Anda di halaman 1dari 30

TUGAS KELOMPOK

LAPORAN PENDAHULUAN
FRAKTUR ATAU PATAH TULANG

Oleh:
Kelompok I
Ni Putu Giri Adi Antari KP.12.19.001
Ni Putu Ayu Devi Natalia Chessy KP.12.19.002
Ni Made Denita Dwi Pradina KP.12.19.003
Ni Nengah Tingki Niti Andari KP.12.19.004
Putri Nunung Mayah KP.12.19.005
Tania Kharisma Putri KP.12.19.006
Ni Putu Indah Suryandari KP.12.19.007
Anabella Gracia Eurica Silooy KP.12.19.008
Ni Kadek Dewi Pratiwi KP.12.19.009
I Dewa Gede Indra Bagus Tridana KP.12.19.010
Dewa Ketut Ardika KP.12.19.011
Wira Janila Da Costa Pareira KP.12.19.012
Ni Made Galuh Murnialita KP.12.19.013
Ni Ketut Amritha KP.12.19.014
Ni Kadek Poppy Indriana KP.12.19.015
PROGRAM STUDI D-III KEPERAWATAN
STIKES KESDAM IX/UDAYANA DENPASAR
2021/2022
LAPORAN PENDAHULUAN
FRAKTUR ATAU PATAH TULANG

A. DEFINISI
Fraktur atau patah tulang adalah ganguan dari kontinuitas yang normal dari
suatu tulang (Black 2014). Fraktur atau patah tulang adalah kondisi dimana
kontinuitas jaringan tulang dan atau tulang rawan terputus secara sempurna atau
sebagian yang disebabkan oleh rudapaksa atau osteoporosis (Smeltzer & Bare,
2013). Fraktur adalah hilangnya kontinuitas tulang rawan baik bersifat total
maupun sebagian, penyebab utama dapat disebabkan oleh trauma atau tenaga
fisik tulang itu sendiri dan jaringan lunak disekitarnya (Helmi, 2012).
Fraktur dapat terjadi di bagian ekstremitas atau anggota gerak tubuh yang
disebut dengan fraktur ekstremitas. Fraktur ekstremitas merupakan fraktur yang
terjadi pada tulang yang membentuk lokasi ekstremitas atas (tangan, lengan, siku,
bahu, pergelangan tangan, dan bawah (pinggul, paha, kaki bagian bawah,
pergelangan kaki). Fraktur dapat meimbulkan pembengkakan, hilangnya fungsi
normal, deformitas, kemerahan, krepitasi, dan rasa nyeri (Ghassani, 2016)

B. ANATOMI DAN FISIOLOGI


a. Anatomi
Tulang adalah jaringan yang kuat dan tangguh yang memberi bentuk
pada tubuh. Skelet atau kerangka adalah rangkaian tulang yang mendukung
dan melindungi organ lunak, terutama dalam tengkorak dan panggul. Tulang
membentuk rangka penunjang dan pelindung bagi tubuh dan tempat untuk
melekatnya otot-otot yang menggerakan kerangka tubuh. Tulang juga
merupakan tempat primer untuk menyimpan dan mengatur kalsiumdan
fosfat (Price dan Wilson, 2006).
Tulang membentuk rangka penunjang dan pelindung bagi tubuh dan
tempat untuk melekatnya otot-otot yang menggerakan kerangka tubuh.
Tulang juga merupakan tempat primer untuk menyimpan dan mengatur
kalsium dan fhosfat. Tulang rangka orang dewasa terdiri atas 206 tulang.
Tulang adalah jaringan hidup yang akan suplai syaraf dan darah.
Tulang banyak mengandung bahan kristalin anorganik (terutama garam-
garam kalsium) yang membuat tulang keras dan kaku., tetapi sepertiga dari
bahan tersebut adalah fibrosa yang membuatnya kuat dan elastis (Price dan
Wilson, 2006).
Tulang ekstrimitas bawah atau anggota gerak bawah dikaitkan pada
batang tubuh dengan perantara gelang panggul terdiri dari 31 pasang antara
lain:
1. Tulang Koksa
2. Tulang Femur
3. Tulang Tibia
4. Tulang Fibula
5. Tulang Patella
6. Tulang Tarsalia
7. Tulang Meta Tarsalia
8. Tulang Falang
Tulang Koksa (tulang pangkal paha) tulang koksa turut membentuk
gelang panggul, letaknya disetiap sisi dan di depan bersatu dengan simfisis
pubis dan membentuk sebagian besar tulang pelvis.
Tulang Femur (tulang paha) Merupakan tulang pipa dan terbesar di
dalam tulang kerangka pada bagian pangkal yang berhubungan dengan
asetabulum membentuk kepala sendi yang disebut kaput femoris, disebelah
atas dan bawah dari kolumna femoris terdapat taju yang disebut trokanter
mayor dan trokanter minor. Dibagian ujung membentuk persendian lutut,
terdapat dua buah tonjolan yang disebut kondilus lateralis dan medialis.
Diantara dua kondilus ini terdapat lakukan tempat letaknya tulang
tempurung lutut (patella) yang di sebut dengan fosa kondilus.
Tulang atau Osteum tibialis dan fibularis (tulang kering dan tulang
betis) Merupakan tulang pipa yang terbesar sesudah tulang paha yang
membentuk persendian lutut dengan OS femur, pada bagian ujungnya
terdapat tonjolan yang disebut OS maleolus lateralis atau mata kaki luar. OS
tibia bentuknya lebih kecil dari pada bagian pangkal melekat pada OS fibula
pada bagian ujung membentuk persendian dengan tulang pangkal kaki dan
terdapat taju yang disebut OS maleolus medialis.
Tulang tarsalia (tulang pangkal kaki) Dihubungkan dengan tungkai
bawah oleh sendi pergelangan kaki, terdiri dari tulang-tulang kecil yang
banyaknya 5 yaitu sendi talus, kalkaneus, navikular, osteum kuboideum,
kunaiformi.
Tulang Meta tarsalia (tulang telapak kaki) Terdiri dari tulang- tulang
pendek yang banyaknya 5 buah, yang masing-masing berhubungan dengan
tarsus dan falangus dengan perantara sendi.
Tulang Falangus (ruas jari kaki) Merupakan tulang-tulang pipa yang
pendek yang masing-masingterdiri dari 3 ruas kecuali ibu jari banyaknya 2
ruas, pada metatarsalia bagian ibu jari terdapat dua buah tulang kecil
bentuknya bundar yang disebut tulang bijian (osteumsesarnoid).
b. Fisiologi
Sistem musculoskeletal adalah penunjang bentuk tubuh dan peran
dalam pergerakan.Sistem terdiri dari tulang sendi, rangka, tendon, ligament,
bursa, dan jaringan-jaringan khusus yang menghubungkan struktur tersebut
(Price dan Wilson, 2006).
Tulang adalah suatu jaringan dinamis yang tersusun dari tiga jenis sel
antara lain: osteoblast, osteosit dan osteoklas. Osteoblas membangun tulang
dengan membentuk kolagen tipe 1 dan proteoglikan sebagai matriks tulang
dan jaringan osteoid melalui suatu proses yang di sebut osifikasi. Ketika
sedang aktif menghasilkan jaringan osteoid, osteoblas mengsekresikan
sejumlah besar fosfatase alkali, yang memegang peran penting dalam
mengendapkan kalsium dan fosfat kedalam matriks tulang, sebagian
fosfatase alkali memasuki aliran darah dengan demikian maka kadar
fosfatase alkali di dalam darah dapat menjadi indikator yang baik tentang
tingkat pembentukan tulang setelah mengalami patah tulang atau pada kasus
metastasis kanker ke tulang.
Ostesit adalah sel- sel tulang dewasa yang bertindak sebagai suatu
lintasan untuk pertukaran kimiawi melalui tulang yang padat. Osteklas
adalah sel-sel besar berinti banyak yang memungkinkan mineral dan matriks
tulang dapat di absorbsi. Tidak seperti osteblas dan osteosit, osteklas
mengikis tulang. Sel-sel ini menghasilkan enzim-enzim proteolotik yang
memecahkan matriks dan beberapa asam yang melarutkan mineral tulang,
sehingga kalsium dan fosfat terlepas ke dalam aliran darah.

