Disusun Oleh:
KELOMPOK 5
ADZRO NABILAH QOTHRUNNADA P3.73.26.1.17.001
DAFFA ARJUNA HASTARUCI P3.73.26.1.17.011
DARA WAHYUNI P3.73.26.1.17.012
LIGAR FAJRIATI SUNARYA P3.73.26.1.17.023
MUFIDAH NURDESIA P3.73.26.1.17.028
WITRI MOLINA P3.73.26.1.17.050
TAHUN 2021
LAPORAN KASUS
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas dari mata kuliah Praktik Klinik II
Program Studi DIV Fisioterapi Poltekkes Kemenkes Jakarta III
Disusun Oleh:
KELOMPOK 5
ADZRO NABILAH QOTHRUNNADA P3.73.26.1.17.001
DAFFA ARJUNA HASTARUCI P3.73.26.1.17.011
DARA WAHYUNI P3.73.26.1.17.012
LIGAR FAJRIATI SUNARYA P3.73.26.1.17.023
MUFIDAH NURDESIA P3.73.26.1.17.028
WITRI MOLINA P3.73.26.1.17.050
TAHUN 2021
LAPORAN KASUS
ii | P O L T E K K E S K E M E N K E S J A K A R T A I I I
LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN KASUS
iii | P O L T E K K E S K E M E N K E S J A K A R T A I I I
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkah
dan rahmat-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan laporan kasus ini dengan baik
dan tepat pada waktunya. Dalam menyelesaikan laporan kasus ini penulis banyak
sekali mendapatkan bantuan bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak, untuk itu
pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada yang terhormat:
1. Bapak Didhik Jatmiko, FTr selaku Koordinator Pembimbing Fisioterapi di RSUP
Fatmawati Jakarta Selatan
2. Bapak Heri, bapak Virgo, ibu Erlina, ka Yudha, ka Nevi, ibu Dani, ka Rona dan
kaka-kaka fisioterapis di RSUP Fatmawati Jakarta Selatan yang telah
memberikan ilmu serta pengalamannya yang berharga.
3. Ibu Ratu Karel Lina, SST.Ft., SKM., MPH. selaku Ketua Jurusan Fisioterapi
Poltekkes Kemenkes Jakarta III.
4. Ibu Roikhatul Jannah, SST.Ft., SKM., MPH selaku Ketua Prodi D-IV Fisioterapi
Poltekkes Kemenkes Jakarta III dan pembimbing pendidikan kami.
5. Pasien beserta keluarga yang bersedia menjadi subjek persentasi kasus kelompok
kami yang dibutuhkan
6. Keluarga dan teman-teman fisioterapi angkatan 7 Poltekkes Kemenkes Jakarta III
yang telah membantu kami dalam segi mental maupun motivasi selama
penyusunan laporan.
Penulis sadar sepenuhnya bahwa laporan ini jauh dari sempurna. Namun, penulis
berharap laporan ini dapat berguna bagi pembaca. Mohon maaf apabila dalam
penulisan laporan ini terdapat kesalahan pengetikan maupun kesalahan lain. Atas
perhatian pembaca, penulis mengucapkan terima kasih.
Bekasi, Febuari 2021
Penulis
iv | P O L T E K K E S K E M E N K E S J A K A R T A I I I
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN.....................................................................................................ii
LEMBAR PENGESAHAN.....................................................................................................iii
KATA PENGANTAR.............................................................................................................iv
DAFTAR ISI............................................................................................................................v
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................................1
A. Latar Belakang.............................................................................................................1
B. Tujuan Penulisan..........................................................................................................3
C. Manfaat Penulisan........................................................................................................3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................................5
A. Definis..........................................................................................................................5
B. Anatomi fisiologi.........................................................................................................5
C. Epidemiologi..............................................................................................................13
D. Etiologi.......................................................................................................................14
E. Patofisiologi...............................................................................................................14
F. Manifestasi klinik.......................................................................................................16
G. Klasifikasi Spinal Cord Injury....................................................................................17
H. Prognosis....................................................................................................................18
I. Pengukuran dan Assesmen Fisioterapi.......................................................................19
J. Teknologi fisioterapi..................................................................................................21
K. Penatalaksanaan fisioterapi........................................................................................21
L. Kerangka Fikir Kasus.................................................................................................24
BAB III KAJIAN KASUS.....................................................................................................25
BAB IV PEMBAHASAN......................................................................................................31
A. Hasil Penatalaksanaan Fisioterapi..............................................................................31
B. Keterbatasan...............................................................................................................32
BAB V PENUTUP................................................................................................................33
PENUTUP.............................................................................................................................33
vi | P O L T E K K E S K E M E N K E S J A K A R T A I I I
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
menimbulkan kerugian yang cukup tinggi bagi korban kecelakaan tersebut. Akibat
yang ditimbulkan dari kecelakaan sering berupa kelumpuhan atau kecacatan bahkan
kematian.
