Anda di halaman 1dari 71

Clinical Science Session

*Kepaniteraan Klinik Senior/G1A220068/Juni 2021


**Pembimbing/ dr. Puji Lestari, Sp.M

KEGAWATDARURATAN PADA MATA YANG BERHUBUNGAN


DENGAN RETINA

Disusun Oleh :
Ronald Septriando Gultom
G1A220068

Pembimbing :
dr. Puji Lestari, Sp.M

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR SMF/BAGIAN ILMU PENYAKIT


MATA RUMAH SAKIT UMUM DAERAH RADEN MATTAHER
PROVINSI JAMBI
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI
2021
HALAMAN PENGESAHAN

CLINICAL SCIENCE SESSION

KEGAWATDARURATAN PADA MATA YANG BERHUBUNGAN


DENGAN RETINA

Disusun oleh:
Ronald Septriando Gultom
G1A220068

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR SMF/BAGIAN ILMU PENYAKIT


MATA RUMAH SAKIT UMUM DAERAH RADEN MATTAHER
PROVINSI JAMBI
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI

Laporan ini telah diterima dan dipresentasikan


Pada Juni 2021

PEMBIMBING

dr. Puji Lestari, Sp.M

ii
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa
atas segala limpahan rahmat dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan
referat ini dengan judul “Kegawatdaruratan pada Mata yang Berhubungan
dengan Retina”. Laporan ini merupakan bagian dari tugas Kepaniteraan Klinik
Senior di Bagian Ilmu Bagian Penyakit Mata di Rumah Sakit Umum Daerah
Raden Mattaher Provinsi Jambi.

Terwujudnya laporan ini tidak lepas dari bantuan, bimbingan dan


dorongan dari berbagai pihak, oleh karena itu penulis menyampaikan ucapan
terima kasih kepada dr. Puji Lestari, Sp.M selaku pembimbing yang telah
memberikan arahan sehingga referat ini dapat terselesaikan dengan baik dan
kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian referat ini.
Penulis menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari sempurna. Oleh
karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun dari berbagai pihak sangat
diharapkan oleh penulis guna kesempurnaan referat ini ke depannya. Akhir kata,
semoga referat ini dapat bermanfaat bagi kita.

Jambi, Juni 2021

Penulis

iii
DAFTAR ISI

Halaman Judul ................................................................................................................. i


Lembar Pengesahan ....................................................................................................... ii
Kata Pengantar .............................................................................................................. iii
Daftar Isi ........................................................................................................................iv
BAB I Pendahuluan ........................................................................................................ 1
BAB II Tinjauan Pustaka ................................................................................................ 2
2.1 Anatomi Retina ......................................................................................................... 3
2.2 Ablasio Retina ........................................................................................................... 6
2.3 CRVO (Central Retinal Vein Occlusion) ................................................................ 17
2.4 CRAO (Central Retinal Artery Occlusion) ............................................................. 26
2.5 Trauma pada Mata................................................................................................... 38
2.6 Neuritis Optik .......................................................................................................... 50
BAB III Kesimpulan ..................................................................................................... 65
Daftar Pustaka ............................................................................................................... 66

iv
BAB I
PENDAHULUAN

Kegawatdaruratan dalam ilmu penyakit mata adalah suatu keadaan dimana


mata terancam akan kehilangan fungsi penglihatannya atau akan terjadi kebutaan
apabila tidak dilakukan tindakan atau pengobatan sesegera mungkin.
Terancamnya fungsi penglihatan atau kebutaan dapat diakibatkan oleh suatu
penyakit atau kelainan mata dan oleh trauma mata. Biasanya penderita dengan
kelainan di mata akan datang meminta pertolongan seorang dokter dengan
keluhan mata merah, mata lelah, mata sakit, melihat ganda, tajam penglihatan
yang menurun, pandangan tertutup sesuatu, adanya kilatan-kilatan pada lapang
pandangan dan adanya sakit kepala. Tidak semua pasien dengan mata merah akan
terancam penglihatannya, dan tidak semua pasien dengan tajam penglihatan yang
menurun berarti berada dalam keadaan darurat yang memerlukan penanganan
segera. Tetapi keadaan tersebut di atas dapat dijadikan acuan dokter untuk
melaksanakan pemeriksaan selanjutnya baik pemeriksaan secara fisik atau
pemeriksaan mata dengan lengkap, sehingga dapat diketahui apakah kelainan
pada mata pasien tesebut termasuk dalam kondisi yang darurat atau tidak.