Secara umum fungsi tulang menurut Price dan Wilson (2006) antara lain:
1. Sebagai kerangka tubuh. Tulang sebagai kerangka yang menyokong dan
memberi bentuk tubuh.
2. Proteksi Sistem musculoskeletal melindungi organ- organ penting,
misalnya otak dilindungi oleh tulang-tulang tengkorak, jantung dan
paru-paru terdapat pada rongga dada (cavum thorax) yang di bentuk
oleh tulang-tulang kostae (iga).
3. Ambulasi dan Mobilisasi Adanya tulang dan otot memungkinkan
terjadinya pergerakan tubuh dan perpindahan tempat, tulang
memberikan suatu system pengungkit yang di gerakan oleh otot- otot
yang melekat pada tulang tersebut ; sebagai suatu system pengungkit
yang digerakan oleh kerja otot-otot yang melekat padanya.
4. Deposit Mineral Sebagai reservoir kalsium, fosfor,natrium,dan elemen-
elemen lain. Tulang mengandung 99% kalsium dan 90% fosfor tubuh.
5. Hemopoesis Berperan dalam bentuk sel darah pada redmarrow. Untuk
menghasilkan sel-sel darah merah dan putih dan trombosit dalam
sumsum merah tulang tertentu.

C. ETIOLOGI
Fraktur dan dislokasi tulang belakang dapat disebabkan oleh berbagai
macam diantaranya fraktur dan dislokasi primer akibat trauma, atau sekunder
akibat nontrauma seperti osteoporosis, keganasan, dan infeksi. Penyebab paling
sering dari fraktur dan dislokasi tulang belakang primer yang disebabkan oleh
cidera adalah high-energy trauma seperti kecelakaan motor dan jatuh dari
ketinggian.
Menurut sebuah studi yang dilakukan oleh Leucht et al. dengan
menggunakan metode retrospektif pada 562 pasien dengan fraktur tulang
belakang akibat trauma didapatkan 77% fraktur tulang belakang berkaitan
dengan terjadinya kecelakaan lalu lintas dan jatuh dari ketinggian yang terjadi
secara signifikan lebih tinggi pada spina torakal
Menurut pendapat Sachdeva, 2000 dalam Kristiyanasari, 2012:16 adalah
sebagai berikut:
a. Cedera Traumatik
Cedera traumatic pada tulang dapat disebabkan oleh:
1. Cedera langsung berarti pukulan langsung terhadap tulang sehingga
tulang patah seacara spontan. Pemukulan biasanya menyebabkan fraktur
melintang dan kerusakan pada kulit diatasnya.
2. Cedera tidak langsung berarti pukulan langsung berada jauh dari lokasi
benturan, misalnya jatuh dengan tangan berjulur dan menyebabkan
fraktur klavikula.
3. Fraktur yang disebabkan kontraksi keras yang mendadak dari otot
yang kuat.

b. Fraktur Patologik
Dalam hal ini kerusakan tulang akibat proses penyakit dimana dengan
trauma minor dapat mengakibatkan fraktur, seperti:
1. Tumor tulang (jinak atau ganas), yaitu pertumbuhan jaringan baru yang
tidak terkendali atau progresif.
2. Infeksi seperti mosteomyelitis, dapat terjadi sebagai akibat infeksi akut
atau dapat timbul sebagai salah satu proses yang progresif, lambat dan
sakit nyeri.
3. Rakhitis, suatu penyakit tulang yang disebabkan oleh defisiensi Vitamin
D.
4. Stress tulang seperti pada penyakit polio dan orang yang bertugas di
kemiliteran

