Anda di halaman 1dari 32

IMPLEMENTASI PENDEKATAN KONSTRUKTIVISME

DALAM PEMBELAJARAN IPS SD


MAKALAH
Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Pendidikan IPS
Dosen Pengampu: Anggara L. Sandra Dewi, S.Pd,. M.Pd.

Disusun Oleh:
1. Ahmad Arka Yuningrat (2086206002)
2. Handika Darma Yudistira (2086206040)
3. Seri Kurwadi (2086206044)
4. Lalu Mochammad Firmansyah (2086206049)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR


STKIP PGRI SIDOARJO

TAHUN 2021
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang melimpahkan rahmat, hidayah,
dan inayah-Nya kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini
tepat pada waktunya.
Dalam makalah yang berjudul “Pendekatan Konstruktivisme dalam
Pembelajaran IPS”. Penulisan makalah ini selain bertujuan untuk memenuhi salah
satu tugas mata kuliah Pendidikan IPS juga agar dapat berbagi ilmu yang kita
miliki. Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih terdapat
kekurangan dan jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu kami mengharap
kankritik dan saran yang sifatnya membangun.
Pada kesempatan ini tidak lupa kami mengucapkan terimakasih kepada pihak-
pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan penulisan makalah ini yang
tidak dapat kami sebutkan satu persatu.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penyusun khususnya dan bagi
pembaca umumnya.

Sidoarjo, Juni 2021


Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR........................................................................................................i
DAFTAR ISI.....................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................1
A. Latar Belakang.......................................................................................................1

B. Rumusan Masalah..................................................................................................1

C. Tujuan Penulisan....................................................................................................2

D. Sistematika Penulisan.............................................................................................2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA........................................................................................3


A. Pengertian Pendekatan Konstruktivisme................................................................3

B. Tokoh Pencetus Pendekatan Konstruktivisme........................................................5

C. Karakteristik Pendekatan Konstruktivisme.............................................................9

D. Prinsip-Prinsip Pendekatan Konstruktivisme........................................................10

E. Model Pembelajaran yang Dapat Dikaitkan dengan Pendekatan Konstruktivisme


............................................................................................................................11

BAB III PEMBAHASAN................................................................................................15


A. Mengembangkan Pembelajaran Dengan Pendekatan Konstruktivisme................15

B. Ciri-ciri Guru Konstruktivisme............................................................................18

C. Strategi Pembelajaran Keterampilan Sosial dengan Menggunakan Pendekatan


Konstruktivisme..................................................................................................20

BAB IV PENUTUP.........................................................................................................25
A. Simpulan..............................................................................................................25

B. Saran....................................................................................................................25

DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Proses belajar mengajar merupakan aktivitas antara guru dengan siswa di
dalam kelas. Proses belajar mengajar yang baik adalah proses belajar yang dapat
mencapai sasaran melalui kegiatan yang sistematis dan untuk itu sangatlah
diperlukan keaktifan guru dan siswa untuk menciptakan proses belajar mengajar
yang baik tersebut.
Seiring berjalannya waktu dan semakin pesatnya tingkat intelektualitas serta
kualitas kehidupan, maka pendidikan pun menjadi lebih kompleks. Oleh karena
itu, tentu saja hal ini membutuhkan sebuah desain pendidikan yang tepat dan
sesuai dengan kondisinya. Sehingga berbagai teori, metode dan desain
pembelajaran serta pengajaran pun dibuat dan diciptakan untuk mengapresiasikan
semakin beragamnya tingkat kebutuhan dan kerumitan permasalahan pendidikan.
Konstruktivismetik merupakan salah satu landasan berpikir pendekatan
pengajaran dan pembelajaran kontekstual atau contextual teaching and learning
(CTL), yaitu pengetahuan yang dibangun oleh siswa sedikit demi sedikit, yang
hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas (sempit). Pengetahuan bukanlah
seperangkat fakta-fakta, konsep atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat.
Manusia harus mengkonstruksi pengetahuan itu, memberi makna melalui
pengetahuan itu, kemudian memberi makna melalui pengalaman nyata.
Dengan dasar tersebut, pembelajaran harus dikemas menjadi proses
“membangun” bukan “menerima” pengetahuan. Dalam proses pembelajaran siswa
membangun sendiri pengetahuan mereka melalui keterlibatan aktif dalam proses
belajar mengajar. Siswa menjadi pusat kegiatan, bukan guru.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang telah kami buat, maka kami merumuskan beberapa
rumusan masalah yang akan kami bahas dalam makalah ini.
1. Apa pengertian dari pendekatan konstruktivisme dalam IPS ?
2. Siapa saja tokoh pencetus pendekatan konstruktivisme ?

1
2

3. Bagaimana karakteristik pendekatan konstruktivisme ?


4. Apa saja prinsip-prinsip pendekatan konstruktivisme ?
5. Bagaimana cara mengembangkan pembelajaran dengan pendekatan
konstruktivisme?
6. Apa saja ciri-ciri guru konstruktivisme ?
7. Bagaimana strategi pembelajaran keterampilan sosial dengan
menggunakan pendekatan konstruktivisme ?
C. Tujuan Penulisan
Dari beberapa rumusan masalah yang telah kami rumuskan, maka
dapat ditarik tujuan dari penulisan makalah ini.
1. Untuk mengetahui pengertian dari pendekatan konstruktivisme dalam IPS.
2. Untuk mengetahui siapa saja tokoh pencetus pendekatan konstruktivisme.
3. Untuk mengetahui dan memahami karakteristik pendekatan
konstruktivisme.
4. Untuk mengetahui prinsip-prinsip pendekatan kontruktivisme ?
5. Untuk mengetahui dan memahami cara mengembangkan pembelajaran
dengan pendekatan konstruktivisme.
6. Untuk mengetahui ciri-ciri guru konstruktivisme.
7. Untuk memahami strategi pembelajaran keterampilan sosial dengan
menggunakan pendekatan konstruktivisme.
D. Sistematika Penulisan
Makalah ini terdiri dari 4 bab yang diawali oleh bab Pendahuluan sampai
dengan bab Penutup.
Bab I merupakan Pendahuluan yang berisi Latar Belakang, Rumusan Masalah,
Tujuan Penulisan, dan Sistematika Penulisan.
Bab II merupakan Landasan Teoritis yang berisi kajian tentang pendekatan
konstruktivisme dalam pembelajaran IPS di Sekolah Dasar.
Bab III merupakan Pembahasan yang berisi Karakteristik Pembelajaran
Konstruktivismetik dalam pembelajaran IPS di SD, ciri guru konstruktivisme,
cara mengembangkan pembelajaran dengan pendekatan konstruktivisme, dan
strategi Pembelajaran Keterampilan Sosial di SD.
3

Bab IV merupakan penutup yang berisi kesimpulan dan saran.