Dalam kasus kegawatdaruratan mata, kecepatan menentukan diagnosis dan


ketepatan penanganan atau terapi merupakan hal paling utama dalam usaha dokter
untuk menyelamatkan bola mata dan fungsi penglihatan pasien. Tidak kalah
penting adalah dokter harus dapat membuat prioritas diagnosis dan beberapa
diferensial diagnosis yang akan timbul, karena sering kali gejala-gejala dan tanda
klinis yang ditemukan saat pemeriksaan akan tumpang tindih. Seorang dokter di
IGD harus mengetahui kasus kegawatdaruratan mata yang membutuhkan dokter
spesialis mata sehingga mampu merujuk secara cepat dan menciptakan kolaborasi
antara dokter IGD dan dokter spesialis mata.

Kegawatdaruratan dalam ilmu penyakit mata secara umum dapat terbagi


dua, yaitu yang trauma dan non trauma. Kegawatdaruratan mata karena trauma
dapat terbagi menjadi gawat darurat yaitu trauma kimia (basa/alkali dan asam) dan
oklusi arteri retina sentralis, kondisi gawat yakni trauma radiasi (solar/matahari,

1
ultraviolet), trauma jaringan ekstra okular (palpebra, sistem lakrimal), trauma
tumpul bola mata, trauma tajam bola mata (laserasi dan trauma tembus) serta yang
bersifat non trauma antara lain, glaukoma sudut tertutup akut, infeksi
(konjungtivitis GO, endoftalmitis, selulitis orbita), dan ablasi retina akut.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Retina1,2


Retina adalah selembar tipis jaringan saraf yang semitransparan, multilapis
yang melapisi bagian dalam dua per tiga posterior dinding bola mata. Retina
membentang ke depan hampir sama jauhnya dengan korpus siliare, dan berakhir
di tepi ora serrata. Pada orang dewasa, ora serrata berada sekitar 6,5 mm di
belakang garis Schwalbe pada sisi temporal dan 5,7 mm di belakang garis ini pada
sisi nasal. Permukaan luar retina sensorik bertumpuk dengan lapisan epitel
berpigmen retina sehingga juga bertumbuk dengan membrane Bruch, koroid dan
sklera. Disebagian besar tempat, retina dan epitelium pigmen retina mudah
terpisah hingga membentuk suatu ruang subretina, seperti yang terjadi pada
ablasio retina. Tetapi pada diskus optikus dan ora serrata, retina dan epitelium
pigmen retina saling melekat kuat sehingga membatasi perluasan cairan subretina
pada ablasio retina. Hal ini berlawanan dengan ruang subkhoroid yang dapat
terbentuk antara khoroid dan sklera yang meluas ke taji sklera. Dengan demikian
ablasi koroid meluas melewati ora serrata, dibawah pars plana dan pars plikata.
Lapisan - lapisan epitel permukaan dalam korpus siliare dan permukaan posterior
iris merupakan perluasan ke anterior retina dan epitelium pigmen retina.
Permukaan dalam retina menghadap ke vitreus.1
Lapisan-lapisan retina mulai dari sisi luar ke dalam adalah sebagai berikut:
1. Epitelium pigmen retina
Merupakan lapisan terluar dari retina. Epitel pigmen retina
terdiri dari satu lapisan sel mengandung pigmen dan terdiri atas
sel-sel silindris dengan inti di basal. Daerah basal sel melekat erat
membran Bruch dari koroid. Fotoreseptor dipelihara oleh epitel
pigmen retina, yang berperan pada proses penglihatan. Epitel
pigmen ini bertanggung jawab untuk fagositosis segmen luar
fotoreseptor, transportasi vitamin, mengurangi hamburan sinar,
serta membentuk sawar selektif antara koroid dan retina.2
2. Lapisan fotoreseptor segmen dalam dan luar batang dan kerucut.

3
Sel-sel batang dan kerucut di laisan fotoreseptor mengubah
rangsangan cahaya menjadi suatu impuls saraf yang dihantarkan
oleh jaras-jaras penglihatan ke korteks penglihatan ocipital.
Fotoreseptor tersusun sehingga kerapatan sel-sel kerucut
meningkat di di pusat makula (fovea), dan kerapatan sel batang
lebih tinggi di perifer. Pigmen fotosensitif di dalam sel batang
disebut rodopsin. Sel kerucut mengandung tiga pigmen yang belum
dikenali sepenuhnya yang disebut iodopsin yang kemungkinan
menjadi dasar kimiawi bagi tiga warna (merah,hijau,biru) untuk
penglihatan warna. Sel kerucut berfungsi untuk penglihatan siang
hari (fotopik). Subgrup sel kerucut responsif terhadap panjang
gelombang pendek, menengah, dan panjang (biru, hijau merah).
Sel batang berfungsi untuk penglihatan malam (skotopik). Dengan
bentuk penglihatan adaptasi gelap ini terlihat beragam corak abu-
abu, tetapi warnanya tidak dapat dibedakan. Waktu senja
(mesopik) diperantarai oleh kombinasi sel kerucut dan batang.1
3. Membrana limitans externa
4. Lapisan inti luar sel fotoreseptor, Ini terdiri dari inti
dari batang dan kerucut.2
5. Lapisan pleksiformis luar, yang mengandung sambungan –
sambungan sel bipolar dan sel horizontal dengan fotoreseptor . 2
6. Lapisan inti dalam badan sel bipolar, amakrin dan sel
horizontal
7. Lapisan pleksiformis dalam, yang mengandung sambungan
– sambungan sel ganglion dengan sel amakrin dan sel bipolar .2
8. Lapisan sel ganglion, Ini terutama mengandung sel badan
sel ganglion (urutan kedua neuron visual 7 pathway). Ada dua jenis
sel ganglion.2
9. Lapisan serat saraf, yang mengandung akson – akson sel
ganglion yang berjalan menuju ke nervus optikus.2
10. Membrana limitans interna.

