diajukan untuk memenuhi salah satu tugas profesi Ners stase Keperawatan Anak
OLEH:
Nita Kardilah
KHGD20041
1. Pengertian Anak
Anak adalah aset bangsa dan generasi penerus cita-cita perjuangan bangsa yang
akan menentukan masa depan bangsa dan negara kita. Oleh karena itu perhatian dan
harapan yang besar perlu diberikan kepada anak (Kemenkes RI, 2014).
Anak adalah individu yang masih bergantung pada orang dewasa dan
memenuhi kebutuhan dasarnya dan untuk belajar mandiri. Lingkungan yang dimaksud
bisa berupa keluarga (orang tua), pengurus panti (bila anak berada di Panti Asuhan),
atau bahkan tanpa orang tua mereka yang hidupnya menggelandang. Semua individu
2. Usia Dini
Hakikat anak usia dini dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20
Tahun 2003 adalah kelompok manusia yang berusia 0 sampai dengan 6 tahun. Namun
ada beberapa ahli yang mengelompokkannya hingga usia 8 tahun (Essa dalam Mutiah,
2012).
Anak usia dini merupakan kelompok anak yang berada dalam proses
pertumbuhan dan perkembangan yang bersifat unik, artinya memiliki pola pertumbuhan
dan perkembangan fisik (koordinasi motorik kasar dan halus), kecerdasan (daya pikir,
daya cipta), sosial, emosional, bahasa, dan komunikasi. Karena keunikan dalam tingkat
pertumbuhan dan perkembangannya, maka anak usia dini dibagi dalam empat tahapan
perkembangan, yaitu:
1.1 Masa bayi, usia lahir 0 – 12 bulan.
a. Periode Prenatal
Periode ini terdiri atas fase ovum, embrio, dan janin. Fase ovum, yaitu mulai dari
konsepsi sampai kurang lebih usia kehamilan 2 minggu. Fase embrio mulai dari usia
kehamilan 2 minggu sampai 8 minggu dan fase janin mulai 8 minggu sampai 40
minggu atau kelahiran. Pada periode ini terjadi pertumbuhan yang sangat cepat dan
sangat penting karena terjadi pembentukan organ dan sistem organ anak.
b. Periode Bayi
Periode ini terbagi atas neonatus dan bayi. Neonatus adalah sejak lahir (0 hari)
sampai 28 hari. Diatas 28 hari sampai usia 12 bulan termasuk kategori bayi. Pada
periode ini, pertumbuhan dan perkembangan yang cepat terutama pada aspek kognitif,
motorik, dan sosial dan pembentukan rasa percaya diri anak melalui perhatian dan
pemenuhan kebutuhan dasar dari orang tua. Kemampuan orang tua dalam memenuhi
kebutuhan dasar dan memberikan stimulus sensorik – motorik mutlak diperlukan untuk
pertumbuhan dan perkembangan anak karena masih bergantung secara total pada
yang lebih lanjut dan anak menunjukkan kemampuan aktivitas lebih banyak bergerak,
mengembangkan rasa ingin tahu dan ekplorasi terhadap benda yang ada di
diwaspadai pada periode toddler. Orang tua perlu mendapatkan bimbingan antisipasi
Kemampuan interaksi sosial lebih luas terutama pada anak usia pra sekolah dan
mempersiapkan diri untuk memasuki dunia sekolah, dan perkembangan konsep diri
telah dimulai pada periode ini. Pada usia pra sekolah, perkembangan fisik lebih lambat
dan relatif menetap. Sistem tubuh harusnya sudah matang dan sudah terlatih dengan
Periode ini dimulai pada usia 6 sampai 11 tahun atau 12 tahun, dengan
pertumbuhan anak laki-laki sedikit lebih meningkat dari pada anak perempuan, dan
perkembangan motorik sempurna. Untuk hal ini, anak membutuhkan aktivitas yang
reguler kurang lebih 4 sampai 5 jam perhari. Periode ini lebih dikenal sebagai fase usia
sekolah, fase usia sekolah terbagi atas dua fase yakni ; 1) masa kelas rendah sekolah
dasar (usia 6 tahun sampai usia sekitar 8 tahun). Pada usia ini dikategorikan mulai dari
kelas 1 sampai dengan kelas 3. 2) masa kelas tinggi sekolah dasar (usia 9 tahun sampai
kira-kira usia 12 tahun) pada usia ini dikategorikan mulai dari kelas 4 sampai dengan
nilai norma dan budaya dari lingkungan selain keluarganya. Karenanya sangat penting
untuk diperhatikan bagi para orang tua, agar memilih sekolah yang baik bagi
perkembangan anak. Sehingga dapat membentuk kepribadian anak, mandiri melalui
lingkungan sekolah. Masa usia sekolah juga merupakan fase penting dalam pencapaian
perkembangan konsep diri, dan keterampilan dasar membaca, menulis, serta berhitung
lebih dikuasai.
Periode ini merupakan fase transisi, yaitu anak mulai memasuki usia remaja, pada
usia 11 atau 12 tahun sampai 18 tahun. Anak perempuan mulai memasuki fase pubertas
pada usia 11 tahun, sedangkan anak laki-laki pada usia 12 tahun. Perkembangan yang
mencolok pada periode ini adalah kematangan identitas diri anak sebagai remaja akan
terutama pada fase remaja akhir. Boleh dikatakan pada fase ini anak melalui krisis
identitas sebagai remaja yang sedang tumbuh untuk menjadi dewasa dan dengan
sendirinya diperlukan bantuan orang tua untuk memfasilitasi melewati fase tersebut
F. Patofisiologi
Terdapat beberapa faktor penybab yang dinyatakan sebagai dasar terjadinya
retardasi mental, misalnya faktor cedera yang terjadi di dalam rahim, saat bayi tersebut
masih berbentuk janin. Selain itu dapat pula terjadi sedera pada saat kelahiran
(persalinan). Ada teori lain yang menyebutkan adanya variasi somatik yang dikarenakan
perubahan fusngsi kelenjar internal dari ibu selama kehamilan, dan hal ini belum diketahui
mekanismenya. Demikian pula dengan faktor prenatal yang dialami oleh ibu-ibu yang
hamil, misalnya ibu terkena penyakit campak (Rubella) sering anak yang dikandungnya
akan mengalami retardasi mental.
Semua retardasi mental yang langsung disebabkan oleh ganngguan metabolisme
(misalnya metabolisme karbohodrat, protein dan lemak), sindrome reye, dehidrasi
hipernatrenik, hipotiroid kongenital, hipoglikemia dan malnutrisi dapat mengakibatkan
retardasi mental.
Penyakit otak yang nyata juga dapat menyebabkan retardasi mental, misalnya
akibat neoplasma otak akan mengakibatkan reaksi sel otak yang bersifat degenaratif,
inflamatif, proliferatif ataupun sklerotik yang menyebabkan disfungsi otak.
Retardasi mental juga dapat disebabkan oleh kesalahan jumlah kromosom
(sindroma down), defek pada kromosom dan translokasi kromosom. Kelainan genetik dan
kelaianan metabolik yang diturunkan juga dapat menyebabkan retardasi mental seperti
galaktosemia dan fenilketonuria.
Prematuritas dan kehamilan wanita diatas 40 tahun juga dapat menjadi penyebab
kasus retardasi mental. Hal ini berhubungan dengan keadaan bayi waktu lahir yaitu dengan
berat badan rendah kurang dari 2500 gram, imaturitas karena persalinan prematur dan
ketidakseimbangan hormon ibu hamil yang tua (diatas 40 tahun) (Salmiah, 2010).
G. Pathway
antenatal Penyebab
intranatal
langsung
Translokasi kromosom
Kerusakan jaringan Kelaianan metabolisme protein,
otak lemak dan karbohidrat
fenilketonuria
Retardasi mental
Sulit mempelajari hal-hal Bergaul dengan anak Hampir sama dengan anak
akademik. yang lebih muda. normal
Anak tunagrahita ringan, Suka menyendiri Kematangan motorik
kemampuan belajarnya paling Mudah dipengaruhi lambat
tinggi setaraf anak normal usia 12 Kurang dinamis Koordinasi gerak kurang
tahun dengan IQ antara 50 – 70, Kurang
Tunagrahita sedang setaraf anak pertimbangan/kontrol diri
normal usia 7, 8 tahun IQ antara 30 Kurang konsentrasi
– 50, tunagrahita berat kemampuan Mudah dipengaruhi
belajarnya setaraf anak normal usia Tidak dapat memimpin
3 – 4 tahun, dengan IQ 30 ke dirinya maupun orang lain.
bawah. (Salmiah,
2010)
H. Komplikasi
Komplikasi penyakit pada tuna grahita yang seringkali menyertai adalah:
1. Penyakit Alzheimer’s (penyakit kemunduran susunan syaraf pusat)
2. Leukimia (penyakit dimana sel darah putih melipat ganda tanpa terkendalikan).
I. Pemeriksaan Penunjang
1. Seorang anak RM menunjukkan perkembangan yang secara signifikan lebih lambat
dibandingkan dengan anak lain yang sebaya. Tingkat kecerdasan yang berada dibawah
rata-rata bisa dikenali dan diukur melalui tes kecerdasan standar (tes IQ), yang
menunjukkan hasil kurang dari 2 SD (standar deviasi) dibawah rata-rata (biasanya
dengan angka kurang dari 70, dari rata-rata 100).
2. Pada pemeriksaan radiologi didapatkan “brachyaphalic” sutura dan frontale yang
terlambat menutup. Tulang ileum dan sayapnya melebar disertai sudut asetabular yang
lebar.
3. Pemeriksaan kariotiping untuk mencari adanya translokasi kromosom.
4. Diagnosis antenatal dengan pemeriksaan cairan amnion atau vili karionik, dapat
dilakukan secepatnya pada kehamilan 3 bulan atau pada ibu yang sebelumnya pernah
melahirkan anak dengan syndrom down yang nantinya akan menjadi retardasi mental.
Bila didapatkan janin yang dikandung menderita syndrom down dapat ditawarkan
terminasi kehamilan kepada orang tua.
5. Pada anak dengan Sindrom Down mempunyai jumlah kromosom 21 yang berlebih (3
kromosom) di dalam tubuhnya yang kemudian disebut trisomi 21. Adanya kelebihan
kromosom menyebabkan perubahan dalam proses normal yang mengatur embriogenesis.
Materi genetik yang berlebih tersebut terletak pada bagian lengan bawah dari kromosom
21 dan interaksinya dengan fungsi gen lainnya menghasilkan suatu perubahan
homeostasis yang memungkinkan terjadinya penyimpangan perkembangan fisik
(kelainan tulang), SSP (penglihatan, pendengaran) dan kecerdasan yang terbatas
(Salmiah, 2010).
J. Penatalaksanaan
1. Penanganan Secara Medis
a. Pendengarannya : sekitar 70-80 % anak retardasi mental terdapat gangguan
pendengaran dilakukan tes pendengaran oleh THT sejak dini.
b. Penyakit jantung bawaan
c. Penglihatan : perlu evaluasi sejak dini.
d. Nutrisi : akan terjadi gangguan pertumbuhan pada masa bayi / prasekolah.
e. Kelainan tulang : dislokasi patela, subluksasio pangkal paha / ketidakstabilan
atlantoaksial. Bila keadaan terakhir ini sampai menimbulkan medula spinalis atau bila
anak memegang kepalanya dalam posisi seperti tortikolit, maka perlu pemeriksaan
radiologis untuk memeriksa spina servikalis dan diperlukan konsultasi neurolugis.
2.Pendidikan
a. Intervensi Dini
Program ini dapat dipakai sebagai pedoman bagi orang tua untuk memberi
lingkungan yang memeadai bagi anak dengan retardasi mental, bertujuan untuk
latihan motorik kasar dan halus serta petunjuk agar anak mampu berbahasa. Selain
itu agar anak mampu mandiri seperti berpakaian, makan, belajar, BAB/BAK, mandi.
b. Taman Bermain
Misal dengan peningkatan ketrampilan motorik kasar dan halus melalui bermain
dengan temannya, karena anak dapat melakukan interaksi sosial dengan temannya.
c. Pendidikan Khusus (SLB-C)
Anak akan mendapat perasaan tentang identitas personal, harga diri dan kesenangan.
Selain itu mengasah perkembangan fisik, akademis dan dan kemampuan sosial,
bekerja dengan baik dan menjali hubungan baik.
d. Penyuluhan Pada Orang Tua.
3. Modifikasi Perilaku Penyandang Tunagrahita
Keterbatasan daya pikir yang dialami anak tunagrahita menyebabkan mereka sulit
mengontrol, apakah perilaku yang ditampakkan dalam aktivitas sehari-hari wajar atau
tidak wajar ( menurut ukuran normal ), baik perilaku yang berlebihan ( behavioral
excesses ) maupun perilaku yang kurang serasi ( behavioral deficits ). Atas dasr itulah
maka untuk anak tunagrahita perlu dilakukan modifikasi perilaku melalui terapi
perilaku.
Dalam memberikan terapi perilaku pada anak tunagrahita, seorang terapis harus
memiliki sikap sebagaimana yang secara hangat, antusias tinggi, ketulusan dan
kesungguhan, serta menaruh empati yang tinggi terhadap kondisi anak tunagrahita .
Tanpa dilengkapi persyaratan tersebut, penerapan teknik modifikasi perilaku anak
tunagrahita tidak banyak member hasil yang berarti.
Pada dasarnya paradigma yang digunakan sebagai dasar terapi perilaku perilaku
berasal dari penelitian laboratorium. Namun demikian, tetap memperhatikan prinsip-
prinsip pisikologis untuk menghindari kesan bahwa terapi perilaku pada anak
tunagrahita sangat mekanistis.
Paradigma untuk modifikasi perilaku yang bisa di gunakan untuk anak normal
adalah paradigma operan. Oleh karena itu, tekanannya mengacu pada penggunaan
penguat, hukuman maupun penghilangan beberapa perilaku yang berlebihan atau yang
tidak adekuat. Namun demikian , pada batas-batas tertentu dapat digunakan untuk
memodifikasi perilaku anak tunagrahita ,khususnya anak tunagrahita yang mampu
didik maupun anak tunagrahita yang mampu latihan.
Modifikasi perilaku bagi anak yang mampu latih dalam penerapanya harus selalu
di bawah pengawasan orang lain, misalnya program perawatan diri sendirian. Agar
lebih fungsional ,program tersebut dapat dipecah dalam berbagai unit perilaku
pendukung,antara lain mengancingkan baju, memegang sendok,menuang
pasta,menggosok gigi, dan lain-lain.
Apabila dalm pelaksananya mereka mampu memahami dan melakukan dengan
baik, dapat diberikan penguat, baik penguat primer yang berupa makanan atau
minuman, atau penguat sosial seperti senyuman, perhatian persetujuan, dan lain-lain.
Secara bertahap kondisinya terus ditingkatkan sesuai dengan tahapan yang di perlukan,
dengan memperhatikan usia mental dan usia kalendernya.
4. Jenis dan Metode Terapi untuk Penyandang Tunagrahita
Jenis terapi perilaku lain yang dapat dilakukan untuk anak tunagrahita ,yaitu
melalui kegiatan bermain ( kegiatan fisikdan/atau psikis yang dilakukan tidak dengan
sungguh-sungguh). Freud berpandangan bahwa bermain merupakan cara seorang untuk
membebsakan diri dari berbagai tekanan yang kompleks,merugikan. Melalui kegiatan
bermain perasan menjadi lega, bebas,dan berarti. Mengingat urgensinya bermain bagi
anak tunagrahita, dewasa ini aktivitas bermain dikembangkan menjadi play therapy.
Tetapi permainan yang diperuntunkan bagi anak tunagrahita bukan sembarang
permainan, tetapi permainan yang memiliki muatan antara lain : 1.Setiap permainan
hendaknya memiliki nilai terapi yang berbeda, 2. Sosok permainan yang di berikan
tidak terlalu sukar dicerna anak tunagrahita,( prasedio,1976 ). Beberapa nilai yang
terpenting dari bermain bagi perkembangan anak tunagrahita,antara lain sebagai
berikut.
1. Pengembangan fungsi fisik. Fungsi fisik, misalnya pernapasan, pertukaran zat,
peredaran darah, dan pencernana makanan, dapat di bantu dilancarkan melalui
kegiatan bermain, baik bantuan pada satu aspek fungsi fisik ataupun lebih.
2. Pengembangan sensomotorik. Artinya, melalui bermain melatih
pengindraan( sensoris ) seperti ketajaman pengelihatan, pendengaran, perabaan atau
penciuman ,disamping melatih otot dan kemampuan gerak ,seperti tangan ,kaki, jari-
jari,leher, dan gerak tubuh lainya. Oleh karena itu, bertambahnya koordinasi aspek
sensoris dan aspek motoris dalam bermain, semakin baik bagi perkembangan anak
tunagrahita.
3. Pengembangan daya khayal. Maksudnya melalui bermain, anak tunagrahita
diberikan kesempatan untuk mampu menghayati makna kebebasn sebagai sarana
yang diperlukan untuk pengembangan daya khayal dan kreasinya.
4. Pembinana pribadi. Dalam bermain anak pun sebenarnya berlatih memperkuat
kemauan , memeusatkan perhatian,mengembangkan keuletan, ketekunan, percaya
diri, dan lainnya. Semua itu dapat membantu anak tunagrahita membina
keperibadiannya.
5. Pengembangan sosialisai. Ada unsur yang menarik dari kegiatan bermain dilihat
dari pengembangan sosialisasi,yaitu anak harus berbesar hati menunggu giliran, rela
menerima kekalahan, setia dan jujur.
6. Pengembangan intelektual. Melalui bermain anak tunagrahita belajar mencerna
sesuatu.Contohnya, peraturan dan skor yang diperoleh dalam permainan.
Beberapa metode permainan yang menekankan pada pengembangan kecerdasan
dan motorik halus yang cenderung bersifat individual,antara lain sebagai berikut.
1. Latihan menuangakn air. Menuangkan air memang bukan suatu pekerjaan yang
mudah bagi anak tunagrahita, apalagi kalu diharuskan tidak boleh terjadi tetesan air
di sekitarnya.Pertama-tama anak di beri latihan menuang air dengan sejumlah sedikit
melalui contoh yang di berikan. Semakin teratur dn tanpa tetesan dlam menuangkan
air,maka makin baik kemampuanya.
2. Bermain pasir. Selain dengan air,latihan menuang jug adapt di lakukan dengan pasir
kering.
3. Bermain tanah liat. Awalnya mungki hanya bermain main saja namun apabila di
berikan bimbingan dan latihan, kegiatan tersebut akan dapat di arahkan membentuk
benda-benda di sekitar.
4. Meronce manik –manik.Pertama kali yang di ajarkan adalah meronce manic-manik
yang besar kemudian yang kecil dengan menggunakan kawat halus dan benang.
5. Latihan melipat Latihan di awali dengan dua lipatan ,empat lipat, dan seterusnya
dengan kombinsai batas kemampuan anak.
5. Tujuan Olahraga untuk Penyandang Tuna grahita
Olahraga bagi penyandang kelainan mental adalah olahraga yang khusus
dilakukan sesuai dengan kondisi kelainan fisik dan / atau mental seseorang, yang
diselenggarakan pada lingkup olahraga pendidikan, Olahraga Kesehatan, olahraga
rekreasi maupun olahraga prestasi. Dalam dunia olahraga, partisipasi para penyandang
kelainan mental bukanlah sesuatu yang baru, sudah berlangsung lebih dari 1 abad yang
lalu sebagai bagian dari reedukasi dan rehabilitasi bagi penyandang kelainan mental.
Dalam buku yang berjudul “ Pendidikan Jasmani Adaptif “ merinci tujuan
pendidikan jasmani adaptif bagi anak berkebutuhan khusus sebagai berikut :
1. Untuk membantu penyandang melindungi diri sendiri dari kondisi apapun yang
memperburuk keadaannya melalui pendidikan jasmani tertentu.
2. Untuk menolong penyandang mengkoreksi kondisi kondisi yang dapat diperbaiki.
3. Untuk memperbaiki kesempatan pada penyandang mempelajari dan berpartisipasi
dalam sejumlah macam olahraga dan aktivitas jasmani, waktu luang yang bersifat
rekreasi.
4. Untuk menolong penyandang memahami keterbatasan kemampuan jasmani dan
mentalnya.
5. Untuk membantu penyandang melakukan penyesuaian sosial dan mengembangkan
perasaan memiliki harga diri.
6. Untuk membantu penyandang dalam mengembangkan pengetahuan dan apresiasi
terhadap mekanika tubuh yang baik.
7. Untuk menolong penyandang memahami dan menghargai macam olahraga yang
dapat diminatinya sebagai penonton.
6. Olahraga Untuk Penyandang Tunagrahita
Olahraga merupakan suatu rangkaian gerak fisik yang bertujuan untuk rekreasi,
kesehatan, dan pendidikan. Dalam proses penyembuhan atau pemberian terapi pada
penyandang tuna grahita memiliki metode berupa pemberian latihan fisik dengan cara
permainan, diharapkan dengan melakukan gerak-gerakan fisik para penyandang
senantiasa tetap dapat menjaga kondisi tubuh mereka agar selalu sehat. Adapun jenis
olahraga yang bisa dilakukan oleh penyandang tunagrahita sedikit berbeda dengan
orang normal.
Ada beberapa jenis olahraga yang dapat diajarkan kepada siswa tunagrahita,
antara lain senam, atletik, tenis meja, bulutangkis, sepakbola, basket, berenang, bocce
(permainan bola gelinding), dan Motor Activity Training Program (MATP).
Jenis olahraga paling dasar, seperti pada masyarakat umumnya, adalah senam
aerobik. Berlatih senam dengan gerakan-gerakan sederhana, seperti menggerakkan
kepala ke kiri dan ke kanan, menundukkan dan menengadahkan kepala. Menggerakkan
tangan dari depan ke samping lalu ke atas. Merentangkan tangan ke kiri dan ke kanan,
lalu membungkuk dan menyentuh ujung kaki kiri dengan tangan kanan dan menyentuh
ujung kaki kanan dengan tangan kiri. Dan seterusnya.
Ada pula senam berlari di tempat sambil bertepuk tangan. Seperti juga kalangan
masyarakat pada umumnya, saat bersenam, diiringi musik dengan irama yang
bersemangat. Pemanasan dilakukan sebelum melakukan gerakan-gerakan senam.
Setelah selesai, diakhiri dengan gerakan pendinginan. Antara lain menarik nafas dalam
dan menghembuskan perlahan.
Dengan olahraga senam ini banyak kegiatan fisik yang dilakukan. Dengan
demikian membuat tubuh lebih sehat dan sekaligus melakukan terapi organ motorik.
Waktu yang dibutuhkan untuk berolahraga senam ini cukup 45 menit.
Bermain Bocce
Salah satu olahraga khusus untuk penyandang tunagrahita adalah bocce.
Bocce merupakan olahraga rekreasi, dimainkan dua regu, tiap regu terdiri atas tiga
hingga empat orang. Olahraga ini dapat dikombinasikan dengan permainan-
permainan menarik. Dalam permainan bocce ada tiga jenis bola, berukuran kecil,
sedang, hingga besar dengan warna-warna yang menarik. Bola kecil diletakkan di
sebuah area atau lapangan berumput sebagai sasaran. Di lapangan tersebut ada batas
untuk pelempar bola. Dua tim atau regu yang saling berhadapan berlomba
melemparkan bola yang berukuran besar agar mengenai atau mendekati sasaran. Jika
pelempar dapat melemparkan bola besar mendekati atau mengenai sasaran, timnya
akan mendapat poin.
Saat melempar bola berukuran besar, posisi pelempar harus agak sedikit
menunduk hingga sekitar 45 derajat, dengan posisi kaki kiri di depan dan kaki kanan
di belakang. Saat melempar bola, pelempar bergerak satu langkah ke depan. Posisi
dan gerakan ini seperti melempar bola dalam permainan bowling. Pelempar tidak
diperbolehkan melempar bola dengan posisi badan tegak. Jika itu dilakukan,
dianggap kesalahan dan akan memberikan poin untuk regu lawan.
Dalam memainkan bocce ada kombinasi antara permainan dan gerak-gerak
tubuh yang bermanfaat untuk merangsang syaraf dan gerakan motorik tubuh.
Permainan ini bisa melatih motorik tangan dan kaki, mengasah konsentrasi, latihan
bersosialisasi, dan kerja sama tim. Posisi tubuh dan gerakan saat melempar bola juga
berfungsi melatih kelenturan otot punggung, tangan, dan kaki.
Setiap anggota kelompok mendapatkan kesempatan melempar bola. Agar
bola mengenai atau mendekati sasaran, pelempar harus melakukannya dengan
konsentrasi penuh. Latihan konsentrasi ini sangat berguna bagi anak-anak
penyandang tunagrahita. Untuk memenangi permainan, setiap kelompok didorong
“memiliki strategi”. Mereka diminta berdiskusi, membicarakan langkah apa yang
akan dilakukan untuk memenangi pertandingan.
Metode Berbeda
Karena faktor hambatan kecerdasan, diperlukan metode yang berbeda untuk
mengajarkan olahraga kepada tunagrahita. Instruksi harus dilakukan secara bertahap,
dengan memberikan contoh. Sering mereka harus dibantu untuk melakukan gerakan-
gerakan yang diinstruksikan. Saat membantu pun harus dilakukan dengan berhati-
hati, agar tidak terjadi cedera otot atau cedera lainnya.
Sering kali, untuk mengajarkan satu gerakan, harus dilakukan secara
berulang-ulang, hingga siswa memahami benar. Jika telah memahami, barulah
berganti ke gerakan lain. Ada kemungkinan siswa ngambek dan tidak mau
melakukan kegiatan olahraga. Jika itu terjadi, tentu tidak boleh dipaksa. Yang
dilakukan adalah memotivasi dan mendorong agar siswa yang sedang ngambek ini
mau bergabung bersama teman-teman lain, dan berolahraga bersama.
Selain itu ada beberapa model permainan yang dapat dilakukan untuk anak
tunagrahita misalny, Berjalan di atas bangku,berjalan dengan beban dan tanpa beban
di kepala melewati titian garis atau tali dengan posisi lurus, melengkung, dan bulat.
Latihan lain yang menggunakan alat, misalnya menderibel bola,menendang bola,
melempar dan menangkap bola,berlari memindahkan bendera dan lain-lain.
Khusus yang sifatnya kelompok, pengembangan aktivitas bermain pada
penyandang tunagrahita materinya dapat digali dari permainan-permainan
tradisional, pendidikan olahraga, atau kombinasi keduanya. Misalnya bermain
menjala ikan, kucing dan tikus, berlari bersambungan atau sambil menggendong
teman, lempar dan tangkap bola, memukul bola di sela-sela kaki, dan sebagainya.
DAFTAR PUSTAKA
Depkes. RI. 2006. Teori-teori Penyebab Kecemasan. Direktorat Kesehatan Jiwa. Jakarta.
Kaplan, Harold I., Sadock, Benjamin, J., and Greb, J.A. 1994. Sinopsis Psikiatri : Ilmu
Pengetahuan Perilaku Psikiatri Klinis. Jakarta : Binarupa Aksara.
McCloskey dan Bulechek 2000. “Nursing interventions classification (NIC)”. United States
of America: Mosby.
Meidean, JM. 2000. “Nursing Outcomes Classification (NOC)”. United States of America:
Mosby.
Salmiah, S. 2010. Retardasi Mental. Departemen Kedokteran Gigi Anak Fakultas Kedokteran
Gigi: Universitas Sumatera Utara.
Smeltzer dan Bare. 2002. Buku Ajar Keperawatan medikal bedah. Edisi 8. Jakarta: EGC.