4

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Pendekatan Konstruktivisme


Pengertian pendekatan sudah sangat akrab dengan kita, karena sudah
dari semester tiga kita sudah mempelajarinya sehingga tidak perlu panjang
lebar lagi mengenai pendekatan. Intinya, pendekatan adalah seperangkat
asumsi yang merupakan sudut pandang guru dalam merancang suatu
pembelajaran. Jadi, pendekatan kontruktivisme juga berisi asumsi-asumsi
mengenai bagaimana merancang suatu pembelajaran yang berdasarkan
landasan berpikir konstruktivisme.
Pembelajaran Konstruktivismetik atau Constructivist Theories of
Learning adalah model pembelajaran yang mengutamakan siswa secara
aktif membangun pembelajaran mereka sendiri secara mandiri dan
memindahkan informasi yang kompleks. Mengacu pada pemikiran
Aronson (1978)dalam makalah Awaludin (2010 : 3), yang mengatakan
bahwa pada proses pembelajaran, guru memberikan kesempatan siswa
dalam proses belajar dan sosialisasi yang berkesinambungan, berorientasi
pada model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw.
Menurut paham dari aliran konstruktivisme, ilmu pengetahuan sekolah
tidak boleh dipindahkan dari guru kepada siswa/anak didik dalam bentuk
yang serba sempurna. Murid perlu diberi binaan tentang pengetahuan
menurut pengalaman masing - masing. Kenyataan yang diketahui murid
adalah realitas yang dia bina sendiri. Murid sebenarnya telah mempunyai
satu set ide dan pengalaman yang membentuk struktur kognitif terhadap
kelanjutan pola pengetahuan dan pemikiran mereka.
Dalam Aunurrahman (2012), konstruktivisme juga merupakan
landasan berpikir (filosofi) dalam salah satu model pembelajaran yaitu
CTL, yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi
sedikit yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas. Bukanlah
seperangkat fakta, konsep atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat.
5

Manusia harus membangun pengetahuan itu memberi makna melalui


pengalaman yang nyata. Batasan konstruktivisme di atas memberikan
penekanan bahwa konsep bukanlah tidak penting sebagai bagian
6

integral dari pengalaman belajar yang harus dimiliki oleh siswa, akan
tetapi bagaimana dari setiap konsep atau pengetahuanyang di miliki siswa
itu dapat memberikan pedoman nyata terhadap siswa untuk
diaktualisasikan dalam kondisi nyata.
Hasil penelitian ditemukan bahwa pemenuhan terhadap kemampuan
penguasan teori berdampak positif untuk jangka pendek, tetapi tidak
memberikan sumbangan yang cukup baik dalam jangka waktu panjang.
Pengetahuan teoritis yang bersifat hapalan mudah lepas di ingatan
seseorang apabila tidak ditunjang dengan pengalaman nyata. Implikasi
bagi guru dalam mengembangkan tahap konstruktivisme ini terutama
dituntut kemampuan untuk membimbing siswa mendapatkan makna dari
setiap konsep yang dipelajarinya.
Pembelajaran akan dirasakan memiliki makna apabila secara langsung
mampu secara tidak langsung berhubungan dengan pengalaman sehari-hari
yang dialami oleh para siswa itu sendiri. Oleh karena itu, setiap guru harus
memiliki bekal wawasan yang cukup luas, sehingga dengan wawasannya
itu ia selalu dengan mudah memberikan ilusrasi, menggunakan sumber
belajar, dan media pembelajaran yang dapat merangsang siswa untuk
melakukan transformasi terhadap pemecahan masalah lain yang memiliki
sifat keterkaitan, meskipun terjadi pada ruang dan waktu yang berbeda.
Melihat sudut pandang landasan berpikir dalam teori belajar, dalam
Sadulloh (2007: 166) berbeda dengan behaviorisme, konstruktivisme
memfokuskan pada psoses-proses pembelajaran bukan pada perilaku
belajar. Sejak pertengahan tahun 1980-an, para peneliti telah berusaha
untuk mengidentifikasi bagaimana para siswa mengkonstruksi/
membentuk pemahaman mereka terhadap bahan yang mereka pelajari.
Menurut konstruktivisme, melalui proses-proses kognitif.
Para siswa menciptakan atau membentuk pengetahuan mereka sendiri
melalui tingkatan dan interaksi dengan dunia. Pendekatan konstruktivisme
sosial juga mempertimbangkan konteks sosial yang di dalamnya
pembelajaran muncul dan menekankan pentingnya interaksi sosial dan
7

negosiasi dalam pembelajaran. Berkenaan dengan praktek kelas,


pendekatan-pendekatan konstruktivisme mendukung kurikulum dan
pengajaran student-centered bukannya teacher-centered siswa adalah
kunci pembelajaran.
Jadi tidak seperti kaum behavioris yang mengkonsentrasikan diri pada
perilaku yang dapat diobservasi secara langsung, kaum konstruktivisme
memfokuskan pada proses-proses dan strategi-strategi mental yang
digunakan para siswa untuk belajar. pemahaman kita tentang pembelajaran
telah berkembang sebagai hasil dari kemajuan-kemajuan dalam sains
kognitif, studi tentang proses-proses mental yang digunakan siswa dalam
berpikir dan mengingat. Dengan mengambil dari penelitian dalam bidang
linguistik, psikologi, antropologi, neurofisiologi, dan ilmu komputer, para
ilmuan kognitif mengembangkan model-model baru bagaimana orang-
orang berpikir dan belajar.
Para guru yang menggantungkan aktivitas-aktivitas kelas pada
konstruktivisme mengetahui bahwa pembelajaran adalah suatu proses
pembentukan makna yang aktif, dimana para siswa bukanlah penerima
pasif informasi. Pada kenyataannya, para siswa terus-menerus terlibat
dalam upaya memahami pemahaman siswa dan menyadari bahwa
pembelajaran siswa dipengaruhi oleh pengetahuan awal, pengalaman,
sikap dan interaksi sosial.
E. Tokoh Pencetus Pendekatan Konstruktivisme
Dalam Supriatna (2010 : 3 – 4) Secara historis, konstruktivisme
berakar padajaman klasik Yunani terutama pada model dialog yang
dikembangkan oleh
1. Socrates dengan para murid-muridnya. Pada dialog tersebut,
Socrates bertanya pada murid murinya dan kemudian mereka
menjawabnya sesuai dengan jenis pertanyaan yang diajukannya. Melalui
pertanyaan-pertanyaan tersebut para murid Socrates mengkonstruksi
jawaban sambil menyadari kelemahan-kelemahan dalam kemampuan pikir
mereka, menurut Russell dalam Supriatna. Kini, Dialog Socrates, atau
8