4
Ini adalah lapisan paling dalam dan memisahkan retina dari
vitreous. Itu terbentuk oleh persatuan ekspansi terminal dari serat
yang Muller, dan pada dasarnya adalah dasar membran.2

Gambar 2.1 Lapisan Retina dari Luar ke Dalam

Retina mempunyai tebal 0,1 mm pada ora serrata dan 0,23 mm pada kutub
posterior. Di tengah – tengah retina posterior terdapat makula. Secara klinis
makula dapat didefinisikan sebagai daerah pigmentasi kekuningan yang
disebabkan oleh pigmen luteal (xantofil) yang berdiameter 1,5 mm. Secara
histologis makula merupakan bagian retina yang lapisan ganglionnya mempunyai
lebih dari satu lapis sel. Secara klinis, makula adalah bagian yang dibatasi oleh
arkade – arkade pembuluh darah retina temporal. Di tengah makula sekitar 3,5
mm di sebelah lateral diskus optikus terdapat fovea yang secara klinis jelas – jelas
merupakan suatu cekungan yang memberikan pantulan khusus bila dilihat dengan
oftalmoskop.1
Fovea merupakan zona avaskular di retina pada angiografi fluoresens.
Secara histologi, fovea ditandai dengan menipisnya lapisan inti luar dan tidak
adanya lapisan – lapisan parenkim karena akson – akson sel fotorreceptor (lapisan
serat Henle) berjalan oblik dan pergeseran secara sentrifugal lapisan retina yang
lebih dekat ke permukaan dalam retina. Foveola adalah bagian paling tengah pada
fovea, disini fotoreseptornya adalah sel kerucut dan bagian retina yang paling
tipis. Semua gambaran histologis ini memberikan diskriminasi visual yang halus.
Ruang ekstraseluler retina yang normalnya kosong potensial paling besar di

5
makula dan penyakit yang menyebabkan penumpukan bahan di ekstrasel dapat
menyebabkan daerah ini menjadi tebal sekali.1

Gambar 2.2 Anatomi Makula

Retina menerima darah dari dua sumber yaitu khoriokapilaria yang berada
tepat diluar membrana Bruch, yang mendarahi sepertiga luar retina termasuk
lapisan pleksiformis luar dan lapisan inti luar, fotorreceptor, dan lapisan epitel
pigmen retina serta cabang – cabang dari arteri sentralis retinae yang mendarahi
dua pertiga sebelah dalam. Fovea sepenuhnya diperdarahi oleh khoriokapilaria
dan mudah terkena kerusakan yang tak dapat diperbaiki kalau retina mengalami
ablasi. Pembuluh darah retina mempunyai lapisan endotel yang tidak berlubang
yang membentuk sawar darah retina. Lapisan endotel pembuluh khoroid dapat
ditembus. Sawar darah retina sebelah luar terletak setinggi lapisan epitel pigmen
retina.1

2.2 Ablasio Retina


2.2.1 Definisi
Ablasio retina (retinal detachment) adalah pemisahan retina sensorik, yakni
lapisan fotoreseptor (sel kerucut dan batang) dan jaringan bagian dalam, epitel
pigmen retina dibawahnya. Pada keadaan ini sel epitel pigmen masih melekat erat
dengan membran Bruch. Sesungguhnya antara sel kerucut dan sel batang retina
tidak terdapat suatu perlekatan struktural dengan koroid atau pigmen epitel,
sehingga merupakan titik lemah yang potensial untuk lepas secara embriologis.2

