Anda di halaman 1dari 206

i

ii

Sanksi Pelanggaran Pasal 72


Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang HAK CIPTA
1. Barangsiapa dengan sengaja melanggar dan tanpa hak
melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat
(1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) di pidana dengan pidana
penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau
denda paling sedikit Rp.1.000.000,00 (satu juta rupiah) atau
pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda
paling banyak Rp.5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan,
mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau
barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau hak terkait sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling
lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)
iii

Dr. Rimba Hamid, M.Si

Diterbitkan oleh
Penerbit Nas Media Pustaka
Makassar, 2018
iv

Dr. Rimba Hamid, M.Si


- Makassar : © 2018

Layout : Nas Media Creative


Design Cover : Nas Media Creative

Copyright © Rimba Hamid 2018


Hak cipta ada pada Penerbit Nas Media Pustaka
All right reserved

Cetakan Pertama, April 2018

Diterbitkan oleh Penerbit Nas Media Pustaka


CV. Nas Media Pustaka
Anggota IKAPI
Jl. Batua Raya No. 550 Makassar 90233
Telp. 0811-43222-71 / 0853-6363-5252
redaksi@nasmediabooks.com
www.nasmediapustaka.co.id
www.nasmediabooks.com
Instagram : @nasmediapustakapenerbit
Fanspage : Penerbit Nas Media Pustaka

Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)

Rimba Hamid.
Katalisme Dalam Pembelajaran Sains / Rimba Hamid;
–cet. I –Makassar : Nas Media Pustaka, 2018.
xvi + 190 hlm; 15,5 x 23 cm
ISBN 978-602-5662-18-8

I. Buku Pendidikan II. Judul


899.221 1

Dicetak oleh Percetakan CV. Nas Media Pustaka, Makassar


Isi di luar tanggung jawab percetakan
v

SAMBUTAN PENERBIT

Assalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Sebuah Keberkahan syukur kehadirat Allah Azza wa Jalla


yang memberikan akal pikiran pada tiap diri manusia sehingga
terbentuklah kesadaran akan pentingnya ilmu pengetahuan, dan
terucap salam serta sholawat tercurahkan teruntuk Nabi
Muhammad Sallallahu Alaihi Wassalam, suri tauladan ummat
manusia sebagai cermin pembentuk peradaban yang didalamnya
tergoreskan nilai-nilai kemanusiaan.

Katalisme dalam Pembelajaran Sains karya Dr. Rimba


Hamid, M.Si adalah buku yang di susun dengan begitu rinci,
detail dan lengkap. Menyajikan tema yang sangat kuat dan
bersandar pada data dan kaya akan literatur teori, sehingga sangat
baik menjadi refensi bagi khalayak banya dalam mempelajari
bahasan tentang katalisme dalam pembelajaran sains.

Semoga buku ini bermanfaat untuk kemajuan pendidikan


di Indonesia, terkhusus para akademisi, peneliti dan mahasiswa
vi

yang ingin memperdalam literatur terkait katalisme dalam


pembelajaran sains.

Akhirul Qalam.

Makassar, April 2018

Nur Amin Saleh,S.Psi.,M.H


Founder Nas Media Pustaka
vii
viii

PROLOG
Dewasa ini sangat banyak pilihan model pembelajaran
yang dapat diajadikan sebagai alternatif oleh guru dalam
menyelenggara-kan suatu proses pembelajaran. Menetapkan
suatu model pembelaja-ran yang tepat pada suatu konsep yang
diajarkan bukanlah pilihan mudah bagi guru.

Pertimbangan tersebut paling tidak didasarkan pada dua


aspek utama, yakni: 1) karaketristik materi atau konsep yang akan
diajarkan dan 2) karakteristik peserta didik yang akan belajar.

Di dalam kurikulum 2013 menyarankan tradisi


pembelajaran dengan beberapa model seperti: discovery learning,
inquiry learning, problem based learning dan project based
learning serta model lainnya yang berbasis konstruktivisme,
dimana pendekatan saintifik 5M (Mengamati, Menanya,
Mencoba, Menalar, dan Mengkomunika-sikan) bukanlah satu-
satunya metode saat mengajar dan apabila digunakan maka
susunannya tidak harus berurutan. Melalui beberapa tahapan
revisi, maka kurikulum 2013 tidak lagi berorientasi produk
pembelajaran tetapi pada prosesnya yakni mengintegrasikan
ix

Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) di dalam pembelajaran.


Karakter yang diperkuat terutama 5 karakter, yakni: religious,
nasionalis, mandiri, gotong royong, dan integritas.
Mengintegrasikan literasi; keterampilan abad 21 atau dengan
istilah 4C (Creative, Critical thinking, Communicative, dan
Collaborative. Menginteg-rasikan HOTS (Higher Oreder
Thinking Skill).

Mengacu pada dimensi pengetahuan menurut Anderson


dan Krathwohl, 2001 bahwa pengetahuan itu dibagi menjadi
empat, yakni: 1) pengetahuan faktual; 2) pengetahuan konseptual;
3) pengetahuan prosedural; dan 4) pengetahuan meta-kognitif,
maka guru perlu melihat varian dimensi pengetahuan ini dalam
memilih model, pendekatan, strategi, metode maupun teknik
pembelajaran yang bersesuaian.

Model pembelajaran merupakan suatu representasi


mekanistik dengan tahapan/sintaks yang meniru atau beranalogi
dengan sistem atau konsep tertentu dan diadopsi menjadi tahapan
pembelajaran yang bertujuan pada efektifitas dan efisiensi suatu
proses pembelajaran dalam pencapaian tujuan yang telah
ditetapkan.

Muatan utama buku ini sebagaimana yang dipaparkan


pada Bab V mengajukan suatu model pembelajaran berbasis
mekanisme katalisis beserta tahapannya dalam sebuah reaksi
kimia. Melalui analogi tahapan katalisme reaksi inilah yang
x

menjadi dasar mendesain sebuah langkah-langkah pembelajaran


dengan paradigma konstruktivis.

Penulis berharap bahwa buku ini dapat menjadi bacaan


yang dapat mengilhami para guru dalam menemukan model
pembelajaran alternative dari model-model pembelajaran yang
selama ini ada.

Berkaitan dengan hal tersebut, usulan model pembelajaran


ini dapat segera divalidasi melalui uji coba terbatas dengan
penelitian-penelitian di tingkat mahapeserta didik, sehingga
model ini dapat setara dengan model-model pembelajaran
lainnya.

Membaca buku ini diharapkan juga akan memberi


kontribusi pada perubahan paradigma pembelajaran menuju basis
tradisi konstruktivis. Khususnya bagi guru sains yang akan
menambah pemahamannya dalam hal model mental, perubahan
konseptual, dan pengaturan awal (advanced organizer), sehingga
dengan memahami aspek-aspek tersebut diharapkan dapat
menambah kemampuan guru mengekplorasi kemampuan
konseptual peserta didik dalam mengonstruksi pengetahuannya.

Kendari, April 2018

Rimba Hamid
xi

DAFTAR ISI
SAMBUTAN PENERBIT ................................................ v
PROLOG .......................................................................... vii
DAFTAR ISI .................................................................... xi

BAB 1 KATALISATOR: PERAN INTEGRATIF


GURU ..................................................................... 1

BAB 2 HAKIKAT SAINS DAN IMPLIKASINYA


DALAM PEMBELAJARAN ............................... 19
A. Desain Konseptual Pembelajaran Berbasis NOS 25
B. Karakteristik Sains Sebagai Inti Pembelajaran .... 32
C. Kedudukan Produk Sains Dalam Pembelaran
IPA ..................................................................... 48

BAB 3 KONSTRUKTIVISME DAN PEMBELAJARAN


SAINS .................................................................... 53
A. Awal dari Teori Pembelajaran Konstruktivisme . 56
B. Konstruktivisme Individual ................................ 59
C. Konstruktivisme Sosial ....................................... 61
D. Konstruktivisme Afilosofis ................................. 63
E. Konstruktivisme dalam Pembelajaran Sains ....... 67
xii

BAB 4 KATALISME DALAM BERBAGAI


PERSPEKTIF ....................................................... 109
A. Katalisme dalam Perspektif Kimia ..................... 110
B. Katalisme dalam Perspektif Motivasi ................. 115
C. Katalisme dalam Perspektif Pembelajaran .......... 133

BAB 5 OPTIMALISASI PERAN KATALITIK


GURU DALAM PEMBELAJARAN SAINS ...... 143
A. Peran Guru dalam Pembelajaran ......................... 143
B. Refleksi Peran Katalis dalam Konteks
Pembelajaran ...................................................... 151
C. Transformasi Siklus Katalitik sebagai Model
Pembelajaran Alternatif ...................................... 154

BAB 6 DESAIN PEMBELAJARAN BERORIENTASI


PERAN KATALIS GURU ................................... 163
A. Alternatif Strategi berdasarkan Perspektif Piaget
dan Ausubel ........................................................ 163
B. Constructivist-Oriented Science Classroom ....... 167
C. Constructivist Teaching Sequences (CTS) .......... 169

DAFTAR PUSTAKA ....................................................... 177


BIODATA PENULIS ....................................................... 185
xiii

DAFTAR TABEL
1. Kategoru komponen_komponen NOS .................... 24
2. Rancangan desain aktivitas guru dan peserta didik
berbasis NOS .......................................................... 26
3. Pandangan konstruktivisme sosial terhadap
Pengetahuan dan belajar ......................................... 62
4. Peran guru berdasarkan tingkat satuan pendidikan .. 148
5. Sintaks model pembelajaran katalis ........................ 158
6. Alternatif strategi pembelajaran berdasarkan
perspektif Piaget dan Ausubel ................................. 163
7. Tahapan pembelajaran beserta aktivitas guru dan
peserta didik dalam pembelajaran ........................... 171
xiv

DAFTAR GAMBAR
1. Ilustrasi sub-sub peran guru dalam melaksanakan
peran Utamanya sebagai katalis .............................. 9
2. Persamaan pengajaran (PP) ..................................... 15
3. Persamaan pembelajaran berbasis peran guru
sebagai katalisator ................................................... 17
4. Tahapan metode ilmiah ........................................... 37
5. Struktur dasar dari rangkaian pengajaran
konstruktivis ........................................................... 69
6. Diagram representasi pandangan konstruktivis
tentang proses pembelajaran ................................... 73
7. Proses perkembangan mental seseorang dalam
Mencapai equilibrasi ............................................... 86
8. Siklus belajar mengintegrasikan tiga fase
pembelajaran: eksplorasi, penemuan konseptual dan
aplikasi konsep ....................................................... 88
9. Perspektif teori Piaget mengenai perkembangan
Kognitif anak .......................................................... 91
10. Atribut pembelajaran bermakna .............................. 94
11. Ilustrasi kontinum yang berbasis pada produksi
kreatif yang dihasilkan dari perkembangan
bermakna dengan tingkat yang tinggi ..................... 97
12. Ilustrasi perubahan struktur peserta didik dengan
adanya Informasi baru ............................................ 99
13. Zone of Proximal Development .............................. 106
14. Siklus katalis dan tahap-tahap dasarnya .................. 109
xv

15. Proses katalisasi menurunkan energi aktivasi


dengan menempuh tahap reaksi yang berbeda ........ 111
16. Profil pengaruh katalis dalam reaksi kimia ............. 113
17. Peran guru sebagai katalis dalam menghantar
peserta didik memanjat tangga scaffolding ............. 149
18. Reflektif siklus katalis dalam pembelajaran sains ... 155
19. Fase pembelajaran berbasis katalisme ..................... 158
xvi
Katalisme Dalam Pembelajaran Sains 1

1 KATALISATOR:
PERAN INTEGRATIF GURU

Dalam sebuah proses pembelajaran, peran guru sangatlah


variatif, mulai dari peran sebagai motivator dan inspirator pada
kegiatan pendahuluan, fasilitator pada kegiatan inti, atau dapat
menjadi konfirmator dan evaluator di akhir pembelajaran. Lalu
apakah kita membutuhkan seorang guru yang pintar atau guru
yang baik. Sebuah pepatah Tiongkok mengatakan bahwa “Guru
yang pintar adalah yang mengajarkan ilmu, tetapi guru yang baik
adalah menginspirasi”.
Ketika mekanisme proses “pencarian” ilmu oleh seorang
peserta didik sedang berlangsung, maka paling tidak terdapat
dua pertanyaan yang paling esensial yang harus dilontarkan,
yakni: 1) di manakah sesungguhnya pengetahuan yang sedang
dicari oleh peserta didik? 2) bagaimanakah cara memperoleh dan
membangunnya; dan 3) peran-peran apakah yang seharusnya
2 Dr. Rimba Hamid, M.Si

guru harus lakoni pada saat terlibat dalam mekanisme proses


pembelajaran tersebut?
Berbagai teori yang menjadi dasar pendekatan lahirnya
aplikasi-aplikasi paket pembelajaran yang dikemas dalam desain
yang sangat apik telah diterapkan di dalam kelas, khsusnya kelas
sains. Akan tetapi efektivitas dan efisiensi pembelajaran belum
sepenuhnya memenuhi harapan banyak kalangan. Hal ini
menunjukkan bahwa masih terdapat aspek-aspek substansial
yang belum tersentuh, atau bahkan hingga akhir jaman
kompleksitas mengenai persoalan pembelajaran mungkin belum
akan terselesaikan secara komprehensif.
Buku ini secara mendalam akan mengulas sebuah peran
alternatif guru yang belum banyak diaplikasikan yakni sebagai
katalisator beserta sintaksis (langkah-langkah operasional)
pembelajaran yang mengadopsi siklus proses katalisis dalam
reaksi kimia. Analogi ini dipilih untuk digunakan sebagai suatu
model dalam pembelajaran, karena mekanisme proses katalisasi
dalam suatu reaksi kimia memiliki “kemiripan” dengan
mekanisme proses penemuan dan konstruksi pengetahuan baru
sebagai produk berpikir peserta didik dalam proses
pembelajaran, di mana guru sebagai katalisnya.
Para peserta didik yang datang ke kelas untuk belajar
memiliki rentang pengetahuan awal yang variatif dari apa yang
telah diketahuinya sebagai pengetahuan awal atau model mental,
Katalisme Dalam Pembelajaran Sains 3

dari keterampilan yang telah dimilikinya, dan dari kepercayaan


serta sikap atau pendirian, yang berpengaruh terhadap
bagaimana mengasimilasi, mengakomodasi, menafsirkan dan
mengelola informasi baru yang diterimanya sebagai suatu
pengetahuan yang baru.
Kondisi tersebut akan memiliki pengaruh terhadap
bagaimana peserta didik memproses dan mengintegrasikan
informasi yang baru, yang pada gilirannya akan mempengaruhi
cara mereka mengingat kembali, berpikir, menerapkan, dan
menciptakan pengetahuan baru. Hal ini disebabkan karena
pengetahuan dan keterampilan baru tergantung pada
pengetahuan dan keterampilan yang telah ada sebelumnya, maka
mengetahui apa yang peserta didik ketahui dan dapat lakukan
sebelum memulai topik yang baru dari suatu pelajaran, dapat
membantu guru untuk mendesain aktivitas pembelajaran yang
memungkinkan membangun kekuatan peserta didik dan
mengungkapkannya serta menetapkan kelemahannya (Mellon,
2015).
Berdasarkan perspektif di atas, tentu saja guru harus
mengubah paradigmanya dalam memposisikan diri sebagai
sosok yang membatu atau memfasilitasi peserta didik dalam
membangun pengetahuannya. Peran sentral yang harus dilakoni
oleh guru adalah menjadi katalisator dalam proses penemuan
dan konstruksi pengetahuan oleh peserta didik.
4 Dr. Rimba Hamid, M.Si

Dalam konteks peran sebagai katalisator tersebut, guru


harus memulai sub perannya sebagai inisiator bagi terciptanya
suasana yang memudahkan bagi peserta didik untuk memulai
aktivitas pembelajaran dalam rangka pengaturan awal (advance
organizer) sehingga dapat memetakan titik-titik awal sebagai
starting point untuk memulai proses membantu penemuan dan
konstruksi pengetahuannya. Di sisi lain, sub peran sebagai
motivator juga harus melebur dalam kegiatan awal pembelajaran
untuk merangsang peserta didik dalam belajar agar energi yang
harus dikeluarkan oleh guru dalam proses inisiasi semakin kecil,
karena ketertarikan peserta didik pada materi yang akan
dijelaskan oleh guru. Kondisi ini semakin tercipta ketika guru
dapat memainkan sub peran tambahan sebagai seorang
inspirator, yang dengannya peserta didik memiliki figur
inspiratif karena mampu menginspirasi pemikiran-pemikiran
awal peserta didik untuk menjadi dasar perkembangan
konstruksi pengetahuan yang diperoleh berikutnya.
Fungsi utama guru sebagai katalisator adalah
menurunkan “energi aktivasi” (faktor-faktor penghambat) dalam
diri peserta didik untuk memperoleh pengetahuan yang akan
dikonstruksinya secara bertahap. Pada tahap ini, guru harus
dapat mengidentifikasi tahapan-tahapan proses memperoleh
pengetahuan dari bahasan materi yang akan dijelaskannya sesuai
dengan karakteristiknya. Prinsip utama dalam suatu tahapan
Katalisme Dalam Pembelajaran Sains 5

mekanisme reaksi dalam mencapai produk adalah jika dalam


proses tersebut terdapat beberapa tahapan-tahapan reaksi, maka
tahap yang menentukan adalah tahap lambatnya. Karena itu,
guru selanjutnya harus dapat menetapkan pada bagian mana dari
tahapan perolehan pengetahuan tersebut yang merupakan
tahapan lambat, dan identifikasi tahap lambat ini membutuhkan
kecermatan guru.
Sub peran selanjutnya yang harus dimainkan oleh guru
dalam pembelajaran, khususnya dalam kegiatan inti adalah
sebagai fasilitator, di mana pada titik ini guru harus mampu
menfasilitasi peserta didik dalam merangkai dan merajut
pengetahuan baru yang diperolehnya dengan pengetahuan awal
yang telah dimilikinya dalam serangkaian proses akomodasi
maupun asimilasi pengetahuan untuk mencapai kondisi
equilibrasi pemahaman. Pada fase ini guru dituntut untuk dapat
memfasilitasi semua karakteristik peserta didik yang sangat
beragam dalam perolehan pengetahuan. Karakteristik ini antara
lain, yakni: pengalaman, pengetahuan awal, gaya belajar,
motivasi, sikap, kemampuan berpikir kritis dan kreatif, serta
sejumlah faktor lainnya yang turut mentukan bagimana
terjadinya dinamika proses belajar mengajar di dalam kelas. Hal
ini pula yang akan mempengaruhi efektivitas peran guru sebagai
fasilitator.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Hamid, 2017
menunjukkan bahwa memfasilitasi pemikiran peserta didik
6 Dr. Rimba Hamid, M.Si

secara bertahap pada konsep induksi magnet melalui fenomena-


fenomena baru yang bersesuaian dapat meningkatkan jumlah
peserta didik yang meimiliki perubahan berpikir dalam kategori
“lebih progressif” yang teramati dari perubahan model mental
yang dimilikinya. Selain itu, fakta lain dari proses fasilitasi
tersebut data menunjukkan bahwa tidak semua peserta didik
memiliki pemikiran yang konsisten dan progressif, akan tetapi
juga terdapat peserta didik yang berpikir lebih acak.
Sebagai seorang mediator, guru hendaknya dapat
menyediakan atau memberikan kegiatan-kegiatan yang
merangsang keingintahuan peserta didik dan membantu
memediasinya untuk mengekspresikan gagasan-gagasan dan
mengomunikasikan ide ilmiah mereka, serta menyediakan sarana
yang merangsangnya berpikir secara kritis dan kreatif sehingga
memiliki kesempatan dan pengalaman yang paling mendukung
proses perkembangan kognitifnya. Di sisi lain yang tak kalah
pentingnya adalah guru perlu menyediakan pengalaman konflik
untuk menginisiasi pertumbuhan struktur kognitif peserta didik.
Dalam konteks transmiter, maka guru harus berperan
sebagai penyalur pengetahuan yang dapat mengubah kerumitan
pemahaman suatu pengetahuan kepada interpretasi pengetahuan
yang lebih spesifik dan lebih mudah dipahami oleh peserta didik
melalui suatu proses transformasi. Hal inilah yang sering kita
ketahuai dari pernyataan bahwa guru yang baik adalah yang
Katalisme Dalam Pembelajaran Sains 7

mampu menyederhanakan yang sulit, dan membuat sesuatu yang


abstrak menjadi konkrit (analogi pada fungsi transmitter yang
mengubah sinyal yang diterima dari sensor menjadi sinyal
standar).
Sarana yang dapat digunakan oleh guru dalam
memfasilitasi varian-varian karakter ini antara lain dengan
mendesain lembar kegiatan peserta didik (LKPD) yang interaktif
dalam membangun pengetahuan dan melibatkan keterampilan
proses sains peserta didik, atau mungkin dengan forum tanya
jawab dan diskusi untuk mengeksplorasi kemampuan lainnya
dalam belajar.
Sub peran berikutnya yang tak kalah penting bagi guru
adalah sebagai konfirmator dan evaluator pada fase akhir
pembelajaran yang berfungsi untuk mengevaluasi dan
menunjukkan apakah pemikiran peserta didik berkembang atau
tidak. Guru sedapat mungkin menunjukkan dan
mempertanyakan apakah pengetahuan itu dapat digunakan untuk
menghadapi persoalan baru yang berkaitan atau memiliki
hubungan (konteks berbeda). Mengevaluasi hipotesis dan
kesimpulan peserta didik adalah hal yang sangat penting, karena
guru perlu mengonfirmasi untuk mengetahui sejauh mana
rangkaian perkembangan pengetahuan yang telah dimiliki oleh
peserta didik pada sebuah proses pembelajaran yang telah
berlangsung melalui suatu evaluasi produk akhir pengetahuan.
Pada titik ini, guru harus dapat mengidentifikasi secara kasar
8 Dr. Rimba Hamid, M.Si

mengenai produk-produk pengetahuan baru apa yang telah


menjadi pemahaman akhir dari masing-masing atau kelompok
peserta didik mengenai suatu konsep yang diajarkan oleh guru.
Hal ini dapat dilakukan oleh guru melalui teknik-teknik
penilaian yang ada sesuai dengan karakteristik pemahaman yang
akan dinilai. Akhirnya sebagai seorang guru, yang tidak hanya
mengajarkan ilmu, tetapi juga harus berperan sebagai edukator
yang menekankan pada perubahan sikap dan perilaku (karakter)
peserta didik, khususnya dalam menghargai pendapat dan ide
peserta didik lainnya yang berbeda, serta menuntunnya untuk
senantiasa memiliki rasa ingin tahu yang lebih besar pada masa
yang akan datang, sehingga mereka akan terpicu secara mandiri
untuk memperoleh pengetahuan baru meskipun bukan dari
gurunya lagi, melainkan dari sumber belajar lainnya yang
tersedia di lingkungan sosial dan budaya di mana mereka
tinggal. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh L.
Ron Hubbard bahwa "Edukator sejati menempatkan kecerdasan
dan kemampuan di dalam kemampuan yang lainnya, sebagai
gambaran untuk semua orang, bahkan muridnya, untuk
menyaksikan. Kemudian melangkah keluar, yang
memungkinkan untuk mengembangkan, menciptakan, dan
mengejar bakat mereka (Jackson, 2012)" Pada fase ini guru
melepaskan diri dari proses pengembangan pengetahuan peserta
didik di lingkungannya.
Katalisme Dalam Pembelajaran Sains 9

Secara umum dapat dikatakan bahwa dari seluruh peran-


peran guru yang telah dijelaskan di atas, maka pada dasarnya
peran utama guru dalam proses pembelajaran sesungguhnya
adalah sebagai “Katalisator”, dan dalam peran besar inilah guru
memiliki sub-sub peran, yakni: pada kegiatan awal dapat
melakoni sub peran sebagai inisiator, motivator, maupun sebagai
inspirator. Pada kegiatan inti guru dapat menjalankan perannya
sebagai fasilitator, transmitter, atau sebagai mediator dalam
perolehan pengetahuan. Pada kegiatan akhir, sub peran guru
adalah sebagai konfirmator dan evaluator untuk mengetahui
produk akhir dari pengetahuan yang telah dimiliki oleh peserta
didik. Keterlibatan masing-masing peran tersebut pada setiap
tahapan pembelajaran dapat diillustrasikan seperti pada Gambar
1.
Peran Guru sebagai Katalisator Pembelajaran

INISIATOR
Fase MOTIVATOR
Awal
INSPIRATOR

FASILITATOR
Fase TRANSMITER
Transisi
MEDIATOR

KONFIRMATOR
Fase EVALUATOR
Akhir
EDUKATOR

Gambar 1. Illustrasi Sub-sub peran guru dalam melaksanakan


peran utamanya sebagai katalisator
10 Dr. Rimba Hamid, M.Si

Peran guru sebagai katalisator merupakan akumulasi dari


beberapa sub-sub peran yang sangat substansial, dan untuk
mewujudkan peran ini secara optimal tentu saja tantangan
besanya akan muncul jika tanpa adanya pelatihan in-service
yang praktis, sehingga para guru tidak dapat menjadi katalisator
yang efektif dalam melaksanakan perannya. Bukan hanya itu,
peran guru ini juga akan lebih optimal jika ditunjang oleh
keterlibatan orang tua ketika peserta didik kembali ke
lingkungan masyarakat dan keluarga. Hal ini sejalan dengan apa
yang dikemukakan oleh Fullan dan Stiegelbauer (1991: 231)
dalam Skosana dan Moyai (2013) bahwa bukan hanya agen guru
katalitik yang sangat penting dalam transformasi dan
implementasi kurikulum tetapi juga keterlibatan orang tua
sampai ke tingkat kelas.

Mongonfirmasi hal tersebut, kesimpulan dari hasil


penelitian Skosana dan Moyai (2013) mengenai “The Teacher as
a Catalytic Agent in the Implementation of the Curriculum”
menemukan bahwa pada kebanyakan sekolah di kota kecil di
Afrika, guru tampaknya mengajar, peserta didik belajar tapi
standar penilaian, hasil belajar dan hasil kritis tidak dicapai,
disebabkan karena guru berperan bukan sebagai katalis dalam
mendorong kurikulum di kelas mereka, misalnya menggunakan
sumber daya yang relevan seperti grafik, surat kabar atau benda
konkret untuk meningkatkan pengajaran dan pembelajaran di
Katalisme Dalam Pembelajaran Sains 11

kelas. Pengajaran dan pembelajaran di kelas tidak dibuat


menarik dan praktis seperti yang ditentukan oleh Kebijakan
Kurikulum dan Penilaian. Konsekuensinya adalah peserta didik
tidak siap untuk dapat secara bermakna mengingat fakta agar
pembelajaran lebih efektif yang dapat dilakukan sesuai potensi
optimal mereka sebagimana rekan-rekan mereka di sekolah-
sekolah yang ada di kota. Kondisi ini juga diperparah dengan
tidak adanya pemantauan dan dukungan yang efektif dari pejabat
kabupaten untuk memastikan bahwa guru mengajar sesuai
dengan pedoman dan edaran kebijakan yang ditetapkan oleh
Departemen Pendidikan.

Jika dibandingkan dengan apa yang sedang diupayakan


oleh pemerintah dewasa ini, yakni penyelenggaraan pendidikan
profesi guru (PPG) oleh perguruan tinggi / LPTK yang telah
memenuhi syarat dan ditunjuk oleh Menteri. Paradigma
keguruan terkini yang dituangkan dalam Permenristekdikti RI
No. 55 Tahun 2017 tentang Standar Pendidikan Guru pada pasal
1 ditegaskan bahwa: “Guru adalah pendidik profesional dengan
tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan,
melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada
pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan
dasar, dan pendidikan menengah” dengan proses pendidikannya
mengacu pada pasal 4 ayat 3 yang menyatakan bahwa:
“Pendidikan Guru bersifat nasional dan bertujuan untuk
menghasilkan guru sebagai pendidik profesional yang nasionalis
12 Dr. Rimba Hamid, M.Si

dan memiliki wawasan global sesuai dengan kebutuhan nasional,


lokal, dan / atau perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi,
dan seni”

Jika konsep keguruan di atas dikonfirmasi dengan


Kerangka Konseptual Guru dalam konteks Katalis dari Unit
Pendidikan Guru di West Liberty University Amerika (2015)
yang memilih metafora "The Teacher as Catalyst" sebagai tema
pemersatu untuk menentukan kerangka konseptual bagi program
pendidikan guru. Sebagai struktur pengorganisasian untuk basis
pengetahuan profesional guru sebagai katalisator, Unit
Pendidikan Guru menciptakan tujuan dan hasil program yang
spesifik, yakni:

1. Kandidat guru akan menunjukkan penguasaan di bidang


konten materi.
a. Bukti kompetensi standar isi nasional.
b. Bukti kompetensi standar teknologi nasional.
c. Secara akurat menyampaikan konten dalam mengajar.

2. Kandidat guru secara positif akan mempengaruhi hasil


belajar.
a. Merancang dan menerapkan berbagai penilaian formatif.
b. Merancang dan menerapkan berbagai penilaian sumatif.
c. Membuat hubungan yang bermakna antara tujuan,
instruksi, dan hasil penilaian.
Katalisme Dalam Pembelajaran Sains 13

d. Menggunakan hasil penilaian untuk menginformasikan


instruksi.
3. Kandidat guru akan berkolaborasi dengan peserta didik,
orang tua, masyarakat, dan kolega untuk menginspirasi
perubahan positif.
a. Menunjukkan komunikasi yang efektif dengan keluarga.
b. Terlibat dalam upaya penjangkauan masyarakat di
sekolah.
c. Berpartisipasi dalam proyek dan inisiatif di wilayah /
masyarakat yang lebih luas.
d. Berpartisipasi dalam peluang pengembangan profesional
di tingkat universitas, regional, negara bagian, nasional,
dan / atau internasional.
4. Kandidat guru akan memanfaatkan penelitian terkini untuk
merancang instruksi efektif dalam Kerangka Abad 21.
a. Memasukkan prinsip-prinsip desain instruksional
berbasis penelitian yang efektif (Understanding
Backward Design and Universal Design for Learning).
b. Secara aktif melibatkan peserta didik dalam kemampuan
berpikir kritis tingkat tinggi.
c. Mengevaluasi dan memilih teknologi tepat guna dan alat
instruksional berdasarkan faktor kontekstual.
14 Dr. Rimba Hamid, M.Si

5. Kandidat guru akan merespon beragam kebutuhan peserta


didik.
a. Menerapkan pengetahuan perkembangan anak dan remaja
terhadap desain instruksional.
b. Mengidentifikasi berbagai perbedaan budaya, sosio-
ekonomi, dan rasial yang dapat mempengaruhi interaksi
dan pembelajaran peserta didik.
c. Mengidentifikasi berbagai jenis kelamin, kekhasan, dan
perbedaan bahasa yang dapat mempengaruhi interaksi
dan pembelajaran peserta didik.

6. Kandidat guru akan terlibat dalam pengembangan


lingkungan kelas yang positif dan berbasis pada peserta
didik.
a. Membuat rencana disiplin kelas yang positif.
b. Menerapkan pengetahuan tentang berbagai teknik
motivasi untuk meningkatkan keterlibatan peserta didik.
c. Menggunakan teknik komunikasi yang efektif untuk
mempromosikan komunitas kelas yang terhormat.
d. Merefleksikan semua aspek pengajaran yang
berkontribusi pada lingkungan kelas peserta didik yang
positif dan berbasis peserta didik. Aspek ini meliputi
pengajaran, penilaian, manajemen kelas, dan interaksi
peserta didik dan orang tua.
Katalisme Dalam Pembelajaran Sains 15

7. Kandidat guru secara efektif akan memanfaatkan teknologi


pembelajaran dalam mengajar.
a. Mengidentifikasi, membandingkan, menggunakan, dan
menggabungkan berbagai jenis teknologi pendidikan
yang tersedia.
b. Menanamkan teknologi sebagai komponen penting dalam
perencanaan pembelajaran.
c. Merancang pelajaran dengan menggunakan teknologi
tepat guna seperti papan tulis interaktif, penanggap
tangan pribadi, dan / atau teknologi terkait lainnya.

