Anda di halaman 1dari 44

BAB I

ANALISIS KASUS

A. IDENTIFIKASI PASIEN
Nama Pasien : Tn W
Umur : 32 tahun
Jenis Kelamin : laki-laki
Berat Badan : 65 kg
Tinggi Badan :
Alamat : Kp Cambai Rt 05 / 05 Kel Sukatani Kecamatan Rajeg
No. Rekam Medik : 00215779
Status Jaminan : BPJS
Tanggal Masuk RS : 5 Maret 2019
Tanggal Keluar RS : 18 Maret 2019
Dokter yang merawat : dr. I Nyoman Sudirga, Sp PD
Ruang Rawat : Paviliun Cempaka
B. KELUHAN UTAMA
Pasien datang dengan keluhan Pusing dan lemas
C. RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG
Anemia dengan CKD on HD dengan hipertensi
D. RIWAYAT PENYAKIT TERDAHULU
-
E. RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA
-
F. RIWAYAT SOSIAL
-
G. RIWAYAT PENGGUNAAN OBAT
H. PEMERIKSAAN KLINIS DAN LABORATORIUM
1. Hasil Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan Nilai Tanggal


Normal 6/3 7/3 8/3 9/3 10/3 11/3 12/3 13/3
Suhu (oC) 36,5 – 37,5 36,5 36 36 36,2 36 36,3 36,5 36
Nadi 60-100 67 60 74 65 68 66 90 84
(x/menit)
Pernafasan 12-20x 24 * 24* 20 24* 20 17 21* 18
(x/menit)
Tekanan 120/80 187/ 188/ 170/ 156/ 178/ 170/ 225/ 188/
darah 120* 109* 100* 96* 110* 120* 133* 100*
(mmHg)

Pemeriksaan Nilai Tanggal


Normal 14/3 15/3 16/3 17/3 18/3
Suhu (oC) 36,5 – 37,5 36,3 36,5 36
Nadi 60-100 85 72 78
(x/menit)
Pernafasan 12-20x 20 20 20
(x/menit)
Tekanan 120/80 165/ 170/ 220/
darah 96 * 100* 110*
(mmHg)

I. GRAFIK TEKANAN DARAH

Tekanan Darah
250

200

150
Tekanan Darah

100

50

0
6 Maret 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
2. HASIL PEMERIKSAAN LABORATORIUM
TANGGAL
PEMERIKSAAAN NILAI NORMAL
05/03 06/03 09/03 14/03 16/03
HEMATOLOGI
Hemoglobin 13,2 - 17,3 g/dl 6,5* 6,9* 7,8* 9,0* 7,9*
3
Leukosit 3,80 - 10,50 x 10 /ul 8,34 5,77 6,21 6,98 6,12
Hematokrit 40 - 52% 19* 20* 23* 26* 23*
3
Trombosit 140 - 440 x 10 /ul 178 138* 124* 129* 108*

ELEKTROLIT

Natrium/Na 135-147 mEq/L 142 142 142 141 142


Kalium/K 3,5-5,0 mEq/L 4,2 3,7 3,8 4,5 3,8
Chloride/Cl 96-105 mEq/L 100 100 100 99 99
FUNGSI GINJAL
Ureum 0 – 50 mg/dl 91* 100* 134* 111*
Creatinin 0,0 – 1,3 mg/dl 9,7* 9,5* 9,3*
3. Hasil Pemeriksaan Diagnostis

4. Hasil Pemeriksaan Mikrobiologi


-
5. Diagnosis
Anemia pada CKD on HD dengan hipertensi

J. CATATAN PERKEMBANGAN PASIEN TERINTEGRASI

Tanggal Catatan Perkembangan


05/03/19 S Pasien pusing dan lemas
O Sadar, TD 196/103
IGD
A Anemia pada CKD on HD, HT emergensi
P Perdipin Start 0,5 mg /mnt, Amlodipin 10 mg, Clonidin 2x
0,15 mg, Ramipril 1x 5 mg, Transfusi 500 cc PRC on HD
06/03/19 S Pasien merasakan pusing
O Cm, Tss
IPD
TD= 182/100 RR= 18 x
dr. D.S
A Hipertensi , CKD on HD, Anemia
P HD hari ini, transfuse on HD, Perdipin 1mmg/mnt,
Amlodipin 10 mg, Nifedipine 1 x 30 mg
08/03/19 S Pasien masih mengeluhkan lemas
O Cm
IPD
TD = 189/100, RR = 20x, Nadi= 78 x
dr. D.S
A CKD on HD dengan anemia
Hipertensi belum terkontrol
P Tambahan Bisoprolol 1x5mg, Transfusi On HD
11/03/19 S Pasien mengatakan perut sesak
O TD: 200/70, Nadi : 78x, RR; 20x
IPD
A CKD on HD dengan Anemia
dr. D.S.
Hipertensi
P Ranitidine 2x50mg, domperidone 3x10mg, Nifedipine
1x60mg
12/03/19 S Pasien Mengatakan lemas
O Cm Tss
IPD
TD; 260/130 Nadi: 62x RR: 18x
dr. D.S
A CKD on HD
Hipertensi belum terkontrol
P Nifedipine 1 x 60 mg (P), Ramipril 1 x 10 mg (P)
Tanggal Catatan Perkembangan
HD besok (Transfusi PRC on HD 300 cc)
13/03/19 S Sariawan
O Cm, TD : 170/100
IPD
A 1. CKD On HD
dr. F.
2. Hipertensi belum terkontrol
P Transfusi HD
Terapi lanjut
14/3/19 S Sariawan, sesak nafas bertambah
O Cm, Paru basah
IPD
A 1. CKD on HD overload
dr. F.
2. Hipertensi
P NTG 5 mg/menit, HD rutin retriksi cairan, Liat produksi
urine
15/3/19 S Sesak nafas berkurang
O Paru basah
IPD
A 1. CKD on HD
dr. F.
2. Hipertensi
P HD rutin Tarik cairan lebih, terapi lanjut,
18/3/19 S Keluhan tidak ada
O Paru basah halus
IPD
A 1. CKD on HD
dr. F.
2. Hipertensi
P HD rutin (Rawat Jalan), Clonidin 4 x0,15 mg, Bisoprolol
1x10mg, Nifedipine 1x60 mg, Ramipril 1x 10 mg, Bicnat
3x500 mg, Vit b 12 3x500 mg, Caco3 3x500mg, asam folat
1 x 5 mg, OMZ 2x40 mg
K. PENGGUNAAN OBAT SEKARANG
NAMA OBAT REGIME TANGGAL
N
OBAT ORAL 06/3/19 07/3/19 08/3/19 09/3/19 10/3/19 11/3/19 12/3/19 13/3/2019
P S M P S M P S M P S M P S M P S M P S M P S M
Amlodipin 1x10 mg STOP

Clonidin 3 x 1 tab √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √

Ramipril 1 x 5 mg √ √ √ √ √ √ STOP √

Nifedipine 1x30 mg √ √ √ √ √ √ √

Bisoprolol 1x5 mg √ √ √ √ √

Bicnat 3x500 √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
mg
Asam Folat 1x1 mg √ √ √ √ √

Vit b12 3x50 √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √


mcg
Domperidone 3x10 mg √ √ √ √ √ √ √

Nifedipine 1x60 mg √

OBAT SUNTIK

Ranitidin 2 x 1 √ √ √ √
ampul
IVFD
Perdipin 0,5
mcg/ jam
NAMA OBAT REGIME TANGGAL
N
OBAT ORAL 14/3/19 15/3/19 16/3/19 17/3/19 18/3/19
P S M P S M P S M P S M P S M
Amlodipin 1x10 mg STOP

Clonidin 3 x 1 tab √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √

Ramipril 1 x 10 √ √ √ √
mg
Nifedipine 1x60 mg √ √ √ √ √

Bisoprolol 1x5 mg √ √ √ √ √

Bicnat 3x500 √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
mg
Asam Folat 1x1 mg √ √ √ √ √

Vit b12 3x50 √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √


mcg
Domperidone 3x10 mg √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √

Candesartan 1x16 mg √ √

OBAT SUNTIK

Ranitidin 2 x 1 √ √ √ √ √ √ √ √
ampul
Lasix 1 x 40 √
mg

L. INFORMASI PENGGUNAAN OBAT


Nama Obat Dosis Lazim Indikasi KI Efek Samping IO
Nifedipine 1x30-60 mg lepas Hipertensi Hipersensitif, Pusing, takikardia, mual Bisoprolol, phenytoin,
(Nifedipine) lambat Syok kardiogenik, Simvastatin
porfiria
Clonidine 3x 50-100 mcg/ Hipertensi Depresi Mulut kering, depresi, Bisoprolol,
hari bradikardi amitriptyline,atenolol
Dosis maksimum
2,4 mg/hari
Ramipril 1 x 2,5-5 mg Hipertensi Hipersensitif, Gangguan saluran cerna, Diuretik hemat
Dosis maksimum wanita hamil, hiperkalemia, hipotensi kalium, antasida,
20 mg/hari menyusui, OAINS
hiperkalemia
Bisoprolol 1x5-10mg/hari Hipertensi Hipersensitif, Kebas pada ekstremitas, Clonidin,digoxin,
pada pagi hari sinus bradikardi, gangguan saluran candesartan, sodium
hipotensi pencernaan, pusing bicarbonate
Bicnat 4,8 gram/hari Asidosis metabolic/ Hipersensitif Mual, perut kembung, Aspirin,
menetralkan asam peningkatan kadar natrium kortikosteroid,
darah Bisoprolol
Asam folat 5 mg/hari Penambah darah Hipersensitif Bronkopasma, pruritus Sulfadoxin,
pyrimethamine
Vit b 12 2,4 mg /hari Suplemen nutrisi Cobalt, Dichlorphenamide
hipersensitif
Domperidone 3x10-20 mg /hari Mual dan muntah Tumor hipofisis, Kadar prolactin naik, Antikolinergik,
prolaktinoma penurunan libido
Ranitidin inj 50mg(2ml) tiap 6-8 Tukak lambung Hipersensitif H2 Sakit kepala, Warfarin, antasida
jam blocker Gastrointestinal
Nitrogliserin Dosis maintenance Hipertensi emergensi Hipotensi,infark Pusing, hipotensi, Sildenafil, ergotamine
mulai 5-10 mcg/ ventrikel kanan dyspnea, takikardi
menit, dinaikkan
tiap 3-5 menit 10
mcg/ menit
M. Perhitungan cleareance creatinine
Clcr : (140−Umur ) x BW
72 x Scr
Clcr : (140−32 ) x 65
=10,2 ml/ menit
72 x 9,5
1. Bisoprolol
ClCr < 40 ml/ menit = 2,5 mg/day
2. Ramipril
ClCr < 40 ml/menit = 25 % dari dosis normal
Dosis ramipril = 1 x 5 mg/ hari x0,25 =1 x 1,25 mg /hari
3. Clonidin
ClCr < 10 ml / menit = 50% -75 % dari dosis normal, ClCr pasien 10,2 ml/
menit
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Chronic Kidney Disease
1. Definisi CKD
Gagal Ginjal Kronik (GGK) didefinisikan sebagai ketidaknormalan struktur
atau fungsi ginjal selama lebih dari 3 bulan yang progresif ke arah gagal ginjal
terminal. Kriteria lain dari GGK adalah terdapat tanda kerusakan ginjal seperti
terjadinya albuminuria, adanya sedimen urin, abnormalitas elektrolit yang
disebabkan oleh penyakit tubular, riwayat transplantasi ginjal serta penurunan
nilai GFR hingga kurang dari 60 ml/menit/1,73m2. Pasien GGK dengan nilai
GFR kurang dari 15 ml/menit/1,73m2 perlu dilakukan inisiasi hemodialisis atau
transplantasi ginjal (KDIGO, 2013).
Chronic Kidney Disease (CKD) adalah suatu kerusakan pada struktur atau
fungsi ginjal yang berlangsung ≥3 bulan, yang dikarakterisasi dengan perubahan
struktur normal ginjal secara bertahap disertai fibrosis interstisial. CKD
dikategorikan menurut tingkat fungsi ginjal, berdasarkan laju filtrasi glomerulus
(Glomerular Filtration Rate/GFR) menjadi tahap 1 sampai tahap 5 dengan
peningkatan nomor menunjukkan peningkatan derajat keparahan penyakit yang
didefiniskan sebagai penurunan GFR. Sistem klasifikasi ini diperoleh dari Kidney
Dialysis Outcome and Quality Initiative (KDOQI) dan memperhitungkan kerusakan
struktural dari kerusakan ginjal ((Dipiro et al. 2015).
CKD tahap 5 juga dikenal sebagai penyakit ginjal tahap akhir (End Stage
Renal Disease/ESRD), terjadi ketika GFR turun sampai kurang dari 15 ml/menit per
1,73 m2 luas permukaan tubuh. Pasien yang mengalami CKD tahap 5 memerlukan
dialisis berkepanjangan atau transplantasi ginjal untuk mengurangi gejala uremik
((Dipiro et al. 2015).
2. Epidemiologi
Laporan The United States Renal Data System (USRDS) tahun 2011
menunjukkan tingkat prevalensi penderita ESRD (End Stage Renal Disease) pada
tahun 2009 di Amerika Serikat sebesar 1.811/1.000.000 penduduk, di Taiwan sebesar
2.447/1.000.000 penduduk dan di Jepang sebesar 2.205/1.000.000 penduduk.
(Siallagan et al 2011). Prevalensi penyakit ginjal kronik di Indonesia sekitar 12,5%,
yang berarti terdapat 18 juta orang dewasa di Indonesia menderita penyakit ginjal
kronik. (Siallagan et al 2011) Di Indonesia, penyakit setiap tahun semakin
bertambah. Di Surabaya sekitar 300 sampai 400 pasien berobat di rumah sakit
terkait penyakit ginjal setiap bulannya (Dinkes Jatim, 2010).
3. Etiologi
Menurut Price dan Wilson (2005) klasifikasi penyebab gagal ginjal kronik
adalah sebagai berikut :
a. Penyakit infeksi tubulointerstitial: Pielonefritis kronik atau refluks nefropati
b. Penyakit peradangan: Glomerulonefritis
c. Penyakit vaskuler hipertensif: Nefrosklerosis benigna, Nefrosklerosis maligna,
Stenosis arteria renalis
d. Gangguan jaringan ikat: Lupus eritematosus sistemik, poliarteritis nodosa,
sklerosis sistemik progresif
e. Gangguan congenital dan herediter: Penyakit ginjal polikistik, asidosis tubulus
ginjal
f. Penyakit metabolik: Diabetes mellitus, gout, hiperparatiroidisme, amiloidosis
g. Nefropati toksik: Penyalahgunaan analgesi, nefropati timah
h. Nefropati obstruktif: Traktus urinarius bagian atas (batu/calculi, neoplasma,
fibrosis, retroperitineal), traktus urinarius bawah (hipertropi prostat, striktur
uretra, anomaly congenital leher vesika urinaria dan uretra).
4. Klasifikasi Stadium
Penyakit ini didefinisikan dari ada atau tidaknya kerusakan ginjal dan
kemampuan ginjal dalam menjalankan fungsinya. Klasifikasi ini ditujukan untuk
memfasilitasi penerapan pedoman praktik klinis, pengukuran kinerja klinis dan
peningkatan kualitas pada evaluasi, dan juga manajemen CKD (National Kidney
Foundation, 2002).
5. Gejala Klinis
CKD terjadi setelah berbagai macam penyakit merusak massa nefron ginjal
(Wilson, 2005). Gejala umumnya tidak terlihat pada CKD tahap 1 dan 2, dan
mungkin minimal selama tahap 3 dan 4. Gejala umum terkait dengan tahap 1 sampai
4 yaitu edema, intoleransi dingin, sesak napas, jantung berdebar, kram dan nyeri otot,
depresi, kecemasan, kelelahan, dan disfungsi seksual (Joy et al, 2008).
a. Gangguan pada sistem gastrointestinal meliputi: anoreksia, nausea, vomitus,
cegukan (hiccup) yang sebabnya belum diketahui, gastritis erosif, ulkus peptik,
dan kolitis uremik.
b. Kulit berwarna pucat akibat anemia dan kekuningan akibat penimbunan urokrom,
ekimosis, urea frost, dan bekas garukan karena gatal.
c. Sistem hematologi meliputi: anemia, gangguan fungsi trombosit, trombositopenia,
dan leukosit.
d. Sistem saraf dan otot, meliputi: Restless leg syndrome, Burning feet syndrome,
ensefalopati metabolik, dan miopati.
e. Sistem kardiovaskular, meliputi: hipertensi, nyeri dada, sesak napas, penyakit
jantung koroner, gagal jantung, gangguan irama jantung, dan edema akibat
penimbunan cairan.
f. Sistem endokrin, meliputi: gangguan seksual (libido, feritilitas, dan ereksi
menurun pada laki-laki), gangguan metabolisme gula, resistensi insulin, gangguan
sekresi insulin, gangguan metabolisme lemak, dan gangguan metabolisme vitamin
D.
g. Gangguan sistem lain, meliputi: tulang (osteodistrofi renal), asidosis metabolik,
elektrolit (hiperfosfatemia, hiperkalemia, dan hipokalsemia).
Karena pada CKD telah terjadi gangguan keseimbangan homeostatik pada seluruh
tubuh, gangguan pada suatu sistem akan berpengaruh pada sistem lain, sehingga
gangguan metabolik dapat menimbulkan kelainan pada berbagai sistem/organ tubuh
(Suhardjono et al 2001).
6. Patofisiologi (Dipiro et al, 2008)
Terdapat beberapa kategori faktor risiko yang dihubungkan dengan gagal
ginjal kronik yaitu :
a. Faktor risiko yang meningkatkan kerentanan ginjal kronik yaitu faktor sosio
demografi seperti usia, pendapatan rendah, pendidikan rendah, ras, berat lahir
rendah dan riwayat keluarga. Selain faktor sosiodemografi, keadaan
menyebabkan terjadi inflamasi sistemik dan dislipidemia dapat pula
meningkatkan risiko kerentanan gagal ginjal kronik. Faktor risiko tersebut dapat
meningkatkan risiko perkembangan penyakit walaupun tidak berperan secara
langsung.
b. Faktor risiko yang menginisiasi yaitu kondisi yang secara langsung dapat
menginisiasi kerusakan ginjal. Diabetes melitus, hipertensi, penyakit autoimun,
penyakit polikistik, infeksi sistemik, infeksi saluran kemih, batu ginjal dan
pembengkakakn saluran kemih bagian bawah serta ketoksikan obat masuk
kedalam kategori faktor risiko yang menginisiasi.
Gambar 1. Ginjal

Ginjal memiliki 1 juta nefron, dan masing masing memiliki kontribusi


terhadap total GFR. Pada saat terjadi renal injury, pada awalnya ginjal masih
memiliki kemampuan untuk mempertahankan GFR. Namun pada akhirnya nefron
sehat yang tersisa ini akan mengalami kegagalan dalam mengatur autoregulasi
tekanan glomerular, dan akan menyebabkan hipertensi sistemik dalam glomerulus.
Peningkatan tekanan glomerulus ini akan menyebabkan hipertrofi nefron yang sehat
sebagai mekanisme kompensasi. Pada tahap ini akan terjadi poliuria, yang bisa
menyebabkan dehidrasi dan hiponatremia akibat ekskresi Na melalui urin meningkat.
Peningkatan tekanan glomerulus ini akan menyebabkan proteinuria. Derajat
proteinuria sebanding dengan tingkat progresi dari gagal ginjal.Reabsorpsi protein
pada sel tubuloepitelial dapat menyebabkan kerusakan langsung terhadap jalur
lisosomal intraselular, meningkatkan stres oksidatif, meningkatkan ekspresi lokal
growth faktor, dan melepaskan faktor kemotaktik yang pada akhirnya akan
menyebabkan inflamasi dan fibrosis tubulointerstitiel melalui pengambilan dan
aktivasi makrofag.
Inflamasi kronik pada glomerulus dan tubuli akan meningkatkan sintesis
matriks ektraseluler dan mengurangi degradasinya, dengan akumulasi kolagen
tubulointerstitiel yang berlebihan. Glomerular sklerosis, fibrosis tubulointerstitiel, dan
atropi tubuler akan menyebabkan massa ginjal yang sehat menjadi berkurang dan
akan menghentikan siklus progresi penyakit oleh hiperfiltrasi dan hipertrofi nefron.
Kerusakan struktur ginjal tersebut akan menyebabkan kerusakan fungsi
ekskretorik maupun non-ekskretorik ginjal. Kerusakan fungsi ekskretorik ginjal
antara lain penurunan ekskresi sisa nitrogen, penurunan reabsorbsi Na pada tubuli,
penurunan ekskresi kalium, penurunan ekskresi fosfat, penurunan ekskresi hidrogen.
Kerusakan fungsi non-ekskretorik ginjal antara lain kegagalan mengubah bentuk
inaktif Ca, menyebabkan penurunan produksi eritropoetin (EPO), menurunkan
fungsi insulin, meningkatkan produksi lipid, gangguan sistem imun, dan sistem
reproduksi.
Angiotensin II memiliki peran penting dalam pengaturan tekanan
intraglomerular. Angiotensin II diproduksi secara sistemik dan secara lokal di ginjal
dan merupakan vasokonstriktor kuat yang akan mengatur tekanan intraglomerular
dengan cara meningkatkan irama arteriole efferent. Angiotensin II akan memicu
stress oksidatif yang pada akhirnya akan meningkatkan ekspresi sitokin, molekul
adesi, dan kemoaktraktan, sehingga angiotensin II memiliki peran penting dalam
patofisiologi CKD.

Gambar 2. Sistem RAAS


Karena penurunan laju filtrasi glomerulus, maka ginjal tidak mampu untuk
mengekskresikan zat zat tertentu seperti fosfat sehingga timbul hiperfosfatemia.
Hiperfosfatemia akan menstimulasi FGF-23, growth factor ini akan menyebabkan
inhibisi 1-α hydroxylase. Enzim ini digunakan dalam sintesis kalsitriol. Karena
inhibisi oleh FGF-23 maka sintesis kalsitriol pun akan menurun. Akan terjadi
resistensi terhadap vitamin D. Sehingga feedback negatif terhadap PTH tidak
berjalan. Terjadi peningkatan hormon parathormon. Akhirnya akan timbul
hiperparatiroidisme sekunder. Hiperparatiroidisme sekunder akan menyebabkan
depresi pada sumsum tulang sehingga akan menurunkan pembentukan eritropoetin
yang pada akhirnya akan menyebabkan anemia. Selain itu hiperparatiroidisme
sekunder juga akan menyebkan osteodistrofi yang diklasifikasikan menjadi osteitis
fibrosa cystic, osteomalasia, adinamik bone disorder, dan mixed osteodistrofi.
Penurunan ekskresi Na akan menyebabkan retensi air sehingga pada akhirnya
dapat menyebabkan oedem, hipertensi. Penurunan ekskresi kalium juga terjadi
terutama bila GFR < 25 ml/menit, terlebih pada CKD stadium 5. Penuruan ekskresi
ini akan menyebabkan hiperkalemia sehingga meningkatkan resiko terjadinya
cardiac arrest pada pasien.
Asidosis metabolik pada pasien CKD biasanya merupakan kombinasi adanya
anion gap yang normal maupun peningkatan anion gap. Pada CKD, ginjal tidak
mampu membuat ammonia yang cukup pada tubulus proksimal untuk
mengekskresikan asam endogen ke dalam urin dalam bentuk ammonium.
Peningkatan anion gap biasanya terjadi pada CKD stadium 5. Anion gap terjadi
karena akumulasi dari fosfat, sulfat, dan anion anion lain yang tidak terekskresi
dengan baik. Asidosis metabolik pada CKD dapat menyebabkan gangguan
metabolisme protein. Selain itu asidosis metabolic juga merupakan salah satu faktor
dalam perkembangan osteodistrofi ginjal.
Pada CKD terutama stadium 5, juga dijumpai penurunan ekskresi sisa nitrogen
dalam tubuh. Sehingga akan terjadi uremia. Pada uremia, basal urea nitrogen akan
meningkat, begitu juga dengan ureum, kreatinin, serta asam urat. Uremia yang
bersifat toksik dapat menyebar ke seluruh tubuh dan dapat mengenai sistem saraf
perifer dan sistem saraf pusat. Selain itu sindrom uremia ini akan menyebabkan
trombositopati dan memperpendek usia sel darah merah. Trombositopati akan
meningkatkan resiko perdarahan spontan terutama pada GIT, dan dapat berkembang
menjadi anemia bila penanganannya tidak adekuat. Uremia bila sampai di kulit akan
menyebabkan pasien merasa gatal–gatal.
Pada CKD akan terjadi penurunan fungsi insulin, peningkatan produksi lipid,
gangguan sistem imun, dan gangguan reproduksi. Karena fungsi insulin menurun,
maka gula darah akan meningkat. Peningkatan produksi lipid akan memicu timbulnya
aterosklerosis, yang pada akhirnya dapat menyebabkan gagal jantung.
Anemia pada CKD terjadi karena depresi sumsum tulang pada hiperparatiroidisme
sekunder yang akan menurunkan sintesis EPO. Selain itu anemia dapat terjadi juga
karena masa hidup eritrosit yang memendek akibat pengaruh dari sindrom uremia.
Anemia dapat juga terjadi karena malnutrisi.
Gambar 3. Mekanisme Perkembangan Gangguan Ginjal (Dipiro et al, 2008)

7. Manifestasi Klinik

Pada penyakit ginjal kronis terjadi kerusakan regional glomerolus dan


penurunan GFR yang dapat berpengaruh terhadap pengaturan cairan tubuh,
keseimbangan asam basa, keseimbangan elektrolit, sistem hematopoesis dan
hemodinamik, fungsi ekskresi dan fungsi metabolik endokrin. Sehingga
menyebabkan munculnya beberapa gejala klinis secara bersamaan, yang disebut
sebagai sindrom uremia (Suwitra, 2006).

Pasien GGK stadium 1 sampai 3 (dengan GFR ≥ 30 mL/menit/1,73 m2)


biasanya memiliki gejala asimtomatik. Pada stadium-stadium ini masih belum
ditemukan gangguan elektrolit dan metabolik. Sebaliknya, gejala-gejala tersebut
dapat ditemukan pada GGK stadium 4 dan 5 (dengan GFR < 30 mL/menit/1,73 m2)
bersamaan dengan poliuria, hematuria, dan edema. Selain itu, ditemukan juga uremia
yang ditandai dengan peningkatan limbah nitrogen di dalam darah, gangguan
keseimbangan cairan elektrolit dan asam basa dalam tubuh yang pada keadaan lanjut
akan menyebabkan gangguan fungsi pada semua sistem organ tubuh (Arora, 2014).
Kelainan hematologi juga dapat ditemukan pada penderita ESRD. Anemia
normositik dan normokromik selalu terjadi, hal ini disebabkan karena defisiensi
pembentukan eritropoetin oleh ginjal sehingga pembentukan sel darah merah dan
masa hidupnya pun berkurang (Arora, 2014).
8. Terapi (Dipiro et al. 2015)
Tujuan terapi yang diharapkan adalah memperlambat perkembangan CKD,
meminimalisasi perkembangan dan keparahan pada penyakit komplikasi.

a. Non Farmakologi
1. Batasi protein hingga 0,8 g/kg/hari jika GFR kurang dari 30 mL/menit/1,73
m2.
2. Berhenti merokok untuk memperlambat perkembangan CKD dan
mengurangi risiko CVD.
3. Latihan setidaknya 30 menit 5 kali per minggu
b. Farmakologi
1. Pada Hiperglikemia
a. Terapi intensi pada pasien dengan DM tipe 1 dan 2 dapat mengurangi
komplikasi mikrovaskular, termasuk nefropati. Terapi intensif dapat
termasuk insuluin atau obat oral dan melibatkan pengukuran kadar gula
darah setidaknya tiga kali sehari.
b. Perkembangan CKD dapat dibatasi melalui kontrol optimal terhadap
hiperglikemia dan hipertensi.

Gambar 4. Terapi Pada Pasien DM dengan CKD (Dipiro et al, 2015)


2. Pada Penderita Hipertensi
a. Kontrol tekanan darah yang memadai dan dapat mengurangi laju
penurunan GFR dan albuminuria pada pasien dengan atau tanpa diabetes.
b. Terapi antihipertensi untuk pasien CKD dengan diabetes atau tanpa
diabetes sebaiknya diawali dengan pemberian inhibitar ACE
(angiotensin-converting enzyme) atau bloker reseptor angiotensin II.
Bloker kanal kalsium nondihidropiridin biasanya digunakan sebagai obat
antiproteinuria lini kedua apabila penggunaan inhibitor ACE atau ARB
tidak dapat ditoleransi.
c. Klirens inhibitor ACE menurun pada kondisi CKD, sehingga sebaiknya
terapi dimulai dengan pemberian dosis terendah yang memungkinkan
diikuti dengan titrasi meningkat untuk mencapai target tekanan darah dan
sebagai tambahan, mengurangi proteinuria.
d. GFR umumnya menurun 25% sampai 30% dalam 3 sampai 7 hari setelah
memulai terapi dengan ACEI karena obat golongan tersebut mengurangi
tekanan intraglomerular. Peningkatan perlahan kreatinin serum lebih dari
30% setelah inisiasi terapi dapat dapat terjadi akibat inhibitor ACE dan
penghentian penggunaan sangat disarankan. Kadar serum potassium
sebaiknya dimonitor untuk mendeteksi perkembangan hiperkalemia
setelah insiasi atau peningkatan dosis inhibitor ACE.

Gambar 5. Terapi Pada Pasien Hipertensi dengan CKD (Dipiro et al, 2015)
B. Hipertensi
1. Definisi
Hipertensi atau tekanan darah tinggi, adalah meningkatnya tekanan
darah atau kekuatan menekan darah pada dinding rongga di mana darah itu
berada. Tekanan Darah Tinggi (hipertensi) adalah suatu peningkatan tekanan
darah di dalam arteri. Hiper artinya Berlebihan, Tensi artinya
tekanan/tegangan; jadi, hipertensi adalah Gangguan sistem peredaran darah
yang menyebabkan kenaikan tekanan darah diatas nilai normal.
Tekanan darah dalam kehidupan seseorang bervariasi secara alami.
Bayi dan anak-anak secara normal memiliki tekanan darah yang jauh lebih
rendah daripada dewasa. Tekanan darah juga dipengaruhi oleh aktivitas fisik,
dimana akan lebih tinggi pada saat melakukan aktivitas dan lebih rendah
ketika beristirahat. Tekanan darah dalam satu hari juga berbeda, paling tinggi
di waktu pagi hari dan paling rendah pada saat tidur malam hari.

2. Epidemiologi
Di Amerika, diperkirakan 30% penduduknya (± 50 juta jiwa) menderita
tekanan darah tinggi (≥ 140/90 mmHg); dengan persentase biaya kesehatan
cukup besar setiap tahunnya.3 Menurut National Health and Nutrition
Examination Survey (NHNES), insiden hipertensi pada orang dewasa di
Amerika tahun 1999-2000 adalah sekitar 29-31%, yang berarti bahwa
terdapat 58-65 juta orang menderita hipertensi, dan terjadi peningkatan 15
juta dari data NHNES III tahun 1988-1991. Tekanan darah tinggi merupakan
salah satu penyakit degeneratif. Umumnya tekanan darah bertambah secara
perlahan dengan bertambahnya umur. Risiko untuk menderita hipertensi
pada populasi ≥ 55 tahun yang tadinya tekanan darahnya normal adalah
90%.2 Kebanyakan pasien mempunyai tekanan darah prehipertensi sebelum
mereka didiagnosis dengan hipertensi, dan kebanyakan diagnosis hipertensi
terjadi pada umur diantara dekade ketiga dan dekade kelima. Sampai dengan
umur 55 tahun, laki-laki lebih banyak menderita hipertensi dibanding
perempuan. Dari umur 55 s/d 74 tahun, sedikit lebih banyak perempuan
dibanding laki-laki yang menderita hipertensi. Pada populasi lansia (umur ≥
60 tahun), prevalensi untuk hipertensi sebesar 65.4 %.

3. Klasifikasi

4. PATOFISIOLOGI
a. Hipertensi merupakan penyakit heterogen yang dapat disebabkan oleh
penyebeb yang spesifik (hipertensi sekunder) atau mekanisme
patofisiologi yang tidak diketahui penyebebnya (hipertensi primer atau
essensial). Hipertensi sekunder bernilai < 10 % kasus hipertensi, pada
umumnya kasus tersebut disebabkan oleh penyakit ginjal kronik
atau renovaskuler. Kondisi lain yang dapat menyebabkan hipertensi
sekunder antara lain Pheocrhromocytoma, sindrom cushing, hipertiroid,
hiperparatiroid, aldosteron primer, kehamilan, obstruktif sleep apnea, dan
kerusakan aorta. Beberapa obat yang dapat meningkatkan tekanan darah
adalah kortikosteroid, estrogen, AINS (Anti Inflamasi Non Steroid),
amphetamine, sibutramin, siklosporin, tacrolimus, erythropoietin, dan
venlafaxine.
b. Multifaktor yang dapat menimbulkan hipertensi primer adalah :
 Ketidaknormalan humoral meliputi sistem renin-angiotensin-
aldosteron, hormon natriuretik, atau hiperinsulinemia.
 Masalah patologi pada sistem syaraf pusat, serabut saraf otonom,
volume plasma, dan konstriksi arteriol.
 Defisiensi senyawa sintesis lokal vasodilator pada endtelium vaskuler,
misalnya prostasiklin, bradikinin, dan nitrit oksida, atau terjadinya
peningkatan produksi senyawa vasokonstriktor seperti angiotensin II
dan endotelin I.
 Asupan natrium tinggi dan peningkatan sirkulasi hormon natriuretik
yang menginhibi transpot natrium intraseluler, menghasilkan
peningkatan reaktivitas vaskuler dan tekanan darah.
 Peningkatan konsentrasi kalsium intraseluler memicu perubahan
vaskuler, fungsi otot halus dan peningkatan resistensi vaskuler verifer.
c. Penyebab utama kematian pada hipertensi adalah serebrovaskuler,
kardiovaskuler, dan gagal ginjal. Kemungkinan kematian prematur ada
korelasinya dengan meningkatnya tekanan darah.

5. Patogenesis
Sebagian besar penyebab hipertensi tidak diketahui yaitu pada 95%kasus.
Sehingga pathogenesis hipertensi melibatkan beberapa variable.
Patogenesis dari hipertensi esensial merupakan multifaktorial dan sangat
kompleks . Faktor-faktor tersebut merubah fungsi tekanan darah terhadap
perfusi jaringan yang adekuat meliputi mediator hormon, aktivitas vaskuler,
volume sirkulasi darah, kaliber vaskuler, viskositas darah, curah jantung,
elastisitas pembuluh darah dan stimulasi neural. Patogenesis hipertensi esensial
dapat dipicu oleh beberapa faktor meliputi faktor genetik, asupan garam dalam
diet, tingkat stress dapat berinteraksi untuk memunculkan gejala hipertensi.
Perjalanan penyakit hipertensi esensial berkembang dari hipertensi yang
kadang-kadang muncul menjadi hipertensi yang persisten. Setelah periode
asimtomatik yang lama, hipertensi persisten berkembang menjadi hipertensi
dengan komplikasi, dimana kerusakan organ target di aorta dan arteri kecil,
jantung, ginjal, retina dan susunan saraf pusat.
6. Etiologi
Hipertensi merupakan suatu penyakit dengan kondisi medis yang beragam.
Pada kebanyakan pasien etiologi patofisiologi-nya tidak diketahui (essensial
atau hipertensi primer). Hipertensi primer ini tidak dapat disembuhkan tetapi
dapat di kontrol. Kelompok lain dari populasi dengan persentase rendah
mempunyai penyebab yang khusus, dikenal sebagai hipertensi sekunder.
Banyak penyebab hipertensi sekunder; endogen maupun eksogen. Bila
penyebab hipertensi sekunder dapat diidentifikasi, hipertensi pada pasien-pasien
ini dapat disembuhkan secara potensial.

7. Gejala
Secara umum pasien dapat terlihat sehat atau beberapa diantaranya sudah
mempunyai faktor resiko tambahan (lihat tabel 3), tetapi kebanyakan
asimptomatik.
8. Manifestasi Klinik
 Penderita hipertensi primer yang sederhana pada umumnya tidak disertai
gejala.
 Penderita hipertensi sekunder dapat disertai gejala suatu penyakit.
 Penderita feokromositoma dapat mengalami sakit kepala paroksimal,
berkeringat, takikardia, palpitasi, dan hipotensi ortostatik. Pada
aldosteronemia primer yang mungkin terjadi adalah gejala hipokalemia kram
otot dan kelelahan. Penderita hipertensi sekunder pada sindrom cushing dapat
terjadi peningkatan berat badan, poliuria, edema, iregular menstruasi,
jerawat, atau kelelahan otot.
9. Diagnosis
Hipertensi seringkali disebut sebagai “silent killer” karena pasien dengan
hipertensi esensial biasanya tidak ada gejala (asimptomatik). Penemuan fisik
yang utama adalah meningkatnya tekanan darah. Pengukuran rata-rata dua kali
atau lebih dalam waktu dua kali kontrol ditentukan untuk mendiagnosis
hipertensi. Tekanan darah ini digunakan untuk mendiagnosis dan
mengklasifikasikan sesuai dengan tingkatnya (lihat tabel 2).

10. STRATEGI TERAPI


a. Tatalaksana Terapi
Tujuan dari pada penatalaksanaan hipertensi adalah menurunkan resiko
penyakit kardiovaskular dan morbidotas yang berkaitan. Sedangkan tujuan
terapi pada penderita hipertensi adalah mencapai dan mempertahankan
tekanan sistolik dibawah 140 mmhg dan tekanan distolik dibawah 90 mmhg
dan mengontrol adanya resiko. Hal ini dapat dicapai melalui modifikasi gaya
hidup saja atau dengan obat antihipertensi.

b. Guide Line (Menurut JNC 8)


Guideline (Menurut Dipiro 9 ed)

 TERAPI NON FARMAKOLOGI


 Penderita prehipertensi dan hipertensi sebaikanya dianjurkan untuk
memodifikasi gaya hidup, termasuk (1) penurunan berat badan jika kelebihan
berat badan, (2) melakukan diet makanan yang diambil DASH (Dietary
Approaches to Stop Hypertansion), (3) mengurangi asupan natrium hingga lebih
kecil sama dengan 2,4 g/hari (6 g/hari Nacl), (4) melakukan aktivitas fisik
seperti aerobik, (5) mengurangi konsumsi alkohol dan (6) menghentikan
kebiasaan merokok.
 Penderita yang didiagnosis hipertensi tahap 1 atau 2 sebaiknya di tempatkan
pada terapi modifikasi gaya hidup dan terapi obat secara bersamaan.

 TERAPI FARMAKOLOGI
BAB III
HASIL & ANALISIS
ANALISIS DRP
No Kriteria Masalah Rekomendasi
1. Interaksi Obat Pada tanggal 8 maret Disarankan untuk
2019 terapi yang menghilangkan obat
diberikan pada pasien bisoprolol dan melakukan
dalam waktu yang monitoring frekuensi nadi
bersamaan yaitu Clonidin pasien.
+ Bisoprolol memiliki
interaksi serious yang
keduanya meningkatkan
toksisitas dengan
mekanisme yang tidak
ditentukan dan dapat
meningkatkan bradikardi.
Namun interaksi ini
hanya bersifat potensial
dikarenakan belum terjadi
pada pasien ditandai oleh
frekuensi nadi yang masih
normal.
T1/2 Clonidin : 6 jam
T1/2 bisoprolol : 9 jam
Pada tanggal 8 maret Disarankan pada
2019 terapi yang penggunaan kedua obat ini
diberikan pada waktu dijeda kurang lebih 2 jam.
yang bersamaan pada Dan disarankan untuk
pasien Bicnat + bisoprolol memonitoring penggunaan
memiliki interaksi pada kedua obat ini.
(monitor closely) dengan
mekanisme Bicnat
mengurangi kadar
bisoprolol dengan
menghambat absorpsi GI
Pada tanggal 9 maret Disarankan untuk
terapi yang diberikan memonitoring tekanan
pada waktu yang darah pasien
bersamaan pada pasien
Bicnat + Ramipril
memiliki interaksi
(monitor closely) yaitu
Bicnat mengurangi efek
dari ramipril dengan
mekanisme yang tidak
ditentukan. Interaksi obat
ini terjadi kepada pasien
karena ditandai tekanan
darah yang belum
terkontrol yang
diakibatkan
mengurangnya efek dari
obat ramipril
Pada tanggal 13 maret Disarankan Pemberian jeda
2019 terapi yang waktu minum obat
diberikan pada waktu bisoprolol diminum pada
bersamaan pada pasien pagi hari, nifedipine
Bisoprolol + Nifedipine diminum pada malam hari
memiliki interaksi dan melakukan monitoring
(monitor closely) yaitu pada pemberian kedua obat
Keduanya meningkatkan ini dengan cara melihat
anti hipertensi kanal teknan darah dari pasien.
blocker. Pada pasien
bersifat potensial
dikarenakan belum terjadi
ke pasien yang ditandai
dengan tekanan darah
pasien masih tinggi atau
belum terkontrol.
T ½ bisoprolol= 9 jam
T ½ Nifedipine= 6 jam
Pada tanggal 17 maret Disarankan untuk
2019 terapi yang menggunakan candesartan
diberikan pada waktu saja.
bersamaan pada pasien
Candesartan + ramipril
memiliki interaksi
(serious) yaitu Kedua
obat ini meningkatkan
toksisitas, beresiko
meningkatkan hipotensi,
hiperkalemia, dan
merusak ginjal.
Berdasarkan dipiro edisi 9
bahwa untuk hipertensi
stage 2 gunakan salah
satu obat saja ACEI atau
ARB.

2. Indikasi tanpa terapi Pada tanggal 13 maret Disarankan memberikan


2019 pasien mengalami terapi non farmakologi
sariawan karena retriksi mengoleskan madu pada
cairan dan belum diobati bibir dan sariawan pasien
atau vitamin c
3. Dosis terlalu tinggi Dosis terlalu tinggi pada Disarankan untuk
untuk pasien gagal penggunaan bisoprolol, menurunkan dosis dari 1x 5
ginjal ClCr pasien (10,2 mg menjadi 1 x 2, 5mg
ml/menit) menurut Drug
Information Handsbook
pasien dengan ClCr < 40
ml/menit dosis yang
digunakan 2,5 mg/ hari
Dosis terlalu tinggi pada Disarankan untuk
penggunaan Ramipril, menurnkan dosis dari 1 x 5
ClCr pasien (10,2 mg menjadi 1 x 1, 25 mg
ml/menit) menurut Drug
Information Handsbook
pasien dengan ClCr < 40
ml/menit dosis yang
digunakan 25 % dari
dosis normal yaitu 1,25
mg/ hari

T 1/2 Eliminasi Obat

Nama obat T 1/2 Eliminasi Waktu Minum


Clonodin Normal 6 - 20 jam 3 x 1 tab
Tidak normal 18 – 41 jam
Ramipril Efektif 13 - 17 jam 1 x 5 mg
Terminal > 50 jam
Nifedipine Sehat 2 - 5 jam 1 x 60 mg (19.00)
Sirosis 7 jam
Elderly 6 - 7 jam
Candesartan 5 - 9 jam 1 x 16 mg

Bisoprolol Normal 9 - 12 jam 1 x 5 mg ( 07.00 )

BAB IV
PEMBAHASAN
Pasien Tn. W usia 32 tahun dengan BB 65 kg, datang ke Rumah Sakit Umum
Kabupaten Tangerang pada tanggal 05 Maret 2019 dengan keluhan kepala pusing dan
badan lemas. Pemeriksaan fisik tekanan darah 196/103 mmHg, HR= 102x/menit, RR
= 24x/menit, dan suhu = 36. Berdasarkan hasil pemeriksaan dokter pasien di diagnosa
Anemia dikarenakan pada pemeriksaan lab pasien dengan Hb= 6,5 dan di diagnosa
CKD on HD dikarenakan pasien sudah rutin HD di klinik sejahtera serta ureum dan
cratinin pasien tinggi yaitu 95 mg/dl dan 9,6 mg/dl dengan hipertensi emergensi
ditandai dengan tekanan darah 196/103 mmHg. Pada saat di IGD, pasien diberikan
terapi Perdipin Start 0,5 mcg /jam Amlodipin 1x10 mg, Clonidin 2x 0,15 mg,
Ramipril 1x 5 mg, Transfusi 500 cc PRC on HD. Pasien kemudian ditransfer ke
Paviliun Cempaka untuk dirawat pada tanggal 5 maret 2019 jam 23.50. Pada tanggal
6 Maret pagi pasien masih merasakan pusing. Pemeriksaan fisik pada saat masuk
Cempaka tekanan darah = 182/100, HR = 104x/menit, RR= 18x/menit. Diagnosa
Selama pasien dirawat di paviliun cempaka yaitu pasien di diagnosa oleh dokter
anemia dikarenakan Hb pasien adalah 6,9 mg/dl. Dan hipertensi dikarenakan tekanan
darah pasien 182/100, serta CKD ditandai dengan ureum 91 mg/dl dan creatinin 9,7
mg/dl. Pasien selama di rawat di paviliun cepaka mendapatkan terapi Nifedipine
1x60 mg, Clonidin 3x0,15 mg, Ramipril 1x5 mg, bisoprolol 1x 5 mg, bicnat 3x500
mg, Asam folat 1x1 mg, vitamin b12 3x50 mcg, Domperidone 3x10 mg, perdipin 5
mg/ jam, ranitidine 2x 1 ampul, NTG 5 mcg/ menit.
Hasil Evaluasi Drug Related Problems (DRPs) selanjutnya akan dianalisis
menggunakan metode SOAP (subjective, objective, assessment and plan). Subjective
meliputi gejala pasien serta hal-hal yang disarankan pada pasien, informasi yang
dapat diperoleh, antara lain (riwayat penyakit, usia, jenis kelamin, anamnesis,
diagnosa, dan riwayat penyakit terdahulu serta riwayat pengobatan). Objective
meliputi hasil pemeriksaan laboratorium, tanda vital, kondisi kesadaran pasien, dan
penatalaksanaan obat yang diterima. Assessment merupakan penilaian atau evaluasi
yang dilakukan terkait penatalaksanaan terapi yang diterima pasien. Plan
perencanaan dari tindakan yang akan diberikan termasuk diagnosis atau laboratorium
serta konseling untuk tindak lanjut.
Pada kasus ini pasien diberikan clonidine yang merupakan golongan obat anti
hipertensi penghambat adrenergic dengan mekanisme kerja yaitu menurunkan
aktivitas saraf simpatis.Obat golongan ini merupakan pilihan utama bagi pasien
hipertensi yang memiliki aktivitas paraf simpatis yang tinggi seperti gelisah. Pada
pasien ini clonidine digunakan untuk mengkontrol tekanan darah dari pasien. Dosis
obat yang diterima pasien ini yaitu 3 x 1 , menurut Drug information handbook dosis
maksimum dari obat clonidine ini yaitu 2,4 mg/hari dan untuk dosis range yaitu 0,1-
0,8 mg/ hari dibagi dalam 2 dosis. Jadi pada dosis clonidine yang didapatkan yaitu
3x0,15 mg masih masuk rentang dan tidak melebihi dosis maksimum.
Pasien diberikan obat oral lainnya yaitu ramipril yang merupakan golongan
obat anti hipertensi ACE inhibitor dengan mekanisme kerja menghambat perubahan
angiotensin 1 menjadi angiotensin 2 hingga terjadi vasodilatasi dan menurunkan
tekanan darah . Pada pasien ini ramipril digunakan untuk mengkontrol tekanan darah
dari pasien. Dosis obat yang diterima pasien ini yaitu 1 x 5 mg dan pada tanggal 13
maret dosis dinaikan menjadi 1 x 10 mg, menurut Drug Information handbook dosis
untuk hipertensi ramipril memiliki rentang 2,5-5 mg 1 kali sehari dan dosis
maksimum dari ramipril ini yaitu 20 mg/hari. Jadi pada dosis ramipril yang
didapatkan pada pasien ini 1 x 5 mg dan dinaikan 1 x 10 mg. Kesimpulannya dosis
yang dinaikan pada tanggal 13 Maret ini tidak masuk rentang karena yang diberikan
yaitu 1 x 10 mg tetapi masih di bawah dosis maksimum yaitu 20 mg/hari.
Bisoprolol merupakan obat golongan anti hipertensi beta blocker dengan
mekanisme kerja menghabat reseptor beta sehingga terjadi vasodilatasi dan
menurunkan tekanan darah. Pada pasien ini Bisoprolol digunakan untuk mengkontrol
tekanan darah dari pasien. Dosis obat yang diterima oleh pasien yaitu 1x5 mg,
menurut Drug Information Handbook dosis obat bisoprolol untuk hipertensi memiliki
rentang dosis 1x 2,5-5 mg. Jadi pada dosis bisoprolol yang didapatkan pasien sesuai
dengan dosis literature yang ada.
Nifedipine merupakan obat golongan anti hipertensi Calcium Canal blocker
(CCB) dengan mekanisme kerja menghambat masuknya ion Ca 2+ sehingga
menghambat terjadinya kontraksi otot polos. Pada pasien ini nifedipine digunakan
untuk mengkontrol tekanan darah pasien. Dosis obat yang diterima oleh pasien yaitu
1x30 mg dan dinaikan pada tanggal 14 Maret 1x60 mg, menurut Drug Information
handbook dosis obat nifedipine untuk hipertensi sediaan lepas lambat yaitu 1x30-60
mg. Jadi pada dosis obat nifedipine yang diberikan ke pasien sudah tepat.
Pada pasien ini bicnat digunakan untuk menetralkan asam darah atau untuk
ginjal pasien. Dosis obat bicnat ini yang diterima oleh pasien yaitu 3 x 500 mg,
menurut Medscape dosis obat bicnat ini yaitu 4,8 gram /hari. Jadi dosis obat bicnat
yang diberikan kepada pasien ini sudah tepat karena masih dibawah dosis maksimum
yaitu sebanyak 4,8 mg/ hari.
Pada pasien Tn. W ini obat asam folat digunakan untuk penambah darah
karena Tn W ini kadar hemoglobinnya rendah. Dosis obat asam folat yang diterima
oleh pasien yaitu 1x1 mg, menurut Medscape dosis umumnya yaitu 1 mg/ hari tetapi
untuk dosis maksimum yaitu 5 mg/ hari. Jadi dosis obat asam folat yang diberikan
kepada pasien ini sudah tepat karena masih di rentang pemberian dan dibawah dosis
maksimum.
Domperidone merupakan obat dari golongan antiemetic dengan mekanisme
kerja dengan menghabat reseptor dopamin pada CTZ sehingga tidak terjadi mual atau
muntah. Pada pasien Tn. W ini obat domperidone digunakan untuk mengatasi gejala
mual muntah dari pasien. Dosis obat domperidone yang diterima oleh pasien yaitu 3 x
10 mg, menurut Drug Information handsbook dosis lazimnya yaitu 3-4 x 10mg/hari.
Jadi dosis obat domperidone yang diberikan kepada pasien Tn W ini sudah tepat.
Setelah dilakukan analisis pada pasien Tn. W didapatkan kriteria Drug
Releted Problem (DRP). Pertama berkaitan dengan Interaksi obat. Pada tanggal 8
maret 2019 terapi yang diberikan pada waktu yang bersamaan oleh pasien Clonidin +
Bisoprolol memiliki interaksi serious yang keduanya meningkatkan toksisitas dengan
mekanisme yang tidak ditentukan dan dapat meningkatkan bradikardi. Namun
interaksi ini hanya bersifat potensial dikarenakan belum terjadi pada pasien ditandai
oleh frekuensi nadi yang masih normal. Disarankan untuk Menghindari penggunaan
Bersama dari 2 obat ini, menghilangkan salah satu dari obat ini, konfirmasi dokter
yang merekomendasikan obat tapi sebelumnya kita merekomendasikan obat yang
dihilangkan yaitu bisoprolol karena memiliki banyak interaksi dengan obat lain yang
dipakai oleh pasien. Lalu disarankan melakukan monitoring dengan melihat
pemeriksaan fisik frekuensi nadi pasien.
Interaksi obat yang kedua yaitu pada tanggal 8 maret 2019 terapi yang
diberikan pada waktu yang bersamaan pada pasien bicnat + bisoprolol memiliki
interaksi (monitor closely) dengan mekanisme bicnat mengurangi kadar bisoprolol
dengan menghambat absorpsi GI. Disarankan pada penggunaan kedua obat ini dijeda
kurang lebih 2 jam dan disarankan untuk memonitoring penggunaan pada kedua obat
ini.
Interaksi obat yang ketiga yaitu Bicnat + Ramipril (monitor closely). Pada
tanggal 9 maret terapi yang diberikan pada waktu yang bersamaan pada pasien Bicnat
+ Ramipril memiliki interaksi (monitor closely) yaitu bicnat mengurangi efek dari
ramipril dengan mekanisme yang tidak ditentukan. Interaksi obat ini terjadi kepada
pasien karena ditandai tekanan darah yang belum terkontrol yang diakibatkan
mengurangnya efek dari obat ramipril bicnat mengurangi efek dari ramipril dengan
mekanisme yang tidak ditentukan. Disarankan untuk memonitoring penggunaan
kedua obat ini pada pemeriksaan fisik pasien tekanan darah.
Interaksi obat yang keempat yaitu Bisoprolol + Nifedipine (monitor closely).
Pada tanggal 13 maret 2019 terapi yang diberikan pada waktu bersamaan pada pasien
Bisoprolol + Nifedipine memiliki interaksi (monitor closely) yaitu Keduanya
meningkatkan anti hipertensi kanal blocker. Pada pasien bersifat potensial
dikarenakan belum terjadi ke pasien yang ditandai dengan tekanan darah pasien
masih tinggi atau belum terkontrol. Disarankan pemberian jeda waktu minum obat
bisoprolol diminum pada pagi hari, nifedipine diminum pada malam hari dan
melakukan monitoring pada pemberian kedua obat ini dengan cara melihat tekanan
darah dari pasien.
Interaksi obat yang kelima pada tanggal 17 maret 2019 terapi yang diberikan
pada waktu bersamaan pada pasien Candesartan + ramipril memiliki interaksi
(serious) yaitu kedua obat ini meningkatkan toksisitas, beresiko meningkatkan
hipotensi, hiperkalemia, dan merusak ginjal. Keduanya meningkatkan anti hipertensi
kanal blocker. Berdasarkan dipiro edisi 9 disarankan bahwa untuk hipertensi stage 2
gunakan salah satu obat saja ACEI atau ARB. Disarankan untuk menggunakan
candesartan saja. Karena sudah dilihat dari terapi ramipril sudah beberapa hari
digunakan tekanan darah pasien masih belum terkontrol
DRP’s yang kedua yaitu indikasi tanpa terapi. Pada tanggal 13 maret 2019
pasien mengalami sariawan karena retriksi cairan dan belum diobati. Disaranan
memberikan terapi non farmakologi mengoleskan madu pada bibir dan sariawan
pasien atau vitamin c
DRP’s yang ketiga yaitu dosis terlalu tinggi untuk pasien gagal ginjal. Dosis
terlalu tinggi pada penggunaan bisoprolol, ClCr pasien (10,2 ml/menit) menurut
Drug Information Handsbook pasien dengan ClCr < 40 ml/menit dosis yang
digunakan 2,5 mg/ hari. Disarankan untuk menurunkan dosis dari 1x 5 mg menjadi 1
x 2, 5mg. Kemudian yang selanjutnya dosis terlalu tinggi pada penggunaan Ramipril,
ClCr pasien (10,2 ml/menit) menurut Drug Information Handsbook pasien dengan
ClCr < 40 ml/menit dosis yang digunakan 25 % dari dosis normal yaitu 1,25 mg/ hari.
Disarankan untuk menurnkan dosis dari 1 x 5 mg menjadi 1 x 1, 25 mg.
Pada tanggal 18 maret 2019 dikarenakan kondisi pasien sudah membaik dan
keluhan pasien sudah tidak ada pasien dinyatakan pulang dan melakukan HD rutin.
Berdasarkan pemeriksaan laboratorium terakhir dari pasien Hb pasien masih rendah
7, 9 mg/dl dan urueum serta creatinin 111 mg/dl dan 9,3 mg/dl pasien masih tinggi.
Terapi rawat jalan yang diterima pasien yaitu Clonidin 4 x 0,15 mg, Bisoprolol
1x10mg, Nifedipine 1x60 mg, Ramipril 1x 10 mg, Bicnat 3x500 mg, Vit b 12 3x500
mg, Caco3 3x500mg, asam folat 1 x 5 mg, OMZ 2x40 mg.
BAB V
KESIMPULAN
Pengobatan yang diterima pasien Tn.W dengan diagnose CKD dan hipertensi
selama dirawat sudah efektif sesuai dengan keluhan dan diagnosa yang dirasakan
pasien sehingga pengobatannya dapat memperbaiki kondisi pasien. Dari hasil
pemantauan pada pengobatan yang diberikan kepada pasien Tn.W terjadi DRPs
yaitu:
1. Clonidin + Bisoprolol (seriously) Keduanya meningkatkan toksisitas dengan
mekanisme yang tidak ditentukan dan dapat meningkatkan bradikardi.
Disarankan menghilangkan salah satu obat yaitu bisoprolol
2. Bicnat + bisoprolol (monitor closely). Bicnat mengurangi kadar bisoprolol
dengan menghambat absorpsi GI. Disarankan penggunaan kedua obat ini di jeda
2 jam
3. Bicnat + Ramipril (monitor closely).Bicnat mengurangi efek dari ramipril dengan
mekanisme yang tidak ditentukan. Disarankan monitoring tekanan darah.
4. Bisoprolol + Nifedipine (monitor closely). Keduanya meningkatkan anti
hipertensi kanal blocker. Disarankan untu pemberian jeda penggunaan obat
Bisoprolol pagi dan nifedipin malam
5. Candesartan + ramipril (serious). Kedua obat ini meningkatkan toksisitas,
beresiko meningkatkan hipotensi, hiperkalemia, dan merusak ginjal. Disarankan
menghilangkan salah satu obat yaitu ramipril
6. Indikasi tanpa terapi Pada tanggal 13 Maret pasien mengeluhkan sariawan dan
belum diobati. Disarankan mengolesan madu atau meberi vitain C
7. Dosis terlalu tinggi pada obat Bisoprolol dan ramipril untuk pasien gagal ginjal.
Disarankan menurunkan dosis bisoprolol 1x2,5 mg dan ramipril 1x1,25 mg
DAFTAR PUSTAKA
Arora, P. 2014. Chronic Kidney Disease. MedScape. Diakses dari
http://emedicine.medscape.com/article/238798-overview. Pada tanggal 23 Maret
2018.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan RI (Balitbangkes). 2010. Laporan
Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Indonesia Tahun 2010. Kementrian
Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.
Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur, 2010. Kiat Menjaga Ginjal di Usia Muda.
http://cybermed.cbn.net.id/cbprtl/cybermed/detail.aspx?
x=Health+News&y=cybermed|0|0|5|4555, Senin, 22 Maret 2010. Diakses tanggal
30 September 2014.
Dipiro, J.T, Talbert, R.L., Yee, G.C., Matzke, G.R., Wells, B.G. dan Posey, L.M,
2008, Pharmacotherapy: A Pathophysiology Approach Seventh Edition,
McGraw-Hill Education., USA.
Dipiro, J.T, Talbert, R.L., Yee, G.C., Matzke, G.R., Wells, B.G. dan Posey, L.M,
2015, Pharmacotherapy: A Pathophysiology Approach Ninth Edition, McGraw-
Hill Education., USA.
KDIGO. 2013. Clinical Practice Guideline for Lipid Management in Chronic Kidney
Disease. Official Journal of the International Society of Nephrology. VOL 3 |
ISSUE 3 | NOVEMBER 2013. P.276-278
National Kidney Foundation. 2002. K/DOQI Clinical Practice Guidelines for
Chronic Kidney Disease: Evaluation, Clasification and Stratification.

Price SA dan Wilson LM. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit
Edisi 6. EGC, Jakarta.
Sudoyo A.W., dkk. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Departemen Ilmu
Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Indonesia, Jakarta.\
Suwitra, K. 2006. Penyakit Ginjal Kronik. In: Sudoyo , A.W., Setiyohadi, B., Alwi,
I., Simadribata, M.K., & Setiati, S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke-5.
Interna Publishing, Jakarta.
Wilson, L.M., 2005. Gagal Ginjal Kronik. In: Price, S.A., and Wilson, L.M. (Eds).
Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Vol. 2, Edisi 6, Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC, pp. 912-949.

Anda mungkin juga menyukai