,
pada ekstremitas. Prosedur LSS terdiri atas pengangkatan
tumor tulang atau sarkoma jaringan lunak secara en bloc
dan rekonstruksi defek tulang atau sendi dengan
megaprostesis (endoprostesis), biological reconstruction
(massive bone graft baik auto maupun allograft) atau
kombinasi megaprostesis dan biological reconstruction
(bone graft). LSS disebut juga limb sparing surgery untuk
menghindari amputasi dengan mempertahankan fungsi
ekstremitas secara optimal dan merupakan standar
pembedahan keganasan tulang.
Pada LSS perlu dipertimbangkan hal-hal berikut.
(1) Reseksi tumor dapat dilakukan secara en bloc.
(2) Potensi rekurensi dan kesintasan pasien osteosarkoma
tidak lebih buruk dari amputasi.
(3) Prosedur LSS tidak boleh menunda kemoterapi
neoajuvan. Keberhasilan kemoterapi pada
osteosarkoma ditentukan oleh waktu pemberian dan
dosis kemoterapi yang tepat.
(4) Fungsi ekstremitas pasca LSS diharapkan lebih baik
daripada pasca-amputasi. Fungsi ekstremitas
pascarekonstruksi harus mencapai luaran fungsional
yang baik, mengurangi morbiditas jangka panjang dan
mengurangi/ meminimalkan pembedahan tambahan.
56

(5) Rekonstruksi pasca LSS tidak boleh menimbulkan


komplikasi yang membutuhkan pembedahan berikutnya
atau hospitalisasi yamh berulang-ulang.
b) Amputasi
Amputasi pada osteosarcoma dilakukan bila persyaratan
LSS tidak terpenuhi. Pada osteosarcoma derajat keganasan
tinggi yang tidak memungkinkan pemberian kemoterapi
neoadjuvan, selanjutnya diikuti dengan pemberian
kemoterapi adjuvant.
2) Radioterapi
Prinsip radioterapi pada osteosarcoma dapat dibedakan untuk
lokasi tumor primer dan lesi metastasis. (Kamal, 2020)
f. Terapi Farmakologi
Pada osteosarcoma regimen standar kemoterapi yang dipergunakan
adalah kemoterapi neoadjuvant (preoperative chemotherapy) dan
kemoterapi adjuvant (postoperative chemotherapy).
Kemoterapi neoadjuvant dapat menghambat/ menghilangkan
mikrometastasis dan pertumbuhan lokal osteosarkoma, mengecilkan
ukuran tumor serta menyebabkan kematian lesi satelit pada
pseudokapsul/zona reaktif. Manfaat penting lainnya adalah
memungkinan LSS, memudahkan reseksi tumor secara en bloc, serta
mengevaluasi respons kemoterapi dengan menilai persentase sel
tumor osteosarkoma yang nekrosis. Kemoterapi neadjuvant ini
diberikan 2-3 siklus, setelahnya dilakukan evaluasi pre-operasi
(penilaian respon histopatologi berdasarkan kriteria HUVOS). Bila
menurut HUVOS kurang respon, maka diberikan kemoterapi second
line. Bila adjuvant dilakukan 6 siklus.
Kemoterapi terdiri dari berbagai obat kemo dan berbagai protokol.
Namun untuk mempermudah dibagi dalam berbagai kelompok.
1) First line therapy (primary/neoadjuvant/adjuvant therapy or
metastatic disease):
57

a) Cisplatin dan doxorubicin.


b) MAP ( High-dose Methotrexate, cisplatin dan doxorubicin).
c) Doxorubicin, cisplatin, ifosfamide dan high dose
methotrexate
d) Ifosfamide, cisplatin dan epirubicin
2) Second line therapy (relapsed/ refractory or metastatic disease)
a) Docetaxel dan gemcitabine
b) Cyclophosphamide dan etoposide
c) Gemcitabine
d) Ifosfamide dan etoposide
e) Ifosfamide, carboplatin dan etoposide
f) High dose methotrexate, etoposide dan ifosfamide
g. Terapi Diet
Diet yang dilakukan yaitu diet tinggi protein tinggi kalori.
BAB III
ANALISIS KASUS

