LP Askan BPH Itekes Minggu I
LP Askan BPH Itekes Minggu I
DISUSUN OLEH
HERMANTO HUTABARAT
NIM 2014301128
KELOMPOK 6
FAKULTAS KESEHATAN
PROGRAM STUDI D4 KEPERAWATAN ANESTESI
INSTITUT TEKNOLOGI DAN KESEHATAN BALI
DENPASAR
2020
LAPORAN PENDAHULUAN
1. DEFENISI
(Corwin, 2000).
Price&Wilson (2005).
aliran urin dengan menutup orifisium uretra. BPH merupakan kondisi patologis yang
2. ETIOLOGI
yang pasti kelenjar prostat sangat tergantung pada hormon androgen. Faktor lain yang
1. Dihydrotestosteron
Peningkatan 5 alfa reduktase dan reseptor androgen menyebabkan epitel dan stroma dari
Peningkatan epidermal gorwth factor atau fibroblast growth factor dan penurunan
Estrogen yang meningkat menyebabkan peningkatan lama hidup stroma dan epitel dari
kelenjar prostat
b. Rasa tidak puas sehabis miksi, kandung kemih tidak kosong dengan baik
g. Waktu miksi memanjang yang akhirnya menjadi retensi urin dan inkontinensia karena
penumpukan berlebih.
h. Pada gejala yang sudah lanjut, dapat terjadi Azotemia (akumulasi produk sampah
nitrogen) dan gagal ginjal dengan retensi urin kronis dan volume residu yang besar.
3. Gejala generalisata seperti seperti keletihan, anoreksia, mual dan muntah, dan rasa tidak
b. Derajat II : adanya retensi urin maka timbulah infeksi. Penderita akan mengeluh
waktu miksi terasa panas (disuria) dan kencing malam bertambah hebat.
c. Derajat III : timbulnya retensi total. Bila sudah sampai tahap ini maka bisa timbul
aliran refluk ke atas, timbul infeksi ascenden menjalar ke ginjal dan dapat
A. Urinalisa
Analisis urin dan mikroskopik urin penting untuk melihat adanya sel leukosit,sedimen,
eritrosit, bakteri dan infeksi. Bila terdapat hematuri harus diperhitungkan adanya etiologi
lain seperti keganasan pada saluran kemih, batu, infeksi saluran kemih, walaupun BPH
sendiri dapat menyebabkan hematuri. Elektrolit, kadar ureum dan kreatinin darah
perlunya biopsi atau sebagai deteksi dini keganasan. Bila nilai PSA < 4 ng/ml tidak perlu
biopsi. Sedangkan bila nilai PSA 4-10 ng/ml, dihitung Prostate specific antigen density
(PSAD) yaitu PSA serum dibagi dengan volume prostat. Bila PSAD > 0,15, sebaiknya
dilakukan biopsi prostat, demikian pula bila nilai PSA > 10 ng/ml
Karena perdarahan merupakan komplikasi utama pasca operatif maka semua defek
penderita BPH karena usianya yang sudah tinggi maka fungsi jantung dan pernafasan
harus dikaji.
Pemeriksaan darah mencakup Hb, leukosit, eritrosit, hitung jenis leukosit, CT, BT,
Biasanya dilakukan foto polos abdomen, pielografi intravena, USG, dan sitoskopi. Tujuan
pencitraan untuk memperkirakan volume BPH, derajat disfungsi buli, dan volume residu urin.
Dari foto polos dapat dilihat adanya batu pada traktus urinarius, pembesaran ginjal atau buli-
buli. Dapat juga dilihat lesi osteoblastik sebagai tanda metastase dari keganasan prostat serta
osteoporosis akibat kegagalan ginjal. Dari Pielografi intravena dapat dilihat supresi komplit
dari fungsi renal, hidronefrosis dan hidroureter, gambaran ureter berbelok-belok di vesika
urinaria, residu urin. Dari USG dapat diperkirakan besarnya prostat, memeriksa massa ginjal,
mendeteksi residu urin dan batu ginjal. BNO /IVP untuk menilai apakah ada pembesaran dari
ginjal apakah terlihat bayangan radioopak daerah traktus urinarius. IVP untuk melihat
/mengetahui fungsi ginjal apakah ada hidronefrosis. Dengan IVP buli-buli dapat dilihat
sebelum, sementara dan sesudah isinya dikencingkan. Sebelum kencing adalah untuk melihat
adanya tumor, divertikel. Selagi kencing (viding cystografi) adalah untuk melihat adanya
refluks urin. Sesudah kencing adalah untuk menilai residual urin.
5. PENATALAKSANAAN MEDIS
A. Penatalaksanaan Terapi
Rencana pengobatan tergantung pada penyebab, keparahan obstruksi, dan kondisi pasien. Jika
pasien masuk RS dengan kondisi darurat karena ia tidak dapat berkemih maka kateterisasi segera
dilakukan. Pada kasus yang berat mungkin digunakan kateter logam dengan tonjolan kurva prostatik.
Kadang suatu insisi dibuat ke dalam kandung kemih (sitostomi supra pubik) untuk drainase yang
adekuat. Jenis pengobatan pada BPH antara lain:
Biasa dilakukan pada pasien dengan keluhan ringan. Nasehat yang diberikan adalah
alkohol agar tidak terlalu sering miksi. Setiap 3 bulan dilakukan kontrol keluhan, sisa
2. Terapi medikamentosa
B. Penatalaksanaan Operatif
A. Terapi bedah
Tergantung pada beratnya gejala dan komplikasi. Indikasi absolut untuk terapi bedah
yaitu :
- Hematuri
1. Prostatektomi
dimasukan secara langsung melalui uretra ke dalam prostat yang kemudian dapat dilihat
secara langsung. Kelenjar diangkat dalam irisan kecil dengan loop pemotong listrik.
kandung kemih dapat menyebabkan cairan seminal mengalir ke arah belakang ke dalam
Adalah salah satu metode mengangkat kelenjar melalui insisi abdomen. Yaitu suatu
insisi yang dibuat kedalam kandung kemih dan kelenjar prostat diangkat dari atas.
b) Prostatektomi Perineal.
Adalah mengangkat kelenjar melalui suatu insisi dalam perineum. Cara ini lebih praktis
dibanding cara yang lain, dan sangat berguna untuk biopsi terbuka. Lebih jauh lagi
inkontinensia, impotensi, atau cedera rectal dapat mungkin terjadi dari cara ini.
Kerugian lain adalah kemungkinan kerusakan pada rectum dan spingter eksternal serta
c) Prostatektomi retropubik.
Adalah insisi abdomen lebih rendah mendekati kelenjar prostat, yaitu antara arkus
pubis dan kandung kemih tanpa memasuki kandung kemih. Keuntungannya adalah
periode pemulihan lebih singkat serta kerusakan spingter kandung kemih lebih sedikit.
perdarahan, infeksi, retensi oleh karena pembentukan bekuan, obstruksi kateter dan
pudendal. Pada kebanyakan kasus aktivitas seksual dapat dilakukan kembali dalam 6
sampai 8 minggu karena saat itu fossa prostatik telah sembuh. Setelah ejakulasi maka
cairan seminal mengalir ke dalam kandung kemih dan diekskresikan bersama uin.
Yaitu suatu prosedur menangani BPH dengan cara memasukkan instrumen melalui
uretra. Satu atau dua buah insisi dibuat pada prostat dan kapsul prostat untuk
mengurangi tekanan prostat pada uretra dan mengurangi kontriksi uretral. Cara ini
diindikasikan ketika kelenjar prostat berukuran kecil (30 gram/kurang) dan efektif
dalam mengobati banyak kasus BPH. Cara ini dapat dilakukan di klinik rawat jalan dan
TURP adalah suatu operasi pengangkatan jaringan prostat lewat uretra menggunakan
pembedahan uretra yang dilengkapi dengan alat pemotong dan counter yang
disambungkan dengan arus listrik. Tindakan ini memerlukan pembiusan umum maupun
spinal dan merupakan tindakan invasive yang masih dianggap aman dan tingkat
morbiditas minimal. TURP merupakan operasi tertutup tanpa insisi serta tidak
mempunyai efek merugikan terhadap potensi kesembuhan. Operasi ini dilakukan pada
prostat yang mengalami pembesaran antara 30-60 gram, kemudian dilakukan reseksi.
Cairan irigasi digunakan secara terus-menerus dengan cairan isotonis selama prosedur.
Setelah dilakukan TURP, dipasang kateter Foley tiga saluran no. 24 yang dilengkapi
balon 30 ml, untuk memperlancar pembuangan gumpalan darah dari kandung kemih.
Irigasi kanding kemih yang konstan dilakukan setelah 24 jam bila tidak keluar bekuan
darah lagi. Kemudian kateter dibilas tiap 4 jam sampai cairan jernih. Kateter dingkat
setelah 3-5 hari setelah operasi dan pasien harus sudah dapat berkemih dengan lancar.
B. PERTIMBANGAN ANESTESI
1. DEFENISI ANESTESI
Anestesi adalah menghilangnya rasa nyeri, dan menurut jenis kegunaannya
dibagi menjadi anestesi umum yang disertai hilangnya kesadaran, sedangkan
anestesi regional dan anestesi local menghilangya rasa nyeri disatu bagian tubuh
saja tanpa menghilangnya kesadaran (Sjamsuhidajat & De Jong, 2012).
Anestesi merupakan tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan
pembedahan dan berbagai prosedur lain yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh
(Morgan, 2011)
Anestesi merupakan suatu tindakan untuk menghilangkan rasa ketika
dilakukan pembedahan dan berbagai prosedur lain yang menimbulkan rasa sakit,
dalam hal ini rasa takut perlu ikut dihilangkan untuk menciptakan kondisi optimal
bagi pelaksanaan pembedahan (Sabiston, 2011).
Dari beberapa definisi anestesi menurut para ahli maka dapat disimpulkan
bahwa Anestesti merupakan suatu tindakan menghilangkan rasa sakit pada saat
pembedahan atau melakukan tindakan prosedur lainnya yang menimbulkan rasa
sakit dengan cara trias anestesi yaitu hipnotik, analgetik, relaksasi.
2. JENIS ANESTESI
a. General Anestesi
Anestesi umum melibatkan hilangnya kesadaran secara penuh. Anestesi
umum dapat diberikan kepada pasien dengan injeksi intravena atau melalui
inhalasi (Royal College of Physicians (UK), 2011).
Anestesi umum meliputi:
b. Regional Anestesi
1.Pengertian anestesi spinal
Anestesi spinal adalah injeksi agen anestesi ke dalam ruang intratekal,
secara langsung ke dalam cairan serebrospinalis sekitar region lumbal di
bawah level L1/2 dimana medulla spinalis berakhir (Keat, dkk, 2013).
Spinal anestesi merupakan anestesia yang dilakukan pada pasien yang
masih dalam keadaan sadar untuk meniadakan proses konduktifitas pada
ujung atau serabut saraf sensori di bagian tubuh tertentu (Rochimah, dkk,
2011).
e) Metabolisme : Hati
Lidocain sangat popular dan digunakan untuk blok saraf, infitrasi dan
anestesi regional intravena begitu juga topical, epidural dan itratekal.
Bagaimanapun juga ini termasuk antiaritmik kelas 1B dan dapat
digunakan untuk terapi takikardi.
2. Bupivakain
a) Onset kerja : blok nervous 40 menit, epidural 15-20 menit, intratekal
30 detik
b) Durasi kerja : blok saraf sampai 24 jam; epidural 3-4 jam;
intrakardial 2-3 jam
4. RUMATAN ANESTESI
Selama oprasi berlangsung di lakukan pemantauan anestesi hal-hal yang di pantau
adalah fungsi vital( Pernapasan, tekanan darah, nadi misalnya perubahan pola
napas , takikardia, hipertensi, cairan infus di berikan memperhitungkan kebutuhan
puasa, rumatan, perdarahan, eroprosi dll. Jenis cairan yang di berikan dapat berupa
kristaloid (ringer laktat, NaCL dextrosa 5% ), koloid .(plasma expander, albumin
5% )/Tranfusi darah bila perdarahan terjadi lebih dari 20% volume darah.
a. Regional Anestesi
a) Oksigen nasal 2 Liter/menit
b) Obat Analgetik
c) Obat Hipnotik Sedatif
d) Obat Efedrin
b. General Anestesi
a) Induksi inhalasi, rumatan anestesi dengan anestetika inhalasi
(VIMA=Volatile Induction and Maintenance of Anesthesia).
b) Induksi intravena, rumatan anestesi dengan anestetika intravena
(TIVA=Total Intravenous Anesthesia)
c) Obat Pelumpuh Otot
d) Obat Analgetik
e) Obat Hipnotik Sedatif
f) Obat sulfat Atropin, Efedrin, Dexamethason
5. RESIKO
a. Gangguan kardiovaskuler :
Penurunan curah jantung
b. Gangguan respirasi :
Pola nafas tidak efektif
c. Gangguan termoregulasi :
Hipotermi
d. Gastrointestinal
Rasa mual dan muntah
e. Resiko infeksi :
Luka insisi post operasi
f. Nyeri :
Proses kontraksi
Terputusnya kontinuitas jaringan kulit
g. Resiko Jatuh
Efek obat anestesi, Blok pada saraf motorik
h. Ansietas :Ketakutan akan tindakan pembedahan.
REGIONAL ANESTESI
INTRA
ANESTESI
MASALAH YANG
PASCA
MUNCUL
ANESTESI
Teknik pembiusan
Tindakan pembedahan
Depresi pernapasan
Teknik pembiusan
Nyeri Akut
Tindakan pembedahan
Resiko Jatuh
BPH
Teknik pembiusan Teknik pembiusan
Diskontinuitas jaringan
Hipote
nsi HipotermiResiko kerusakan integritas kulit
Mempengaruhi hipotalamus
Resiko infeksi
Vasodilatasi pembuluh darah Perdarahan
Resiko perdarahan
Pemaparan panas Drainase deuresis
keseluruh tubuh yang cepat
3. Perencanaan Intervensi
Pre Anestesi :
a. Nyeri akut
1) Tujuannya adalah setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan nyeri
hilang atau terkontrol, klien tampak rileks.
2) Kriteria hasil :
a) Pasien mangatakan nyeri berkurang atau hilang
b) Pasien mampu istirahat atau tidur
c) Ekspresi wajah nyaman atau tenang
d) TTV dalam batas normal (TD : 100-120/70-80 mmHg, N : 60-100 x/mnt
R : 16-24 x/mnt, S : 36,5-37,5oC)
3) Rencana tinadakan:
a) Observasi tanda-tanda vital
b) Identifikasi derajat, lokasi, durasi, frekwensi dan karakteristik nyeri
c) Lakukan Teknik komunikasi terapeutik
d) Ajarkan Teknik relaksasi
e) Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian analgetik
b. Risiko kekurangan volume cairan
1) Tujuannya adalah setelah dilakukan keperawatan diharapkan keseimbangan
cairan dalam ruang intrasel dan ektrasel tubuh tercukupi.
2) Kriteria hasil :
a) Pasien menyatakan tidak haus/tidak lemas
b) Akral kulit hangat
c) Haemodinamik normal
d) Masukan cairan dan keluaran cairan seimbang
e) Urine output 1-2 cc/KgBB/jam
f) Hasil lab elektrolit darah normal
3) Rencana tindakan :
a) Kaji tingkat kekurangan volume cairan
b) Kolaborasi untuk pemberian cairan dan elektrolit
c) Monitor masukan dan keluaran cairan dan elektrolit
d) Monitor haemodinamik
e) Monitor perdarahan
c. Hipertermi
1) Tujuannya adalah setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan suhu
tubuh pasien menurun.
2) Kriteria hasil :
a) Pasien tidak mengeluh demam
b) Suhu tubuh pasien dalam batas normal
B. Recana tindakan:
a) Monitoring suhu tubuh pasien
b) Beri kompres hangat
c) Pertahankan intake cairan
d) Kolaborasi pemberian antipiretik
d. Ansietas
1) Tujuannya adalah setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan cemas
berkurang/hilang.
2) Kriteria hasil :
a) Pasien menyatakan tahu tentang proses kerja obat anestesi/pembiusan
b) Pasien menyatakan siap dilakukan pembiusan
c) Pasien mengkomunikasikan perasaan negative secara tepat
d) Pasien tampak tenang dan kooperatif
e) Tanda-tanda vital normal
3) Rencana tindakan :
a) Kaji tingkat ansietas, catat verbal dan non verbal pasien.
b) Jelaskan jenis prosedur tindakan prosedur yang akan dilakukan
c) Berikan dorongan pada pasien untuk mengungkapkan perasaan
d) Ajarkan teknik relaksasi
e) Kolaborasi untuk pemberian obat sedasi
Intra Anestesi :
a. Risiko Perdarahan
1) Tujuannya adalah setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan tidak
terjadi perdarahan pada saat pembedahan.
2) Kriteria hasil :
a) Tidak ada tanda tanda perdarahan
b) Tekanan darah dalam batas normal
c) Tidak ada kehilngan darah yang terlihat
3) Rencana tindakan :
a) Monitor ketat tanda tanda perdarahan
b) Monitor TTV
c) Monitor status cairan (intake dan output)
d) Kolaborasi pemberian transfusi darah
b. Komplikasi potensial syok kardiogenik
1) Tujuannya adalah setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan pompa
jantung dan sirkulasi efektif.
2) Kriteria hasil :
a) TTV dalam batas normal
b) Denyut jantung dalan batas normal
c) Hipotensi aorta statis tidak ada
d) Distensi vena leher tidak ada
e) Pasien mengatakan tidak pusing
f) Denyut nadi perifer kuat dan teratur
3) Rencana tindakan :
a) Atur posisi pasien
b) Kaji toleransi aktivitas : awal napas pendek, nyeri, pusing, palpitasi
c) Monitoring TTV
d) Beri oksigen
e) Kolaborasi dengan dokter
c. Hipotermia
1) Tujuannya adalah setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan pasien
menunjukkan termoregulasi.
2) Kriteria hasil :
a) Akral hangat
b) Suhu tubuh dalam batas normal (36,5-37,5oC)
c) CRT <2 detik
d) Pasien mengatakan tidak kedinginan
e) Pasien tampak tidak menggigil
3) Rencana tindakan :
a) Monitoring TTV
b) Berikan selimut hangat
c) Berikan infus hangat
d) Kolaborasi pemberian obat untuk mencegah/mengurangi menggigil
Post Anestesi :
a. Resiko infeksi
1) Tujuannya adalah setelah dilakukannya tindakan keperawatan diharapkan
meningkatkan penyembuhan luka dengan benar, bebas tanda infeksi.
2) Kriteri hasil :
a) Tanda-tanda infeksi tidak terjadi (kalor, dolor, rubor, tumor, fungsiolesa)
b) Suhu tubuh dalam batas normal.
c) Hasil pemeriksaan lab post operasi dalam batas normal
3) Rencana tindakan :
a) Monitoring tanda-tanda vital
b) Lakukan perawatan luka dengan teknik septik dan antiseptic
c) Ajarkan pasien untuk menjaga lukanya agar tetap bersih
d) kolaborasi dalam pemberian antibiotik sesuai indikasi.
b. Hambatan mobilitas ekstremitas bawah
1) Tujuannya adalah setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan pasien
mampu menggerakkan ekstremitas bawah (sendi dan otot).
2) Kriteria hasil :
a) Tidak ada neuropati
b) Mampu menggerakkan ekstremitas bawah
c) Bromage score : <1
3) Rencana tindakan
a) Monitoring TTV
b) Lakukan penilaian bromage score
c) Berikan posisi nyaman pada pasien
d) Ajarkan teknik pergerakan yang aman
e) Latih angkat atau gerakan ekstrimitas bawah
c. Risiko jatuh
1) Tujuannya adalah setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan pasien
aman setelah pembedahan.
2) Kriteria hasil :
a) TTV dalam batas normal
b) Bromage score <1
c) Pasien mengatakan kaki dapat digerakkan
d) Pasien tampak tidak lemah
3) Rencana tindakan :
a) Monitoring TTV
b) Lakukan penilaian bromage score
c) Berikan pengaman pada tempat tidur pasien
d) Berikan gelang resiko jatuh
e) Latih angkat atau gerakkan ekstremitas bawah
4. Evaluasi
Pre Anestesi :
a. Nyeri akut
S : Pasien mengatakan nyeri berkurang atau hilang
O : Skala nyeri ringan, TTV dalam batas normal
A : Masalah teratasi sebagian / masalah teratasi
P : Lanjutkan intervensi / pertahankan intervensi
b. Risiko kekurangan volume cairan
S : Pasien mengatakan tidak diare lagi
O : Mukosa bibir pasien tampak lembab dan tidak pucat
A: Masalah teratasi
P : Pertahankan intervensi
c. Hipertermi
S : Pasien mengatakan tidak demam lagi
O : Suhu dalam batas normal
A : Masalah teratasi
P : Pertahankan intervensi
d. Ansietas
S : Pasien mengatakan paham akan tindakan
O : Pasien tampak tidak gelisah lagi
A : Masalah teratasi
P : Pertahankan intervensi
Intra Anestesi :
5. Risiko perdarahan
S:-
O : Tidak ada tanda tanda perdarahan, TTV dalam batas normal
A : Masalah teratasi
P : Pertahankan intervensi
6. Komplikasi potensial syok kardiogenik
S : Pasien mangatakan pusing
O : TTV dalam batas normal, warna kulit normal, tidak pusing
A : Masalah teratasi
P : Pertahankan intervensi
7. Hipotermia
S: Pasien mengatakan sudah tidak kedinginan
O : Akral hangat, TTV dalam batas normal, pasien tampak tidak menggigil,
pasien tampak tidak pucat
A : Masalah teratasi
P : Pertahankan intervensi
Post Anestesi :
1. Risiko infeksi
S : Pasien mengatakan badannya tidak panas
O: Tidak terjadi tanda tanda infeksi, TTV dalam batas normal
A : Masalah teratasi
P : Pertahankan intervensi
2. Hambatan mobilitas ekstremitas bawah
S : Pasien mengatakan kakinya sudah bisa digerakkan
O : Bromage score <1
A : Masalah teratasi
P : Pertahankan intervensi
3. Risiko jatuh
S : Pasien merasa lemas, pasien mengatakan kaki dapat mengatakan tidak
digerakkan
O : TTV dalam batas normal, bromage score <1, pasien mampu mobilitas dini
A : Masalah teratasi
P : Pertahankan intervensi
DAFTAR PUSTAKA
Agung, dkk.2017..Hubungan Obesitas, merokok dan konsumsi alkohol dengan benigna
prostat hyperplasia (BPH) Di Poliklinik Bedah RSU Bina Sina Bukit Tinggi.Bukit Tinggi:
RSU Bina Sina Bukit Tinggi.
Salemba Medika Muttaqin,A & Sari,K. 2014. Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem
Perkemihan.Jakarta :
Salemba Medika Nurarif & Kusuma. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan
Diagnosa Medis dan Nanda Nic-Noc. Edisi Revisi Jilid 2. Jogjakarta.
Andre, Terrence & Eugene.(2011). Case Files Ilmu Bedah.Edisi 3.Jakarta Karisma
Publishing Group.
Aprina, A., Yowanda, N. I., & Sunarsih, S. (2017). Relaksasi Progresif Terhadap Intensitas
Nyeri Post Operasi BPH (Benigna Prostate Hyperplasia). Jurnal Kesehatan, 8 (2), 289-295.
Arifiyanto, Davit. (2008). Asuhan Keperawatan Pasien Dengan Masalah BPH, http://dafid –
pekajangan.Blogspot. Com / 2008 / 03 / askep – klien-bph-html retrieved at 5 januari 2011.
Arora P. et al. “Care Of Elderly Patients With Chronic Kidney Disease”. Int Urol Nephrol. 38
(2) : 363-70/(2006).
Artyanigsih, L. F. (2018). Asuhan Keperawatan Pada Tn.P Dengan Post Operasi BPH
(Benigna Prostate Hipertropi) Hari Kesatu Di Ruang Anggrek RSUD Sukoharjo (Dotoral
dissertation, Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Barbara, K. (2010). Buku Ajar Fundamental Keperawatan Konsep Dan Praktik Edisi VII
Volume I. Jakarta : EGC.
Rusdiana, E. (2018). Asuhan Keperawatan Nyeri Akut Pada Pasien BPH (Benigna Prostate
Hyperplasia) Post TURP (Dotoral dissertation, Universitas Airlangga)