Penerapan bioteknologi dalam bidang pangan sudah sering ditemukan dari makanan yang kita konsumsi. Sebagian besar makanan yang sering dikonsumsi diproduksi menggunakan jasa suatu mikroorganisme. Melalui proses fermentasi, bahan makanan tertentu diubah menjadi makanan bentuk lain sehingga cita rasanya lebih enak dan menarik serta mengandung nilai gizi yang lebih tinggi. Pada awalnya, proses fermentasi bahan-bahan makanan dilakukan secara tradisional. Namun, kini prosesnya dilakukan secara ilmiah dengan menggunakan teknologi mutakhir sehingga dapat menghasilkan produk yang berkualitas dan lebih beraneka ragam. Bioteknologi konensional atau tradisional adalah bioteknologi yang menggunakan mikroorganisme sebagai alat untuk menghasilkan produk. Bioteknologi konvensional umumnya belum menggunakan dasar ilmiah, namun menggunakan cara sesuai tradisi. Proses umum yang digunakan adalah fermentasi. Contoh produk pangan bioteknologi konvensional: Roti, dari bahan dasar biji sereal ( gandum ) dengan agen hayati berupa khamir dari jenis Saccharomyces cerevisiae. Keju, dari bahan dasar susu murni dengan agen hayati kelompok bacteri asam laktat (dari genus: Lactobacillus dan Streptococcus ) yang memfermentasi laktosa menjadi asam laktat. Juga biasa digunakan jamur Penicillium camembert dan Penicillium requefort. Yoghurt, dari bahan dasar susu segar dengan agen hayati bacteri asam laktat dari jenis Lactobacillus bulgaricus dan Streptococcus thermophylus. Nata de coco, dari bahan dasar air kelapa menggunakan jasa agen hayati Acetobacter xyllinum. Bioteknologi modern adalah bioteknologi yang menghasilkan sesuatu dengan menggunakan rekayasa genetika yang prosesnya dikembangkan berdasarkan penelitian ilmiah. Bioteknologi modern dalam produksi pangan dilakukan dengan menerapkan teknik rekayasa genetik, misalnya kultur jaringan. Contoh produk: Tomat Ungu :Kelebihan tomat ungu selain lebih tahan lama dari asalnya 21 hari menjadi 48 hari, juga memiliki kandungan nutrisi lebih baik. Salah satunya karena kandungan anthocyanin yang terkandung dalam tomat. Grapple : merupakan hasil rekayasa antara apel dan anggur. Setelah mengalami rekayasa genetika, keunggulan dari grapple tidak hanya memiliki rasa baru, tapi kandungan nutrisi yang ada di dalamnya juga mengalami peningkatan. Grapple memiliki dosis vitamin c sangat tinggi, melebihi kandungan yang dimiliki apel dan anggur. Golden rice : dibandingkan tanaman padi biasa adalah kandungan golden rice berupa provitamin A ini, yang dapat membantu mencegah kekurangan vitamin A, yang dapat menyebabkan resiko kerusakan mata pada anak-anak. Penerapan bioteknologi ini sangat berperan dalam kehidupan masyarakat terutama di bidang pangan. Misalnya saja tanaman produk bioteknologi yang membawa keuntungan seperti tahan herbisida, mempunyai sifat khusus misalnya tomat yang tidak mudah busuk, kedelai dengan rendah lemak tak jenuh, padi yang memproduksi vitamin A dan sebagainya. Tentu jika masyarakat memiliki pengetahuan yang mumpuni dalam mengelola dan menerapkan bioteknologi dalam bidang pangan, akan menghasilkan keuntungan finansial yang bisa membantu mewujudkan kesejahteraan. Berikut beberapa manfaat lain bioteknologi dalam bidang pangan. 1. Memperbaiki jenis-jenis tanaman yang ada untuk kemudian menciptakan bibit unggul atau tanaman transgenik yang lebih tahan hama, 2. Menghasilkan produk pangan yang lebih bernilai gizi tinggi daripada yang aslinya (yang original atau yang alami). 3. Menanam produk pangan dengan lebih efisien atau hemat lahan hemat air tanpa mengurangi kualitas produk pangan itu 4. Dapat membantu melestarikan suatu jenis produk pangan yang mulai jarang dijumpai. Penerapan bioteknologi di bidang pangan haruslah tetap memperhatikan kaidah serta resiko/ masalah yang dapat ditimbulkan. Masyarakat perlu pandai-pandai dalam hal ini agar proses bioteknologi yang dilakukan hanya mendatangkan manfaat tanpa mengahdirkan mudharat. Berikut ini beberapa potensi risiko atau permasalahan yang mungkin terjadi : (1) Perubahan kualitas gizi makanan; (2) Resistensi antibiotic; (3) Potensi racun dari makanan rekayasa genetik; (4) Potensi alergi dari makanan rekayasa genetik; (5) Transfer gen yang tidak disengaja pada tanaman liar; (6) Kemungkinan pembentukan virus dan racun baru; (7) Keterbatasan akses terhadap benih dengan adanya paten dari tanaman hasil rekayasa genetik ; (8) Ancaman terhadap keragaman genetik tanaman; (9) Kekhawatiran agama/budaya/etika; (10) Kekhawatiran karena tidak ada pelabelan pada makanan rekayasa genetik.