A. KASUS
Seorang pasien wanita, Ny. N, 72 tahun, dibawa ke UGD karena terjatuh
di kamar mandi. Pasien tidak bisa bangun setelah terjatuh dan mengeluh nyeri
di bagian pinggul kanan dan paha atas. Skala nyeri 10, pasien tampak
kesakitan bahkan sampai menangis. Di UGD diberikan suntikan oxymorphone
hidrokloridda kemudian dibawa ke ruangradiologi untuk dilakukan rongsen.
Tampak kaki kiri lebih pendek daripada kaki kanan dan berotasi keluar. Nadi
distal teraba kuat secara bilaeral. Kedua kaki teraba hangat. Tidak ada baal
dikedua kaki. Kaki kiri pasien hanya mampu menggeraakan jari-jari. Kaki
kanan masih mampu fleksi, ektensi dan abduksi maupun rotasi.
Tanda-tanda vital BP 120/60 mmHg, nadi 100 kali/menit, RR 18
kali/menit, suhu 36,6 oC. Pemeriksaan lab menunjukan Hb 11 g/dL, leukosit
7000 mm3. Hasil kimia darah dalam batas normal.
Hasil pmeriksaan radiologi X-Ray terlihat fraktur femoral neck (fraktur
leher femur) saat ini pasien terpasang traksi 10 lb (5 kg). Satu mnggu lagi akan
dilakukan reduksi terbuka dan internal fikasi. Dua tahun yang lalu pasien
terdiagnosa osteoporosis. Pasien mengatakan "apakah selamanya kaki saya
akan menggunakan bebean seperti ini?"

58
59

B. ASUHAN KEPERAWATAN
ASUHAN KEPERAWATAN PADA NY. N DENGAN
GANGGUAN SISTEM MUSKULOSKELETAL:
FRAKTUR FEMORAL NECK
1. PENGKAJIAN
a. Data Demografi
Identitas Klien
Nama : Ny. N
Umur : 72 tahun
Diagnosa medis : Fraktur femoral neck
b. Riwayat Kesehatan
1) Keluhan Utama
Klien mengeluh nyeri
2) Riwayat Kesehatan Sekarang
Pasien dibawa ke UGD karna terjatuh di kamar mandi. Pasien
tidak bisa bangun setelah terjatuh dan mengeluh nyeri dibagian
pingggul kanan dan paha atas. Skala nyeri 10, pasien tampak
kesakitan bahkan sampai menangis. Di UGD diberikan suntikan
oxymorphone hidroklorida kemudian dibawa ke ruang radiologi
untuk dilakukan rongten. Satu minggu lagi akan dilakukan
reduksi terbuka dan internal fiksasi.
3) Riwayat Kesehatan Dahulu
Pasien mengatakan dua tahun yang lalu pasien terdiagnosa
osteoporosis
c. Pemeriksaan Fisik
1) Tanda-tanda Vital
BP : 120/60 mmHg
Nadi : 100 x/menit
RR : 18 x/menit
Suhu : 36,6 oC
60

2) Sistem Muskuloskeletal
Pada saat pengkajian, tampak kaki kiri lebih pendek daripada kaki
kanan dan berotasi keluar. Nadi distal teraba kuat secara bilateral.
Kedua kaki teraba hangat. Tidak ada baal di kedua kaki. Kaki kiri
pasien hanya mampu menggerakan jari-jari. Kaki kanan masih
mampu fleksi, ekstensi, aduksi dan abduksi maupun rotasi. Saat
ini pasien terpasang traksi 10 lb (5 kg).
d. Data Psikologis
Pasien mengatakan “apakah selamanya kaki saya akan menggunakan
beban seperti ini”
e. Data Penunjang
1) Pemeriksaan Laboratorium
Jenis Satuan
Nilai Hasil Nilai Rujukan
pemeriksaan
HB 11 13,0 – 16,0 gr/dL
Leukosit 7000 12.000 sel/uL

