Dosen
Elly Koesneliawaty, BK.Teks., M.Pd
Asisten Dosen
Witri A. S., S.ST., M.Tr
Fauzi J
Group
3K2
1. Elin Liamita Malau (18020029)
2. Elis Fuji Astuti (18020030)
3. Elisa Rahmawati (18020031)
4. Elok Septiana Atnes R (18020032)
1.2 Tujuan
Serat yang digunakan adalah kapas yang merupakan jenis serat selulosa.
Penampang melintang dari serat berbahan kapas memiliki bentuk yang tidak
beraturan yaitu seperti ginjal. Bentuk membujur serat kapas adalah pipih seperti
pita yang terpuntir. Bentuk penampang melintang dan membujur serat kapas
dapat dilihat pada Gambar 2.1.
Sifat Kimia
1. Pengaruh Asam
Asam – asam menyebabkan hidrolisa ikatan – ikatan glukosa
dalam rantai selulosa membentuk hidroselulosa. Asam kuat dalam
larutan menyebabkan degradasi yang cepat, sedangkan larutan yang
encer apabila dibiarakan mengering pada serat akan menyebabkan
penurunan kekuatan. Reaksi hidroselulosa tersebut dapat dilihat pada
Gambar 3 berikut ini. CH2OH H OH
H O H
H O OH H
O OH H H H O
H
O
H OH CH2OH
Hidrolisa
CH2OH H OH
H O
H H OH H
C OH H
O OH H O H O
H
O
H OH CH2OH
CH2OH H OH
H O
OH OH H
H OH H
C
O OH H O H O
H
O
H OH CH2OH
3. Pengaruh Panas
Serat kapas tidak memperlihatkan perubahan kekuatan bila
dipanaskan pada suhu 120 ℃ selama 5 jam. Tapi pada suhu yang
lebih tinggi dapat menyebabkan penurunan kekuatan serat.Kekuatan
serat akan hamper hilang apabila dipanaskan pada suhu 240 ℃.
2.2 Serat Poliester
Pada praktikum ini, kain yang digunakan adalah kain campuran yaitu kain T/C
(Poliester-Kapas) dengan komposisi 65/35. Tujuan utama dari pencampuran serat
poliester dan kapas adalah untuk mendapatkan kain yang mutunya lebih baik
dibandingkan dengan kain yang terbuat dari masing-masing seratnya. Faktor yang
merupakan suatu keuntungan dalam pencampuran antar serat poliester dan
kapas adalah sifat buruk dari poliester merupakan sifat yang baik dari serat kapas,
begitu pula sebaliknya. Sehingga dari pencampuran kedua jenis serat ini, sifat –
sifat yang kurang dari salah satu jenis serat dapat diimbangi dengan sifat – sifat
yang baik dari serat lain. Hal tersebut dapat dilihat dari tabel berikut :
Keterangan :
A = Baik
B = Sedang
C = Buruk
Dari tabel tersebut terlihat bahwa masing – masing serat tidak memiliki
semua sifat yang sempurna untuk bahan tekstil.Meskipun telah diupayakan suatu
perubahan fisik pada serat tersebut, namun sifat kimia masing – masing serat
tidak berubah sehingga karakteristik pencelupannya bergantung pada masing –
masing serat.
Zat warna dispersi adalah zat warna organik yang terbuat secara sintetik.
Kelarutannya dalam air kecil sekali dan larutan yang terjadi merupakan dispersi
atau partikel-partikel yang hanya melayang dalam air.
1. Zat warna dispersi mempunyai berat molekul yang relatif kecil (partikel 0,5-
2).
2. Bersifat non-ionik terdapat gugus-gugus fungsional seperti –NH2, -NHR, dan-
OH. Gugus-gugus tersebut bersifat agak polar sehingga menyebabkan zat
warna sedikit larut dalam air.
3. Kelarutan zat warna dispersi sangat kecil, yaitu 0,1 mg/l pada suhu 80C.
4. Tidak megalami perubahan kimia selama proses pencelupan berlangsung.
1. Golongan A
Zat warna dispesi golongan ini mempunyai berat molekul kecil
sehingga sifat pencelupannya baik karena mudah terdispersi dan
mudah masuk ke dalam serat, sedangkan ketahanan sublimasinya
rendah yaitu tersublimasi pada suhu 170C. Pada umumnya zat
warna dispersi golongan ini digunakan untuk mencelup serat rayon
asetat, tetapi juga digunakan untuk mencelup poliester pada suhu
100C tanpa penambahan zat pengemban.
2. Golongan B (E)
Zat warna dispersi golongan ini memiliki sifat pencelupan yang
baik dengan ketahanan sublimasi cukup, yaitu tersublim penuh pada
suhu 190C. Zat warna golongan B ini sangat baik untuk pencelupan
poliester baik dengan cara carrier/pengemban pada suhu didih
(100C) maupun cara pencelupan suhu tinggi (130C).
3. Golongan C (SE)
Zat warna dispersi golongan ini mempunyai sifat pencelupan
dengan ketahanan sublimasi tinggi, yaitu tersublim penuh pada suhu
200C, bisa digunakan untuk mencelup cara carrier, suhu tinggi
ataupun cara thermosol.
4. Golongan D (S)
Zat warna dispersi golongan ini mempunyai berat molekul
paling besar diantara keempat golongan lainnnya sehingga
mempunyai sifat pencelupan paling jelek karena sukar terdispersi
dalam larutan dan sukar masuk kedalam serat. Akan tetapi, zat warna
golongan D ini memiliki ketahanan sublimasi paling tinggi yaitu
tersublimasi penuh pada suhu 210C. zat warna ini tidak digunakan
untuk pencelupan dengan zat pengemban, namun sangat baik apabila
digunakan untuk pencelupan suhu tinggi dan cara thermosol.
Adapun golongan zat warna disperse dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 2.2 Golongan Zat Warna Dispersi Berdasarkan Ketahanan
Sublimasinya
Bentuk Kelompok Sumitomo Suhu Suhu Metoda Celup
molekul BASF sublimasi Termosol Thermosol HT/HP Carrier
A 1700C 1800C 1300C 1000C
B E 1900C 2000C X x V
C SE 2000C 2100C V V V
D S 2100C 2200C V V x
C2H5
O2N N N N
C2H4OH
2. Golongan Antrakuinon
NO2 O OH
OH O NH
3. Golongan Difenil amin
N SO2N
H
NH
Ikatan yang utama antara zat warna disperse dengan poliester adalah ikatan
hidrofobik, namun untuk beberapa kasus dapat pula terjadi ikatan hydrogen atau
ikatan dwi kutub.
δ- δ+ δ- δ+
O2N N N N H O C
Ikatan hidrogen
H OH
2.4 Zat Warna Reaktif
Zat warna reaktif bisa digunakan untuk pencelupan dan pencapan
(printing). Zat warna reaktif adalah zat warna yang dapat mengadakan reaksi
dengan serat, sehingga zat warna tersebut merupakan bagian dari serat. Oleh
karena itu hasil celupan zat warna reaktif mempunyai ketahanan luntur yang baik.
Demikian juga karena berat molekul zat warna reaktif kecil, maka kilapnya akan
lebih baik dari pada zat warna direk.
2.4.1. Ikatan antara Zat Warna Reaktif dengan Serat
• Hasil celupan mudah sekali luntur apabila tidak diberikan alkali, tetapi setelah
dikerjakan dengan alkali bahan akan tahan cuci dan penyabunan.
• Hasil celupan dengan zat warna reaktif mudah dilunturkan dengan senyawa
piridin mendidih, otro khloro fenol atau khloroform.
• Bila larutan polivinil alkohol yang mengandung zat warna reaktif ditunagkan ke
dalam larutan garam jenuh dan mengandung NaOH, maka akan terbentuk
lapisan yang sukar mengurai meskipun dididihkan. Tetapi tidak demikian
halnya kalau zat warna reakif tersebut diganti dengan zat warna anion lainnya.
• Selulosa yang tercelup oleh zat warna procion M tidak mudah menggembung
atau larut dalam larutan kupramonium hidroksida.’Procion Yellow R
merupakan zat warna reaktif yang megadnung gugusan azo. Bila celupan
dengan zat warna tersebut direduksi maka akan terbentuk dua buah
komponen yang masing-masing mengandung gugusan amino aromatik
primer.
Gugusan amina yang terikat pada sistem reaktif bila diidazotasi dan
dibangkitkan dengan suatu senyawa fenol atau amina aromatik akan memberikan
warna lain yang tahan cuci pula.
Hasil reaksi zat warna dengan air pada umumnya tidak dapat bereaksi dengan
serat, terutama pada sistim teaktif yang mengadakan reaksi substitusi kromofor
dengan zat warna merupakan sistem yang mempunyai berat molekul kecil dan
berbentuk sederhana seperti molekul zat warna asam celupan rata, sehingga
akan memberikan warna yang cerah dan mudah dihilangkan apabila tidak terikat
pada serat.
Selain itu selama proses pencelupan dapat juga terjadi hidrolisis sehingga zat
warna menjadi rusak dan tidk bisa fiksasi. Reaksi hidrolisis sangat dipengaruhi oleh
pH, suhu, dan konsentrasi air, bila suhu, pH dan konsentrasi air meningkat, reaksi
hidrolisis akan semakin besar.
Beruntung reaksi hidrolisis ini lebih kecil dari reaksi fiksasi karena
kenukleofilan OH- lebih lemah dari sel-O-, namun demikian dalam proses pencelupan
perlu diusahakan agar reaksi hidolisis ini sekecil mungkin antara lain dengan cara
memodifikasi skema proses pencelupan sedekian rupa. Misalnya, dengan
penambahan alkali secara bertahap.
Kelemahan zat warna reaktif selain mudah rusak terhidrolisis juga hasil
celupnya kurang tahan terhadap pengerjaan asam, sebagai contoh bila hasil celup
dilakukan proses penyempurnaan resin finish dalam suasana asam maka ketaan
warna hasil celupnya akan sedikit turun..
Adanya kekurangan dari kedua golongan zat warna reaktif tersebut maka
saat ini banyak digunakan zat warna reaktif dengan gugus fungsi ganda (bifunctional
reactive dyes), seperti Sumifix Supra (MCT) – Vinil Sulfon (VS) dan Drimare CL
(TCP) – Vinil Sulfon (VS), sehingga zat warnanya lebih tahan hidrolisis, efisiensi
fiksasinya tinggi dan hasil celupnya lebih tahan alkali dan asam. Varian zat warna
reaktif lainnya jua dibuat misalnya zat warna yang tahan panas dan afinitasnya lebih
besar maupun zat warna reaktif yang dapat fiksasi pada suasana netral.
Zat warna reaktif pada dasarnya merupakan hasil rekayasa yang gemilang
dalam disain struktur molekul zat warna sintetis, karena mampu memberikan
kombinasi berbagai sifat unggul yang diinginkan ahli celup seperti corak warnanya
luas dan cerah, mudah rata dan ketahanan luntur warnanya yang tinggi.
Ciri khas zat warna reaktif adalah warnanya yang relatif cerah dan
kemampuannya berikatan dengan serat membentuk ikatan kovalen. Ikatan ini
terbentuk dari hasil reaksi antara gugus reaktif pada zat warna reaktif dengan gugus
-OH, -SH, -NH2 dan >NH yang ada dalam serat, sehingga disamping memberikan
hasil celupan yang cerah juga tinggi tahan lunturnya.
Disamping keunggulan tersebut diatas, terdapat masalah mendasar pada
pemakaian zat lam mewarnani bahan, yaitu disamping terjadi reaksi fiksasi juga
terjadi reaksi hidrolisis, sehingga akan mengurangi efisiensi fiksasinya, sebagaimana
terlihat dari rendahnya tingkat efisiensi fiksasi pada zat warna reaktif konvensional.
Namun demikian, keadaan tersebut telah menjadi salah satu faktor pemacu dalam
proses pengembangan zat warna reaktif generasi baru.
Kromofor zat warna reaktif biasanya merupakan sistem azo dan antrakuinon
dengan berat molekul relatif kecil. Daya serap terhadap serat tidak besar. Sehingga
zat warna yang tidak bereaksi dengan serat mudah dihilangkan. Gugus-gugus
penghubung dapat mempengaruhi daya serap dan ketahanan zat warna terhadap
asam atau basa. Gugus-gugus reaktif merupakan bagian-bagian dari zat warna yang
mudah lepas. Dengan lepasnya gugus reaktif ini, zat warna menjadi mudah bereaksi
dengan serat kain.
2.5 Pencelupan
Pencelupan yaitu pemberian warna pada bahan tekstil secara merata dengan
warna yang sama pada seluruh bahan tekstil. Dalam proses pencelupan, terdapat
4 tahapan yaitu proses difusi zat warna ke dalam larutan, adsorpsi, difusi, dan
fiksasi.
2. Adsorpsi
3. Difusi
4. Fiksasi
2.5.2 Gaya Ikatan pada Pencelupan Poliester dengan Zat Warna Dispersi
Jenis ikatan yang terjadi antara gugus fungsional zat warna dispersi
dengan serat poliester ada 2 macam yaitu :
1. Efek ”Solid Colour”, dimana kedua macam serat di dalam campuran tersebut
dicelup dengan corak warna dan tingkat ketuaan warna yang sama misalnya
merah, kuning atau biru pada tingkat ketuaan warna yang sama.
3. Efek ”Tone in Tone”, di mana salah satu serat dalam campuran tersebut
tercelup lebih tua dari yang lainnya, misalnya biru tua dan biru muda.
Pada metoda ini digunakan satu larutan celup, yaitu larutan celup yang terdiri
dari zat warna dispersi dan zat-zat pembantunya dan dilanjutkan dengan
penambahan zat warna reaktif dan zat pembantunya dilakukan dalam satu tahap
namun dua kali penambahan zat warna dilarutan yang sama. Fiksasi zat warna
dispersi terjadi saat penurunan suhu sebelum zat warna reaktif dimasukan,
sedangkan fiksasi zat warna reaktif saat penurunan suhu kedua dan saat
penambahan Na2CO3.
3.1.2 Bahan
1. Kain T/C
2. Zat Warna Dispersi
3. Zat warna Reaktif
4. NaCl
5. Pendispersi Anionik
6. Teepol
7. Na2CO3
8. Soda ash
Pencelupan
Pencucian
Pengeringan
Evaluasi
3.3 Resep
3.3.1 Resep Standar
Variasi Orang Ke-
Kain Bahan
1 2 3 4
ZW Dispersi 1% 1% 1% 1%
ZW Reaktif 1% 1% 1% 1%
Asam Asetat 0,5 g/l 0,5 g/l 0,5 g/l 0,5 g/l
35%
Soda Ash 10 g/l 10 g/l 10 g/l 10 g/l
Waktu 15 30 45 60
Vlot 1:10
Waktu 15 menit
Suhu Optimum 80 °C
80°C
10 30 45 60 15
T (menit)
- Variasi 2 (30 Menit) ZW Reaktif, NaOH,
NaCl, Soda Ash Na2S2O4,
Deterjen
130°C
ZW Dispersi,
Asam Asetat,
Zat Pendispersi
85°C
80°C
10 30 60 75 15
T (menit)
- Variasi 3 (45 Menit)
NaOH,
ZW Reaktif, Na2S2O4,
NaCl, Soda Ash Deterjen
130°C
ZW Dispersi,
Asam Asetat,
Zat Pendispersi
85°C
80°C
10 30 75 90 15
T (menit)
- Variasi 4 (60 Menit)
NaOH,
ZW Reaktif,
Na2S2O4,
NaCl, Soda Ash
Deterjen
130°C
ZW Dispersi,
Asam Asetat,
Zat Pendispersi
85°C
80°C
10 30 90 105 15
T (menit)
V. Pembahasan
5.1 Analisis Warna Dari Pengaruh Variasi Waktu Terhadap Ketuaan Warna
Pada praktikum pencelupan T/C dengan zat warna disperse – reaktif
dengan metode exhaust one bath two stage (1B2S) dapat dipengaruhi oleh
beberapa faktor . Faktor tersebut diantaranya metode pencelupan, pH,
konsentrasi zat, waktu dan lain-lain. Namun, pada beberapa faktor tersebut
pada pengujian kali ini megamati pada faktor variasi waktu. Pada hasil
pengujian, ketuaan warna didapatkan pada hasil kain variasi ke 4 dengan
waktu 60 menit. Hal ini menunjukkan bahwa waktu yang digunakan sesuai
dengan resep standar sehingga menghasilkan warna yang lebih tua
dibandingkan pada variasi ke 1 hingga ke 3. Zat warna reaktif yang masuk
kedalam serat lebih banyak pada variasi ke 4, karena zat warna masuk
kedalam serat dengan waktu yang tepat, sementara pada variasi ke 1 hingga
ke 3 zat warna belum seluruhnya masuk kedalam serat karena waktu yang
digunakan relative lebih sedikit sehingga zat warna ada yang masih
menempel pada permukaan serat. Ikatan yang terbentuk belum sempurna,
sehingga memudahkan zat warna untuk lepas kembali pada serat, sehingga
pada saat pencucian zat warna akan terlepas kembali.
Pada hasil variasi yang telah dilakukan, didapatkan hasil yang lebih
baik terdapat pada kain 4 atau dengan variasi 4 yaitu waktu dengan 60 menit.
Memiliki warna yang lebih tua dibandingkan dengan variasi ke 1, 2, dan 3.
Sehingga dapat dilihat pada hasil analiasi warna dengan melihat nilai L yang
terdapat pada hasil pencelupan 4.2.
5.2 Analisis Warna Dari Pengaruh Variasi Waktu Terhadap Nilai L,a,b
Standar
Tingkat ketuaan dan kecendrungan arah warna pada kain dapat
dilihat dari nilai L,a,b pada hasil pencelupan 4.2. Berdasarkan hasil data yang
telah diperoleh mendapatkan nilai L*a*b standar pada sampel variasi waktu
keempat yaitu 60 menit. Mendapatkan nilai L= 40, ini menunjukkan bahwa
warna sampel standar menunjukkan warna cenderung pada arah yang lebih
terang, hal ini karena nilai yang dihasilkan adalah positif. Pada variasi ke 1
hingga ke 3 memungkinkan akan menghasiljan warna yang lebih muda, hal
ini karena waktu yang digunakan tidak sesuai dengan standar sehingga
dalam penyerapannya tidak maksimal. Untuk nilai a* = - 5,80, menunjukkan
bahwa warna sampel standar menunjukkan warna cenderung pada arah
hijau, hal ini karena nilai yang dihasilkan adalah negatif. Sedangkan pada
variasi ke 1 sampai ke 3 memungkinkan menghasilkan nilai yang lebih besar,
karena pengaruh dari waktu yang digunakan lebih sedikit. Kemudian untuk
nilai b* = -18,19, menunjukkan bahwa warna sampel standar menunjukkan
warna cenderung pada arah biru, hal ini karena nilai yang dihasilkan adalah
negatif dan memiliki waktu pencelupan yang lebih lama dibandingkan dengan
variasi 1 hingga variasi ke 3.
Untuk hasil K/S, pada contoh uji standar diperoleh nilai 6,3655, ini
menunjukkan bawah dalam penyerapan mendapatkan hasil yang lebih baik.
Karena semakin tinggi nilai K/S yang diperoleh maka penyerapan zat warna
oleh bahan lebih besar atau warnanya. Sedangkan pad variasi ke 1 hingga ke
3 memungkinkan warna yang dihasilkna mendapatkan nilai yang lebih kecil,
karena kurangnya waktu fiksasi zat warna kedalam serat.
VI. KESIMPULAN
Berdasarkan uraian dari pembahasan pada bab 5, maka dapat
disimpulkan bahwa waktu merupakan salah satu faktor yang dapat
menyebabkan terhadap ketuaan warna, sehingga dengan memvariasikan
waktu didapat hasil yang paling optimal terdapat pada variasi ke 4 dengan
waktu 60 menit. Semakin besar waktu yang diberikan maka akan
menghasilkan L semakin kecil, nilai a*, nilai b* dan nilai K/S semakin besar,
namun pada titik tertentu harus diperhatikan juga terhadap sifat dari masing-
masing serat tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
1. Soeprijono.P. Serat-Serat Tekstil. Institut Teknologi Tekstil. 1973.
2. Rasjid Djufri, dkk., Teknologi Pengelantangan, Pencelupan dan Pencapan. Bandung.
Institut Teknologi Tekstil. 1976.
3. Dede Karyana, Elly K. Bahan Ajar Praktikum Pencelupan I. Bandung: Sekolah Tinggi
Teknologi Tekstil. 2005.
4. Sunarto. Jilid 2 Teknologi Pencelupan dan Pencapan. Departemen Pendidikan
Jakarta : 2008.
5. Khanifarifin. September 2011. Zat Warna Reaktif (Diakses 3 Maret 2021).
6. Sperakhwat08. Agustus 2013. Pencelupan Dispersi Reaktif 2 bath 2 stage metoda
kontinyu. (Diakses 2 Maret 2021)