populasi di Amerika yang mencapai 20.000 kasus pertahun dan 50 –70% berumur
paling sering adalah kecelakaan motor (40%), jatuh dari ketinggian (21%),
penganiayaan (15%) dan trauma olahraga (13%). Pada anak – anak yang tersering
adalah karena olahraga(24%) dan aktifitas wisata air (13%). Lokasi paling sering
trauma spinal adalah daerah servikal (29%), thorakal (24%), lumbal (37%) dan sakral
Insiden tahunan trauma SCI sangat bervariasi di penjuru dunia, namun di semua
negara, banyak pasien SCI yang dilakukan pembedahan dengan segera setelah
kejadian trauma, baik untuk stabilisasi atau dekompresi spinal cord atau untuk
menangani trauma lain yang menyertai. Beberapa laporan kasus dan studi retrospektif
Cedera tulang belakang (SCI) adalah kondisi yang rumit dan mengganggu
kehidupan secara medis. Banyak orang dengan SCI sekarang dapat mengantisipasi
tidak hanya kehidupan yang lebih lama, tetapi juga kehidupan yang lebih lengkap dan
Fisioterapi dapat berperan dari fase awal terjadinya trauma sampai tahap
rehabilitasi. Pada penderita SCI kerusakan yang terjadi pada medulla spinalis bersifat
permanen, karena setiap kerusakan pada sistem saraf maka tidak akan terjadi
regenerasi dari sistem saraf tersebut dengan kata lain sistem tersebut akan tetap rusak
walaupun ada regenerasi dan sangat kecil peluangnya. Berdasarkan hal tersebut maka
kemandirian pasien dengan kemampuan gerak dan fungsi yang dimiliki penderita
terapi latihan.
Berdasarkan uraian latar belakang diatas dan juga dengan kelebihan pada RSUP
Fatmawati Jakarta dalam menangani kasus spinal cord injury, maka kelompok kami
melaporkan hasil mengenai “Proses Fisioterapi pada Kasus Spinal Cord Injury AIS A
B. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
2. Tujuan Khusus
cord injury
b) Mengetahui metode dan teknik intervensi fisioterapi yang efektif dan efisien pada
c) Mengetahui target yang akan dicapai dari pemberian intervensi fisioterapi pada
C. Manfaat Penulisan
1. Bagi Pendidikan
kuliah.
3. Bagi Pasien
Mendapatkan terapi yang tepat dan bermanfaat pada kasus spinal cord injury
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Cedera pada tulang belakang adalah cedera yang mengenai cervicalis, vertebralis
dan lumbalis akibat adanya trauma yaitu kecelakaan lalu lintas, jatuh dari ketinggian,
kecelakaan olahraga dan sebagainya yang dapat menyebabkan fraktur atau pergeseran
Spinal Cord Injury (SCI) merupakan bentuk cedera yang mengenai medula
otonom dan reflek) secara lengkap atau sebagian. SCI merupakan salah satu
penyebab utama disabilitas neurologis akibat trauma. Spinal Cord Injury meliputi
kerusakan medulla spinalis karena trauma langsung atau tidak langsung yang
autonomik, dan reflex, baik komplet ataupun inkomplet (Gondowardaja et al., 2014).
Kelainan motoric yang timbul berupa kelumpuhan atau gangguan gerak dan
fungsi otot-otot, gangguan sensorik berupa hilangnya sensasi pada area tertentu sesuai
dengan area yang dipersarafi oleh level vertebra yang terkena, serta gangguan
vegetative berupa gangguan fungsi bladder dan bowel serta adanya gangguan fungsi
B. Anatomi fisiologi
1. Anatomi
tertutup dan dilindungi oleh tengkorak dan tulang belakang (Saladin, 2003). Sumsum
tulang belakang adalah struktur tubular yang terdiri dari jaringan saraf yang
memanjang dari batang otak dan berlanjut ke distal sebelum meruncing di daerah
toraks bawah / lumbar atas sebagai konus medullaris. Otak dan sumsum tulang
- Epidural: ruang lemak antara kerangka tulang kolom vertebralis spinal dan dura
mater tebal yang mengelilingi sumsum tulang belakang. Ini berisi jaringan
- Duramater: selubung terluar yang tebal (meninges) dari sumsum tulang belakang,
- Ruang subarachnoid : Ruang antara mater arachnoid dan penutup paling dalam
- Pia mater : Lapisan paling dalam dari sumsum tulang belakang, melekat erat pada
pia yang disebut ligamen dentikulata, membentang antara akar ventral dan dorsal
Sumsum tulang belakang adalah silinder jaringan saraf yang dimulai di foramen
magnum dan melewati kanal vertebra sejauh margin inferior vertebra lumen pertama
(L1). Pada orang dewasa tebalnya rata-rata 1,8 cm dan panjang 45 cm. Pada awal
wanita. Perjalanan anatomi berasal dari batang otak sebelum mengalir melalui
foramen magnum. Sumsum tulang belakang berlanjut secara distal melalui daerah
serviks dan toraks dari tulang belakang sebelum berakhir sebagai struktur meruncing
yang dikenal sebagai konus medullaris. Sumsum tulang belakang yang tepat berakhir
di tingkat vertebral L1-L2 dan berlabuh di distal melalui filum terminale, mewakili
Saraf dari terminal keluar segmen tulang belakang bawah ke konus medullaris
dan membentuk cauda equina. Akar saraf tulang belakang ventral - membentuk
komponen motorik dari persarafan tulang belakang dengan akar yang timbul dari
sendi, dll. Akar saraf tulang belakang punggung - membuat komponen sensorik,
dengan dorsal ganglia mengirimkan impuls sensorik melalui akar saraf ke posterior
Menurut (Saladin, 2003) sumsum tulang belakang memiliki tiga fungsi utama:
a. Konduksi (Conduction).