2) Pemeriksaan Radiologi
X-Ray terlihat fraktur femoral neck (fraktur leher femur)
2. ANALISIS DATA

Data
Etiologi Masalah
(DS & DO)
DS : Trauma langsung Nyeri akut
- Pasien mengatakan (jatuh)
terjatuh dikamar mandi ↓
- Pasien mengeluh nyeri Tekanan pada tulang
- Pasien mengatakan dua ↓
tahun yang lalu pasien Riwayat
terdiagnosa osteoporosis Osteoporosis
DO ↓
- Skala nyeri 10 Tulang tidak mampu
- X-Ray terlihat fraktur menahan energi
femoral neck yang terlalu besar
- Pasien terpasang traksi 10 ↓
lb (5 kg) Fraktur femoral neck

Diskontinuitas

61

Merusak jaringan
sekitar

Ceder sel

Degranulasi sel must

Pelepasan mediator
kimia

Nociceptor

Medulla Spinalis

Korteks serebri

Nyeri
DS : Frakur Femoral Gangguan
- Pasien mengatakan Neck mobilisasi fisik
“apakah selamanya kaki ↓
saya akan menggunakan Cedera sel
beban seperti ini” ↓
DO : Terapi restrictif
- Tampak kaki kiri lebih ↓
pendek daripada kaki Traksi
kanan dan berotasi keluar ↓
- Kaki kiri pasien hanya Gangguan mobilisasi
mampu menggerakan fisik
jari-jari
- Nadi distal teraba kuat
secara bilateral
- Pasien terpasang traksi 10
lb (5 kg)
- Satu minggu lagi akan
dilakukan reduksi terbuka
dan internal fiksasi
(ORIF)

3. DIAGNOSA KEPERAWATAN
N Diagnosa Keperawatan (SDKI)
O
1 Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik (trauma),
fraktur femoral nack
2 Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan integritas
struktur tulang, terapi restriktif (immobiliasasi)
62
63