D. PATOFISIOLOGI
Menurut Black dan Matassarin (1993) serta Patrick dan Woods (1989).
Ketika patah tulang, akan terjadi kerusakan di korteks, pembuluh darah, sumsum
tulang dan jaringan lunak. Akibat dari hal tersebut adalah terjadi perdarahan,
kerusakan tulang dan jaringan sekitarnya. Keadaan ini menimbulkan hematom
pada kanal medulla antara tepi tulang dibawah periostium dengan jaringan tulang
yang mengatasi fraktur. Terjadinya respon inflamsi akibat sirkulasi jaringan
nekrotik adalah ditandai dengan vasodilatasi dari plasma dan leukoit. Ketika
terjadi kerusakan tulang, tubuh mulai melakukan proses penyembuhan untuk
memperbaiki cidera, tahap ini menunjukkan tahap awal penyembuhan tulang.
Hematon yang terbentuk bisa menyebabkan peningkatan tekanan dalam sumsum
tulang yang kemudian merangsang pembebasan lemak dan gumpalan lemak
tersebut masuk kedalam pembuluh darah yang mensuplai organ-organ yang lain.
Hematon menyebabkn dilatasi kapiler di otot, sehingga meningkatkan tekanan
kapiler, kemudian menstimulasi histamin pada otot yang iskhemik dan
menyebabkan protein plasma hilang dan masuk ke interstitial. Hal ini
menyebabkan terjadinya edema. Edema yang terbentuk akan menekan ujung
syaraf, yang bila berlangsung lama bisa menyebabkan syndroma comportement.
Fraktur terjadi apabila ada suatu trauma yang mengenai tulang, dimana
trauma tersebut kekuatannya melebihi kekuatan tulang, ada 2 faktor yang
mempengaruhi terjadinya fraktur yaitu ekstrinsik (meliputi kecepatan, sedangkan
durasi trauma yang mengenai tulang, arah dan kekuatan), intrinsik (meliputi
kapasitas tulang mengabsorbsi energi trauma, kelenturan, kekuatan ad anya
densitas tulang tulang. Yang dapat menyebabkan terjadinya patah pada tulang
bermacam-macam antara lain trauma (langsung dan tidak langsung), akibat
keadaan patologi serta secara spontan. Trauma langsung menyebabkan tekanan
langsung pada tulang dan terjadi fraktur pada daerah tekanan. Trauma tidak
langsung terjadi apabila trauma dihantarkan ke daerah yang lebih jauh dari
daerah fraktur, pada keadaan ini biasanya jaringan lunak tetap utuh. Tekanan
pada tulang dapat berupa teknan berputar, membengkok, kompresi bahkan
tarikan. Sementara kondisi patologis disebabkan karena kelemahan tuklang
sebelumnya akibat kondisi patologis yang terjadi di dalam tulang. Akibat trauma
pada tulang tergantung pada jenis trauma, kekuatan dan arahnya. Sementara
fraktur spontan terjadi akibat stress tulang yang terjadi terus menerus misalnya
pada orang yang bertugas kemiliteran.
E. PATHWAY

F. KLASIFIKASI
Fraktur dapat diklasifikasikan menjadi fraktur tertutup dan fraktur terbuka.
Fraktur tertutup memiliki kulit yang masih utuh diatas lokasi cedera, sedangkan
fraktur terbuka dicirikan oleh robeknya kulit diatas cedera tulang. Kerusakan
jaringan dapat sangat luas pada fraktur terbuka, yang dibagi berdasarkan
keparahannya (Black dan Hawks, 2014):
1. Derajat 1 : Luka kurang dari 1 cm, kontaminasi minimal
2. Derajat 2 : Luka lebih dari 1 cm, kontaminasi sedang
3. Derajat 3 : Luka melebihi 6 hingga 8 cm, ada kerusakan luas pada
jaringan lunak, saraf, tendon, kontaminasi banyak. Fraktur terbuka dengan
derajat 3 harus sedera ditangani karena resiko infeksi.

Menurut Wiarto (2017) fraktur dapat dibagi kedalam tiga jenis antara lain:
1. Fraktur tertutup
Fraktur terutup adalah jenis fraktur yang tidak disertai dengan luka pada
bagian luar permukaan kulit sehingga bagian tulang yang patah tidak
berhubungan dengan bagian luar.
2. Fraktur terbuka
Fraktur terbuka adalah suatu jenis kondisi patah tulang dengan adanya
luka pada daerah yang patah sehingga bagian tulang berhubungan dengan
udara luar, biasanya juga disertai adanya pendarahan yang banyak. Tulang
yang patah juga ikut menonjol keluar dari permukaan kulit, namun tidak
semua fraktur terbuka membuat tulang menonjol keluar. Fraktur terbuka
memerlukan pertolongan lebih cepat karena terjadinya infeksi dan faktor
penyulit lainnya.
3. Fraktur kompleksitas
Fraktur jenis ini terjadi pada dua keadaan yaitu pada bagian ekstermitas
terjadi patah tulang sedangkan pada sendinya terjadi dislokasi.

Menurut Wiarto (2017) jenis fraktur berdasarkan radiologisnya antara


lain:
1. Fraktur transversal
Fraktur transversal adalah frktur yang garis patahnya tegak lurus terhadap
sumbu panjang tulang. Fraktur ini, segmen-segmen tulang yang patah
direposisi atau direkduksi kembali ke tempat semula, maka segmen-segmen
ini akan stabil dan biasanya dikontrol dengan bidai gips.
2. Fraktur kuminutif
Fraktur kuminutif adalah terputusnya keutuhan jaringan yang terdiri dari
dua fragmen tulang.
3. Fraktur oblik
Fraktur oblik adalah fraktur yang garis patahnya membuat sudut terhadap
tulang.
4. Fraktur segmental
Fraktur segmental adalah dua fraktur berdekatan pada satu tulang yang
menyebabkan terpisahnya segmen sentral dari suplai darahnya, fraktur jenis
ini biasanya sulit ditangani.
5. Fraktur impaksi
Fraktur impaksi atau fraktur kompresi terjadi ketika dua tulang
menumbuk tulang yang berada diantara vertebra
6. Fraktur spiral
Fraktur spiral timbul akibat torsi ekstermitas. Fraktur ini menimbulkan
sedikit kerusakan jaringan lunak dan cenderung cepat sembuh dengan
imobilisasi.

G. MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis fraktur adalah nyeri, hilangnya fungsi, deformitas,
pemendekan ektremitas, krepitus, pembengkakan lokal dan perubahan warna
yang dijelaskan secara rinci sebagai berikut :
1. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang di
imobilisasi. Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai
alamiah yang dirancang untuk meminimalkan gerakan antar fragmen tulang.
2. Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tidak dapat digunakan dan
cenderung bergerak secara alamiah (gerakan luar biasa). Pergeseran fragmen 
pada fraktur lengan dan tungkai menyebabkan deformitas (terlihat maupun
teraba) ektremitas yang bisa diketahui dengan membandingkannya dengan
ektremitas normal. Ekstremitas tidak dapat berfungsi dengan baik karena
fungsi normal otot tergantung pada integritasnya tulang tempat melekatnya
otot
3. Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena
kontraksi otot yang melekat di atas dan bawah tempat fraktur. Fragmen
sering saling melengkapi satu sama lain sampai 2,5 sampai 5 cm (1 sampai 2
inci).
4. Saat ekstremitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang
dinamakan krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu dengan
lainnya. Uji krepitus dapat mengakibatkan kerusakan jaringan lunak yang
lebih berat.
5. Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi sebagai akibat
trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini biasa terjadi
setelah beberapa jam atau hari setelah cedera
6. Tidak semua tanda dan gejala tersebut terdapat pada setiap fraktur.
Kebanyakan justru tidak ada pada fraktur linear atau fisur atau fraktur
impaksi (permukaan patahan saling terdesak satu sama lain).
7. Diagnosis fraktur bergantung pada gejala, tanda fisik, dan pemeriksaan sinar
x pasien. Biasanya pasien mengeluhkan mengalami cedera pada daerah
tersebut.

H. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan rontgen: menetukan lokasi, luasnya fraktur, trauma, dan jenis
fraktur.
2. Scan tulang, temogram, CT scan/MRI: memperlihatkan tingkat keparahan
fraktur, juga dan mengidentifikasi kerusakan jaringan linak.
3. Arteriogram: dilakukan bila dicurigai adanya kerusakan vaskuler.
4. Hitung darah lengkap: Ht mungkin meningkat (hemokonsentrasi) atau
menurun (perdarahan bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh pada
multipel trauma) peningkatan jumlah SDP adalah proses stres normal setelah
trauma.
5. Kretinin: trauma otot meningkatkan beban tratinin untuk klien ginjal.
6. Profil koagulasi: perubahan dapat terjadi pada kehilingan darah, tranfusi
mulpel atau cedera hati (Lukman & Ningsih, 2009).

I. PENATALAKSANAAN
Prinsip menangani fraktur adalah mengembalikan posisi patahan ke posisi
ikuti dengan imobilisasi, biasanya dilakukan pada patah tulang radius distal. Cara
keempat adalah reposisi dengan traksi secara terus-menerus selama masa
tertentu. Hal ini dilakukan pada patah tulang yang apabila direposisi akan
terdislokasi di dalam gips. Cara kelima berupa reposisi yang diikuti dengan
imobilisasi dengan fiksasi luar. Cara keenam berupa reposisi secara non-operatif
diikuti dengan pemasangan fiksator tulang secara operatif. Cara ketujuh berupa
reposisi secara operatif diikuti dengan fiksasi interna yang biasa disebut dengan
ORIF (Open Reduction Internal Fixation). Cara yang terakhir berupa eksisi
fragmen patahan tulang dengan prostesis (Sjamsuhidayat dkk, 2010). Menurut
Istianah (2017) penatalaksanaan medis antara lain:
a. Diagnosis dan penilaian fraktur
Anamnesis pemeriksaan klinis dan radiologi dilakukan dilakukan untuk
mengetahui dan menilai keadaan fraktur. Pada awal pengobatan perlu
diperhatikan lokasi fraktur, bentuk fraktur, menentukan teknik yang sesuai
untuk pengobatan komplikasi yang mungkin terjadi selama pengobatan.
b. Reduksi
Tujuan dari reduksi untuk mengembalikan panjang dan kesejajaran garis
tulang yang dapat dicapai dengan reduksi terutup atau reduksi terbuka.
Reduksi tertutup dilakukan dengan traksi manual atau mekanis untuk
menarik fraktur kemudian, kemudian memanipulasi untuk mengembalikan
kesejajaran garis normal. Jika reduksi tertutup gagal atau kurang
memuaskan, maka bisa dilakukan reduksi terbuka.Reduksi terbuka dilakukan
dengan menggunakan alat fiksasi internal untuk mempertahankan posisi
sampai penyembuhan tulang menjadi solid. Alat fiksasi interrnal tersebut
antara lain pen, kawat, skrup, dan plat. Alat-alat tersebut dimasukkan ke
dalam fraktur melalui pembedahan ORIF (Open Reduction Internal
Fixation). Pembedahan terbuka ini akan mengimobilisasi fraktur hingga
bagian tulang yang patah dapat tersambung kembali.
c. Retensi
Imobilisasi fraktur bertujuan untuk mencegah pergeseran fragmen dan
mencegah pergerakan yang dapat mengancam penyatuan. Pemasangan plat
atau traksi dimaksudkan untuk mempertahankan reduksi ekstremitas yang
mengalami fraktur.
d. Rehabilitasi
Mengembalikan aktivitas fungsional seoptimal mungkin.Setelah
pembedahan, pasien memerlukan bantuan untuk melakukan latihan. Menurut
Kneale dan Davis (2011) latihan rehabilitasi dibagi menjadi tiga kategori
yaitu:
1. Gerakan pasif bertujuan untuk membantu pasien mempertahankan
rentang gerak sendi dan mencegah timbulnya pelekatan atau kontraktur
jaringan lunak serta mencegah strain berlebihan pada otot yang
diperbaiki post bedah.
2. Gerakan aktif terbantu dilakukan untuk mempertahankan dan
meningkatkan pergerakan, sering kali dibantu dengan tangan yang sehat,
katrol atau tongkat
3. Latihan penguatan adalah latihan aktif yang bertujuan memperkuat otot.
Latihan biasanya dimulai jika kerusakan jaringan lunak telah pulih, 4-6
minggu setelah pembedahan atau dilakukan pada pasien yang
mengalami gangguan ekstremitas atas.
ASUHAN KEPERAWATAN
POST OPERASI FRAKTUR

