Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH KOMUNIKASI TERAPEUTIK

PADA PASIEN TUNA NETRA

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Komunikasi Keperawatan

Dosen Pembimbing :

Ibu Nawati, APPd, M Kes

Disusun Oleh :

Hestiana Putri         (P17320320015) Salsa Destiyanti Komala (P17320320033)

Ineu Rifiani         (P17320320017) Siti Nur Fatimatul’ima (P17320320038)

Nurul Syifa Mustika  (P17320320026) Sultan Khadavi Arbah (P17320320039)

Putri Andayani         (P17320320028) Zahirah Rahmadian Budiman (P17320320045)

POLITEKNIK KESEHATAN BANDUNG

PRODI KEPERAWATAN BOGOR

2021
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan sehingga kami
dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya tentunya kami
tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga
terlimpah curahkan kepada baginda tercinta kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang kita nantikan
syafa’atnya di akhirat.

Tidak lupa, Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-
Nya, baik itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis mampu untuk
menyelesaikan pembuatan makalah sebagai tugas dari mata kuliah Komunikasi Keperawatan
dengan judul “ Makalah Komunikasi terapeutik ”.

Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih
banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, penulis mengharapkan
kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, agar makalah ini nantinya dapat menjadi
makalah yang lebih baik lagi. 

Bogor, 06 Maret 2021


DAFTAR ISI
Kata Pengantar

Daftar Isi

BAB I PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
2. Rumusan Masalah
3. Tujuan penulisan

BAB II PEMBAHASAN

1. Pengertian Tuna Netra


2. Karakteristik Umum Tuna Netra
3. Faktor terjadinya Tuna Netra
4. Klasifikasi Tuna Netra
5. Kondisi Kecerdasan Penyandang Tuna Netra
6. Layanan Pendidikan Bagi Anak Tuna Netra
7. Pengertian Komunikasi Terapeutik
8. Teknik Komunikasi Terapeutik Deangan Pasien Tuna Netra

BAB III PENUTUP

1. Kesimpulan
2. Saran

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Komunikasi adalah suatu interaksi antara perawat dan pasien, perawat dan
profesional kesehatan lain, serta perawat dan komunitas. Proses interaksi manusia terjadi
melalui komunikasi verbal dan non verbal, tertulis dan tidak tertulis, terencana dan tidak
terencana. Agar perawat efektif dalam berinteraksi, mereka harus memiliki ketrampilan
komunikasi yang baik. Mereka harus menyadari kata-kata dan bahasa tubuh yang mereka
sampaikan pada orang lain. Ketika perawat mengemban peran kepemimpinan, mereka
harus menjadi efektif, baik dalam ketrampilan komunikasi verbal maupun komunikasi
tertulis (Kathleen, 2007). 

Tunanetra adalah orang yang tidak memiliki penglihatan sama sekali (buta total)
hingga mereka yang masih memiliki sisa penglihatan tetapi tidak mampu menggunakan
penglihatannya untuk membaca tulisan biasa berukuran 12 point dalam keadaan cahaya
normal meskipun dibantu dengan kaca mata yang disebut low vision (Persatuan
Tunanetra Indonesia, 2012). WHO dalam Bansal (2014) mendefinisikan tunanetra adalah
orang yang memiliki ketajaman visual kurang dari 3/60 m atau hilangnya pandangan
terhadap bidang visual dengan menggunakan mata yang baik untuk melihat.

Jumlah penyandang tunanetra di dunia pada tahun 2010 mencapai 285 juta. Tiga
puluh sembilan juta mengalami buta total dan 246 juta mengalami penglihatan yang
kurang (low vision). Sebanyak 65% dari orang yang mengalami buta total dan 82% dari
orang yang mengalami low vision berusia lebih dari 50 tahun (Bansal, 2010).
Berdasarkan data Kementrian Kesehatan RI tahun 2012, di Indonesia tercatat sebanyak
1,5% dari penduduk Indonesia adalah penyandang tunanetra. Indonesia juga menempati
posisi kedua dengan jumlah kebutaan terbanyak di dunia setelah Ethiopia. Penyebab
utama kebutaan di Indonesia disebabkan oleh Katarak (0,78%), Glaukoma (0,12%),
Kelainan Refraksi (0,14%), penyakit lain terkait usia lanjut (0,38%).
Penyandang tunanetra sering memiliki status kebersihan mulut yang lebih buruk
daripada masyarakat umum. Mereka cenderung memiliki prevalensi karies yang lebih
tinggi (Sami, dkk, 2009). Salah satu indeks yang digunakan untuk merepresentasikan
kebersihan mulut dengan pemeriksaan plak adalah PHP-M (Personal Hygiene
Performance-Modified). Terdapat enam gigi index yang dipilih dari rahang atas dan
bawah untuk pemeriksaan plak. Apabila terdapat plak maka diberi skor 1 dan tidak ada
plak diberi skor 0. Kisaran skor adalah dimulai dari 0 berarti paling baik sampai 60
berarti yang paling buruk. Indeks PHP- M ini lebih teliti dibandingkan OHI-S karena
setiap permukaan gigi yang diperiksa dibagi menjadi lima bagian (Candra, 2000).