4. INTERVENSI KEPERAWATAN
N Diagnosa Tujuan Intervensi Rasional
O Keperawatan (SDKI) (SLKI) (SIKI)
1 Nyeri akut Setelah dilakukan Manajemen nyeri 1. Nyeri merupakan pengalaman
berhubungan dengan Tindakan keperawatan 1. Observasi lokasi, karakteristik, subjektif dan harus dijelaskan oleh
agen pencedera fisik 2x24 jam pengalaman durasi, frekuensi, kualitas, pasien. Identifikasi karakteristik
(trauma), fraktur sensorik atau emosional intensitas nyeri nyeri dan faktor yang berhubungan
femoral nack ditandai yang berkaitan dengan merupakan suatu hal yang penting
dengan: kerusakan jaringan atau untuk memilih intervensi yang
DS : fungsional dapat cocok dan mengevaluasi kefektifan
- Pasien mengatakan menurun dengan dari terapi yang diberikan
terjatuh dikamar kriteria hasil : 2. Identifikasi skala nyeri 2. Skala nyeri dapat menjadi tolak
mandi - Mampu mengonrol ukur memonitor perkembangan
- Pasien mengeluh nyeri keberhasilan intervensi yang telah
nyeri (tahu penyebab dilakukan
- Pasien mengatakan nyeri, mampu 3. Identifikasi respon nyeri non 3. Reaksi terhadap nyeri biasanya
dua tahun yang lalu menggunakan verbal ditunjukkan dengan reaksi non
pasien terdiagnosa Teknik verbal yang tanpa disengaja
osteoporosis nonfarmakologi 4. Mengetahui faktor yang
DO : untuk mengurangi 4. Identifikasi faktor yang memperberat nyeri dan
- Skala nyeri 10 nyeri, mancari memperberat dan mempengaruhi mempengaruhi nyeri dapat secara
- X-Ray terlihat bantuan) nyeri cepat pemberian intervansi
fraktur femoral - Malaporkan bahwa 5. Melepaskan ketegangan emosional
neck nyeri berkurang 5. Berikan tekni nonfarmakologi atapun saraf-saraf dan otot-otot agar
- Pasien terpasang dengan untuk mengurangi nyeri yaitu rileks, meningkatkan rasa kontrol
traksi 10 lb (5 kg) menggunkan relaksasi nafas dalam dan dan dapat meningkatkan koping
manajemen nyeri kompres dingin dalam manajemen nyeri, yang
- Mampu mengenali mungkin menetap untuk periode
nyeri (skala, yang lama
intensitas, frekuensi 6. Mengurangi nyeri dan mencegah
dan tanda nyeri) 6. Pertahankan imobilisasi bagian posisi tulang/tegangan jaringan yang
- Menyatakan rasa yang nyeri dengan tirah baring, cedera
nyaman setelah gips, pembebat traksi 7. Membantu untuk menghilangkan
nyeri berkurang 7. Jelaskan penyebab, periode dan ansietas
pemicu nyeri 8. Pasien dapat merasakan kebutuhan
8. Jelaskan strategi meredakan nyeri untuk menghilangkan nyeri
9. Memungkinkan pasien untuk siap
9. Anjurkan memonitor nyeri secara berpartisipasi dalam mengontrol
mandiri tingkat ketidak nyamnannya
10. Kolaborasi pemberian analgetik
2 Gangguan mobilitas Setelah dilakukan Perawatan traksi 1. Dengan tetap menjaga kebersihan
fisik berhubungan tindakan keperawatan 1. Monitor kemampuan perawatan diri ketika sakit tidak akan
dengan kerusakan 2x24 jam keterbatasan diri saat terpasang traksi memperburuk kondisi kesehatan
integritas struktur dalam gerak fisik atau pasien, meningkatkan kemandirian
tulang, ekstremitas dapat pasien dalam peraatan diri sesuai
immobiliasasi/traksi meningkat dengan kondisi keterbatasannya
ditandi dengan kriteria hasil : 2. Monitor alat fiksasi eksternal 2. Mempertahkan posisi fungsional
DS : - Meningkatkan/ ektremitas
- Pasien mengatakan mempertahankan 3. Monitor sirkulasi, pergerakan 3. Mengetahui perkembangan
“apakah selamanya mobilitas dan sensasi pada ekstremitas ekstremitas yang cedera untuk
kaki saya akan - Mempertahkan yang cedera memilih intervensi dan mengevaluasi
menggunakan posisi fungsional intervensi yang dilakukan
beban seperti ini” - Mengkompensasi
DO : bagian tubuh yang 4. Monitor adanya komplikasi 4. Agar segera dilakukan intervensi dan
- Tampak kaki kiri memampukan immobilisasi tidak memperburuk kondisi pasien
lebih pendek melakukan aktivitas 5. Posisikan tubuh pada kesejajaran
daripada kaki kanan (alignment) yang tepat 5. Mempertahan kan tirah baring
dan berotasi keluar 6. Pertahan posisi berbaring yang
- Kaki kiri pasien tepat ditempat tidur 6. Memberi rasa nyaman pada pasien
hanya mampu 7. Pastikan tali dan katrol bebas
menggerakan jari- menggantung 7. Mempertahkan immobilisasi traksi
jari 8. Pastikan tarikan tali dan beban
- Nadi distal teraba tetap berada disepanjang sumbu 8. Mempertahankan mmobilisasi
kuat secara bilateral tulang fraktur fragmen tulang
- Pasien terpasang 9. Amankan beban traksi saat
traksi 10 lb (5 kg) menggerakan pasien 9. Agar memudahkan pasien untuk
- Satu minggu lagi 10. Ubah posisi pasien secara bergerak
akan dilakukan periodik sesuai keadaan pasien 10. Menurunkan insiden komplikasi kulit
reduksi terbuka dan dan pernapan
internal fiksasi 11. Bantu latihan rentang gerak pasif (decubitus,atelektasi,pneumonia)
(ORIF) aktif pada ektremitas yang sakit 11. Meningkatkan sirkulasi darah
64

pada ekstremitas yang sakit musculoskeletal, mempertahankan


maupun yang sehat sesuai tonus otot, mempertahankan gerak
keadaan pasien sendi, mencegah kontraktur/atrofi
dan mencegah reabsorbsi kalsium
karna immobilisasi
12. Jelaskan terkait dengan kondisi 12. Mengurangi ansietas dilakukan
immobilisasi traksi immobilisasi
13. Jelaskan prosedur pelaksanaan 13. Mempersiapkan pasien pre op dan
ORIF yang akan dilakukan mengurangi kecemasan pre op
14. Kolaborasi dengan ahli gizi 14. Nutrisi yang memadai untuk proses
untuk pemberian nutrisi penyembuhan tulang dan
mempertahankan fungsi fisiologis
tubuh
65

PEMBAHASAN INTEGRASI EBP (Evidence Based Practice)


Terapi Non Farmakologi dalam Penanganan Diagnosis Nyeri Akut pada
Fraktur : Systematic Review

Berdasarkan hasil analisis yang didapat terdapat terapi non farmakologi dalam
penanganan diagnosis nyeri akut pada fraktur yang satu minggu lagi akan
dilakukan reduksi terbuka dan internal fiksasi (ORIF). Dalam jurnal of islamic
nursing yang berjudul Terapi Non Farmakologi dalam Penanganan Diagnosis
Nyeri Akut pada Fraktur : Systematic Review terdapat 3 penanganan nyeri akut
yang di rasakan oleh pasien fraktur.

Relaksasi Nafas Dalam


Hasil yang didapatkan terdapat 2 jurnal yang menggunakan relaksasi nafas dalam
untuk mengatasi nyeri yang dirasakan oleh pasien fraktur. Hasil penelitian yang
didapatkan menurut dengan hasil relaksasi nafas dalam efektif digunakan untuk
menurunkan skala nyeri yang dirasakan oleh pasien pre maupun post operasi
fraktur. Hal tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh (Leila & Reza,
2018) membuktikan bahwa hasil uji statistik dengan menggunakan uji wilcoxon
didapatkan nilai p-value : 0,001 dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh
teknik relaksasi nafas dalam terhadap nyeri pada pasien fraktur, Relaksasi nafas
dalam dapat memberikan perubahaan yang dirasakan pada oleh tubuh secara
fisiologis yang bersifat emosional serta sensorik. Relaksasi nafas dalam
merupakan salah satu terapi non farmakologi yang mmberikan efek relaksasi yang
dapt menurunkan skala nyeri dengan merangsang susunan saraf pusat yaitu otak
dan sumsum tulang belakang guna untuk memproduksi pengeluaran hormone
edorphine yang membantu untuk menurunkan skala nyeri yang dirasakan oleh
individu. (S.B. AJI, 2015).
Selain menurunkan nyeri pada pasien fraktur relaksasi nafas dalam juga dapat
menurunkan berbagai macam nyeri yang dirasakan oleh pasien misalnya nyeri
yang dirasakan oleh pasien post section Caesar, hal tersebut sejalan dengan
66

penelitian yang dilakukan oleh (Kristiarini, 2013) dengan hasil penelitian yang
didapatkan terdapat pengaruh relaksasi autogenic terhadap penurunan nyeri pada
ibu post section Caesar dengan hasil uji
statistik yang didapatkan yaitu p-value: 0,000.