Di dalam memberikan asuhan keperawatan digunakan sistem atau metode proses


keperawatan yang dalam pelaksanaannya dibagi menjadi lima tahap yaitu pengkajian,
diagnosis keperawatan, perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi.
1. Pengkajian
a. Anamnesis
a. Identitas klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang
dipakai, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan
darah, nomer register, tanggal masuk rumah sakit, diagnosis medis
(Padila, 2012).
b. Keluhan utama
Keluhan utamanya adalah rasa nyeri akut atau kronik. Selain itu
klien juga akan kesulitan beraktivitas. Untuk memperoleh pengkajian
yang lengkap tentang rasa nyeri klien digunakan menurut Padila (2012):
1. Provoking incident: Apakah ada peristiwa yang menjadi faktor
presipitasi nyeri
2. Quality of pain: Seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau
digambarkan klien. Apakah seperti terbakar, berdenyut, atau
menusuk
3. Region: Radiation, relief: Apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa
sakit menjalar atau menyebar, dan dimana rasa sakit terjadi.
4. Severity (scale) of pain: Seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan
klien, bisa berdasarkan skala nyeri atau klien menerangkan seberapa
jauh rasa sakit memepengaruhi kemampuan fungsinya.
5. Time: Berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah
buruk pada malam hari atau siang hari
c. Riwayat penyakit sekarang
d. Riwayat penyakit dahulu
Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab fraktur
dan memberi petunjuk berapa lama tulang tersebut akan menyambung.
Penyakit-penyakit tertentu seperti kanker tulang menyebabkan fraktur
patologis yang sering sulit untuk menyambung. Selain itu, penyakit
diabetes dengan luka sangat beresiko terjadinya osteomyelitis akut
maupun kronik dan juga diabetes menghambat proses penyembuhan
tulang (Padila, 2012).
e. Riwayat penyakit keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang
merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti
diabetes, osteoporosis yang sering terjadi pada beberapa keturunan dan
kanker tulang yang cenderung diturunkan secara genetik (Padila, 2012).
f. Riwayat psikososial
Merupakan respon emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya
dan peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respon atau
pengaruhnya dalam kehidupan sehari-hari (Padila, 2012).
g. Pola-pola
1. Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat
Pada kasus fraktur akan timbul ketakutan akan terjadi
kecacatan pada dirinya dan harus menjalani penatalaksaan
kesehatan untuk membantu penyembuhan tulangnya. Selain itu,
pengkajian juga meliputi kebiasaan hidup klien seperti penggunaan
obat steroid yang dapat menggangu metabolisme kalsium,
pengonsumsian alkohol yang bisa mengganggu keseimbangannya
dan apakah klien melaksanakan olahraga atau tidak (Padila, 2012).
2. Pola nutrisi dan metabolism
Insufisiensi pancreas/DM (predisposisi untuk hipoglikemia atau
ketoasidosis), malnutrisi termasuk obesitas, membran mukosa
kering karena pembatasan pemasukan atau periode post puasa
(Doenges dalam Jitowiyono dan Kristiyanasari, 2010). Pada klien
fraktur harus mengonsumsi nutrisi melebihi kebutuhan sehari-
harinya seperti kalsium, zat besi, protein, vitamin untuk membantu
proses penyembuhan tulang dan pantau keseimbangan cairan
(Padila, 2012).
3. Pola eliminasi
Pantau pengeluaran urine frekuensi, kepekatannya, warna, bau,
dan jumlah apakah terjadi retensi urine. Retensi urine dapat
disebabkan oleh posisi berkemih yang tidak alamiah, pembesaran
prostat dan adanya tanda infeksi saluran kemih Kaji frekuensi,
konsistensi, warna, serta bau feses.
4. Pola tidur dan istirahat
Klien akan merasakan nyeri, keterbatasan gerak sehingga hal
ini dapat mengganggu pola dan kebutuhan tidur klien. Selain itu
juga, pengkajian dilaksanakan pada lamanya tidur, suasana
lingkungan, kebiasaan tidur, dan kesulitan tidur serta penggunaan
obat tidur (Padila, 2012). Tidak dapat beristirahat, peningkatan
ketegangan, peka terhadap rangsang, stimulasi simpatis.
5. Pola aktivitas
Timbulnya nyeri, keterbatasan gerak maka semua bentuk
kegiatan klien menjadi berkurang dan kebutuhan klien perlu banyak
dibantu oleh orang lain. Hal lain yang perlu dikaji adalah bentuk
aktivitas (Padila, 2012).
6. Pola hubungan dan peran
Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan masyarakat
karena klien harus menjalani rawat inap (Padila, 2012).
7. Persepsi dan konsep diri
Dampak yang timbul pada klien adalah rasa takut akan
kecacatan, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk melakukan
aktivitas secara optimal dan pandangan dirinya yang salah (Padila,
2012).
8. Pola sensori dan kognitif
Klien fraktur daya rabanya berkurang terutama pada bagian
fraktur, sedangkan pada indera yang lainnya tidak timbul gangguan
begitu juga pada kognitifnya tidak mengalami gangguan (Padila,
2012).
9. Pola reproduksi seksual
Klien tidak bisa melakukan hubungan seksual karena harus
menjalani rawat inap dan keterbatasan gerak serta rasa nyeri. Selain
itu, klien juga perlu dikaji status perkawinannya termasuk jumlah
anak, lama perkawinannya (Padila, 2012).
10. Pola penanggulangan stress
Perasaan cemas, takut, marah, apatis, faktor-faktor stress
multiple seperti masalah finansial, hubungan, gaya hidup (Doenges
dalam Jitowiyono dan Kristiyanasari, 2010).
11. Timbul kecemasan akan kecacatan pada diri dan fungsi
tubuhnya.
Mekanisme koping yang ditempuh klien biasanya tidak efektif
(Padila, 2012).
12. Pola tata nilai dan keyakinan
Klien tidak dapat melakukan kebutuhan beribadah dengan baik
terutama frekuensi dan konsentrasi (Padila, 2012).
b. Pemeriksaan fisik menurut Suratun dkk (2008) antara lain
1. Keadaan umum:
a. Kesadaran penderita: apatis, sopor, koma, gelisah, komposmentis
tergantung pada keadaan klien.
b. Tanda-tanda vital: Kaji dan pantau potensial masalah yang
berkaitan dengan pembedahan: tanda vital, derajat kesadaran, cairan
yang keluar dari luka, suara nafas, pernafasan infeksi kondisi yang
kronis atau batuk dan merokok.
c. Pantau keseimbangan cairan
d. Observasi resiko syok hipovolemia akibat kehilangan darah pada
pembedahan mayor (frekuensi nadi meningkat, tekanan darah turun,
konfusi, dan gelisah)
e. Observasi tanda infeksi (infeksi luka terjadi 5-9 hari, flebitis
biasanya timbul selama minggu kedua) dan tanda vital
f. Kaji komplikasi tromboembolik: kaji tungkai untuk tandai nyeri
tekan, panas, kemerahan, dan edema pada betis
g. Kaji komplikasi emboli lemak: perubahan pola panas, tingkah laku,
dan tingkat kesadaran
h. Kaji kemungkinan komplikasi paru dan jantung: observasi
perubahan frekuensi frekuensi nadi, pernafasan, warna kulit, suhu
tubuh, riwayat penyakit paru, dan jantung sebelumnya
i. Kaji pernafasan: infeksi, kondisi yang kronis atau batuk dan
merokok.