6
Gambar 2.3 Ablasio Retina

2.2.2 Epidemiologi3
Penyebab paling umum di seluruh dunia yang terkait dengan ablasio retina
adalah miop, afakia, pseudofakia, dan trauma. Sekitar 40-50% dari semua pasien
dengan ablasio memiliki miop, 30-40% mengalami pengangkatan katarak, dan 10-
20% telah mengalami trauma okuli. ablasio retina yang terjadi akibat trauma lebih
sering terjadi pada orang muda, dan miop terjadi paling sering pada usia 25-45
tahun. Meskipun tidak ada penelitian yang menunjukkan untuk terjadinya ablasio
retina yang berhubungan dengan olahraga tertentu (misalnya, tinju dan bungee
jumping) tetapi olahraga tersebut meningkatkan resiko terjadinya ablasio retina.
Kejadian ini tidak berubah ketika dikoreksi, meningkat pada pria dengan
trauma okuli. Ablasio retina pada usia kurang dari 45 tahun, 60% laki-laki dan
40% perempuan.
Ablasio retina biasanya terjadi pada orang berusia 40-70 tahun. Namun,
cedera paintball pada anak-anak dan remaja merupakan penyebab umum dari
cedera mata, yang termasuk ablasio retina traumatik.

2.2.3 Klasifikasi
Berdasakan penyebabnya ablasio retina dibagi menjadi:
1. Ablasio Retina Primer (Ablasio Retina Regmatogenosa)
Ablasio regmatogenosa berasal dara kata Yunani rhegma, yang berarti
diskontuinitas atau istirahat . Pada ablasio retina regmatogenosa dimana

7
ablasi terjadi adanya robekan pada retina sehingga cairan masuk ke
belakang antara sel pigmen epitel dengan retina. Terjadi pendorongan
retina oleh badan kaca cair (fluid vitreus) yang masuk melalui robekan
atau lubang pada retina ke rongga subretina sehingga mengapungkan
retina dan terlepas dari lapis epitel pigmen koroid. Ablasio
regmantogenosa spontan biasanya didahului atau disertai oleh pelepasan
korpus vitreum posterior.1
Faktor predisposisi terjadinya ablasio retina regmatogenosa antara lain:
a. Usia. Kondisi ini paling sering terjadi pada umur 40 – 60 tahun.
Namun usia tidak menjamin secara pasti karena masih banyak
faktor yang mempengaruhi.
b. Jenis kelamin. Keadaan ini paling sering terjadi pada laki – laki
dengan perbandingan laki : perempuan adalah 3 : 2
c. Miopi. Sekitar 40 persen kasus ablasio retina regmatogenosa
terjadi karena seseorang mengalami miop.
d. Afakia. Keadaan ini lebih sering terjadi pada orang yang afakia
daripada seseorang yang fakia. Pasien bedah katarak diduga akibat
vitreus ke anterior selama atau setelah pembedahan. Lebih sering
terjadi setelah ruptur kapsul, kehilangan vitreus dan vitrektomi
anterior. Ruptur kapsul saat bedah katarak dapat mengakibatkan
pergeseran materi lensa atau sesekali, seluruh lensa ke dalam
vitreus.
e. Trauma. Mungkin juga bertindak sebagai faktor predisposisi
f. Fenile Posterior Vitreous Detachment (PVD). Hal ini terkait
dengan ablasio retina dalam kasus banyak.
g. Pasca sindrom nekrosis akut retina dan sitomegalovirus (CMV)
retinitis pada pasien AIDS berupa nekrosis retina dengan formasi
istirahat retina terjadi, kemudian, cairan dari rongga vitreous dapat
mengalir melalui istirahat dan melepas retina tanpa ada hadir traksi
vitreoretinal terbuka.
h. Retina yang memperlihatkan degenerasi di bagian perifer seperti
Lattice degeneration, Snail track degeneration, White-with-

8
pressure and white- without or occult pressure, acquired
retinoschisis
Ablasio retina akan memberikan gejala prodromal terdapatnya
gangguan penglihatan yang kadang – kadang terlihat sebagai tabir yang
menutupi (floaters) akibat dari vitreous cepat degenerasi dan terdapat
riwayat adanya pijaran api (fotopsia) pada lapangan penglihatan akibat
sensasi berkedip cahaya karena iritasi retina oleh gerakan vitreous.2
Ablasi retina yang berlokalisasi di daerah superotemporal sangat
berbahaya karena dapat mengangkat macula. Penglihatan akan turun
secara akut bila lepasnya retina mengenai macula lutea. Pada pemeriksaan
funduskopi akan terlihat retina yang terangkat berwarna pucat dengan
pembuluh darah diatasnya dan terlihat adanya robekan retina berwarna
merah. Bila bola mata bergerak akan terlihat retina yang lepas (ablasi)
bergoyang. Kadang – kadang terdapat pigmen didalam badan kaca. Pada
pupil terdapat adanya defek aferen pupil akibat penglihatan menurun.
Tekanan bola mata rendah dan dapat meninggi bila telah terjadi
neovaskuler glaucoma pada ablasi yang telah lama.1

Gambar 2.4 Ablasio retina tipe regmatogenosa (arah panah


menunjukkan horseshoe tear)