Kompres Dingin (Cold Pack)


Hasil yang didapatkan terdapat 2 jurnal yang menggunakan teknik non
farmakologi yaitu kompres dingin (Cold Pack) hasil penelitian dari kedua jurnal
tersebut adalah terdapat pengaruh kompres dingin terhadap penurunan skala nyeri
yang dirasakan oleh pasien fraktur. Kompres dingin
(Cold Pack) eektif digunakan untuk menurunkan nyeri yang dirasakan oleh
pasien. Hal tersebut juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh
(E.Purnamasari. 2014) dengan hasil penelitian sebelum diberikan kompres dingin
didapatkan 21 responden dengan nyeri sedang setelah diberikan kompres dingin
terdapat 2 responden yang tidak nyeri dan 19 responden yang nyeri ringan. Hasil
uji statistik didapatkan nilai p-value :0,000 dapat disimpulkan bahwa kompres
dingin efekti digunakan untuk menurunkan nyeri yang dirasakan oleh pasien
fraktur.Kompres dingin merupakan salah satu tindakan keperawatan dan banyak
digunakan untuk menurunkan nyeri. Sensasi dingin yang dirasakan memberikan
efek fisiologis yang dapat menurunkan respon inflamasi, menurunkan alirah
darah, mampu menurunkan edema serta mengurangi rasa nyeri local. Secara
fisiologis, 10-15 menit setelah diberikan kompres dingin terjadi proses
vasokonstriksi dari efek releks otot polos yang dapat timbul akibat stimulasi
system saraf otonom serta mampu menstimulasi pengeluaran hormone
endorphine. (Novita, 2010) Bleakley et al (2007), me;lakukan penelitian terkait
penangan cedera dengan menggunakan es, hasil yang didapatkan yaitu jaringan
lunak yang cedera dapat menurunkan nyeri serta menghilangkan pembengkakan.
Terapi es ini dianjurkan 1-3 hari setelah cedera atau pada saat fase cedera akut.
Selama itu, pembuluh darah disekitar jaringan yang terluka membuka nutrisi dan
cairan masuk ke dalam darah untuk membantu penyembuhan jaringan.
67

Range of Motion (ROM)


Hasil yang didapatkan terdapat 1 jurnal yang menggunakan Range of motion
(ROM) sebagai terapi non farmakologi untuk menurunkan skala nyeri. Hasil
penelitian yang didapatkan ROM efektif digunakan untuk menurunkan skala nyeri
pada pasien post operasi fraktur. Hal tersebut sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh (Yuanik, 2014) didapatkan nilai p-value: 0,000 yang dapat
disimpulkan bahwa ROM Exercise dini pada pasien post operasi fraktur
ekstremitas bawah (fraktur femur dan fraktur cruris) terhadap lama hari rawat.
ROM merupakan upaya pengobatan yang penatalaksanaannya menggunakan
latihan gerak baik secara aktif maupun secara pasif. ROM diberikan untuk
mengatasi gangguan ungsi gerak, mecegah komplikasi, mengurangi nyeri dan
edema dan melatih aktivitas akibat operasi. Rom diberikan pada bagian yang
mudah kontraski dan relaksasi sehingga pasien yang telah menjalani operasi
fraktur tidak mengalami kekakuan otot. (Hendrik, 2012) Penelitian yang
dilakukan oleh Tati (2015) dengan judul pengaruh latihan ROM aktif terhadap
kekuatan otot pada pasien post operasi fraktur tibia, hasil uji statistik dengan
menggunakan Paired sample t-test didapatkan nilai p-value: 0,000 yang dapat
disimpulkan bahwa terdapat pengaruh latihan ROM aktif terhadap kekuatan otot
pada pasien post operasi fraktur tibia.
BAB IV