Secara lebih spesifik, bagaimana proses katalitik yang


harus diperankan oleh guru telah diusulkan oleh Rogerson dan
Comicz, 2014 dalam bentuk “Persamaan Pengajaran” seperti
Gambar 2 berikut:

Student + Engagement +Motivation Lifelong Learning


Catalytic Teaching

Gambar 2. Persamaan Pengajaran (PP)

Model ini menyamakan pendidik dengan katalisator yang


mempromosikan dan mempercepat laju pembelajaran dalam
sebuah kelas. Selanjutnya, tiga pendekatan praktis disarankan
agar mendukung guru untuk menerapkan Persamaan Pengajaran
(PP) di dalam kelas mereka. Berdasarkan PP di atas, dapat
dijelaskan bahwa sebuah pembelajaran dengan perspektif
16 Dr. Rimba Hamid, M.Si

katalitik, wajib melibatkan motivasi secara terintegrasi dengan


karakteristik peserta didik, dan tentu saja motivasi ini sangat
berkaitan dengan konten materi yang akan dijelaskan oleh guru
dalam sesi pembelajaran tersebut.

Pendekatan katalitik ini selaras dengan keterlibatan,


motivasi dan elemen pembelajaran sepanjang hayat sesuai
dengan persamaan pengajaran pada Gambar 1, untuk
memastikan bahwa praktik pengajaran yang positif (diinisiasi
oleh guru dengan melibatkan motivasi peserta didik sebagai zat
pemicu) dapat dilaksanakan di setiap tahap pembelajaran. Oleh
karena itu, konsekuensi dari pendekatan ini adalah guru harus
memiliki pemahaman yang memadai, minimal dari dua aspek
utama, yakni: 1) cara mengaplikasikan teori-teori pembelajaran
yang berbasis konstruktivis individual maupun konstruktivis
sosial, dan 2) menguasai secara mendalam konten materi yang
akan diajarkan.

Fenomena yang jamak dijumpai di sekolah-sekolah,


khususnya di tingkat dasar, bahwa banyak guru belum mampu
merancang pembelajaran secara utuh, disebabkan karena selain
kurangnya kemampuan memahami konsep secara luas, juga
disebabkan karena kurangnya perspektif teori-teori dan
pendekatan belajar yang mereka miliki untuk diaplikasikan
dalam kelas. Sebagai solusi pragmatis, mereka lebih memilih
mencari RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran) yang telah
Katalisme Dalam Pembelajaran Sains 17

ada di internet dan mengunduhnya atau meminjam dari rekan


guru lainnya, tanpa perlu mengetahui dasar-dasar pertimbangan
lahirnya RPP tersebut. Misalnya mengapa menggunakan
pendekatan, startegi, metode atau model pembelajaran tertentu
untuk mengajarkan materi yang bersangkutan?

Bagaimanakah seharusnya guru memosisikan diri dalam


persamaan pembelajaran tersebut dan apakah hakikat peran
katalitik guru dalam pembelajaran IPA dengan pendekatan
mekanisme katalisis pada reaksi kimia? Pembahasan mengenai
hal tersebut akan diuraikan secara khusus dalam bagian akhir
buku ini. Akan tetapi, penulis perlu memperkenalkan lebih awal
pada bagian pendahuluan buku ini mengenai usulan persamaan
pengajaran yang dapat menghasilkan pembelajaran efektif
seperti yang ditampilkan pada Gambar 3 berikut:

Pengetahuan awal Guru/katalisator Pembelajaran Efektif yang


+ menghasilakan pemahaman
Pengetahuan baru Motivasi siswa terbaru yang ilmiah

Gambar 3. Persamaan Pembelajaran berbasis Peran Guru


sebagai Katalisator

Dalam persamaan yang diajukan pada Gambar 3 tersebut,


tampak bahwa hal terpenting yang harus dilakukan guru adalah
terlibat menginisiasi terjadinya proses “reaksi” antara
pengetahuan awal dengan pengetahuan baru dari peserta didik
untuk menghasilkan pembelajaran yang efektif dengan
18 Dr. Rimba Hamid, M.Si

indikatornya adalah lahirnya pemahaman terbaru yang ilmiah


dari peserta didik. Karena sesungguhnya zat pemicu berekasinya
pengetahuan lama dengan pengetahuan baru yang diberikan oleh
guru secara berantai membentuk pengetahuan terbaru dan
seterusnya, seperti layaknya reaksi polimerisasi dalam kimia.
Motivasi adalah medium yang menjadi penentu cepat atau
lambatnya perkembangan reaksi berantai dari pengetahuan awal
peserta didik setelah diinisiasi oleh peran-peran katalitik dari
seorang guru.
Katalisme Dalam Pembelajaran Sains 19

2 HAKIKAT SAINS DAN


IMPLIKASINYA DALAM
PEMBELAJARAN

Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) atau natural science yang


dewasa ini orang lebih sering menyebutnya sebagai sains
merupakan aktivitas intelektual dan praktis yang mencakup studi
sistematis tentang struktur dan sifat fisik dan hakikat alam
melalui pengamatan dan eksperimen. Pandangan lainnya
mengenai IPA dikemukakan oleh Academic Press Dictionary of
Science & Technology bahwa IPA adalah: 1) pengamatan
sistematis terhadap kejadian dan kondisi alam untuk menemukan
fakta tentangnya dan untuk merumuskan undang-undang dan
prinsip berdasarkan fakta ini; 2) kumpulan pengetahuan
terorganisir yang berasal dari observasi semacam itu dan dapat
diverifikasi atau diuji dengan penyelidikan lebih lanjut; dan 3)
Cabang spesifik dari badan pengetahuan umum ini, seperti
biologi, fisika, kimia, geologi, atau astronomi.
20 Dr. Rimba Hamid, M.Si

Di sisi lain, para ilmuwan dan guru sains sepakat bahwa


sains adalah cara untuk menjelaskan sifat alam. Dalam bahasa
umum, sains adalah seperangkat praktik dan akumulasi
pengetahuan historis. Bagian penting dari pendidikan sains
adalah mempelajari praktik sains dan teknik dan
mengembangkan pengetahuan tentang konsep yang mendasar
bagi disiplin sains. Selanjutnya, peserta didik harus
mengembangkan pemahaman tentang usaha sains secara
keseluruhan, yakni: keingintahuan, menyelidiki,
mempertanyakan, mengumpulkan dan menganalisis data.
Pernyataan akhir ini menetapkan hubungan antara Next
Generation Science Standards (NGSS) dan sifat sains (NGSS,
2013).

Selanjutnya, juga dijelaskan bahwa Sifat sains termasuk


dalam Standar Sains Generasi Berikutnya (NGSS) menyajikan
matriks NOS (Natural of Science) atau sifat sains. Pemahaman
dasar tentang sifat sains adalah:
1. Investigasi ilmiah menggunakan berbagai metode
2. Pengetahuan ilmiah didasarkan pada bukti empiris
3. Pengetahuan ilmiah terbuka untuk revisi karena adanya
bukti baru yang lebih kuat.
4. Model ilmiah, hukum, mekanisme, dan teori menjelaskan
fenomena alam
5. Ilmu adalah cara mengetahui
Katalisme Dalam Pembelajaran Sains 21

6. Pengetahuan ilmiah menganggap suatu ketertiban dan


konsistensi dalam sistem alam
7. Ilmu pengetahuan adalah upaya manusia
8. Ilmu pengetahuan mengetahui pertanyaan tentang alam dan
material dunia

Empat yang pertama dari pemahaman ini terkait erat


dengan praktik dan empat yang kedua dengan persilangan
konsep. Matriks sifat sains menyajikan konten khusus untuk
tingkatan K-2, 3-5, sekolah menengah pertama dan sekolah
menengah atas.

Masih berkaitan dengan sifat sains, karakteristiknya


dikemukakan dalam perspektif yang lebih umum (McComas,
Almazroa & Clougii, 1998.) sebagai berikut:
1. Para ilmuwan / saintis bisa jadi membuat penafsiran yang
berbeda-beda terhadap pengamatan pada peristiwa yang
sama.
2. Teori-teori ilmiah yang didasarkan pada percobaan atau
eksperimen yang tepat tidak akan pernah berubah.
3. Teori-teori ilmiah sebenarnya telah ada di alam raya ini dan
teori-teori tersebut diungkap melalui penyelidikan ilmiah.
4. Penelitian ilmiah tidak dipengaruhi oleh lingkungan sosial
dan budaya karena ilmuwan / saintis dilatih untuk
melaksanakan penelitian murni yang tidak dibiaskan oleh
faktor sosial dan budaya.
22 Dr. Rimba Hamid, M.Si

5. Para ilmuwan / saintis menggunakan imajinasi dan


kreativitasnya ketika mereka menganalisis dan menafsirkan
data.
6. Percobaan atau eksperimen bukanlah satu-satunya cara
untuk mengembangkan pengetahuan ilmiah.
7. Ilmu pengetahuan merupakan percobaan untuk menjelaskan
gejala alam.
8. Pengetahuan baru harus dilaporkan dengan jelas dan
terbuka.
9. Ilmuwan membutuhkan catatan pengamatan yang akurat,
ulasan dan tinjauan yang tajam.
10. Ilmu pengetahuan dan teknologi saling memberikan
pengaruh yang kuat satu sama lain.
11. Ilmu pengetahuan itu bersifat sementara.
12. Tidak ada tingkatan antara hipotesis, teori, dan hukum.
13. Ilmu pengetahuan menyatu dari kehidupan sosial dan
budaya

Paling tidak terdapat tiga pertanyaan mendasar dalam


IPA yang memerlukan jawaban, yaitu: apa yang terjadi?
Bagaimana itu bisa terjadi? dan mengapa itu terjadi?. Misalnya
jika seorang peserta didik melihat fenomena tertariknya sepihan
kertas pada plastik yang telah digosok dengan kain wol, maka
terjadi sebuah peristiwa yang mungkin tidak pernah ditemukan
oleh peserta didik dalam pengalaman hidupnya, yakni serpihan
Katalisme Dalam Pembelajaran Sains 23

kertas akan tertarik pada mistar sebelum mistar bersentuhan


dengan kertas. Bagaimana ini terjadi, hal ini terjadi karena pada
saat didekaktkan terjadi gaya tarik menarik antara dua benda
yang bermuatan listrik. Lalu mengapa ini terjadi? Jika elektron
dalam suatu atom atau benda berpindah ke atom atau benda
lainnya, maka benda atau atom semula akan kekurangan
elektron. Dengan demikian jumlah muatan positifnya lebih besar
dari pada jumlah muatan negatifnya sehingga bahan tersebut
akan bermuatan positif. Jadi dalam kasus di atas, perpindahan
elektron terjadi pada kain wol menuju penggaris plastik.
Penggaris plastik akan bermuatan negatif karena mendapat
sejumlah elektron dari kain wol, dan penggaris dapat menarik
serpihan kertas.

Kerangka atau sistem konseptual IPA biasanya terdiri


dari konsep-konsep IPA yang memiliki hubungan-hubungan
bermakna antara konsep-konsep yang dipelajari dengan yang
telah ada. Oleh karena itu pembentukan sistem konseptual IPA
haruslah melalui hubungan bermakna antar konsep yang
dipelajari. Hubungan bermakna ini dapat bersifat subordinat dan
koordinat sesuai dengan ruang lingkup konsep dasar IPA yang
lebih luas, lebih sempit atau sama luas.

Dalam menyusun model pembelajaran hendaknya


dipertimbangkan hal-hal berikut:
a. Sesuai karakteristik model pembelajaran yang dipilih.
24 Dr. Rimba Hamid, M.Si

b. Merujuk pada tujuan / indikator kompetensi yang harus


dicapai atau dikuasai.
c. Mempertimbangkan prakonsepsi dan tigkat perkembangan
kognitif peserta didik.
d. Menggunakn teknik bertanya dan pertanyaan produktif.
e. Mendorong peserta didik terlibat aktif secar mental (minds-
on) dan manual (hands-on).
f. Mengembangkan kecakapan hidup (life skills) dan
keterampilan proses sains (KPS).
g. Memungkinkan interaksi antar peserta didik dalam
kelompok kecil dan kelas
h. Mempertimbangkan cakupan topik atau materi pelajaran
dalam waktu yang tersedia
Berdasarkan sifat-sifat sains yang telah dijelaskan
sebelumnya, maka jika dikelompokkan dalam komponen-
komponen NOS dapat dikategorikan seperti Tabel 1 berikut:

Tabel 1. Kategori Komponen-komponen NOS

No Kategori
1 Pengamatan & penafsiran
2 Teori ilmiah & perubahannnya
3 Hukum ilmiah & hipotesis
4 Lingkungan sosial-budaya & sains
5 Imajinasi & kreativitas dalam penyelidikan ilmiah
Katalisme Dalam Pembelajaran Sains 25

Inilah ruang lingkup aktivitas yang merupakan proses


NOS yang dapat menjadi ciri pembelajaran yang berbasis NOS.
Atas dasar rangkaian proses ini, kemudian dirancang tahapan
berdasarkan urutan yang logis sehingga produk NOS
(pengetahuan sains, keterampilan sains dan sikap sains) dapat
diimiliki oleh peserta didik setelah belajar IPA berlangsung.

Untuk mengembangkan suatu model pembelajaran


berbasis NOS ini, maka ditempuh beberapa langkah utama,
yakni:
a. Membuat desain awal tahapan pembelajaran secara
konseptual.
b. Melakukan validasi teoritis / internal
c. Melakukan validasi empirik (uji coba di kelas)
Sebagai dasar pengembangan desain pembelajaran ini,
selanjutnya akan diuraikan berdasarkan ketiga langkah utama
tersebut.

A. Desain Konseptual Pembelajaran berbasis NOS

Berdasarkan pada ruang lingkup dan perspektif tentang


NOS yang telah dibahas pada bagian terdahulu (lihat Tabel 1
tentang kategori komponen-komponen NOS), maka dalam
konteks ini dapat dirancang tahapan-tahapan pembelajaran
beserta aktivitas guru dan peserta didik pada setiap tahapan yang
26 Dr. Rimba Hamid, M.Si

ada dengan dasar komponen NOS tersebut, seperti pada Table 2


berikut:

Tabel 2. Rancangan desain aktivitas guru dan peserta didik


berbasis NOS

Aktivitas Guru dan Peserta Komponen


Fase (Tahapan)
didik Sains
Mengidentifikasi Guru Peserta didik Hukum
pemahaman memberi berdiskusi ilmiah &
konsep sains awal pertanyaan dan mencatat hipotesis
peserta didik kepada / memberi
peserta didik jawaban atas
untuk konsep yang
mengetahui dipahaminya
konsep awal dari materi
yang yang akan
dipahami dijelaskan
masing- oleh guru,
masing sehingga
peserta didik peserta didik
sebelum paham bahwa
materi ada beberapa
dijelaskan pendapat
peserta didik
lain yang
berbeda
dengan
dirinya.

Memferivikasi Guru Peserta didik Pengamata


bukti ilmiah membimbing memferivikasi n&
peserta didik konsep yang penafsiran
melakukan mereka
pengamatan / pahami
ekperimen (secara
sesuai dengan reflektif)
prosedur yang melalui
Katalisme Dalam Pembelajaran Sains 27

terdapat pengamatan /
dalam LKS eksperimen
yang sebagai bukti
disiapkan ilmiah yang
guru. ditemukannya
Menarik Guru Peserta didik Teori
kesimpulan meminta mempertegas ilmiah &
Sementara peserta didik konsep awal perubahann
membuat yang ya
kesimpulan dimilikinya
dan menjadi
mengorganisir kesimpulan
atau sementara
mengklasifika berdasarkan
si perbedaan bukti yang
kesimpulan telah
yang dibuat dimilikinya.
oleh peserta
didik

Refleksi- Guru Peserta didik Imajinasi &


Komunikatif merangsang diberi kreativitas
imajinasi dan kesempatan dalam
kreativitas mempertahan penyelidika
peserta didik kan n ilmiah
untuk terlibat kesimpulan
dalam diskusi sendiri
dan berdasarkan
mempertahan pemahaman
kan subjektifnya
kesimpulan dan bukti
masing- ilmiah yang
masing dan diperolehnya,
mengklarifika yang tidak
si kebenaran harus sesuai
konsep yang dengan teori
dipahami yang ada.
peserta didik
Aplikasi Guru Peserta didik Lingkungan
pemahaman memberi menerapkan sosial-
28 Dr. Rimba Hamid, M.Si

konsep sains tugas kepada konsep yang budaya &


peserta didik dipahaminya sains
untuk pada konteks
mengaplikasi (situasi) yang
kan konsep berbeda dari
yang fakta sosial
dipahaminya dan budaya
pada konteks serta objek
yang berbeda sains lainnya
di lingkungan yang ada di
sosial, budaya sekitarnya.
dan objek sain
lainnya

Beberapa hal yang dapat dijelaskan sekaitan dengan


penjelasan pada Tabel 2 di atas adalah:
1. Ketika guru menjelaskan teori dan hukum ilmiah serta
memberi kesempatan kepada peserta didik menemukan
konsep dasar dari teori dan hukum ilmiah tersebut, maka
akan menumbuhkan sikap ilmiah, mengasah berpikir, dan
menambah pengetahuan peserta didik.
2. Proses pengamatan dan penafsiran selain manambah
keterampilan sains juga menambah keyakinan dan
penghargaan terhadap perbedan tafsir pada suatu fakta,
sehingga memberi peluang meningkatnya rasa ingin tahu
peserta didik.
3. Penyampaian latar belakang lahirnya suatu teori berdasarkan
kosep dan hipotesisnya akan memberikan pandangan (sikap)
kerja keras bahwa sesuatu itu tidak diperoleh secara tiba-
tiba, semakin memperteguh keyakinan dan pemahaman
peserta didik terhadap materi yang diajarkan. Pemberian
pandangan bahwa teori itu bisa saja berubah, membuka
Katalisme Dalam Pembelajaran Sains 29

peluang kreativitas anak untuk membangun konstruk


berpikir teoretik yang variatif.
4. Selanjutnya, jika imajinasi dan kreativitas anak dilibatkan
dalam memahami konsep, toeri, hukum dan fakta, maka
secara langsung guru memberi peluang kepada mereka
berpikir konstruktif yang dapat menjadi informasi bagi
kemungkinan adanya konsep baru yang sedang dipikirkan
oleh peserta didik.
5. Akhirnya, guru harus memanfaatkan seluruh sumber belajar
yang ada di lingkungannya, baik itu fakta sosial, budaya dan
objek sains, sehingga peserta didik merasa bahwa apa yang
diajarkan guru di kelas memiliki basis faktual di lingkungan
sekitarnya, sehingga dapat memunculkan motivasi,
penghargaan pada guru, kreativitas, keingintahuan yang
tinggi dalam mengeksplorasi potensi yang dimilikinya dan
senantiasa ingin mengembangkan kemampuan berpikir dan
keterampilan sainnya.
Sebuah rangkaian pembelajaran yang mengacu pada
rancangan di atas diharapkan akan melahirkan peserta didik
yang mandiri dalam proses penemuan pengetahuan baru yang
berasal dari lingkungan yang terfasilitasi oleh guru. Ketika guru
di awal pembelajaran mampu mengidentifikasi pemahaman awal
peserta didik secara umum, maka sesungguhnya guru tersebut
telah meletakkan fondasi yang kokoh bagi bangunan
pembelajaran pada fase berikutnya. Sebaliknya, jika guru tidak
mampu melakukan itu, maka sesungguhnya guru tersebut telah
kehilangan orientasi tahapan pembelajaran fase berikutnya, dan
akan menjadi robot pembelajaran yang tunduk pada program
30 Dr. Rimba Hamid, M.Si

yang telah dirancang sebelumnya dalam bentuk RPP, tetapi


pembelajarannya tidak memiliki “ruh”.

Aktivitas guru lainnya yang sangat esensial adalah


meransang imajinasi dan kreativitas peserta didik agar dalam
proses diskusi dapat memunculkan pikiran-pikiran imajinatif
dalam mempertahankan pendapat serta mengklarifikasi
kebenaran konsep yang telah dipahaminya. Hal ini menjadi
penting, sebagaimana yang dikemukakan oleh Albert Einstein
bahwa “Imagination is more important than knowledge.
Knowledge is limited, imagination encircles the world”. Atau
dalam pemaknaan yang lain bahwa imajinasi lebih berharga
daripada ilmu pengetahuan. Logika akan membawa Anda dari A
ke B, imajinasi akan membawa anda ke mana-mana.

Ketika pengetahuan tentang sesuatu belum banyak


dikembangkan oleh manusia, para ahli terlebih dahulu telah
berimajinasi melampaui batas ruang dan waktu. Berkat imajinasi
inilah yang kemudian melahirkan temuan-temuan yang
bermanfaat hari ini. Misalnya, Thomas Alfa Edison, menemukan
lampu pijar ketika pengetahuan mengenai teori-teori dan konsep
listrik belum banyak ditemukan. Oleh karena itu, guru
hendaknya dapat mengembangkan imajinasi peserta didik dalam
pembelajaran dan bersedia menerima suasana kelas yang lebih
dinamis. Imajinasi itu merupakan pendahulu dari pengetahuan,
Katalisme Dalam Pembelajaran Sains 31

dan pengetahuan berikutnya akan berkembang dengan imajinasi


(angan-angan yang terarah) baru berikutnya.

Hal ini mengindikasikan bahwa keberhasilan seorang


guru dalam mengajar, tidaklah dilihat dari seberapa “mirip”
pengetahuan yang telah dimiliki oleh peserta didik jika
dibandingkan dengan pengetahuan gurunya. Sebaliknya,
keberhasilan seorang guru adalah ketika ia mampu
menginspirasi peserta didik agar mereka mampu
mengembangkan imajinasinya sebagai bagian yang tak
terpisahkan dalam proses konstruksi pengetahuan.

Perlu diingat oleh guru bahwa mekanisme mendahulukan


imajinasi dari logika ilmu pengetahuan dalam proses
pembelajaran menentukan kreativitas anak. Artinya, jika guru
menyampaikan logika ilmu pengetahuan dan konsep-konsep
terlebih dahulu, maka sudah dapat dipastikan bahwa pikiran
peserta didik akan terperangkap dalam patron atau pola logika
yang disampaikan guru, sehingga peserta didik akan kehilangan
imajinasi karena pikirannya sudah dipengaruhi oleh batasan-
batasan logika dan definisi. Tetapi jika guru di awal
pembelajaran memberi ruang imajinasi kepada peserta didik
untuk berpikir tanpa batasana-batasan logika, maka guru akan
menemukan pemikiran-pemikiran peserta didik yang dapat
melampaui batas-batas logika, dan guru perlu menghargainya
sebagai suatu proses berpikir.
32 Dr. Rimba Hamid, M.Si

Ketika guru telah menyampaikan konsep kebenaran


pengetahuan yang relatif itu, maka pastilah kebebasan berpikir
peserta didik akan terbatasi olehnya, karena para peserta didik
akan takut melakukan kesalahan-kesalahan dalam berpikir,
apalagi sampai mengemukakan pendapat yang berbeda dengan
konsep yang disampaikan oleh guru. Hendaknya guru dapat
menjadi inisiator bagi lahirnya peserta didik sebagai penggagas
ide baru. Jangan menjadikan otak peserta didik kita hanya
sebagai memori tempat menyimpan fakta / data, tetapi
jadikanlah sebagai perangkat untuk berpikir dan berimajinasi.
Dengan demikian, maka kebanggaan seorang guru pada peserta
didik, bukan lagi pada kemampuan mengungkapkan fakta-fakta
serta menghafal banyak pengetahuan, akan tetapi hendaknya
kebanggaan guru pada peserta didik karena kemampuan
berpikirnya.

B. Karakteristik Sains sebagai Inti Pembelajaran

Di tahun 1970-an Ilmu Pengetahuan Alam disebut


sebagai Ilmu Pasti. Walaupun demikian, IPA bukanlah suatu
kebenaran yang pasti. Mungkin masih banyak orang yang
berpendapat bahwa IPA merupakan ilmu pengetahuan yang
mutlak kebenarannya. Artinya, mereka meyakini jika IPA adalah
suatu kebenaran yang pasti, yang harus diterima begitu saja
tanpa perlu dikonfirmasi lagi. Tetapi apakah ini benar demikian?
Katalisme Dalam Pembelajaran Sains 33

Sebagai ilmu pengetahuan, sains meliputi proses, prosedur dan


produk.

1. IPA sebagai Proses

IPA sebagai proses merujuk pada suatu aktivitas


ilmiah yang dilakukan oleh para ahli Sains. Setiap aktivitas
ilmiah memiliki ciri: rasional, kognitif dan bertujuan.
Aktivitas ini tidak terlepas dalam konteks penelitian dengan
proses-proses ilmiah. Melalui proses penelitian yang
saksama, ditemukan banyak hal baru yang berbeda dengan
apa yang ada sebelumnya, artinya penelitian memberi
kontribusi pada berkembangnya pengetahuan baru yang
lebih baik. Pengetahuan yang baru harus diterima karena
dasar-dasar keilmiahannya terpenuhi, dan bukan karena
banyaknya orang yang menganut suatu teori tertentu.

Untuk itu kita perlu melihat salah satu contoh betapa


relatifnya suatu pengetahuan itu, misalnya tentang teori
atom yang dikembangkan oleh para ahli dari waktu ke
waktu, dimulai dari Demokritus (460 SM) yang berpendapat
bahwa setiap material di alam semesta dapat dibagi menjadi
pecahan yang kecil hingga sampai keadaan di mana partikel
tersebut tidak dapat dibagi lagi, kemudian John Dalton
(1766-1844 M) mengatakan bahwa setiap material di alam
semesta tersusun atas atom, dan atom adalah bagian terkecil
dari suatu zat, Selanjutnya J.J. Thomson (1856-1940)
34 Dr. Rimba Hamid, M.Si

menemukan elektron yang merupakan partikel dasar dari


atom, sekaligus membantah teori atom Dalton yang
menyatakan bahwa atom adalah partikel terkecil di alam
semesta, Perkembangan berikutnya adalah Ernest
Rutherford (1871-1937) yang merupakan mahapeserta didik
dari J.J. Thomson di Cambridge University Inggris yang
menemukan inti atom dan memperkenalkan istilah sinar
alfa, beta dan gamma, proton dan neutron kemudian
membangun model atom yang mirip tata surya, dan
menumbangkan teori atom dan model atom Thomson. Pada
perkembangan berikutnya, Niels Bohr (1885-1962) yang
juga merupakan murid dari Rutherfor yang membuat
penyempurnaan pada model atom Rutherford dengan
mengatakan bahwa setiap lintasan elektron mengelilingi inti
memiliki tingkat energi tertentu, sehingga tidak jatuh ke
dalam inti, dan yang terkini adalah teori dari Erwin
Schrodinger (1887-1961) yang menghasilkan persamaan
yang memperhitungkan sifat partikel dan gelombang pada
elektron. Contoh lainnya adalah dualitas apakah cahaya itu
gelombang atau partikel?

2. IPA sebagai Prosedur

Pengetahuan yang diperoleh dalam IPA dibangun


atau dikonstruksi melalui prosedur-prosedur ilmiah yang
Katalisme Dalam Pembelajaran Sains 35

harus dapat dipertanggungjawabkan, yang sekarang ini


dikenal sebagai metode ilmiah.

Kebenaran yang diklaim oleh seseorang atau


kelompok harus dapat diuji sebelum menjadi sebuah produk
sains. Oleh karena itu, semua yang tidak memenuhi syarat
dengan sendirinya akan gugur dan direvisi ulang,
sebagaimana teori-teori dari para ahli berkembang dan
berubah dengan perkembangan zaman setelah sebagian tidak
lagi memenuhi syarat faktual. Semua produk baru yang
ditemukan dalam sains juga harus dapat dijelaskan secara
sederhana, karena semakin sederhana penjelasan sesuatu,
maka semakin mudah diterima oleh masyarakat. Kita bisa
berkaca dari: hukum gravitasi dan hukum-hukum tentang
gerak dari Sir Isaac Newton yang sangat sederhana atau
dapat disederhanakan, beliau mengatakan bahwa jika suatu
benda dengan massa m dibiarkan jatuh dengan bebas, maka
percepatan yang dialaminya adalah percepatan gravitasi (g),
dan gaya yang bekerja pada benda hanyalah berat benda itu
sendiri (W), kemudian dinyatakan dalam persamaan
matematis W = m.g. Demikian halnya dengan teori
relativitas dari Albert Einstein yang sangat rumit tapi bisa
disederhanakan dalam persamaan matematis yang sederhana
menjadi: E=mc2. Begitu juga dengan hukum kekekalan
energi yang dikemukakannya bahwa “energi alam semesta
ini konstan dan hanya dapat berubah dari suatu bentuk ke
36 Dr. Rimba Hamid, M.Si

bentuk yang lain. Hal yang sama dari hukum kekekalan


massa yang dikemukakan oleh Antoni Laurent Lavoisier
yang menyatakan bahwa massa zat-zat sebelum dan setelah
reaksi kimia sama jika terjadi reaksi sempurna (semua
pereaksi habis bereaksi).

Bagaimana seorang ahli sains melakukan


aktivitasnya dalam menemukan produk sains? Segala
sesuatu bermula dari masalah, kemudian mebuat hipotesis,
lalu mengumpulkan, mengolah dan menganalisis data serta
membuat kesimpulan. Setiap ahli sains sampai pada
kesimpulan, mereka harus bertanya, menginvestigasi ulang
serta membuat hipotesis-hipotesis baru, sehingga tampak
bahwa sains merupakan suatu proses memahami alam
semesta. Seperti inilah prosedur ilmiah yang dikembangkan
oleh para saintis, karena sains merupakan suatu metode
ilmiah yang dapat jelas tahapan dan prosedurnya.

Secara sederhana dapat digambarkan bagaimana


tahapan-tahapan dalam metode ilmiah seperti Gambar 3
berikut:
Katalisme Dalam Pembelajaran Sains 37

Mengajukan
Pertanyaan
1

Membuat 5 Tahapan 2 Pertanyaan


Kesimpulan Metode Hipotesis
Ilmiah

4 1
Menganalisis Melakukan
Data Eksperimen

Gambar 4. Tahapan dari metode ilmiah

Metode ilmiah sebagai sebuah proses siklik atau


berdaur, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 4 memiliki
konsekuensi bahwa tidak ada kesimpulan yang dibuat secara
permanen, sekalipun kesimpulan ini basisnya adalah
eksperimen dengan analisis yang sangat memadai. Inilah
sifat dari sains, dimana pengetahuan itu bersifat sementara.
Sebuah teori dapat tumbang oleh teori baru yang dianggap
lebih mendekati kebenaran.

Suatu produk sains akan dapat diinterpretasi oleh


banyak perspektif konsep, dan dapat didekati dengan teori-
teori yang dianggap paling mewakili fakta yang ada,
sehingga kestabilannya sangat bergantung pada seberapa
jauh produk sains tersebut mampu bertahan dengan
38 Dr. Rimba Hamid, M.Si

pertanyaan-pertanyaan yang mungkin menjadi awal dari


siklus selanjutnya dalam metode ilmiah.

Mungkin kasus berikut ini tidak terlalu tepat dalam


mewakili konteks di atas, akan tetapi akhir-akhir ini banyak
orang mengajukan pertanyaan “Betulkah orang pernah ke
bulan?” Sebuah pertanyaan yang perlu dijawab oleh mereka
yang yakin akan kebenaran itu. Jika benar, maka kini setelah
48 tahun yang lalu orang pertama kali menginjakkan kaki di
bulan, tetapi mengapa sampai detik ini kejadian tersebut
belum pernah terulang untuk yang kedua kalinya. Ada apa
sesungguhnya? Mengapa di saat teknologi semakin canggih
dewasa ini, justru orang semakin sulit ke bulan?. Apa yang
harus dikatakan oleh seorang guru di hadapan peserta
didiknya jika muncul pertanyaan sejenis ini di dalam kelas?.

3. IPA sebagai Produk

Produk sains merupakan aspek-aspek yang menjadi


ruang lingkup dari topik pembicaraan guru sains di kelas.
Berikut akan diuraikan beberapa produk sains secara
ringkas, yang diharapkan dapat menambah perbendaharaan
guru sains dalam perannya sebagai katalisator pembelajaran
yang efektif.

Dalam komunitas ilmiah, "teori," "hukum", dan


"fakta" merupakan istilah teknis yang memiliki makna yang
Katalisme Dalam Pembelajaran Sains 39

berbeda dan kompleks. Banyak orang yang tidak memiliki


latar belakang ilmiah, termasuk peserta didik kelas
pengantar sains di sekolah dasar, menengah dan perguruan
tinggi, tidak memiliki pemahaman yang kuat tentang
perbedaan antara ketiga istilah ini. Bahkan dalam
perbincangan di masyarakat umum ditemukan adanya
perbedaan pemaknaan antara istilah-istilah sains dan istilah
yang umum digunakan. Misalanya pada istilah “gaya” yang
dimasyarakat diartikan sebagai model, sementara sains
memaknainya sebagai massa dikali dengan percepatan.
Demikian halnya dengan “momentum”, yang di masyarakat
diartikan sebagai waktu yang tepat, sementara sains
memaknainya sebagai massa kali kecepatan.

a. Fakta

Fakta dalam sains adalah sebuah pengamatan yang


telah berulang kali dikonfirmasi dan untuk semua tujuan
praktis diterima sebagai "benar." Kebenaran dalam sains,
bagaimanapun, tidak pernah final dan apa yang diterima
sebagai fakta hari ini dapat dimodifikasi atau bahkan
dibuang besok (The National Academy of Sciences,
2007). Atau dapat dikatakan bahwa fakta adalah setiap
pengamatan yang telah berulang kali dikonfirmasi dan
diterima sebagai benar; ada pengamatan ilmiah yang
belum dibantah. Fakta-fakta sains merupakan produk
40 Dr. Rimba Hamid, M.Si

paling dasar yang memberikan landasan bagi konsep,


teori, prinsip dan hukum. Fakta merupakan suatu
kebenaran dan keadaan suatu objek atau benda, serta
merepresentasikan pada apa yang dapat diamati. Fakta
sains dapat didefinisikan berdasarkan 2 (dua) kriteria
yaitu: 1) dapat diamati secara langsung; 2) dapat
ditunjukkan atau didemonstrasikan setiap waktu.

Oleh karena itu, fakta terbuka bagi siapa saja


untuk mengamatinya, Namun demikian, harus diingat
bahwa tidak semua fakta dapat ditunjukkan setiap saat,
misalnya letusan gunung api, sunami, gerhana matahari
atau gerhana bulan dan sebagainya.

Contoh dari fakta yakni: struktur dari membran sel


sebagai sesuatu yang dianggap fakta ilmiah, oksigen
adalah gas, dan besi adalah logam.

b. Konsep

Membuat definisi mengenai apa itu konsep


merupakan hal yang sulit. Rosser, 1984 (Dahar, 2011)
mendefinisikan konsep sebagai suatu abstraksi yang
mewakili suatu kelas objek, kejadian, kegiatan, atau
hubungan yang mempunyai atribut yang sama. Konsep
memiliki banyak perspektif, misalnya dari tinjauan
psikologi memaknai konsep sebagai sebuah gagasan atau
Katalisme Dalam Pembelajaran Sains 41

gambaran mental yang bersesuaian dengan entitas yang


jelas atau tingkatan entitas, atau fitur dasarnya, atau
menentukan penerapan istilah (terutama predikat), dan
dengan demikian berperan dalam penggunaan akal atau
bahasa (https://en.oxforddictionaries.com/definition/
concept).

Konsep merupakan representasi pemikiran


seseorang terhadap fenomena-fenomena yang diamati,
dan melahirkan konstruksi mental sebagai suatu bentuk
ide atau gagasan. Misalnya, jika seorang anak melihat
sebuah kendaraan yang melaju dengan kencang, maka
konsep yang ada dalam pemikirannya adalah kecepatan.
Jika melihat sebuah benda terapung atau tenggelam,
maka konsep seseorang bisa beragam, mungkin tekanan,
massa jenis, berat, atau mungkin saja memiliki konsep
lain yang menjadi representasi mentalnya berkaitan
fenomena tersebut.

Jika konsep seseorang berbeda dengan konsep


para ahli, maka saat itu terjadi miskonsepsi. Sebagai
contoh, saat guru memperlihatkan sebuah fenomena
dimana mistar yang telah digosok dengan kain wol akan
dapat menarik serpihan kertas kecil sebelum bersentuhan.
Mungkin saja sekelompok peserta didik yang mengamati
fenomena ini akan memiliki konsep yang berbeda.
42 Dr. Rimba Hamid, M.Si

Terdapat sebagian peserta didik kelompok yang


menganggap fenomena ini berkaitan dengan konsep
panas (karena panas mampu melengketkan sesuatu,
misalnya kerak nasi lengket pada panci), kelompok yang
lain mungkin menganggap bahwa fenomena ini berkaitan
dengan konsep magnet (magnetlah yang dapat menarik
benda lain), dan kelompok lainnya merepresentasi
pemikirannya pada konsep listrik statis (gaya tarik
menarik antara dua benda yang memiliki muatan yang
berbeda).

Oleh karena konsep merupakan abstraksi mental


seseorang berdasarkan pengalamnnya dan sangat
mungkin tidak ada seseorang yang memiliki pengalaman
yang persis sama, sehingga konsep yang dibentuk juga
akan berbeda. Dalam pembelajaran sains, banyak macam
konsep, antara lain: konsep panas, konsep perpindahan
dan jarak, konsep gaya, konsep tekanan, konsep energi.

c. Teori

Secara ilmiah, sebuah teori adalah penjelasan


rasional mengapa suatu aspek dari dunia kita berfungsi
dengan cara tertentu. Definisi teori akan memasukkan
fakta dan hukum, walaupun ketiganya secara mendasar
terpisah. Sebuah teori dibangun dari hipotesis awal
(dugaan bertujuan) dan dapat direvisi sesuai dengan
Katalisme Dalam Pembelajaran Sains 43

perkembangan pemahaman ilmiah tentang suatu


fenomena (Sarokin, 2017).

Sebuah teori dikonfirmasikan oleh semua bukti


yang ada sehingga dapat digunakan untuk memprediksi
fenomena baru yang belum teramati. Teori ini digunakan
untuk menjelaskan suatu kejadian, sementara hukumnya
menggambarkan fenomena di bawah keadaan tertentu di
alam. Misalnya, Teori Seleksi Alami ilmiah sesuai
dengan Hukum Evolusi. Sementara hukum menyatakan
fenomena alam yang teramati (bentuk kehidupan
mengembangkan karakteristik baru berdasarkan keadaan
eksternal), teori tersebut menjelaskan bagaimana dan
mengapa hal ini terjadi.

Dalam pembelajaran, guru dapat meminta peserta


didik untuk mendefinisikan beberapa teori ilmiah, dan
Anda sebagai guru dapat membangun dari pemahaman
mereka sendiri untuk mengembangkan definisi "teori"
yang lebih canggih. Definisi yang baik harus menjelaskan
bahwa teori ilmiah adalah pernyataan yang bermaksud
menjelaskan fenomena alam. Hal ini menjadi bahan
klarifikasi kepada peserta didik Anda.

Sebuah teori bernilai sangat sedikit jika tidak


memprediksi secara benar semua bukti yang diketahui.
Teori tunduk pada perubahan saat bukti baru tersedia.
44 Dr. Rimba Hamid, M.Si

(Sebagian besar teori yang akan guru bahas di kelas sains


sekolah menengah dikonfirmasikan dengan baik dan
tidak mungkin direvisi dalam arti signifikan) Mintalah
peserta didik menyebutkan beberapa teori ilmiah. Anda
akan mendapatkan beberapa jawaban umum seperti:
Teori relativitas: bahwa hukum fisika sama untuk semua
pengamat.

Teori evolusi melalui seleksi alam: bahwa


perubahan spesies yang teramati terjadi karena pemilihan
spesimen yang diadaptasi dengan baik dengan spesimen
yang kurang disesuaikan dengan baik. Teori Big Bang:
bahwa alam semesta dimulai sebagai titik kecil yang tak
terbatas yang mengalami ekspansi untuk membentuk
alam semesta seperti yang kita kenal sekarang.

Teori merupakan usaha intelektual yang sangat


keras karena ilmuwan harus berhadapan dengan
kompleksitas dan kenyataan yang tidak jelas dan
tersembunyi dari pengamatan langsung. Teori juga
merupakan kerangka yang lebih luas dari fakta-fakta,
data-data, konsep-konsep, dan prinsip-prinsip yang saling
berhubungan. Teori ini dapat berubah jika ada bukti-bukti
baru yang berlawanan dengan teori tersebut. Menurut
Kerlinger (1973) yang terjemahannya sebagai berikut.
“Suatu teori adalah seperangkat pengertian (konsepsi)
Katalisme Dalam Pembelajaran Sains 45

definisi dan proposisi yang saling berkaitan yang


menyajikan suatu pandangan yang sistematis dari
berbagai fenomena dengan mengungkapkan adanya
hubungan yang spesifik antar variabel, dengan tujuan
untuk menjelaskan dan meramalkan fenomena-fenomena
tersebut.”

d. Prinsip

Dalam pembelajaran sains, di sekolah tingkat


dasar maupun menegah juga banyak diajarkan tentang
prinsip. Prinsip merupakan pernyataan yang berlaku bagi
sekolompok gejala tertentu yang mampu menjelaskan
suatu kejadian. Prinsip diperoleh lewat proses induksi
dari hasil berbagai macam observasi. Beberapa contoh
prinsip sederhana yang diajarkan dalam sains adalah
sebagai berikut:
1) Logam bila dipanaskan akan memuai
2) Semakin besar besar intensitas cahaya, semakin
efektif proses fotosintesis.
3) Larutan yang bersifat asam bila dicampur dengan
larutan yang bersifat basa akan membentuk garam
dan bersifat netral.
4) Semakin besar perbedaan tekanan udara, semakin
kuat angin berhembus.
46 Dr. Rimba Hamid, M.Si

5) Listrik mengalir dari potensial tinggi ke potensial


rendah
6) Secara alami air mengalir dari tempat yang tinggi ke
rendah
7) Prinsif Aufbau pada konfigurasi elektron yang
menyatakan bahwa, secara hipotetis, elektron yang
mengorbit satu atau lebih atom mengisi tingkat
energi terendah sebelum mengisi tingkat yang lebih
tinggi.
8) Prinsip Archimedes pada fluida statis: bahwa jika
sebuah benda dicelupkan ke dalam zat cair, maka
benda tersebut akan mendapat gaya tekan ke atas
seberat zat cair yang dipindahkan oleh benda
tersebut.
9) Prinsip Bernoulli pada fluida dinamis: bahwa di
mana kecepatan aliran fluida tinggi, tekanan fluida
tersebut menjadi rendah, dan sebaliknya.
e. Hukum

Hukum dapat dikatakan sebagai teori jenis khusus.


Sebuah generalisasi deskriptif tentang bagaimana beberapa
aspek dari dunia alam berperilaku dalam keadaan yang
dinyatakan. Hukum cenderung lebih bersifat matematis dan
biasanya diturunkan dari pernyataan sederhana tentang
sistem matematika dan perilakunya. Sebagaimana halnya
Katalisme Dalam Pembelajaran Sains 47

sebuah teori, hukum juga dapat digunakan untuk membuat


prediksi, namun tujuan utama hukum ini adalah untuk
menggambarkan fenomena alam. Beberapa hukum ilmiah
dalam sains antara lain adalah:
1) Hukum Newton mengenai pemanasan dan pendinginan:
perubahan suhu dua benda dalam kontak termal
sebanding dengan perbedaan suhu.
2) Hukum gerak Newton: pernyataan tentang seberapa
besar benda yang terbuat dari atom berperilaku saat
bergerak pada kecepatan rendah relatif terhadap satu
sama lain.
3) Hukum Termodinamika: pernyataan tentang entropi,
suhu, dan kesetimbangan termal.
4) Hukum Ohm: tegangan pada elemen resistif murni sama
dengan arus yang melalui elemen kali tahannya.
5) Hukum kekekalan massa dari Lavoisier: massa zat
sebelum dan setelah reaksi sama jika terjadi reaksi
sempurna.
6) Hukum kekekalan energi dari Albert Einstein: Energi
alam semesta adalah konstan
7) Hukum Pascal: tekanan yang diberikan zat cair dalam
ruang tertutup diteruskan ke segala arah dengan sama
besar.
48 Dr. Rimba Hamid, M.Si

f. Hipotesis

Pernyataan tentatif tentang dunia alami yang


mengarah pada deduksi yang dapat diuji. Jika deduksi
diverifikasi, hipotesis tersebut akan dikuatkan secara
sementara. Jika deduksi itu salah, hipotesis asli terbukti
salah dan harus ditinggalkan atau dimodifikasi. Hipotesis
dapat digunakan untuk membangun kesimpulan dan
penjelasan yang lebih kompleks.

Selain konsep, teori dan paradigma, ilmuwan juga


menghasilkan gagasan yang dikenal sebagai hipotesis.
Hipotesis adalah gagasan yang dapat diuji; Hal ini
tergantung pada pengamatan eksperimental untuk membantu
menentukan keabsahannya. Percobaan layang-layang
Benjamin Franklin yang terkenal adalah tes hipotesisnya
bahwa kilat adalah bentuk pelepasan listrik. Gagasan
hipotetis yang berulang kali diuji dan terbukti dapat
dipercaya akhirnya bisa menjadi mapan sebagai teori ilmiah.

C. Kedudukan Produk Sains dalam Pembelajaran IPA

Dalam suatu rangkaian proses pembelajaran IPA, maka


hal utama yang menjadi fokus pembicaraan guru pada peserta
didiknya adalah mengenai produk-produk sains. Seperti yang
telah dijelaskan pada bagian atau bahasan IPA sebagai produk
sains, yakni: fakta, konsep, teori, prinsip, dan hukum.
Katalisme Dalam Pembelajaran Sains 49

Berbagai macam pengetahuan yang seharusnya diketahui


dan dimiliki oleh peserta didik, tapi kadang-kadang rasa ingin
tahu peserta didik relatif kurang. Hal ini sangat mungkin
disebabkan oleh paradigma pembelajaran yang diterapkan oleh
guru membuat peserta didik pasif dan lebih cenderung
membenarkan apa yang dikatakan oleh guru. Bukan hanya fakta
ini, sebaliknya guru pun demikian jika membaca bahan ajar dan
menemukan sesuatu yang sesungguhnya harus dipertanyakan,
mereka lebih cenderung tidak berusaha mencari jawabannya.

Aktivitas berpikir kritis yang kurang dari peserta didik


maupun guru dapat menjadi salah satu indikator akan rendahnya
dinamika pembelajaran di dalam kelas. Guru yang sejatinya
memahami produk-produk sains yang berkaitan dengan materi
yang akan dijelaskannya, justru cenderung menjadi seorang
“tukang mengajar” dan menjadikan peserta didiknya menjadi
“robot pembelajaran” yang harus tunduk pada program-program
dari gurunya. Hal ini tentu saja akan mengurangi suasana
dinamis dalam pembelajaran.

Buku ini menjadi lebih bermakna jika dapat


menginspirasi bagi pembacanya, khususnya guru yang memiliki
tanggung jawab besar dalam perannya sebagai katalisator
pembelajaran, yang memiliki semua kemampuan yang
dipersyaratkan agar hambatan-hambatan potensial dari peserta
didik dapat diminimalisasi sehingga tingkat kesulitan dalam
50 Dr. Rimba Hamid, M.Si

menemukan dan mengonstruksi pengetahuan barunya relatif


lebih kecil.

Tidak ada lagi tawar menawar dalam hal kemampuan


guru menguasai fakta, konsep, teori, prinsip, dan hukum dalam
pembelajaran sains, karena inilah inti dari topik pembicaraan di
kelas sains. Contoh paling sederhana, ketika penulis melakukan
penelitian terhadap perbedaan cara berpikir peserta didik SD
kelas IV menganai fenomena tertariknya serpihan kertas dari
mistar yang telah digosok dengan kain wol, banyak peserta didik
yang terjebak pada efek magnet, bahkan ada peserta didik yang
berasal dari sebuah daerah pesisir menganggap bahwa gejala ini
terjadi karena adanya efek “magis” (Hamid, 2016). Kenyataan
ini menunjukkan bahwa, peserta didik kita tidak hanya
miskonsepsi tentang suatu konsep, akan tetapi juga telah
mencampuradukkan antara sains dan pseudosains.

Kondisi ini tentu saja cerminan dari kemampuan guru


dalam memahami konsep-konsep dalam sains. Ketika dalam
suatu kesempatan pada kegiatan PLPG dari guru-guru SD yang
telah memiliki pengalaman mengajar yang cukup, seorang
instruktur memperlihatkan sebuah tanyangan animatif mengenai
konsep terapung, melayang dan tenggelam, dimana pada salah
satu gelas yang berisi larutan garam lalu dimasukkan telur ayam
dan telur tersebut ternyata terapung, sedangkan pada gelas lain
yang berisi air dan dimasukkan telur, ternyata telurnya justru
Katalisme Dalam Pembelajaran Sains 51

tenggelam. Ketika instruktur meminta tanggapan dari guru


mengenai fenomena ini, maka salah seorang guru menjawab
bahwa fenomena ini terjadi karena “larutan garam dapat
membuat telur menjadi ringan” sehingga pada larutan garam
telurnya dapat terapung. Fakta ini menunjukkan bahwa tingkat
penguasaan terhadap produk-produk sains dari guru masih relatif
rendah. Hal ini ditunjukkan pada masih adanya pemahaman
peserta didik mengenai fenomena-fenomena alam yang
diinterpretasi dengan keyakinan sebagian peserta didik pada hal-
hal yang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan
menjadi bagian yang tak terpisahkan dari pengetahuan yang
mereka miliki, dan akhirnya terjadi pembauran antara
pengetahuan yang berbasis sains dan pengetahuan sains semu
atau pseudosains.
52 Dr. Rimba Hamid, M.Si
Katalisme Dalam Pembelajaran Sains 53

3 KONSTRUKTIVISME DAN
PEMBELAJARAN SAINS

Meskipun teori dan praktek konstruktivis sekarang


mendominasi bidang ilmu pembelajaran, teknologi instruksional,
kurikulum dan pengajaran, serta psikologi pendidikan, topik ini
juga menjadi subyek kritik tajam mengenai dukungan penelitian
yang masih kurang dan temuan penelitian yang bias
bertentangan dengan teori (Tobias, & Duffy, 2009).

Tentu saja sangat sulit untuk membuktkan bahwa apakah


betul pengetahuan itu dikonstruksi atau dibangun sebagaimana
analogi-analogi yang selama ini dikembangkan oleh para ahli,
misalnya pengetahuan berkembang dalam struktur kognitif
peserta didik. Proses mental untuk memperoleh pengetahuan
memang banyak teori yang mendasarinya, tetapi karena proses
ini abstrak maka pasti akan banyak mengundang perdebatan.
54 Dr. Rimba Hamid, M.Si

Apapun adanya, dewasa ini paradigma dan tradisi


pendidikan di Indonesia kecenderungannya ke arah
konstruktivisme, termasuk model-model dan pendekatan
pembelajaran yang disarankan oleh kurikulum 2013 untuk
digunakan oleh para guru dalam membelajarkan peserta didik
secara efektif dan efisien.

Sebelum lebih jauh membahas mengenai konstruktivisme


dalam pembelajaran IPA, maka terlebih dahulu penulis perlu
meninjau berbagai pandangan para guru jika ditanyakan
menganai “Bagaimana seorang peserta didik dapat mengetahui
apa yang seharusnya diketahui”, maka jawaban para guru akan
bermacam-macam, di antaranya: Pertama, guru harus
memindahkan pikirannya kepada pikiran peserta didik. Guru
dengan pandangan seperti ini akan berupaya sekuat tenaga untuk
memasukkan sebanyak mungkin pengetahuan ke dalam diri dan
pemikiran peserta didik. Keberhasilan guru seperti ini diukur
dari seberapa besar kemiripan pengetahuan guru dengan
pengetahuan yang telah peserta didik miliki, tanpa perlu tahu
bagaimana proses lahirnya pengetahuan baru dari peserta didik
tersebut. Kedua, guru harus memfasilitasi peserta didik untuk
membangun pengetahuan dalam pikirannya secara bertahap,
sehingga peserta didik terlibat aktif mengonstruksi dan
menemukan pengetahuannya. Pandangan semacam inilah yang
disebut dengan konstruktivisme, atau perolehan pengetahuan
Katalisme Dalam Pembelajaran Sains 55

model konstruktivisme. Berdasarkan pada pandangan kedua,


maka jika ditanyakan apa yang dimaksud dengan belajar? Tentu
saja jawabannya sederhana, yakni “mengonstruksi pengetahuan”
dan apa itu mengajar, jawabannya juga menjadi lebih sederhana,
yakni: membantu peserta didik mengonstruksi pengetahuannya”.

Jika peserta didik masuk ke dalam kelas, maka sejatinya


guru tidak menganggap bahwa mereka datang dalam pemikiran
yang kosong, dan kemudian diisi oleh pengetahuan oleh guru,
melainkan mereka datang dengan pengetahuannya sendiri
berupa pengetahuan yang sangat variatif, terlepas dari jauh
dekatnya dengan pemahaman ilmiah. Karena itu, hal penting
yang berkaitan dengan pembelajaran oleh peserta didik adalah:
1) penyampaian informasi; 2) mentransmisikan pengetahuan; 3)
memfasilitasi pemahaman; 4) mengubah konsepsi peserta didik;
dan mendukung pembelajaran peserta didik (Ireson, 2008 : 26).

Pada awalnya, konstruktivis merupakan bagian dari


revolusi kognitif, bukan suatu pendekatan yang baru. Ia berakar
dari filosofi seperti halnya sosiologi, etnografi dan psikologi
kognitif. Revolusi kognitif diawali pada tahun 1950-an dan
semakin banyak diperbincangkan atau dibahas pada akhir tahun
1960-an.

Konstruktivis percaya bahwa pengetahuan adalah hasil


konstruksi individu terhadap realitas. Dari sudut pandang
mereka, pembelajaran terjadi melalui penciptaan peraturan dan
56 Dr. Rimba Hamid, M.Si

hipotesis terus-menerus untuk menjelaskan apa yang diamati


Untuk membuat peraturan dan rumusan baru, hipotesis baru
terjadi ketika konsepsi dari realitas peserta didik saat ini
dilepaskan dari keseimbangan melalui perbedaan antara
konsepsi dan pengamatan baru (J. Brooks, 1990, p68) (Gredler,
2011).

A. Awal dari Teori Pembelajaran Konstruktivisme

Pritchard dan Woollard (2010), mengungkapkan bahwa


upaya-upaya di awal abad keduapuluh untuk mengatur
pendekatan terhadap pemahaman cara berlangsungnya
pembelajaran dipusatkan pada apa yang telah dikenal dengan
behaviorisme, atau kadangkala dikenal dengan teori stimulus-
respon. Para ilmuwan terkemuka yang telah mengembangkan
aliran teori pembelajaran ini adalah: Pavlov (1849–1936) untuk
pengembangan pengkondisan klasik di awal abad keduapuluh;
Watson (1878–1958) untuk penetapan prinsip-prinsip awal
behaviorisme; dan Skinner (1904–1990) untuk karya rintisannya
tentang pentingnya penguatan (reinforcement). Behaviorisme
telah sangat dikenal sebagai teori pembelajaran dengan nilai
penting bagi sekolah dan konteks formal lain. Tetapi, dalam
banyak situasi pelatihan untuk fungsi khusus dimana respon
otomatis mungkin diperlukan, tradisi behaviorist dapat menjadi
pendekatan efektif. Dalam beberapa waktu pada suatu seting
Katalisme Dalam Pembelajaran Sains 57

sekolah ketika respon otomatis diterima, yang sering terjadi


adalah dengan sedikit atau tanpa pemahaman. Contoh untuk ini
bisa dalam bidang latihan keselamatan dan pelajaran pendidikan
jasmani. Ketika guru meminta, dengan cara yang teratur, setiap
orang untuk menghentikan kegiatannya, mungkin sangat penting
bahwa ini terjadi secara segera tanpa ada yang bertanya. Isyarat
seperti tiupan nyaring peluit dapat diperkenalkan kepada kelas
yang dilatih untuk merespon dengan tepat. Dalam cara yang
lebih akademik, respon terhadap hitungan perkalian sederhana
mungkin diperlukan secara teratur agar anak membuat kemajuan
dengan aspek-aspek lain dari pembelajaran matematika.
Sebagian guru mendorong kemampuan anak memberi respon
cepat terhadap soal hitungan perkalian dengan mengingat hal ini.
Guru mengetahui bahwa dapat diberikan dengan cukup otomatis
dan bahwa anak dapat memberikan respon yang tepat. Guru juga
akan mengetahui bahwa pemahaman penuh dan rinci tentang
pengertian perkalian dan fakta perkalian dalam pertanyaan
mungkin tidak ada. Guru berjuang agar murid-murid
mendapatkan pemahaman, tetapi sebagai tahap pendahuluan,
respon behavioristik ini dapat memuaskan guru dan, dalam dunia
yang sempurna, akan menjadi awal dari lebih banyak kerja yang
akan mendorong pemahaman. Meskipun hal ini bidang yang
menarik untuk dipertimbangkan, kajian mendalam tentang
paham behaviorisme tidak diulas dalam buku ini.
58 Dr. Rimba Hamid, M.Si

Dalam alam teori pembelajaran, gerakan konstruktivis


mungkin memiliki topik yang paling bisa dipahami. Sesuai
dengan namanya, teori ini membuat gambaran pengetahuan dan
pemahaman yang dikerjakan secara perlahan. Metafora
bangunan berlanjut, seperti yang akan kita lihat, dengan
pemakaian istilah-istilah lain, seperti “perancah” (scaffolding)
yang dipakai untuk menggambarkan sifat perkembangan
pembelajaran dan sistem pendukung yang dapat meningkatkan
proses. Tetapi, lebih dari bangunan umum pengetahuan dan
pemahaman yang dikemukakan; model konstruktivis
pembelajaran menyatakan bahwa pembelajaran konstruktif
adalah persoalan individu. Setiap dari kita akan membangun
versi idiosinkratik (khas untuk setiap individu) mengenai realita
yang sebagian berdasarkan pengalaman-pengalaman identik
tetapi dibentuk oleh pengalaman pribadi perorangan dan, yang
penting, berdasarkan pengetahuan, pemahaman, dan pengalaman
terdahulu seseorang. Itu berarti bahwa dua orang pembelajar
yang terlibat pada pengalaman pembelajaran yang persis sama
(misalnya pelajaran yang sudah dirancang) mungkin memiliki
hasil pembelajaran yang berbeda sebagai akibat dari apa yang
mereka telah ketahui tentang subyek dan bagaimana mereka
menafsirkan satuan-satuan pengetahuan yang diberikan kepada
mereka dan bagaimana mereka melakukan kegiatan selama
pelajaran.
Katalisme Dalam Pembelajaran Sains 59

Seperti yang telah kita lihat, gerakan konstruktivis


merupakan visi lebih luas tentang kehidupan dan masyarakat. Ia
jauh melebihi dari alat untuk menggambarkan proses yang
terlibat dalam pembelajaran. Awal mula pendekatan
konstruktivis terhadap pembelajaran dianggap merupakan karya
Jean Piaget (1896–1980). Piaget, yang aktif di pertengahan dan
akhir abad keduapuluh, bukanlah seorang konstruktivis sosial.
Tetapi, karyanya membawa ekspansi pemahaman perkembangan
dan pembelajaran anak sebagai proses konstruksi yang telah
mempengaruhi banyak teori yang terkait dengan
konstruktivisme. Ini mungkin nampak agak janggal dengan masa
konstruktivis sosial terdahulu yang paling penting sejak Lev
Vygotsky (1896–1934), yang bekerja secara rahasia di Rusia di
awal abad keduapuluh, dalam beberapa hal mendahului Piaget.
Mereka bekerja secara paralel dengan ide-ide yang serupa tetapi
kadangkala tak sejalan.

B. Konstruktivis Individual

Konstruktivisme individual merupakan pandangan


radikal karena keyakinan dasarnya adalah realitas tidak dapat
diakses oleh pengetahuan manusia (Ernst von Glaserfeld, 1995
dalam Gredler, 2011). Artinya, semua pengetahuan adalah
konstruksi manusia. Namun berbeda dengan konstruktivisme
sosial radikal, yang menciptakan dan mengonstruksi
60 Dr. Rimba Hamid, M.Si

pengetahuan atau konsep adalah individu, bukan kelompok


sosial. Perspektif individual dapat dinilai sebagian berdasarkan
hubungannya dengan norma yang diterima bersama (misalnya,
bumi mengitari matahari; bumi tidak datar). Fokusnya adalah
“konstruksi skema yang koheren dan berguna oleh peserta didik”
(Driver, 1995). Tujuan utamanya adalah menggeser fokus dari
meniru dan menduplikasi kata dan tindakan gur ke
pengorganisasian pengalaman peserta didik sendiri (Ernst von
Glaserfeld, 1987, 1995). Akan tetapi, guru juga harus
memperkenalkan konvensi ilmu pengetahuan yang tidak dapat
ditemukan oleh peserta didik melalui pengalamannya. Tujuan ini
dapat dicapai melalui pertanyaan yang bersifat penalaran
“membentuk peserta didik terhadap pandangan sains yang
diterima”.

Konstruktivisme individual berasal dari teori


perkembangan kognitif Jean Piaget. Tiga poin kesepakatan
antara teori Piagetian dan konstruktivisme individual adalah:
Pertama. Belajar adalah proses internal yang terjadi di dalam
pikiran individu. Kedua, proses belajar esensial adalah konflik
kognitif dan refleksi kognitif yang terjadi ketika pikiran sesorang
ditentang (berbeda dengan realitas atau penjelasan yang ada).
Ketiga, peran guru adalah membuat model cara peserta didik
memikirkan gagasan, menciptakan situasi yang menantang cara
berpikir peserta didik, dan membantu peserta didik mengkaji
Katalisme Dalam Pembelajaran Sains 61

koherensi mode pemikiran mereka (Confrey, 1985 dalam


Gredler, 2011).

Akan tetapi, Teori Piagetian berbeda dengan


konstruktivisme individual dalam dua hal. Pertama, teori
Piagetian berpendapat bahwa ada eksistensi realitas eksternal.
Kedua, fokus dari teori Piagetian adalah pada berbagai
perubahan dalam pemikiran yang berkembang dari bayi hingga
remaja saat seseorang menyesuaikan pemahamannya tentang
dunia dengan realitas yang ditemuinya. Dengan kata lain, Piaget
fokus pada perkembangan penalaran dan pemikiran logis, atau
pada general logical capabilities, sedangkan konstruktivisme
individual pada topik khusus, atau menekankan pada domain
specific knowledge structure, misalnya fotosintesis.

C. Konstruktivisme Sosial

Konstruktivisme sosial memiliki perspektif yang berbeda


dengan konstruktivisme individual dalam tiga hal, yakni: 1)
definisi pengetahuan; 2) definisi belajar; dan 3) lokus belajar.
Konstruktivisme sosial memandang bahwa pengajaran di kelas
adalah sebuah komunitas sosial yang tugasnya adalah
mengembangkan pengetahuan. Karena mereka juga memandang
pengetahuan sebagai sesuatu yang tidak terpisahkan dari
aktivitas yang menghasilkan pengetahuan, sehingga pengetahuan
itu bersifat transaksional. Pengetahuan dikonstruksi secara sosial
62 Dr. Rimba Hamid, M.Si

dan disebarkan di kalangan sesama partisipan (peserta didik)


dalam suatu kelas sains.

Keyakinan umum filsafat konstruktivisme sosial terhadap


tiga hal yang telah dikemukakan di atas dapat dilihat pada Tabel
3. Berikut:

Tabel 3. Pandangan konstruktivisme sosial terhadap


pengetahuan dan belajar.

Produk dari setting belajar di kelas atau


tempat di mana partisipan berada; produk
Definisi dari penelitian tertentu yang tidak dapat
pengetahuan dipisahkan dari aktivitas atau kejadian
yang menghasilkan produk tersebut
(Bredo, 1994; Dewey & Bentley, 1949).

Kognisi yang dibagi secara sosial yang


merupakan proses dari menjadi anggota
komunitas praktik belajar yang
Definisi
berkelanjutan (Lave, 1991); interaksi
belajar
sosial yang mengonstruksi dan
merekonstruksi konteks, pengetahuan dan
makna (Marshall, 1996).

Tidak terbatas pada pikiran individu


Lokus (Marshall, 1996); terjaadi di komunitas
belajar artisipan dan didistribusikan di atara
sesame partisipan (Bredo, 1994).

Sumber: Gredler, 2011.


Katalisme Dalam Pembelajaran Sains 63

Konstruktvis sosial juga menganggap pendekatan mereka


alternatif untuk pendekatan belajar dengan penemuan (Wood et
al., 1995), yang mungkin berbeda dengan pangdangan
konstruktivis individual yang harus menciptakan situasi yang
mungkin bermakna secara pribadi bagi peserta didik pada level
konseptual yang berbeda. Anak-anak, dalam kelompok atau
dalam pasangan, mengembangkan sendiri cara memecahkan soal
(misalnya dalam pembelajaran matematika), di mana persyaratan
belajar di kelas mencakup: a) anak diminta untuk menjelaskan
dan menjustifikasi pendekatan mereka dalam memecahkan
masalah; b) aktif mendengar dan mencoba memahami
penjelasan sesama teman; dan c) berlatih mengungkapkan
kesepakatan, ketidaksepahaman, atau kegagalan untuk
memahami penjelasan orang lain.

Bahkan pendapat dari konstruktivis sosial menganggap


bahwa objek-objek adalah artefak sosial dan teori ilmiah hanya
merefleksikan milieu (lingkungan) sosial tempat di mana teori
itu muncul. Salah satu perspektif konstruktivis sosial radikal
berpendapat bahwa tugas menjelaskan dunia adalah proses
linguistik, bukan proses kognitif.

D. Konstruktivisme Afilosofis

Selain perdebatan antara apakah pendekatan konstruktivis


individual atau sosial yang layak digunakan dalam suatu proses
64 Dr. Rimba Hamid, M.Si

instruksi di kelas, para pendidik juga menyuarakan empat


keberatan terhadap pengelolaan kelas ala konstruktivis sosial di
mana sisiwa mengonstruksi pengetahuan melalui partisipasi
dalam kelompok. Pertama adalah tidak dibahasnya instruksi
atau pembelajaran di kelas. Secara spesifik, belajar kolaboratif
tampaknya tidak tepat untuk mempelajari pelajaran seperti
mengucapkan vocal “a” (Howe & Berv, 2000) dan
mengembangkan pengetahuan skema konseptual yang kompleks
yang telah dibangun oleh pikiran manusia sejak ratusan tahun
silam (Maatthews, 1997 dalam Gredler, 2011). Termasuk di
dalamnya adalah konsep seperti energi potensial, mutasi, inersia
linear, dan valensi. Kedua adalah kesulitan yang dihadapi oleh
peserta didik berkemampuan rendah dan mereka yang berasal
dari kultur lain. Struktur partisipasi dapat menciptakan rintangan
bagi mereka karena kekurangan pengetahuan dan keterampilan
untuk berpartisipasi. Demikian pula, mengandalkan pada tugas
autentik yang melibatkan instruksi implisit ketimbang eksplisit
juga dapat merugikan keterampilan kognitif peserta didik yang
memiliki masalah kesulitan belajar (Foorman, Francis, Fletcher,
Schatschneider, & Metha, 1998 dalam Gredler, 2011).

Ketiga adalah beban guru di kelas yang menghadapi


tantangan di dalam dan di luar kelas. Windscitl (2002)
mengidentifikasi emapat area dilema, yakni: a) konseptual
(memahami dasar konstruktivisme); b) pedagogis (memuji
Katalisme Dalam Pembelajaran Sains 65

upaya peserta didik untuk berpikir sendiri sambil tetap patuh


pada ide disipliner yang telah diterima); c) kultural
(memanfaatkan pengetahuan dan pengalaman peserta didik
sambil mengelola transformasi keyakinan dan praktik menurut
norma konstruktivis); dan d) politik (menghadapi isu-isu
akuntabilitas dan negosiasi untuk mengajarkan pemahaman.

Di dalam kelas, guru harus: a) menyeimbangkan tuntutan


untuk menemukan pengetahuan dengan upaya memahami
pengetahuan secara efisien; dan b) melakukan penilaian klinis
yang sensitif setiap saat untuk mengetahui kapan harus
mengintervensi dan kapan harus membiarkan interaksi terus
berlanjut (Palinscar, 1988; Perkin, 1999; Hamid, 2017). Kelas
konstruktivis sosial juga mensyaratkan agar guru memiliki
keterampilan dalam membangun komunitas diskursus dengan
standar intelektual dan komitmen untuk membangun makna
bersama-sama (Green & Gredler, 2002).

Keempat, Problem dalam metode instruksi dengan


bimbingan minimal (yakni instruksi berbasis penelitian dan
konstruktivis) adalah metode tersebut menimbulkan kesulitan
dalam memproses dan belajar. Berbeda dengan instruksi melalui
bimbingan, metode konstruktivis memberi banyak beban pada
memori kerja. Juga, ketika memori kerja sedang mencari
informasi yang terkait dengan problem, ia tidak dapat digunakan
untuk belajar (Cowan, 2001). Studi riset lainnya
66 Dr. Rimba Hamid, M.Si

mengindikasikan bahwa belajar dengan bimbingan akan


menghasilkan pemahaman yang lebih dalam dan lebih sedikit
miskonsepsi (Moreno et al, 2014).

Mengacu pada pembahasan dari berbagai sudut pandang


perpektif mengenai konstruktivisme, maka dalam konteks
pembelajaran tidak mungkin berlaku satu teori untuk semuanya.
Teori belajar adalah sebuah teori kemungkinan. Jadi, satu teori
belajar kemungkinan sesuai untuk satu situasi dan lingkungan
belajar tertentu, tapi tidak sesuai dengan situasi dan lingkungan
belajar yang lain. Andaikan terdapat suatu teori belajar dapat
diterapkan pada semua kondisi pembelajaran, maka tugas guru
menjadi lebih ringan. Tetapi sesuatu yang ideal dalam dunia
nyata tidak ditemukan, dan teori belajar pasti mempunyai
kelemahan dan kelebihan tersendiri sebagai ciri khasnya.

Meskipun konstruktivisme merupakan teori belajar yang


relatif baru. Teori belajar lama tentu saja tidak bisa dihilangkan
begitu saja. Tugas kita sebagai pendidik adalah meracik formula-
formula campuran antara teori belajar lama dengan teori belajar
baru, sehingga tercipta kekuatan yang sinergis antara teori lama
dengan teori baru tanpa harus membenturkan masing-masing.
Katalisme Dalam Pembelajaran Sains 67

E. Konstruktivisme dalam Pembelajaran Sains

Pendekatan-pendekatan baru dalam proses belajar


mengajar dibutuhkan saat ini untuk meningkatkan keterlibatan
peserta didik dalam mengonstruksi pengetahuan yang mereka
miliki menuju pengetahuan yang lebih ilmiah. Berbagai
penelitian telah dilakukan untuk mendesain model pembelajaran
yang efektif, dan dalam kaitannya dengan promosi kemampuan
berpikir peserta didik tersebut tentu saja tidak lepas dari prinsip-
prinsip pembelajaran konstruktivisme.

Konstruktivis percaya bahwa setiap pelajar harus


membangun makna untuk dirinya sendiri yang mana hanya
pembelajaran dapat terjadi melalui hubungan pada individu yang
telah memiliki pengetahuan, pengalaman, atau konseptualisasi.
Apa yang anak-anak pelajari bukanlah salinan dari apa yang
mereka amati dalam lingkungan mereka, melainkan hasil dari
berpikir dan pengolahan mereka sendiri (Martin, 2009: 199).

Rujukan literatur mengenai konstruktivisme


menyarankan bahwa sebuah kelas konstruktivis memiliki dua
ciri utama: pertama, suasana atau lingkungan belajar yang
konstruktivis; dan kedua, tahapan-tahapan pengajaran yang juga
konstruktivis. Lingkungan pembelajaran yang konstruktivis
dibutuhkan untuk menyediakan suasana pembelajaran yang
kondusif yang mendukung bagi peserta didik dalam
mengonstruksi pengetahuannya. Lingkungan belajar yang
68 Dr. Rimba Hamid, M.Si

kondusif sendiri belum cukup untuk mefasilitasi konstruksi


pengetahuan pada saat pembelajaran tidak mengikuti tahapan-
tahapan yang sesuai. Hal ini berarti bahwa rangkaian atau urut-
urutan pembelajaran hendaknya diorganisasi dengan penuh
pertimbangan dalam berbagai jalan yang mengikuti tahapan
yang logis sebagaimana yang disarankan oleh teori conceptual
change (Widodo, 2004: 168).

Constructivist Teaching Sequences (CTS) atau rangkaian


pengajaran yang konstruktivis pada dasarnya mengikuti urutan
spiral dari eksplorasi ide-ide peserta didik, restrukturisasi konsep
peserta didik, aplikasi dari konsepsi peserta didik yang baru dan
reviu dan evaluasi konsep yang baru. Dimulai dari tahapan
eksplorasi, tahap pendahuluan diperlukan untuk mempromosi
kesediaan atau melahirkan ketertarikan peserta didik pada
pelajaran. Sebuah pembelajaran mungkin terdiri dari hanya satu
atau lebih siklus, dan pembelajaran bergerak pada spiral yang
lebih besar seperti yang ditunjukkan pada Gambar 5.
Katalisme Dalam Pembelajaran Sains 69

22

Eksplorasi konsep
12 Pendahuluan baru yang telah
dikembangkan

Eksplorasi Restrukturisasi 32
1 Pendahuluan konsep
konsep awal
siswa

Reviu dan
5 evaluasi Restrukturisasi 3
konsep baru konsep

Aplikasi konsep
baru

Gambar 5. Struktur dasar dari rangkaian pengajaran


konstruktivis (diadaptasi dari Widodo, 2004)

Konstruktivisme adalah epistemologi, pembelajaran


bermakna dimana pembuatan teori yang menawarkan penjelasan
tentang sifat pengetahuan dan bagaimana manusia belajar.
Pemahaman yang nyata hanya dibangun berdasarkan
pengalaman dan latar belakang pengetahuan peserta didik
sebelumnya. Ini menandaskan bahwa individu membuat atau
membangun pemahaman baru mereka sendiri atau pengetahuan
melalui interaksi apa yang mereka telah percayai dan ide-ide
yang telah dimilikinya, peristiwa, dan aktivitas yang mereka
lakukan. Pengetahuan dibangun dari pemaknaan terhadap suatu
atribut alam dan lingkungan. Dalam teori, hal ini berarti bahwa
70 Dr. Rimba Hamid, M.Si

peserta didik sebagai pembangun pengetahuan tergantung pada


observasi dan menerjemahkannya secara langsung. Dengan kata
lain, kita membangun realitas sendiri dari apa yang kita miliki
dalam lingkaran sosial kita (Ultanir, 2012: 195). Guru
memfasiltasi pengembangan kemampuan-kemampuan baru dari
dan pengetahuan yang bermakna (Taber, 2011: 58).

Model pembelajaran konstruktivis sebagai konstruksi dari


pengetahuan secara personal yang mengusulkan bahwa setiap
peserta didik di dalam kelas akan membawa konseptual yang
unik dan sumber-sumber kognitif yang dimilikinya di dalam
suatu pembelajaran (meskipun terdapat perbedaan tingkat
motivasi, minat, kepercayaan, metakognisi, dan sebagainya).
Materi pelajaran yang diajarkan oleh guru, dipresentasikan di
dalam kelas, akan dipahami dan diinterpretasi dalam berbagai
cara pada peserta didik yang ada dalam kelas. Tidak mungkin
terhindarkan, akan tetapi target pengetahuan berdasarkan set
kurikulum diterapkan pada semua peserta didik. Bahkan jika hal
itu dipahami sebagai suatu yang tidak masuk akal bahwa seluruh
peserta didik harus mencapai tingkat pengetahuan yang sama
pada akhir proses, ini lumrah atau biasa diharapkan oleh guru
yang mefasilitasi semua peserta didik untuk dikembangkan
dalam “arahan” yang sama (Taber, 2011: 53)

Konstruktivisme menggambarkan berbagai macam


perhatian, namun tidak ada satu teori konstruktivis tunggal
Katalisme Dalam Pembelajaran Sains 71

mengenai pembelajaran. Konstruktivisme hanya merupakaan


satu penamaan atau etiket untuk pekerjaan bagi para peneliti
dibidang filosofi, pendidikan sains, psikologi pendidikan dan
teknologi pembelajaran (Driscoll & Driscoll, 2005) dalam (Liu
dan Chen, 2010: 63). Selanjutnya dijelaskan bahwa prinsip dari
konstruktivisme bertentangan dengan model pembelajaran
tradisional, dimana pengetahuan merupakan hasil transfer secara
sederhana dari seseorang yang memiliki pengetahuan yang lebih
banyak kepada yang lainnya. Dalam konstruktivisme,
pengetahuan awal memegang peranan penting dalam proses
konstruksi pengetahuan yang aktif. Tetapi apa itu pengetahuan
dan bagiamana seorang pelajar membuat hubungan dengan
pengetahuan awalnya? Bagaimana suasana ini digambarkan?
Bagaimana hubungan antara pengetahuan dan lingkungan atau
suasana belajar? Terdapat banyak pertanyaan yang mengemuka
dan berbagai pandangan yang muncul dalam bidang
konstruktivisme.

Konstruktivisme menyarankan bahwa: 1) pengetahuan


merupakan hasil konstruksi manusia. Pandangan dari para
konstruktivis bahwa pengetahuan bukanlah representasi objektif
dari dunia, melainkan konstruksi dari manusia. Objek atau
fenomena alam adalah “objektif” dan “nyata”, akan tetapi
observasi dan interpretasi terhadapnya dipengaruhi oleh skema
interpretasi subjektif dari pengamat; 2) pengetahuan dikonstruksi
dalam konteks sosial dan material dan, konsekuensinya, hal ini
72 Dr. Rimba Hamid, M.Si

dipengaruhi oleh issu-issu antara lain ideologi, agama, politik,


ekonomi, ketertarikan manusia, dan khususnya pada material
utama lingkungan belajar; 3) pengetahuan adalah tentatif
(sementara). Pengetahuan kita mengenai dunia bukanlah sebuah
salinan semata terhadap kenyataan luar tetapi merupakan
konstruksi sementara kita tentangnya. Kebenaran ilmiah
bukanlah sesuatu yang mutlak dan kemungkinan berubah seiring
waktu (Duit et al, 2007: 197).

Dalam suasana belajar konstruktivis, peran guru berubah


dari mesin informasi menjadi fasilitator informasi. Mereka
mendesain kelas pada peningkatan diskusi, pembelajaran aktif,
refleksi, dan menyiapkan pemodelan, pelatihan, dan scaffolding
terhadap peserta didik yang membutuhkan pelibatan peserta
didik secara keseluruhan dalam praktik, penugasan terhadap
dunia nyata dan memberikan kesempatan pada peserta didik
untuk merefleksi pengalaman belajar mereka (Surgenor, 2010).
Saran bagi rangkaian pembelajaran konstruktivis biasanya
termasuk urut-urutan pembelajaran tentang bagaimana
mengaktifkan pengetahuan awal, bagaimana memfasilitasi
rekonstruksi dan apa yang dilakukan dengan pengetahuan baru
yang telah dikonstruksi (Widodo, 2004: 41). Secara sederhana
penggambaran pengaktivan pengetahuan awal peserta didik
tersebut ditunjukkan pada Gambar 6 berikut.
Katalisme Dalam Pembelajaran Sains 73

Pengetahuan Pengetahuan
awal baru

Proses konstruksi

Gambar 6. Diagram representasi pandangan konstruktivis


tentang proses pembelajaran

Pembelajaran sains adalah proses konstruksi dan


rekonstruksi dari teori-teori personal yang telah dimiliki
sebelumnya. Ini adalah proses penyempurnaan pengetahuan
secara terus menerus dan mengonstruksi konsep dalam jaringan
organisasi yang rumit yang unik untuk setiap anak dan yang
memberikan penjelasan dan kemampuan memprediksi dan telah
menggunakan masukan dari sumber luar setidaknya sampai
pengamatan berikutnya yang menghasilkan disekuilibrasi
(Martin, 2009: 207).

Berkaitan dengan konstruktivisme dalam ruang kelas,


peserta didik sendiri yang mengendalikan pembelajarannya.
Prinsip sederhana ini merupakan jantung dari pendekatan
konstruktivisme dalam pendidikan. Sebagai pendidik, kita
mengembangkan praktik pembelajaran di ruang kelas dan
menyesuaikan dengan kurikulum untuk meningkan
kemungkinan peserta didik untuk belajar. Tetapi mengontrol apa
74 Dr. Rimba Hamid, M.Si

yang peserta didik pelajari pada hakikatnya tidak mungkin.


Mencari suatu pengertian atau makna ditempuh dengan cara
yang berbeda oleh peserta didik. Bahkan ketika guru menyusun
pelajaran kelas dan kurikulum untuk menjamin bahwa semua
peserta didik akan belajar pada konsep yang sama pada saat
yang bersamaan, masing-masing peserta didik mengonstruksi
pemahamannya yang unik melalui proses kognitif yang mereka
miliki masing-masing. Dengan kata lain, kita memiliki kontrol
yang lebih besar terhadap apa yang kita ajarkan, tetapi kontrol
yang jauh lebih kecil terhadap apa yang peserta didik pelajari
(Brooks & Brooks, 1999: 21).

Berbagai argumentasi yang didasari pada penelitian


mengenai kategori sebuah kelas sains yang berorientasi
konstruktivis, dirangkum oleh Duit et al, 2007 menjadi lima,
yakni: 1) “memfasilitasi proses konstruksi pengetahuan”,
mengacu pada pengetahuan dipandang sebagai konstruksi
manusia, dimana seseorang pelajar memiliki konsepsi sebelum
diajar, dimana pembelajaran adalah proses aktif untuk
mengonstruksi pengetahuan, dan bahwa pembelajaran merubah
konsepsi peserta didik, dan ini merupakan conceptual change.
Hal ini menunjukkan pada pertambahan atau perkembangan
terhadap pengetahuan awal yang dimiliki oleh peserta didik dan
strategi conceptual change diselidiki dan digunakan untuk
memfasilitasi proses konstruksi pengetahuan peserta didik; 2)
Katalisme Dalam Pembelajaran Sains 75

“relevansi dan kebermaknaan dari pengalaman belajar”, yang


mengacu pada pandangan bahwa konstruksi pengetahuan
menyatu dengan konteks material dan sosial tertentu yang
mungkin mendukung atau menghambat conceptual change; 3)
“interaksi sosial” berfokus pada issu bahwa pengetahuan adalah
konstruksi sosial. Perbedaan bentuk penataan sosial
menyediakan pengalaman-pengalaman yang berbeda bagi para
peserta didik; 4) “meningkatkan peran peserta didik sebagai
pembelajar independen” mengacu pada pandangan konstruktivis
bahwa pembelajar memiliki tujuan dan bertanggung jawab
terhadap pembelajarannya; dan 5) “ilmu pengetahuan,
pengetahuan ilmiah, dan ahli ilmu pengetahuan” mengacu pada
pandangan bahwa pengetahuan sains merupakan konstruksi
manusia dan pengetahuan sains tersebut bersifat sementara.

1. Pembentukan dan Perkembangan Model Mental Peserta


didik

Model mental memberi tantangan untuk


mendefinisikannya karena beberapa alasan. Pertama, model
mental bukanlah entitas fisik yang sebenarnya, dan tidak
dapat terungkap melalui neuroimaging, operasi, atau
wawancara introspektif. Ia adalah konsep-konsep sebagai
suatu abstraksi yang tidak dapat secara langsung
mengamatinya; kita hanya bisa membuat klaim tentangnya
melalui asosiasi logis dengan tingkah laku yang teramati.
76 Dr. Rimba Hamid, M.Si

Kedua, model mental adalah murni pendeskripsian abstrak


dari memori. Ia juga merupakan representasi dinamis yang
dapat berubah dari waktu ke waktu. Model mental tidak
tunggal, entitas abadi yang tetap tidak berubah di seluruh
(atau bahkan di dalam) diri peserta didik. Ketiga, model
mental didefinisikan dalam berbagai cara pada tradisi
penelitian yang berbeda (Rapp, 2005: 44).

Berbagai definisi telah dikemukakan berkaitan


dengan model mental, misalnya yang dikemukakan oleh
Johnson-Laird (1983) bahwa model mental adalah
representasi dari realitas yang digunakan orang untuk
memahami fenomena tertentu. Model mental konsisten
dengan teori yang mempostulatkan representasi internal
dalam proses berpikir, sekaligus sebagai struktur dasar dari
kognisi. Demikian juga dengan Norman (1983) yang
mendefinisikan bahwa model mental sebagai representasi
mental yang di bangun melalui interaksi dengan sistem
target dan secara terus-menerus dimodifikasi sepanjang
interaksi ini. Mengacu pada observasi umumnya yang
dihubungkan dengan mental, dapat disimpulkan bahwa: a)
model mental adalah tidak lengkap; b) kemampuan
seseorang untuk terlepas dari model mereka sangat terbatas;
c) model mental tidak stabil dari waktu ke waktu (karena
lupa dan pencampuran informasi lama dengan yang baru
Katalisme Dalam Pembelajaran Sains 77

masuk); d) model mental tidak memiliki batasan yang tegas;


e) model mental adalah pelit. Pengguna cenderung
melakukan tindakan fisik yang ekstra daripada perencanaan
mental yang akan memungkinkan mereka untuk
menghindari tindakan tersebut; dan f) orang sering merasa
tidak pasti dengan pengetahuan mereka sendiri, bahkan
ketika itu sebenarnya lengkap dan benar.

Model mental secara jelas didefinisikan oleh Gentner


(2002) bahwa “model mental merupakan representasi
(gambaran / perwakilan) dari berbagai domain atau situasi
yang mendukung pemahaman, alasan, dan prediksi”.
Representasi adalah salah satu istilah yang digunakan sangat
luas dalam bidang kognitif sains dan neurosains dan sangat
banyak diperbincangkan dalam kajian filosofis dari bidang
ini. Meskipun demikian, teori kognitif lebih banyak
menggunakan istilah ini dibadingkan dengan behavioris
(Betchel, 2008: 159). Selain itu, dikemukakan juga bahwa
model mental mengacu pada: 1) ide-ide dalam pikiran
seorang individu yang mereka gunakan untuk menjelaskan
dan mendeskripsikan fenomena (Janson, et al. 2009); 2)
sesuatu yang dikonstruksi dari persepsi, imajinasi, atau
berasal dari pemahaman terhadap suatu wacana (Van Der
Veer and Carmen Puerta Melguizo, 2003); 3) ketika belajar
sains, peserta didik meningkatkan pengetahuannya menjadi
78 Dr. Rimba Hamid, M.Si

model mental yang ilmiah sebagai hasil dari pengungkapan


dari suatu model (Harrison dan Treagust, 2000).

Pandangan dalam perspektif lain tentang model


mental juga dikemukakan oleh Ambrose dan Lovett (2014)
yang berkesimpulan bahwa: a) pengetahuan awal memegang
peran yang sangat penting dalam pembelajaran, yang berarti
bahwa b) pihak sekolah membutuhkan untuk menilai
konten, keyakinan dan kemampuan peserta didik yang
menyertai mereka dalam belajar; dan c) menggunakan
informasi tersebut sebagai dasar bagi pembelajaran yang
baru dan juga kesempatan untuk mengintervensi pada saat
isi pengetahuan tidak tepat atau belum memadai;
kemampuan belum sepenuhnya berkembang; dan keyakinan
yang mengganggu perilaku belajar yang produktif.

Dalam ilmu pendidikan, model konseptual di


pandang sebagai model saintifik yang telah dialihkan secara
didaktik untuk memfasilitasi pemahaman kelompok tertentu
dari peserta didik (Acher et al 2007;. Buty et al 2004.).
Norman (1983) menekankan perbedaan antara model
konseptual dan model mental, pemahaman yang terakhir
sebagai sesuatu yang belum sempurna dan representasi yang
tidak stabil sesuai dengan apa yang benar-benar orang miliki
di kepala mereka dan apa yang memandu penggunaannya
tersebut. Literatur telah menunjukkan bahwa model mental
Katalisme Dalam Pembelajaran Sains 79

peserta didik dapat identik dengan, mirip dengan, atau


sangat berbeda dari model konseptual yang dimaksudkan
untuk diajarkan di kelas sains.

a. Perspektif Piaget

Piaget menemukan karakteristik dari logika


alamiah, yang terdiri dari proses penalaran yang dibangun
oleh individu pada berbagai fase dalam perkembangan
kognitif. Pertama, dia tidak mendukung pendapat tentang
pengetahuan sebagai informasi statis yang berada di
dalam objek dan peristiwa yang terpisah dari individu.
Dalam karya Piaget, pengetahuan adalah proses
mengetahui melalui interaksi dengan lingkungan, dan
kecerdasan adalah sistem terorganisasi yang membentuk
struktur yang dibutuhkan untuk beradaptasi dengan
lingkungan. Karena itu kecerdasan adalah proses yang
terus berjalan dan berubah, dan aktivitas pembelajar
menciptakan proses mengetahui. Pertanyaan utama bagi
psikologi karenanya adalah bagaimana pembelajar maju
dari satu tahap konstruksi pengetahuan ke tahap
selanjutnya (Gredler, 2011: 328). Selanjutnya dijelaskan
bahwa transformasi dari suatu bentuk penalaran ke
bentuk yang lain tergantung pada empat faktor esensial,
yakni: lingkungan, kematangan, pengaruh sosial, dan
proses yang disebut sebagai equilibrasi, yang berperan
80 Dr. Rimba Hamid, M.Si

untuk mempertahankan fungsi kecerdasan ketika hal


tersebut melakukan transformasi besar.

Piaget berpendapat bahwa ada hubungan


fungsional antara tindakan fisik dan tindakan mental dan
perkembangan berpikir logis anak. Sejak dari usia dini,
mereka telah bersama dengan keluarganya dan telah
berinteraksi dengan media serta teman-temannya, dari
interaksi ini mereka mengakumulasi dan belajar untuk
menggunakan isi pengetahuan yang semakin banyak.
Berdasarkan unsur-unsur yang disajikan kepada mereka,
peserta didik membangun model mental dari konsep,
aturan dan asosiasi potensi mereka. Konsepsi anak
sebagai hasil konstruksi tentang alam sekitarnya berbeda
dengan konsep ilmiah atau model saintifik.

Bagaimanapun, bantuan terhadap seorang anak


dalam memperoleh pengetahuan meningkatkan
pertanyaan yang menantang yakni bagaimana membuat
pengetahuan ini bermanfaat dan lebih bertahan lama, dan
dengan demikian akan membangkitkan gagasan atau ide
terhadap kecakapan mereka. Ketika mereka memperoleh
pengetahuan baru dari domain tertentu, model mental
mereka mengalami kemajuan dan secara bertahap
menjadi lebih mendekati pemahaman seorang ahli.
Katalisme Dalam Pembelajaran Sains 81

Selanjutnya, Driver (1985) dalam Dahar (2011)


mengemukakan bagaimana terbentuknya konsep awal
anak sebagai berikut:
1) Terbentuknya model mental disebabkan karena anak
cenderung mendasarkan berpikirnya pada hal-hal
yang tampak dalam suatu situasi masalah.
2) Dalam banyak kasus, anak itu hanya memperhatikan
aspek-aspek tertentu dalam suatu situasi. Hal ini
disebabkan karena anak lebih cenderung
menginterpretasikan suatu fenomena dari segi sifat
absolut benda-benda, bukan dari segi interaksi antara
unsur-unsur suatu sistem.
3) Anak lebih cenderung memperhatikan perubahan dari
pada situasi diam.
4) Bila anak-anak menerangkan perubahan, cara mereka
cenderung mengikuti urutan kausal linear.
5) Gagasan yang dimiliki anak mempunyai berbagai
konotasi; gagasan anak lebih inklusif dan global.
6) Anak kerap kali menggunakan gagasan yang berbeda
untuk menginterpretasikan situasi-situasi yang oleh
para ilmuan digunakan cara yang sama.

Karena anak-anak usia tingkat sekolah dasar


memasuki partisipasi secara aktif dalam dunia sosial yang
sibuk dan karena sekarang mereka dapat berpikir tentang
dunia layaknya orang dewasa untuk pertama kalinya,
82 Dr. Rimba Hamid, M.Si

mereka menjadi haus akan pengetahuan tentang dunia.


Sebagian besar mereka bertanya, “bagaimana cara kerja
dunia baru yang besar dan indah ini? Bagaimana dengan
semua benda yang terdapat di sekelilingku menyusun
sebuah pemandangan? Bagaimana cara kerja jam? Apa
yang membuat mobil bisa berjalan? Mengapa langit
berwarna biru? Mengapa pemutih membuat benda
menjadi putih? Apa yang menyebabkan terjadinya petir
(Amstrong, 2011: 160).

Asimilasi, Akomodasi dan Ekuilibrasi.

Pembahasan mengenai ketiga aspek ini merupakan


hal penting dalam kaitannya dengan pemahaman kita
tentang bagaimana sesungguhnya pengetahuan itu
akhirnya dimiliki oleh seorang individu secara dinamis.
Berikut ini penjelasan ringkas dan sederhana mengenai
aasimilasi, akomodasi dan ekuilibrasi yang dikutip dari
Pritchard dan Woollard (2010).

a) Asimilasi: Dalam istilahnya Piaget, asimilasi adalah


koleksi dan klasifikasi informasi baru. Seperti yang
telah kita lihat, skema adalah representasi rasional
tentang apa yang individu ketahui (atau dapat
lakukan) dan terdiri dari unit-unit pengetahuan yang
terkait satu sama lain oleh tema skema yang umum.
Ketika informasi baru ditemukan sebuah mobil tanpa
Katalisme Dalam Pembelajaran Sains 83

atap, mobil yang di cat dengan bunga ditambahkan


ke skema yang ada. Ia di asimilasi, tetapi hanya akan
di asimilasi jika ia tidak berkontradiksi dengan
sesuatu yang telah mapan sebagai bagian integral dari
yang telah ada. Jika nampak bahwa informasi baru
sebenarnya masuk akal atau jika ia muncul sendiri
dalam saat-saat yang sering meskipun ada
kontradiksi yang jelas “Aku tidak tahu bahwa mobil
dapat digandengkan dengan gerbong trailer” skema
ditambahkan dan infromasi diasimilasi. Proses ini
dihubungkan dengan akomodasi dengan sangat erat.

b) Akomodasi : Ini adalah perubahan skema agar


supaya informasi baru dan kontradiktif
dimungkinkan. Contoh di atas mengenai mobil
dengan tiga roda dapat digunakan untuk
menggambarkan hal ini. Seorang anak kecil dengan
girang mengetahui kendaraan berbentuk mobil
dengan empat roda dan fitur-fitur lain yang lebih
lazim. Setiap kali terlihat, kata “mobil” diucapkannya
dan beberapa umpanbalik positif mungkin
diberikannya, “Ya, itu sebuah mobil.” Bila sebuah
mobil yang kurang lazim, model mobil beroda tiga
jaman dulu, dilihat untuk pertama kalinya, maka akan
sangat mungkin bahwa anak itu tidak akan dapat
mengaitkannya dengan pemahamannya tentang
84 Dr. Rimba Hamid, M.Si

mobil yang ada sekarang. Anak itu mungkin


diperlihatkan mobil tersebut dan tidak mengenali
bahwa versi baru ini sebenarnya adalah sebuah
mobil. Mungkin akan ada waktu penafian atau
sangkalan yang akan diikuti oleh periode
penyesuaian, mungkin untuk beberapa saat, dan pada
akhirnya, berdasarkan pengalaman itu, mobil beroda
tiga akan diterima ke dalam skema dan hubungan
akan dibuat ke skema-skema lain, misalnya skema
sepeda beroda dua atau tiga, dan situasi kontradiksi
akan hilang. Sebagai makhluk berpikir yang hidup,
kita berjuang untuk tidak memiliki situasi
kontradiksi. Dalam pengertian ini, kita berjuang
menemukan ekuilibrium (titik kesetimbangan).

c) Ekuilibrasi: Ini adalah keadaan yang tidak memiliki


kontradiksi dalam representasi mental lingkungan
kita. Proses berantai asimilasi dan akomodasi
merupakan alat untuk menemukan ekuilibrium.
Ekuilibrasi dikatakan mengikuti jalur tiga kali lipat.
Pertama, kita puas dengan cara berpikir kita dan
dikatakan dalam keadaan ekuilibrium. Kedua, jika
kita menjadi sadar akan kekurangan atau kontradiksi
dalam pemikiran kita sekarang kita menjadi tidak
puas dan masuk ke dalam keadaan disekuilibrium
Katalisme Dalam Pembelajaran Sains 85

atau ketidakseimbangan; kita mengalami konflik


kognitif. Ketiga, kita bergerak ke cara berpikr yang
lebih canggih. Kita mampu menghilangkan
kontradiksi dari cara sebelumnya dan dengan begitu
mendapatkan kembali ekuilibrium; konflik kognitif
telah diatasi. Kita semua biasanya bisa mengingat
contoh-contoh situasi yang mirip dengan yang
tersebut di atas, sebagian di awal masa kanak-kanak
kita dan sebagian di masa selanjutnya dalam hidup
kita.

Skema dapat digunakan tidak hanya untuk


menafsirkan tetapi juga untuk membuat dugaan.
Anggaplah suatu situasi dimana Anda mampu untuk
memahami apa yang dikatakan oleh orang lain walaupun
apa yang dia katakan tidak sepenuhnya bisa dipahami.
Jika seandainya Anda diminta untuk lulus dari
“hmm..anu”, sangat mungkin dalam suatu situasi tertentu
Anda akan tahu apa yang dimaksudkan. Anda akan
mampu menduga apa yang dimaksud dan dengan benar
menafsirkan “hmm…anu” sebagaimana kunci pas yang
diperlukan untuk mempererat leher pipa air limbah dari
bawah wastafel dimana orang meminta Anda
memberitahu apa arti “hmm..anu” itu berfungsi baik.
Informasi yang tidak cocok dalam skema mungkin sekali
tidak dipahami atau tidak secara benar di pahami. Itulah
86 Dr. Rimba Hamid, M.Si

makanya mengapa seorang pembaca dapat mengalami


kesulitan untuk memahami sebuah teks tentang subyek
yang kurang mereka kenal, dan bahkan meskipun mereka
kenali dan pahami arti setiap kata dalam teks bacaan itu.

Berikut ini merupakan penggambaran proses


perkembangan mental seseorang dalam mencapai
equilibration (restores equilibrium).

Skema

Situasi baru

Disekuilibrasi Ekuilibrasi

Akomodasi Asimilasi

Disekuilibrasi Equilibrasi

Situasi baru

Gambar 7. Proses perkembangan mental seseorang


dalam mencapai ekuilibrasi

Epistemologi genetika Piaget seperti yang secara


ringkas dapat dijelaskan mengenai keempat tahapan
perkembangan, yakni: sensorimotor (dari lahir sampai
umur dua tahun), praoperasional (dua sampai tujuh
Katalisme Dalam Pembelajaran Sains 87

tahun), operasional konkret (tujuh sampai sebelas


tahun) dan operasional formal (sebelas sampai
seterusnya) yang mana pertumbuhan intelektual anak-
anak diukur menurut tahapan itu. Rangkaian tahap ini
memberi pengaruh besar pada praktik pendidikan selama
tahun 1950an dan 1960an. Tetapi, ia telah ditinggalkan
dan menjadi aspek yang semakin tidak penting dalam
karya Piaget. Riset baru menunjukkan bahwa tahap-tahap
perkembangan yang akurat dan rinci tidak sederhana
untuk digambarkan, juga tidak secara kaku bersifat linear
seperti yang dinyatakan oleh Piaget, setidaknya di sisi
permukaan, tampaknya menjadi saran

Menurut Piaget, perkembangan struktur kognitif


baru akan menjadi hasil dari tiga proses mental yang
berbeda: asimilasi, akomodasi, dan ekuilibrasi.
Perkembangan kognitif merupakan hasil interaksi
individu dengan lingkungan. Bagi Piaget, pembelajaran
adalah proses siklik, yang terdiri dari: eksplorasi,
pengenalan konsep dan fase penerapan konsep. Salah satu
siklus ini ditunjukkan pada Gambar 8 menunjukkan tiga
proses pengajaran, exploration, invention, and discovery
(expansion of the idea) adalah proses paralel untuk
asimilasi, akomodasi dan ekuilibrasi.
88 Dr. Rimba Hamid, M.Si

Siklus asimilasi, akomodasi dan ekuilibrasi telah


digunakan sebagai dasar untuk pengembangan beberapa
siklus mengajar ilmu yang disebut siklus belajar. Tiga
proses pengajaran, eksplorasi, invensi dan discovery
(perluasan ide) adalah proses paralel untuk asimilasi,
akomodasi dan equilibrium.

Fase Eksplorasi
Siswa berinteraksi dengan
materi dan siswa lainnya

Fase Aplikasi Konsep


Fase Pengenalan Konsep
Siswa mengaplikasikan
Penamaan objek dan atau
imformasi pada suatu
Evaluasi dan situasi suatu peristiwa
sistuasi yang baru
Diskusi

Gambar 8. Siklus belajar mengintegrasikan tiga fase


pembelajaran: eksplorasi, penemuan konseptual
dan aplikasi konsep (diaptasi dari Barman,
1989: 22)

Tahap Eksplorasi merupakan proses aktif yang


melibatkan peserta didik secara langsung dengan benda-
benda dan bahan. Tahap eksplorasi dapat bersifat terbuka,
atau dapat disusun oleh guru. Elemen penting adalah
keterlibatan aktif dari peserta didik demi menciptakan
beberapa ketidakseimbangan. Selama tahap eksplorasi
peserta didik mengamati, mengumpulkan data, dan
mengalami fenomena baru.
Katalisme Dalam Pembelajaran Sains 89

Tahap Invensi (pengenalan konsep) adalah fase


dalam siklus pembelajaran yang analog dengan
akomodasi ketika struktur baru di bangun untuk
mengintegrasikan informasi baru. Renner menyebut fase
ini sebagai penemuan konseptual. Proses penemuan
memiliki tingkat pengarahan yang tinggi dari guru.
Menggunakan bahasa dan pengalaman peserta didik pada
tahap eksplorasi untuk menemukan konsep-konsep baru
dengan bantuan guru. Pengalaman peserta didik terjadi
selama tahap eksplorasi yang digunakan sebagai data
untuk struktur baru yang diusulkan oleh guru. Tahap
penemuan adalah interpretatif. Peserta didik memproses
informasi baru, dan memodifikasi konsepsi saat ini dan
kerangka kerja untuk mengakomodasi informasi baru.

Tahap Discovery ini dirancang untuk


menyediakan situasi belajar yang aktif kepada para
peserta didik di mana mereka dapat menerapkan, menguji
dan mengembangkan ide-ide dan konsep-konsep baru.
Tahap discovery analog dengan equilibrium, tapi seperti
equilibrium, itu adalah dinamis. Peserta didik, bahkan
pada tahap ini, masih dalam keadaan ketidakseimbangan,
dan memerlukan paparan lebih lanjut untuk pelajaran
pembelajaran aktif. Tahap discovery memungkinkan
peserta didik untuk menerapkan ide-ide baru untuk situasi
90 Dr. Rimba Hamid, M.Si

yang berbeda, lebih lanjut memperkuat pengembangan


kerangka mental yang baru.

Ketika pembelajaran berlangsung, kemungkinan


terdapat perbedaan model mental yang dimiliki oleh
sejumlah peserta didik dalam suatu populasi kelas, dan
bagi seorang guru hal ini dapat dijadikan sebagai dasar
permulaan untuk memfasilitasi pengetahuan awal peserta
didik tersebut dalam mengonstruksi pengetahuan baru
berikutnya untuk mencapai pemahaman yang lebih ilmiah
dan lengkap. Beragam keadaan yang dapat terjadi
berdasarkan perspektif Piaget dalam pembelajaran
sehubungan dengan variasi karakteristik model mental
peserta didik, maka proses perubahan model mental tahap
demi tahap dalam suatu seri pembelajaran sebagai model
antara (synthetic model) menuju pada pencapaian model
yang ilmiah secara sederhana dapat diilistrasikan pada
seperti pada Gambar 9 berikut:
Katalisme Dalam Pembelajaran Sains 91

Gambar 9. Perspektif teori Piaget mengenai


perkembangan kognitif anak

Keterangan:
A: Peserta didik dengan banyak tahapan asimilasi
untuk mengembangkan model mentalnya menuju ke
model ilmiah.
B: Peserta didik yang mengembangkan model
mentalnya, kemudian terjadi akomodasi (revisi atau
pergantian) dari model sintetiknya.
C: Peserta didik yang berasimilasi dengan informasi
baru yang ada, tetapi tidak mencapai model ilmiah
(miskonsepsi).
92 Dr. Rimba Hamid, M.Si

D: Peserta didik yang berasimilasi dengan tahapan


yang lebih sedikit untuk mencapai model ilmiah,
jika dibandingkan dengan peserta didik A
E: Peserta didik yang dengan kematangan dan
pengalamannya telah memiliki model mental yang
sama dengan model ilmiah sebelum dan setelah
materi pelajaran diberikan oleh guru.

Perkembangan model mental seorang anak menuju


pada model ilmiah dapat melalui tahapan-tahapan yang
variatif yang bergantung pada komposisi pengalaman
serta proses mengasimilasi respon baru yang diterimanya.
Perkembangan intelektual ini merupakan suatu konstruksi
satu seri struktur mental. Setiap struktur baru didasarkan
pada kemampuan sebelumnya, tapi pada saat yang sama
melibatkan hasil-hasil pengalaman. Proses akomodasi
dapat melibatkan pengubahan atau penggantian skema
akibat adanya informasi baru yang tidak sesuai dengan
skema yang sudah ada sebelumnya.

b. Perspektif Ausubel

David Paul Ausubel (1968) adalah seorang


psikolog yang mengembangkan teori, dengan
mengontraskan pembelajaran bermakna dari
pembelajaran hafalan. Dalam pandangan Ausubel, "untuk
belajar secara bermakna, peserta didik harus terhubung
Katalisme Dalam Pembelajaran Sains 93

dengan pengetahuan baru (konsep dan proposisi)


terhadap apa yang telah mereka ketahui." Ausubel (1968)
mengusulkan gagasan advanced organizer sebagai cara
untuk membantu peserta didik menghubungkan ide-ide
mereka dengan bahan-bahan atau konsep baru. Teori
belajar Ausubel mengklaim bahwa konsep-konsep baru
yang harus dipelajari dapat dimasukkan ke dalam konsep
atau ide yang lebih inklusif. Konsep-konsep atau ide yang
lebih inklusif ini merupakan advanced organizer.
Advanced organizer dapat berupa frasa verbal (misalnya
paragraf yang akan Anda baca adalah tentang Albert
Einstein) atau grafis. Dalam beberapa kasus, advanced
organizer dirancang untuk menyediakan, apa yang
psikolog kognitif sebut sebagai “mental scaffolding: to
learn new information”.

Dalam rangka mengefektifkan pengintegrasian


teknologi ke dalam pengalaman belajar yang bermakna,
pertama kita harus memiliki pemahaman yang jelas
tentang apakah pengalaman belajar yang bermakna itu.
Pembelajaran bermakna terjadi ketika peserta didik
secara aktif menafsirkan pengalaman mereka
menggunakan operasi kognitif internal. Pembelajaran
bermakna mengharuskan guru mengubah peran mereka
dari pengajar menjadi pembimbing. Sejak peserta didik
belajar dari berpikir tentang apa yang mereka lakukan,
94 Dr. Rimba Hamid, M.Si

peran guru menjadi salah satu stimulan dan pendukung


kegiatan yang melibatkan peserta didik dalam berpikir.
Guru juga harus tetap merasa nyaman bahwa pemikiran
ini mungkin melampaui wawasan mereka sendiri.
Pembelajaran bermakna membutuhkan pengetahuan yang
akan dibangun oleh peserta didik, tidak ditransmisikan
dari guru kepada peserta didik (Jonassen, et al., 1999),
pembelajaran bermakna mengandung 8 atribut utama.
Atribut tersebut adalah active or manipulative,
constructive, reflective, intentional, complex, contextual,
collaborative, and conversational seperti yang
ditunjukkan pada Gambar 10.

Gambar 10. Atribut pembelajaran bermakna


Katalisme Dalam Pembelajaran Sains 95

Menurut Jonassen, et al. (1999), pembelajaran bermakna


adalah:

1) Active (manipulative): Kita berinteraksi dengan


lingkungan memanipulasi benda di dalamnya dan
mengamati efek dari manipulasi tersebut.
2) Constructive and reflective: Aktivitas adalah penting
tetapi tidak cukup untuk belajar bermakna. Kita harus
merefleksikan aktivitas dan pengamatan tersebut dan
menafsirkannya dalam rangka memiliki pengalaman
belajar yang bermakna.
3) Intentional: Perilaku manusia secara alami diarahkan
pada tujuan. Ketika peserta didik secara aktif
mencoba untuk mencapai suatu tujuan belajar yang
mereka telah artikulasikan, mereka berpikir dan
belajar lebih banyak. Bagi peserta didik, untuk
mengalami pembelajaran yang bermakna, mereka
harus mampu mengartikulasikan tujuan belajar
mereka sendiri dan memantau kemajuan mereka
sendiri.
4) Authentic (complex and contextual): Pikiran dan
ide-ide bergantung pada konteks di mana terjadinya
untuk memberi makna. Menyajikan fakta yang
terpisah dari petunjuk kontekstualnya berarti
memisahkan pengetahuan dari realitas. Belajar
bermakna, lebih baik dipahami dan lebih mungkin
96 Dr. Rimba Hamid, M.Si

untuk mentransfer ke situasi baru ketika terjadi


dengan melibatkan kehidupan nyata, masalah yang
kompleks.
5) Cooperative (collaborative and conversational):
Kita hidup, bekerja dan belajar di masyarakat, secara
alami mencari ide-ide dan bantuan dari satu sama
lain, dan negosiasi tentang masalah dan bagaimana
menyelesaikannya. Dalam konteks ini kita belajar
mengenai ada banyak cara untuk melihat dunia dan
berbagai solusi untuk masalah yang sangat banyak.
Belajar bermakna, oleh karena itu, membutuhkan
percakapan atau pembicaraan dan pengalaman-
pengalaman kelompok.

Untuk mengalami pembelajaran yang bermakna,


peserta didik perlu melakukan lebih dari sekadar
mengakses atau mencari informasi tersebut sebagaimana
juga perlu tahu bagaimana memeriksa, memahami,
menafsirkan dan mengalami informasi. Berikut ini,
disajikan suatu illustrasi kontinum yang juga berbasis
pada produksi relatif yang dihasilkan dari pembelajaran
bermakna dengan tingkat yang tertinggi.
Katalisme Dalam Pembelajaran Sains 97

1. High levels of meaningful


Creative learning.
Requaires
Production 2. High integration of thinking,
feeling and acting

1. Well organized, relevant


knowledge structures.
Meaningfull Results
2. Emotional commitment to
Learning from
integrate new with existing
knowledge

A Continum

1. Litle or no relevan
knowledge.
Rote Results
2. No emotional commitment
Learning from
to relate new with existing
relevant knowledge

Gambar 11. Illustrasi kontinum yang berbasis pada


produksi kreatif yang dihasilkan dari
pembelajaran bermakna dengan tingkat yang
tertinggi (Novak, 2013).

Pandangan yang diilustrasikan pada Gambar 11


menunjukkan bahwa penciptaan pengetahuan baru juga
merupakan proses belajar bermakna. Kita melihat bahwa
pemikiran kreatif sebagai tingkat dasarnya sangat tinggi
dari pembelajaran yang bermakna, tingkat yang tidak
tercapai oleh sebagian besar individu dalam proses
pembelajaran di sekolah biasa atau memang dalam
penelitian rutin dan praktek. Alasan kami telah
98 Dr. Rimba Hamid, M.Si

menambah pembelajaran kontinum untuk memasukkan


produksi kreatif berasal sebagian dari epistemologis yang
idenya telah kami kembangkan di mana kita melihat
bahwa penciptaan pengetahuan baru sebagai dasar dari
perpanjangan pembelajaran bermakna pada tingkat yang
sangat tinggi.

Bila dalam struktur kognitif seseorang tidak


terdapat konsep-konsep relevan atau subsumer-subsumer
relevan, maka informasi baru dipelajari secara hafalan,
dan bila tidak ada usaha yang dilakukan untuk
mengasimilasikan pengetahuan baru pada konsep relevan
yang telah ada dalam struktur kognitif tersebut, akan
terjadi belajar hafalan (Dahar, 2011). Hal ini dapat
dillustrasikan melalui perspektif Ausubel dalam
pembelajaran berkaitan dengan adanya informasi baru
yang akan merubah struktur kognitif peserta didik menuju
kepada model ilmiah seperti Gambar 12 berikut:
Katalisme Dalam Pembelajaran Sains 99

penerimaan dan lanjutan proses Item yang telah ada sebelumnya


penyimpanan item yang “subsumption”atau dipangkas demi konsepsi umum
terpatri untuk membuat pembentukan struktur yang lebih besar, yang, pada
tingkatan “subsumption” kognitif dalam suatu gilirannya, terkait dengan item lain
konseptual yang lebih penerimaan informasi (A B C) dalam struktur kognitif.
permanen

Gambar 12. Illustrasi perubahan struktur kognitif peserta


didik dengan adanya informasi baru
(Sumber: Principles of language learning
and teaching, 5th. ed. (Brown, 2006 p 088)

Belajar bermakna yang baru mengakibatkan


pertumbuhan dan modifikasi subsumer-subsumer (konsep
yang relevan dengan struktur kognitif) yang telah ada.
Hal ini bergantung pada sejarah pengalaman seseorang,
subsumer itu selanjutnya dapat relative berkembang atau
kurang berkembang. Pada anak-anak, pembentukan
konsep merupakan proses utama untuk memperoleh
konsep-konsep, dan pembentukan konsep ini adalah
semacam belajar penemuan yang menyangkut baik
pembentukan hipotesis dan pengujian hipotesis maupun
pembentukan generalisasi hal-hal yang khusus (Dahar,
2011).
100 Dr. Rimba Hamid, M.Si

Menurut Ausubel bahwa peserta didik akan


belajar dengan baik jika isi pelajarannya didefinisikan
dan kemudian dipresentasikan dengan baik dan tepat
kepada peserta didik (advanced organizer), dengan
demikian akan mempengaruhi pengaturan kemampuan
belajar peserta didik. Advanced organizer adalah konsep
atau informasi umum yang mewadahi seluruh isi
pelajaran yang akan dipelajari oleh peserta didik.
Advanced organizer memberikan tiga manfaat yaitu: 1)
Menyediakan suatu kerangka konseptual untuk materi
yang akan dipelajari; 2) Berfungsi sebagai jembatan yang
menghubungkan antara yang sedang dipelajari dan yang
akan dipelajari; dan 3) Dapat membantu peserta didik
untuk memahami bahan belajar secara lebih mudah.

Peran guru dalam menambah pengetahuan dan


mengembangkan kompetensi adalah hal yang esensial,
dan guru harus mengintervensi secara sistematis selama
periode pembelajaran. Pada dasarnya, penghargaan bagi
guru yang berupaya untuk memilih metode pembelajaran
yang bersesuaian dengan kebutuhan dan tujuan yang
saling menyatu untuk masing-masing kelompok atau
setiap peserta didik yang menaruh perhatian padanya.
Oleh karena itu tanggung jawab guru untuk
menyesuaikan pembelajarannya dan mendasarinya pada
Katalisme Dalam Pembelajaran Sains 101

keragaman strategi pembelajaran, untuk semua peserta


didik di kelas, baik pembelajaran individual bagi peserta
didik atau kelompok kecil peserta didik, serangkaian
latihan untuk dikerjakan, aktivitas tim atau proyek
tertentu yang akan diselesaikan.

Secara khusus, Ambrose dan Lovett (2014: 8)


menegaskan bahwa terdapat empat jenis yang paling
berpengaruh terhadap pengetahuan awal, yakni 1)
content-specific knowledge yang mencakup pengetahuan
tentang apa, kapan, bagaimana, dan mengapa dalam suatu
domain tertentu; 2) intellectual skills sebagai sarana bagi
peserta didik untuk mengekspresikan, menerapkan, dan
mendemonstrasikan isi pengetahuannya; 3)
epistemological beliefs yang berfokus pada hakikat dari
pengetahuan dan pembelajaran, dan 4) metacognition
yang mencakup kemampuan peserta didik untuk
merefleksi diri dan langsung pada pikiran dan belajar
mereka sendiri.

Hal ini sejalan dengan apa yang disampaikan oleh


Holt, 1967 (Silberman, 2014: 26) bahwa proses belajar
akan meningkat jika peserta didik diminta untuk
melakukan hal-hal berikut: 1) mengemukakan kembali
informasi dengan kata-kata mereka sendiri; 2)
memberikan contohnya; 3) mengenalinya dalam
102 Dr. Rimba Hamid, M.Si

bermacam bentuk dan situasi; 4) melihat kaitan antara


informasi itu dengan fakta atau gagasan lain; 5)
menggunakannya dengan beragam cara; 6)
memprediksikan sejumlah konsekuensinya; dan 7)
menyebutkan lawan atau kebalikannya.

c. Perspektif Vygotsky

Dalam Buku Allan Pritchard dan John Woollard


yang berjudul “Psychology for the Classroom:
Constructivism and Sosial Learning” menguraikan bahwa
LevVygotsky, adalah seorang psikolog Rusia yang aktif
di awal abad keduapuluh, hanya menjadi terkenal di Barat
lama setelah karyanya dipublikasikan di kota
kelahirannya. Kerahasiaan Uni Soviet mengungkapkan
bahwa tulisannya tidak diterjemahkan dan diijinkan hadir
dalam waktu yang panjang. Tetapi, teorinya tentang
perkembangan sosial, khususnya karyanya tentang
pembelajaran dalam konteks sosial, telah menjadi pusat
pemikiran dan praktik pendidikan sekarang ini.

Vygotsky menganggap bahwa interaksi sosial


merupakan aspek pokok untuk suksesnya perkembangan
kognitif dan intelektual, Dia memberi penekanan kuat
pada dialog dan interaksi lain antara para pembelajar. Dia
juga menyatakan bahwa: “setiap fungsi dalam
perkembangan kultur anak muncul dua kali: pertama,
Katalisme Dalam Pembelajaran Sains 103

pada tingkat sosial, dan kemudian, pada tingkat


perorangan atau individual; kedua, antar orang-orang
(interpsikologis) dan kemudian di dalam diri anak
(intrapsikologis). Ini berlaku sama pada perhatian biasa,
memori logis, dan pembentukan konsep. Semua fungsi
yang lebih tinggi berasal dari hubungan nyata antara para
inidividu.

Unsur lain karya Vygotsky yang secara krusial


penting adalah gagasan bahwa potensi bagi
perkembangan dan pembelajaran kognitif bergantung
pada transisi pada ZPD (Zone of Proximal Development).
Aspek penting karya Vygotsky’ ini dapat dijelaskan
secara sederhana. ZPD adalah area dari perkembangan
pemahaman atau kognitif yang dekat tetapi hanya di atas
tingkat pemahaman pembelajar yang dimilikinya
sekarang. Jika pembelajar ingin “maju” dia harus dibantu
bergerak masuk zona ini dan sekitarnya ke tingkat baru
dan lebih tinggi. Dari tingkat baru ini tentu akan ada ZPD
baru, yang berkapasitas memberi perkembangan lebih
pada tiap tingkat.

Menurut Vygotsky sendiri, ZPD adalah “tingkat


perkembangan potensi sebagaimana yang ditetapkan
melalui pemecahan masalah dengan bimbingan orang
dewasa atau kerjasama dengan teman sebaya yang lebih
104 Dr. Rimba Hamid, M.Si

cakap. Apa yang dapat dilakukan anak dengan bantuan


orang lain mungkin dalam beberapa pengertian bahkan
lebih memperlihatkan perkembangan mentalnya
dibanding jika anak itu lakukan secara sendiri”.

Gerakan yang tepat waktu dan berhasil pada zona


nosional ini tergantung pada interaksi sosial. Pembelajar
dapat dibantu mendapat kemajuan pada ZPD pada situasi
tertentu oleh orang lain yang lebih berpengetahuan atau
yang dapat memberikan semacam dukungan yang
memungkinkan tercapainya kemajuan. Interaksi sosial
terukur merupakan alat untuk memungkinkan tercapainya
kemajuan. Kita akan melihat secara lebih rinci apa sifat
dukungan ini, yang dikenal dengan “perancah atau
scaffolding”, nanti dalam buku ini. Kemajuan pada ZPD
bersifat sentral dari pembelajaran dan pada konteks ruang
kelas sosial. Biasanya, tetapi tidak secara eksklusif, guru
yang mengambil peran sebagai scaffolding. Dalam situasi
pembelajaran formal, peran seorang scaffolder dapat
menjadi bagian kompleks untuk dijalankan. Sifat
scaffolding dan jenis intervensi yang dapat guru berikan
dapat dilihat pada pembahasan selanjutnya. Adalah
menarik untuk memperhatikan sejenak di sini bahwa
seorang scaffolder tidak perlu selalu berupa seorang guru
atau bahkan orang dewasa. Istilah “orang lain yang lebih
Katalisme Dalam Pembelajaran Sains 105

berpengetahuan” digunakan untuk menyatakan bahwa


interaksi sosial dengan siapapun berpotensi untuk
mendukung pembelajaran Vygotskian. Hal ini mungkin
dalam konteks kerja kelompok atau berpasangan dalam
ruang kelas atau dalam konteks informal dua orang teman
yang sedang mengobrol tentang topik menarik di sebuah
taman, di rumah atau dimana saja untuk hal tersebut.

ZPD adalah zona antara tingkat perkembangan


aktual dan tingkat perkembangan potensial. Tingkat
perkembangan aktual tampak dari kemampuan anak
menyelesaikan tugas-tugas secara mandiri. Sedangkan
tingkat perkembangan potensial tampak dari kemampuan
anak menyelesaikan tugas atau memecahkan masalah
dengan bantuan orang dewasa. Ketika masuk dalam ZPD,
maka anak sebenarnya bisa, tetapi akan lebih optimal jika
orang dewasa atau pendamping yang lebih tahu,
membantunya untuk mencapai tingkat perkembangan
aktual.
106 Dr. Rimba Hamid, M.Si

Tidak dapat dikerjakan


oleh siswa

Zone of Proximal
Development (ZPD)

Dapat
dikerjakan
siswa secara
mandiri
Dapat dikerjakan siswa
dengan bantuan guru
atau teman

Gambar 13. Zone of Proximal Development (ZPD)

Pada kelas Psikologi Belajar yang sedang membahas


tentang teori belajar Vygotsky, ada pertanyaan menarik,
“Apakah anak harus dibantu? Tidak bisakah anak belajar
sendiri?”. Kondisi terbantu (tanpa dibantu) adalah kondisi
dimana anak berada pada tingkat perkembangna aktual. Kondisi
ini akan dicapai dengan lebih optimal dengan bantuan, jika anak
memang masih belum menguasai apa yang dipelajari.

Bagaimana dengan scaffolding? Scaffolding dapat


diartikan, memberikan sejumlah bantuan dalam tahap awal
pembelajaran, setelah itu baru melepaskan anak untuk punya
tanggung jawab sendiri dalam proses belajarnya, setelah ia
menguasai bahan yang dipelajari.
Katalisme Dalam Pembelajaran Sains 107

Jika menggunakan contoh mengenali bentuk ‘dua’ di


atas, maka kita bisa lihat kemampuan anak menunjuk angka dua
ketika kita mengatakan ‘dua’. Atau boleh juga meminta anak
untuk mengambil angka dua di tumpukan mainan yang
berbentuk angka-angka lainnya (Rudicahyo, 2013).
108 Dr. Rimba Hamid, M.Si
Katalisme Dalam Pembelajaran Sains 109

4 KATALISME DALAM
BERBAGAI PERSPEKTIF

Meskipun teori dan praktek konstruktivis sekarang


mendominasi bidang ilmu pembelajaran, teknologi instruksional,
kurikulum dan pengajaran, serta psikologi pendidikan, topik ini
juga menjadi subyek kritik tajam mengenai dukungan penelitian
yang masih kurang dan temuan penelitian yang bias
bertentangan dengan teori (Tobias, & Duffy, 2009).

Tentu saja sangat sulit untuk membuktkan bahwa apakah


betul pengetahuan itu dikonstruksi atau dibangun sebagaimana
analogi-analogi yang selama ini dikembangkan oleh para ahli,
misalnya pengetahuan berkembang dalam struktur kognitif
peserta didik. Proses mental untuk memperoleh pengetahuan
memang banyak teori yang mendasarinya, tetapi karena proses
ini abstrak maka pasti akan banyak mengundang perdebatan.
110 Dr. Rimba Hamid, M.Si

A. Katalisme dalam Perspektif Kimia

Secara umum, sifat-sifat katalis dalam suatu reaksi kimia


adalah: 1) Katalis tidak mengalami perubahan yang permanen
dalam reaksi, tapi terlibat dalam mekanisme reaksi; 2) Katalis
mempercepat laju reaksi tetapi tidak mengubah jenis maupun
jumlah hasil reaksi; 3) Katalis dapat menurunkan energi aktivasi,
tetapi tidak mengubah entalpi reaksi; 4) Katalis mengubah
mekanisme reaksi dengan menyediakan tahap-tahap yang
mempunyai energi pengaktifan lebih rendah; 5) Katalis
mempunyai aksi spesifik, artinya hanya dapat mengkatalisis
reaksi tertentu; 6) Katalis hanya diperlukan dalam jumlah
sedikit; dan 7) Katalis dapat teracuni.

Mekanisme kerja katalis dalam suatu reaksi kimia dapat


digambarkan sebagai berikut.

A P
B
Mulai siklus
berikutnya
Katalis Katalis

Berikatan Siklus Pembebasan

Katalisis
A B P
Katalis Katalis
Bereaksi

A dan B = Pereaksi
P = Hasil

Gambar 14. Siklus katalisis dan tahap-tahap dasarnya


diadaptasi dari Beychok, M. (2011)
Katalisme Dalam Pembelajaran Sains 111

Gambar 14 menjelaskan langkah-langkah dalam siklus


katalisis khas. Seperti digambarkan, molekul reaktan A dan B
direaksikan untuk menghasilkan produk yang diinginkan yakni
P. Siklus katalis dimulai dengan ikatan molekul reaktan A dan
B untuk katalis. Dalam gambar katalis ditampilkan sebagai
sepotong kecil padat (katalisis heterogen) yang A dan B yang
terserap, tetapi katalis juga bisa menjadi senyawa C larut dalam
bereaksi campuran (katalis homogen). Dalam hal ini, A dan B
untuk sementara kimia terikat C. A dan B kemudian bereaksi,
sementara terikat pada katalis C, untuk menghasilkan produk P
yang juga terikat untuk C. Pada langkah terakhir, katalis C
dibuat ulang oleh produk P memisahkan dari itu. Dengan metode
pemisahan fisik atau kimia produk P yang diinginkan akan
dihapus dari campuran. Katalis regenerasi C kemudian mulai
siklus lagi dengan ikatan dengan dua molekul reaktan baru.

Pada prinsipnya katalis berfungsi untuk menurunkan


energi aktivasi dari suatu reaksi dengan menempuh tahapan
reaksi dengan tingkat energi yang lebih kecil dengan mekanisme
yang berbeda. Gambaran cara kerja katalis yang diadaptasi dari
https://www.ck12.org dapat dilihat pada Gambar 15.
112 Dr. Rimba Hamid, M.Si

Gambar 15. Proses katalisasi menurunkan energi aktivasi


dengan menempuh tahap reaksi yang berbeda

Dalam kimia, energi aktivasi adalah energi yang harus


diatasi agar reaksi kimia terjadi. Energi aktivasi juga dapat
didefinisikan sebagai energi minimum yang diperlukan untuk
memulai reaksi kimia yang ditunjuk. Hal ini dilambangkan
dengan Ea dalam satuan kilojoule per mol (kJ / mol). Ini
mungkin dianggap sebagai energi penghalang yang harus diatasi
untuk memulai reaksi kimia. Menurut teori Arrhenius, kecepatan
reaksi tergantung secara eksponensial (sangat curam) pada
ketinggian penghalang energi (juga dikenal sebagai transisi).
Menurunkan penghalang transisi yang kecil dapat menghasilkan
peningkatan drastis dalam kecepatan.
Katalisme Dalam Pembelajaran Sains 113

Dalam reaksi kimia, untuk melanjutkan pada tingkat yang


wajar, harus ada sejumlah energi yang memadai dari spesies
reaktan (molekul, atom dan ion) dengan energi sama atau lebih
besar daripada energi aktivasi reaksi, yang berarti bahwa suhu
reaktan harus begitu tinggi sehingga cukup dari spesies reaktan
memiliki energi panas yang cukup untuk mengatasi penghalang.
Semakin tinggi suhu, semakin banyak molekul (atau atom, dll)
yang memiliki energi ini dan akan bereaksi, serta semakin cepat
hasil reaksi. Artinya, kecepatan reaksi kuat (sebenarnya secara
eksponensial) tergantung pada suhu. Katalis tidak
menurunkan energi aktivasi untuk reaksi, melainkan
menyediakan jalur alternatif untuk reaksi yang memiliki
energi aktivasi yang lebih rendah. Katalis mengubah kinetika
reaksi kimia tetapi tidak termodinamika kimia.
Termodinamika (Energi Bebas Gibbs) energi reaktan dan produk
tidak terpengaruh oleh adanya katalis (Beychok, 2011) yang
terillustrasikan pada gambar berikut.
114 Dr. Rimba Hamid, M.Si

Gambar 16. Profil pengaruh katalis dalam reaksi kimia

Berdasarkan gambar mengenai illustrasi efek katalis pada


reaksi kimia ini dapat menjadi acuan bagi guru dalam
melibatkan diri dalam proses pembelajaran melalui mekanisme
katalitik, yakni berupaya menurunkan energi (tingkat stress
peserta didik) dalam belajar sehingga peserta didik dapat melalui
proses menginternalisasi ilmu pengetahuan dengan lebih mudah,
karena guru mampu menyediakan jalan-jalan atau tahapan
pembelajaran dengan tingkat energy yang relative lebih kecil.
Katalisme Dalam Pembelajaran Sains 115

B. Katalisme dalam Perspektif Motivasi

Pada bagian ini penulis tertarik mengangkat sebuah tulisan


mengenai katalis dengan judul “Are You a Catalyst? Six
Telltale Signs” yang dimuat pada laman
http://www.lovejoyconsulting.com/are-you-a-catalyst-6-telltale-
signs/ yang diposting pada tanggal 9 Januari 2017. Hal-hal
penting yang diulas pada tulisan ini mengenai “Apakah anda
seorang katalis? Terdapat enam tanda-tanda” seperti ulasan
berikut ini.

Sebagai katalisator, saya masuk ke dalam situasi, melihat


apa yang ada di sana, membawa beberapa pemikiran saya
sendiri, tapi menahan dan melihat banyak elemen yang berbeda
dan membiarkan pikiran saya menjadi cukup banyak pusaran di
dalamnya untuk sampai pada beberapa gagasan dan arahan.
Menjadi katalisator membantu untuk kemudian membuat
sesuatu yang berbeda atau untuk mengubah arah. Kemudian
membawa orang-orang mengikuti gagasan itu dan membuat
mereka bergerak maju dalam gagasan itu"

Kita semua memiliki pengalaman sebagai seorang


katalisator, ada energi yang tampaknya melingkupi di sekitarnya,
Mereka (katalisator) selalu memiliki gagasan baru dan dapat
mengilhami atau menginspirasi kita untuk berpikir bahwa yang
tidak mungkin adalah mungkin. Katalis bisa seperti duri di sisi
kita, selalu mendorong untuk membuat segalanya menjadi lebih
116 Dr. Rimba Hamid, M.Si

baik. Dan mereka bisa menakut-nakuti kita karena, sekali lagi,


mereka menyarankan agar kita mengubah sesuatu hal yang
menurut kita baik-baik saja. Namun, kita menyadari bahwa
banyak hal hebat di sekitar kita ada karena seorang katalis berani
memimpikannya, menantang kita untuk bermimpi dengannya,
dan bahkan lebih berani mengambil resiko untuk
mewujudkannya. Orang-orang seperti Richard Branson, Steve
Jobs, Oprah Winfrey, mereka berani bermimpi, mendorong
orang melewati ketakutan yang mereka anggap sebagai batas,
melahirkan pengalaman yang melampaui imajinasi kita dan telah
mengubah dunia.

Diuraikan pada artikel tersebut bahwa pada akhir tahun


2015 mulai dilakukan penelitian dengan orang-orang yang
mengidentifikasi diri sebagai katalisator (atau aktivator, atau
pengubah permainan, atau agen perubahan, atau pemecah
paradigma). Dalam posting tersebut dituliskan berbagi atribut
yang umum untuk katalis. Bukan atribut mana yang membuat
mereka sukses. Juga bukan tantangan uniknya. Sebaliknya, ini
adalah tanda-tanda bahwa Anda berurusan dengan katalisator,
atau bahwa Anda sendiri adalah katalisator.

Terdapat enam atribut yang bila digabungkan akan


merupakan tanda-tanda katalis dari seseorang :
Katalisme Dalam Pembelajaran Sains 117

1. Memproses dengan Cepat dan Mengurai banyak


Informasi, Sistematik dan Kontekstual.

Katalis pertama dan terutama menggambarkan


sebuah proses yang lebih dari cara untuk menjadi sesuatu
dengan cepat mengambil informasi baru kemudian
mempertimbangkan, mengatur dan mensintesis. Dalam
wawancara ini digambarkan sebagai "melihat hal-hal di luar
sana dan menggabungkan, menghubungkan dan
mengaturnya." Dan ini terjadi lebih cepat daripada yang
lain: "Saya bisa maju 20 langkah dan sulit bagi orang lain
untuk mengejar ketinggalan tersebut”

Dalam tulisan ini juga diungkapkan bahwa banyak


orang sering menganggap orang-orang di sekitar mereka
sampai pada kesimpulan yang sama dan bingung ketika
orang lain tidak melihat hal yang sama. "Ini adalah sesuatu
yang lebih dari sekedar menjadi pengamat. Katalisator aktif
atau pengamat strategis. Atau memiliki konsep arsitek
dalam meletakkan semua bagian bersama-sama. Bukan
hanya sekedar penglihatan, tapi lebih seperti memiliki
kemampuan penglihatan tembus pandang, memiliki
pengetahuan khusus tentang sesuatu, sejenis penglihatan
sinar-X. Anda berpikir “Bagaimana Anda bisa tidak melihat
ini? Ini sangat jelas. Dan katalisator melihat informasi
tersebut dalam konteks kelompok, perusahaan atau budaya
118 Dr. Rimba Hamid, M.Si

di mana ia berada. "Anda harus memahami sebuah sistem


untuk bertindak di dalam sistem.

Selain itu, katalis cenderung memiliki kecerdasan


emosional tinggi berupa kemampuan individu untuk
mengenali emosi mereka sendiri, dan orang lain. Ini
tampaknya merupakan jenis informasi lain yang mengalir ke
dalamnya. Bagian lain dari sistem yang mereka gunakan
untuk mengambil informasi. Sebagai seorang katalisator
menjelaskan, "Katalis perlu memiliki kecerdasan emosional
tingkat tinggi untuk mengukur kebutuhan masyarakat dan
bagaimana berinteraksi dalam sistem itu".

2. Banyak Gagasan dan Terus-menerus Melihat


Kemungkinannya

Tanda lain dari seorang katalisator adalah bahwa


mereka memiliki banyak ide dan melihat kemungkinan
bagaimana memecahkan masalah dan membuat segalanya
menjadi lebih baik. Ada banyak orang yang telah
mengonsumsi banyak informasi, namun banyak yang tidak
mengemukakan gagasan dan kemungkinan terinspirasi dari
informasi yang mereka konsumsi itu. Katalis tidak bisa
menghentikan diri hanya sebatas informasi yang
diterimanya.
Katalisme Dalam Pembelajaran Sains 119

"Katalis selalu memeriksa atau menguji bagaimana


sesuatu bisa lebih baik."

"Katalis melihat sekeliling mereka dan orang-orang di


sekitarnya dan melihat kemungkinan-kemungkinan untuk
mengubah keadaan."

"Katalis melihat peluang dan kemungkinan kemudian


melangkah ke arah itu dari pada berputar-putar di sekitarnya
atau mundur. Ini momentum ke depan.

"Katalisator adalah seseorang yang tertarik


memecahkan paradigma untuk mengurai permasalahan.
Seseorang yang memikirkan institusi atau norma atau
dinamika tim yang menghidupkan terus menerus isu dan
orang ini tidak tahan melihatnya. Tapi mereka juga senang
prospek melampaui norma-norma ini untuk mencari solusi
baru.

Ditekankan lebih lanjut bahwa "Saya tidak


menganggap diri saya orang yang penasaran. Saya pikir
hanya saja saya melihat sesuatu dan saya memiliki momen
“ah hah” dan saya pikir kita bisa membuat sesuatu yang
lebih dari itu. Atau mungkin saya melihatnya dengan cara
yang berbeda di kepalaku. Kemudian memiliki kemampuan
untuk mengubah sesuatu dengan cara tertentu sehingga bisa
terlihat. Melihat sesuatu dalam cahaya yang berbeda yang
mengarah pada perubahan, membuka jalan baru.
120 Dr. Rimba Hamid, M.Si

Kegembiraan mengubah sesuatu, atau gagasan seputar


kepalanya. Dengan proyek yang sedang kami kerjakan,
kontribusi saya terhadap kolaborasi tersebut adalah
mengatakan hal-hal paling gila yang muncul di kepala saya.
Ada tingkat tertentu yang tidak malu membuang gagasan
aneh ini. ...Kemampuan untuk melihat berbagai hal dengan
berbagai cara"

Ide tidak pernah berhenti. Ini adalah cara untuk


berada di dunia ini. Berinteraksi dengan dunia "Saya selalu
mengerjakan hal berikutnya." "Selalu ada yang harus
dilakukan." "Gagasan tidak akan pernah berakhir."

3. Intuitif dan Perasaan Nyaman dengan Resiko dan


Ambiguitas

Ada pengetahuan yang muncul untuk katalis saat


mereka membangun teka-teki dari pusaran informasi di
sekitar mereka. Semua yang diwawancarai mengatakan
bahwa mereka tidak perlu memikirkan segalanya untuk
segera melangkah maju. Mereka hanya perlu cukup tahu
untuk percaya lompatan itu benar. Dan bagi mereka
lompatan itu tidak terasa berisiko. Hal ini menyebabkan
katalis terlihat sebagai pengambil risiko. Namun, katalis
sendiri mungkin tidak menggambarkan diri mereka merasa
nyaman dengan risiko. Kemungkinan mereka akan berbicara
tentang bersikap sangat intuitif. Ketika mereka telah
Katalisme Dalam Pembelajaran Sains 121

memproses informasi dan siap beraksi, mengambil apa yang


tampak seperti langkah berani ke pihak luar tidak merasa
berisiko terhadap katalis dirinya sendiri.

"Ada tempat untuk menciptakan keselarasan dengan


mempercayai intuisi. Mereka sangat intuitif. Miliki
pengertian yang lebih dalam tentang apa yang dibutuhkan.
Saya merasa bisa memanfaatkannya lebih cepat lagi saat
masih ada ruang untuk melakukan sesuatu dan
menghormatinya, mempercayainya dan membicarakannya
dan menyesuaikan diri dengannya. Hal pertama yang harus
dilakukan katalisator adalah mengabaikan intuisi mereka.
Apalagi saat itu bahkan tidak masuk akal bagi mereka
karena bisa masuk akal bagi orang lain, apalagi bila tidak.
Tapi itu adalah bagian yang menyeramkan. Sebagai
katalisator kita bisa mengabaikannya [intuisi atau firasat]"

"Menjadi katalisator adalah mengetahui kapan


waktunya untuk keluar dari posisi netral dan bergerak.
Waktunya membawa energi masuk, bergerak maju, atau
menghentikan rangkaian. Merasakan apa yang dibutuhkan
saat ini.

"Saya merasa nyaman dalam suasana dengan 40%


sampai 70% informasinya, dengan intuisi yang kuat
(firasat). "Yang lain juga bisa menganggap katalis nyaman
dengan ambiguitas. Katalis tahu bahwa untuk melakukan
122 Dr. Rimba Hamid, M.Si

transformasi, mereka harus bergerak melalui wilayah yang


tidak diketahui. Dan sementara beberapa katalis merangkul
ambiguitas, ia juga bisa mendorong katalis sakit pikiran.
Jadi mungkin bukan karena mereka menyukai atau
menerima ambiguitas. Namun, mereka mungkin merasa
nyaman dengan ambiguitas atau dengan mengetahui
ambiguitas tak terelakkan. Ini masih bisa menjadi hal yang
sangat menantang untuk dicobanya. Ini hanyalah bagian dari
apa yang HARUS memenuhi dorongan bawaan pikiran
mereka. Mereka tahu perasaan tentang keadaan akhir yang
mereka hadapi - mereka telah melihatnya, merasakannya.
Jadi mereka akan lebih nyaman bersandar pada apa yang
diperlukan untuk mencapainya.

“Orang lain bisa merasa tidak nyaman bekerja


dengan saya, jika mereka bekerja tanpa mengetahui tujuan
mereka. Saya juga tidak tahu ke mana saya akan pergi dan
bagi saya itulah keindahannya”.

"Ada bahaya dengan katalisator yang tidak secara


jelas berbagi visi penuh. Katalis itu mungkin tahu, atau
mungkin cukup masuk akal, tapi mungkin tidak bagus dalam
membagikannya sehingga orang lain mungkin merasa kacau
atau keruh. Jadi orang yang tidak pandai dengan ambiguitas
bisa terganggu dengan katalisator."
Katalisme Dalam Pembelajaran Sains 123

4. Mendorong untuk Aksi Transformasi

Prosesnya tidak berhenti pada pengolahan dan


melihat kemungkinan katalis HARUS melakukan tindakan.
Sungguh menyakitkan untuk tidak mengambil tindakan. Dan
di pusat dorongan mereka mengubah dunia menjadi lebih
baik. Dorongan ini berjalan seperti tujuan seumur hidup
untuk membuat dunia di sekitar mereka menjadi lebih baik.

"Saya membuat sesuatu terjadi! Jika saya melakukan


pekerjaan atau proyek, saya ingin memimpin dan
mewujudkannya. Saya ingin membuatnya sukses. Saya
melihat bagian yang bergerak untuk mewujudkannya. Saya
melihat tujuan dan cara membuatnya ke sana”

"Menjadi katalis adalah mencari tahu dan


mendapatkan hasilnya. ... Ini tentang memahami masalah
dan memikirkan bagaimana cara mengatasinya. ... Sebagai
katalisator, Anda mengkatalisis sesuatu yang tidak
dikatalisis. Hal-hal dalam keadaan yang tidak terjadi -
situasi yang perlu kerja. Dan setiap bisnis perlu bekerja.
Tapi mengoptimalkan sesuatu yang beroperasi pada 94%
bukanlah tantangan yang diinginkan katalis. Hal tersebut
tidak menarik. Begitulah prosesnya: 1. Visi, 2. Aksi, 3.
Hasil. Untuk menjadi katalis nyata Anda harus mencapai
hasil. Jika Anda hanya memiliki visi yang tidak membuat
perubahan. Ini adalah sebuah kontinum. Sebagai katalisator
124 Dr. Rimba Hamid, M.Si

ada beberapa pengertian tentang "hasil apa yang Anda


capai?" Jika tidak ada hasilnya, maka Anda adalah orang
yang sebatas ide saja. "

"Bisakah kamu mengubah situasi? Apakah Anda


memiliki peran transformatif dalam bagaimana putri Anda
melihat dunia, bagaimana departemen Anda mendekati
penelitian, bagaimana Anda melakukan analisis? Sebagai
katalis, itu adalah jenis DNA Anda - Anda memiliki
dorongan untuk melakukannya! Memikirkan bagaimana
sesuatu bisa tumbuh, menyenangkan, dan inovatif. "

"Ini semua tentang arus dan gerakan. Menjaga hal-


hal bergerak ke arah kemajuan dan kemungkinan serta di
mana ada keterbukaan versus jalan buntu dan pintu tertutup.
Ini seperti rasa 'Kami sedang menuju jalan buntu, berpegang
pada saya pikir kita mungkin ingin membelok ke kiri, ayo
kita jalani kiri!' Katalis adalah tentang menjaga agar jalan
tetap terbuka daripada mengarahkan Anda ke jalan buntu
atau tidak. Pergi kemana saja, ini adalah kemajuan. Itulah
yang dibawa katalis: kemajuan. "

"Seseorang yang melihat dunia untuk melihat


bagaimana hal itu saling menguntungkan. Bagaimana kita
bisa memperbaiki apa yang ada? Jika Anda memiliki
pelayanan yang baik, saya memikirkan bagaimana
membuatnya lebih baik. Saya selalu memeriksa dan
Katalisme Dalam Pembelajaran Sains 125

mencoba membuatnya lebih baik. Orang mengatakan, 'Saya


ingin mengubah dunia' tapi yang saya pikirkan adalah
'Bagaimana cara mengubah dunia menjadi lebih baik?
versus hanya mengeksekusi.

Sebagai pengubah permainan, saya biasanya


memikirkan perubahan sistem atau ekosistem, dan apa
pemicunya. Dalam membicarakan perubahan sistem atau
ekosistem, Anda perlu bergerak melampaui status quo
(orang atau proses) dan mengakui kerendahan hati - Anda
memerlukan orang lain dan bergeser dalam peran untuk
sukses. Jadi perubahan permainan atau pengkatalogan
dengan integritas berarti menjadi jelas pada gambaran
jangka panjang bahwa Anda bersedia untuk gagal dan
bereksperimen untuk membuahkan hasil - dan dibutuhkan
lebih dari Anda untuk membangun masa depan secara
berkelanjutan. "

"Mereka didorong oleh suatu tujuan - mereka lebih


melihat dunia sebagai tempat yang lebih baik karena apa
yang ingin mereka lakukan. Mereka menganggap diri
mereka lebih sebagai agen sesuatu yang harus terjadi. "

5. Menciptakan Visi

Begitu katalis menentukan ide tertentu layak


dilakukan, mereka mengembangkan visi - seringkali tanpa
susah payah. Katalis bisa memandang dengan sempurna.
126 Dr. Rimba Hamid, M.Si

Hal ini, sebenarnya, jelas bagi mereka karena data yang


mereka ambil dan prosesnya.

"Sebagai katalisator ada visi dan eksekusi. Anda


mengkatalisis sesuatu karena suatu alasan. Anda harus
memiliki visi untuk apa yang ingin Anda capai. Ini
menyiratkan hasil akhir. Orang itu harus bisa pergi ke suatu
tempat. Saya adalah orang yang berorientasi pada hasil.
Saya menguraikan sebuah visi dan saya sampai di sana"

"Ada visi yang kuat tentang apa yang ingin saya


lakukan. Meskipun jika saya menjelaskannya kepada
seseorang yang mereka tidak selalu melihatnya ... terkadang
sulit untuk diantarkan karena mereka melihat dalam 2
dimensi dan saya melihat di 3. Anda hanya bisa mengerti
matriksnya setelah Anda masuk dalam matriks. Tidak
mungkin menjelaskan hal ini kepada orang lain. ”

"Katalis adalah influencer yang memiliki pengaruh-


kemampuan. Mereka melukis gambar tentang apa yang
mungkin; apa yang ada di depan. Keduanya strategis ...
strategis dengan kemampuan yang mempengaruhi. Mereka
bisa melihat lebih jauh ke depan daripada yang bisa
dilakukan orang lain, dan katalisator bisa membuat orang
terinspirasi untuk bergerak ke arahnya sehingga bukan
hanya sebuah ide. Mereka tahu bagaimana cara
mengerahkan orang, dan benar-benar ingin membuat
Katalisme Dalam Pembelajaran Sains 127

perbedaan, yang suka menggeser sesuatu dan menciptakan


sesuatu yang baru, yang ingin terlibat dalam menciptakan
hal baru dan membuat perubahan terjadi dan membuat orang
terlibat dalam hal itu. Mereka bukan mesinnya, tapi butuh
orang untuk menjadi mesin, dan lebih sebagai ... sopir, yang
tidak bisa pergi ke mana pun tanpa mobil dan mesin, tapi
mereka membantu mengendarai mobil di suatu tempat dan
mengarahkannya.

6. Pola pikir Belajar dan Eksperimen

Atribut umum katalis yang terakhir adalah


bagaimana mereka terlibat dengan dunia di sekitarnya saat
mengambil tindakan yang memungkinkan gerakan maju
yang konstan. Seperti seorang ilmuwan atau desainer
mereka memiliki pola pikir belajar dan eksperimentasi.
Proses ini disebut banyak hal yang berbeda, seperti proses
berpikir desain, action learning atau action research. Katalis
adalah seorang naturalis, dimana setiap tindakan baru yang
mereka lakukan, mereka memantau hasilnya, belajar dan
kemudian melakukan iterasi (pengulangan) untuk membuat
langkah selanjutnya yang lebih baik lagi. Proses ini
memungkinkan tindakan konstan dan memungkinkan
terjadinya reframe kegagalan. Jika Anda melihat tindakan
Anda sebagai 'benar' atau 'salah', maka tindakan yang benar
mengarah pada kesuksesan dan tindakan yang salah
128 Dr. Rimba Hamid, M.Si

menyebabkan kegagalan. Jika, sebagai katalis, Anda melihat


tindakan Anda sebagai eksperimen, bahkan jika ada sesuatu
yang tidak berakhir seperti yang Anda duga, hanya
informasi - informasi berharga yang memandu bagaimana
langkah selanjutnya Anda harus diarahkan. Hasil tak terduga
atau "kegagalan" menjadi tantangan, bukan titik akhir. Pola
pikir ini menciptakan ketahanan yang luar biasa dan
membuat katalis di antara kita tampak apik dalam
menghadapi kesulitan.

Cara ini bisa menjadi sulit bagi orang-orang di


sekitar mereka karena bahkan ketika semuanya berjalan
dengan baik, katalis tidak berhenti melihat kemungkinan
dan optimalisasi untuk hasil yang lebih baik. Kecepatan
iterasi, inovasi dan perubahan bisa membuat orang di sekitar
mereka gila.

"Mengubah permainan atau mengkatalisis dengan


integritas berarti menjadi jelas dalam gambaran jangka
panjang bahwa Anda bersedia untuk gagal dan
bereksperimen untuk membuahkan hasil ... Saya tidak
menyerah."

"Saya paling bahagia saat bermain-main dan


bereksperimen. Bisa dijadikan bukti konsep. Mengambil
gagasan dari konsep gila menjadi sesuatu yang nyata. "
Katalisme Dalam Pembelajaran Sains 129

Saya telah belajar betapa pentingnya memiliki pola


pikir belajar dan tidak pernah merasa puas diri karena kita
tahu semuanya. Jadi sebagai katalisator saya suka mengajar
orang lain untuk memiliki pola pikir belajar. Tanpa itu,
kesuksesan hanya terlihat berbeda. "

Kesimpulan: Mengapa Kita Harus Peduli Katalis?

"Kami mendengar dari pemimpin, bahwa meskipun


perubahan selalu menjadi bagian penting dari apa yang harus
mereka hadapi, sekarang kecepatan dan sifatnya berbeda secara
dramatis. Pemimpin dulu bisa mengandalkan pola, aturan dan
siapa yang membuat peraturan. Sekarang konstanta ini telah
ditantang. "

1. Kecepatan perubahan telah meningkat di dunia kita.


Sekarang, lebih dari sebelumnya, kita membutuhkan orang
yang siap untuk bersandar dengan nyaman menjadi
perubahan. Kita membutuhkan orang-orang yang dapat
melihat dunia yang berubah di sekitar mereka dan dengan
cepat menemukan ide untuk diperbaiki dan dibangun.
Membantu katalisator memahami diri mereka sendiri
sehingga mereka bisa bersandar pada kemampuan mereka
merasa penting.
2. Ada pola yang jelas mengenai lingkungan terbaik di mana
mereka dapat memaksimalkan dampaknya. Dan ini
membantu kita semua untuk menolong orang-orang di
130 Dr. Rimba Hamid, M.Si

seputar katalis belajar bagaimana untuk lebih nyaman


bergabung dalam proses daripada merasakan hambatan atau
ketakutan yang dapat terjadi saat bekerja dengan katalis.
Kita semua bisa mendapatkan keuntungan dari menjadi
lebih nyaman dengan laju perubahan dan proses yang dapat
dimanfaatkan katalis secara alami. Belajar dari katalis
sehingga kita semua bisa lebih tangguh dan kita semua bisa
bersandar pada berbagai tantangan yang muncul dalam
kehidupan kita sehari-hari, di organisasi kita, di komunitas
kita dan di dunia kita. Seiring dunia kita bergerak lebih
cepat dan ekonomi kita bergerak ke pekerjaan yang tidak
standar, kita semua dapat dilayani dengan membangun
kemampuan untuk mengambil apa yang baru, mengidealkan
dan membingkai kembali kegagalan saat kita mencoba hal-
hal baru.

Perspektif di atas menjadi penting dalam konteks


pembelajaran, di mana guru sebagai seorang katalis hendaknya
dapat memotivasi siswa menjadi katalis-katalis baru karena
motivasi guru tersebut. Dengan motivasi, maka peserta didik
akan menjelma menjadi seorang dengan pemikiran yang tidak
terbatas dalam ide yang tidak terkurung oleh definisi, tetapi
mampu berimajinasi melampaui batas-batas realitas di
selilingnya.
Katalisme Dalam Pembelajaran Sains 131

Periset mencatat bahwa hal ini akan menambah


pentingnya iklim sekolah dalam menciptakan kondisi di mana
para guru dapat memberi inspirasi. Ini mereka anggap sebagai
pengasuhan dan terbuka terhadap inovasi dan pengambilan
risiko: "Iklim di mana seorang guru menemukan diri mereka
menguatkan atau mengurangi potensi mereka - guru dinilai
bekerja dalam konteks di mana sekolah tidak mengharapkan
bahwa setiap orang akan mengajar dalam hal yang sama. Fitur
utama nampaknya merupakan dorongan untuk mengambil risiko
untuk memungkinkan inovasi, harapan yang tinggi dalam
kaitannya dengan kemajuan dan pencapaian tetapi sebuah pola
pikir yang menerima fleksibilitas dalam kaitannya dengan
bagaimana sekolah tersebut sampai di sana. Kehadiran seorang
guru yang inspiratif dapat bertindak sebagai katalisator
perubahan jika ada semangat penyelidikan dan praktik bersama
(Sammons, at al. 2014).

Gever Tulley adalah salah seorang katalisator guru


semacam itu. Dia adalah pendiri Brightworks, sebuah sekolah
independen di San Francisco yang bekerja seperti laboratorium
terbuka. Guru dan peserta didik menciptakan kurikulum,
menangani topik melalui "busur" yang dimulai dari eksplorasi
(penelitian), bergerak menuju ekspresi (proyek yang dirancang
sendiri), dan berpuncak pada eksposisi (evaluasi ulang). Peserta
didik didorong untuk memecahkan masalah, bukan hanya lulus
tes. Motto sekolah adalah "Semuanya menarik," dan itu tidak
132 Dr. Rimba Hamid, M.Si

hanya mencakup topik - topik terkini, yang memfasilitasi


keterlibatan langsung di mana para guru dan peserta didik
menjadi mitra dalam penemuan.

Sebagai contoh, busur yang diberi garis / mistar


dirancang untuk menggambarkan nilai presisi dan ketepatan.
Pada tahap eksplorasi, para peserta didik dengan cepat mulai
bertanya-tanya bagaimana mengukur jarak lebih lama dari pada
penguasa. Mereka menggunakan kunjungan lapangan ke
Jembatan Golden Gate untuk menguji langkah masing-masing
sebagai alat ukur, dan kemudian berjalan di jembatan untuk
menghitung langkah mereka. (Seorang gadis berusia 12 tahun
memperkirakan panjang jembatan sepanjang 4.200 kaki itu
dalam jarak enam kaki, margin kesalahan kurang dari seperlima
persen.)

Untuk tahap kedua, sepuluh anak kelas enam sampai


sembilan peserta didik mengusulkan untuk memperbaiki akses
ke bagian yang tidak terpakai di kelas mereka dengan
membangun jembatan antara mezzanine dan lantai dua. Selama
tiga minggu, mereka menangani masalah teknik seperti bantalan
beban dan nilai model skala dan prototipe. Mereka bekerja
melalui kemunduran yang tak terduga ketika jembatan tersebut
ternyata lebih berat daripada sepuluh anak muda yang bisa
diangkat, yang membuat mereka mengeksplorasi literatur
pelayaran dari abad ke-17 dan ke-18 untuk mendapatkan
Katalisme Dalam Pembelajaran Sains 133

informasi tentang keuntungan mekanis katrol. Pada akhirnya,


mereka mengangkat dan mengayunkan jembatan yang sekarang
memperbaiki kelas mereka secara permanen dan membantu
sekolah secara keseluruhan. (Ferrero, 2014).

Pentingnya kerja seperti ini sangat penting. Cara-cara di


mana pekerjaan disambut dan ditanggapi tidak dapat diprediksi
karena karya itu sendiri merupakan katalisator gagasan dan
peserta didik yang terinspirasi untuk memikirkan isu-isu penting
hari ini dan masa depan. Fakta bahwa karya seni menghasilkan
banyak titik masuk berarti tidak ada batasan bagaimana peserta
didik dan guru dapat merespons - dan kemudian pemikiran
kreatif dapat bertahan (Ibrek, 2016).

C. Katalisme dalam Perpektif Pembelajaran

Teori-teori pembelajaran yang yang dapat menjadi dasar


pengembangan konsep proses katalis dalam pembelajaran
sebagaimana penulis sarikan dari buku Learning and Instruction:
Teori dan Aplikasi yang ditulis oleh Margaret E. Gredler sebagai
berikut:
134 Dr. Rimba Hamid, M.Si

1. Teori Psikologi Gestalt (Tinjauan Molar)


Perbandingan antara Behaviorisme dan Teori Gestalt

Karakteristik
Behaviorisme Teori Gestalt
Utama
Asumsi dasar a. Perilaku yang dapat Individu bereksi
diamati, bukan even kepada sebuah
sadar atau mental, kesatuan; karena itu,
harus dipelajari
b. Belajar adalah
pembelajaran adalah
perubahan orgnisasi dan
c. Hubungan antara reorganisasi bidang
stimuli dan respon sensoris.
harus dipelajari Kesatuan tersebut
memiliki property
baru yang berbeda
dari yang ada pada
elemen tersebut.
Eksperimen a. Trial and error: Mengorganisasikan
umum Tikus menyusuri kembali: Subjek
labirin; binatang ditempatkan dalam
keluar dari kandang
b. Respon emosional
situasi yang
atau refleks: mensyaratkan
Pemasangan restrukturisasi bagi
stimulus solusi.
Karakteristik
Utama
Behaviorisme Teori Gestalt
Formula belajar a. Stimulus – respon – Konstelasi stimuli –
imbalan organisasi - reaksi
b. Respons emosional:
Stimulus 1

Respon

Stimulus 2

Sumber: Gredler, 2011: 76


Katalisme Dalam Pembelajaran Sains 135

2. Teori Pengkondisian Berpenguat Skinner


Ringkasan Teori Skinner

Elemen Dasar Definisi


Asumsi Perubahan perilaku adalah fungsi dari kondisi
dan kejadian lingkungan
Belajar Perubahan dalam perilaku direpresentasikan
dengan meningkatnya frekuensi respons
Keluaran (hasil) Respon baru (perilaku)
belajar
Komponen (So)-(R)-(Sreinf)
belajar
Desain Desain sekuensi stimuli-respon-penguatan
pengajaran untuk untuk mengembangkan seperangkat respon
belajar yang yang kompleks
kompleks
Isu-isu utama Transfer stimulus kontrol, waktu penguatan,
dalam desain menghindari penggunaan hukuman
pengajaran
Analisis Teknologi
Kelemahan 1) Teknologi untuk situasi yang
kompleks masih belum lengkap;
analisis yang sukses bergantung pada
keterampilan pengembangannya.
2) Frekuensi respon sulit dipublikasikan
sebagai ukuran probabilitas untuk
perilaku yang kompleks.
Kontribusi pada 1) Analisis keadaan seperti “kesiapan”
praktek di kelas dan “motivasi”
2) Analisis praktik kelas aversif dan
situasi kelas interaktif.
3) Individualisasi materi belajar: mesin
pengajaran, mikrokomputer
Sumber: Gredler, 2011: 163
136 Dr. Rimba Hamid, M.Si

3. Teori Kondisi Belajar Gagne


Ringkasan Kondisi Teori Gagne

Elemen Dasar Definisi


Asumsi Di dalam parameter pertumbuhan,
pengembangan merupakan hasil dari
efek komulatif.
Karakteristik belajar meiputi lebih dari
proses tunggal, dan proses-proses itu
tidak dapat direduksi menjadi satu
proses
Belajar Tahapan pemrosesan informasi yang
ditunjang oleh rangsangan dari
lingkungan dilakukan untuk jenis belajar
yang berbeda.
Elemen Dasar Definisi
Hasil belajar Kapasitas internal yang terwujud dalam
kinerja tertentu untuk masing-masing
jenis belajar
Komponen belajar Lima ragam belajar: informasi verbal,
keterampilan intelektual, strategi
kognitif, sikap, dan keterampilan
motoric.
Kondisi belajar eksternal: kegiatan
pembelajaran
Rancangan Menyajikan peristiwa pembelajaran
pembelajaran untuk untuk urutan keterampilan yang ada
keterampilan yang dalam prosedur dan hirarki belajar.
kompleks
Isu pokok dalam Identifikasi kapabilitas yang akan
merancang dipelajari; analisis atas tujuan;
pembelajaran pemilihan peristiwa pembelajaran yang
cocok.

Analisis Teori
Kelemahan Sulit untuk diimplementasikan oleh guru
di kelas tanpa latihan khusus
Katalisme Dalam Pembelajaran Sains 137

Analisis Teori
Kontribusi pada Memberikan mekanisme untuk
praktik di kelas merancang pembelajaran dari yang
sederhana ke yag kompleks;
mengidentifikasi proses psikologis
dalam belajar manusia kumulatif.
Menjelaskan diversitas belajar manusia
Menghubungkan kegiatan pembelajaran
dengan fase spesifik di dalam
pemrosesan informasi

Sumber: Gredler, 2011: 221

4. Teori Perkembangan Kognitif Jean Piaget


Ringkasan Teori Perkembangan Kognitif Jean Piaget

Elemen Dasar Definisi


Asumsi Kecerdasan, seperti system biologis,
mengonstruksi struktur yang dibutuhkannya
untuk berfungsi
Mengetahui adalah interasi antara individu
dan lingkungannya
Pertumbuhan kecerdasan dipengruhi oleh
empat faktor
(lingkungan fisik dan sosial, maturasi, dan
penyeimbangan)
Perkembangan Pertumbuhan pemikiran logis dari bayi
kognitif hingga dewasa
Hasil perkembangan Konstruksi struktur baru dari struktur
kognitif sebelumnya (yakni skema tindakan, operasi
konkrit dan formal)
Komponen Asimilasi dan akomodasi, diatur oleh
perkembangan penyeimbangan pengalaman fisik dan
kognitif pengalaman logika matematik
138 Dr. Rimba Hamid, M.Si

Elemen Dasar Definisi


Memfasilitasi Memberi kesempatan luas untik
pemikiran logis eksperimentasi dengan objek fisik yang
didukung oleh interaksi antar teman dan
pertanyaan guru.
Isu utama dalam Menjga relasi timba balik antara anak dan
desain pembelajarn pendidikan; menghindari pengajarn
langsung dan koreksi “kekeliruan” anak
Analisis Teori
Kelemahan Memahami istilah dan definisi dasar adalah
sulit
Kurikulum Piagetian sulit
diimplementasikan dan dipertahankan
Perspektifnya mengesampingkan relasi
antara pemikiran logis dan belajar dasar,
seperti membaca
Kontribusi untuk Memeberi deskripsi yang kaya tentang dunia
praktis kelas mellui mata si anak
Mengidentifikasi proses dalam kurikulum,
terutama pengajaran matematika dan sains
sebagai “pengetahuan yang disosialisasikan”
Mengoperasionalkan konsep “belajar
menemukan”

Sumber: Gredler, 2011: 364


Katalisme Dalam Pembelajaran Sains 139

5. Teori Perkembangan Psikologi Kultural-Historis Vygotsky


Ringkasan Teori Kultural-Historis Vygotsky
Elemen Dasar Definisi
Asumsi 1) Kognisis manusia tidak dapat dijelaskan
melalui perilaku hewan
2) Manusia adalah rasional dan mampu
mengontrol pikirannya
3) Perkembangan kognitif dapat
dideskripsikan oleh sistesis dialektis
4) Perangkat psikologis yg dikembangkan oleh
manusia akan mengubah pemikiran mereka
5) Proses kognitif harus dipelajari dengan cara
mengungkapkan dinamika dan sifatnya
yang terus berubah.
Elemen Dasar Definisi
Perkembangan Perkembangan fungsi mental kompleks yang
kognitif menggunakan stimuli baik yang sudah ada
maupun stimuli yang diciptakan.
Komponen Internalisasi tindakan yang pertama kali muncul
perkembangan pada bidang interpsikologis; pengusaan lambing
dan symbol kultur dan belajar untuk
menggunakannya guna menguasai perilaku.
Hasil Fungsi mental yang kompleks, termasuk atensi
perkembangan yang diatur sendiri, persepsi kategoris,
kognitif pemikiran konseptual dan memori logis.
Desain pembela- Mengembangkan pengetahuan sadar dan
jaran untuk penguasaan pemikiran melalui konsep
keterampilan pengajaran dan penggunaan menulis untuk
yang kompleks berpikir.
Analisis Teori
Kelemahan Ketidak lengkapan system dan kurangnya
pedoman spesifik untuk penerapannya.
Kontribusi Pengenalan kontribusi psikologis dari stimuli
yang diciptakan dalam perkembangan kognitif;
pentingnya interaksi sosial dan sifat sosial
belajar

Sumber: Gredler, 2011: 415


140 Dr. Rimba Hamid, M.Si

6. Teori Kognitif-Sosial Albert Bandura


Ringkasan Teori kognitif-Sosial Albert4 Bandura
Elemen Dasar Definisi
Asumsi Belajar adalah interaksi tiga arah antara
lingkungan, factor pribadi, dan perilaku yang
melibatkan proses kognitif pemelajar
Komponen belajar Model perilaku, konsekuensi bagi model, dan
proses kognitif pemelajar
Hasil belajar Kode visual dan verbal yang mungkin atau
mungkin tidak dilakukan nanti
Desain Selain keterampilan komponen,
pembelajaran untuk mengembangkan pemahaman ketangguhan
keterampilan yang dan pengaturan diri pemelajar.
kompleks
Isu utama dalam Mengadakan geladi mental sebelum latihan;
perancangan menghindari penghilangan penguatan atau
pembelajaran hukuman ketika dibutuhkan; menghindari
penggunaan hukman secara berlebihan.
Analisis Teori
Kelemahan Sulit untuk mengimplementasikan persyaratan
bagi ketangguhan diri dan pengaturan diri
bersama dengn perioritas kelas lainnya.
Kontribusi Mendeskripsikan sikap dan berbagai perilaku
yang diperoleh dari media massa
Memberi deskripsi perinci mengenai
mekanisme penguatan dan hukuman dalam
latar kelompok
Mengidentifikasi arti penting ketangguhan diri
dalam belajar.

Sumber: Gredler, 2011: 467


Katalisme Dalam Pembelajaran Sains 141

7. Teori Motivasi Akademik


Ringkasan perspektif motivasional
Elemen Dasar Definisi
Asumsi Motivasi berkembang dari interaksi kompleks
factor internal dan eksternal; individu secara aktif
memproses informasi; dan keyakinan yang terkait
prestasi dalam onformasi eksplisit.
Proses Penentu utama dari perilaku yang terkait dengan
motivsional prestasi adalah:
1) Ekspektasi kesuksesan peserta didik dan nilai
tugas
2) Orientsi tujuan prestasi peserta didik; atau
3) Atribusi peserta didik untuk hasil yang sukses /
gagal
Komponen 1) Memori afektif peserta didik, tujuan dan
motivasi skemata dari peserta didik, yang secara
langsung memengaruhi ekspektasi dan nilai;
2) Pendektan performa, penguasaan, dan orientsi
penghindaran performa; atau
3) Atribusi utama (kemampuan, usaha, kesulitan
tugas, mood, atau sakit, keberuntungan) dan
dimensi (lokus kausalitas, stabilitas, dan
keterkendalian)
Analisis Teori
Kelemahan Prosesdur kelas spesifik belum dikembangkan
Identifikasi aktifitas kelas yang memberi
kontribusi untuk perilaku peserta didik yang
maladaptif dan masalah yang inheren dalam kelas
yang kompetitif.
Kontribusi untuk Memberikan kerangka untuk riset dan analisis
praktik kelas kegiatan afektif yang berjalan di kelas.

Sumber: Gredler, 2011: 516


142 Dr. Rimba Hamid, M.Si
Katalisme Dalam Pembelajaran Sains 143

OPTIMALISASI PERAN
5 KATALITIK GURU DALAM
PEMBELAJARAN SAINS

A. Peran Guru dalam Pembelajaran

Proses pembelajaran ataupun kegiatan belajar-mengajar


tidak bisa lepas dari keberadaan guru. Tanpa adanya guru
pembelajaran akan sulit dilakukan, apalagi dalam rangka
pelaksanaan pendidikan formal, guru menjadi pihak yang sangat
vital. Guru memiliki peran yang paling aktif dalam pelaksanaan
pendidikan demi mencapai tujuan pendidikan yang hendak
dicapai. Guru melaksanakan pendidikan melalui kegiatan
pembelajaran dengan mengajar pemelajar atau peserta didik.
Peserta didik juga akan kesulitan dalam belajar ataupun
menerima materi tanpa keberadaan guru, hanya mengandalkan
sumber belajar serta media pembelajaran saja akan sulit dalam
penguasaan materi tanpa bimbingan guru. Guru juga memiliki
banyak kewajiban dalam pembelajaran dari mulai merencanakan
144 Dr. Rimba Hamid, M.Si

pembelajaran, melaksanakan proses pembelajaran, hingga


melakukan evaluasi pembelajaran yang telah dilakukan.
Dari semua proses pembelajaran mulai perencanaan
hingga evaluasi pembelajaran, maka profesi guru memiliki
banyak peran. Sardiman (2011: 143-144) menyebutkan bahwa
terdapat beberapa pendapat yang menjelaskan mengenai peran-
peran yang dimiliki oleh guru, antara lain adalah:
1 Prey Katz yang menggambarkan peranan guru sebagai
komunikator, sahabat yang dapat memberikan nasihat-
nasihan, motivator sebagai pemberi inspirasi dan dorongan,
pembimbing dalam pengembangan sikap dan tingkah laku
serta nilai-nilai, dan sebagai orang yang menguasai bahan
yang diajarkan.
2 Havighurst menjelaskan bahwa peranan guru di sekolah
sebagai pegawai dalam hubungan kedinasan, sebagai
bawahan terhadap atasannya, sebagai kolega dalam
hubungannya dengan teman sejawat, sebagai mediator
dalam hubungannya dengan anak didik, sebagai pengatur
disiplin, evaluator dan pengganti orang tua.
3 James W. Brown mengemukakan bahwa tugas dan peranan
guru antara lain menguasai dan mengembangkan materi
pelajaran, merencanakan dan mempersiapkan pelajaran
sehari-hari, mengontrol dan mengevaluasi kegiatan peserta
didik.
Katalisme Dalam Pembelajaran Sains 145

4 Federasi dan Organsasi Profesional Guru Sedunia


mengungkapkan bahwa peranan guru di sekolah tidak hanya
sebagai transmitter dari ide tetapi juga berperan sebagai
transformer dan katalisator dari nilai dan sikap.
Berdasarkan pendapat-pendapat mengenai peranan guru
di atas, Sardiman (2011: 144-146) merincikan peranan guru
tersebut menjadi 9 peran guru. 9 peranan guru dalam kegiatan
belajar mengajar tersebut yaitu:
1. Informator. Sebagai pelaksana mengajar informatif,
laboratorium, studi lapangan dan sumber informasi kegiatan
akademik maupun umum.
2. Organisator. Pengelola kegiatan akademik, silabus,
workshop, jadwal pelajaran dan lain-lain. Organisasi
komponen-komponen kegiatan belajar harus diatur oleh
guru agar dapat mencapai efektivitas dan efisiensi dalam
belajar pada diri guru maupun peserta didik.
3. Motivator. peran sebagai motivator penting artinya dalam
rangka meningkatkan kegairahan dan pengembangan
kegiatan belajar peserta didik. Guru harus mampu
memberikan rangsangan, dorongan serta reinforcement
untuk mengembangkan potensi peserta didik, menumbuhkan
swadaya (aktivitas) dan daya cipta (kreativitas), sehingga
akan terjadi dinamika dalam proses belajar.
146 Dr. Rimba Hamid, M.Si

4. Pengarah atau Director. Guru harus dapat membimbing dan


mengarahkan kegiatan belajar peserta didik sesuai dengan
tujuan yang dicita-citakan.
5. Inisiator. Guru sebagai pencetus ide-ide dalam proses
belajar. Ide-ide yang dicetuskan hendaknya adalah ide-ide
kreatif yang dapat dicontoh oleh anak didik.
6. Transmitter. Dalam kegiatan belajar mengajar guru juga
akan bertindak selaku penyebar kebijaksanaan pendidikan
dan pengetahuan.
7. Fasilitator. Guru wajib memberikan fasilitas atau
kemudahan dalam proses belajar mengajar misalnya dengan
menciptakan susana kegiatan pembelajaran yang kondusif,
serasi dengan perkembangan peserta didik, sehingga
interaksi belajar mengajar berlangsung efektif dan optimal.
8. Mediator. Mediator ini dapat diartikan sebagai penengah
dalam kegiatan belajar peserta didik. Misalnya saja
menengahi atau memberikan jalan keluar atau solusi ketika
diskusi tidak berjalan dengan baik. Mediator juga dapat
diartikan sebagai penyedia media pembelajaran, guru
menentukan media pembelajaran mana yang tepat
digunakan dalam pembelajaran.
9. Evaluator. Guru memiliki tugas untuk menilai dan
mengamati perkembangan prestasi belajar peserta didik.
Guru memiliki otoritas penuh dalam menilai peserta didik,
Katalisme Dalam Pembelajaran Sains 147

namun demikian evaluasi tetap harus dilaksanakan dengan


objektif. Evaluasi yang dilakukan guru harus dilakukan
dengan metode dan prosedur tertentu yang telah
direncanakan sebelum kegiatan pembelajaran dimulai.
Bisa dilihat bahwa guru memiliki banyak peran yang
harus dikerjakan bersamaan. Dari peran-peran yang dimiliki
guru tersebut tentunya guru mengemban tugas yang cukup
kompleks, bukan hanya sekadar mengajar saja, sehingga sangat
pantas profesi guru diberikan apresisasi yang tinggi karena
jasanya yang aktif dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa seperti yang tertuang pada pembukaan UUD 1945.
Guru juga dipandang sebagai pekerjaan dan memiliki
tanggung jawab moral di masyarakat. Seorang yang memiliki
profesi sebagai guru banyak dianggap sebagai tokoh masyarakat
dan layak untuk dijadikan panutan. Hal ini membuat peranan
guru semakin lengkap dan tidak sembarang orang dapat begitu
saja menjadi guru.
Salah satu peran guru yang belum banyak dikaji atau
dibahas adalah “guru sebagai katalisator”. Peran ini sesunggunya
sangat substantif dan melekat pada diri seorang guru, karena
peran ini mencakup peran inisiator dan fasilitator guru dalam
mencapai tujuan pembelajaran. Oleh karena itu, pembahasan
pada bab selanjutnya akan mengulas lebih dalam mengenai
peran ini, yang ditinjau dari sudut pandang mekanisme
katalitisasi dari suatu reaksi kimia, dimana fungsi utama katalis
148 Dr. Rimba Hamid, M.Si

adalah mempercepat terjadinya reaksi karena menurunkan energi


aktivasi.
Dalam konteks pembelajaran yang sesungguhnya di kelas
pada tahapan akhir, yakni guru memiliki fungsi untuk
menyederhanakan suatu konsep melalui konteks tertentu agar
mudah dipahami oleh peserta didik. Hal ini tentu saja bukan
perkara mudah, karena seseorang yang mampu
menyederhanakan sesuatu maka berarti bahwa orang tersebut
memahami dengan baik sesuatu tersebut, sebagaimana
dikemukakan oleh Albert Einstein bahwa “If you can’t explain it
simply, you don’t understand it well enough”. Selanjutnya, guru
juga harus menginisiasi imaginasi peserta didik secara optimal
dalam pembelajaran IPA, karena imajinasi itu lebih penting dari
pengetahuan.
Bentuk hubungan yang terjadi antara guru dan peserta
didik di berbagai tingkat dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 4. Peran guru berdasarkan tingkat satuan pendidikan

Posisi
Tingkat
Peserta didik Guru
Anak Usia Dini Pemain Fasilitator
Sekolah Dasar Pekerja Pelatih
Sekolah Menengah
Penjelajah Pemandu
Pertama
Sekolah Menengah Atas Pemagang Mentor
Armstrong, The Best Schools, 2006: 230
Katalisme Dalam Pembelajaran Sains 149

Apa yang menjadi posisi guru dalam pembelajaran yang


dikemukakan di atas hanya terbatas pada aktivitas fisik dari guru
dan peserta didik, tetapi belum memuat peran subtantif dari
semuanya yakni peran guru sebagai katalisator. Peran katalisator
ini memungkinkan terjadinya “chemistry” antara guru dan
peserta didik dalam sebuah proses pembelajaran, karena pada
dasarnya suatu proses pembelajaran menghendaki terjadinya
transformasi mental anak dimana guru menginisiasinya melalui
peran katalisatornya.

Salah satu peran penting dari katalis adalah keterlibatannya


dalam mekanisme reaksi, yang jika dianalogikan dengan peran
guru yakni peran dalam proses kognisi bagi peserta didik yang
memproses informasi yang masuk dalam struktur kognitifnya.

Jika efek katalis guru dianalogikan pada proses scaffolding


dari Vygotsky, maka dapat dillustrasikan bahwa seorang peserta
didik akan mengambil sesuatu (konsep / pengetahuan baru) di
tempat yang ketinggian dan hanya dapat dijangkau oleh peserta
didik jika menggunakan alat bantu berup scaffolding sebagai
berikut:
1) Guru mengantar peserta didik menuju ke tangga
(scaffolding)
2) Guru menunjukkan cara memanjat dengan menggunakan
scaffolding.
150 Dr. Rimba Hamid, M.Si

3) Guru mengintruksikan dan membimbing peserta didik


dalam proses pemanjatan yang efektif.
4) Guru menunjukkan pengetahuan mana yang mestinya
diambil oleh peserta didik yang telah sampai di ujung atas
scaffolding.
5) Pengetahuan yang dapat diperoleh peserta didik adalah
hanya yang dapat dijangkau di ujung scaffolding dan
sekitarnya.
6) Masih banyak pengetahuan lain yang tidak dapat
diperolehnya karena berada di luar jangkauan.
Illustrasi ini memberi petunjuk bahwa semestinya dalam
proses perolehan pengetahuan oleh peserta didik, bukanlah guru
yang terlibat mengambil pengetahuan dan memberikan
pengetahuan tersebut pada peserta didik, tetapi peserta didiklah
yang secara aktif “memanjat tangga scaffolding” dan meraih
pengetahuan sesuai dengan kebutuhan konsep materi yang
diajarkan oleh guru yang pada dasarnya hanya berperan sebagai
katalis, yang menunjukkan jalan termudah (energi aktivasi
terkecil) menuju puncak scaffolding. Hal ini berkaitan dengan
bagaimana memaksimalkan pembelajaran dengan
mengoptimalkan zona proximal seperti yang digambarkan oleh
Warren, 2016 berikut.
Katalisme Dalam Pembelajaran Sains 151

Gambar. 17. Peran guru sebagai katalis dalam menghantar


peserta didik memanjat tangga scaffolding

B. Refleksi Peran Katalis dalam Konteks Pembelajaran

Sifat-sifat katalis:
1 Katalis tidak mengalami perubahan yang permanen dalam
reaksi, tapi terlibat dalam mekanisme reaksi.
Kesediaan guru melibatkan dirinya dalam proses
pembelajaran sehingga memahami keinginan peserta
didiknya. Konsep scaffolding dari Vigotsky.
2. Katalis mempercepat laju reaksi tetapi tidak mengubah jenis
maupun jumlah hasil reaksi.
152 Dr. Rimba Hamid, M.Si

Guru harus berupaya mempercepat pemahaman peserta


didik akan konsep yang diajarkan tanpa harus memaksa
perubahan karakter peserta didik, termasuk gaya belajar
masing-masing peserta didik.
3. Katalis tidak menurunkan energi aktivasi untuk reaksi,
melainkan menyediakan jalur alternatif untuk reaksi yang
memiliki energi aktivasi yang lebih rendah, tetapi tidak
mengubah entalpi reaksi.
Guru harus berupaya mengurangi atau meminimalisir
hambatan belajar yang dialami oleh peserta didik tanpa
harus mengurangi atau menurunkan kadar konsep materi
yang diajarkan dengan cara menyiapkan sejumlah
alternative cara / metode termudah memahami materi.
Banyak guru menurunkan standar materi agar hasil belajar
peserta didik tinggi, hal ini sama saja dengan menipu diri
sendiri.
4. Katalis mengubah mekanisme reaksi dengan menyediakan
tahap-tahap yang mempunyai energi pengaktifan lebih
rendah.
Guru harus memiliki sejumlah alternatif referensi mengenai
teknik, metode, strategi, dan model pembelajaran serta
memiliki kemampuan untuk menerapkannya yang dapat
divariasikan sesuai dengan karakteristik materi dan subjek
belajarnya.
Katalisme Dalam Pembelajaran Sains 153

Analogi berkaitan dengan katalis adalah seperti seorang


“pemandu” yang menunjukkan jalan yang lebih pandai
dalam menyeberangi gunung, sehingga waktu tempuh untuk
sampai ke tujuan lebih cepat dan energi yang digunakan
relative lebih kecil.
5. Katalis mempunyai aksi spesifik, artinya hanya dapat
mengkatalisis reaksi tertentu.
Guru harus memiliki kemampuan mengidentifikasi
karakteristik spesifik dari peserta didik baik secara
psikologis, maupun kognitif, sehingga proses pendampingan
secara individu lebih optimal. Misalkan peserta didik yang
underachiever, slow learner, atau sifat spesifik lainnya.
6. Katalis hanya diperlukan dalam jumlah sedikit.
Guru sedapat mungkin mengoptimalkan peran peserta didik
untuk lebih aktif mengkonstruksi pemikirannya dari mental
model awal yang dimilikinya pada suatu konsep dan
kemudian berproses menuju pada pemahaman model
konseptual yang diharapkan (scientific model). Keterlibatan
guru tidak dominan, dan yang lebih dominan adalah peran
peserta didik dalam berproses untuk mengonstruksi
pengetahuan barunya.
7. Katalis dapat teracuni.
Kekeliruan seorang guru dalam melakukan intervensi
terhadap proses pembelajaran dengan segala
kompleksitasnya akan “meracuni” proses kemajuan peserta
154 Dr. Rimba Hamid, M.Si

didik sehingga justru menghambat pencapaian tujuan


pembelajaran.

C. Transformasi Siklus Katalitik sebagai Sebuah Model


Pembelajaran Alternatif

Ada energi aktivasi peserta didik yang harus diatasi oleh


guru sehingga proses interaksi secara simultan dapat terjadi
(dapat dilakukan dengan memberi motivasi, dan bantuan
lainnya). Hal ini dapat diidentifikasi dengan mengetahui
pengetahuan awal yang dimiliki oleh masing-masing peserta
didik sebelum proses pembelajaran. Peran katalis guru dalam
pembelajaran adalah melibatkan diri dalam proses interaksi
peserta didik dengan respon yang diterimanya sehingga
memudahkan mereka memahaminya.

Setiap jenis reaksi memiliki energi aktivasi yang berbeda,


sehingga setiap proses interaksi peserta didik terhadap
pengetahuan baru harus disesuaikan oleh guru tingkat energi
aktivasinya sebagai katalisator dalam pembelajaran sehingga
seluruh proses dapat berjalan secara mandiri (bereaksi).

Tahapan dasar dari proses siklik katalisis sebagaimana


yang diillustrasikan pada Gambar 12 (siklus mekanisme
katalisis) menunjukkan bahwa proses ini dapat menjadi metafora
sekaligus analogi dalam pelaksanaan proses pembelajaran.
Katalisme Dalam Pembelajaran Sains 155

A P
B
Mulai siklus
berikutnya
Katalis Katalis

Berikatan Siklus Pembebasan

Katalisis
A B P
Katalis Katalis
Bereaksi

A dan B = Pereaksi
P = Hasil

1. Orientation atau Orientasi: pada fase ini guru berperan


memfasilitasi proses advance organizer (pengaturan awal)
(lihat teori Ausubel)
2. Bonding atau berikatan: pada fase ini guru sebagai
katalisator mengakomodasi proses bermakna yang
mempermudah terjadinya interaksi antara respond dan
stimulus. (lihat teori Respon –Stimulus) Skiner, Teori
Gelstal, dll
3. Reaction atau bereaksi: pada fase ini terjadi proses
pembentukan (bereaksi) struktur kognitif baru dari anak
didik, dimana peran katalisator guru sangat membatu
percepatan pembentukannya. (lihat teori Peaget, mengenai
struktur pengetahuan baru)
156 Dr. Rimba Hamid, M.Si

4. Separation atau pemisahan (pembebasan): pada fase ini,


terjadi pemisahan atau independensi struktur kognitif baru
dari peserta didik yang tidak bergantung lagi pada guru
sebagai katalis. Dengan demikian pada fase ini, peserta
didik dapat menerapkan pengetahuan barunya dalam
konteks persoalan yang berbeda. (lihat teori Vigotsky).
Siklus tersebut di atas dapat dikonfirmasi dengan teori
siklus belajar dari Piaget (exploration, invention dan discovery)
A dapat diandaikan sebagai respon (pengetahuan baru) yang
akan ditransformasikan dalam struktur kognitif peserta
didik.
B dapat dianggap sebagai stimulus dari struktur kognitif awal
peserta didik yang siap berikatan dengan pengetahuan baru
membentuk struktur kognitif baru

Katalis guru yang berperan menyesuaikan dengan struktur


kognitif yang akan dibentuk sehingga prosesnya lebih
efektif (lihat teori Ausubel mengenai advance
organizer)

Produk struktur kognitif baru yang terbentuk melalui proses


katalisasi oleh guru

Berdasarkan pada keseluruhan bahasan mengenai aspkek


katalitik guru dalam pembelajaran, maka berikut dapat
digambarkan intisari proses siklik dari yang dapat digunakan
Katalisme Dalam Pembelajaran Sains 157

sebagai model pembelajaran dalam kelas sains seperti pada


Gambar 18.

1 4
Guru memberi kebebasan
Guru menginisiasi proses Mulai siklus siswa berpikir melalui
berpikir siswa (eksplorasi berikutnya pengetahuan terbaru yang
pengetahuan awal) sebagai
dimilikinya pada lingkungan
dasar konstruksi
sosial dan budayanya (proses
pengetahuan berikutnya
ekuilibrasi)

Siklus
Berikatan Katalisis Pembebasan

Guru mengonfirmasi
Guru memfasilitasi konstruksi
pengetahuan baru hasil
berpikir siswa dari proses
konstruksi (produk) siswa
berikatannya pengetahuan/
Bereaksi melalui bimbingan guru (ada
konsep awal dan
produk hasil asimilasi dan
pengetahuan/konsep baru
akomodasi)
2 3

Gambar 18. Reflektif siklus katalisis dalam pembelajaran sains

Berdasarkan pada Gambar 18 tersebut, maka langkah-


langkah atau sintaksis pembelajaran dengan model pembelajaran
katalis dapat dirangkum dalam Tabel 5.

Secara operasional, tahapan-tahapan pembelajaran yang


dapat dilaksanakan berbasis siklus katalitik dapat diajukan
sebagai berikut:
158 Dr. Rimba Hamid, M.Si

Tabel 5. Sintaks Model Pembelajaran Katalis

Kegiatan Peserta
Tahap Kegiatan Guru
didik
Inisiasi / pada fase ini guru Peserta didik
Eksplorasi berperan menyampaikan
memfasilitasi proses pengetahuan atau ide
advance organizer awalnya tentang
(pengaturan awal) materi yang akan
agar proses dijelaskan guru.
pembelajaran lebih
bermakna
Fasilitasi pada fase ini guru Peserta didik
sebagai katalisator mengobservasi,
mengakomodasi mengajukan
proses bermakna pertanyaan,
yang mempermudah mengeksplorasi,
terjadinya interaksi menguji kebenaran
antara respond dan pengetahuan
stimulus. awalnya.
Konfirmasi pada fase ini terjadi Peserta didik
proses pembentukan mengumpulkan dan
(bereaksi) struktur membandingkan
kognitif baru dari serta mengevaluasi
anak didik, dimana ide dari temannya,
peran katalisator kemudian
guru sangat mengkonstruksi
membatu dalam penjelasan alternatif,
percepatan bertanya,
pembentukannya, mendengar, dan
melalui proses latihan.
konfirmasi akan
kebenaran konsep
dan pemahaman dari
peserta didik
Katalisme Dalam Pembelajaran Sains 159

Kegiatan Peserta
Tahap Kegiatan Guru
didik
Kebebasan / pada fase ini, terjadi pada fase ini, peserta
Kesetimbangan pemisahan atau didik dapat
independensi menerapkan
struktur kognitif pengetahuan barunya
baru dari peserta dalam konteks yang
didik yang tidak berbeda
bergantung lagi Peserta didik
pada guru sebagai mencoba ide-ide
katalis. alternatif,
Guru memberi mendemonstrasikan,
kebebasan berpikir menerapkan,
pada peserta didik mentransfer ke dunia
melalui pengetahuan nyata,
terbaru yang menghubungkan
dimilikinya pada dengan pengalaman
lingkungan sosial pribadi
dan budanyanya.

Dalam sebuah rangkaian utuh pembelajaran, paling tidak


terdapat tiga fase utama, yakni: fase awal (pendahuluan), fase
inti (transisi), dan fase akhir (penutup). Kemudahan pencapaian
tujuan pembelajaran oleh guru sangat ditentukan oleh tingkat
energi proses reaksi pembelajaran yang terjadi pada pengetahuan
awal dan pengetahuan baru dari seorang peserta didik.
160 Dr. Rimba Hamid, M.Si

Gambar 19. Fase Pembelajaran Berbasis Katalisme

Gambar 19 memberikan illustrasi tingkat energi dari


suatu proses pembelajaran, di mana pada fase awal guru harus
bekerja ekstra keras untuk mengeluarkan energi potensial peserta
didik dalam memulai pembelajaran karena peserta didik baru
belajar mengeni konsep yang akan diajarkan oleh guru tersebut.
Selanjutnya, pada fase transisi (kegiatan inti) guru harus dapat
memilih jalan (metode) alternatif pembelajaran dengan tingkat
energi terendah melalui pertimbangan dari berbagai aspek,
misalnya, gaya belajar dan kecerdasan majemuk yang dominan
dari peserta didik, serta pembelajaran dengan pendekatan
PAIKEM. Melalui pemilihan metode dan teknik yang sesuai,
Katalisme Dalam Pembelajaran Sains 161

maka di akhir pembelajaran peserta didik dapat memahami


materi pelajaran dan tidak lagi bingung, sehingga tingkat
energinya relative lebih rendah, dengan demikian akan
memudahkan guru dalam memfasilitasnya untuk memahami
konsep-konsep berikutnya.
162 Dr. Rimba Hamid, M.Si
Katalisme Dalam Pembelajaran Sains 163

DESAIN PEMBELAJARAN
6 BERORIENTASI PERAN
KATALIS GURU

A. Alternatif Strategi berdasarkan Perspektif Piaget dan


Ausubel
Berdasarkan perspektif kedua teori tersebut di atas, maka
implikasi strateginya dapat dielaborasi seperti pada Tabel 6
berikut:
Tabel 6. Alternatif Strategi Pembelajaran berdasarkan Perspektif
Piaget dan Ausubel
Pespektif Peaget
Teori Belajar Alternatif Strategi Pembeajaran
1. Exploration Phase (Fase Interaksi)
Mengungkap pengetahuan Guru memberi kesempatan kepada
awal peserta didik dan peserta didik / (kelompok peserta
mengkonfirmasinya secara didik) untuk melakukan
langsung melalui interaksi pengamatan, pengumpulan data,
dengan alam (pengamatan) dan mengalami fenomena baru
Memberi kesempatan peserta Guru meminta kepada peserta didik
didik berpikir secara lebih untuk memberi penjelasan dari apa
terbuka dalam menemukan yang telah diamatinya beserta data
konsep baru melalui yang diperolehnya dari pengetahu-
pertanyaan (mengungkap an yang telah dimilikinya sekarang.
alur berpikir peserta didik)
164 Dr. Rimba Hamid, M.Si

Mengetahui cara berpikir Guru memberi kesempatan kepada


peserta didik pada saat peserta didik yang berbeda
berhadapan dengan masalah pendapat dengan peserta didik
(dalam kondisi lainnya untuk mengemukakan
ketidakseimbangan) sehingga alasan memilih pendapat tersebut
termotivasi mencari
kebenaran

2. Invention Phase (Fase Pengenalan Konsep)


Membangun struktur kognitif Guru mengenalkan konsep yang
baru melalui integrasi dengan baru dan memfasilitasinya dengan
konsep atau pengetahuan pengetahuan awal peserta didik.
baru
Memproses informasi baru Guru mengajak kepada peserta
dengan membandingkannya didik untuk berdiskusi dan
pada fakta atau fenomena di menganalisis (membandingkan)
kehidupan nyata dengan konsep awal yang telah
dipahaminya.

Memodifikasi konsep awal Guru mempersilahkan kepada


yang telah dimiliki peserta peserta didik untuk mengajukan
didik dengan perubahan mental model mereka
mengakomodasi informasi terhadap ide besar dari konsep yang
yang baru yang diyakini telah dijelaskan.
kebenarannya

3. Discovery Phase (Fase Aplikasi Konsep)


Menyediakan situsi belajar Guru memberi tugas dengan LKS
yang lebih bebas dan aktif yang memungkinkan peserta didik
kepada peserta didik untuk menerapkan konsep yang telah
mengatur cara belajarnya dipahaminya
sendiri

Mendorong peserta didik Guru memfasilitasi perubahan


untuk berpikir ulang konsep yang telah dimiliki oleh
mengenai ide mereka sendiri peserta didik ke arah yang lebih
maju (ada progres).
Katalisme Dalam Pembelajaran Sains 165

Pespektif Peaget
Teori Belajar Alternatif Strategi Pembeajaran
Menerapkan, menguji dan Guru memeberikan wacana atau
mengembangkan ide-ide dan persoalan baru (berbeda), dan
konsep-konsep baru pada mengajak peserta didik untuk
sistuasi yang berbeda menerapkan, menguji dan
mengembangkan konsep yang
dimilikinya untuk menyelesaikan
masalah tersebut.

Memperkuat pengembangan Guru mereview kerangka


kerangka mental yang baru pengembangan konsep baru yang
telah dimiliki oleh setiap peserta
didik

Pespektif Ausubel
Teori Belajar Alternatif Strategi Pembeajaran
1. Advance Organizer
Membuat peserta didik Guru berupaya mempersiapkan
mengetahui status dari peserta didik pada topik (dengan
pelajarannya terhadap memberi kesempatan membaca
keseluruhan materi singkat materi ajar)

Menunjukkan kebutuhan Guru membangkitkan ketertarikan


belajar peserta didik peserta didik pada pelajaran
Menyediakan suatu kerangka Guru mengarahkan peserta didik ke
konseptual untuk materi yang materi yang akan mereka pelajari
akan dipelajari peserta didik. dan menolong mereka untuk
mengingat kembali informasi yang
berhubungan yang dapat digunakan
dalam membantu menanamkan
pengetahuan baru.

Membuat jembatan Guru menghubungkan informasi


penghubung antara apa yang baru dengan informasi yang telah
sedang dipelajari dan yang dikenal oleh peserta didik
akan dipelajari sebelumnya
166 Dr. Rimba Hamid, M.Si

Pespektif Ausubel
Teori Belajar Alternatif Strategi Pembeajaran
Membantu peserta didik Guru menjelaskan materi baru
untuk memahami bahan dalam bentuk umum untuk
belajar secara lebih mudah. mendapatkan gambaran dasar, dan
menyajikannya dalam bentuk cerita,
dan pengaturan grafis (peta konsep,
diagram, foto, atau pola deskriptif)
2. Presentation of learning task or material
Mengorganisasian materi Guru mengajarkan materi di mana
yang baru secara tegas proses penyusunan konsep dengan
cara mengajarkan konsep yang
paling inklusif, kemudian konsep
kurang inklusif, dan terakhir adalah
hal-hal yang paling khusus.

Membuat tingkatan materi Guru hendaknya menjelaskan


pembelajaran secara tegas konsep baru yang disusun
sedemikian rupa hingga dapat
menggerakkan hirarki-hirarki
konseptual “ke atas dan ke bawah”
selama informasi disajikan (untuk
mengurangi pertetangan kognitif).

Melibatkan peserta didik Guru melibatkan sisiwa dalam


dalam aktivitas pembelajaran mempresentasikan materi yang
bermakna melalui presentasi telah dijelaskan dalam bentuk
pengaplikasian yang disertai
contoh-contoh
3. Strengthening cognitive organization
Memungkinkan Guru membimbing peserta didik
terhubungnya informasi baru untuk memecahkan masalah pada
dengan advance organizer situasi baru yang diajukan melalui
pemberian tugas.
Meningkatkan pembelajaran Guru melakukan review terhadap
yang lebih aktif gagasan baru yang mungkin
diperoleh peserta didik menuju
pada saintifik model
Katalisme Dalam Pembelajaran Sains 167

B. Constructivist-Oriented Science Classroom (COSC)

Widodo, 2008 menegaskan usulan konstruktivis bahwa:


1 Pengetahuan adalah konstruksi manusia. Dari titik pandang
konstruktivis, pengetahuan bukanlah representasi objektif
dari dunia; sebaliknya ia merupakan konstruksi manusia.
Objek alam atau fenomena adalah mereka sendiri “objektif”
dan “nyata” tetapi observasi dan interpretasi terhadapnya
dipengaruhi oleh skema interpretasi subjektif dari observer.
2 Pengetahuan dikonstruksi dengan konteks sosial dan materi /
bahan tertentu dan, konsekuensinya, pengetahuan tersebut
dipengaruhi oleh issu-issu seperti ideology, agama, politik,
ekonomi, ketertarikan manusia, dan oleh fitur materi tertentu
pada lingkungan pembelajaran.
3 Pengetahuan adalah tentatif (tidak tetap). Pengetahuan kita
tentang dunia bukan hanya copy dari realitas di luar akan
tetapi merupakan konstruksi tentif kita tentangnya.
Kebenaran saintifik tidak absolut tetapi relative dan
mungkin berubah dari waktu ke waktu.

COSC terdiri dari lima kategori dan masing-masing


dikembangkan lebih lanjut dalam tiga hingga enam sub kategori:
1 Kategori 1: “Facilitating Knowledge Constructions”,
menyatakan bahwa pengetahuan dipandang sebagai
konstruksi manusia, bahwa peserta didik memiliki konsepsi
pre-instructional, bahwa pembelajaran adalah proses aktif
168 Dr. Rimba Hamid, M.Si

mengkonstruksi pengetahuan, dan bahwa pembelajaran


adalah perubahan dalam konsepsi peserta didik, dengan kata
lain, suatu perubahan konseptual. Hal ini menidentifikasikan
pada sejauh mana pengetahuan awal peserta didik dan
strategi perubahan konseptual dieksplorasi dan digunakan
untuk memfasilitasi konstruksi pengetahuan peserta didik.
2 Kategori 2: “The Relevance and the Meaningfulness of the
Learning Experience”, mengacu pada pandangan bahwa
konstruksi pengetahuan menyatu dengan konteks sosial dan
materi tertentu yang mungkin mendukung atau menghambat
perubahan konseptual, dengan kata lain, proses konstruksi
peserta didik. Kategori ini mengidentifikasikan pada sejauh
mana kebutuhan pembelajaran peserta didik yang dituju dan
bagaimana sumber daya disiapkan pada penglaman belajar
yang sesuai dan bermakna bagi peserta didik.
3 Kategori 3: “Sosial Interaction”, fokus pada issu bahwa
pengetahuan adalah konstruksi sosial. Hal ini
diidetifikasikan pada sejauh mana peserta didik diberi
kesempatan untuk berinteraksi sosial satu dengan yang
lainnya dan terhadap guru, dalam bentuk-bentuk yang
berbeda dari organisasi sosial. Bentuk-bentuk yang berbeda
dari organisasi sosial memberikan pengalaman pembelajaran
yang berbeda dari peserta didik. Interaksi sosial juga
merupakan hal yang esensial bagi perubahan konseptual
karena peserta didik membutuhkan informasi tentang ide-ide
Katalisme Dalam Pembelajaran Sains 169

dari peserta didik lainnya dan menyadari bahwa titik


pandang kemungkinan tidak dimiliki oleh peserta didik
lainnya.
4 Kategori 4: “Fostering Students to be Independent
Learners”’ mengacu pada pandangan konstruktivis bahwa
peserta didik memiliki tujuan dan akhirnya bertanggung
jawab pada pembelajaran mereka sendiri. Hal ini
mengidentifikasi pada sejauh mana peserta didik diberi
kebebasan untuk mengorganisasikan pembelajaran merek
sendiri dan diberi bantuan untuk menjadi pelajar yang
independent.
5 Kategori 5: “Science, Saintific Knowledge, and Saintist”
mengacu pada pandangan konstruktivist bahw pengetahuan
sains adalah konstruksi manusia dan pengetahuan sains
adalah tentative. Hal ini mengidentifikasikan bahwa
pelajaran sains memberikan peserta didik kesempatan untuk
memperoleh pengalaman bagaimana pengetahuan saintifik
secara secara terus menerus dikembangkan dan direvisi.

C. Constructivist Teaching Sequences (CTS)

Karakteristik utama dari instrument COSC yang


diuraikan sebelumnya adalah cara guru mengetahui konsepsi
peserta didik ketika mengembangkan konsep fisik, dan atau
ketertarikan perilaku dan kebutuhan peserta didik secara
170 Dr. Rimba Hamid, M.Si

eksplisit dimasukkan dalam penilaian, singkatnya, bahwa


lingkungan belajar disediakan dukungan secara terus menerus
pada proses konstruksi peserta didik, dengan kata lain,
membantu membantu perkembangan perubahan konseptual.

Kemajuan pembelajaran konstruktivis dalam tahapan


lima langkah yang bersiklus:

1. Pendahuluan / perkenalan: berupaya untuk mempersiapkan


peserta didik pada topik, meningkatkan kesediaan peserta
didik, dan membangkitkan ketertarikan peserta didik pada
pelajaran.
2. Eksplorasi pengetahuan awal peserta didik: guru berupaya
untuk mengeksplorasi pengetahuan awal peserta didik untuk
menghubungkannya dengan topik materi.
3. Restrukturisasi konsepsi peserta didik: guru berupaya untuk
memfasilitasi perubahan konseptual.
4. Aplikasi ide baru yang telah dikonstruksi: berupaya untuk
mengaplikasikan konsep yang telah dipelajari pada konteks
lain dalam kehidupan nyata.
5. Mereview ide-ide yang baru: berupaya mendorong peserta
didik untuk membandingkan pemahaman terbarunya dan
konsepsi sebelumnya.
171 Katalisme Dalam Pembelajaran Sains

Berdasarkan analisis beberapa konsep yang telah diuraikan di atas, mulai dari teori Peaget, teori
Ausubel, Constructivist-Oriented Science Classroom (COSC), dan Constructivist Teaching Sequences
(CTS), maka secara strategi pembelajaran yang dapat digunakan oleh guru dapat diuraikan pada Tabel 6
berikut:
Tabel 7. Tahapan pembelajaran beserta aktivitas guru dan peserta didik dalam memfasilitasi representasi
perkembangan mental model konsep peserta didik dalam pembelajaran
Tahapan Perspektif Aktivitas Fisik Aktivitas Mental
No Kegiatan Guru
Pembelajaran Teori Peserta didik Peserta didik
1 Introduction Advance 1. Guru mempersiapkan peserta Peserta didik Peserta didik
Organizer didik pada topik, menyampaikan berupaya
(Menyiapkan mebangkitkan ketertarikan, pengetahuan mengingat
kerangka meningkatkan kesiapan dalam atau ide awalnya kembali semua
konseptual belajar.
tentang materi pengetahuan yang
untuk materi 2. Guru mengarahkan peserta yang akan telah dimilikinya
yang akan didik ke materi yang akan dijelaskan guru. berdasarkan
dipelajari mereka pelajari dan menolong
pengalamannya.
peserta didik) mereka untuk mengingat
kembali informasi yang
berhubungan yang dapat
digunakan dalam membantu
menanamkan pengetahuan
baru.
Tahapan Perspektif Aktivitas Fisik Aktivitas Mental
No Kegiatan Guru
Pembelajaran Teori Peserta didik Peserta didik
2 Exploring Exploration 1. Guru berupaya untuk Peserta didik Peserta didik
student’s prior (Mengungkap mengeksplorasi pengetahuan mengobservasi, menggunakan
knowledge pengetahuan awal peserta didik yang mengajukan pengetahuan
awal peserta memiliki kaitan dengan topik. pertanyaan, awalnya sebagai
didik melalui 2. Guru memberi kesempatan
mengeksplorasi, kebenaran awal
kesempatan kepada peserta didik /
(kelompok peserta didik)
menguji yang diyakininya
berpikir secara kebenaran
lebih terbuka untuk melakukan pengamatan,
pengumpulan data, dan pengetahuan
(mengungkap
alur berpikir mengalami fenomena baru. awalnya.
peserta didik) 3. Guru meminta kepada peserta
didik untuk memberi
penjelasan dari apa yang telah
diamatinya beserta data yang
diperolehnya dari pengetahuan
yang telah dimilikinya
sekarang.
4. Guru memberi kesempatan
kepada peserta didik yang
berbeda pendapat dengan
peserta didik lainnya untuk
mengemukakan alasan
memilih pendapat tersebut

172 Dr. Rimba Hamid, M.Si


173 Katalisme Dalam Pembelajaran Sains

Tahapan Perspektif Aktivitas Fisik Aktivitas Mental


No Kegiatan Guru
Pembelajaran Teori Peserta didik Peserta didik
3 Restructuring Invention 1. Guru berupaya memfasilitasi Peserta didik Peserta didik
student’s (Membangun perubahan konseptual peserta mengumpulkan berupaya
conception struktur didik. dan menghubungkan
kognitif baru membandingkan informasi yang
2. Guru mengenalkan konsep
melalui serta telah diterimnya
yang baru dan
integrasi mengevaluasi ide dengan pengalaman
memfasilitasinya dengan
dengan konsep teman, kemudian sebelumnya
pengetahuan awal peserta
atau mengkonstruksi
didik.
pengetahuan penjelasan
baru yang 3. Guru mengajak kepada peserta alternatif,
disampaikan didik untuk berdiskusi dan bertanya,
guru) menganalisis mendengar,
(membandingkan) dengan latihan.
konsep awal yang telah
dipahaminya.
4. Guru mempersilahkan kepada
peserta didik untuk
mengajukan perubahan mental
model mereka terhadap ide
besar dari konsep yang telah
dijelaskan.
Tahapan Perspektif Aktivitas Fisik Aktivitas Mental
No Kegiatan Guru
Pembelajaran Teori Peserta didik Peserta didik
4 Applying the Discovery 1. Guru membantu untuk mene- Peserta didik Peserta didik
newly (menerapkan, rapkan konsep-konsep yang mencoba ide-ide mengembangkan
constructed menguji dan telah dipelajari pada konteks alternative, kemampuan
ideas mengembangk yang berbeda atau kehidupan mendemonstrasi- berpikirnya dengan
nyata. kan, menerapkan, alternative
an ide-ide dan
2. Guru memberi tugas dengan mentransfer ke pengetahuan
konsep baru
LKS yang memungkinkan dunia nyata, barunya melalui
pada situasi peserta didik menerapkan kon-
yang berbeda) menghubungkan proses asimilasi
sep yang telah dipahaminya. dengan dan akomodasi
3. Guru memfasilitasi perubahan
pengalaman
konsep yang telah di miliki oleh
pribadi
peserta didik ke arah yang lebih
maju (ada progress).
4. Guru memeberikan wacana atau
persoalan baru (berbeda), dan
mengajak peserta didik untuk
menerapkan, menguji dan
mengembangkan konsep yang
dimilikinya untuk menyelesai-
kan masalah tersebut.
5. Guru mereview kerangka
pengembangan konsep baru
yang telah dimiliki oleh setiap
peserta didik

174 Dr. Rimba Hamid, M.Si


175 Katalisme Dalam Pembelajaran Sains

Tahapan Perspektif Aktivitas Fisik Aktivitas Mental


No Kegiatan Guru
Pembelajaran Teori Peserta didik Peserta didik
5 Reviewing the Strengthening 1. Guru membatu peserta didik Peserta didik Peserta didik
new ideas cognitive untuk membandingkan antara menghubungkan berupaya membuat
organization pengetahuan terbarunya dan informasi baru keseimbangan
(Menguatkan konsepsi sebelumnya. dengan advance berpikir setelah
struktur 2. Guru membimbing peserta organizer dan seluruh informasi
kognitif yang didik untuk memecahkan membetuk diterimanya sebagai
baru masalah pada situasi baru struktur kognitif keyakinan
terbentuk) yang diajukan melalui baru kebenaran akhir
pemberian tugas.
3. Guru melakukan review
terhadap gagasan baru yang
mungkin diperoleh peserta
didik menuju pada saintifik
model
176 Dr. Rimba Hamid, M.Si
Katalisme Dalam Pembelajaran Sains 177

DAFTAR PUSTAKA

Acher A., Archa M, Sanmarti N. (2007). Modeling as a teaching


learning process for understanding materials: a case study
in primary education. Sci Educ.

Ambrose, S. A., and Lovett, M. C. (2014). Prior knowledge is more


than content: Skill and beliefs also impact learning. In: V.
A. Benassi, C. E. Overson, and C. M. Hakala (Eds),
Appllying Science of Learning in Education: Infusing
Psychological Science into the Curriculum. Division 2,
American Psychological Association.

_______ (2014). Prior knowledge is more than content: Skill and


beliefs also impact learning. In: V. A. Benassi, C. E.
Overson, and C. M. Hakala (Eds), Appllying Science of
Learning in Education: Infusing Psychological Science into
the Curriculum. Division 2, American Psychological
Association.

Amstrong, T. (2008). Multiple Intelligences in the Classroom. 3 rd


edditionASCD: Alexandria, Virginia USA.

_______ (2011). The best schools: Mendidik siswa menjadi insan


cendekia seutuhnya. Bandung: PT. Mizan Pustaka.

Anderson, L. W & Krathwohl, D. R. (2001). A Taxonomy for


Learning, Teaching and Assesing. New York:Longman.
178 Dr. Rimba Hamid, M.Si

_______ (2001). A Taxonomy for Learning. Teaching and


Assessing. New York: Longman.

Barman, C. R. (1989). A procedure or helping prospective


elementary teachers integrate the learning cycle into
science textbooks. Dalam: Journal of Science Teacher
Education 1(2): 21-26

Bechtel, W. (2008). Mental Mechanisms: Philosophical


perspectives on cognitive neuroscience. USA: Taylor &
Francis Group, LLC.

Beychok, M. (2011). Catalysis. Diakses dari http://


www.eoearth.org/ view/article/172052

Brown, H. D. (2006). Principles of language learning and teaching,


5th. ed. p088. USA: Person Education.

Buty, C., Tiberghien, A., & Le Maréchal, J. F. (2004). Learning


hypotheses and an associated tool to design and to analyse
teaching–learning sequences. International Journal of
Science Education, 26(5), 579-604.

Catalysts. Diakses dari laman: https://www.ck12.org/chemistry/


catalyst/lesson/Catalysts-MS-PS/

Cowan, N. 2001. The magical number 4 in short-term memory: A


reconsideration of mental storage capacity. Behavioral And
Brain Sciences. 24, 87–114.

Dahar, R. W. (2011). Teori-teori belajar dan pembelajaran. Jakarta:


Erlangga

David Sarokin, 2017. The Differences Between Concepts, Theories


& Paradigms. In: https://sciencing.com/differences-
between-concepts-theories-paradigms-8415723.html
(Akses: 27 September 2017)
Katalisme Dalam Pembelajaran Sains 179

Duit, R., Widodo, A., and Wodzinski, C. T. (2007). Conceptual


change ideas: Teacher’s views and their instructional
practice. In: S. Vosniadou, A. Baltas, X. Vamvakoussi
(Eds), Re-framing the conceptual change approach in
learning and instruction (pp. 197-217). Amsterdam:
Elsevier Ltd.

Ferrero, Dave. 2014. Classroom Catalysts: Inventive Teachers Ignite


Self-Guided Learning. Online: https://www.edutopia.org/
blog/classroom-catalysts-self-guided-learning-dave-ferrero
(diakses pada: 25 Agustus 2017).

Gentner, D. (2002). Psychology of mental models. In: N. J. Smelser


and p. B. Bates (Eds), International encyclopedia of the
sosial and behavioural sciences. Amsterdam: Elsevier
Science.

Gredler, M. E. (2011). Learning and Instruction: Teori dan Aplikasi,


6th. Ed. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Hamid, R. (2016). Model Mental Siswa Sekolah Dasar Tentang


Listrik Statis. Jurnal Pengajaran MIPA, 21(1), 24-29

Hamid, R. dan Pabunga, D. B. (2017). Mapping of Students’


Learning Progression Based on Mental Model in Magnetic
Induction Concepts. J. Phys.: Conf. Ser. 895 012147

Harrison, A. G. dan Treagust, D. F. (2000). Learning about atoms,


molecules, and chemical bonds: case study of multiple-
model use in grade 11 chemistry. Science Education, 84(3):
352-381

http://www.wikihow.com/Explain-the-Difference-BetweenTheory,-
Law,-and-a-Fact

https://en.oxforddictionaries.com/definition/concept.

Ibreck, S. 2016. Catalytic Teaching and Learning. RSA Academies


and Helen Storey Foundation
180 Dr. Rimba Hamid, M.Si

Ireson, J. 2008. Learners, Learning and Educational Activity.


London and New York: Routledge.

Jackson, D. N. 2012. Educator vs. Teacher – The Difference Between


Education and Schooling. http://youthmuse.com/educator-vs-
teacher/ On line: diakses tanggal 28 September 2017

Johnson-Laird, P. N. (2013), Mental Models and Cognitive Change.


Journal of Cognitive Psychology, 25(2), hlm. 131-138.

Jonassen, D.H.; Peck, K.L.; & Wilson, B.G. (1999). Learning with
Technology: A Constructivist Perspective. Upper Saddle
River, NJ: Merrill Publishing

Liu, C. C. & Chen, I. J. (2010). Evolution of Constructivism. Journal


of Contemporary Issues In Educatio Research, 3(4): 63-66.

Martin, D.J. (2009). Elementary Science Methods: A. Constructivist


Approach. 5th Edition. USA: Wadssworth Cengage
Learning.

McComas, W.F., Almazroa, H. & Clougii, M. P. 1998. The Nature


of Science in Education: An Introduction. Science and
Education 7: 511-532. Kluwer Academic Publisher.

Mellon, C. Assessing Prior Knowlwdge [Online]. Tersedia di:


http://www.cmu.edu/teaching/assessment/priorknowledge/
index.html. [Diakses pada 3 Maret 2015].

Moreno, A., Sutinen, E., & Joy, M. 2014. Defining and evaluating
conflictive animations for programming education: The
case of Jeliot ConAn. In Proceedings of the 45th ACM
technical symposium on Computer science education (pp.
629-634). ACM.

NGSS, 2013. Understanding the Scientific Enterprise: The Nature of


Science in the Next Generation Science Standards.
Katalisme Dalam Pembelajaran Sains 181

Norman, D. A. (1983). Some observations on model mentals. In D.


A. Gentner 4 A. L. Steven (Eds), Model mentals. Hillslade,
NJ: Lawrence Erlbaum

Novak, J. D. (2013). Meaningful learning is the foundation for


creativity. Revista Qurriculum, pp. 27-38; ISSN: 1130-
5371

Permenristekdikti RI No. 55 Tahun 2017 tentang Standar


Pendidikan Guru. Jakarta

Pritchard, A. dan Woollard, J. 2010. Psychology for the classroom:


Constructivistm and Sosial Learning. London and New
York: Routledge.

Rapp, D. N. (2005). Model mentals: Theoretical issues for


visualizations in science education. In: John K. Gilbert
(Ed), Visualization in science education (pp.43-60).
Netherlands: Springer.

Rogerson dan Comicz. 2014. Catalytic teaching: A teaching


equation transfers to enhanced student learning. Journal of
Student Engagement: Education matters 2014, 4 (1), 3–13

Rudicahyo, 2013. Zone of Proximal Development dan Scaffolding


pada Teori Belajar Vygotsky. Online:
http://rudicahyo.com/psikologi-artikel/zone-of-proximal-
development-dan-scaffolding-pada-teori-belajar-vygotsky/
. Diakses 29 September 2017.

Sammons, P., Alison Kington, Ariel Lindorff-Vijayendran, Lorena


Ortega (Edited by Anna Riggall) CFBT Education Trust
2014. Inspiring teachers: perspectives and practices

Sardiman. 2011. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta:


Rajawali Press

Silberman, M. L. (2014). Active Learning: 101 cara belajar siswa


aktif, edisi revisi. Bandung: Nuansa Cendekia.
182 Dr. Rimba Hamid, M.Si

Skosana, P. S. dan Monyai, R. B. (2013). The Teacher as a Catalytic


Agent in the Implementation of the Curriculum.
International Journal of Humanities and Social Science
Invention, 2(9), hlm. 90-96.

Surgenor, P. (2010). Teaching Toolkit: How Student Learn 4.


Tesedia di: www.ucd.ie/teaching.

Taber, K. S. (2011). Constructivism as educatiolal theory:


Contingency in learning, and optimally guided instruction
(Chapter 2). In: Jaleh Hassakhah (Edt), Educational
Theory. Pp. 39-61. Nova Science Publisher, Inc.

The National Academy of Sciences The Role of Theory in


Advancing 21st Century Biology: Catalyzing
Transformative Research. 2007

Tobias, S., & Duffy, T. M. (Eds.). (2009). Constructivist instruction:


Success or failure?. Routledge.

Ultanir, E. (2012). An epistemological glance at the constructivist


approach: Constructivist learning in Dewey, Piaget, and
Montessori. International Journal Instruction, 5(2): 195-
212.
Van Der Veer, C. G., & Del Carmen Puerta Melguizo, M. (2003).
Mental Model. In J.A.Jacko & A. Sears (Eds). The human-
computer interaction handbook: Fundamentals, evolving
technologies, and emerging applications (pp. 52-80).
Uitgever: Lawrence Erlbaum & Associates.
Warren, E. 2016. Maximize Learning: Keeping Students in the Zone
of Proximal Development. Diakses dari:
https://learningspecialistmaterials.blogspot.co.id/2016/01/
maximize-learning-keeping-students-in.html
West Liberty Universuty. 2015. The Teacher as Catalyst Conceptual
Framework. (online) in: http://westliberty.edu/education/
academic-programs/teacher-education-program/student-
policy-manual/the-teacher-as-catalyst-conceptual-
framework/ Diakses pada tanggal 4 September 2017.
Katalisme Dalam Pembelajaran Sains 183

Widodo, A. (2004). Constructivist oriented lessons: The learning


environment and the teaching sequneces. Frankfurt,
Germany: Peter Lang.
Windschitl, M. 2002. Framing Constructivism in Practice as the
Negotiation of Dilemmas: An Analysis of the Conceptual,
Pedagogical, Cultural, and Political Challenges Facing
Teachers. Review of Educational Research, 72(2), 131 –
175.
184 Dr. Rimba Hamid, M.Si
Katalisme Dalam Pembelajaran Sains 185

BIODATA PENULIS

Rimba Hamid dilahirkan di Pare-Pare,


Sulawesi Selatan pada tanggal 01 Agustus 1969.

Pengalaman pendidikan dimulai dari sekolah


dasar SDN 175 Pekkabata Pinrang (1976-1982),
kemudian lanjut di SMPN Pekkabata Pinrang
(1982-1985), setelah itu melanjutkan
pendidikan di SMA Negeri 3 Ujung Pandang Jurusan A1 (Fisika)
(1985-1988). Pendidikan S1 ditempuh di Jurusan Pendidikan Kimia
IKIP Ujung Pandang (1988-1993), dan pada tahun 1997 melanjutkan
pendidikan S2 di Institut Teknologi Bandung pada Jurusan Ilmu
Kimia (Kimia Fisika) atas biaya CIDA (Canada Indonesia
Development Area), dan selesai pada Desember 1999. Tahun 2013
penulis mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan studi S3 di
Universitas Penddidikan Indonesia pada program studi Pendidikan
Dasar (Pendidikan IPA) atas biaya BPPDN dan meraih gelar doktor
di awal tahun 2017.

Karir sebagai tenaga pengajar (dosen) di mulai pada tahun


1994 di Jurusan Pendidikan MIPA program studi Pendidikan Kimia
186 Dr. Rimba Hamid, M.Si

dengan mengampu mata kuliah Kependidikan, Kimia Dasar dan


Kimia Fisika dalam rentang waktu tahun antara 1994 hingga tahun
2011. Sejak tahun 2006 penulis juga banyak terlibat mengajar di
program studi PGSD, khususnya mengajarkan mata kuliah seperti
Kimia Dasar, Hakikat Pembelajaran IPA SD, Konsep Dasar IPA,
dan mata kuliah Dasar-Dasar ICT. Pada tahun 2011, penulis lebih
banyak berkonsentrasi pada aktivitas mengajar mata kuliah
pembelajaran IPA dan konsep dasar IPA di SD seiring dengan
pemindahan home base dari Prodi Pendidikan Kimia ke Prodi PGSD
karena minimnya dosen ke-IPAan. Penulis juga terlibat dalam
berbagai kegiatan peningkatan kualifikasi guru SD yang didanai oleh
DIKTI, misalnya mengelola Program PJJ Berbasis ICT bagi guru-
guru SD di tahun 2007-2009, dan yang terakhir adalah sebagai ketua
dari penyelnggaraan kegiatan “Peningkatan Kualitas Pembelajaran
Melalui Pengintegrasian Manajemen Berbasis Sekolah pada
Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar” yang salah satu
kegiatannya adalah penugasan dosen ke sekolah berkolabosi dengan
guru-guru SD. Kegiatan ini berlangsung selama 2 tahun (2013 dan
2014).

Kegiatan seminar dan publikasi yang pernah diikuti oleh


penulis di ataranya adalah:1) Mengikuti Seminar Nasional Hasil
Penelitian Dasar tahun 2003 di Jakarta, dengan judul “Kinetika
Delignifikasi Sabut Kelapa dengan Proses peroksida Alkali pada
Pembuatan Pulp”; 2) Menulis artikel dengan judul “Identifikasi dan
Analisis Kemampuan Profesional Guru Sekolah Dasar Wilayah
Pesisir Sulawesi Tenggara” yang dimuat pada Jurnal Gema
Katalisme Dalam Pembelajaran Sains 187

Pendidikan Volume 15 Nomor 1, Januari 2008; 3) Menulis artikel


dengan judul “Meningkatkan Pemahaman Konsep Dasar IPA
Melalui metode Discovery-Inquiry pada Mahapeserta didik S1
PGSD Semester II FKIP Unhalu (Biaya DIPA Unhalu, 2009; 4)
Mengikuti kegiatan International Conference on Teacher Education
with in central theme “Professional Education fot Teachers in Asia-
Pasific Region: The Insights into New Paradigm” pada 1-2
Desember 2013 (Peserta); 5) Mengikuti kegiatan “International
Conference on Teacher Education with its central theme “The
Standardizaton of Teacher Education: Asian Qualification
Framework” yang diselenggarakan pada 25-26 Juni 2014 sebagai
Presenter dengan menyajikan artikel dengan judul “Implementing
Scientific Approach In Primary Science Lesson To Foster Students'
Creativity, yang dimuat dalam Proceedings: the 6th international
conference on teacher education, The Standardization of Teacher
Education:Asian Qualification Framework (hlm. 203-215). 6)
Mengikuti Konferensi Nasional Pendidikan Dasar 2014 yang
diselenggarakan pada pada tanggal 5-6 Desember 2014 sebagai
Penelaah; 7) Mengikuti kegiatan International Conference on
Mathematics and Science Education (ICMSE 2016) dengan tema
“Collaborative Work to Improve Mathematics and Science
Education Quality” yang diselenggarakan pada 30 April 2016
sebagai Presenter dengan menyajikan artikel “Students’Conceptual
Change in Electricity”; 8) Menulis artikel dengan judul “Model
Mental Peserta didik Tentang Listrik Statis di Sekolah Dasar” yang
dimuat pada Jurnal Pengajaran MIPA, 21(1), 24-29.; dan 9)
188 Dr. Rimba Hamid, M.Si

Mengikuti kegiatan The Internatinal Seminar on Mathematics,


Science, and Computer Science Education (MSCEIS 2016) yang
dilaksanakan pada tanggal 15 Oktober 2016, dengan judul artikel
“Pattern of Students’ Conceptual Change on Magnetic Field Based
on Students’ Mental Models” yang dimuat pada AIP Conference
Proceedings 1848, 060003 (2017) 10) Mengikuti kegiatan
International Conference on Mathematics and Science Education
(ICMScE 2017) yang dilaksanakan pada tanggal 24 Mei 2017,
dengan judul artikel “Mapping of Students’ Learning Progression
Based on Mental Model in Magnetic Induction Concepts” yang
dimuat pada IOP Conf. Series: Journal of Physics: Conf. Series 895
(2017) 012147.

Buku yang diterbitkan: Buku yang pernah ditulis: 1)


“Pembelajaran Berbasis Kecerdasan Jamak di SD: Alternatif
Pembelajaran Efektif” (2017) diterbitkan oleh Deepublish,
Yogyakarta.
Katalisme Dalam Pembelajaran Sains 189
190 Dr. Rimba Hamid, M.Si

Anda mungkin juga menyukai