informasi ke atas dan ke bawah cord, menghubungkan berbagai tingkat batang satu
sama lain dan dengan otak. Hal ini memungkinkan informasi sensorik mencapai otak,
perintah motorik mencapai efektor, dan masukan yang diterima pada satu tingkat cord
b. Penggerak (Locomotion).
otot di tungkai. Neuron motorik di otak memulai berjalan dan menentukan kecepatan,
jarak, dan arahnya, tetapi kontraksi otot berulang sederhana yang menempatkan satu
yang disebut generator pola sentral di cordnya. Sirkuit saraf ini menghasilkan urutan
keluaran ke otot ekstensor dan fleksor yang menyebabkan gerakan kaki bergantian.
c. Refleks (Reflexes)
4. Anatomi Cross-Sectional
Sumsum tulang belakang, seperti otak terdiri dari dua jenis jaringan saraf yang
disebut materi abu-abu dan putih. Materi abu-abu memiliki warna yang relatif kusam
karena mengandung sedikit mielin. Ini berisi soma, dendrit, dan bagian proksimal
dari akson neuron. Ini adalah tempat kontak sinaptik antara neuron, dan oleh karena
itu tempat semua integrasi sinaptik (pemrosesan informasi) di sistem saraf pusat.
Materi putih mengandung banyak akson bermielin, yang membuatnya tampak putih
seperti mutiara. Ini terdiri dari bundel akson, yang disebut saluran, yang membawa
sinyal dari satu bagian SSP ke bagian lain. Dalam jaringan saraf tetap dan bernoda
perak, materi abu-abu cenderung memiliki warna coklat tua atau keemasan dan
materi putih berwarna cokelat muda hingga kuning. Jadi, Area tengah materi abu-abu
berbentuk seperti kupu-kupu dan dikelilingi oleh materi putih dalam 3 kolom
5. Spinal Tracts
Pengetahuan tentang lokasi dan fungsi saluran tulang belakang (spinal tracts)
sangat penting dalam mendiagnosis dan menangani cedera sumsum tulang belakang.
Jalur naik membawa informasi sensorik ke cord dan jalur turun mengalirkan impuls
motorik ke bawah. Semua serabut saraf dalam saluran tertentu memiliki asal, tujuan,
dan fungsi yang serupa. Beberapa dari saluran ini mengalami dekusasi saat melewati
batang otak dan sumsum tulang belakang — artinya menyeberang dari sisi kiri tubuh
ke kanan, atau sebaliknya. Akibatnya, otak kiri menerima informasi sensorik dari sisi
kanan tubuh dan mengirimkan perintah motoriknya ke sisi itu, sedangkan otak kanan
merasakan dan mengendalikan tubuh sisi kiri. Stroke yang merusak pusat motorik
bagian kanan otak dapat menyebabkan paralisis pada anggota tubuh kiri dan
sebaliknya. Ketika asal dan tujuan traktat berada di sisi berlawanan dari tubuh,
disebut kontralateral satu sama lain. Ketika saluran tidak membusuk, jadi asal dan
b. Kontralateral berarti asal dan tujuan dalam keadaan hidup sisi berlawanan
10 | P O L T E K K E S K E M E N K E S J A K A R T A I I I
Gambar 2.3. Spinal Tracts
6. Spinal Nerves
Ada 31 pasang saraf tulang belakang: 8 serviks (C1 – C8), 12 toraks (T1 – T12), 5
lumbar (L1 – L5), 5 sakral (S1 – S5), dan 1 tulang ekor (Co). Saraf serviks pertama
muncul di antara tengkorak dan atlas, dan yang lainnya muncul melalui foramina
1) Cabang proksimal
2) Cabang distal
11 | P O L T E K K E S K E M E N K E S J A K A R T A I I I
- ramus ventral ke kulit ventral dan otot serta tungkai
7. Level Neurologis
terdiri dari sensorik, dengan area yang dibagi secara terpisah. Pemeriksaan dermatom
disesuaikan dengan area sensorik sesuai dengan persarafan dari medula spinalis
dengan cara menentukan fungsi dari area sensorik dapatkah diukur dengan
pemeriksaan tes dan hasilnya spesifik atau tidak pasien mendeskripsikan apa yang
dirasakan. Pemeriksaan key sensory point dapat berbeda pada pasien yang
pengetesan key sensory point pada 28 titik dermatom pada bagian kanan dan kiri
12 | P O L T E K K E S K E M E N K E S J A K A R T A I I I
Sedangkan myotome adalah peta distribusi persarafan motorik yang berasal
