Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ilmu Kesehatan Mental dan Psikopatologi
Disusun oleh :
FAKULTAS PSIKOLOGI
YOGYAKARTA
2020/2021
KATA PENGANTAR
Bismillaahirrahmaanirraahim,
Assalamualaikum wr.wb
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberi kesempatan serta ridho-Nya
sehingga penulisan makalah yang berjudul “HOARDING DISORDER”
” ini berjalan dengan lancar. Penulisan makalah ini bertujuan untuk menunaikan tugas mata
kuliah Ilmu Kesehatan Mental dengan dosen pengampu Ibu Fenny Kurniawati, S.Psi.,M.Psi.
Dalam penyusunan makalah ini, kami menyampaikan banyak terima kasih kepada pihak
yang telah membantu terwujudnya makalah ini, khususnya bagi anggota kelompok kami yang
telah bekerja keras mencurahkan segala tenaga dan pikiran sehingga kami dapat menyelesaikan
tugas pembuatan makalah ini.
Kami sangat mengharapkan semoga dari makalah sederhana ini dapat diambil manfaatnya
dan besar keinginan kami dapat menginspirasi para pembaca.
Kami menyadari dan meyakini bahwa kebenaran dan kesempurnaan hanyalah milik Allah
Subhanahu wa Ta’ala, oleh karena itu pastilah banyak terdapat kekurangan dalam makalah ini
baik dari segi teknik penulisan maupun materi. Oleh karena itu,kami memohon maaf dengan hal
yang kurang berkenan dalam pembuatan maupun subsansi makalah ini, dan kami juga
mengharap dan menerima kritik dan saran yang membangun untuk menyempurnakan makalah
ini.
Wassalamualaikum wr.wb
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR 2
DAFTAR ISI 3
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
BAB IV PENUTUP 23
DAFTAR PUSAKA 25
BAB I PENDAHULUAN
Hoarding Disorder adalah kesulitan terus-menerus untuk membuang atau memisahkan dari
properti karena Anda merasa perlu untuk melestarikannya. Sulit bagi pasien dengan penyakit ini
untuk mempertimbangkan bagaimana membuang barang-barang ini. Terlepas dari nilai
sebenarnya dari komoditas tersebut, akumulasi komoditas yang berlebihan akan terjadi.
Akumulasi biasanya menghasilkan kondisi kehidupan yang sempit, di mana orang dapat
memenuhi rumah hanya dengan gang sempit yang berkelok-kelok. Meja dapur, wastafel,
kompor, meja dapur, tangga, dan hampir semua permukaan lainnya biasanya penuh dengan
benda. Jika tidak ada lagi ruang di dalam, puing-puing akan menyebar ke garasi, kendaraan,
halaman, dan fasilitas penyimpanan lainnya.
Produk berkisar dari ringan hingga berat. Dalam beberapa kasus, penimbunan mungkin tidak
berdampak banyak pada kehidupan Anda, sementara dalam kasus lain, hal itu dapat sangat
memengaruhi pekerjaan sehari-hari Anda.
Penderita penyakit ini mungkin tidak melihatnya sebagai masalah, sehingga sulit untuk diobati.
Namun, perawatan intensif dapat membantu pasien memahami bagaimana mengubah keyakinan
dan perilaku mereka sehingga mereka dapat hidup lebih aman dan menyenangkan.
Perilaku Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia atau KBBI (2020), perilaku adalah satu
atau lebih tanggapan atau tanggapan seseorang terhadap suatu rangsangan atau lingkungan yang
diterima. Menurut Notoatmojo (2010) perilaku merupakan hasil dari berbagai pengalaman dan
interaksi personal dengan lingkungan sekitarnya, wawasan / pengetahuan, sikap dan tindakan
tersebut semuanya terwujud dalam bentuk perilaku. Perilaku adalah respons seseorang terhadap
rangsangan eksternal atau internal. Dalam desain ini, tingkah laku yang dimaksud adalah tingkah
laku yang dilakukan individu setiap hari sebagai tanggapan atas apa yang telah dialaminya
(yaitu, menimbun barang).
2.2. Kebiasaan
Menurut KBBI (2020) kebiasaan berasal dari kata dasar yang mempunyai dua arti yaitu menurut
homofon dan arti menurut bidang antropologi. Kebiasaan memiliki arti tertentu, yaitu hal-hal
yang biasa dilakukan atau pernah dilakukan, dan lain-lain, dan menurut bidang antropologi,
kebiasaan mengacu pada proses menanggapi atau menanggapi situasi tertentu yang diperoleh
setiap orang. pola atau pola. Dan lakukan berulang kali untuk hal yang sama.
Orang yang menderita penyakit mental dan masalah kesehatan mental lainnya adalah
yang paling terkena stigma, terdiskriminasi, terpinggirkan, dan rentan di antara khalayak
(Johnstone, 2001, h. 201). Sama halnya dengan gangguan mental, stigma pun merupakan konsep
yang sulit untuk didefinisikan. Ditinjau dari historisnya, stigma berasal dari Bahasa Yunani yaitu
‘stigmata’, yang mengacu pada “sebuah tanda yang memalukan atau mendiskreditkan; ciri atau
tanda pengenal atau karakteristik” (Merriam Webster Dictionary, 1990, h. 506). Sementara itu,
menurut KBBI, stigma yaitu suatu ciri buruk atau negatif yang melekat pada individu atau
seseorang karena pengaruh lingkungannya; tanda. Konotasi atau anggapan yang negatif serta
asumsi yang salah mengenai gangguan mental dapat lebih berbahaya daripada penyakit itu
sendiri (Johnstone, 2001, h. 201).
Pada Abad Pertengahan, orang dengan gangguan jiwa dipenjarakan atas tuduhan kriminal
dan bahkan dijatuhi hukuman mati dalam beberapa kasus (Corrigan, 2002, hlm. 37, dikutip
dalam American Psychiatric Association, 2013, hlm. 205). Namun pada kasus gangguan jiwa
tertentu, penyakit tertentu dianggap meluas karena telah mengakar pada kebiasaan dan perilaku
masyarakat, walaupun penyakit tersebut tidak segera diobati dan tidak diambil tindakan, akan
menimbulkan dampak yang cukup serius. Dari dampak tersebut, maka dampak ini juga akan
berdampak pada semua aspek mulai dari lingkungan hingga kesehatan, mulai dari korban hingga
masyarakat yang tinggal bersama para korban. Jenis Penyakit Jiwa Dalam buku DSM-V,
penyakit jiwa dibagi menjadi 11 kategori.
a. Anxiety Disorders atau biasa dikenal dengan gangguan kecemasan atau kecemasan
berlebih;
b. Obsessive-Compulsive-Related and Trauma-Related Disorders atau biasa dikenal
dengan gangguan obsesif kompulsif;
c. Dissociative Disorders and Somatic Symptom-Related Disorders atau biasa dikenal
dengan gangguan disosiatif dan somatik yaitu kecemasan berlebih yang merasa bahwa
dirinya memiliki suatu penyakit;
d. Schizophrenia atau dikenal dengan skizofrenia;
e. Substance Use Disorders atau gangguan penggunaan zat/obat berlebih;
f. Eating Disorders dapat dikenal dengan gangguan makan;
g. Sexual Disorders atau gangguan seksual;
h. Disorders of Childhood atau disebut dengan gangguan saat masa kecil;
i. Late Life and Neurocognitive Disorders yaitu gangguan neurokognitif;
j. Personality Disorders atau yang biasa disebut dengan gangguan kepribadian.
Seseorang dapat dikatakan seorang Hoarding Disorder apabila memenuhi kriteria berikut,
seseorang yang mengumpulkan dan menyimpan banyak barang, terutama hal-hal yang tampak
tidak berguna atau tidak bernilai bagi kebanyakan orang, barang-barang ini mengacaukan tempat
tinggal dan membuat orang tersebut sulit menggunakan ruangan, barang-barang ini
menyebabkan kesulitan atau masalah dalam kegiatan sehari-hari, sulit membedakan mana barang
yang berharga dan mana yang tidak. Namun perlu tindakan medis profesional yang dapat
mendiagnosis seseorang mengidap Hoarding Disorder atau tidak (American Psychiatric
Association, 2013, h. 205).
Hingga saat ini, belum diketahui apa sebenarnya penyebab dari Hoarding Disorder,
namun faktor genetik diduga mempengaruhi perilaku ini. Berikut beberapa alasan atau
penyebab dari Hoarding Disorder (Murniaseh, 2020):
Tingkatan pertama dari Hoarding Disorder adalah yang paling rendah. Tempat tinggal
dari penderita terdapat:
a. Sedikit kekacauan atau berantakan namun masih terbilang rendah juga tidak ada bau
yang terdeteksi.
b. Seluruh pintu atau akses jalan serta tangga masih dapat diakses.
c. Kotoran hewan tidak memenuhi lebih dar tiga ruangan.
Penimbunan pada level ini memberikan beberapa gejala yang merupakan tanda bahwa
seseorang mengidap Hoarding Disorder, namun tertutupi oleh sedikitnya kekacauan pada tempat
tinggal. Namun penderita tetap memiliki kesulitan untuk membuang benda serta membeli
barang-barang yang tidak dibutuhkan secara berlebih. 2.Tingkatan kedua Hoarding Disorder.
Seseorang yang mengidap Hoarding Disorder pada level ini memiliki tempat tinggal yang akses
jalannya terhalangi oleh barang-barang, salah satu perabotan rumah seperti mesin cuci atau
kompor tidak berfungsi setidaknya selama minimal enam bulan, atau terdapat AC/pendingin
ruangan atau ventilasi yang tidak berfungsi setidaknya selama enam bulan. Pada tingkat ini,
kamar yang berantakan tidak hanya satu namun dua atau bahkan tiga ruangan dipenuhi oleh
barang-barang dan akses jalan menjadi sempit karena barang tersebut. Terdapat juga jamur di
kamar mandi atau dapur. Karakteristik lain termasuk:
a. Bau dari hewan peliharaan atau binatang lainnya yang mulai muncul
b. Limbah atau kotoran hewan yang berceceran di lantai
c. Minimnya perawatan terhadap hewan peliharaan (apabila memelihara hewan)
d. Tempat sampah yang meluap
e. Permukaan wadah makanan yang kotor dan tidak dibersihkan
Orang dengan gejala pada level ini akan malu apabila mengundang teman atau
kerabatnya ke rumah karena kondisi tempat tinggalnya. Pada tingkatan ini, Hoarding Disorder ini
dapat menyebabkan anxiety atau kecemasan serta depresi yang menyebabkan penderita menarik
diri dari pergaulan sosial. 3.Pada tingkatan ketiga, kondisi rumah yang berantakan dapat terlihat
dari luar rumah, termasuk barang-barang yang lazimnya terdapat di dalam ruangan (biasanya TV
atau furnitur seperti lemari). Pada kondisi ini, paling tidak dua perabotan rumah tangga telah
rusak selama enam bulan lebih serta satu area dalam rumah memiliki kerusakan yang ringan.
Terdapat jejak-jejak atau kotoran dari binatang pengerat seperti tikus atau hama lainnya seperti
kecoak, kutu kasur, laba-laba beserta sarangnya. Akses jalan juga terhambat dan menjadi sempit
karena dipenuhi oleh barang.
a. Terdapat kamar tidur atau kamar mandi yang tidak dapat digunakan
b. Terdapat cairan atau zat berbahaya dalam jumlah kecil berceceran di lantai
c. Terdapat penumpukan debu yang berlebih, tumpukan baju, handuk, seprai atau kain
sejenis yang kotor
d. Kabel-kabel yang kusut dalam jumlah yang banyak
e. Tempat sampah yang penuh dan berceceran keluar
f. Bau tidak sedap yang memenuhi rumah Pada tingkatan ini, pengidap akan
tersinggung dan marah apabila ada orang baik teman atau keluarga yang
menyinggung mengenai gaya hidupnya atau bahkan barang-barangnya.
Tingkatan kelima atau tingkat terakhir atau yang paling parah, melibatkan kerusakan
bangunan struktural yang cukup parah pada tempat tinggal. Dinding atau tembok yang telah
rusak, tidak adanya listrik atau bahkan air yang mengalir, rawan akan kebakaran, serta terdapat
hewan-hewan yang bukan hewan peliharaan berkeliaran secara bebas. Selain itu tempat tinggal
seorang dengan gejala Hoarding Disorder tingkat ini memiliki gejala sebagai berikut:
Orang dengan gejala Hoarding Disorder dengan tingkat paling parah ini biasanya tidak
tinggal di rumahnya, melainkan menumang di teman atau kerabatnya. Hal ini dikarenakan
kondisi rumahnya yang sangat berantakan. Orang ini juga membuang sampah mereka ke dalam
botol atau wadah lain yang tersisa di rumah. Individu pada tingkatan ini biasanya memiliki gejala
depresi yang sangat jelas.
Gangguan psikologis yang lebih serius juga berpotensi dapat diderita oleh sang
Hoarder, perilaku Hoarder dapat juga merupakan gejala dari gangguan psikologis
lainnya. Anxiety atau gangguan kecemasan dan stres merupakan dua hal yang sering
dialami para pengidap Hoarding Disorderdan dapat memicu gangguan kejiwaan
penderita dalam jangka waktu yang Panjang. Hal ini mengakibatkan pengidap
Hoarding Disorder juga memiliki risiko gangguan makan, pola makan yang tak
normal, hingga dementia.
Perkembangan Remaja
Fase Remaja Awal Masa remaja merupakan tahapan yang krusial bagi masa depan
seseorang, hal ini dikarenakan Sebagian besar keputusan pada saat dewasa dipengaruhi oleh
perkembangan pada saat remaja (Keating, 1990 seperti dikutip Weiner, 2003, h. 325). Menurut
Pikunas (dalam Regita, 2014, h.16), masa remaja meliputi:
a. Remaja awal : 12-15 tahun.
b. Remaja madya :15-18 tahun.
c. Remaja akhir :19-22 tahun.
Menurut Hurlock, usia 11-15 tahun masuk ke dalam tahap remaja awal (1991). Masa
Remaja merupakan masa peralihan dari anak-anak menuju dewasa. Banyak remaja mencoba
melakukan hal-hal baru agar menemukan minat dan bakat. Pada masa ini pula, terdapat berbagai
macam perubahan mulai dari fisik, emosi hingga perubahan sosial.
Perkembangan Intelektual
Seorang remaja secara mentalnya sudah dapat berpikir secara logis mengenai berbagai
gagasan yang abstrak. Pada umumnya perubahan kognitif terpenting selama periode hidup ini,
berkaitan dengan meningkatnya kemampuan para anak muda dalam hal ini yaitu remaja untuk
berpikir secara abstrak, mempertimbangkan hipotesis senyata mungkin, terlibat dalam strategi
pemrosesan yang lebih canggih dan rumit, mempertimbangkan berbagai dimensi masalah
sekaligus, serta merefleksikan diri sendiri serta masalah yang rumit (Keating, 1990 seperti
dikutip Weiner, 2003, h. 325).
Perkembangan Emosi Masa remaja yaitu fase puncak perkembangan emosi yang tinggi.
Perkembangan fisik menjadi suatu sinyal bahwa seorang anak telah berkembang menjadi
seorang remaja, status baru ini kemudian mengindikasikan peran sosial serta tanggung jawab
yang baru bagi remaja tersebut di lingkungan tempatnya berkembang. (Weiner, 2003, h. 298).
Pada fase remaja awal, perkembangan emosi remaja menunjukkan sifat yang sensitif (seperti
mudah marah atau tersinggung) dan reaktif (seperti mudah sedih atau murung) sebagai suatu
respons atau tanggapan yang sangat kuat terhadap berbagai kejadian atau peristiwa sosial
(Regita, 2014, h.19).
Perkembangan Sosial Remaja dituntut untuk dapat menyesuaikan diri dan beradaptasi
pada lingkungan sosial, meliputi lingkungan keluarga, sekolah serta masyarakat.
Hoarding disorder ini termasuk kedalam teori Psikologi Klinis. Mengapa bisa masuk
kedalam teori ini?
Psikologi klinis merupakan salah satu ilmu dari cabang cabang psikologi. Ilmu psikologi
ini digunakan sebagai ilmu yang memfokuskan studi pada perilaku jenis-jenis perilaku
abnormal atau subnormal. Jika lebih diluaskan lagi, psikologi klinis merupakan ilmu psikologi
yang mempelajari serta membahas mengenai rintangan dan kesulitan emosional dalam diri
manusia, dan tidak memandang apakah orang tersebut termasuk ke dalam abnormal atau tidak.
Berikut ini beberapa pemahaman psikologi klinis menurut pendapat beberapa para ahli:
a. Menurut Witmer (1912), psikologi klinis merupakan metode yang digunakan untuk daoat
mengubah dan mengembangkan jiwa seseorang berdasar pada hasil dari observasi serta
eksperimen yang menggunakan teknik penanganan pedagosis.
b. Menurut American Psychological Association (1935), psikologi klinis adalah bentuk dari
psikologi terapan yang digunakan untuk menentukan kapasitas serta karakteristik tingkah
laku dari individu yang mana menggunakan metode pengukuran assement, observasi,
analisa, uji fisik, serta riwayat sosial agar mendapatkan saran dan rekomendasi yang
digunakan individu untuk bisa menyesuaikan diri dengan tepat.
c. Menurut J.H Resinck (1991), psikologi klinis merupakan bidang ilmu di dalam psikologi
yang mana meliputi riset, pelayanan, serta pengajaran yang berkaitan akan prinsip-
prinsip, metode, serta prosedur aplikasi yang digunakan untuk memahami, menduga,
serta mengurangi ketidakmampuan dan ketidak nyamanan yang diterapkan dalam
populasi klien dalam jangkauan yang lebih luas.
d. Menurut Phares, psikologi kilinis merupakan bidang ilmu yang membahas dan mengkaji
tentang diagnosis dan intervensi tentang penyembuhan masalah psikologis serta
gangguan dan tingkah laku abnormal.
e. Menurut Reber (1995), psikologi klinis adalah bidang psikologi yang berkaitan tentang
perilaku menyimpang, abnormal, ataupun maladaptif.
f. Menurut APA Division (1992), psikologi klinis mengintegrasikan ilmu, teori serta
praktek untuk dapat memahami, memprediksi, serta mengurangi ketidaknyamanan dan
distabilitas bahkan dapat memperbaiki adaptasi dan perkembangan pada pribadi manusia.
Psikologi klinis memiliki fous pada aspek-aspek yang emosioanl, intelektual, psikologis,
biologis, perilaku, dan sosial dari fungsi manusia di sepanjang hidupnya dan dalam
berbagai macam budaya yang ada di semua tingkat sosial-ekonomi.
Yap Kie Hien (1968) menjelaskan jika terdapat beberapa istilah yang digunakan untuk psikologi
klinis, adapun istilah-istilah tersebut antara lain adalah:
Psikopatologi, bidang ilmu yang mempelajari tentang patologi atau kelainan kejiwaan.
Istilah ini sering digunakan dalam bidang psikiatri. Sebenarnya psikopatologi tidak
masuk ke dalam psikologi klinis. Namun seorang ahli psikologi klinis harus dapat
menguasai ilmu ini untuk bisa berhasil dalam diagnostiknya.
Psikologi Medis, penjabaran dari psikologi kepribadian dan umum yang diperuntukkan
untuk ilmu kedokteran. Tujuan dari ilmu ini untuk dapat melengkapi ilmu pengetahuan
dokter mengenai gambaran biologis manusia serta gambaran kehidupan kejiwaan,
pengamatan, fungsi-fungsi psikis, afek, berpikir, dan kehidupan perasaan yang terjadi
pada manusia normal.
Psikologi abnormal, istilah ini mulai populer di tahun 50an. Dan diciptakan oleh beberapa
psikolog yang menginginkan adanya klasifikasi kondisi yang tidak normal yang mungkin
saja terjadi pada individu.
Psikologi konflik dan Pato-psikologi, istilah ini diusulkan dengan tujuan untuk bisa
menunjukkan jika seseorang yang membutuhkan bantuan psikolog tidak selalu
dikategorikan “sakit”. Pertolongan diberikan pada orang-orang yang sedang mengalami
kesulitan yang sampai menganggu keseimbangan
Mental Health dan Mental Hygiene, untuk istilah mental hygiene lebih berkaitan erat
dengan bidang kedokteran. Lebih banyak membahas terkait penyembuhan . Sedangkan
untuk mental health lebih banyak membahas dari sisi preventifnya. Tugasnya untuk bisa
memelihara dan mempertahankan kesehatan mental serta mencegah agar tidak terjadinya
gangguan mental.
1. Penelitian Penelitian yang ada di dalam psikologi klinis bertujuan untuk dapat
membuktikan adanya kebenaran dalam sebuah teori yang ada di dalam praktek untuk
memahami keunikan perilaku, pikiran, dan perasaan seseorang. Contohnya saat
melakukan penelitian yang ditujukan untuk bisa meramalkan kerentanan yang terjadi
dalam individu pada serangan depresi menggunakan metode pendekatan penelitian yang
tepat.
3. Intervensi Secara umum, intervensi merupakan upaya yang digunakan untuk mengubah
pikiran, perilaku, serta perasaan seseorang yang mana meliputi penggunaan prinsip-
prinsip psikologi yang diperuntukkan menolong orang-orang untuk mengasti
permasalahan serta mengembangkan kehidupan yang lebih memuaskan.
Teori-teori yang ada di dalam psikologi klinis sebenarnya tidak jauh berbeda dengan teori
psikologi kepribadian, nah berikut ini beberapa teori-teori yang digunakan dalam psikologi
klinis:
Psikoanalisis adalah analisa atau pemeriksaan yang dilakukan secara cermat terhadap
pikiran. Sedangkan psikodinamika lebih menekankan pada berbagai macam kekuatan serta
konflik mental dan emosional yang berkaitan dengan pemikiran. Memfokuskan pada impuls-
impuls yang tidak sadar dan trauma yang terjadi di masa anak-anak serta pentingnya pertahanan
kecemasan. Psikoanalisis digunakan untuk proses terapiotik yang diperuntukkan untuk pasien
psikoneurotik yang menggunakan metode standard di dalam konteks medis.
Ada beberapa asumsi-asumsi psikodinamika tentang perilaku manusia yang berkaitan dengan
masalah psikologis:
Dalam pandangan Calr Rogers, perilaku manusia dikuasai oleh (yang disebutnya)
the actualizing tendency, yaitu suatu kecenderungan yang ada dalam diri (inhern) manusia
untuk mengembangkan kapasitasnya sedemikian rupa guna memelihara dan
mengembangkan diri. Motivasi yang timbul akibat kecenderungan ini meningkatkan
kemandirian dan mengembangkan kreativitas individu. Selanjutnya, menurut Abraham
Maslow, perilaku manusia terkait dengan kebutuhan yang tersusun menurut suatu hirarki
kebutuhan (hierarchy of need), mulai dari yang paling rendah yaitu kebutuhan: fisiologis
dasar, rasa aman dan tentram, dicintai dan disayangi, dihargai, hingga mengaktualisasikan diri.
Dari ketiga teori tersebut, Hoarding Disorder masuk kedalam Aliran Humanistik, karena
karena penyebab penderita hoarding disorder ini adalah traumatis, seperti gagal dalam
percintaan. Atau lebih ke makna kehidupan.
Kelainan ini biasanya bermula sejak remaja atau dewasa muda dan akan semakin sulit ditangani
setelah hoarder mencapai usia paruh baya. Walau mengganggu, tak sedikit orang yang tidak
menyadari hal tersebut sebagai kelainan. Ada juga yang sadar tapi tidak ingin mencari bantuan
dokter atau psikiater, baik karena malu atau merasa bersalah.
Penanganan dapat menjadi sulit terutama jika para hoarder merasa tidak butuh pertolongan.
Padahal perilaku ini sesungguhnya teramat menyiksa bagi penderitanya, karena tidak mampu
memisahkan dirinya dari barang-barang tersebut. Meski mungkin tidak dapat menyembuhkan,
tetapi penanganan yang diberikan dapat membantu meredakan stres dan mengurangi dorongan
penderitanya untuk menimbun.
Penanganan juga bisa membantu penderita hoarding disorder untuk belajar menata dan memilah
barang mana yang diperlukan dan mana yang tidak. Penanganan ini dapat dilakukan dengan
psikoterapi, berupa terapi perilaku kognitif. Pada kasus tertentu, dapat juga diberikan obat-obatan
antidepresan.
a. Terapi perilaku kognitif melibatkan terapis yang dapat membantu hoarder untuk:
b. Belajar memilah dan memutuskan barang mana yang harus dibuang dan mana yang
masih bisa disimpan.
c. Menyadari dan memahami apa yang membuat mereka menimbun barang yang tidak
berguna. Terapis tidak akan membuang barang timbunan tersebut, tapi akan mendukung
penderita untuk melakukannya sendiri.
Hoarding disorder tidak bisa disepelekan, sehingga membutuhkan penanganan yang tepat agar
hidup seorang hoarder tidak terganggu. Untuk itu, jika kamu atau kerabatmu ada yang
mengalami gejala dari hoarding disorder, ada baiknya untuk berkonsultasi dengan psikiater
guna mendapatkan penanganan yang tepat.
BAB IV PENUTUP
Hoarding Disorder merupakan gangguan yang tergolong baru dikarenakan baru muncul
di DSM-V, yakni keluaran terbaru dari DSM. Jadi untuk gejala-gejala penderita, biasanya
psikolog berpacu pada buku DSM tersebut, adapun panduan serupa bagi psikiater ataupun dokter
berpacu pada ICD-10 (International Statistical Classification of Diseases and Related Health
Problems) atau PPDGJ (Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa).
Biasanya seorang Hoarder ini juga akan mengalami kesulitan dalam mengatur atau meng-
organize barang-barangnya sehingga keadaan rumah akan tergolong berantakan. Penyebab
seseorang dapat menjadi seorang penimbun atau Hoarder yaitu ada kemungkinan dari faktor
keluarga, jika ada salah satu keluarganya yang mengalami hal tersebut maka ada kemungkinan
anggota keluarga lainnya mengalami Hoarding Disorder. Namun, Belum ada bukti ilmiah atau
teori yang menjelaskan adanya penyebab keturunan atau secara genetik. Selain itu, kejadian
traumatis di masa lalu juga dapat menyebabkan seseorang Hoarder, misalnya pernah mengalami
kehilangan barang yang disayang. Hal ini dikarenakan barang yang ditimbun tidak hanya barang
bekas, namun juga barang yang memiliki sentimental value.
Seorang Hoarder umumnya tidak laki-laki atau perempuan, namun terdapat
kecenderungan perempuan karena melibatkan adanya perasaan atau kondisi emosi terhadap
barang-barang tertentu. Untuk usia, gejala akan muncul pada usia remaja yakni sekitar 13 tahun
ke atas hingga dewasa. Adapun untuk status sosial ekonomi sendiri lebih ke kalangan ekonomi
ke bawah karena akan ada perasaan di mana saat seseorang memiliki benda tersebut, akan
merasa sayang untuk membuangnya karena dulu mungkin tidak dapat membelinya atau
membutuhkan perjuangan yang berat untuk mendapatkan barang tersebut. Apabila menemukan
seseorang atau anggota keluarga sendiri dengan gejala seperti itu alangkah baiknya jika dibawa
ke psikolog untuk dilakukan terapi. Adapun terapi yang dapat dilakukan adalah terapi kognitif
dan perilaku yang dapat mengubah cara pandangnya atau cara berpikir terkait keyakinan pada
benda-benda tersebut. Selanjutnya diminta untuk semacam menentukan atau memilih mana
barang-barang yang seharusnya disimpan dan dibuang.
Di Indonesia, sejauh ini belum ada kasus mengenai Hoarding Disorderkarena masih
kurangnya pengetahuan akan Hoarding Disorder, padahal kenyataannya di masyarakat banyak
sekali yang gemar menimbun barang. Masyarakat masih berpikir bahwa perilaku ini merupakan
suatu hal yang wajar, sehingga masyarakat tidak aware bahwa perilaku ini merupakan tergolong
ke dalam gangguan. Jadi kalau misalnya terdapat orang-orang yang sudah memiliki gejala-gejala
Hoarding Disorder, masyarakat akan menganggap hal itu merupakan hal yang lumrah sehingga
tidak ada yang menegur atau bahkan membawa ke psikolog untuk penanganan lebih lanjut.
Untuk itu perlu untuk mengedukasi orang-orang sekitar yang gemar menimbun banyak barang
hingga mengganggu orang lain serta membatasi ruang gerak di rumah. Munculnya kecemasan
dan adanya rasa malu untuk menunjukkan apa yang dikumpulkan tersebut sudah merupakan
gejala Hoarding Disorder.
DAFTAR PUSTAKA
https://elibrary.unikom.ac.id/id/eprint/3587/8/UNIKOM_Zulfa%20Adilla_12.Bab%20II.pdf
Dr. Nareza, Meva. 2020, Juli 11. Sering Menimbun Barang? Mungkin Kamu Menderita
Hoarding Disorder. Alodokter.https://www.alodokter.com/sering-menimbun-barang-
penyebabnya-mungkin-lebih-serius-dari-perkiraanmu
Tondok, S,M. 2008, Juli 13. Mrnyampah dari perspektif Psikologi (1). Harian Surabaya.
http://repository.ubaya.ac.id/420/