lebih tepat disebut dengan teknik bertanya atau kegiatan tanya jawab
antara guru dengan siswa masih merupakan sarana bagi guru yang akan
mengembangkan pembelajaran konstruktivismetik guna menggali potensi
belajar serta memfasilitasi berkembangnya pengalaman-pengalaman
belajar yang baru. Dialog, teknik bertanya atau kegiatan tanya jawab
seperti ini relevan dengan teknik bertanya serta model-model pertanyaan
dalam pembelajaran IPS.
2. Pada abad ke-20, Jean Piaget dan John Dewey mengembangkan teori
pendidikan dan perkembangan siswa (childhood development and education) atau
yang dikenal denganProgressive Education yang kemudian berpengaruh terhadap
proses kelahiran alirankonstruktivismetik dalam pembelajaran serta
pengembangan kurikulum. Dalam teori yangdikembangkannya, Piaget meyakini
bahwa manusia belajar melalui proses konstruksisatu struktur logika setelah
struktur logika lain dicapainya. Maksudnya, manusia dapatmempelajari sesuatu
yang baru setelah sesuatu yang lain dipelajarinya. Dia juga menyimpulkan bahwa
kemampuan nalar anak dan cara pikirnya (modes of thinking)berbeda dengan cara
pikir orang dewasa. Implikasi dari teori ini dan caramengaplikasikannya telah
melandasi bagi lahirnya aliran konstruktivisme dalampendidikan, termasuk dalam
pembelajaran IPS.
Dalam Aunurrahman (2012), dalam teori ini, Piaget mengemukakan
bahwa secara umum semua anak berkembang melalui urutan yang sama,
meskipun jenis dan tingkat pengalaman mereka berbeda satu sama lainnya.
Perkembangan mental anak terjadi secara bertahap dari tahap yang satu ke
tahap yang lebih tinggi. Semua perubahan yang terjadi padda satu ke tahap
tersebut merupakan kondisi yang diperlukan untuk mengubah atau
meningkatkan tahap perkembangan moral berikutnya.
Berikut dengan perkembangan moral, Piaget mengemukakan dua tahap
perkembangan yang dialami oleh setiap individu. Tahap pertama disebut
“heterenomous” atau tahap “realisme moral”. Dalam tahap ini seorang
anak cenderung menerima begitu saja aturan-aturan yang diberikan oleh
orang-orang yang berkompeten untuk itu tahap kedua disebut
9

“autonomous morality” atau “independensi moral”, dalam tahap ini


seorang anak akan memandang perlu untuk memodifikasi aturan-aturan
untuk disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang ada.
Dalam pandangan Piaget tahap-tahap kognitif mempunyai ikatan yang
sangat erat dengan empat karakteristik berikut :
1. Setiap anak yang berbeda akan menempatkan cara-cara yang berbeda
secara kualitatif, utamanya dalam cara berfikir atau memecahkan
permasalahan yang sama.
2. Perbedaan cara berfikir antara anak satu dengan yang lain seringkali dapat
dilihat dari cara mereka menyusun kerangka berpikir yang saling berbeda.
Dalam hal ini ada serangkaian langkahyang konsisten dalam kerangka
berpikirnya, dimana tiap-tiap anak akan berkembang sesuai dengan tingkat
perkembangan usianya.
3. Masing-masing cara berpikir akan membentuk satu kesatuan yang
terstruktur. Ini berarti pada tiap tahap yang dilalui seorang anak akan
diatur sesuai dengan tingkat perkembangan usianya.
4. Tiap-tiap urutan dari tahap kognitif pada dasarnya merupakan suatu
integrasi hirarkhis dari apa yang telah dialami sebelumnya.

Seperti dikemukakan sebelumnya, Piaget mencoba mengkaji tingkah


laku anak melalui aktivitas bermainnya, karena ia ingin menguji
bagaimana anak-anak dapat berpikir secara spontan, dan bagaimana anak-
anak dapat menyesuaikan konsepnya terhadap berbagai tata aturan. Dari
hasil pengamatannya, Piaget mengetahui bahwa anak-anak pada usia
sekitar tiga tahun yang bermain kelerengdengan teman-temannya
umumnya belum mengembangkan aturan permainan sendiri, atau adanya
kerjasama yang lebih terencana. Pada umumnya anak-anak pada usia ini
cendrung menganggap pendirian atau pendapatnya sebagai sesuatu yang
paling benar. Dalam perkembangan berikutnya, ketika anak menginjak
usia sekitar 7 atau 8 tahun mulai berkembang perhatian terhadap
keuntungan timbal balik dan kecendrungan untuk menyeragamkan aturan
permainan. Selanjutnya pada periode condofocationof rules, yang biasanya
10

mulai berkembang usia sekitar 11 atau 12 tahun, dimana pada masa ini
anak mulai mampu menentukan aturan permainan secara lebih detail.
Atura-aturan permainan yang dihasilkan ini oleh anak dianggap sebagai
hukum yang dihasilkan dari kesepakatan bersama, walaupun menurut
mereka aturan-aturan tersebut masih dapat dimodofikasi.
Dari hasil penelitiannya Piaget mengetahui anak-anak yang lebih muda
usianya cendrung menilai sesuai tindakan berdasarkan konsekuensi atau
akibat materialnya. Misalnya John lebih nakal dari Hendry, karena John
memecahkan piring dan gelas, sementara Haendry hanya memecahkan
sebuah cangkir.
Dalam hal keadilan, Piaget menguraikan tentang pentingnya keadilan
distributif (ditributif justice), utamanya menyangkut bagaimana cara
melaksanakan hukuman dan ganjaran yang harusnya diberikan kepada
tiap-tiap anggota kelompok. Keadilan distributif ini menuntutnya
dibedakan antara yang di ekualitas dan ekuitas. Ekuitas adalah pandangan
dimana tiap-tiap orang harus diperlakukan secara sama. Sementara ekuitas
juga memperhitungkan pertimbangan-pertimbangan dari masing-masing
individu.
Kesimpulan mendasar dari hasil pengamatan Piaget adalah bahwa
dapat diambil terdapat pola-pola yang konsisten pada perilaku anak yang
bergerak dari satu tahap ketahap berikutnya. Pola-pola perubahan ini
terkait secara langsung dengan tingkat usia anak.
3. Dewey Hampir sama dengan Piaget, Dewey mengembangkan teori yang
dilandasi olehkeinginan agar pembelajaran dibangun melalui pengalaman nyata
(real experience). Diamenyatakan: "If you have doubts about how learning
happens, engage in sustainedinquiry: study, ponder, consider alternative
possibilities and arrive at your beliefgrounded in evidence." Jadi, inquiri
merupakan salah satu kunci penting dalam membangun pembelajaran yang
konstruktivismetik.
Teori pembelajaran konstruktivismetik semakin kuat setelah
munculnya para pemikir dalam pendidikan, psikologi dan sosiologi yang
11

mengembangkan perspektif baru dalam pembelajaran. Beberapa di


antaranya adalah Lev Vygotsky, Jerome Bruner, and David Ausubel.
Vygotsky melahirkan aspek sosial dalam pembelajaran ke dalam
pembelajaran konstruktivismetik. Selanjutnya, dia mengemukakan the
"zone of proximal learning,"according to which students solve problems
beyond their actual developmental level (butwithin their level of potential
development) under adult guidance or in collaboration withmore capable
peers.
4.Sedangkan Jerome Bruner memelopori pentingnya perubahan
kurikulum yang didasarkan atas pemikiran bahwa belajar merupakan
proses yang aktif serta proses sosialdimana para siswa mengkonstruksi
gagasan-gagasan atau konsep baru yang didasarkanatas pengetahuan yang
telah dipelajarinya. Pembelajaran dengan menggunakan konsepyang
diambil dari beberapa disiplin tertentu adalah relevan dengan pemikiran
Bruner.Pemikiran ini adalah relevan dengan pembelajaran IPS tentang
penggunaan konsep dalampembelajaran.
Menurut Bruner, peserta didik menyeleksi dan mentransformasi
informasi, mengkonstruksi hipotesis, dan mengambil keputusan yang
didasarkan atas struktur kognitifnya. Struktur kognitif (yaitu schema,
mental models) memberi makna (meaning) pada pengalaman dan memberi
kesempatan pada individu pada pengalaman yang nyata. Sepanjang proses
pembelajaran guru harus mendorong para peserta didik menemukan
sesuatu materi yang bermakna bagi dirinya. Guru dan siswa harus terlibat
secara aktif dalam proses dialog (seperti halnya model socratic learning.
Oleh karena itu, tugas utama guru adalah menyajikan informasi untuk
dipelajari lebih lanjut dan disesuaikan dengan apa yang telah diketahui dan
dialaminya. Kurikulum harus diorganisasi dalam pola spiralsehingga
memungkinkan siswa secara terus-menerus membangun sesuatu yang
telahdipelajarinya. Materi pembelaran IPS yang dimulai dari lingkungan
terdekat kemudianmeluas ke lingkungan yang lebih luas adalah relevan
dengan pemikiran Bruner.
12

F. Karakteristik Pendekatan Konstruktivisme


Karakteristik model pembelajaran konstruktivismetik berarti ciri – ciri
yang membedakan pendekatan konstruktivismetik dengan pendekatan
yang lainnya dalam makalah Awaludin (2010 : 5-6) . Ciri – ciri tersebut
diantaranya:
1. Mengutamakan ide dan permasalahan yang datang dari siswa dan
menggunakannya sebagai panduan untuk merancang pembelajaran.
2. Menggunakan inisiatif siswa untuk bertanya dan berdialog dengan guru.
3. Proses pembelajaran sama pentingnya dengan hasil pembelajaran
4. Mengutamakan pembelajaran kooperatif
5. Mengutamakan dan memelihara inisiatif, kreativitas, dan autonomi murid
6. Menumbuhkan kepercayaan dan sikap positif yang dibawa oleh murid
7. Mengutamakan proses inquiri melalui kajian dan eksperimen yang
dilakukan oleh siswa
8. Membekali siswa untuk mampu mengkaji cara mempelajari suatu ide
9. Memberi peluang kepada siswa untuk membangun pengetahuan baru
dengan memahaminya melalui pandangan siswa terhadap situasi dunia
nyata atau kehidupan sehari – hari.
Terdapat 3 prinsip pembelajaran dalam pandangan Bruner (1983)
dalam Supriatna (2010 : 5 – 6), yang dapat dikembangkan dalam
pembelajaran IPS di SD yaitu :
1. Pembelajaran harus berhubungan dengan pengalaman serta konteks
lingkungan siswa sehingga hal itu dapat mendorong mereka untuk belajar.
2. Pembelajaran harus terstruktur sehingga siswa bisa belajar dari hal – hal
yang mudah kepada hal – hal yang lebih sulit.
3. Pembelajaran harus disusun sedemikian rupa sehingga memungkinkan
siswa dapat melakukan ekplorasi sendiri dalam rangka mengkonstruksikan
pengetahuannya.

Honebein memberi landasan penguatan dalam pembelajaran IPS yang


bersifat konstruktivismetik dalam Supriatna (2010: 6) :
13

1. Mengembangkan pengalaman menjadi pengetahuan


2. Mengembangkan pengalaman dengan beragam perspektif
3. Mengembangkan pembelajaran dalam konteks nyata
4. Mendorong terbentuknya rasa memiliki terhadap apa yang dipelajarinya
5. Menempatkan proses belajar sebagai proses sosial
6. Mendorong penggunaan beragam cara dalam belajar sesuai dengan
kebiasaan masing-masing
7. Mendorong kesadaran diri dalam proses mengkonstruksi pengetahuan

G. Prinsip-Prinsip Pendekatan Konstruktivisme


Model pembelajaran konstruktivisme sangat relevan diterapkan dalam
pembelajaran Ilmu Sosial sesuai dengan kurikulum Pendidikan IPS,
khususnya model pembelajaran menurut pandangan konstruktivisme sosial
yang menekankan pentingnya aspek sosio-moral dalam aktivitas akademis.
Menurut DeVries and Zan dalam Sukadi (2003) prinsip-prinsip yang
perlu dilaksanakan, antara lain: 1) menciptakan situasi yang aktif terkait
dengan tujuan-tujuan siswa; 2) memajukan interaksi sosial yang berpusat
pada aktivitas akademis, 3) membangkitkan kebutuhan siswa untuk
berkomunikasi dan keinginan untuk berkolaborasi; 4) mengembangkan
aktivitas akademis dalam konteks moral; 5) mendorong penalaran siswa
mulai dari apa yang diketahui siswa, menghormati kesalahan siswa, dan
mengajar disesuaikan dengan jenis pengetahuan (fisik, logika, dan sosial)
yang ingin dibangun atau dikembangkan; dan 6) memberikan waktu yang
cukup untuk proses konstruksi pengetahuan
H. Model Pembelajaran yang Dapat Dikaitkan dengan Pendekatan
Konstruktivisme
Terdapat dua model pembelajaran yang dapat dikaitkan dengan
pendekatan konstruktivisme, yaitu model pembelajaran konstruktivisme
dan model pembelajaran inkuiri.
1. Model Konstruktivisme
14

Dalam Wibowo, model konstruktivisme dilandasi oleh teori


konstruktivisme. Belajar menurut teori konstruktivisme yaitu siswa harus
mampu secara pribadi menemukan dan mentransformasikan informasi
kompleks, mengecek informasi baru yang kemudian dibandingkan dengan
aturan lama dan merevisi aturan-aturan tersebut apabila tidak sesuai lagi.
Adapun langkah-langkah pembelajaran dalam model konstruktivisme
yaitu:
No Tahap Kegiatan Teknik
1 Engagement Orientasi siswa Menyajikan masalah
Eksplorasi Mengamati fenomena Demonstrasi, eksplorasi,
2
cerita
3 Eksplanasi Orientasi masalah Diskusi
Membuat hipotesis Diskusi
Pengamatan Eksplorasi, simulasi,
artikel, trip, dll
Analisis data Diskusi, presentasi
Menarik kesimpulan Diskusi
4 Ekspansi Aplikasi/ pengembangan Tugas atau proyek
5 Evaluasi Tes kognitif Hands-on

2. Model Inkuiri
Dalam Adibah (2009) istilah inkuiri berasal dari Bahasa Inggris, yaitu
inquiry yang berarti pertanyaan atau penyelidikan. Pembelajaran inkuiri
adalah suatu rangkaian kegiatan belajar yang melibatkan secara maksimal
seluruh kemampuan siswa untuk mencari dan menyelidiki secara sistematis,
kritis, logis, analitis, sehingga siswa dapat merumuskan sendiri penemuannya
dengan penuh percaya diri. Model pembelajaran ini dikembangkan oleh
seorang tokoh yang bernama Suchman. Suchman meyakini bahwa anak-anak
merupakan individu yang penuh rasa ingin tahu akan segala sesuatu. Adapun
langkah-langkah dalam pelaksanaan model pembelajaran inkuiri adalah
sebagai berikut:
a. Orientasi
Pada langkah ini guru mengondisikan agar siswa siap melaksanakan
proses pembelajaran dengan cara merangsang dan mengajak siswa untuk
15

berpikir memecahkan masalah. Langkah orientasi merupakan langkah


yang sangat penting, karena keberhasilan pembelajaran inkuiri sangat
tergantung pada kemauan siswa untuk beraktivitas menggunakan
kemampuannya dalam memecahkan masalah.
Beberapah hal yang dapat dilakukan dalam tahap orientasi adalah :
1) Menjelaskan topik, tujuan, dan hasil belajar yang diharapkan dapat
dicapai oleh siswa.
2) Menjelaskan pokok-pokok kegiatan yang harus dilakukan oleh
siswa untuk mencapai tujuan. Pada tahap ini dijelaskan langkah-
langkah inkuiri serta tujuan setiap langkah, mulai dari langkah
merumuskan masalah sampai dengan merumuskan kesimpulan.
3) Menjelaskan pentingnya topic dan kegiatan belajar. Hal ini
dilakukan dalam rangka memberikan motivasi belajar siswa.
b. Merumuskan Masalah
Pada langkah ini guru membawa siswa pada suatu persoalan yang
mengandung teka-teki. Persoalan yang disajikan adalah persoalan yang
menantang siswa untuk berpikir memecahkan teka-teki itu. Proses berpikir
dan mencari jawaban teka-teki itulah yang sangat penting dalam strategi
inkuiri, oleh karena itu melalui proses tersebut siswa akan memperoleh
pengalaman yang sangat berharga sebagai upaya mengembangkan mental
melalui proses berpikir.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam merumuskan masalah
adalah:
1) Masalah hendaknya dirumuskan sendiri oleh siswa. Siswa akan
memiliki motivasi belajar yang tinggi manakala dilibatkan dalam
merumuskan masalah yang hendak dikaji.
2) Masalah yang dikaji adalah masalah yang mengandung teka-teki
dan jawabannya pasti.
3) Konsep-konsep dalam masalah adalah konsep-konsep yang sudah
diketahui terlebih dahulu oleh siswa. Artinya, sebelum masalah itu
dikaji lebih jauh melalui melalui proses inkuiri, guru perlu yakin
16

terlebih dahulu bahwa siswa sudah memiliki pemahaman tentang


konsep-konsep yang ada dalam rumusan masalah.
c. Mengajukan Hipotesis
Kemampuan atau potensi individu untuk berpikir pada dasarnya sudah
dimiliki sejak individu itu lahir. Potensi berpikir tersebut dimulai dari
kemampuan setiap individu untuk menebak atau mengira-ngira
(berhipotesis) dari suatu permasalahan. Salah satu cara yang dapat
dilakukan guru untuk mengembangkan kemampuan berhipotesis pada
setiap anak adalah dengan mengajukan berbagai pertanyaan yang dapat
mendorong siswa untuk dapat merumuskan jawaban sementara atau dapat
merumuskan berbagai perkiraan kemungkinan jawaban dari suatu
permasalahan yang dikaji.
d. Mengumpulkan Data
Dalam pembelajaran inkuiri, mengumpulkan data merupakan proses
mental yang sangat penting dalam pengembangan intelektual. Proses
pengumpulan data bukan hanya memerlukan motivasi yang kuat dalam
belajar, akan tetapi juga membutuhkan ketekunan dan kemampuan
menggunakan potensi berpikirnya. Oleh sebab itu, tugas dan peran guru
dalam tahapan ini adalah mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang dapat
mendorong siswa untuk berpikir mencari informasi yang dibutuhkan.
e. Menguji Hipotesis
Menguji hipotesis adalah proses menentukan jawaban yang dianggap
diterima sesuai dengan data atau informasi yang diperoleh berdasarkan
pengumpulan data. Yang terpenting dalam menguji hipotesis adalah
mencari tingkat keyakinan siswa atas jawaban yang diberikan. Disamping
itu, menguji hipotesis juga berarti mengembangkan kemampuan berpikir
rasional. Artinya, kebenaran jawaban yang diberikan bukan hanya
berdasarkan argumentasi, akan tetapi harus didukung oleh data yang
ditemukan dan dapat dipertanggungjawabkan.
f. Merumuskan Kesimpulan
17

Merumuskan kesimpulan adalah proses mendeskripsikan temuan yang


diperoleh berdasarkan hasil pengujian hipotesis. Kadang banyaknya
jawaban yang diperoleh menyebabkan kesimpulan yang diputuskan tidak
fokus terhadap masalah yang hendak dipecahkan. Karena itu, untuk
mencapai kesimpulan yang akurat guru mampu menunjukkan pada siswa
data mana yang relevan.
BAB III
PEMBAHASAN

A. Mengembangkan Pembelajaran Dengan Pendekatan Konstruktivisme


Dalam pandangan Brook and Brook (1999)pendekatan konstruktivismetik
mengharuskan guru-guru IPS untuk melakukan hal-hal berikut ini :
1. Mendorong dan menerima otonomi dan inisiatif siswa dalam
mengembangkan materi pembelajaran. Jadi, sebagai seorang guru yang
ingin mengembangkan pembelajaran dengan pendekatan konstruktivisme
harus menerima kebebasan siswa dalam berpendapat dan harus mampu
mendorong siswa untuk berinisiatif bertanya tentang isu-isu sosial yang
berhubungan dengan materi pembelajaran. Selain bertanya, guru juga
harus mendorong siswa untuk membuat anak menjawab sendiri pertanyaan
tersebut, dan mendorong siswa untuk menganalisis pertanyaannya sendiri
(bertanya sendiri menjawab sendiri).
2. Menggunakan data mentah dan sumber utama untuk dikembangkan dan
didiskusikan bersama-sama dengan siswa di kelas. Dalam hal ini guru
membawakan sebuah fakta yang berupa data (baik berupa angka-angka,
diagram, atau gambar). Kemudian, siswa berdiskusi dan membuat
prediksi, analisis, serta kesimpulan dari data tersebut.
3. Memberi tugas kepada siswa untuk mengembangkan klasifikasi, analisis,
melakukan prediksi terhadap peristiwa yang terjadi dalam kehidupan
sehari-hari dan menciptakan konsep-konsep baru.Dalam hal ini guru
menjadi fasilitator agar siswa mampu membentuk pemahamannya dengan
kegiatan mengklasifikasi, menganalisis, mengsintesa, dan memprediksi,
serta membuat kesimpulan. Guru dapat membacakan cerita atau berita
yang berisi masalah agar siswa terangsang untuk melakukan kegiatan-
kegiatan tersebut.
4. Bersifat fleksibelitas terhadap respon dan interpretasi siswa dalam
masalah-masalah sosial, bersedia mengubah strategi pembelajaran yang
tergantung pada minat siswa, serta mengubah isi pelajaran sesuai dengan

18
19

situasi dan kondisi siswa. Jadi, guru juga harus menerima saat siswa
membahas sesuatu yang sesuai dengan minat mereka. Karena bersifat
fleksibel tidak selalu mengubah rencana pembelajaran dalam kurikulum
sepenuhnya.
5. Memfasilitasi siswa untuk memahami konsep sambil mengembangkannya
melalui dialog dengan siswa. Jadi, dalam hal ini guru harus mengurangi
menjawab “jawaban yang paling benar” dari pertanyaan-pertanyaan siswa.
jawaban yang sempurna dari guru akan menghambat kreativitas berpikir
siswa untuk memecahakan suatu isu dalam suatu konsep. Jadi, guru juga
harus membuat pertanyaan berdialog dan guru melakukan dialog saat
menjawab pertanyaan siswa merupakan salah satu esensi dari
pembelajaran konstruktivisme.
6. Mengembangkan dialog antara guru dengan siswa dan antara siswa
dengan rekannya. Caranya adalah dengan menyajikan wacana sosial
gagasan orang lain atau guru atau wacana dari teman sebayanya. Dengan
melakukan kegiatan ini maka siswa akan lebih tertarik untuk
mengembangkan pemahamannya dengan materi pelajaran.
7. Menghindari penggunaan alat tes untuk mengukur keberhasilan siswa.
Maksudnya adalah evaluasi itu bersifat on going, cara mengukur
keberhasilan siswa bukan hanya dengan menggunakan satu alat tes saja
dan bukan hanya diakhir pembelajaran saja.
8. Mendorong siswa untuk membuat analisis dan elaborasi terhadap
masalah-masalah kontroversial yang dihadapinya. Jadi, dalam hal ini guru
benar-benar memfasilitasi beragam pendapat yang diajukan oleh siswa
mengenai masalah-masalah yang kontroversial. Dengan begitu, guru juga
telah memfasilitasi siswa untuk mengembangkan keterampilan
berpikirnya, keterampilan menghargai pendapat, dan mempertahankan
suasana demokratis di dalam kelas.
9. Memberi peluang kepada siswa untuk berpikir mengenai masalah yang
dihadapi siswa. Jadi, dalam hal ini saat bertanya jawab guru tidak boleh
menuntut siswa untuk menjawab cepat setiap pertanyaan yang diajukan
20

guru. Guru sebaiknya menghargai setiap usaha dan harus memberikan


kesempatan kepada siswa untuk berpikir penuh mengenai persoalan
tersebut.
10. Memberi peluang kepada siswa untuk membangun jaringan konsep serta
membentuk metafora. Jadi, dalam hal ini guru dalam mengembangkan
pembelajarannya harus mampu menyajikan konsep-konsep yang saling
berhubungan (membentuk jejaring). Melalui konsep-konsep yang saling
berhubungan itu dapat dikembangkan methapora pada diri siswa
Berdasarkan hal-hal di atas mengenai penilaiannya, evaluasi harus dilakukan
secara menyeluruh meliputiberbagai aspek yang ditampilkan siswa saat kegiatan
belajar mengajar berlangsung.Salah satu model evaluasi yang dapat digunakan
adalah portofolio. Portofolio pada dasarnya merupakan dokumen guru yang
dikumpulkan mengenai semua penampilan siswa yang menyangkut kemampuan
dan keterampilan pengetahuan, partisipasi dalam KBM, sikap terhadap pelajaran,
kemampuan inquiry, kooperasi dengan teman-teman di kelas, ketepatan waktu
dalam mengumpulkan tugas, hasil tugas, dan lain-lain. Denganmodel ini guru IPS
di SD dapat merekam semua aspek yang ditampilkan siswa sebagaihasil belajar.
Berdasarkan semua rekaman tertulis tersebut, guru IPS dapat
memberikan“kepuasan” kepada para siswa-siswanya dalam “memberikan” nilai.
Jadi, dalam mengevaluasi keberhasilan belajar model konstruktivismetik
dalam pendidikan IPS di SD, proses belajar nampaknya lebih penting daripada
hasilnya. Guru IPS yang melakukan evaluasi proses belajar yang
konstruktivismetik dan dengan menggunakan portofolio harus mampu mencatat
kemampuan dan keterampilan-keterampilan yang dikembangkan dalam KBM.
Kemampuan-kemampuan dalam mengumpulkan informasi/data, mengolah
informasi, memanfaatkan informasi untuk dirinya serta mengkomunikasikan hasil
untuk berbagai keperluan harus dapat dikembangkan dan dievaluasi dalam
pengajaran IPS yang bersifat konstruktivismetik.
Melihat karakteristik dan hal-hal yang harus dilakukan guru, maka penyusun
membuat suatu rancangan langkah-langkah pembelajaran yang bersifat
konstruktivisme. Sebenarnya setiap guru atau siapa saja dapat membuat langkah-
21

langkah pembelajaran modifikasinya sendiri karena suatu pendekatan bukan


merupakan rincian langkah-langkah pembelajaran seperti model. Guru boleh
membuat langkah-langkahnya sendiri asalkan tidak menyimpang dari karakteristik
dan prinsip-prinsip pembelajaran dengan menggunakan pendekatan
konstruktivisme. Rancangan langkah-langkah pembelajaran IPS yang dibuat
penyusun dengan menggunakan pembelajaran konstruktivisme yaitu:
3. Melakukan apersepsi yang membangkitkan minat dan motivasi siswa
dengan memberikan suatu topik yang berkaitan dengan kehidupan siswa.
4. Melakukan tanya jawab dengan siswa mengenai pengetahuan awal yang
dimiliki siswa mengenai topik pembelajaran.
5. Siswa mengajukan sendiri masalah yang ingin dibahas, kemudian siswa
lain saling menjawab pertanyaan temannya (menganalisis) dengan bantuan
guru.
6. Guru menyimpulkan masalah yang diajukan siswa.
7. Siswa dengan berkelompok melakukan eksplorasi untuk memecahkan
masalah.
8. Siswa mempresentasikan hasil eksplorasinya.
Jadi, pembelajaran yang menjiawai landasan berpikir konstruktvis yaitu
pembelajaran yang menghargai konsepsi siswa, merangsang siswa untuk berpikir
tingkat tinggi untuk menguji konsepsinya, dan merangsang siswa aktif selama
pembelajaran.
I. Ciri-ciri Guru Konstruktivisme
Berdasarkan uraian-uraian di sub bab sebelumnya, maka penyususn
menyimpulkan bahwa ciri guru konstruktivisme adalah sebagai berikut:
1. Guru yang senantiasa membangkitkan konsepsi siswa sebelum masuk ke
materi inti.
2. Guru yang memotivasi siswa untuk bertanya mengenai hal-hal yang ingin
diketahuinya.
3. Guru yang mendorong terjadinya dialog dengan dan antar siswa.
22