dari radiks ventralis melalui nervus spinalis untuk mengurus otot skeletal
C. Epidemiologi
Menurut WHO (2013) prevalensi kejadian Spinal Cord Injury di dunia adalah 40-
80 kasus per satu juta populasi per tahun dengan berbagai penyebab, atau 250.000
dan 500.000 orang menderita cedera tulang belakang, dengan kecelakaan lalu lintas di
jalan raya, jatuh dan kekerasan merupakan tiga penyebab utamanya. Orang dengan
spinal cord injury memiliki kemungkinan dua sampai lima kali lebih besar untuk
Berdasarkan data dari National Spinal Cord Injury Statistical Center (2017)
insiden cidera pada medulla spinalis sekitar 40 kasus per satu juta populasi di
Amerika Serikat atau 12.000 kasus per tahunnya. Cedera medulla spinalis seringkali
diderita oleh dewasa muda, dengan hampir setengah dari seluruh kasus terjadi pada
usia 16-30 tahun. Sejak tahun 2010, disabilitas neurologis yang diderita adalah
18% dan tetraplegia komplit 11,6%. Kejadian spinal cord injury pada laki-laki lebih
Menurut Tulaar et al., (2017) Data epidemiologi cedera tulang belakang (SCI) di
Indonesia sekarang sedang dikumpulkan. Pada 2014, 104 Kasus SCI didaftarkan di
13 | P O L T E K K E S K E M E N K E S J A K A R T A I I I
RSUP Fatmawati dimana 37 memiliki trauma dan 67 memiliki SCI non-trauma
sebagai asal. Penyebab paling umum dari SCI traumatis adalah kecelakaan mobil dan
jatuh dari ketinggian, sedangkan mayor penyebab SCI nontraumatik adalah infeksi
dan neoplasma.
D. Etiologi
1. Trauma
Kecelakaan kerja, kecelakaan lalu lintas, jatuh, luka tembak, luka tusuk,
kecelakaan olahraga. Cedera yang terjadi karena trauma dapat mengenai seluruh
anggota tubuh dari kepala hingga kaki dan dapat mengenai organ dalam tubuh. Salah
satu jenis trauma yang dapat terjadi adalah fraktur. Fraktur yang terjadi dapat
mengenai anggota gerak tubuh maupun tulang belakang sehingga mengenai medula
spinalis yang menyebabkan kelumpuhan atau kelemahan pada anggota gerak bawah.
2. Non Trauma
Non trauma disebabkan karena faktor patologi ataupun kerusakan pada medulla
spinalis seperti pada kondisi arterial, venous malfunction, trombosis, emboli, lesi
medulla spinalis karena inflamasi contoh post virus infeksi seperti guillan barre
spinalis, tumor spinal, kondisi degeneratif sendi tulang belakang seperti spondylosis,
E. Patofisiologi
kerusakan medulla spinalis karena trauma langsung atau tak langsung yang
14 | P O L T E K K E S K E M E N K E S J A K A R T A I I I
mengakibatkan gangguan fungsi utamanya, seperti fungsi motoric, sensorik,
autonomik dan reflex, baik komplet maupun inkomplet. Trauma medulla spinalis
Patomekanika lesi medulla spinalis berupa rusaknya traktus pada medulla spinalis,
baik asenden ataupun desenden. Petekie tersebar pada substansia grisea, membesar,
lalu menyatu dalam waktu satu jam setelah trauma. Selanjutnya, terjadi nekrosis
hemoragik dalam 24-36 jam. Pada substansia alba, dapat ditemukan petekie dalam
waktu 3-4 jam setelah trauma. Kelainan serabut myelin dan traktus panjang
menunjukkan adanya kerusakan structural luas. Medulla spinalis dan radiks dapat
Yang paling berat adalah kerusakan akibat kompresi tulang dan kompresi korpus
3. Edema medulla spinalis yang timbul segera setelah trauma mengganggu aliran
4. Gangguan sirkulasi atau system arteri spinalis anterior dan posterior akibat
kompresi tulang.
Sel neuron akan rusak dan gangguan proses intraseluler akan turut berdampak
pada selubung myelin di dekatnya sehingga menipis, transmisi saraf tenganggu, baik
karena efek trauma ataupun oleh efek massa akibat pembengkakakn daerah sekitar
15 | P O L T E K K E S K E M E N K E S J A K A R T A I I I
luka. Kerusakan substansia grisea akan ireversibel pada satu jam pertama setelah
trauma. Sementara substansia alba akan mengalami kerusakan pada 72 jam setelah
trauma.