PENUTUP

A. KESIMPULAN
Otot adalah jaringan peka rangsang. Dalam tubuh manusia terdapat 3 jenis
otot yaitu otot rangka , otot jantung dan otot polos. Terdapat beberapa
perbedaan antara ketiga jenis otot tersebut. Otot rangka biasanya digolongkan
sebagai alat gerak aktif sementara tulang tempat otot melekat disebut alat gerak
pasif.
System musculoskeletal mempunyai sendi mati, sendi kaku dan sendi
gerak. Serta mekanisme kerja otot atau system musculoskeletal dengan cara
berkontraksi dan berelaksasi.
Terdapat beberapa gangguan pada sistem muskuloskeletal diantaranya
dislokasi sendi yaitu cedera yang menyebabkan ujung tulang mengalami
perubahan posisi dari posisi normal dan artikulasi sendi hilang, fraktur adalah
patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik. Kekuatan dan
sudut dari tenaga tersebut, keadaan tulang, dan jaringan lunak sekitar tulang
akan menentukan apakah fraktur yang terjadi itu lengkap atau tidak lengkap,
Osteomyelitis adalah infeksi pada tulang dan medulla tulang baik karena
infeksi piogenikatau non piogenik misalnya mikrobacterium tuberkulosa.
Infeksi ini dapat bersiffat akut maupun kronis.
Cara untuk mencegah terjadinya kondisi yang lebih buruk dari gangguan-
gangguan pada musculoskeletal bisa dengan menggunakan traksi, gips, pasien
bisa melakukan operasi ortopedi yang telah dan benar-benar dianjurkan serta
sesuai indikasi pada gejala atau kondisi yang ditemukan.
B. SARAN
Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam makalah ini,
maka dari itu sebaiknya kritik dan saran yang membangun sangat diperlukan.

68
DAFTAR PUSTAKA

Insani, U & Risnanto (2014). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Medikal Bedah
(Sistem Muskuloskeletal. Yogyakarta: Deepublish.
Kartika, K,T,P., Subawa, I,W., Wiguna, I,N,A,A. (2018). Profil kasus Fraktur
Leher Femur yang Dilakukan Tindakan Operasi di RSUP Sanglah Denpasar
Periode Maret 2016- Agutsus 2017. E- Journal Medika, Vol.7 No.12. DOAJ
[online] tersedia:
https://ojs.unud.ac.id/index.php/eum/article/download/44355/26948
Diakses pada tanggal 27 November 2020
Noor, Zairin. 2020. Buku Ajar Gangguan Muskuloskeletal. Jakarta: Salemba
Medika.
Risnanto dan Uswatun Insani. 2014. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Medikal
Bedah: Sistem Muskuloskeletal ed. 1. Yogyakarta: Deepublish.
Suratun, Heryati, Santa Manurung, Een Raenah. 2008. Klien Gangguan Sistem
Muskuloskeletal: seri asuhan keperawatan. Jakarta: EGC.
Factor Ferdinand & Moekti Ariebowo. 2007. Praktisi Belajar Biologi. Jakarta:
Visinso Media Persada.
Price S. A, Willson L,M. 2006. Patofisilogi: konsep klinis proses-proses penyakit
E/6, Vol 2. Jakarta: Buku kedokteran EGC
Kowalak J.P, Welsh, W. Mayer, B. 2013. Buku ajar patofisiologi. Jakarta: Buku
kedokteran EGC
Asrizal, R.A. 2014. Fraktur tertutup 1/3 tengah fremur dextra. Jurnal Medula,
Volume 2, Nomor 3, Maret 2014.
Bachtiar, S.M. 2018. Penerapan askep pada pasien ny. Y dengan post operasi
fraktur femur dextra dalam pemenuhan kebutuhan aktivitas. Jurnal Media
Keperawatan: Politeknik Kesehatan Makassar Volume 09, Nomor 02,
2018.
Brunner, S. (2001). “Buku Ajaran Keperawatan Medical Bedah”. Jakarta: EGC
Sholihah, S. (2018). “Analisis Faktor yang Mempengaruhi Pengambilan
Keputusan pada Pasien Ceddera Muskuloskeletal yang Memilih Berobat

69
70

ke Sangal Putung Berdasarkan Pendekatan Teori Health Belief Model”.


Fakultas Keperawatan. Universitas Airlangga. Surabaya.
Nurarif. A.H dan Kusumma. H. (2015). Aplikasi Asuhan Keperawatan
Berdasarkan Diagnosa Medis & Nanda NIC-NOC. Jogjakarta: Mediaction
Suratun. Dkk. (2008). Klien Gangguan Sistem Muskuloskeletal: Seri Asuhan
Keperawatan. Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai