Anda di halaman 1dari 26

ASUHAN KEPERAWATAN ANESTESI PADA PASIEN BPH

POST OPERASI TURP DENGAN REGIONAL ANESTESI


DIRUANG PEMULIHAN OK BAYU ASIH PURWAKARTA

DISUSUN OLEH
HERMANTO HUTABARAT
NIM 2014301128
KELOMPOK 6

FAKULTAS KESEHATAN
PROGRAM STUDI D4 KEPERAWATAN ANESTESI
INSTITUT TEKNOLOGI DAN KESEHATAN BALI
DENPASAR
2020
LAPORAN PENDAHULUAN

A.KONSEP TEORI PENYAKIT

1. DEFENISI

Hiperplasia prostat jinak (BPH) adalah pembesaran kelenjar prostat nonkanker,

(Corwin, 2000).

Hiperplasia prostat jinak (BPH) adalah penyakit yang disebabkan oleh penuaan.

Price&Wilson (2005).

Hiperplasia prostat jinak (BPH) adalah pembesanan prostat yang jinak bervariasi berupa

hiperplasia kelenjar atauhiperplasia fibromuskular. Namun orang sering menyebutnya

dengan hipertropi prostat namun secarahistologi yang dominan adalah hyperplasia

(Sabiston, David C,2004)

BPH (Hiperplasia prostat benigna) adalah suatu keadaan di mana kelenjar prostat

mengalami pembesaran, memanjang ke atas ke dalam kandung kemih dan menyumbat

aliran urin dengan menutup orifisium uretra. BPH merupakan kondisi patologis yang

paling umum pada pria. (Smeltzer dan Bare, 2002)

2. ETIOLOGI

Penyebab yang pasti dari terjadinya BPH sampai sekarang belum diketahui. Namun

yang pasti kelenjar prostat sangat tergantung pada hormon androgen. Faktor lain yang

erat kaitannya denganBPH adalah proses penuaan Ada beberapa factor kemungkinan

penyebab antara lain

1.  Dihydrotestosteron

Peningkatan 5 alfa reduktase dan reseptor androgen menyebabkan epitel dan stroma dari

kelenjar prostat mengalami hiperplasi .

2.  Perubahan keseimbangan hormon estrogen – testoteron


Pada proses penuaan pada pria terjadi peningkatan hormon estrogen dan penurunan

testosteron yang mengakibatkan hiperplasi stroma.

3.  Interaksi stroma – epitel

Peningkatan epidermal gorwth factor atau fibroblast growth factor dan penurunan

transforming growth factor beta menyebabkan hiperplasi stroma dan epitel.

4.  Berkurangnya sel yang mati

Estrogen yang meningkat menyebabkan peningkatan lama hidup stroma dan epitel dari

kelenjar prostat

3. TANDA DAN GEJALA

1.  Gejala iritatif meliputi  :

a. Peningkatan frekuensi berkemih

b. Nokturia (terbangun pada malam hari untuk miksi)

c. Perasaan ingin miksi yang sangat mendesak/tidak dapat ditunda (urgensi)

d. Nyeri pada saat miksi (disuria)

2.  Gejala obstruktif meliputi :

a. Pancaran urin melemah

b. Rasa tidak puas sehabis miksi, kandung kemih tidak kosong dengan baik

c. Kalau mau miksi harus menunggu lama

d. Volume urin menurun dan harus mengedan saat berkemih

e. Aliran urin tidak lancar/terputus-putus

f. Urin terus menetes setelah berkemih

g. Waktu miksi memanjang yang akhirnya menjadi retensi urin dan inkontinensia karena

penumpukan berlebih.

h. Pada gejala yang sudah lanjut, dapat terjadi Azotemia (akumulasi produk sampah

nitrogen) dan gagal ginjal dengan retensi urin kronis dan volume residu yang besar.

3.  Gejala generalisata seperti seperti keletihan, anoreksia, mual dan muntah, dan rasa tidak

nyaman pada epigastrik.


Berdasarkan keluhan dapat dibagi menjadi :

a. Derajat I : penderita merasakan lemahnya pancaran berkemih, kencing tak puas,

frekuensi kencing bertambah terutama pada malam hari

b. Derajat II : adanya retensi urin maka timbulah infeksi. Penderita akan mengeluh

waktu miksi terasa panas (disuria) dan kencing malam bertambah hebat.

c. Derajat III : timbulnya retensi total. Bila sudah sampai tahap ini maka bisa timbul

aliran refluk ke atas, timbul infeksi ascenden menjalar ke ginjal dan dapat

menyebabkan pielonfritis, hidronefrosis.

4. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK / PENUNJANG

A. Urinalisa

Analisis urin dan mikroskopik urin penting untuk melihat adanya sel leukosit,sedimen,

eritrosit, bakteri dan infeksi. Bila terdapat hematuri harus diperhitungkan adanya etiologi

lain seperti keganasan pada saluran kemih, batu, infeksi saluran kemih, walaupun BPH

sendiri dapat menyebabkan hematuri. Elektrolit, kadar ureum dan kreatinin darah

merupakan informasi dasar dari fungsi ginjal dan status metabolik.

B. Pemeriksaan prostate spesific antigen (PSA) dilakukan sebagai dasar penentuan

perlunya biopsi atau sebagai deteksi dini keganasan. Bila nilai PSA < 4 ng/ml tidak perlu

biopsi. Sedangkan bila nilai PSA 4-10 ng/ml, dihitung Prostate specific antigen density

(PSAD) yaitu PSA serum dibagi dengan volume prostat. Bila PSAD > 0,15, sebaiknya

dilakukan biopsi prostat, demikian pula bila nilai PSA > 10 ng/ml

C. Pemeriksaan darah lengkap

Karena perdarahan merupakan komplikasi utama pasca operatif maka semua defek

pembekuan harus diatasi. Komplikasi jantung dan pernafasan biasanya menyertai

penderita BPH karena usianya yang sudah tinggi maka fungsi jantung dan pernafasan

harus dikaji.

Pemeriksaan darah mencakup Hb, leukosit, eritrosit, hitung jenis leukosit, CT, BT,

golongan darah, Hmt, trombosit, BUN, kreatinin serum.


D. Pemeriksaan radiologis

Biasanya dilakukan foto polos abdomen, pielografi intravena, USG, dan sitoskopi. Tujuan
pencitraan untuk memperkirakan volume BPH, derajat disfungsi buli, dan volume residu urin.
Dari foto polos dapat dilihat adanya batu pada traktus urinarius, pembesaran ginjal atau buli-
buli. Dapat juga dilihat lesi osteoblastik sebagai tanda metastase dari keganasan prostat serta
osteoporosis akibat kegagalan ginjal. Dari Pielografi intravena dapat dilihat supresi komplit
dari fungsi renal, hidronefrosis dan hidroureter, gambaran ureter berbelok-belok di vesika
urinaria, residu urin. Dari USG dapat diperkirakan besarnya prostat, memeriksa massa ginjal,
mendeteksi residu urin dan batu ginjal. BNO /IVP untuk menilai apakah ada pembesaran dari
ginjal apakah terlihat bayangan radioopak daerah traktus urinarius. IVP untuk melihat
/mengetahui fungsi ginjal apakah ada hidronefrosis. Dengan IVP buli-buli dapat dilihat
sebelum, sementara dan sesudah isinya dikencingkan. Sebelum kencing adalah untuk melihat
adanya tumor, divertikel. Selagi kencing (viding cystografi) adalah untuk melihat adanya
refluks urin. Sesudah kencing adalah untuk menilai residual urin.

5. PENATALAKSANAAN MEDIS

A. Penatalaksanaan Terapi

Rencana pengobatan tergantung pada penyebab, keparahan obstruksi, dan kondisi pasien. Jika
pasien masuk RS dengan kondisi darurat  karena ia tidak dapat berkemih maka kateterisasi segera
dilakukan. Pada kasus yang berat mungkin digunakan kateter logam dengan tonjolan kurva prostatik.
Kadang suatu insisi dibuat ke dalam kandung kemih (sitostomi supra pubik) untuk drainase yang
adekuat. Jenis pengobatan pada BPH  antara lain:

1. Observasi (watchfull waiting)

Biasa dilakukan pada pasien dengan keluhan ringan. Nasehat yang diberikan adalah

mengurangi minum setelah makan malam untuk mengurangi nokturia, menghindari

obat-obat dekongestan, mengurangi minum kopi dan tidak diperbolehkan minum

alkohol agar tidak terlalu sering miksi. Setiap 3 bulan dilakukan kontrol keluhan, sisa

kencing, dan pemeriksaan colok dubur.

2. Terapi medikamentosa

Penghambat adrenergik a (prazosin, tetrazosin) : menghambat reseptor pada otot polos di


leher vesika, prostat sehingga terjadi relaksasi. Hal ini akan menurunkan tekanan pada uretra
pars prostatika sehingga gangguan aliran air seni dan gejala-gejala berkurang. Penghambat
enzim 5-a-reduktase, menghambat pembentukan DHT sehingga prostat yang membesar
akan mengecil.

B. Penatalaksanaan Operatif

A. Terapi bedah
Tergantung pada beratnya gejala dan komplikasi. Indikasi absolut untuk terapi bedah

yaitu :

-          Retensi urin berulang

-          Hematuri

-          Tanda penurunan fungsi ginjal

-          Infeksi saluran kemih berulang

-          Tanda obstruksi berat seperti hidrokel

-          Ada batu saluran kemih

1.  Prostatektomi

Pendekatan transuretral merupakan pendekatan tertutup. Instrumen bedah dan optikal

dimasukan secara langsung melalui uretra ke dalam prostat yang kemudian dapat dilihat

secara langsung. Kelenjar diangkat dalam irisan kecil dengan loop pemotong listrik.

Prostatektomi transuretral jarang menimbulakan disfungsi erektil tetapi dapat

menyebabkan ejakulasi retrogard karena pengangkatan jaringan prostat  pada kolum

kandung kemih dapat menyebabkan cairan seminal mengalir ke arah belakang ke dalam

kandung kemih dan bukan melalui uretra.

a) Prostatektomi Supra pubis.

Adalah salah satu metode mengangkat kelenjar melalui insisi abdomen. Yaitu suatu

insisi yang dibuat kedalam kandung kemih dan kelenjar prostat diangkat dari atas.

b) Prostatektomi  Perineal.

Adalah mengangkat kelenjar melalui suatu insisi dalam perineum. Cara ini lebih praktis

dibanding cara yang lain, dan sangat berguna untuk biopsi terbuka. Lebih jauh lagi

inkontinensia, impotensi, atau cedera rectal dapat mungkin terjadi  dari cara ini.

Kerugian lain adalah kemungkinan kerusakan pada rectum dan spingter eksternal serta 

bidang operatif terbatas.

c) Prostatektomi retropubik.
Adalah insisi abdomen lebih rendah mendekati kelenjar prostat, yaitu antara arkus

pubis  dan kandung kemih tanpa memasuki kandung kemih. Keuntungannya adalah

periode pemulihan lebih singkat serta kerusakan spingter kandung kemih lebih sedikit.

Pembedahan seperti prostatektomi dilakukan untuk membuang jaringan prostat yang

mengalami hiperplasi. Komplikasi yang mungkin terjadi pasca prostatektomi mencakup

perdarahan, infeksi, retensi oleh karena pembentukan bekuan, obstruksi kateter dan

disfungsi seksual. Kebanyakan prostatektomi tidak menyebabkan impotensi, meskipun

pada prostatektomi perineal dapat menyebabkan impotensi akibat kerusakan saraf

pudendal. Pada kebanyakan kasus aktivitas seksual dapat dilakukan kembali dalam 6

sampai 8 minggu karena saat itu fossa prostatik telah sembuh. Setelah ejakulasi maka

cairan seminal mengalir ke dalam kandung kemih dan diekskresikan bersama uin.

Perubahan anatomis pada uretra posterior menyebabkan ejakulasi retrogard.

d) Insisi Prostat Transuretral ( TUIP ).

Yaitu suatu prosedur  menangani BPH dengan cara memasukkan instrumen melalui

uretra. Satu atau dua buah insisi dibuat pada prostat dan kapsul prostat untuk

mengurangi tekanan prostat pada uretra dan mengurangi kontriksi uretral. Cara ini

diindikasikan ketika kelenjar prostat berukuran kecil (30 gram/kurang) dan efektif

dalam mengobati banyak kasus BPH. Cara ini dapat dilakukan  di klinik rawat jalan dan

mempunyai angka komplikasi lebih rendah di banding cara lainnya.

e) TURP ( TransUretral Reseksi Prostat )

TURP adalah suatu operasi pengangkatan jaringan prostat lewat uretra menggunakan

resektroskop, dimana resektroskop merupakan endoskop dengan tabung 10-3-F untuk

pembedahan uretra yang dilengkapi dengan alat pemotong dan counter yang

disambungkan dengan arus listrik. Tindakan ini memerlukan pembiusan umum maupun

spinal dan merupakan tindakan invasive yang masih dianggap aman dan tingkat

morbiditas minimal. TURP merupakan operasi tertutup tanpa insisi serta tidak

mempunyai efek merugikan terhadap potensi kesembuhan. Operasi ini dilakukan pada
prostat yang mengalami pembesaran antara 30-60 gram, kemudian dilakukan reseksi.

Cairan irigasi digunakan secara terus-menerus dengan cairan isotonis selama prosedur.

Setelah dilakukan reseksi, penyembuhan terjadi dengan granulasi dan reepitelisasi

uretra pars prostatika  (Anonim,FK UI,2005).

Setelah dilakukan TURP, dipasang kateter Foley tiga saluran no. 24 yang dilengkapi

balon 30 ml, untuk memperlancar pembuangan gumpalan darah dari kandung kemih.

Irigasi kanding kemih yang konstan dilakukan setelah 24 jam bila tidak keluar bekuan

darah lagi. Kemudian kateter dibilas tiap 4 jam sampai cairan jernih. Kateter dingkat

setelah 3-5 hari setelah operasi dan pasien harus sudah dapat berkemih dengan lancar.

B. PERTIMBANGAN ANESTESI
1. DEFENISI ANESTESI
Anestesi adalah menghilangnya rasa nyeri, dan menurut jenis kegunaannya
dibagi menjadi anestesi umum yang disertai hilangnya kesadaran, sedangkan
anestesi regional dan anestesi local menghilangya rasa nyeri disatu bagian tubuh
saja tanpa menghilangnya kesadaran (Sjamsuhidajat & De Jong, 2012).
Anestesi merupakan tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan
pembedahan dan berbagai prosedur lain yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh
(Morgan, 2011)
Anestesi merupakan suatu tindakan untuk menghilangkan rasa ketika
dilakukan pembedahan dan berbagai prosedur lain yang menimbulkan rasa sakit,
dalam hal ini rasa takut perlu ikut dihilangkan untuk menciptakan kondisi optimal
bagi pelaksanaan pembedahan (Sabiston, 2011).
Dari beberapa definisi anestesi menurut para ahli maka dapat disimpulkan
bahwa Anestesti merupakan suatu tindakan menghilangkan rasa sakit pada saat
pembedahan atau melakukan tindakan prosedur lainnya yang menimbulkan rasa
sakit dengan cara trias anestesi yaitu hipnotik, analgetik, relaksasi.

2. JENIS ANESTESI
a. General Anestesi
Anestesi umum melibatkan hilangnya kesadaran secara penuh. Anestesi
umum dapat diberikan kepada pasien dengan injeksi intravena atau melalui
inhalasi (Royal College of Physicians (UK), 2011).
Anestesi umum meliputi:

 Induksi inhalasi, rumatan anestesi dengan anestetika inhalasi


(VIMA=Volatile Induction and Maintenance of Anesthesia)
 Induksi intravena, rumatan anestesi dengan anestetika intravena
(TIVA=Total Intravenous Anesthesia)

Anestesi umum merupakan suatu cara menghilangkan seluruh sensasi dan


kesadarannya. Relaksasi otot mempermudah manipulasi anggota tubuh.
Pembedahan yang menggunakan anestesi umum melibatkan prosedur mayor,
yang membutuhkan manipulasi jaringan yang luas.

b. Regional Anestesi
1.Pengertian anestesi spinal
Anestesi spinal adalah injeksi agen anestesi ke dalam ruang intratekal,
secara langsung ke dalam cairan serebrospinalis sekitar region lumbal di
bawah level L1/2 dimana medulla spinalis berakhir (Keat, dkk, 2013).
Spinal anestesi merupakan anestesia yang dilakukan pada pasien yang
masih dalam keadaan sadar untuk meniadakan proses konduktifitas pada
ujung atau serabut saraf sensori di bagian tubuh tertentu (Rochimah, dkk,
2011).

2. Tujuan anestesi spinal


Menurut Sjamsuhidayat & De Jong tahun 2010 anestesi spinal dapat
digunakan untuk prosedur pembedahan, persalinan, penanganan nyeri
akut maupun kronik.
3.Kontraindikasi anestesi spinal
Menurut Sjamsuhidayat & De Jong tahun 2010 anestesi regional yang
luas seperti spinal anestesi tidak boleh diberikan pada kondisi hipovolemia
yang belum terkontrol karena dapat mengakibatkan hipotensi berat.
Komplikasi yang dapat terjadi pada spinal anestesi menurut
Sjamsuhidayat & De Jong tahun 2010, ialah :
a) Hipotensi terutama jika pasien tidak prahidrasi yang cukup
b) Blokade saraf spinal tinggi, berupa lumpuhnya pernapasan dan
memerlukan bantuan napas dan jalan napas segera.
c) Sakit kepala pasca pungsi spinal, sakit kepala ini bergantung pada
besarnya diameter dan bentuk jarum spinal yang digunakan.
4) Jenis – Jenis Obat Spinal Anestesi
Lidokain, Bupivakain, dan tetrakain adalah agen anestesi lokal yang
utama digunakan untuk blockade spinal. Lidokain efektif untuk 1 jam,
dan bupivacaine serta tetrakain efektif untuk 2 jam sampai 4 jam (Reeder,
S., 2011). Berikut ini uraian obat spinal anestesi :
1. Lidokain
a) Onset kerja : cepat
b) Dosis maksimum : 3-5mg/kg
c) Durasi kerja : Pendek 60-180 menit tergantung penggunaan
d) Efek samping : toksisitas kardiak lebih rendah dibandingkan
bupivakain

e) Metabolisme : Hati
Lidocain sangat popular dan digunakan untuk blok saraf, infitrasi dan
anestesi regional intravena begitu juga topical, epidural dan itratekal.
Bagaimanapun juga ini termasuk antiaritmik kelas 1B dan dapat
digunakan untuk terapi takikardi.
2. Bupivakain
a) Onset kerja : blok nervous 40 menit, epidural 15-20 menit, intratekal
30 detik
b) Durasi kerja : blok saraf sampai 24 jam; epidural 3-4 jam;
intrakardial 2-3 jam

c) Efek samping : lebih cenderung mengakibatkan toksisitas kardiak


berupa penurunan tekanan darah dibandingkan obat anestesi lokal
lainnya
d) Eliminasi : Ginjal

Bupivakain lazim digunakan untuk spinal anestesi. Menggunakan plain


bupivacaine membuatnya dapat naik ke atas atau turun ke bawah, yang
dapat mengakibatkan peningkatan blok yang membahayakan fungsi
respirasi dan kardio. Jika dekstrosa ditambahkan akan menjadi berat
(heavy) dan akan mengalir lebih dapat diprediksi turun ke tulang
belakang, hanya memengaruhi saraf yang non esensial. Larutan plain
dapat menyebabkan hipotensi yang lebih sedikit tapi pasien harus tidur
terlentang (Keat, dkk., 2013).
3. Tetrakain
Tetrakain (pantocaine), suatu ester amino kerja – panjang, secara
signifikan lebih paten dan mempunyai durasi kerja lebih panjang
daripada anestetik lokal jenis ester lain yang umum digunakan. Obat
ini banyak digunakan pada spinal anestesi ketika durasi kerja obat
yang panjang diperlukan. Tetrakain juga ditambahkan pada beberapa
sediaan anestetik topikal. Tetrakain jarang digunakan pada blokade
saraf perifer karena sering diperlukan dosis yang besar, onsetnya yang
lambat, dan berpotensi menimbulkan toksisitas (Brunton, dkk, 2011)
5) Teknik Pemberian Spinal Anestesi
Teknik pemberian spinal anestesi menurut Gruendemann &
fernsebner, tahun 2011 ialah :
a) Klien diletakkan pada satu dari beberapa posisi yang
memaksimalkan kemungkinan pungsi dicelah antara vertebra
lumbal kedua dan sakral pertama. Posisi paling sering diambil
adalah decubitus lateral, yang baik bagi klien yang mendapat
sedasi. Selain itu, posisi duduk diindikasikan untuk klien gemuk
apabila tanda – tanda patokan anatomis sulit diidentifikasi.
Kadang- kadang posisi ‘pisau lipat’ telungkup digunakan untuk
klien yang menjalani pembedahan rektum.
b) Sewaktu klien diletakkan dalam posisi decubitus lateral, klien akan
berbaring pada salah satu sisinya, sangat dekat dengan tepi tempat
tidur. Panggul, punggung, dan bahu harus sejajar dengan tepi tempat
tidur. Apabila klien ditempatkan dengan benar, sebuah garis
imajiner anatar bagian atas kedua krista iliaka akan berjalan melalui
vertebra L4 atau 12 antar – ruang L4-5. Tanda petunjuk ini
digunakan untuk menentukan lokasi antar – ruang lumbal tempat
pungsi dilakukan.
c) Sebelum dilakukan pungsi, klien dibantu untuk menarik kedua
lututnya kearah dada dan menekuk kepala dan leher kearah dada.
Dengan demikian, punggung akan melengkung, sehingga prosesus
spinalis terbuka secara maksimum.
d) Prosedur pungsi spinal pada dasarnya sama dengan berbagai posisi
klien, baik posisi duduk atau ‘pisau lipat’. Klien dalam posisi duduk
memerlukan penopang yang kuat dibawah kaki mereka dan harus
dibantu untuk condong ke depan dengan lengan ditekuk agar
punggung melengkung. Dalam posisi ini, klien dapat ditopang oleh
perawat atau oleh sebuah cantelan mayo yang terpasang kuat.
e) Setelah pungsi dilakukan dan cairan serebrospinalis mengalir
melalui aspirasi lembut alat suntik yang dihubungkan dengan jarum
spinal, obat anestetik lokal dapat disuntikan dengan kecepatan
sekitar 1 ml sampai 5 sampai 10 detik. Penyebaran anestetik lokal
melalui cairan serebrospinalis dipengaruhi oleh dosis total yang
disuntikkan, konsentrasi larutan, keadaan kanalis spinalis, dan posisi
klien selama dan segera, setelah suntikan anestetik lokal.
f) Setelah obat disuntikkan di klien perlu diposisikan dengan
ketinggian anestesi yang dapat dicapai sehingga memblok serabut
yang menpersarafi kulit dan organ internal yang akan dikenal oleh
prosedur operasi.
3. TEKNIK ANESTESI
Sebelum memilih teknik anestesi yang digunakan, terdapat beberapa hal yang
perlu diperhatikan diantaranya keselamatan dari ibu, keselamatan bayi,
kenyamanan ibu serta kemampuan operator di dalam melakukan operasi pada
penggunaan anestesi tersebut. Menurut Mangku G & Senapathi T tahun 2018
pada sectio caesarea terdapat dua kategori umum anestesi diantaranya Generał
Anesthesia (GA) dan Regional Anesthesia (RA) dimana pada RA termasuk dua
teknik yakni teknik spinal dan teknik epidural. Teknik anestesi dengan GA
biasanya digunakan untuk operasi yang emergensi dimana tindakan tersebut
memerlukan anestesi segera dan secepat mungkin. Teknik anestesi GA juga
diperlukan apabila terdapat kontraindikasi pada teknik anestesi RA, misalnya
terdapat peningkatan pada tekanan intrakranial dan adanya penyebaran infeksi di
sekitar vertebra.
Terdapat beberapa resiko dari GA yang dapat dihindari dengan menggunakan
teknik RA, oleh karena itu lebih disarankan penggunaan teknik anestesi RA
apabila waktu bukan menupakan suatu prioritas. Penggunaan RA spinal dan RA
epidural lebih disarankan untuk digunakan dibandingkan dengan teknik GA pada
sebagian kasus sectio caesarea. Salah satu alasan utama pemilihan teknik anestesi
RA dibandingkan dengan GA adalah adanya resiko gagalnya intubasi trakea serta
aspirasi dari isi lambung pada teknik anestesi GA. Selain itu, GA juga
meningkatkan kebutuhan resusitasi pada neonatus (Fyneface, S. O 2thed)

4. RUMATAN ANESTESI
Selama oprasi berlangsung di lakukan pemantauan anestesi hal-hal yang di pantau
adalah fungsi vital( Pernapasan, tekanan darah, nadi misalnya perubahan pola
napas , takikardia, hipertensi, cairan infus di berikan memperhitungkan kebutuhan
puasa, rumatan, perdarahan, eroprosi dll. Jenis cairan yang di berikan dapat berupa
kristaloid (ringer laktat, NaCL dextrosa 5% ), koloid .(plasma expander, albumin
5% )/Tranfusi darah bila perdarahan terjadi lebih dari 20% volume darah.
a. Regional Anestesi
a) Oksigen nasal 2 Liter/menit
b) Obat Analgetik
c) Obat Hipnotik Sedatif
d) Obat Efedrin
b. General Anestesi
a) Induksi inhalasi, rumatan anestesi dengan anestetika inhalasi
(VIMA=Volatile Induction and Maintenance of Anesthesia).
b) Induksi intravena, rumatan anestesi dengan anestetika intravena
(TIVA=Total Intravenous Anesthesia)
c) Obat Pelumpuh Otot
d) Obat Analgetik
e) Obat Hipnotik Sedatif
f) Obat sulfat Atropin, Efedrin, Dexamethason

5. RESIKO
a. Gangguan kardiovaskuler :
Penurunan curah jantung
b. Gangguan respirasi :
Pola nafas tidak efektif
c. Gangguan termoregulasi :
Hipotermi
d. Gastrointestinal
Rasa mual dan muntah
e. Resiko infeksi :
Luka insisi post operasi
f. Nyeri :
Proses kontraksi
Terputusnya kontinuitas jaringan kulit
g. Resiko Jatuh
Efek obat anestesi, Blok pada saraf motorik
h. Ansietas :Ketakutan akan tindakan pembedahan.
REGIONAL ANESTESI

INTRA

ANESTESI
MASALAH YANG
PASCA

MUNCUL
ANESTESI

Teknik pembiusan

Tindakan pembedahan
Depresi pernapasan

Terputusnya kontinuitas jaringan


PK Disfungsi Respirasi

Luka insisi post op

Teknik pembiusan
Nyeri Akut

Efek obat anestesi pada

gastrointestinal Teknik pembiusan

PK Disfungsi Efek obat anestesi


gast

Blok pada saraf motorik

Tindakan pembedahan

Resiko Jatuh

Terdapat luka insisi


Perdarahan

WOC BPH Post Op.

BPH
Teknik pembiusan Teknik pembiusan

Efek obat spinal Suhu ruangan


Spinal anestesi TUR P

Pengaruh obat anestesi Vasodilatasi Proses pembedahan Menggigil Nyeri akut


dan lingkungan

Diskontinuitas jaringan
Hipote
nsi HipotermiResiko kerusakan integritas kulit
Mempengaruhi hipotalamus

Resiko infeksi
Vasodilatasi pembuluh darah Perdarahan

Resiko perdarahan
Pemaparan panas Drainase deuresis
keseluruh tubuh yang cepat

Hipotermia Resiko ketidakseimbangan elektrolit


D.TINJAUAN TEORI ASKAN
1. Pengkajian
Pengkajian merupakan dasar proses keperawatan yang bertujuan untuk
mengumpulkan data tentang penderita agar dapat mengidentifikasi kebutuhan
serta masalahnya. Pengkajian meliputi :
a. Data Subjektif
1) Pasien mengeluh nyeri pada bagian perut bawah
2) Pasien mengatakan takut di operasi
3) Pasien merasa tidak dapat rileks
4) Pasien mengatakan belum pernah menjalani operasi
5) Pasien mengeluh mual dan pusing
6) Pasien mengatakan kedinginan
7) Pasien merasa badan lemas
8) Pasien mengatakan cemas
9) Pasien mengeluh mules dan diare
10) Pasien mengatakan kaki sulit digerakkan
b. Data obyektif
1) Skala nyeri sedang sampai berat
2) Wajah pasien tampak grimace
3) Mukosa bibir kering dan pucat
4) Akral teraba dingin
5) CRT >3 detik
6) Tekanan darah pasien diatas batas normal
7) Denyut nadi agak cepat dan tidak teratur
8) Pasien tampak lemah
9) Suhu tubuh >38,4oC

2. Masalah Kesehatan Anestesi


Pre Anestesi :
a. Nyeri akut
b. Hipertermia
c. Ansietas
Intra Anestesi :
a. Risiko perdarahan
b. Komplikasi potensial syok kardiogenik
c. Hipotermia
Post Anestesi :
a. Risiko infeksi
b. Hambatan mobilitas ekstremitas bawah
c. Risiko jatuh

3. Perencanaan Intervensi
Pre Anestesi :
a. Nyeri akut
1) Tujuannya adalah setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan nyeri
hilang atau terkontrol, klien tampak rileks.
2) Kriteria hasil :
a) Pasien mangatakan nyeri berkurang atau hilang
b) Pasien mampu istirahat atau tidur
c) Ekspresi wajah nyaman atau tenang
d) TTV dalam batas normal (TD : 100-120/70-80 mmHg, N : 60-100 x/mnt
R : 16-24 x/mnt, S : 36,5-37,5oC)
3) Rencana tinadakan:
a) Observasi tanda-tanda vital
b) Identifikasi derajat, lokasi, durasi, frekwensi dan karakteristik nyeri
c) Lakukan Teknik komunikasi terapeutik
d) Ajarkan Teknik relaksasi
e) Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian analgetik
b. Risiko kekurangan volume cairan
1) Tujuannya adalah setelah dilakukan keperawatan diharapkan keseimbangan
cairan dalam ruang intrasel dan ektrasel tubuh tercukupi.
2) Kriteria hasil :
a) Pasien menyatakan tidak haus/tidak lemas
b) Akral kulit hangat
c) Haemodinamik normal
d) Masukan cairan dan keluaran cairan seimbang
e) Urine output 1-2 cc/KgBB/jam
f) Hasil lab elektrolit darah normal
3) Rencana tindakan :
a) Kaji tingkat kekurangan volume cairan
b) Kolaborasi untuk pemberian cairan dan elektrolit
c) Monitor masukan dan keluaran cairan dan elektrolit
d) Monitor haemodinamik
e) Monitor perdarahan
c. Hipertermi
1) Tujuannya adalah setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan suhu
tubuh pasien menurun.
2) Kriteria hasil :
a) Pasien tidak mengeluh demam
b) Suhu tubuh pasien dalam batas normal
B. Recana tindakan:
a) Monitoring suhu tubuh pasien
b) Beri kompres hangat
c) Pertahankan intake cairan
d) Kolaborasi pemberian antipiretik
d. Ansietas
1) Tujuannya adalah setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan cemas
berkurang/hilang.
2) Kriteria hasil :
a) Pasien menyatakan tahu tentang proses kerja obat anestesi/pembiusan
b) Pasien menyatakan siap dilakukan pembiusan
c) Pasien mengkomunikasikan perasaan negative secara tepat
d) Pasien tampak tenang dan kooperatif
e) Tanda-tanda vital normal
3) Rencana tindakan :
a) Kaji tingkat ansietas, catat verbal dan non verbal pasien.
b) Jelaskan jenis prosedur tindakan prosedur yang akan dilakukan
c) Berikan dorongan pada pasien untuk mengungkapkan perasaan
d) Ajarkan teknik relaksasi
e) Kolaborasi untuk pemberian obat sedasi

Intra Anestesi :
a. Risiko Perdarahan
1) Tujuannya adalah setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan tidak
terjadi perdarahan pada saat pembedahan.
2) Kriteria hasil :
a) Tidak ada tanda tanda perdarahan
b) Tekanan darah dalam batas normal
c) Tidak ada kehilngan darah yang terlihat
3) Rencana tindakan :
a) Monitor ketat tanda tanda perdarahan
b) Monitor TTV
c) Monitor status cairan (intake dan output)
d) Kolaborasi pemberian transfusi darah
b. Komplikasi potensial syok kardiogenik
1) Tujuannya adalah setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan pompa
jantung dan sirkulasi efektif.
2) Kriteria hasil :
a) TTV dalam batas normal
b) Denyut jantung dalan batas normal
c) Hipotensi aorta statis tidak ada
d) Distensi vena leher tidak ada
e) Pasien mengatakan tidak pusing
f) Denyut nadi perifer kuat dan teratur
3) Rencana tindakan :
a) Atur posisi pasien
b) Kaji toleransi aktivitas : awal napas pendek, nyeri, pusing, palpitasi
c) Monitoring TTV
d) Beri oksigen
e) Kolaborasi dengan dokter
c. Hipotermia
1) Tujuannya adalah setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan pasien
menunjukkan termoregulasi.
2) Kriteria hasil :
a) Akral hangat
b) Suhu tubuh dalam batas normal (36,5-37,5oC)
c) CRT <2 detik
d) Pasien mengatakan tidak kedinginan
e) Pasien tampak tidak menggigil
3) Rencana tindakan :
a) Monitoring TTV
b) Berikan selimut hangat
c) Berikan infus hangat
d) Kolaborasi pemberian obat untuk mencegah/mengurangi menggigil

Post Anestesi :
a. Resiko infeksi
1) Tujuannya adalah setelah dilakukannya tindakan keperawatan diharapkan
meningkatkan penyembuhan luka dengan benar, bebas tanda infeksi.
2) Kriteri hasil :
a) Tanda-tanda infeksi tidak terjadi (kalor, dolor, rubor, tumor, fungsiolesa)
b) Suhu tubuh dalam batas normal.
c) Hasil pemeriksaan lab post operasi dalam batas normal
3) Rencana tindakan :
a) Monitoring tanda-tanda vital
b) Lakukan perawatan luka dengan teknik septik dan antiseptic
c) Ajarkan pasien untuk menjaga lukanya agar tetap bersih
d) kolaborasi dalam pemberian antibiotik sesuai indikasi.
b. Hambatan mobilitas ekstremitas bawah
1) Tujuannya adalah setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan pasien
mampu menggerakkan ekstremitas bawah (sendi dan otot).
2) Kriteria hasil :
a) Tidak ada neuropati
b) Mampu menggerakkan ekstremitas bawah
c) Bromage score : <1
3) Rencana tindakan
a) Monitoring TTV
b) Lakukan penilaian bromage score
c) Berikan posisi nyaman pada pasien
d) Ajarkan teknik pergerakan yang aman
e) Latih angkat atau gerakan ekstrimitas bawah
c. Risiko jatuh
1) Tujuannya adalah setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan pasien
aman setelah pembedahan.
2) Kriteria hasil :
a) TTV dalam batas normal
b) Bromage score <1
c) Pasien mengatakan kaki dapat digerakkan
d) Pasien tampak tidak lemah
3) Rencana tindakan :
a) Monitoring TTV
b) Lakukan penilaian bromage score
c) Berikan pengaman pada tempat tidur pasien
d) Berikan gelang resiko jatuh
e) Latih angkat atau gerakkan ekstremitas bawah

4. Evaluasi
Pre Anestesi :
a. Nyeri akut
S : Pasien mengatakan nyeri berkurang atau hilang
O : Skala nyeri ringan, TTV dalam batas normal
A : Masalah teratasi sebagian / masalah teratasi
P : Lanjutkan intervensi / pertahankan intervensi
b. Risiko kekurangan volume cairan
S : Pasien mengatakan tidak diare lagi
O : Mukosa bibir pasien tampak lembab dan tidak pucat
A: Masalah teratasi
P : Pertahankan intervensi
c. Hipertermi
S : Pasien mengatakan tidak demam lagi
O : Suhu dalam batas normal
A : Masalah teratasi
P : Pertahankan intervensi
d. Ansietas
S : Pasien mengatakan paham akan tindakan
O : Pasien tampak tidak gelisah lagi
A : Masalah teratasi
P : Pertahankan intervensi

Intra Anestesi :
5. Risiko perdarahan
S:-
O : Tidak ada tanda tanda perdarahan, TTV dalam batas normal
A : Masalah teratasi
P : Pertahankan intervensi
6. Komplikasi potensial syok kardiogenik
S : Pasien mangatakan pusing
O : TTV dalam batas normal, warna kulit normal, tidak pusing
A : Masalah teratasi
P : Pertahankan intervensi
7. Hipotermia
S: Pasien mengatakan sudah tidak kedinginan
O : Akral hangat, TTV dalam batas normal, pasien tampak tidak menggigil,
pasien tampak tidak pucat
A : Masalah teratasi
P : Pertahankan intervensi
Post Anestesi :
1. Risiko infeksi
S : Pasien mengatakan badannya tidak panas
O: Tidak terjadi tanda tanda infeksi, TTV dalam batas normal
A : Masalah teratasi
P : Pertahankan intervensi
2. Hambatan mobilitas ekstremitas bawah
S : Pasien mengatakan kakinya sudah bisa digerakkan
O : Bromage score <1
A : Masalah teratasi
P : Pertahankan intervensi
3. Risiko jatuh
S : Pasien merasa lemas, pasien mengatakan kaki dapat mengatakan tidak
digerakkan
O : TTV dalam batas normal, bromage score <1, pasien mampu mobilitas dini
A : Masalah teratasi
P : Pertahankan intervensi
DAFTAR PUSTAKA
Agung, dkk.2017..Hubungan Obesitas, merokok dan konsumsi alkohol dengan benigna
prostat hyperplasia (BPH) Di Poliklinik Bedah RSU Bina Sina Bukit Tinggi.Bukit Tinggi:
RSU Bina Sina Bukit Tinggi.

Ali, Zaidin.2014 .Dasar-Dasar Dokumentasi Keperawatan. Jakarta : EGC Dongoes, E


Marlyn , dkk . 2012. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta : EGC

Haryono, R. (2012). Keperawatan Medikal Bedah Kelainan Bawaan Sistem


pencernan.Yogyakarta:

Goesyen Publishing Khamriana, dkk.2015.. Asuhan Keperawatan Gangguan


SistemPerkemihan. Jakarta :

Salemba Medika Muttaqin,A & Sari,K. 2014. Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem
Perkemihan.Jakarta :

Salemba Medika Nurarif & Kusuma. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan
Diagnosa Medis dan Nanda Nic-Noc. Edisi Revisi Jilid 2. Jogjakarta.

Andre, Terrence & Eugene.(2011). Case Files Ilmu Bedah.Edisi 3.Jakarta Karisma
Publishing Group.

Andarmayo, S. (2013).Konsep Dan Proses Keperawatan Nyeri, Ar-Ruzz, Yogyakarta.

Aprina, A., Yowanda, N. I., & Sunarsih, S. (2017). Relaksasi Progresif Terhadap Intensitas
Nyeri Post Operasi BPH (Benigna Prostate Hyperplasia). Jurnal Kesehatan, 8 (2), 289-295.

Arifiyanto, Davit. (2008). Asuhan Keperawatan Pasien Dengan Masalah BPH, http://dafid –
pekajangan.Blogspot. Com / 2008 / 03 / askep – klien-bph-html retrieved at 5 januari 2011.

Arora P. et al. “Care Of Elderly Patients With Chronic Kidney Disease”. Int Urol Nephrol. 38
(2) : 363-70/(2006).

Artyanigsih, L. F. (2018). Asuhan Keperawatan Pada Tn.P Dengan Post Operasi BPH
(Benigna Prostate Hipertropi) Hari Kesatu Di Ruang Anggrek RSUD Sukoharjo (Dotoral
dissertation, Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Asmadi. (2008), Konsep Dasar Keperawatan, Jakarta: EGC

Barbara, K. (2010). Buku Ajar Fundamental Keperawatan Konsep Dan Praktik Edisi VII
Volume I. Jakarta : EGC.

Rusdiana, E. (2018). Asuhan Keperawatan Nyeri Akut Pada Pasien BPH (Benigna Prostate
Hyperplasia) Post TURP (Dotoral dissertation, Universitas Airlangga)

Anda mungkin juga menyukai