2. Ablasio Retina Sekunder (Non regmatogenosa)


a. Ablasio Retina Eksudatif
Ablasio retina eksudatif terjadi akibat adanya penimbunan cairan
eksudat di bawah retina (subretina) dan mengangkat retina.
Penimbunan cairan subretina terjadi akibat ekstravasasi cairan dari

9
pembuluh retina dan koroid. Penyebab Ablasio retina eksudatif dibagi
menjadi dua yaitu penyakit sistemik yang meliputi Toksemia
gravidarum, hipertensi renalis, poliartritis nodosa. Sedangkan penyakit
mata meliputi akibat inflamasi (skleritis posterior, selulitis orbita),
akibat penyakit vascular (central serous retinophaty, and axudative
retinophaty of coats, akibat neoplasma (malignant neoplasma koroid
dan retinoblastoma), akibat perforasi bola mata pada operasi
intraokuler.1
Gejala klinis ablasio retina eksudatif antara lain:2
a. Tidak adanya photopsia, lubang / air mata, lipatan dan
undulations.
b. Ablasio retina eksudatif halus dan cembung. Pada puncak
tumor itu biasanya bulat dan tetap dan bisa menunjukkan
gangguan pigmen.
c. Kadang-kadang, pola pembuluh retina mungkin terganggu
akibat adanya neovaskularisasi di puncak tumor.
d. Pergeseran cairan ditandai dengan mengubah posisi daerah
terpisah dengan gravitasi adalah ciri khas yang dari
detasemen retina eksudatif.
e. Pada tes transillumination satu ablasio sederhana muncul
transparan sedangkan ablasio padat.

Gambar 2.5 Ablasio retina tipe eksudatif akibat dari hasil metastase
karsinoma payudara

10
b. Ablasio retina traksi
Pada ablasio ini lepasnya jaringan retina terjadi akibat tarikan
jaringan parut pada korpus vitreus (badan kaca). Pada badan kaca
terdapat jaringan fibrosis yang dapat disebabkan diabetes melitus
proliferative, trauma, dan perdarahan badan kaca akibat bedah atau
infeksi. Tipe ini juga dapat terjadi sebagai komplikasi dari ablasio
retina regmatogensa.1,2
Ablasio retina tipe regmatogenosa yang berlangsung lama akan
membuat retina semakin halis dan tipis sehingga dapat menyebabkan
terbentuknya proliferatif vitreotinopathy (PVR) yang sering ditenukan
pada tipe Regmetogenosa yang lama. PVR juga dapat terjadi
kegagalan dalam penatalaksanaan ablasio retina regmatogenosa. Pada
PVR, epitel pigmen retina, sel glia, dan sel lainya yang berada di
dalam maupun di luar retina pada badan vitreus akan membentuk
membrane. Kontraksi dari membrane tersebut akan menyebabkan
retina tertarik ataupun menyusut, sehingga dapat mengakibatkan
terdapatnya robekan baru atau brkembang menjadi ablasio retina
traksi.1,2

Gambar 2.6 Ablasio retina traksi dengan proliferatif vitreoretinopati

2.2.4 Diagnosis
Ablasio retina ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan oftalmlogi
dan pemeriksaan penunjang.
1. Anamnesis

11
Gejala umum pada ablasio retina yang sering dikeluhkan
penderita adalah:
a. Floaters (terlihatnya benda melayang – laying) yang terjadi
karena adanya kekeruhan di vitreus oleh adanya darah, pigmen
retina yang lepas atau degenerasi vitreus itu sendiri.1,2
b. Photopsi/light flashes (kilatan cahaya), tanpa adanya
sumber cahaya di sekitarnya, yang umumnya terjadi sewaktu mata
digerakkan dalam keremangan cahaya atau dalam keadaan gelap.2
c. Penurunan tajam penglihatan, penderita mengeluh
penglihatannya sebagian seperti tertutup tirai yang semakin lama
semakian luas. Pada keadaan yang telah lanjut, dapat terjadi
penurunan tajam penglihatan yang berat.2
Pada ablasio regmatogenosa, pada tahap awal masih relative terlokalisir,
tetapi jika hal tersebut tidak diperhatikan oleh penderita maka akan berkembang
menjadi lebih berat jika berlangsung sedikit sedikit demi sedikir menuju ke arah
makula. Keadaan ini juga tidak menimbulkan rasa sakit tiba- tiba kehilangan
penglihatan terjadi ketika kerusakannya sudah parah. Pasien seperti biasanya
mengeluhkan kemunculan tiba – tiba awan gelap atau kerudung didepan mata.1,2
Selain itu perlu di anamnesa adanya faktor predisposisi yang menyebakan
teradi ablasio retina seperti adanya riwayat trauma, riwayat pembedahan
sebelumnya seperti ekstraksi katarak, pengangkatan korpus alienum inoukler,
riwayat penyakit mata sebelumnya (uveitis, perdarahan vitreus, amblopia,
galukoma, dan retinopati diabetik). Riwayat keluarga dengan sakit mata yang
sama serta penyakit serta panyakit sistemik yang berhubungan dengan ablasio
retina (diabetes melitus, tumor, sickle cell leukimia, eklamsia, dan
prematuritas).1,2

2. Pemeriksaan oftalmoskopi
Adapun tanda – tanda yang dapat ditemukan pada keadaan
ini antar lain :
a. Pemeriksaan visus. Dapat terjadi penurunan tajam
penglihatan akibat terlibatnya makula lutea atau kekeruhan media

12
refrakta atau badan kaca yang menghambat sinar masuk. Tajam
penglihatan akan sangat terganggu bila makula lutea ikut
terangkat.1,2
b. Tekanan intraokuler biasanya sedikit lebih atau mungkin
normal.2
c. Pemeriksaan funduskopi. Merupakan salah satu cara terbaik
untuk mendiagnosa ablasio retina dengan menggunakan
oftalmoskop indirek binokuler. Pada pemeriksaan ini retina yang
mengalami ablasio tampak sebagai membran abu – abu merah
muda yang menutupi gambaran vaskuler koroid. Jika terdapat
akumulasi cairan pada ruang subretina, didapatkan pergerakkan
undulasi retina ketika mata bergerak. Pembuluh darah retina yang
terlepas dari dasarnya berwarna gelap, berkelok – kelok dan
membengkok di tepi ablasio. Pada retina yang terjadi ablasio
telihat lipatan – lipatan halus. Satu robekan pada retina terlihat
agak merah muda karena terdapat pembuluh koroid dibawahnya.2
d. Electroretinography (ERG) adalah dibawah normal atau
tidak ada.2
e. Ultrasonography mngkonfirmasikan diagnosis. Ini adalah
nilai khusus pada pasien media berkabut terutama dihadapan padat
katarak.2

2.2.5 Penatalaksanaan
Tujuan utama bedah ablasi adalah untuk menemukan dan memeperbaiki
semua robekan retina, digunakan krioterapi atau laser untuk menimbulkan adhesi
antara epitel pigmen dan retina sensorik sehingga mencegah influks cairan lebih
lanjut kedalam ruang subretina, mengalirkan cairan subretina ke dalam ke luar,
dan meredakan traksi vitreoretina.1,2
Penatalaksanaan pada ablasio retina adalah pembedahan. Prinsip bedah
pada ablasio retina yaitu :4
1. Menemukan semua bagian yang terlepas

13
2. Membuat iritasi korioretinal pada sepanjang masing-masing daerah retina
yang terlepas.
3. Menguhubungkan koroid dan retina dalam waktu yang cukup untuk
menghasilkan adhesi dinding korioretinal yang permanen pada daerah subretinal.

Pada pembedahan ablasio retina dapat dilakukan dengan cara :


1. Scleral buckling
Metode ini paling banyak digunakan pada ablasio retina rematogenosa
terutama tanpa disertai komplikasi lainnya. Prosedur meliputi lokalisasi posisi
robekan retina, menangani robekan dengan cryoprobe, dan selanjutnya dengan
scleral buckle (sabuk). Sabuk ini biasanya terbuat dari spons silikon atau
silikon padat. Ukuran dan bentuk sabuk yang digunakan tergantung posisi
lokasi dan jumlah robekan retina. Pertama – tama dilakukan cryoprobe atau
laser untuk memperkuat perlengketan antara retina sekitar dan epitel pigmen
retina. Sabuk dijahit mengelilingi sklera sehingga terjadi tekanan pada
robekan retina sehingga terjadi penutupan pada robekan tersebut. Penutupan
retina ini akan menyebabkan cairan subretinal menghilang secara spontan
dalam waktu 1-2 hari.4

Gambar 2.7 Spons silikon dijahit pada bola mata untuk menekan sklera
di atas robekan retina setelah drainase cairan sub retina dan dilakukan
crioterapi

14
Gambar 2.8 Penekanan yang didapatkan dari spons silikon, retina
sekarang melekat kembali dan traksi pada robekan retina oleh vitreus
dihilangkan
2. Retinopeksi pneumatik
Retinopeksi pneumatik merupakan metode yang juga sering digunakan
pada ablasio retina regmatogenosa terutama jika terdapat robekan tunggal
pada bagian superior retina. Teknik pelaksanaan prosedur ini adalah dengan
menyuntikkan gelembung gas ke dalam rongga vitreus. Gelembung gas ini
akan menutupi robekan retina dan mencegah pasase cairan lebih lanjut melalui
robekan. Jika robekan dapat ditutupi oleh gelembung gas, cairan subretinal
biasanya akan hilang dalam 1-2 hari. Robekan retina dapat juga dilekatkan
dengan kriopeksi atau laser sebelum gelembung disuntikkan. Pasien harus
mempertahankan posisi kepala tertentu selama beberapa hari untuk
meyakinkan gelembung terus menutupi robekan retina.2,4

Gambar 2.9 Setelah pengangkatan gel vitreus pada drainase cairan sub
retina, gas fluorokarbon inert disuntikan ke dalam rongga vitreus

15
3. Vitrektomi
Merupakan cara yang paling banyak digunakan pada ablasio akibat
diabetes, dan juga pada ablasio regmatogenosa yang disertai traksi
vitreus atau perdarahan vitreus. Cara pelaksanaannya yaitu dengan
membuat insisi kecil pada dinding bola mata kemudian memasukkan
instruyen ingá cavum vitreous melalui pars plana. Setelah itu dilakukan
vitrektomi dengan vitreus cutre untuk menghilangkan berkas badan
kaca (viteuos stands), membran, dan perleketan – perleketan. Teknik
dan instruyen yang digunakan tergantung tipe dan penyebab ablasio.
Lebih dari 90% lepasnya retina dapat direkatkan kembali dengan
teknik- teknik bedah mata modern, meskipun kadang- kadang
diperlukan lebih dari satu kali operasi.2,4

2.2.6 Prognosis4
Prognosis dari penyakit ini berdasarkan pada keadaan makula sebelum dan
sesudah operasi serta ketajaman visualnya. Jika, keadaannya sudah melibatkan
makula maka akan sulit menghasilkan hasil operasi yang baik, tetapi dari data
yang ada sekitar 87 % dari operasi yang melibatkan makula dapat mengembalikan
fungsi visual sekitar 20/50 lebih kasus diman makula yang terlibat hanya sepertiga
atau setengah dari makula tersebut.
Pasien dengan ablasio retina yang melibatkan makula dan
perlangsungannya kurang dari 1 minggu, memiliki kemungkinan sembuh post
operasi sekitar 75 % sedangkan yang perlangsungannya 1-8 minggu memiliki
kemungkinan 50 %.
Dalam 10-15 % kasus yang dilakukan pembedahan dengan ablasio retina
yang melibatkan makula, kemampuan visualnya tidak akan kembali sampai level
sebelumnya dilakukannya operasi. Hal ini disebabkan adanya beberpa faktor
seperti irreguler astigmat akibat pergeseran pada saat operasi, katarak progresif,
dan edema makula. Komplikasi dari pembedahan misalnya adanya perdarahan
dapat menyebabkan kemampuan visual lebih menurun.

16
2.3 CRVO (Central Retinal Vein Occlusion)
2.3.1 Pendahuluan
Retinal vein occlusion (RVO) adalah penyakit pembuluh darah retina nomer
dua terbanyak setelah retinopati diabetic. Sebuah analisa dari beberapa penelitian
berbasis populasi di Amerika Serikat, Australia, Eropa dan Asia memperkirakan
prevalensi total RVO sebesar 16,4 juta jiwa, dengan 2,5 juta jiwa menderita
CRVO dan 13,9 juta jiwa menderita Branch RVO (BRVO).2 Insiden CRVO akan
meningkat sesuai bertambahnya usia dimana lebih dari separuh kasus terjadi pada
usia 65 tahun ke atas. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa laki-laki memiliki
risiko lebih tinggi menderita CRVO dibandingkan dengan perempuan, namun
penelitian lain menunjukkan hasil yang tidak konsisten.5
RVO terjadi akibat adanya obstruksi parsial atau komplit pada vena retina.
RVO diklasifikasikan berdasarkan lokasi obstruksi, yaitu pada pembuluh darah
vena retina sentralis atau di cabang-cabang vena retina. Oklusi vena retinal sentral
atau Central retinal vein occlusion (CRVO) dapat mengakibatkan kebutaan
permanen apabila tidak ditangani dengan baik sehingga diagnosis dini dan
penatalaksanaan yang tepat merupakan kunci keberhasilan terapi CRVO.5
Secara klinis CRVO digambarkan dengan berkurangnya penglihatan atau
kebutaan yang bersifat tiba-tiba dimana pada pemeriksaan fundus dapat
ditemukan adanya pendarahan retina, vena retina yang melebar dan berkelok-
kelok, cotton-wool spot, edema macula dan edema diskus optikus. CRVO dapat
diklasifikasikan berdasarkan area kapiler retina yang teroklusi dan derajat
perkembangan neovaskularisasi.5
CRVO secara umum dapat dibagi menjadi dua tipe klinis yaitu iskemik dan
non-iskemik. Namun dalam prakteknya dapat ditemukan kasus-kasus yang
intermediet yaitu berada ditengah-tengah antara kedua tipe tersebut dengan
perjalanan klinis yang bervariasi. Lebih dari 80% kasus intermediet pada akhirnya
akan mengalami progresi kearah iskemik. Pada awal presentasi kasus dapat pula
terjadi kesulitan dalam mengklasifikasikan kasus tersebut ke dalam salah satu
kategori karena CRVO dapat berubah–ubah dari non-iskemik menjadi iskemik
seiring berjalannya waktu.5