F. Manifestasi klinik
Menurut Maulina (2013) salah satu manifestasi klinis yang paling dini adalah
nyeri, yaitu nyeri lokal pada vertebra yang terlibat atau nyeri yang menjalar sepanjang
distribusi satu atau beberapa radiks nervus spinalis. Nyeri bertambah hebat bila batuk
dan bersin, dan biasanya bertambah parah pada malam hari, yaitu saat penderita
berbaring. Nyeri neuropati meupakan masalah signifikan yang timbul setelah terjadi
lesi medula spinalis. Nyeri neuropati kronik terjadi pada 50% penderita lesi medula
International Association for The Study of Pain (IASP), terdapat dua kategori nyeri
neuropati akibat lesi medula spinalis, yaitu nyeri pada segmen yang sesuai level lesi
dan level dibawah lesi. Nyeri neuropati yang terjadi di bawah level lesi merupakan
nyeri sentral yang disebabkan karena kerusakan medula spinalis, sedangkan nyeri
neuropati yang sesuai level lesi mermpunyai komponen sentral dan perifer yang sulit
untuk dibedakan. Penderita lesi medula spinalis dengan nyeri sentral lebih sering
bladder. Autonom Nervous System (ANS) memainkan peran yang merupakan kunci
16 | P O L T E K K E S K E M E N K E S J A K A R T A I I I
dalam banyak proses regulasi fisiologis, dimediasi oleh kontrol supraspinal dari pusat
kemampuan untuk mengontrol tekanan darah dan mengatur suhu tubuh, kemungkinan
besar karena penurunan sistem saraf otonom dan somatic (Kaur & Narkeesh, 2014).
Klasifikasi spinal cord injury berdasarkan ASIA yaitu cedera medula spinalis
medula spinalis dapat terjadi pada Upper Motor Neuron (UMN) ataupun Lower
Motor Neuron (LMN). Kerusakan pada UMN akan menyebabkan spastik atau hiper
flaksid, di samping masih ada gangguan lain seperti bladder and bowel, gangguan
ASIA mengklasifikasikan menjadi dua berdasarkan dari fungsi yang masih ada,
yaitu SCI lesi complete dan SCI lesi incomplete. Lesi complete adalah hilangnya
fungsi sensorik motorik di bawah level lesi yang bisa disebabkan transeksi, kompresi
ataupun difusi vaskuler. Lesi incomplete adalah hilangnya sebagian fungsi sensorik
motorik di bawah level injury, biasanya disebabkan oleh kontusio pada fragmen
17 | P O L T E K K E S K E M E N K E S J A K A R T A I I I
disebut sebagai lesi medula spinalis komplit, grade B sampai D menunjukkan
bermacam derajat lesi tidak komplit dan grade E menunjukkan fungsi neurologis
normal. Berdasarkan sistem ini diperlukan pemeriksaan sepuluh grup otot kunci dan
28 dermatom secara bilateral. Level neurologi dari suatu lesi medula spinalis
berdasarkan level sensoris ditentukan sebagai level segmen paling kaudal dengan
fungsi normal dan level motoris ditentukan sebagai kelompok otot paling kaudal yang
H. Prognosis
Prognosis lesi medula spinalis berdasarkan pada sifat lesi. Lesi medula spinalis
yang bersifat ekstrinsik, yaitu lesi di luar substansi medulla spinalis atau lesi intrinsik
paling penting adalah peningkatan retensi sensasi sakral, terutama sensasi tusukan, 3-
18 | P O L T E K K E S K E M E N K E S J A K A R T A I I I
7 hari setelah terjadinya lesi. Penderita umumnya mendapatkan kembali satu tingkat
dari fungsi motorik, dan sebagian besar dapat pulih. Kondisi ini dapat terjadi dalam 6
bulan pertama setelah terjadinya lesi. Sepuluh sampai 15% dari penderita grade A
penderita grade B akan mendapatkan kembali kekuatan fungsional di bawah lesi dan
hampir 90% dari grade C dan D dapat pulih dengan kekuatan yang cukup untuk
berjalan lagi. Hasil studi prospektif selama 27 tahun menunjukkan bahwa rata-rata
harapan hidup penderita lesi medula spinalis lebih rendah dibandingkan populasi
normal. Penurunan rata-rata lama harapan hidup sesuai dengan beratnya lesi.
Kematian akibat lesi medulla spinalis sekitar 12-16 kali lebih besar dibandingkan
dengan trauma lainnya. Kematian umumnya akibat lesi terjadi dalam waktu 24 jam
setelah masuk rumah sakit, dan terutama terjadi pada lesi dengan trauma multipel.
emboli paru, septikemia, dan gagal ginjal (Maulina & Kalanjati, 2013)
Modified Asworth Scale adalah tes yang didasarkan pada penilaian resistensi
terhadap peregangan otot pasif. MAS adalah tes yang paling banyak digunakan untuk
pengukuran spastisitas otot dalam penelitian dan praktik klinis (Bakheit et al., 2003).
19 | P O L T E K K E S K E M E N K E S J A K A R T A I I I
Gambar 2.4. Modified Asworth Scale
Sumber: (Bakheit et al., 2003)
Kekuatan otot adalah fungsi tubuh penting yang menurun seiring bertambahnya
usia pada orang dewasa dan mengalami gangguan dalam berbagai kondisi medis
termasuk stroke dan cedera tulang belakang. MMT telah digunakan lebih dari satu
abad. Ini melibatkan penggunaan observasi, palpasi, dan aplikasi paksa oleh
pemeriksa untuk menentukan kekuatan aksi otot. Dengan tidak adanya gerakan,
palpasi dan observasi digunakan untuk melihat apakah otot yang menarik aktif.
Skema penilaian yang terkait dengan ini adalah skor minimum 0 bila tidak ada
kontraksi atau aktivitas yang dicatat dan skor maksimum 5 saat kekuatan "normal"
(Bohannon, 2019).
kemampuan saraf sistem untuk mengadaptasi otot untuk memenuhi tekanan yang
berubah dari tes pengujian. Tindakan otot yang sedang diuji, seperti peran otot
20 | P O L T E K K E S K E M E N K E S J A K A R T A I I I
3. Range Of Motion (ROM)
rentang fleksi dan ekstensi, sebagaimana ditentukan oleh jenis sendi, permukaan
artikularnya, dan sesuai dengan gerakan otot regional, tendon, ligamen, sendi, dan
kontrol fisiologis gerakan melintasi sendi. Rentang gerak adalah luasnya gerakan
suatu sambungan, diukur dalam derajat lingkaran. Ini adalah gerakan sendi (aktif,
atau meningkatkan busur gerakan sendi. Alat untuk mengukur rentang gerak pada
persendian tubuh antara lain Goniometer dan Inclinometer yang menggunakan lengan
stasioner, busur derajat, titik tumpu, dan lengan gerak untuk mengukur sudut dari
J. Teknologi fisioterapi
1. Ergocycle
Ergocycle adalah sebuah alat olahraga yang cara kerjanya sama seperti
menggunakan sepeda, akan tetapi ergocycle sendiri tidak berjalan saat di gunakan
melainkan diam di tempat (statis). Ergocycle mampu melatih pernapasan, jantung dan
K. Penatalaksanaan fisioterapi
1. Breathing Exercise
Menurut Hollis dan Fletcher (1999) yang dikutip oleh (Wahyudi, 2012) Latihan
pernapasan atau breathing exercise dilakukan dengan teknik deep breathing dan
21 | P O L T E K K E S K E M E N K E S J A K A R T A I I I
chest expantion secara aktif. Latihan pernapasan ini memiliki tujuan antara lain: (1)
mempertahankan kapasitas vital, (4) mencegah komplikasi paru, (5) relaksasi. Pada
teknik deep breathing, pasien diminta melakukan inspirasi dan ekspirasi secara
sedangkan pada teknik chest expantion dilakukan seperti latihan pernapasan biasa
2. Latihan Transfer
Menurut Kisner (1991) yang dikutip oleh (Wahyudi, 2012) latihan gerak pasif
adalah latihan dengan cara menggerakan suatu segmen pada tubuh dimana
kekuatannya berasal dari luar, bukan dari kontraksi otot, kekuatan dapat dari mesin,
individu lain atau bagian lain dari tubuh individu itu sendiri. Gerakan pasif ini
aliran darah.
4. Release spastic
22 | P O L T E K K E S K E M E N K E S J A K A R T A I I I
regangan tonik dan phasic. Spastisitas, manifestasi klinis klasik dari lesi neuron
motorik atas (upper motor neuron), secara tradisional dan secara fisiologis
didefinisikan sebagai peningkatan yang bergantung pada kecepatan dalam tonus otot
yang disebabkan oleh peningkatan rangsangan reflex peregangan otot (Mukherjee &
Chakravarty, 2010).
Spastisitas adalah salah satu komponen dari sindrom UMN yang tidak boleh
dianggap terpisah dalam hal strategi manajemen. Ini penting untuk manajemen
peregangan, latihan aktif, latihan pasif, splinting dan penggunaan ortotik, serta
23 | P O L T E K K E S K E M E N K E S J A K A R T A I I I
L. Kerangka Fikir Kasus
Trauma (kecelakaan
sepeda motor)
- Spastik lower
extremity
- Gangguan
bladder bowel
- Gangguan
mobilisasi
Intervensi Fisioterapi
Transfer Mandiri
24 | P O L T E K K E S K E M E N K E S J A K A R T A I I I
BAB III
KAJIAN KASUS
I. IDENTITAS KLIEN
Agama : Islam
Keluhan Penyerta:
25 | P O L T E K K E S K E M E N K E S J A K A R T A I I I
rontgen tetapi tidak terdeteksi apapun.
Pasien melakukan MRI ke RS Premiere
Bintaro dan melakukan operasi pemasangan
pen di cervical, pada tanggal 26 Oktober
2020 dan disarankan menjalankan
rehabilitasi medis kemandirian di RS
Fatmawati.
Pasien ikut aktif di club badminton Pasien dapat berjalan dan melakukan
aktivitas sehari-hari secara normal
Pemeriksaan Penunjang:
B. Pemeriksaan Umum
26 | P O L T E K K E S K E M E N K E S J A K A R T A I I I
C. Pemeriksaan Fisioterapi
Regional Screening:
Red flag:
Hipotesis:
3. gangguan mobilisasi
27 | P O L T E K K E S K E M E N K E S J A K A R T A I I I
tidak terasa
Asworth : LE dextra/sinistra : 3
PB : 155 cm
BB : 50 kg
Environmental factors:
Personal Factors:
Keluarga mendukung kesembuhan dan terapi
Emosi : Baik
yang dilakukan pasien
Atensi : Baik
Motivasi : Baik
PT diagnose:
28 | P O L T E K K E S K E M E N K E S J A K A R T A I I I
Breathing exercise
Evaluasi 2 S:
O : MMT UE : 4, Le : 4, terdapat
spastik di LE, duduk tegak adekuat
A : gangguan mobilisasi
P : Release sapstik, Active ROM UE,
Latihan transfer dari duduk dipinggir
bed ke kursi roda, Mobilisasi dengan
kursi roda keliling koridor, Breathing
exercise
29 | P O L T E K K E S K E M E N K E S J A K A R T A I I I
spastik pada LE sedikit release, dan
mampu keliling koridor dengan kursi
roda sebanyak 2x putaran
Penghentian -
Program/
Konsultasi
30 | P O L T E K K E S K E M E N K E S J A K A R T A I I I
BAB IV
PEMBAHASAN
Berdasarkan evaluasi dari hasil intervensi release spastic, active ROM upper
extremity, latihan transfer, mobilisasi dengan kursi roda keliling koridor, deep
breathing exercise sebanyak 5 kali dengan 6 detik inspirasi lalu 4 detik ekspirasi
mobilisasi dari bed ke kursi roda pada pasien Tn.Y 41 tahun dengan kasus SCI AIS A
pada transfer dari bed ke kursi roda dengan bantuan sedang dan menggunakan sliding
board, dan pada spastik pasien merasakan sudah sedikit lebih release walau sangat
sedikit.
Tahun 2019 pasien mengalami kecelakaan motor karena melihat didepan seperti
ada orang dan jatuh, lalu pasien merasakan lemas dan kesemutan. Saat pulang pasien
tidak merasakan apapun dan dibawa ke IGD RS Sentosa (hanya kurang gerak). Lalu
pasien tidak sadarkan diri dan dibawa ke RS Sari Asih lalu ke RS Fatmawati untuk
melakukan CT Scan dan rontgen tetapi tidak terdeteksi apapun. Pasien melakukan
31 | P O L T E K K E S K E M E N K E S J A K A R T A I I I
Permasalahan yang dialami pasien yaitu saat duduk adekuat, transfer dari tidur ke
duduk, ambulusi duduk di bed ke kursi roda menggunakan alat bantu sliding board
dengan bantuan minimal, dan keterbatasan activity daily living dikarenakan adanya
spastik lower extremity, gangguan motorik dan sensorik, dan kelemahan abdominal
pernafasan, release spastic untuk menurunkan spastik pada lower extremity, active
Pasien atas nama Tn. Y menunjukkan perubahan dengan pasien sudah mampu
ambulasi dari duduk dipinggir bed ke kursi roda dengan bantuan minimal setelah
latihan ambulasi secara rutin, upper extremity sudah kuat dengan rutin menggunakan
tangannya saat proses transfer dan ambulasi, spastik lower extremity sedikit release,
dan mampu keliling koridor rumah sakit dengan kursi roda sebanyak 2 kali putaran.
B. Keterbatasan
Keterbatasan yang ditemui oleh penulis dalam pelaksanaan fisioterapi pada Tn. Y
yaitu terbatasnya pengambilan data status klinis dan hasil evaluasi dikarenakan hanya
beberapa hari penulis bisa bertemu dengan pasien sebelum pasien diizinkan pulang
32 | P O L T E K K E S K E M E N K E S J A K A R T A I I I
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Spinal Cord Injury (SCI) merupakan bentuk cedera yang mengenai medula
spinalis yang menimbulkan kelainan fungsi utamanya (motorik, sensorik, otonom dan
reflek) baik komplet maupun inkomplet. SCI merupakan salah satu penyebab utama
merupakan kasus yang paling banyak terjadi, disebabkan karena kecelakaan kerja,
kecelakaan lalu lintas, jatuh, luka tembak, luka tusuk, kecelakaan olahraga sehingga
sensorik, gangguan fungsi bladder dan bowel serta gangguan fungsi seksual.
Peran fisioterapi yang dapat dilakukan pada kasus SCI AIS A Neuro Level C7 e.c.
meningkatkan kekuatan otot abdominal serta transfer dan ambulasi secara mandiri
Tindakan fisioterapi yang dapat dilakukan pada kondisi tersebut antara lain,
release spastic, active ROM upper extremity, latihan transfer mobilisasi dengan kursi
roda keliling koridor, dan breathing exercise. Setelah pasien diberikan intervensi
tersebut selama 4 pertemuan dan melakukan home program yang diberikan terapis,
pasien sudah mampu transfer dari duduk dipinggir bed ke kursi roda dengan bantuan
33 | P O L T E K K E S K E M E N K E S J A K A R T A I I I
minimal, Upper Extremity kuat, spastik pada Lower Extremity sedikit release, dan
Sehingga dapat disimpulkan bahwa proses fisioterapi pada kasus spinal cord
injury AIS A Neuro Level C7 et causa trauma dirasa cukup untuk menilai tingkat
B. Saran
1. Untuk penulis
latihan yang dilakukan dirumah agar mendapatkan hasil yang optimal dari terapi
yang dilakukan.
3. Untuk Penelitian
34 | P O L T E K K E S K E M E N K E S J A K A R T A I I I
DAFTAR PUSTAKA
Adigun, O. O., & Varacallo, M. (2019). Anatomy , Back , Spinal Cord. February.
Bakheit, A. M. O., Maynard, V. A., Curnow, J., Hudson, N., & Kodapala, S. (2003).
The relation between Ashworth scale scores and the excitability of the α motor
neurones in patients with post-stroke muscle spasticity. Journal of Neurology
Neurosurgery and Psychiatry, 74(5), 646–648.
https://doi.org/10.1136/jnnp.74.5.646
Burns, S., Biering-Sørensen, F., Donovan, W., Graves, D. E., Jha, A., Johansen, M.,
Jones, L., Krassioukov, A., Kirshblum, S., Mulcahey, M. J., Read, M., &
Waring, W. (2012). International standards for neurological classification of
spinal cord injury, revised 2011. Topics in Spinal Cord Injury Rehabilitation,
18(1), 85–99. https://doi.org/10.1310/sci1801-85
Cuthbert, S. C., & Goodheart, G. J. (2007). On the reliability and validity of manual
muscle testing: A literature review. Chiropractic and Osteopathy, 15.
https://doi.org/10.1186/1746-1340-15-4
Hidayatullah, T. S., Jauhari, M., & Hermawan, I. (2016). Perbandingan Efek Kerja
Dengan Menggunakan Treadmill Dan Ergocycle Terhadap Penurunan Kadar
Gula Dalam Darah Selama 30 Menit Pada Mahasiswa FIK UNJ Angkatan
Tubagus Syarif Hidayattullah Pembimbing 1 : Dr . Mansur Jauhari , M . Si Ilmu
Keolahragaan 2011 Il. 1–9.
Kaur, B., & Narkeesh, A. (2014). Review Study on the Effect Surface Spinal
Stimulation on Autonomic Nervous System in Spinal Cord Injury Patient.
35 | P O L T E K K E S K E M E N K E S J A K A R T A I I I
Journal of Exercise Science and Physiotherapy, 10(1), 46.
https://doi.org/10.18376//2014/v10i1/67554
Maulina, M., & Kalanjati, V. P. (2013). Lesi Medula Spinalis. Majalah Biomorfologi,
1–5.
Mukherjee, A., & Chakravarty, A. (2010). Spasticity mechanisms – for the clinician.
1(December), 1–10. https://doi.org/10.3389/fneur.2010.00149
National Spinal Cord Injury Statistical Center. (2017). Spinal cord injury facts and
figures at a glance. The Journal of Spinal Cord Medicine, 36(1), 1–2.
https://doi.org/10.1179/1079026813Z.000000000136
Tarwoto, Aryani, R., & Wartonah. (2015). Anatomi dan fisiologi untuk mahasiswa
keperawatan. In TIM.
Tulaar, A. B. M., Karyana, M., Wahyuni, L. K., Paulus, A. F. S., Tinduh, D.,
Anestherita, F., & Wangge, G. (2017). People with Spinal Cord Injury in
Indonesia. American Journal of Physical Medicine and Rehabilitation, 96(2),
S74–S77. https://doi.org/10.1097/PHM.0000000000000660
36 | P O L T E K K E S K E M E N K E S J A K A R T A I I I
37 | P O L T E K K E S K E M E N K E S J A K A R T A I I I