4. Guru yang memfasilitasi siswa agar mampu berpikir tingkat tinggi yaitu
menganalisis, mengklarifikasi, memprediksi, mengsintesis, dan
menciptakan.
5. Guru yang dengan sabar menunggu saat siswa sedang menjawab
pertanyaan.
Bruce dan Masha dalam Models of Teaching dalam Sadulloh (2010 : 167-
168) memberikan deskripsi guru konstruktivisme debagai berikut: jack Wilson
adalah guru kelas satu di Lincoln, Nebraska. Ia kesehariannya mengajarkan
membaca pada sekompok anak yang maju dengan cukup baik. Kendati demikian,
ia prihatin bahwa mereka tidak memiliki kesulitan memecahkan kata-kata baru
kecuali kalau mereka tidak dapat membayangkan maknanya dari konteks. Jika
mereka mampu membayangkan apa yang dimaksud kata-kata itu dari potongan
kalimatnya, mereka tampaknya tidak memiliki kesulitan menggunakan prinsip-
prinsip yang telah mereka pelajari untuk memahami kata-kata tersebut. Ia
menyimpulkan bahwa mereka tidak memiliki kontrol penuh atas konsep dan
prinsip analisis fonetik dan struktural. Ia merencanakan aktivitas-aktivitas yang
dirancang untuk membantu mereka mengembangkan konsep-konsep tentang
bagaimana kata-kata disusun dan menggunakan pengetahuan itu dalam
memecahkan kata-kata yang tidak diketahui mereka.
Jack mempersiapkan sekantung kartu yang masing-masing memiliki sebuah
kata. Ia memilih kata-kata yang memiliki prefiks (awalan) dan sufiks (akhiran),
dan ia dengan sengaja menyimpan kata-kata yang memiliki akar kata sama namun
awalan dan akhiran yang berbeda. Ia mengambil prefiks dan sufiks karena prefiks
dan sufiks adalah karakteristik struktural kata yang terkenal, mudah diidentifikasi.
Ketika kelompok siswa itu berkumpul pada senin pagi, jack memberi
beberapa kartu masing-masing anak. Ia menyimpan sisanya, menghitung secara
bertahap peningkatan jumlah informasi yang diperoleh siswa. Jack meminta
masing-masing siswa untuk membaca sebuah kata pada salah satu kartu tersebut
dan menggambarkan sesuatu mengenai kata itu. Siswa yang lainnya dapat
menambahkan gambarannya. Dengan cara ini properti-properti struktural dari kata
menarik perhatian siswa. Diskusi-diskusi membahas karakteristik-karakteristik
23

seperti konsonan-konsonan awal yang dimulai dengan huruf “s”, vokal, pasangan
konsonan, dan sebagainya.
Setelah para siswa akrab dengan bermacam-macam kata, Jack meminta
mereka untuk mengelompokan kata-kata tersebut. Para siswa mulai mempelajari
kartu-kartu mereka, dengan menilik-nilik kartu tersebut mereka memilah-milah
keumuman kata-kata tersebut.
Ketika para siswa selesai memilah-milah kata, Jack meminta mereka untuk
berbicara menegnai masing-masing kategori, yang menceritakan apa yang dimiliki
kartu-kartu itu secara umum. Secara sedikit demi sedikit, para siswa dapat
menemukan prefiks dan sufiks utama dan memikirkan mengenai makna prefiks
dan sufiks tersebut. Kemudian ia memberi mereka kalimat-kalimat yang
didalamnya kata-kata yang tidak ada dalam bungkus kartu yang diawali dan
diakhiri oleh prefiks dan sufiks dan memina mereka untuk membayangkan
makna-makna dari kata-kata tersebut, dengan menerapkan konsep-konsep yang
telah mereka bentuk untuk membantu mereka membuka makna-makna kata
tersebut.
Aktivitas induktif dilakukan beberapa kali, dengan memilih kumpulan kata
yang berbeda. Jack mengarahkan para siswa melalui kategori-kategori konsonan
dan bunyi-bunyi vokal serta struktur yang mereka butuhkan untuk memecahkan
kata-kata yang tidak dikenal.
J. Strategi Pembelajaran Keterampilan Sosial dengan Menggunakan
Pendekatan Konstruktivisme
Mengenai keterampilan sosial, sudah banyak sekali dijelaskan dalam
kesempatan yang sebelumnya, sehingga langsung saja masuk ke strategi
keterampilan sosial dengan menggunakan pendekatan konstruktivisme.
Terdapat beberapa strategi dalam mengajarkan keterampilan sosial kepada
parasiswa melalui pendidikan IPS SD. Di antara beberapa strategi tersebut,
strategi konstruktivismetik, cooperative learning (pembelajaran kooperatif) dan
inquiry dapat dipilih dan dikembangkan sebagai alternatif.
1. Strategi konstruktivismetik
24

Strategi konstruktivismetik ini berarti guru menempatkan siswa sebagai


pusat pembelajaran dan siswa sendiri yang mengembangkan pembeajarannya.
Siswa yang mengajukan masalah dan menganalisis masalah tersebut. Dalam
prosesnya, saat siswa sebagai pusat pembelajaranlah keterampilan sosial siswa
akan terasah.
Seorang guru IPS yang konstruktivismetik harus dapat memfasilitasi para
siswanya dengan kesempatan untuk berlatih dalam mengklasifikasi,
menganalisis dan mengolahinformasi berdasarkan sumber-sumber yang
mereka terima. Sikap kritis siswa terhadapinformasi harus dapat
dikembangkan dalam proses pembelajaran di kelas. Dalammemberikan tugas
kepada siswa-siswanya harusnya guru yang konstruktivismetikmenggunakan
sifat kognitif seperti prediksi, klasifikasi dan analisis. Jadi, aspek kognitif
siswa yang dikembangkan tidak hanya keterampilan dalammenghapal dan
mengingat tetapi juga menganalisis, memprediksi, mengkritisi
danmengevaluasi informasi yang siswa terima.
Di era global ini, banyak sekali sumber-sumber infosmasi yang dapat
dijadikan sumber belajaran IPS. Sumber belajar yang bersifat keobjektifan dan
kesubjektifan juga menarik untuk dianalisis siswa. Ada informasi berdasarkan
datadan fakta yang objektif dan ada pula informasi yang didasarkan atas data
dan fakta yangsifatnya subjektif. Siswa harus dilatih untuk memilah mana
informasi yang benar danmana informasi yang sifatnya rumor. Keterampilan
dalam hal mengkritik sumberinformasi, mengkompilasi informasi seperti
mengumpulkan, menggabungkan danmenyusun informasi, serta menarik
informasi dari sumber seperti foto, dokumen tertulis,media elektronik serta
sumber lisan harus dapat dilatihkan dalam proses belajar mengajar.Strategi
atau pendekatan konstruktivismetik yang menempatkan siswa sejajar
(equal)dengan guru merupakan langkah yang baik untuk melatihkan
keterampilan-keterampilan tersebut.
2. Strategi inquiry
Inquiry yang merupakan salah satu strategi pengajaran dapat dipilih oleh
guru IPSdalam mengembangkan keterampilan-keterampilan sosial atau
25

intelektual. Strategi inimenekankan peserta didik menggunakan keterampilan


intelektual dalam memperolehpengalaman baru atau informasi baru melalui
investigasi yang sifatnya mandiri(independent). Jadi, keterampilan
memperoleh informasi baru berdasarkanpengetahuan mengenai informasi atau
pengalaman belajar sebelumnya merupakankondisi baik untuk
mengembangkan keterampilan yang terkait dengan penguasaaninformasi.
Beberapa keuntungan strategi ini yang terkait dengan penguasaan
informasidiantaranya adalah ; 1) strategi ini memungkinkan peserta didik
melihat isi pelajaranlebih realistis dan positif ketika menganalisis dan
mengaplikasikan data dalammemecahkan masalah, 2) memberi kesempatan
kepada para siswa untuk merefleksikanisu-isu tertentu, mencari data yang
relevan, serta membuat keputusan yang bermaknabagi mereka secara pribadi,
dan 3) menempatkan guru sebagai fasilitator belajar sekaligusmengurangi
perannya sebagai pusat kegiatan belajar.
Dalam Supriatna (2010: 24) dengan menggunakan strategi inquiry,
mengembangkan keterampilan sosial atau intelektual dapat dimulai dengan
mengajukan pertanyaan kritis kepada peserta didik. Misalnya, jika
keterampilan yang terkait dengan penguasaan, pengolahan dan penggunaan
informasi yang ingin dicapai maka guru IPS SD dapat memulai pertanyaan
dengan menggunakan kata tanya mengapa atau bagaimana. Pertanyaan-
pertanyaan seperti “mengapa kita harus memilih acara tayangan TV dan berit
Radio yang cocok untuk usia kita? Bagaimana kalau informasi dari buku teks
ini tidak benar? Apa yang harus kita tambahkan dari keterangan itu? Dengan
pertanyaan seperti itu, siswa bukan hanya difasilitasi untuk mencari informasi
baru – terkait dengan aspek keterampilan – melainkan juga aspek kognitif
mengenai cara memperoleh, mengolah dan menggunakan informasi untuk
kepentingan dirinya. Keterampilan-keterampilan yang dapat dikembangkan
melalui pertanyaan-pertanyaan kritis tersebut diantaranya adalah keterampilan
dalam hal memperoleh informasi dari sumber-sumber tertulis, lisan atau media
elektronik, menggunakan peta sebagai petunjuk mencari lokasi,
menginvestigasi sumber belajar, membuat laporan, melakukan analisis,
26

melakukan prediksi, menyeleksi informasi, membuat bagan, menggunakan


teknologi informasi seperti internet, menggunakan telepon serta etika
menggunakan telepon, membuat keputusan, berdiskusi,bekerjasama dan
keterampilan-keterampilan lain yang terkait. Keterampilan-keterampilan yang
sangat berguna bagi kehidupan mereka sehari-hari harus dapat difasilitasi oleh
guru melalui pendekatan di atas.
Dengan menggunakan strategi ini, maka seluruh ranah kognitif, afektif,
dan psikomotor juga dapat sekaligus dikembangkan. Pengetahuan yang berupa
fakta dan konsep merupakan ranah kognitif. Pemahaman teori masuk kepada
ranah psikomotor, dan penerapan pengetahuan yang dijadikan pembiasaan
oleh siswa termasuk kepada ranah afektif. Keterampilan sosial yang
dikembangkan dalam proses pembelajaran hendaknya juga diimbangi dengan
sikap sosial positif melalui membiasakan mereka melakukan atau
mempraktekkan sikap-sikap positif tersebut.
3. Strategi Cooperative Learning
Strategi cooperative learning mengajarkan siswa untuk belajar
bekerjasama dalam kelompok. Sikap, dan perilaku bekerjasama dalam
kelompok menjadi hal yang sangat penting. Dalam strategi ini bukan hanya
mengembangkan ranah kognitif siswa, tetapi juga melibatkan ranah
psikomotor siswa. Dimana siswa belajar dengan melibatkan pengalamannya
dalam kehidupan sehari-hari.
Pembelajaran IPS sebagai tempat untuk melatih keterampilan-
keterampilan sosial, untuk itu guru hendaknya dapat memillih materi atau
bahan ajaryang bermakna bagi siswa.Keterampilan sosial bekerjasama
merupakan aspek yang penting dalam kehidupan bermasyarakat. Strategi ini
dapat dikembangkan guru dalam pembelajaran agar lebih bermakna.
Strategi pembelajaran diskusi kelas dapat dikembangkan melalui strategi
pembelajaran cooperative mengenai berbagai masalah yang ditemukan dari
siswa.Ketiga strategi pembelajaran tersebut dapat digunakan oleh guru
tergantung situasi dan kondisinya dalam pembelajaran.
BAB IV
PENUTUP
A. Simpulan

Pembelajaran Konstruktivismetik adalah model pembelajaran yang


mengutamakan siswa secara aktif membangun pembelajaran mereka sendiri
secara mandiri dan memindahkan informasi yang kompleks. Dalam pendekatan
pengajaran dan pembelajaran konstruktivisme akan memberikan peluang kepada
guru untuk memilihkaidah pembelajaran yang sesuai dan murid dapat menentukan
sendiri waktu yang diperlukan untuk memperoleh suatu pengetahuan aau konsep.
Guru dapatmembuat penilaian sendiri dan menilai pemahaman suatu bidang
pengetahuan dan dapat di tingkatkan lagi, selain itu beban guru berkurang karena
bertaindak sebagai fasilitator.

Adapun strategi pembelajarannya yaitu konstruktivismetik, inquiry, dan


kooperatif. Ketiga strategi tersebut dapat dikembangkan oleh guru sesuai dengan
materi, situasi dan kondisi yang terjadi di lingkungan sekolah. Selain itu guru juga
harus mengetahui ciri-ciri guru konstruktivisme, ciri-ciri guru konstruktivisme
yaitu sebagai berikut 1) Guru yang senantiasa membangkitkan konsepsi siswa
sebelum masuk ke materi inti. 2) Guru yang memotivasi siswa untuk bertanya
mengenai hal-hal yang ingin diketahuinya. 3) Guru yang mendorong terjadinya
dialog dengan dan antar siswa. 4) Guru yang memfasilitasi siswa agar mampu
berpikir tingkat tinggi yaitu menganalisis, mengklarifikasi, memprediksi,
mengsintesis, dan menciptakan. Dan 5) Guru yang dengan sabar menunggu saat
siswa sedang menjawab pertanyaan.
K. Saran

Saran untuk pembaca sebagai calon guru agar mengembangkan pembelajaran


IPS yang bermakna yakni senantiasa menggunakan pendekatan-pendekatan yang
sesuai, salah satunya pendekatan konstruktivisme yang membuat anak aktif untuk
berpikir tingkat tinggi. Oleh karena itu kita harus memahami apa itu pendekatan

27
konstruktivisme, karakteristiknya, dan prinsipnya serta memahami bagaimana
cara menjadi guru konstruktivisme dan strategi penerapannya.

28
DAFTAR PUSTAKA

Adibah, F. (2009). BAB II Kajian Teori. Makalah, Universitas Islam Negeri


Sunan Ampel. Surabaya.

Aunurrahman. 2012. Belajar dan Pembelajaran. Bandung: alfabeta.

Awalludin, D S. (2010). “Pendekatan Pembelajaran Konstruktivismetik Di SD”.


Makalah Pendidikan Guru Sekolah Dasar, Universitas Pendidikan Indonesia,
Kampus Purwakarta. Purwakarta.

Sadulloh, U. 2007. Filsafat Pendidikan. Bandung: Cipta Utama.

Sukadi. 2003. “Implementasi Model Konstruktivisme Dalam Pembelajaran


Ips”.Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja. No 2, ISSN
0215-8250, 6.

Supriatna, Nana, dkk. 2010. Pendidikan IPS di SD. Bandung: UPI PRESS.

Wibowo, Y. Model-Model Pembelajaran. Handout TPB, Universitas Negeri


Yogyakarta. Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai