Anda di halaman 1dari 23

PENGARUH WAKTU TERHADAP KETUAAN DAN KERATAAN WARNA DAN

HASIL L*a*b PENCELUPAN KAIN T/C DENGAN ZAT WARNA DISPERSI


REAKTIF METODE EXHAUST ONE BATH TWO STAGE (1B2S)
PROGRES REPORT
Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Praktikum Teknologi Pencelupan 3 yang
diampu oleh:

Dosen
Elly Koesneliawaty, BK.Teks., M.Pd
Asisten Dosen
Witri A. S., S.ST., M.Tr
Fauzi J

Group
3K2
1. Elin Liamita Malau (18020029)
2. Elis Fuji Astuti (18020030)
3. Elisa Rahmawati (18020031)
4. Elok Septiana Atnes R (18020032)

PROGRAM STUDI KIMIA TEKSTIL


POLITEKNIK STTT BANDUNG
2021
I. MAKSUD DAN TUJUAN
1.1 Maksud

Melakukan proses pencelupan kain T/C dengan zat warna dispersi-reaktif


metode exhaust one bath two stage (1B2S) dengan variasi waktu.

1.2 Tujuan

Mendapatkan nilai atau titik optimum hasil pencelupan kain T/C


menggunakan zat warna dispersi – reaktif dengan berdasarkan evaluasi
ketuaan dan kerataan warna menggunakan metode exhaust one bath two
stage (1B2S) dengan variasi waktu.

II. Dasar Teori


2.1 Serat Kapas

Serat yang digunakan adalah kapas yang merupakan jenis serat selulosa.
Penampang melintang dari serat berbahan kapas memiliki bentuk yang tidak
beraturan yaitu seperti ginjal. Bentuk membujur serat kapas adalah pipih seperti
pita yang terpuntir. Bentuk penampang melintang dan membujur serat kapas
dapat dilihat pada Gambar 2.1.

Penampang Melintang Penampang Membujur

Sumber : Soeprijono, dkk, Serat-serat Tekstil, Bandung, 1973


Gambar 2.1 Bentuk Morfologi Serat Kapas
2.1.1 Struktur Molekul

Analisa serat kapas menunjukan bahwa serat kapas tersusun atas


selulosa. Selulosa merupakan polimer linear yang tersusun dari
kondensasi molekul-molekul glukosa yang dihubungkan pada posisi
seperti pada Gambar 2.2.
Sumber : Soeprijono, dkk, Serat-serat Tekstil, Bandung, 1973
Gambar 2.2 Struktur Rantai Molekul Polimer Selulosa

Selulosa terbentuk dari susunan cincin glukosa. Glukosa diketahui


sebagai turunan pyranosa yang berarti memiliki 6 segi (sudut), dan
struktur kimia dari glukosa sendiri memiliki dua bentuk tautomeri yaitu 𝛼-
glukosa dan 𝛽-glukosa seperti pada Gambar 2.2.

Sifat Kimia

Serat kapas pada umumnya tahan terhadap kondisi penyimpanan,


pengolahan, dan pemakaian yang normal, tetapi beberapa zat oksidasi
atau penghidrolisa menyebabkan kerusakan dengan akibat penurunan
kekuatan. Kerusakan karena oksidasi dengan terbentuknya oksi selulosa
biasanya terjadi dalam proses pemutihan yang berlebihan, penyinaran
dalam keadaan lembab, atau pemanasan yang lama dalam suhu diatas
140oC.

1. Pengaruh Asam
Asam – asam menyebabkan hidrolisa ikatan – ikatan glukosa
dalam rantai selulosa membentuk hidroselulosa. Asam kuat dalam
larutan menyebabkan degradasi yang cepat, sedangkan larutan yang
encer apabila dibiarakan mengering pada serat akan menyebabkan
penurunan kekuatan. Reaksi hidroselulosa tersebut dapat dilihat pada
Gambar 3 berikut ini. CH2OH H OH
H O H
H O OH H
O OH H H H O
H
O
H OH CH2OH

Hidrolisa

CH2OH H OH
H O
H H OH H
C OH H
O OH H O H O
H
O
H OH CH2OH

CH2OH H OH
H O
OH OH H
H OH H
C
O OH H O H O
H
O
H OH CH2OH

Sumber : Arifin Lubis, dkk, Teknologi Persiapan Penyempurnaan, Sekolah


Tinggi Teknologi Tekstil, Bandung, 1994, halaman 85.

Gambar 2.3 Reaksi Hidroselulosa


2. Pengaruh Alkali
Alkali mempunyai sedikit pengaruh pada kapas, kecuali larutan
alkali kuat dengan konsentrasi yang tinggi menyebabkan
penggelembungan besar pada serat, seperti dalam proses
mersersasi. Dalam proses ini kapas dikerjakan didalam larutan
natrium hidroksida dengan konsentrasi lebih besar 18%. Dalam
kondisi ini dinding primer menahan penggelembungan serat kapas
keluar, sehingga lumennya sebagian tertutup. Irisan lintang menjadi
lebih bulat, puntirannya berkurang dan serat menjadi lebih berkilau.
Hal ini merupakan alasan utama mengapa dilakukan proses
merserisasi. Disamping itu serat kapas menjadi lebih kuat dan afinitas
teyhadap zat warna lebih besar.

3. Pengaruh Panas
Serat kapas tidak memperlihatkan perubahan kekuatan bila
dipanaskan pada suhu 120 ℃ selama 5 jam. Tapi pada suhu yang
lebih tinggi dapat menyebabkan penurunan kekuatan serat.Kekuatan
serat akan hamper hilang apabila dipanaskan pada suhu 240 ℃.
2.2 Serat Poliester

Susunan rantai molekul polyester terbentuk secara kondensasi menghasilkan


polietena tereftalat yang merupakan satu ester dari komponen dasar asam dan
alkohol, yaitu asam tereftalat dan etilena glikol. Ini merupakan pengembangan
pembuatan poliester yang pada mulanya terbuat dari dimetil teraftalat sebagai
asamnya dan etilena glikol sebagai alkoholnya dan dikenal dengan nama
Terylene. Reaksi poliester adalah sebagai berikut :

n CH3OOC- -COOCH3 + n HO(CH2)2OH CH3O [ OC- -COO(CH2)2O ]n H + (2n –1 ) CH3OH

Dimetil Asam Tereftalat Etilena glikol Terylene

Sumber : Soeprijono, dkk, Serat-serat Tekstil, Bandung, 1973


Gambar 2.5 Pembuatan Serat Poliester Terylene

Pada tahun terakhir dikembangkan teknik baru dengan memproduksi asam


teraftalat, sehingga cenderung lebih banyak dipergunakan dibanding metil
teraftalat sebagai bahan baku pembuat polyester, yang dikenal dengan nama
Dacron. Adapun reaksinya pembuatannya adalah sebagai berikut :

n HOOC- -COOH + n HO(CH2)2OH HO [ OC- -COO(CH2)2O ]n H + (2n –1 ) H2O

Asam Tereftalat Etilena glikol Dacron Air

Sumber : Soeprijono, dkk, Serat-serat Tekstil, Bandung, 1973


Gambar 2.6 Pembuatan Serat Poliester Dacron

Penggunaan asam tereftalat sebagai bahan baku poliester menyebabkan


beberapa perbedaan sifat poliester, diantaranya titik leleh poliester yang
dihasilkan lebih tinggi dan hampir larut dalam glikol. Pembuatan poliester dari
asam tereftalat lebih menguntungkan dibandingkan poliester dari metil tereftalat.
Proses polimerisasi asam tereftalat dan etilena glikol dilakukan dalam kondisi
suhu tinggi dan ruang hampa.

Penampang Melintang Penampang Membujur

Sumber : Soeprijono, dkk, Serat-serat Tekstil, Bandung, 1973


Gambar 2.7 Bentuk Morfologi Serat Poliester (Jika Bentuk Spineretnya Bulat)

2.2.1 Sifat-sifat Serat Poliester

2.2.1.1 Sifat Kimia

1. Tahan sinar dan berkurang kekuatannya dalam penyinaran


yang lama.
2. Tahan jamur, serangga dan bakteri.
3. Tahan asam lemah tetapi tidak tahan basa kuat.
4. Rusak pada pemanasan diatas 2500C.

Pada praktikum ini, kain yang digunakan adalah kain campuran yaitu kain T/C
(Poliester-Kapas) dengan komposisi 65/35. Tujuan utama dari pencampuran serat
poliester dan kapas adalah untuk mendapatkan kain yang mutunya lebih baik
dibandingkan dengan kain yang terbuat dari masing-masing seratnya. Faktor yang
merupakan suatu keuntungan dalam pencampuran antar serat poliester dan
kapas adalah sifat buruk dari poliester merupakan sifat yang baik dari serat kapas,
begitu pula sebaliknya. Sehingga dari pencampuran kedua jenis serat ini, sifat –
sifat yang kurang dari salah satu jenis serat dapat diimbangi dengan sifat – sifat
yang baik dari serat lain. Hal tersebut dapat dilihat dari tabel berikut :

Tabel 2.1 Sifat-sifat Poliester dan Kapas

No Sifat – sifat Poliester Kapas


1. Sifat mekanik A B–A
2. Kemampuan menyerap air C B–A
3. Kemampuan untuk dicelup C A
4. Sifat estetika A B
5. Daya menahan lipatan A C
6. Tahan listrik statis C A
7. Tahan piling C A

Keterangan :
A = Baik
B = Sedang
C = Buruk
Dari tabel tersebut terlihat bahwa masing – masing serat tidak memiliki
semua sifat yang sempurna untuk bahan tekstil.Meskipun telah diupayakan suatu
perubahan fisik pada serat tersebut, namun sifat kimia masing – masing serat
tidak berubah sehingga karakteristik pencelupannya bergantung pada masing –
masing serat.

2.3 Zat Warna Dispersi

Zat warna dispersi adalah zat warna organik yang terbuat secara sintetik.
Kelarutannya dalam air kecil sekali dan larutan yang terjadi merupakan dispersi
atau partikel-partikel yang hanya melayang dalam air.

Zat warna dispersi mula-mula digunakan untuk mewarnai serat selulosa.


Kemudian dikembangkan lagi, sehingga dapat digunakan untuk mewarnai serat
buatan lainnya yang lebih hidrofob dari serat selulosa asetat, seperti serat
poliester, poliamida, dan poliakrilat.
Zat warna dispersi merupakan zat warna yang terdispersi dalam air dengan
bantuan zat pendispersi. Adapun sifat-sifat umum zat warna dispersi adalah
sebagai berikut :

1. Zat warna dispersi mempunyai berat molekul yang relatif kecil (partikel 0,5-
2).
2. Bersifat non-ionik terdapat gugus-gugus fungsional seperti –NH2, -NHR, dan-
OH. Gugus-gugus tersebut bersifat agak polar sehingga menyebabkan zat
warna sedikit larut dalam air.
3. Kelarutan zat warna dispersi sangat kecil, yaitu 0,1 mg/l pada suhu 80C.
4. Tidak megalami perubahan kimia selama proses pencelupan berlangsung.

2.3.1 Penggolongan Zat Warna Dispersi

Berdasarkan ketahanan sublimasinya, zat warna dispersi dikelompokkan


menjadi 4 golongan yaitu :

1. Golongan A
Zat warna dispesi golongan ini mempunyai berat molekul kecil
sehingga sifat pencelupannya baik karena mudah terdispersi dan
mudah masuk ke dalam serat, sedangkan ketahanan sublimasinya
rendah yaitu tersublimasi pada suhu 170C. Pada umumnya zat
warna dispersi golongan ini digunakan untuk mencelup serat rayon
asetat, tetapi juga digunakan untuk mencelup poliester pada suhu
100C tanpa penambahan zat pengemban.

2. Golongan B (E)
Zat warna dispersi golongan ini memiliki sifat pencelupan yang
baik dengan ketahanan sublimasi cukup, yaitu tersublim penuh pada
suhu 190C. Zat warna golongan B ini sangat baik untuk pencelupan
poliester baik dengan cara carrier/pengemban pada suhu didih
(100C) maupun cara pencelupan suhu tinggi (130C).

3. Golongan C (SE)
Zat warna dispersi golongan ini mempunyai sifat pencelupan
dengan ketahanan sublimasi tinggi, yaitu tersublim penuh pada suhu
200C, bisa digunakan untuk mencelup cara carrier, suhu tinggi
ataupun cara thermosol.

4. Golongan D (S)
Zat warna dispersi golongan ini mempunyai berat molekul
paling besar diantara keempat golongan lainnnya sehingga
mempunyai sifat pencelupan paling jelek karena sukar terdispersi
dalam larutan dan sukar masuk kedalam serat. Akan tetapi, zat warna
golongan D ini memiliki ketahanan sublimasi paling tinggi yaitu
tersublimasi penuh pada suhu 210C. zat warna ini tidak digunakan
untuk pencelupan dengan zat pengemban, namun sangat baik apabila
digunakan untuk pencelupan suhu tinggi dan cara thermosol.

Adapun golongan zat warna disperse dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 2.2 Golongan Zat Warna Dispersi Berdasarkan Ketahanan
Sublimasinya
Bentuk Kelompok Sumitomo Suhu Suhu Metoda Celup
molekul BASF sublimasi Termosol Thermosol HT/HP Carrier
A 1700C 1800C 1300C 1000C

B E 1900C 2000C X x V

C SE 2000C 2100C V V V

D S 2100C 2200C V V x

Berdasarkan sturuktur kimianya, zat warna dispersi terbagi menjadi 3


golongan yaitu:

1. Golongan Azo (-N=N-)

C2H5

O2N N N N

C2H4OH

2. Golongan Antrakuinon
NO2 O OH

OH O NH
3. Golongan Difenil amin

N SO2N
H
NH

2.3.2 Sifat-sifat Umum Zat Warna Dispersi

1. Sifat dasar mempunyai berat molekul yang rendah dengan inti


kromofor, diantaranya : azo, antrakuinon, dan dipenil amina.
2. Meleleh pada temperatur tinggi (lebih besar dari pada 150 0C),
kemudian dapat mengkristal lagi.
3. Sifat dasar adalah non ionic meskipun mempunyai gugus –OH, -NH2,
dan gugus –NHR, dan sebagainya yang bertindak sebagai gugus
pemberi (donor) hydrogen untuk mengadakan ikatan dengan serat
(gugus karbonil).
4. Gugus –OH, -NH2, dan gugus fungsional yang sejenis menyebabkan
zat warna dispersi sedikit larut dalam air (± 0,1 miligram/l), tapi
mempunyai kejenuhan yang tinggi pada serat pada kondisi
pencelupan.
5. Penambahan zat pendispersi ke dalam larutan celupnya akan
menyebabkan zat warna dispersi stabil dalam air.
6. Secara relatif kerataan penyerapan zat warna dalam serat adalah
tinggi (10 – 50 mg/g serat).

Ikatan yang utama antara zat warna disperse dengan poliester adalah ikatan
hidrofobik, namun untuk beberapa kasus dapat pula terjadi ikatan hydrogen atau
ikatan dwi kutub.

Dalam perdagangan umumnya zat warna disperse mengandung gugus


aromatic dan alifatik yang mengakibatkatkan gugus fungsional seperti : -OH, -NH2,
-NHR. Gugus fungsional tersebut merupakan pengikat dipol atau dwi kutub juga
membentuk ikatan hydrogen dengan gugus karboknil atau gugus asetil. Berikut
adalah reaksi terjadinya ikatan hydrogen pada proses pencelupan serat poliester
dengan zat warna dispersi.

δ- δ+ δ- δ+

O2N N N N H O C
Ikatan hidrogen
H OH
2.4 Zat Warna Reaktif
Zat warna reaktif bisa digunakan untuk pencelupan dan pencapan
(printing). Zat warna reaktif adalah zat warna yang dapat mengadakan reaksi
dengan serat, sehingga zat warna tersebut merupakan bagian dari serat. Oleh
karena itu hasil celupan zat warna reaktif mempunyai ketahanan luntur yang baik.
Demikian juga karena berat molekul zat warna reaktif kecil, maka kilapnya akan
lebih baik dari pada zat warna direk.
2.4.1. Ikatan antara Zat Warna Reaktif dengan Serat
• Hasil celupan mudah sekali luntur apabila tidak diberikan alkali, tetapi setelah
dikerjakan dengan alkali bahan akan tahan cuci dan penyabunan.
• Hasil celupan dengan zat warna reaktif mudah dilunturkan dengan senyawa
piridin mendidih, otro khloro fenol atau khloroform.
• Bila larutan polivinil alkohol yang mengandung zat warna reaktif ditunagkan ke
dalam larutan garam jenuh dan mengandung NaOH, maka akan terbentuk
lapisan yang sukar mengurai meskipun dididihkan. Tetapi tidak demikian
halnya kalau zat warna reakif tersebut diganti dengan zat warna anion lainnya.
• Selulosa yang tercelup oleh zat warna procion M tidak mudah menggembung
atau larut dalam larutan kupramonium hidroksida.’Procion Yellow R
merupakan zat warna reaktif yang megadnung gugusan azo. Bila celupan
dengan zat warna tersebut direduksi maka akan terbentuk dua buah
komponen yang masing-masing mengandung gugusan amino aromatik
primer.

Gugusan amina yang terikat pada sistem reaktif bila diidazotasi dan
dibangkitkan dengan suatu senyawa fenol atau amina aromatik akan memberikan
warna lain yang tahan cuci pula.

Hasil reaksi zat warna dengan air pada umumnya tidak dapat bereaksi dengan
serat, terutama pada sistim teaktif yang mengadakan reaksi substitusi kromofor
dengan zat warna merupakan sistem yang mempunyai berat molekul kecil dan
berbentuk sederhana seperti molekul zat warna asam celupan rata, sehingga
akan memberikan warna yang cerah dan mudah dihilangkan apabila tidak terikat
pada serat.

2..4.2. Penggolongan Zat Warna Reaktif


Menurut reaksi yang terjadi, zat warna reaktif dapat dibagi menjadi dua golongan :
• Golongan I, adalah zat warna reaktif yang mengadakan reaksi substitusi
dengan serat dan membentuk ikatan psedo ester, misalnya: zat warna
Procion, Cibaron, Drimaren dan Levafik. Ikatan ini tahan terhadap kondisi
alkali, tetapi kurang tahan terhadap suasana Asam. Zat warna reaktif yang
mengadakan reaksi jenis ini adalah Golongan diklorotriazin.
• Golongan II, adalah zat warna reaktif yang dapat mengadakan reaksi adisi
dengan serat dan membentuk ikatan eter ; misalnya : Zat warna Remasol,
Remalan dan primazin. Ikatan ini biasanya tahan terhadap suasana asam
tetapi kurang tahan pada suasana alkali. Salah satu zat warna reaktif yang
mengadakan reaksi adalah golongan vinilsulfon. Reaksi yang terjadi adalah
sebagai berikut :
Zw-SO2-CH2-CH2-Cl + NaOH → Zw-SO2-CH=CH2 + NaCL +H2O

Zw-SO2-CH=CH2 + Sel-OH → Zw-SO2-CH2-CH2-O-Sel

Menurut cara pemakainya, zat warna reaktif dibagi menjadi :


• Zat warna reaktif dingin, yaitu zat warna reaktif yang mempunyai kereaktifan
tinggi, dicelup pada suhu rendah. Misalnya procion M, dengan sistem reaktif
dikloro triazin.
• Zat warna reaktif panas, yaitu zat warna reaktif yang mempunyai kereaktifan
rendah, dicelup pada suhu tinggi. Misalnya Procion H, Cibacron dengan
sistem reaktif mono kloro triazin, Remazol dengan sistem reaktif vinil sulfon.
Semakin banyak alkali yang ditambahkan, pembentukan anion selulosanya
makin banyak maka reaksi fiksasi makin cepat.

Secara singkat reaksi fiksasi tersebut dapat ditulis:

D – Cl + sel – OH → D – O – Sel + HCl

Selain itu selama proses pencelupan dapat juga terjadi hidrolisis sehingga zat
warna menjadi rusak dan tidk bisa fiksasi. Reaksi hidrolisis sangat dipengaruhi oleh
pH, suhu, dan konsentrasi air, bila suhu, pH dan konsentrasi air meningkat, reaksi
hidrolisis akan semakin besar.

Beruntung reaksi hidrolisis ini lebih kecil dari reaksi fiksasi karena
kenukleofilan OH- lebih lemah dari sel-O-, namun demikian dalam proses pencelupan
perlu diusahakan agar reaksi hidolisis ini sekecil mungkin antara lain dengan cara
memodifikasi skema proses pencelupan sedekian rupa. Misalnya, dengan
penambahan alkali secara bertahap.

Kelemahan zat warna reaktif selain mudah rusak terhidrolisis juga hasil
celupnya kurang tahan terhadap pengerjaan asam, sebagai contoh bila hasil celup
dilakukan proses penyempurnaan resin finish dalam suasana asam maka ketaan
warna hasil celupnya akan sedikit turun..

Adanya kekurangan dari kedua golongan zat warna reaktif tersebut maka
saat ini banyak digunakan zat warna reaktif dengan gugus fungsi ganda (bifunctional
reactive dyes), seperti Sumifix Supra (MCT) – Vinil Sulfon (VS) dan Drimare CL
(TCP) – Vinil Sulfon (VS), sehingga zat warnanya lebih tahan hidrolisis, efisiensi
fiksasinya tinggi dan hasil celupnya lebih tahan alkali dan asam. Varian zat warna
reaktif lainnya jua dibuat misalnya zat warna yang tahan panas dan afinitasnya lebih
besar maupun zat warna reaktif yang dapat fiksasi pada suasana netral.

Zat warna reaktif pada dasarnya merupakan hasil rekayasa yang gemilang
dalam disain struktur molekul zat warna sintetis, karena mampu memberikan
kombinasi berbagai sifat unggul yang diinginkan ahli celup seperti corak warnanya
luas dan cerah, mudah rata dan ketahanan luntur warnanya yang tinggi.

Ciri khas zat warna reaktif adalah warnanya yang relatif cerah dan
kemampuannya berikatan dengan serat membentuk ikatan kovalen. Ikatan ini
terbentuk dari hasil reaksi antara gugus reaktif pada zat warna reaktif dengan gugus
-OH, -SH, -NH2 dan >NH yang ada dalam serat, sehingga disamping memberikan
hasil celupan yang cerah juga tinggi tahan lunturnya.
Disamping keunggulan tersebut diatas, terdapat masalah mendasar pada
pemakaian zat lam mewarnani bahan, yaitu disamping terjadi reaksi fiksasi juga
terjadi reaksi hidrolisis, sehingga akan mengurangi efisiensi fiksasinya, sebagaimana
terlihat dari rendahnya tingkat efisiensi fiksasi pada zat warna reaktif konvensional.
Namun demikian, keadaan tersebut telah menjadi salah satu faktor pemacu dalam
proses pengembangan zat warna reaktif generasi baru.

Zat warna reaktif generasi baru tersebut, disamping mempunyai keunggulan


masing-masing yang khas, juga umumnya mempunyai efisiensi fiksasi yang tinggi
(terutama bila metoda proses celupnya tepat), sehingga akan mengurangi limbah
yang menimbulkan pencemaran lingkungan.
Dalam daftar “Color Index” golongan zat warna yang terbesar jumlahnya
adalah zat warna azo, dan dari zat warna yang berkromofor azo ini yang paling
banyak adalah zat warna reaktif. Zat warna reaktif ini banyak digunakan dalam
proses pencelupan bahan tekstil. Zat warna reaktif adalah zat warna yang paling
mudah dalam pencelupan untuk serat selulosa seperti kapas. Zat warna reaktif
terikat pada serat dengan ikatan kovalen yang sifatnya lebih kuat daripada ikatan –
ikatan lainnya sehingga sukar dilunturkan. Adanya reaksi langsung antara serat
dengan zat warna mengakibatkan asam khlorida akan menghalangi terjadinya reaksi
antara selulosa dengan zat warna reaktif sehingga harus ditambahkan soda atau
alkali untuk mempercepat reaksi dan menghilangkan asam khlorida yang terjadi.

Kromofor zat warna reaktif biasanya merupakan sistem azo dan antrakuinon
dengan berat molekul relatif kecil. Daya serap terhadap serat tidak besar. Sehingga
zat warna yang tidak bereaksi dengan serat mudah dihilangkan. Gugus-gugus
penghubung dapat mempengaruhi daya serap dan ketahanan zat warna terhadap
asam atau basa. Gugus-gugus reaktif merupakan bagian-bagian dari zat warna yang
mudah lepas. Dengan lepasnya gugus reaktif ini, zat warna menjadi mudah bereaksi
dengan serat kain.

Selulosa mempunyai gugus alkohol primer dan sekunder yang keduanya


mampu mengadakan reaksi dengan zat warna reaktif. Tetapi kecepatan reaktif
alkohol primer jauh lebih tinggi daripada alkohol sekunder. Mekanisme reaksi pada
umumnya dapat digambarkan sebagai penyerapan unsur positif pada zat warna
reaktif terhadap gugus hidroksil pada selulosa yang terionisasi. Agar dapat bereaksi
zat warna memerlukan penambahan alkali yang berguna untuk mengatur suasana
yang cocok untuk bereaksi, mendorong pembentukan ion selulosa dan menetralkan
asam-asam hasil reaksi.

2.5 Pencelupan

Pencelupan yaitu pemberian warna pada bahan tekstil secara merata dengan
warna yang sama pada seluruh bahan tekstil. Dalam proses pencelupan, terdapat
4 tahapan yaitu proses difusi zat warna ke dalam larutan, adsorpsi, difusi, dan
fiksasi.

2.5.1 Tahap-tahap Pencelupan

1. Difusi Zat Warna Ke Dalam Larutan


Pada tahap ini, zat warna dilarutkan dan diusahakan agar
larutan zat warna bergerak menempel pada bahan. Zat warna dalam
larutan mempunyai muatan listrik sehingga dapat bergerak kian
kemari. Gerakan tersebut menimbulkan tekanan osmosis yang
berusaha untuk mencapai keseimbangan konsentrasi, sehingga
terjadi difusi dari bagian larutan dengan konsentrasi tinggi menuju
konsentrasi rendah. Bagian dengan konsentrasi rendah terletak di
permukaan serat, yaitu pada kapiler serat. Jadi zat warna akan
bergerak mendekati permukaan serat.

2. Adsorpsi

Peristiwa difusi yang dijelaskan di atas menyebabkan zat


warna berkumpul pada permukaan serat. Daya adsorpsi akan
terpusat pada permukaan serat, sehingga zat warna akan terserap
menempel pada bahan.

3. Difusi

Peristiwa ini terjadi karena adanya perbedaan konsentrasi zat


warna di permukaan serat dengan konsentrasi zat warna di dalam
serat. Karena konsentrasi di permukaan lebih tinggi, maka zat warna
akan terserap masuk ke dalam serat.

4. Fiksasi

Fiksasi terjadi karena adanya ikatan antara molekul zat warna


dengan serat, yaitu ikatan antara gugus auksokrom dengan serat.

2.5.2 Gaya Ikatan pada Pencelupan Poliester dengan Zat Warna Dispersi

Jenis ikatan yang terjadi antara gugus fungsional zat warna dispersi
dengan serat poliester ada 2 macam yaitu :

1. Ikatan Van der Walls

Zat warna dispersi dan serat merupakan senyawa hidrofob


dan bersifat non polar. Ikatan yang terjadi pada senyawa hidrofob dan
bersifat non polar ini ikatan fisika, yang berperan dalam terbentuknya
ikatan fisika adalah ikatan van der walls, yang terjadi berdasarkan
interaksi antara kedua molekul yang berbeda. Ikatan yang besar
terjadi pada ikatan van der walls pada zat warna dispersi dan serat
poliester adalah dispersi London.
2. Ikatan Hidrogen

Ikatan hidrogen merupakan gaya dipol yang melibatkan atom


hidrogen dengan atom lain yang bersifat elektronegatif. Kebanyakan
zat warna dispersi tidak mengadakan ikatan hidrogen dengan serat
poliester karena zat warna dispersi dan serat poliester bersifat
nonpolar, hanya sebagian zat warna dispersi yang mengadakan
ikatan hidrogen dengan serat poliester yaitu zat warna dispersi yang
mempunyai donor proton seperti –OH atau NH2.

2.6 Pencelupan Serat Campuran

Pencelupan bahan tekstil yang terbuat dari serat campuran


merupakan suatu pekerjaan yang sangat rumit. Hal ini disebabkan oleh sifat
fisika dan kimia dari masing-masing zat serat yang berbeda satu dengan
lainnya sehingga pemilihan zat warna yang akan dipergunakan dan cara
pencelupannya harus diperhatikan.

Beberapa efek warna yang dapat diperoleh adalah :

1. Efek ”Solid Colour”, dimana kedua macam serat di dalam campuran tersebut
dicelup dengan corak warna dan tingkat ketuaan warna yang sama misalnya
merah, kuning atau biru pada tingkat ketuaan warna yang sama.

2. Efek ”Reservation”, dimana salah satu serat di dalam campuran tersebut


sama sekali tidak diwarnai sehngga timbul bintik-bintik putih misalnya warna
biru dengan bintik-bintik bupih.

3. Efek ”Tone in Tone”, di mana salah satu serat dalam campuran tersebut
tercelup lebih tua dari yang lainnya, misalnya biru tua dan biru muda.

4. Efek ”Cross Dyeing”, di mana kedua serat di dalam campuran tersebut


dicelup dengan corak warna yang berbeda, misalnya biru dan merah.

Efek warna yang dihasilkan dapat diatur sesuai dengan keinginan.

2.7 Pencelupan Metoda Exhaust One Bath Two Stage

Pada metoda ini digunakan satu larutan celup, yaitu larutan celup yang terdiri
dari zat warna dispersi dan zat-zat pembantunya dan dilanjutkan dengan
penambahan zat warna reaktif dan zat pembantunya dilakukan dalam satu tahap
namun dua kali penambahan zat warna dilarutan yang sama. Fiksasi zat warna
dispersi terjadi saat penurunan suhu sebelum zat warna reaktif dimasukan,
sedangkan fiksasi zat warna reaktif saat penurunan suhu kedua dan saat
penambahan Na2CO3.

2.8 Hipotesis Dari Variasi Yang Digunakan

Pada pencelupan kain TC dengan zat warna disperse-reaktif memiliki


beberapa faktor yang berpengaruh dalam pencelupan tersebut, salah satunya
faktor waktu. Waktu yang digunakan untuk variasi pada zat warna reaktif. Pada
waktu yang kurang tepat berpotensi akan menyebabkan hasil ketuaan dan
kerataan warna yang kurang baik, hal ini karena pada waktu dibawah 60 menit
penyerapan zat warna belum seluruhnya terserap kepada serat. Sehingga pada
hasil pencelupan dengan zat warna disperse-reaktif dengan variasi waktu
memungkinkan ketuaan dan kerataan warna akan didapatkan pada variasi ke 4
yaitu 60 menit.
Sumber : Sperakhwat08. Agustus 2013. Pencelupan Dispersi Reaktif 2 bath 2
stage metoda kontinyu.

III. Metode Praktikum


3.1 Alat dan Bahan
3.1.1 Alat-alat
1. Pipet volume
2. Beaker glass
3. Pengaduk
4. Timbangan
5. Mesin stenter
6. Kasa
7. Bunsen

3.1.2 Bahan
1. Kain T/C
2. Zat Warna Dispersi
3. Zat warna Reaktif
4. NaCl
5. Pendispersi Anionik
6. Teepol

7. Na2CO3

8. Soda ash

9. Asam asetat 35%


3.2 Diagram Alir

Persiapan Larutan Celup

Perhitungan resep celup

Pencelupan

Pencucian

Pengeringan

Evaluasi

3.3 Resep
3.3.1 Resep Standar
Variasi Orang Ke-
Kain Bahan
1 2 3 4

ZW Dispersi 1% 1% 1% 1%

ZW Reaktif 1% 1% 1% 1%

Pendispersi 1 g/l 1 g/l 1 g/l 1 g/l

Asam Asetat 0,5 g/l 0,5 g/l 0,5 g/l 0,5 g/l
35%
Soda Ash 10 g/l 10 g/l 10 g/l 10 g/l

NaCl 10 g/l 10 g/l 10 g/l 10 g/l

Vlot 1:10 1:10 1:10 1:10

Waktu 15 30 45 60

Suhu 130°C 130°C 130°C 130°C


Optimum

3.3.2 Resep Cuci Reduksi (R/C) Standar


Variasi Orang Ke-
Kain Bahan
1 2 3 4
Deterjen 1 g/l

Na. Hidrosulfit 4 g/l

NaOH Flakes 2 g/l

Vlot 1:10

Waktu 15 menit

Suhu Optimum 80 °C

3.4 Skema Proses


- Variasi 1 (15 Menit) ZW Reaktif, NaOH,
NaCl, Soda Ash Na2S2O4,
Deterjen
130°C
ZW Dispersi,
Asam Asetat,
Zat Pendispersi
85°C

80°C

10 30 45 60 15
T (menit)
- Variasi 2 (30 Menit) ZW Reaktif, NaOH,
NaCl, Soda Ash Na2S2O4,
Deterjen
130°C
ZW Dispersi,
Asam Asetat,
Zat Pendispersi
85°C

80°C

10 30 60 75 15
T (menit)
- Variasi 3 (45 Menit)

NaOH,
ZW Reaktif, Na2S2O4,
NaCl, Soda Ash Deterjen
130°C
ZW Dispersi,
Asam Asetat,
Zat Pendispersi
85°C

80°C

10 30 75 90 15
T (menit)
- Variasi 4 (60 Menit)

NaOH,
ZW Reaktif,
Na2S2O4,
NaCl, Soda Ash
Deterjen
130°C
ZW Dispersi,
Asam Asetat,
Zat Pendispersi
85°C

80°C

10 30 90 105 15
T (menit)

3.5 Cara Kerja


• Menyiapkan alat dan bahan.
• Menghitung kebutuhan zat yang diperlukan.
• Melakukan pencelupan
- Memasukan zw dispersi, pendispersi, asam asetat 35% dan air.
- Menaikkan suhu hingga 130oC dan dilakukan sesuai dengan variasi yaitu
15, 30, 45, dan 60 menit.
- Menurunkan suhu hingga 85 oC.
- Menambahkan zat warna reaktif, soda aash lalu lakukan proses selama
15 menit lalu memasukan NaCl.
• Melakukan pencucian sabun, panas dan dingin.
• Mengeringkan kain dengan mesin stenter pada suhu 100 0C selama 2 menit.
• Mengevaluasi kain pada ketuaan warna dan nilai L*a*b.

3.6 Fungsi Zat


1. Zat warna dispersi golongan A : untuk mewarnai serat polyester yang sudah
diproses treatment
2. Zat Pendispersi : untuk mendispersikan zat warna disperse dalam larutan celup
3. Asam asetat : sebagai pengatur pH larutan, pemberi suasana asam,
mengembangkan serat pada suhu panas, menambah penyerapan zat warna
disperse kedalam serat
4. Na2S2O4 : mereduksi zat warna disperse yang berada dipermukaan serat sehingga
larut dalam air
5. NaOH : suasana alkali yang membantu proses reduksi zat warna
6. Zat Warna reaktif : untuk mewarnai serat kapas yang sudah diproses treatment
7. NaCl : sebagai elektrolit, menambah penyerapan zat warna direk kedalam serat
kapas.
8. Sabun netral : untuk menghilangkan sisa-sisa zat warna yang menempel di
permukaan serat.

IV. Data Praktikum


4.1 Perhitungan Resep
4.1.1 Resep Standar
- Kain 1, kain 2, kain 3, dan kain 4
Berat kain = 60 gram
Kebutuhan Zat = 60 x 10 = 600 ml
1
ZW Dispersi = x 60 = 0,6
100
1
Pendispersi = 1000 x 600 = 0,6 g/l
𝑜,5
Asam Asetat 35% = x 600 = 0,3 ml/l
1000
10
Soda Ash = 1000 x 600 = 6 g/l
10
NaCl = 1000 x 600 = 6 g/l

Kebutuan Air = 600 – (0,3+6+6) = 587,7 ml/l

4.1.2 Resep Cuci Reduksi (R/C) Standar

- Kain 1, kain 2, kain 3, dan kain 4


Berat kain = 60 gram
Kebutuhan Zat = 60 x 10 = 600 ml
4
Na.Hidrosulfit = 1000 x 600 = 2,4 g/l
2
NaOH Flakes = 1000 x 600 = 1,2 g/l
1
Deterjen = 1000 x 600 = 0,6 g/l

Kebutuan Air = 600 – (2,4 + 1,2 + 0,6) = 595,8 ml/l

4.2 Hasil Pencelupan

V. Pembahasan
5.1 Analisis Warna Dari Pengaruh Variasi Waktu Terhadap Ketuaan Warna
Pada praktikum pencelupan T/C dengan zat warna disperse – reaktif
dengan metode exhaust one bath two stage (1B2S) dapat dipengaruhi oleh
beberapa faktor . Faktor tersebut diantaranya metode pencelupan, pH,
konsentrasi zat, waktu dan lain-lain. Namun, pada beberapa faktor tersebut
pada pengujian kali ini megamati pada faktor variasi waktu. Pada hasil
pengujian, ketuaan warna didapatkan pada hasil kain variasi ke 4 dengan
waktu 60 menit. Hal ini menunjukkan bahwa waktu yang digunakan sesuai
dengan resep standar sehingga menghasilkan warna yang lebih tua
dibandingkan pada variasi ke 1 hingga ke 3. Zat warna reaktif yang masuk
kedalam serat lebih banyak pada variasi ke 4, karena zat warna masuk
kedalam serat dengan waktu yang tepat, sementara pada variasi ke 1 hingga
ke 3 zat warna belum seluruhnya masuk kedalam serat karena waktu yang
digunakan relative lebih sedikit sehingga zat warna ada yang masih
menempel pada permukaan serat. Ikatan yang terbentuk belum sempurna,
sehingga memudahkan zat warna untuk lepas kembali pada serat, sehingga
pada saat pencucian zat warna akan terlepas kembali.
Pada hasil variasi yang telah dilakukan, didapatkan hasil yang lebih
baik terdapat pada kain 4 atau dengan variasi 4 yaitu waktu dengan 60 menit.
Memiliki warna yang lebih tua dibandingkan dengan variasi ke 1, 2, dan 3.
Sehingga dapat dilihat pada hasil analiasi warna dengan melihat nilai L yang
terdapat pada hasil pencelupan 4.2.

5.2 Analisis Warna Dari Pengaruh Variasi Waktu Terhadap Nilai L,a,b
Standar
Tingkat ketuaan dan kecendrungan arah warna pada kain dapat
dilihat dari nilai L,a,b pada hasil pencelupan 4.2. Berdasarkan hasil data yang
telah diperoleh mendapatkan nilai L*a*b standar pada sampel variasi waktu
keempat yaitu 60 menit. Mendapatkan nilai L= 40, ini menunjukkan bahwa
warna sampel standar menunjukkan warna cenderung pada arah yang lebih
terang, hal ini karena nilai yang dihasilkan adalah positif. Pada variasi ke 1
hingga ke 3 memungkinkan akan menghasiljan warna yang lebih muda, hal
ini karena waktu yang digunakan tidak sesuai dengan standar sehingga
dalam penyerapannya tidak maksimal. Untuk nilai a* = - 5,80, menunjukkan
bahwa warna sampel standar menunjukkan warna cenderung pada arah
hijau, hal ini karena nilai yang dihasilkan adalah negatif. Sedangkan pada
variasi ke 1 sampai ke 3 memungkinkan menghasilkan nilai yang lebih besar,
karena pengaruh dari waktu yang digunakan lebih sedikit. Kemudian untuk
nilai b* = -18,19, menunjukkan bahwa warna sampel standar menunjukkan
warna cenderung pada arah biru, hal ini karena nilai yang dihasilkan adalah
negatif dan memiliki waktu pencelupan yang lebih lama dibandingkan dengan
variasi 1 hingga variasi ke 3.
Untuk hasil K/S, pada contoh uji standar diperoleh nilai 6,3655, ini
menunjukkan bawah dalam penyerapan mendapatkan hasil yang lebih baik.
Karena semakin tinggi nilai K/S yang diperoleh maka penyerapan zat warna
oleh bahan lebih besar atau warnanya. Sedangkan pad variasi ke 1 hingga ke
3 memungkinkan warna yang dihasilkna mendapatkan nilai yang lebih kecil,
karena kurangnya waktu fiksasi zat warna kedalam serat.
VI. KESIMPULAN
Berdasarkan uraian dari pembahasan pada bab 5, maka dapat
disimpulkan bahwa waktu merupakan salah satu faktor yang dapat
menyebabkan terhadap ketuaan warna, sehingga dengan memvariasikan
waktu didapat hasil yang paling optimal terdapat pada variasi ke 4 dengan
waktu 60 menit. Semakin besar waktu yang diberikan maka akan
menghasilkan L semakin kecil, nilai a*, nilai b* dan nilai K/S semakin besar,
namun pada titik tertentu harus diperhatikan juga terhadap sifat dari masing-
masing serat tersebut.

DAFTAR PUSTAKA
1. Soeprijono.P. Serat-Serat Tekstil. Institut Teknologi Tekstil. 1973.
2. Rasjid Djufri, dkk., Teknologi Pengelantangan, Pencelupan dan Pencapan. Bandung.
Institut Teknologi Tekstil. 1976.
3. Dede Karyana, Elly K. Bahan Ajar Praktikum Pencelupan I. Bandung: Sekolah Tinggi
Teknologi Tekstil. 2005.
4. Sunarto. Jilid 2 Teknologi Pencelupan dan Pencapan. Departemen Pendidikan
Jakarta : 2008.
5. Khanifarifin. September 2011. Zat Warna Reaktif (Diakses 3 Maret 2021).
6. Sperakhwat08. Agustus 2013. Pencelupan Dispersi Reaktif 2 bath 2 stage metoda
kontinyu. (Diakses 2 Maret 2021)

Anda mungkin juga menyukai