2. Secara sistemik menurut Padila (2012) antara lain:


a. Sistem integumen
Terdapat eritema, suhu disekitar daerah trauma meningkat,
bengkak, edema, nyeri tekan.
b. Kepala
Tidak ada gangguan yaitu normo cephalik simetris, tidak ada
penonjolan, tidak ada nyeri kepala.
c. Leher
Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada penonjolan, reflek
menelan ada
d. Muka
Wajah terlihat menahan sakit, tidak ada perubahan fungsi maupun
bentuk. Tidak ada lesi, simetris, tak edema
e. Mata
Tidak ada gangguan seperti konjungtiva tidak anemis
f. Telinga
Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal. Tidak ada lesi
atau nyeri tekan.
g. Hidung
Tidak ada deformitas, tak ada pernafasan cuping hidung.
h. Mulut dan faring
Tak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi perdarahan, mukosa
mulut tidak pucat.
i. Thoraks
Tak ada pergerakan otot intercostae, gerakan dada simetris
j. Paru
Inspeksi :Pernafasan meningkat, reguler atau tidaknya tergantung
pada riwayat penyakit klien yang berhubungan dengan paru
Palpasi : Pergerakan sama atau simetris, fermitus raba sama
Perkusi : Suara ketok sonor, tak ada redup atau suara tambahan
lainnya
Auskultasi : Suara nafas normal, tak ada wheezing atau suara
tambahan lainnya seperti stridor dan ronkhi
k. Jantung
Inspeksi : Tidak tampak iktus jantung
Palpasi :Nadi meningkat, iktus tidak teraba
Auskultasi : Suara S1 dan S2 tunggal tak ada mur-mur
l. Abdomen
Inspeksi : Bentuk datar, simetris, tidak ada hernia
Palpasi : Turgor baik, tidak ada defands muskuler hepar tidak teraba
Perkusi : Suara thympani, ada pantulan gelombang cairan
Auskultasi : Kaji bising usus
m. Inguinal-genetalis-anus
Tak ada hernia, tak ada pembesaran lymphe, ada kesulitan buang
air besar.
n. Sistem muskuloskeletal
Tidak dapat digerakkan secara bebas dan terdapat jahitan, darah
merembes atau tidak.

c. Tindakan Kolaborasi Perawat


Penggunaaan antikoagulasi, steroid, dan antibiotik, antihipertensi,
kardiotonik glokosid, antidisritmia, bronchodilator, diuretic, dekongestan,
analgetik, anti inflamasi, anti koagulan.. Penggunaan alkohol (resiko akan
kerusakan ginjal yang mempengaruhi koagulasi dan pilihan anastesia dan
juga potensial penarikan diri post operasi (Doenges dalam Jitowiyono dan
Kristiyanasari, 2010).

d. Pemeriksan Diagnostik menurut Istianah (2017) antara lain:


1. Foto rontgen (X-ray) untuk menentukan lokasi dan luasnya fraktur.
2. Scan tulang, temogram, atau scan CT/MRIB untuk memperlihatkan
fraktur lebih jelas, mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.
3. Anteriogram dilakukan untuk memastikan ada tidaknya kerusakan
vaskuler.
4. Hitung darah lengkap, hemokonsentrasi mungkin meningkat atau
menurun pada perdarahan selain itu peningkatan leukosit mungkin
terjadi sebagai respon terhadap peradangan.

2. Diagnosis Keperawatan menurut Boedihartono dalam Jitowiyono dan


Kristiyanasari (2010) antara lain:
a. Nyeri berhubungan dengan jaringan tulang, gerakan fragmen tulang, edema,
dan cedera jaringan, alat traksi atau imobilisasi, stress, ansietas.
b. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan atau keletihan,
ketidakadekuatan oksigen, ansietas, dan gangguan pola tidur.
c. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan tekanan, perubahan status
metabolik, kerusakan sirkulasi dan penurunan sensasi dibuktikan dengan
terdapat luka atau ulserasi, kelemahan, turgor kulit buruk, terdapat jaringan
nekrosis.
d. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri , ketidaknyamanan,
kerusakan muskuloskeletal , pembatasan aktivitas, dan dan penurunan
kekuatan ketahanan.
e. Resiko infeksi berhubungan statis cairan tubuh, respon inflamasi tertekan,
prosedur invasif dan jalur penusukan, luka atau kerusakan kulit, insisi
pembedahan.
f. Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis, dan kebutuhan pengobatan
berhubungan dengan keterbatasan kognitif, kurang terpajan informasi.

3. Perencanaan menurut Wilkinson dalam Jitowiyono dan Kristiyanasari,


(2010) antara lain
a. Nyeri berhubungan dengan jaringan tulang, gerakan fragmen tulang, edema,
dan cedera jaringan, alat traksi atau imobilisasi, stress, ansietas
Tujuan : nyeri dapat berkurang atau hilang.
Kriteria hasil:
1. Nyeri berkurang atau hilang

2. Klien tampak tenang


Intervensi
a. Lakukan pendekatan pada klien dan keluarga.
Rasional : Hubungan yang baik membuat klien dan keluarga kooperatif.
b. Kaji tingkat intensitas dan frekuaensi nyeri
Rasional : Tingkat intensitas nyeri dan frekuensi menunjukkan skala
nyeri.
c. Jelaskan pada klien penyebab dari nyeri
Rasional : memberikan penjelasan akan menambah pengetahuan klien
tentang nyeri.
d. Observasi tanda-tanda vital
Rasional : tanda-tanda vital untuk mengetahui perkembangan klien.
e. Melakukan kolaborasi dengan tim medis pemberian analgetik
Rasional : Tindakan dependent perawat, analgetik berfungsi untuk
membelok stimulasi nyeri.

b. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan atau keletihan,


ketidakadekuatan oksigen, ansietas, dan gangguan pola tidur
Tujuan : klien mempunyai cukup energi untuk beraktivitas
Kriteria hasil :
1. Perilaku menampakkan kemampuan untuk memenuhi kebutuhan diri.
2. Pasien mengungkapkan mampu untuk melakukan
beberapa aktivitas tanpa dibantu.
3. Koordinasi otot, tulang, dan anggota gerak lainnya.
Intervensi
a. Rencanakan periode istirahat yang cukup
Rasional : Mengurangi aktivitas yang tidak diperlukan, energi terkumpul
dapat digunakan untuk aktivitas seperlunya secara optimal.
b. Berikan latihan aktivitas secara bertahap
Rasional : Tahapan-tahapan yang diberikan membantu proses aktivitas
secara perlahan dengan menghemat tenaga namun tujuan yang tepat,
mobilisasi dini.
c. Bantu pasien dalam memenuhi kebutuhan sesuai kebutuhannya
Rasional : Mengurangi pemakaian energi sampai kekuatan pasien pulih
kembali.
d. Setelah latihan dan aktivitas kaji respon pasien
Rasional : Menjaga kemungkinan adanya respon abnormal dari tubuh
sebagai akibat dari latihan.

c. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan tekanan, perubahan status


metabolik, kerusakan sirkulasi dan penurunan sensasi dibuktikan dengan
terdapat luka atau ulserasi, kelemahan, turgor kulit buruk, terdapat jaringan
nekrosis.
Tujuan : Mencapai penyembuhan luka pada waktu yang sesuai
Kriteria hasil :
1. Tidak ada tanda-tanda infeksi
2. Luka bersih tidak lembab dan tidak kotor
3. Tanda-tanda vital dalam batas normal
Intervensi :
a. Kaji kulit dan identifikasi pada tahap perkembangan luka
Rasional : Mengetahui sejauh mana perkembangan luka mempermudah
dalam melakukan tindakan yang tepat.
b. Kaji lokasi, ukuran, warna, bau, serta jumlah dan tipe cairan yang luka
Rasional : Mengidentifikasi tingkat keparahan luka sehingga
mempermudah intervensi.
c. Pantau peningkatan suhu tubuh
Rasional : Suhu tubuh yang meningkat dapat diidentifikasikan sebagai
adanya proses peradangan.
d. Berikan perawatan luka dengan teknik aseptik. Balut luka dengan kasa
kering dan steril.
Rasional : Teknik aseptik membantu mempercepat penyembuhan luka
dan mencegah terjadinya infeksi.

e. Jika pemulihan tidak terjadi kolaborasi tindakan lanjutan, misalnya


debridement.
Rasional : Agar benda asing atau jaringan yang terinfeksi tidak menyebar
luas pada area kulit normal lainnya.
f. Setelah debridement, ganti balutan sesuai kebutuhan
Rasional : Balutan dapat diganti satu atau dua kali sehari tergantung
kondisi parah atau tidaknya luka, agar tidak terjadi infeksi.
g. Kolaborasikan pemberian antibiotik sesuai indikasi
Rasional : Antibiotik berguna untuk mematikan mikroorganisme patogen
pada daerah yang beresiko terjadi infeksi

d. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri , ketidaknyamanan,


kerusakan muskuloskeletal , pembatasan aktivitas, dan dan penurunan
kekuatan ketahanan.
Tujuan : Pasien akan menunjukkan tingkat mobilitas yang optimal
Kriteria hasil :
1. Penampilan yang seimbang
2. Melakukan pergerakan dan perpindahan
3. Klien meningkat dalam aktivitas
4. Mengerti tujuan dari peningkatan mobilitas
5. Memperagakan penggunaan alat bantu untuk mobilisasi
6. Mempertahankan mobilitas optimal dengan karakteristik:
0 = mandiri penuh
1 = memerlukan alat bantu
2 = memerlukan bantuan dari orang lain untuk bantuan, pengawasan,
pengajaran
3 = membutuhkan bantuan dari orang lain dan alat bantu
4 = ketergantunagn tidak berpartisipasi dalam aktivitas
Intervensi
a. Kaji kebutuhan akan pelayanan kesehatan dan kebutuhan akan
peralatan
Rasional : Mengidentifikasi masalah, memudahkan intervensi.
b. Tentukan tingkat motivasi pasien dalam melakukan aktivitas
Rasional : Mempengaruhi penilaian terhadap kemampuan aktivitas
aspakan ketidakmampuan ataukah ketidakmauan.
c. Ajarkan atau pantau dalam hal penggunaan alat bantu
Rasional : Menilai batasan kemampuan aktivitas optimal.
d. Ajarkan dan dukung pasien dalam latihan ROM aktif dan pasif, juga
mobilisasi dini
Rasional : memepertahankan dan meningkatkan kekuatan dan
ketahanan otot.
e. Kolaborasi dengan ahli terapi fisik atau okupasi
Rasional : Mengembangkan perencanaan dan mempertahankan
mobilitas pasien.

e. Resiko infeksi berhubungan statis cairan tubuh, respon inflamasi tertekan,


prosedur invasif dan jalur penusukan, luka atau kerusakan kulit, insisi
pembedahan
Tujuan : Infeksi tidak terjadi atau terkontrol
Kriteria hasil :
1. Tidak ada tanda-tanda infeksi seperti pus
2. Luka bersih, tidak lembab, dan tidak kotor
3. Tanda-tanda vital dalam batas normal
Intervensi :
a. Pantau tanda-tanda vital
Rasional :mengidentifikasi tanda-tanda peradangan terutama bila suhu
tubuh meningkat.
b. Lakukan perawatan luka dengan teknik aseptik
Rasional : Mengendalikan penyebaran mikroorganisme patogen.
c. Lakukan perawatan terhadap prosedur invasif seperti infus, kateter,
drainase luka
Rasional : Mengurangi resiko infeksi nosokomial.
d. Jika ditemukan tanda infeksi kolaborasi untuk pemeriksaan darah, seperti
hemoglobin dan leukosit
Rasional : penurunan hemoglobin dan peningkatan jumlah leukosit dari
normal bisa terjadi akibat proses infeksi.
e. Kolaborasi untuk pemberian antibiotik
Rasional : Antibiotik mencegah perkembangan mikroorganisme patogen.

f. Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosisi, dan kebutuhan pengobatan


berhubungan dengan keterbatasan kognitif, kurang terpajan informasi
Tujuan : Pasien mengatakan pemahaman pemahaman tentang kondisi, efek
prosedur, dan efek pengobatan
Kriteria hasil :
1. Melakukan prosedur yang diperlukan dan menjelaskan alasan dari suatu
tindakan
2. Memulai perubaghan gaya hidup yang diperluakan dan ikut serta dalam
regimen perawatan
Intervensi :
a. Kaji tingkat pengetahuan
Rasional :Mengetahui seberapa jauh pengalaman dan
pengetahuan klien dan keluarga tentang penyakitnya.
b. Berikan penjelasan pada klien tentang tentang penyakitnay dan
kondisinya sekarang
Rasional :Mengetahui penyakit dan konsinya sekarang, klein dan
keluarganya akan merasa tenang dan mengurangi rasa cemas.
c. Anjurkan klien dan keluarga untuk memperhatikan diet
makanannya
Rasional :Diet dan pola makan yang teapat membantu proses
penyembuhan.
d. Minta klien dan keluarga mengulangi kembali tentang materi yang telah
diberikan
Rasional : Mengetahui seberapa jauh pemahaman klien dan keluarga serta
menilai keberhasilan dari tindakan yang dilakukan.

4. Implementasi
Implementasi merupakan tahap keempat dari proses keperawatan yang
dimulai setelah perawat menyusun rencana keperawatan. Rencana keperawatan
yang dibuat berdasarkan diagnosis yang tepat , diharapkan dapat mencapai tujuan
dan hasil yang diinginkan untuk mendukung dan meningkatkan status kesehatan
klien (Potter dan Perry, 2010).

5. Evaluasi
Evaluasi merupakan suatu proses kontinyu yang terjadi saat melakukan
kontak dengan klien. Setelah melaksanakan intervensi, kumpulkan data subyektif
dan obyektif dari klien, keluarga dan anggota tim kesehatan lain. Selain itu,
evaluasi juga dapat meninjau ulang pengetahuan tentang status terbaru dari
kondisi, terapi, sumber daya pemulihan, dan hasil yang diharapkan. (Potter dan
Perry, 2010).
Menurut Wilkinson dalam Jitowiyono dan Kristiyanasari, (2010) evaluasi dari
tindakan mobilisasi dini baik ROM aktif maupun ROM pasif antara lain
meningkatnya mobilitas klien sehingga klien mampu melakukan pergerakan dan
perpindahan , klien mampu memenuhi kebutuhan aktivitas secara mandiri,
mengerti tujuan dari peningkatan mobilitas, dapat memperagakan pengguanaan
alat bantu untuk mobilisasi, dan mempertahankan mobilitas secara optimal
DAFTAR PUSTAKA

Alomedia. 2019. “Etiologi Fraktur Dan Dislokasi Tulang Belakang”.


https://www.alomedika.com/penyakit/ortopedi/fraktur-dan-dislokasi-tulang-
belakang/etiologi. Diakses pada tanggal 28 Februari 2021 Pukul 13.00

Ferisca, Chynthia. “LP Fraktur.


https://www.academia.edu/35911460/LP_FRAKTUR_docx Diakses pada
tanggal 28 Februari 2021 Pukul 13.00

https://images.app.goo.gl/U9MLWrQtzfX1dcYL9 Diakses pada tanggal 28


Februari 2021 Pukul 13.00

http://digilib.unimus.ac.id/files//disk1/135/jtptunimus-gdl-nurhidayah-6731-2-
babii.pdf Diakses pada tanggal 28 Februari 2021 Pukul 13.00

Lukman, N & Ningsih, N. 2009. Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan


Gangguan Sistem Muskuloskeletal. Jakarta: Penerbit Salemba Medika.
Diakses pada tanggal 28 Februari 2021 Pukul 13.00

Mahadhini, Thasya. “Patofisiologi Fraktur Tulang”


https://id.scribd.com/doc/86282846/PATOFISIOLOGI-fraktur-tulang Diakses
pada tanggal 28 Februari 2021 Pukul 13.00

Widiyawati, A. 2018. “Bab II Tinjauan Pustaka”.


http://eprints.poltekkesjogja.ac.id/1360/4/4%20CHAPTER%202.pdf Diakses
pada tanggal 28 Februari 2021 Pukul 13.00

Anda mungkin juga menyukai