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Tuna Netra
2. Apa saja karakteristik umum Tuna Netra
3. Bagaimana faktor terjadinya Tuna Netra
4. Bagaimana klasifikasi Tuna Netra
5. Bagaimana Kondisi Kecerdasan Penyandang Tuna Netra 
6. Apa saja Layanan pendidikan bagi anak Tunanetra
7. Apa yang dimaksud dengan Komunikasi Terapeutik
8. Mengetahui Teknik komunikasi terapeutik dengan pasien Tuna Netra

C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui apa yang dimaksud dengan Tuna Netra
2. Mengetahui apa saja karekteristik umum Tuna Netra
3. Mengetahui bagaimana faktor terjadinya Tuna Netra
4. Mengetahui apa saja klasifikasi Tuna Netra
5. Mengetahui kondisi kecerdasan penyandang Tuna Netra
6. Mengetahui apa saja layanan pendidikan bagi anak Tuna Netra
7. Mengetahui apa yang dimaksud dengan Komunikasi Terapeutik
8. Mengetahui bagaimana teknik komunikasi terapeutik dengan pasien Tuna Netra
BAB II
PEMBAHASAN

1. Pengertian Tuna Netra 

Indera penglihatan merupakan salah satu indera penting dalam menerima informasi yang
datang dari luar dirinya. Sekalipun cara kerjanya dibatasi oleh ruang, indera ini mampu
melakukan pengamatan terhadap dunia sekitar, tidak saja pada bentuknya (pada objek
berdimensi dua) tetapi juga pengamatan dalam (pada objek berdimensi tiga), warna dan
dinamikanya. Melalui indera pula sebagian besar rangsang atau informasi akan diterima
untuk selanjutnya diteruskan ke otak, sehingga timbul kesan atau persepsi dan pengertian
tertentu terhadap rangsang tersebut. Melalui kegiatan-kegiatan yang bertahap dan terus
menerus seperti inilah yang pada akhirnya mampu merangsang pertumbuhan dan
perkembangan kognitif seseorang sehingga mampu berkembang secara optimal. Dalam
bidang pendidikan luar biasa, individu dengan gangguan penglihatan lebih akrab disebut
dengan penyandang tuna netra. Pengertian tuna netra tidak saja mengarah pada mereka yang
buta, tetapi mencakup juga mereka yang mampu melihat tetapi sangat terbatas dan kurang
dapat dimanfaatkan untuk kepentingan hidup sehari-hari terutama dalam belajar. Jadi,
individu dengan kondisi penglihatan yang termasuk “setengah melihat”, “low vision”, atau
rabun adalah bagian dari kelompok anak tunanetra.

Dari uraian di atas, pengertian anak tuna netra adalah individu yang indera
penglihatannya (keduaduanya) tidak berfungsi sebagai saluran penerima informasi dalam
kegiatan sehari-hari seperti halnya orang awas. Dengan kata lain, tunanetra merupakan
sebutan untuk individu yang memiliki hambatan dalam penglihatan atau tidak berfungsinya
indera penglihatan.

Menurut kamus besar bahasa Indonesia (dalam buku Ardhi, 2012) pengertian tuna netra
ialah  orang yang tidak dapat melihat. Orang tuna netra adalah mereka yang tidak memiliki
penglihatan sama sekali (buta total) hingga mereka yang masih memiliki sisa penglihatan
tetapi tidak mampu menggunakan penglihatnnya untuk membaca tulisan biasa berukuran 12
point pada keadaan cahaya normal meskipun dibantu dengan kacamata (kurang awas).
Pertuni 2004 (dalam buku Ardhi, 2012). 

2. Karakteristik Umum Tunanetra 


Dalam buku Psikologi Pendidikan, karya Jeanne Ellis Ormrod, disebutkan bahwa siswa
yang mengalami gangguan visual biasanya memiliki beberapa atau semua dari karakteristik-
karakteristik berikut ini:
1) 1). Indera lainnnya berfungsi normal (pendengaran, sentuhan, dan sebagainya). 
2) Secara umum memiliki kemampuan belajar yang sama dengan siswa
normal. Perbendaharaan kata dan pengetahuan umum yang lebih terbatas, sebagian  
disebabkan oleh terbatasnya kesepatan untuk mengalami dunia luar melalui fasilitas
pendidikan (misalnya: kurang mampu melihat peta, film, dan materimateri visual
lainnya). 
3) Menurunnya kapasitas untuk meniru perilaku orang lain. 
4) Tidak mampu mengamati bahasa tubuh orang lain dan tanda-tanda nonverbal yang
membuat mereka terkadang keliru memahami pesan-pesan orang lain. 
5) Merasa bingung dan cemas (khususnya di tempat orang lalu lalang seperti di ruang
makan atau taman bermain) karena memiliki pengetahuan 15 yang terbatas mengenai
peristiwa-peristiwa yang sedang berlangsung).
3. Faktor Terjadinya Tunanetra
Menurut (Ardhi, 2012) terdapat beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya tuna netra,
antara lain:
1) Faktor Pre-natal 
Pada faktor ini sangat erat hubungannya dengan masalah keturunan dan pertumbuhan
seorang anak dalam kandungan. Faktor keturunan terjadi dari hasil perkawinan bersaudara,
sesama tuna netra atau memiliki orang tua yang tuna netra. Ketunanetraan akibat faktor
keturunan antara lain Retinitis Pigmentosa, penyakit pada retina yang umumnya adalah
keturunan. Penyakit seperti ini sedikit demi sedikit menyebabkan mundur atau
memburuknya retina. Ketunanetraan pada waktu pre-natal juga dapat disebabkan oleh:
Gangguan waktu hamil, penyakit menahun seperti TBC, yang dapat merusak sel-sel darah
tertentu selama pertumbuhan janin dalam kandungan. Infeksi karena terkena rubella atau
cacar air, juga dapat menyebabkan kerusakan pada mata janin. 
2) Faktor Post-natal 
Kerusakan yang terjadi pada mata atau saraf mata pada waktu persalinan, akibat benturan
alat-alat atau benda keras. Namun hal ini juga dapat terjadi apabila ibu memiliki penyakit
gonorrhoe, sehingga baksil gonorrhoe dapat menular pada bayi, yang pada akhirnya setelah
bayi lahir mengalami sakit dan berakibat hilangnya daya lihat. Ketunanetraan pada saat
post-natal juga dapat disebabkan antara lain: 
a) Xeropthalmia: yaitu penyakit mata yang disebabkan oleh kekurangan vitamin A. 
b) Trachoma: yaitu penyakit mata karena virus chilimidezoon trachomanis. 
c) Catarac: penyakit mata yang menyerang bola mata sehingga mengakibatkan lensa
menjadi keruh. 
d) Glaucoma: bertambahnya cairan dalam bola mata. 
e) Diabetik retinopathy: gangguan yang terjadi pada retina karena diabetis. 
f) Macular degeneration: keadaan dimana retina yang baik semakin memburuk.
g) Kecelakaan: masuknya benda tajam atau bahan kimia kedalam mata. 

Sedangkan menurut Astatik, dkk. 2007 faktor yang menyebabkan terjadinya


ketunanetraan (bawaan) antara lain, yakni: 
1) Pre-natal, yang sangat erat hubungannya dengan masalah keturunan dan pertumbuhan
seorang anak dalam kandungan. Seperti keturunan (hasil perkawinan bersaudara,
sesama tunanetra, atau mempunyai orang tua yang tunanetra), pertumbuhan seorang
anak dalam kandungan (terdapat gangguan waktu dalam kandungan, terserang penyakit
menahun, terkena infeksi atau luka, dan kurangnya vitamin tertentu). 

2) Post-natal, dapat terjadi sejak atau setelah bayi lahir antara lain: kerusakan pada mata
atau saraf mata pada waktu persalinan akibat benturan alat-alat atau benda keras, pada
waktu persalinan ibu mengalami penyakit gonorrhoe sehingga baksil gonorrhoe
menular pada bayi yang pada akhinya setelah bayi lahir mengalami sakit dan berakibat
hilangnya daya penglihatan. 
3) Mengalami penyakit mata yang menyebabkan ketunanetraan, misal: xeropthalmia,
trachoma, catarac, glaucoma, dan lain-lain.

4. Klasifikasi Tunanetra
Ada beragam klasifikasi pada tuna netra, namun pada dasarnya tuna netra dibagi menjadi
dua kelompok, yaitu kurang penglihatan (low vision) dan buta total (totally blind). Kurang
penglihatan (low vision), yakni mereka yang memiliki pandangan yang kabur ketika melihat
suatu objek, sehingga untuk mengatasi permasalahan penglihatannya, penderita tunanetra
jenis low vision perlu menggunakan kacamata atau kotak lensa. Sedangkan, yang dimaksud
buta total (totally blind), yakni mereka yang sama sekali tidak mampu melihat rangsangan
cahaya dari luar. Menurut Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa, tuna netra secara garis
besar dapat dikelompokkan berdasarkan empat kategori, yaitu :
1) Berdasarkan waktu terjadinya ketunanetraan, ada lima kategori tuna netra, yaitu
sebagai berikut: 
a) Tuna netra sebelum dan sejak lahir, yakni mereka yang sama sekali tidak memiliki
pengalaman penglihatan. 
b) Tuna netra setelah lahir atau pada usia kecil, yaitu mereka yang telah memiliki
kesan-kesan serta pengalaman visual, tetapi belum kuat dan mudah terlupakan. 
c) Tuna netra pada usia sekolah atau pada masa remaja, yaitu mereka yang yang telah
memiliki kesan-kesan visual dan meninggalkan pengaruh yang mendalam terhadap
proses perkembangan pribadi.
d) Tuna netra pada usia dewasa, yaitu pada umumnya mereka yang dengan segala
kesadaran mampu melakukan latihan-latihan penyesuaian diri.
e) Tuna netra dalam usia lanjut, yaitu sebagian besar sudah sulit mengikuti latihan-
latihan penyesuaian diri.
2) Berdasarkan kemampuan daya penglihatan, tuna netra ddibagi menjadi 3 kategori
sebagai berikut: 
a) Tuna netra ringan (defective vision/low vision), yakni mereka yang memiliki
hambatan dalam penglihatan, tetapi mereka yang mengikuti program-program
pendidikan dan mampu melakukan pekerjaan/kegiatan yang menggunakan fungsi
penglihatan.
b) Tuna netra setengah berat (partially sighted), yakni mereka yang kehilangan
sebagian daya penglihatan, hanya dengan menggunakan kaca pembesar mampu
mengikuti pendidikan biasa atau mampu membaca tulisan yang bercetak tebal. 
c) Tuna netra berat (totally blind), yakni mereka yang sama sekali tidak bisa melihat.
3) Berdasarkan pemeriksaan klinis, tuna netra dibagi menjadi 2 kategori sebagai berikut:
a) Tuna netra yang memiliki ketajaman penglihatan kurang dari 20/200 dan atau
memiliki bidang penglihatan kurang dari 20 derajat. 
b) Tuna netra yang masih memiliki ketajaman penglihatan antara20/70 sampai
dengan 20/200 yang dapat lebih baik melalui perbaikan.
4) Berdasarkan kelainan pada mata, tuna netra dibagi menjadi 3 kategori sebagai berikut:
a) Myopia, yaitu penglihatan jarak dekat, bayangan tidak terfokus dan jatuh di
belakang retina. Penglihatan akan menjadi jelas kalau objek didekatkan. Untuk
membantu proses penglihatan pada penderita myopia digunakan kacamata
proyeksi dengan lensa negative.
b) Hyperopia, yaitu penglihatan jarak jauh, bayangan tidak terfokus, dan jatuh tepat
di retina. Penglihatan akan menjadi jelas jika objek dijauhkan. Untuk membantu
proses penglihatan pada penderita hyperopia digunakan kacamata koreksi dengan
lensa positif.
c) Astigmatisme, yaitu penyimpangan atau penglihatan kabur yang disebabkan
karena ketidakberesan pada kornea mata atau pada permukaan lain pada bola mata
sehingga bayangan benda baik pada jarak dekat maupun jauh tidak terfokus jatuh
pada retina. Untuk membantu proses penglihatan pada penderita astigmatisme
digunakan kacamata koreksi dengan lensa silindris.

5. Kondisi Kecerdasan Penyandang Tuna Netra 


Berdasarkan kesimpulan hasil penelitian Heyes (seorang ahli pendidikan tunanetra)
terhadap kondisi kecerdasan anak tuna netra, yang dikutip oleh Mohammad Efendi,
menyimpulkan bahwa: 
1) Ketunanetraan tidak secara otomatis mengakibatkan kecerdasan rendah. 
2) Mulainya ketunanetraan tidak mempengaruhi tingkat kecerdasan. 
3) Anak tuna netra ternyata banyak yang berhasil mencapai prestasi intelektual yang baik,
apabila lingkungan memberikan kesempatan dan motivasi kepada anak tuna netra
untuk berkembang. 
4) Penyandang ketunanetraan tidak menunjukkan kelemahan dalam intelegensi verbal. 

Cruickshank, sebagaimana dikutip oleh Mohammad Efendi, menjelaskan bahwa aplikasi


terhadap struktur kecakapan anak tuna netra yang dapat digunakan sebagai dasar untuk
mengkomparasikan dengan anak normal, antara lain sebagai berikut: 
1) Anak tuna netra menerima pengalaman nyata yang sama dengan anak normal, dari
pengamatan tersebut kemudian diintegrasikan ke dalam pengertiannnya sendiri. 
2) Anak tuna netra cenderung menggunakan pendekatan konseptual yang abstrak menuju
ke konkret, kemudian menuju fungsional serta terhadap konsekuensinya, sedangkan
pada anak normal yang terjadi sebaliknya. 
3) Anak tuna netra perbendaharaan kata-katanya terbatas pada definisi kata. 
4) Anak tuna netra tidak dapat membandingkan, terutama dalam hal kecakapan numerik.

6. Layanan pendidikan bagi anak Tunanetra

Layanan pendidikan bagi anak Tunanetra pada dasarnya sama dengan layanan pendidikan
bagi anak awas hanya dalam teknik penyampainnya disesuaikan dengan kemampuan dan
ketidak mampuan atau karakteristik anak Tunanetra.

1) Jenis Layanan
Ditinjau dari segi jenisnya, layanan pendidikan bagi anak Tunanetra meliputi layanan
umum dan layanan khusus.
a) Layanan Umum
Latihan yang diberikan terhadap anak Tunanetra , umumnya meliputi hal-hal
berikut:
 Keterampilan
 Kesenian
 Olahrga
b) Layanan khusus /layanan rehabilitasi
Layanan khusus/rehabilitasi yang diberikan terhadap anak Tunanetra, antara lain
sebagai berikut :
 Latihan membaca dan menulis menggunakan huruf braille.
 Latihan penggunaan tongkat.
 Latihan orientasi dan mobilitasi/bina diri
 Latihan visual/fungsional penglihatan.

2) Tempat/Sistem Layanan
a) empat khusus/sistem segregasi

Tempat pendidikan melalui sistem Segregasi bagi anak Tunanetra adalah        


sebagai berikut:

 Sekolah Khusus

Sekolah khusus yang konvensional adalah Sekolah Luar Biasa untuk anak
Tunanetra(SLB A). Sekolah ini memiliki kurikulum tersendiri yang dikhususkan
bagi anak tuna netra.

 SDLB

Sekolah Dasar Luar Biasa yang dimaksudkan di sini berbeda dengan SDLB yang
ada dalam kurikulum 1994. SDLB yang dimaksud dalam kurikulum 1994 adalah
SDLB yang diperuntukan bagi satu jenis kelainan, yaitu anak Tunanetra saja ,
sedangkan dalam konsep ini merupakan suatu sekolah pada tingkat dasar yang
menampung berbagai jenis kelainan, seperti Tunanetra, Tunagrahita, Tunarungu,
Tunadaksa.

 Kelas Jauh/Kelas Kunjung


Merupakan kelas yang dibentuk utnuk memberikan layanan pendidikan bagi anak
luar biasa termasuk anak tunanetra yang bertempat tinggal jauh dari SLB/SDLB.
b) Sekolah Biasa/Sistem Integrasi
Penyelenggaraan sistem pendidikan terpadu memerlukan seorang ahli ke-PLB-an
yang disebut sebgai GPK(Guru Pembimbing Khusus), dan ruang bimbingan khusus
untuk memberikan layanan khusus bagi anak tunanetra.

Melalui sistem integrasi/terpadu, anak tunanetra belajar bersama-sama dengan


anak normal(awas) dengan memperoleh hak dan kewajiban yang sederajat. Sekolah
dasar atau sekolah biasa lainnya yang menerima anak tuna netra(anak luar biasa pada
umumnya) sebagai siswanya, disebut sekolah terpadu. Aapabila di sekolah tersebut
tidak terdapat anak luar biasa maka secara otomatis sebutan sekolah terpadu tidak
berlaku lagi. Melalui sistem pendidikan terpadu, anak tunanetra akan memperoleh
keuntungan berikut.

 memperoleh kesempatan yang seluas-luasnya untuk mengenyam pendidikan


bersama-sama dengan anak awas lainnya
 Kesempatan yang seluas-luasnya untuk mempersiapkan diri dalam menghadapi
lingkungan dengan membiasakan diri berinteraksi dengan teman-temannya yang
awas.

Bentuk keterpaduan dalam didtem pendidikan integrasi sangat bervariasi. Kirk


Gallagher(1989: 61-62) mengemukakan bentuk-bentuk keterpaduan/integrasi yang
meliputi:

3) Bentuk kelas biasa dengan guru konsultasi(regular classrom with consultant teacher
a) Kelas biasa dengan guru kunjungan (itinerant teacher)
b) Kelas biasa dengan ruang sumber (resource room) atau ruang bimbingan khusus
c) Kelas khusus (special class)

7. Pengertian Komunikasi Terapeutik


Komunikasi terapeutik adalah komunikasi yang mendorong proses penyembuhan
klien (Depkes RI, 1997). Dalam pengertian lain mengatakan bahwa komunikasi
terapeutik adalah proses yang digunakan oleh perawat memakai pendekatan yang
direncanakan secara sadar, bertujuan dan kegiatannya dipusatkan pada klien.
Komunikasi terapeutik termasuk komunikasi interpersonal dengan titik tolak saling
memberikan pengertian antara perawat dengan klien. Persoalan yang mendasar dari
komunikasi ini adalah adanya saling membutuhkan antara perawat dan klien, sehingga
dapat dikategorikan ke dalam komunikasi pribadi di antara perawat dan klien, perawat
membantu dan klien menerima bantuan.

Menurut Stuart dan Sundeen (dalam Hamid, 1996), tujuan hubungan terapeutik
diarahkan pada pertumbuhan klien meliputi :
a. Realisasi diri, penerimaan diri dan peningkatan penghormatan terhadap diri.
b. Rasa identitas personal yang jelas dan peningkatan integritas diri.
c. Kemampuan untuk membina hubungan interpersonal yang intim dan saling tergantung
dengan kapasitas untuk mencintai dan dicintai.
d. Peningkatan fungsi dan kemampuan untuk memuaskan kebutuhan serta mencapai
tujuan personal yang realistik.
Tujuan komunikasi terapeutik adalah :
1. Membantu klien untuk memperjelas dan mengurangi beban perasaan dan pikiran serta
dapat mengambil tindakan untuk mengubah situasi yang ada bila klien pecaya pada hal
yang diperlukan.
2. Mengurangi keraguan, membantu dalam hal mengambil tindakan yang efektif dan
mempertahankan kekuatan egonya.
3. Mempengaruhi orang lain, lingkungan fisik dan dirinya

8. Teknik komunikasi terapeutik dengan pasien tunanetra

Tiap klien tidak sama oleh karena itu diperlukan penerapan tehnik berkomunikasi yang
berbeda pula, diantaranya adalah :

1. Mendengarkan dengan penuh perhatian


Berusaha mendengarkan klien menyampaikan pesan non-verbal bahwa perawat perhatian
terhadap kebutuhan dan masalah klien. Mendengarkan dengan penuh perhatian
merupakan upaya untuk mengerti seluruh pesan verbal dan non-verbal yang sedang
dikomunikasikan. Ketrampilan mendengarkan sepenuh perhatian adalah dengan:

 Pandang klien ketika sedang bicara


 Pertahankan kontak mata yang memancarkan keinginan untuk mendengarkan
 tubuh yang menunjukkan perhatian dengan tidak menyilangkan kaki atau
tangan
 Hindarkan gerakan yang tidak perlu
 Anggukan kepala jika klien membicarakan hal penting atau memerlukan umpan
balik
 Condongkan tubuh ke arah lawan bicara.

2. Menunjukkan penerimaan
Menerima tidak berarti menyetujui. Menerima berarti bersedia untuk mendengarkan
orang lain tanpa menunjukkan keraguan atau tidak setuju. Berikut ini menunjukkan sikap
perawat yang menerima :
 Mendengarkan tanpa memutuskan pembicaraan
 Memberikan umpan balik verbal yang menapakkan pengertian
 Memastikan bahwa isyarat non-verbal cocok dengan komunikasi verbal
 Menghindarkan untuk berdebat, mengekspresikan keraguan, atau mencoba untuk
mengubah pikiran klien.
3. Menanyakan pertanyaan yang berkaitan
Tujuan perawat bertanya adalah untuk mendapatkan informasi yang spesifik mengenai
klien. Paling baik jika pertanyaan dikaitkan dengan topik yang dibicarakan dan gunakan
kata-kata dalam konteks sosial budaya klien. Selama pengkajian ajukan pertanyaan
secara berurutan.
4. Mengulang ucapan klien dengan menggunakan kata-kata sendiri
Dengan mengulang kembali ucapan klien, perawat memberikan umpan balik sehingga
klien mengetahui bahwa pesannya dimengerti dan mengharapkan komunikasi berlanjut.
5. Klarifikasi
Apabila terjadi kesalah pahaman, perawat perlu menghentikan pembicaraan untuk
mengklarifikasi dengan menyamakan pengertian, karena informasi sangat penting dalam
memberikan pelayanan keperawatan. Agar pesan dapat sampai dengan benar, perawat
perlu memberikan contoh yang konkrit dan mudah dimengerti klien.
6. Memfokuskan
Metode ini dilakukan dengan tujuan membatasi bahan pembicaraan sehingga lebih
spesifik dan dimengerti. Perawat tidak seharusnya memutus pembicaraan klien ketika
menyampaikan masalah yang penting, kecuali jika pembicaraan berlanjut tanpa informasi
yang baru.
7. Menawarkan informasi
Tambahan informasi ini memungkinkan penghayatan yang lebih baik bagi klien terhadap
keadaanya. Memberikan tambahan informasi merupakan pendidikan kesehatan bagi
klien. Selain ini akan menambah rasa percaya klien terhadap perawat. Apabila ada
informasi yang ditutupi oleh dokter, perawat perlu mengklarifikasi alasannya. Perawat
tidak boleh memberikan nasehat kepada klien ketika memberikan informasi, tetapi
memfasilitasi klien untuk membuat keputusan.
8. Diam
Diam memberikan kesempatan kepada perawat dan klien untuk mengorganisir
pikirannya. Penggunaan metode diam memrlukan ketrampilan dan ketetapan waktu, jika
tidak maka akan menimbulkan perasaan tidak enak. Diam memungkinkan klien untuk
berkomunikasi terhadap dirinya sendiri, mengorganisir pikirannya, dan memproses
informasi. Diam terutama berguna pada saat klien harus mengambil keputusan .
9. Meringkas
Meringkas adalah pengulangan ide utama yang telah dikomunikasikan secara singkat.
Metode ini bermanfaat untuk membantu topik yang telah dibahas sebelum meneruskan
pada pembicaraan berikutnya. Meringkas pembicaraan membantu perawat mengulang
aspek penting dalam interaksinya, sehingga dapat melanjutkan pembicaraan dengan topik
yang berkaitan.
10. Memberikan penghargaan
Memberi salam pada klien dengan menyebut namanya, menunjukkan kesadaran tentang
perubahan yang terjadi menghargai klien sebagai manusia seutuhnya yang mempunyai
hak dan tanggung jawab atas dirinya sendiri sebagai individu.
11. Menawarkan diri
Klien mungkin belum siap untuk berkomunikasi secara verbal dengan orang lain atau
klien tidak mampu untuk membuat dirinya dimengerti. Seringkali perawat hanya
menawarkan kehadirannya, rasa tertarik, tehnik komunikasi ini harus dilakukan tanpa
pamrih.
12. Menganjurkan klien untuk menguraikan persepsinya

Apabila perawat ingin mengerti klien, maka ia harus melihat segala sesungguhnya dari
perspektif klien. Klien harus merasa bebas untuk menguraikan persepsinya kepada
perawat. Ketika menceritakan pengalamannya, perawat harus waspada akan timbulnya
gejala ansietas.

Syarat-Syarat Komunikasi Pada Klien Dengan Gangguan Penglihatan


Dalam melakukan komunikasi terapeutik dengan pasien dengan gangguan sensori
penglihatan, perawat dituntut untuk menjadi komunikator yang baik sehingga terjalin
hubungan terapeutik yang efektif antara perawat dan klien, untuk itu syarat yang harus
dimiliki oleh perawat dalam berkomunikasi dengan pasien dengan gangguan sensori
penglihatan adalah :

Adanya kesiapan artinya pesan atau informasi, cara penyampaian, dan saluarannya harus
dipersiapkan terlebih dahulu secara matang.

Kesungguhan artinya apapun ujud dari pesan atau informasi tersebut tetap harus
disampaikan secara sungguh-sungguh atau serius.

Ketulusan artinya sebelum individu memberikan informasi atau pesan kepada indiviu
lain pemberi informasi harus merasa yakin bahwa apa yang disampaikan itu merupakan
sesuatu yang baik dan memang perlu serta berguna untuk sipasien.

Kepercayaan diri artinya jika perawat mempunyai kepercayaan diri maka hal ini akan
sangat berpengaruh pada cara penyampaiannya kepada pasien.

Ketenangan artinya sebaik apapun dan sejelek apapun yang akan disampaikan, perawat
harus bersifat tenang, tidak emosi maupun memancing emosi pasien, karena dengan
adanya ketenangan maka iinformasi akan lebih jelas baik dan lancar.
Keramahan artinya bahwa keramahan ini merupakan kunci sukses dari kegiatan
komunikasi, karena dengan keramahan yang tulus tanpa dibuat-buat akan menimbulkan
perasaan tenang, senang dan aman bagi penerima.

Kesederhanaan artinya di dalam penyampaian informasi, sebaiknya dibuat sederhana baik


bahasa, pengungkapan dan penyampaiannya. Meskipun informasi itu panjang dan rumit
akan tetapi kalau diberikan secara sederhana, berurutan dan jelas maka akan memberikan
kejelasan informasi dengan baik.

Hal-Hal Yang Perlu Diperhatikan Dalam Komunikasi Pada Klien Gangguan


Penglihatan
Agar komunikasi dengan orang dengan gangguan sensori penglihatan dapat berjalan
lancar dan mencapai sasarannya, maka perlu juga diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1. Dalam berkomunikasi pertimbangkan isi dan nada suara
2. Periksa lingkungan fisik
3. Perlu adanya ide yang jelas sebelum berkomunikasi
4. Komunikasikan pesan secara singkat
5. Komunikasikan hal-hal yang berharga saja.
6. Dalam merencanakan komunikasi, berkonsultasilah dengan pihak lain agar
-memperoleh dukungan.

BAB III
PENUTUP
1.Kesimpulan
Tuna netra adalah individu yang indera penglihatannya (keduaduanya) tidak berfungsi
sebagai saluran penerima informasi dalam kegiatan sehari-hari seperti halnya orang awas.
Dengan kata lain, tunanetra merupakan sebutan untuk individu yang memiliki hambatan dalam
penglihatan atau tidak berfungsinya indera penglihatan. Kesimpulan hasil penelitian di atas,
setidaknya menegaskan bahwa pada dasarnya kondisi kecerdasan anak tuna netra tidak berbeda
dengan anak normal umumnya. Apabila diketahui kecerdasan anak tuna netra lebih rendah dari
anak normal pada umumnya, hal tersebut disebabkan karena anak tuna netra memiliki hambatan
persepsi, berpikir secara komprehensif dan mencari rangkaian sebab akibat. Bahkan jika
dikonversikan dengan fase perkembangan kognitif dari Piaget, perkembangan kognitif anak tuna
netra pada tingkat sensomotorik terhambat kurang lebih 4 tahun, dan pada fase intuitif terhambat
2 tahun. Meskipun dalam proses berpikirnya tidak berbeda dengan anak normal.

Komunikasi terapeutik adalah komunikasi yang mendorong proses penyembuhan klien


(Depkes RI, 1997). Dalam pengertian lain mengatakan bahwa komunikasi terapeutik adalah
proses yang digunakan oleh perawat memakai pendekatan yang direncanakan secara sadar,
bertujuan dan kegiatannya dipusatkan pada klien. Di dalam komunikasi terapeutik dengan pasien
tunanetra mempunyai teknik untuk berkomusikasi dan terdapat hal-hal yang perlu diperhatikan.

2. Saran

Pada dasarnya tunanetra dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kurang penglihatan (low
vision) dan buta total (totally blind). Berdasarkan penelitian, setidaknya menegaskan bahwa pada
dasarnya kondisi kecerdasan anak tunanetra tidak berbeda dengan anak normal umumnya.
Apabila diketahui kecerdasan anak tunanetra lebih rendah dari anak normal pada umumnya, hal
tersebut disebabkan karena anak tuna netra memiliki hambatan persepsi, berpikir secara
komprehensif dan mencari rangkaian sebab akibat. Cara berkomunikasi dengan pasien penderita
tunanetra lebih efektif bila menggunakan komunikasi secara verbal, jika menggunakan
komunikasi secara non verbal akan sedikit terhambat karna keterbatasannya.

DAFTAR PUSTAKA
Flo. (2015). Penerapan komunikasi terapeutik pada pasien dengan gangguan pengelihatan.
https://floraliwu.wordpress.com/2015/01/15/penerapan-komunikasi-terapeutik-pada-
pasien-dengan-gangguan-penglihatan/ (diakses pada tanggal 2 maret 2021)
http://eprints.walisongo.ac.id/1587/2/083111071_Bab2.pdf
http://perpustakaan.poltekkes-malang.ac.id/assets/file/kti/1401100026/7.BAB_2_.pdf

http://kumpulanmateriplb.blogspot.com/2017/02/tunanetra-
pengertianklasifikasipenyebab.html

https://floraliwu.wordpress.com/2015/01/15/penerapan-komunikasi-terapeutik-pada-
pasien-dengan-gangguan-penglihatan/

PENERAPAN KOMUNIKASI TERAPEUTIK PADA PASIEN DENGAN


GANGGUAN PENGLIHATAN | flLora24 (wordpress.com)

LAMPIRAN
Disebuah rumah sakit swasta terdapat seorang pasien lansia yang sudah berumur 75 tahun.
Pasien tersebut mengalami gangguan penglihatan (Tuna Netra) dan mengalami kesulitan dalam
melakukan aktivitas sehari-sehari. Pasien tersebut orangnya sangat suka berbicara dan menyukai
orang yang ramah dan memberitahu apa yang ada dan terjadi disekitarya.

Perawat : “Assalamualaikum buk”.

Pasien dan keluarga : “Waalaikumuussalam”.

Perawat : “Selamat pagi Ibu”.

Pasien : “Pagi, siapa disana?”

Perawat : “Perkenalkan saya perawat Putri, kali ini saya bertugas untuk merawat
ibu. Baik ibu sebelumnya mohon maaf bisa sebutkan nama dan tempat tanggal
lahir ibu”.

Pasien : “Nama saya Indah, saya lahir tahun 1956”.

Keluarga : “Nama ibu saya Indah Mardiani, lahir tanggal 25 April 1956 suster”.

Perawat : “(Tersenyum dan menatap kearah keluarga pasien) terimakasih atas


tambahannya bu. Baik ibu, sekarang saya akan melakukan tindakan perawatan
pada kedua mata ibu, apakah ibu Indah bersedia?”

Pasien : “Tindakan seperti apa? Apa saja yang ada disekitar saya suster?”

Perawat : “Disini saya akan melakukan terapi pada mata ibu agar mata ibu bisa
rileks dan tidak sakit jika bangun tidur, saya juga akan melakukan sedikit pijatan
pada mata ibu, saya membawa baskom berisi air hangat, dan handuk kecil, ini
juga bisa dilakukan pada saat ibu di rumah nanti, bisa dibantu dengan keluarga
ibu.

Pasien : “Baiklah sus”.

Perawat : “Baiklah, kalau begitu ibu ingin posisi yang bagaimana, ibu suka
berbaring atau duduk?”

Pasien : ”Berbaring saja suster”.

(Pasienpun berbaring dengan bantuan keluarga)

Perawat : “Baiklah ibu saya akan memulai kompres air hangat pada mata ibu ya”.

Pasien : “Baik suster”.


(Perawat pun melakukan kompres pada mata pasien selama limamenit dan dilakukan sebanyak 3
kali)

Perawat : “Selanjutnya, ibu saya akan melakukan pijatan kecil pada mata ibu agar
mata ibu tidak kaku jika dibuka atau digerakkan”.

Pasien : “Baik sus”.

(Perawat pun melakukan pijatan pada mata pasien selama 2 menit mengikuti daerah kelopak
mata pasien)

Perawat : “Ibu, sekarang kami sudah melakukan terapi pada ibu, bagaimana
sekarang perasaan ibu?”

Pasien : “Mata saya sudah terasa segar dari yang kemarin sus”.

Keluarga : “Suster saya mau bertanya, nanti kalau di rumah setiap jam berapa di
kompres itu sus?”

Perawat : “Oh iya bu, kalau di rumah mau di kompres itu, kalau bisa setiap pagi
hari saja bu, karena kalau keseringan juga tidak bagus untuk mata nya”.

Keluarga : “Oh begitu sus tidak boleh terlalu sering dilakukan ya sus?”

Perawat : “iya betul bu, karena mata juga butuh istirahat”.

Keluarga : “oo begitu. Baik suster”

Perawat : “Bagaimana ibu masih ada yang mau ditanyakan?”

Keluarga : “Tidak ada sus, terima kasih sus”.

Perawat : “Baik ibu sama-sama. Jika ibu butuh bantuan, tekan saja bel yang ada di
dinding itu ya buk. Nanti perawat akan segera datang keruangan untuk membantu
ibu”.

Keluarga : “Baik suster”.

Perawat : “Kalau begitu saya permisi ya bu, selamat pagi. Assalamualaikum”.

Keluarga : “Iya sus, selamat pagi. Waalaikum salam”

Anda mungkin juga menyukai