17
Non-ischemic CRVO adalah bentuk yang lebih ringan dimana penglihatan
mungkin masih baik, tidak ada relative afferent pupillary defect (RAPD), serta
perfusi ke retina masih baik. Pada pemeriksaan funduskopi dapat ditemukan
cabang-cabang pembuluh darah retina sentralis yang dilatasi dan berkelok ringan,
dapat pula ditemukan sedikit perdarahan retina (dot maupun flame-shaped) dan
cotton-wool spot di semua kuadran retina.3 Dapat terjadi resolusi total pada non-
ischemic CRVO dengan hasil penglihatan yang baik, namun apabila tidak
terdeteksi di awal dan tidak ditangani dengan baik maka dapat pula berkembang
menjadi ischemic CRVO.5
Ischemic CRVO adalah bentuk yang lebih berat. Pasien mungkin datang
pertama kali dengan gambaran klinis awal sebagai ischemic CRVO atau dapat
juga sebagai perkembangan dari non-ischemic CRVO. Ischemic CRVO biasanya
memiliki klinis gangguan penglihatan yang berat, perdarahan retina dan cotton
wool spot yang luas, terdapat RAPD, perfusi ke retina yang buruk, dan adanya
temuan yang mengindikasikan suatu oklusi berat pada pemeriksaan fundus
fluorescein angiography. Komplikasi lanjut dari suatu CRVO yang berat yaitu
kebutaan permanen dan glaukoma sekunder akibat proses neovaskularisasi.5

2.3.2 Patofisiologi6
Patofisiologi oklusi trombotik pada vena retina sentralis tidak diketahui
secara pasti. Berbagai faktor lokal dan sistemik berperan dalam oklusi patologis
vena retina sentralis. Arteri dan vena retina sentralis berbagi selubung adventisial
yang sama di ujung keluarnya pembuluh darah pada nervus optikus dan lamina
kribrosa. Jalur pembuluh darah pada lamina kribrosa begitu sempit sehingga
pembuluh darah berada dalam kompartemen yang tidak memungkinkan terjadinya
pergeseran maupun dilatasi. Terbentuknya arteriosklerosis pada arteri retina
sentralis mengubah struktur dinding arteri menjadi kaku dan akhirnya
mempengaruhi vena retina sentralis yang memiliki struktur lebih lentur. Kejadian
tersebut menyebabkan gangguan hemodinamik, kerusakan endotel dan
pembentukan trombus. Mekanisme ini menjelaskan fakta bahwa dengan
ditemukannya suatu CRVO maka sangat mungkin ada penyakit arteri yang

18
berhubungan dengan kondisi tersebut. Asosiasi antara penyakit arteri dengan
CRVO masih belum dapat dibuktikan secara konsisten.
Oklusi trombotik pada vena retina sentralis dapat terjadi sebagai hasil dari
beragam gangguan patologis, termasuk tekanan mekanis pada vena (misalnya
akibat perubahan struktural lamina kribrosa yang terjadi pada glaucomatous
cupping, pembengkakan nervus optikus akibat inflamasi, dan penyakit orbita),
gangguan hemodinamik, perubahan pada dinding pembuluh darah (misalnya
vaskulitis) dan perubahan pada darah (misalnya defisiensi faktor trombolitik darah
atau meningkatnya faktor pembekuan darah).
Terjadinya oklusi pada vena retina sentralis mengakibatkan terjadinya
peningkatan volume darah pada sistem vena retina dan meningkatnya resistensi
aliran darah vena. Peningkatan resistensi ini menyebabkan stagnasi dan kerusakan
iskemik pada retina. Kerusakan iskemik pada retina kemudian menstimulasi
peningkatan produksi vascular endothelial growth factor (VEGF) didalam kavitas
vitreous. Peningkatan level VEGF menstimulasi pembentukan neovaskular di
segmen posterior dan anterior. Proses neovaskularisasi di segmen anterior inilah
yang bertanggung jawab terhadap komplikasi sekunder CRVO terhadap segmen
anterior mata. VEGF juga memicu kebocoran pada dinding kapiler, yang
kemudian mengakibatkan edema pada makula. Edema makula dapat terjadi baik
pada ischemic CRVO maupun non-ischemic CRVO dan merupakan penyebab
utama terjadinya kebutaan. Prognosis CRVO tergantung pada kemampuan mata
untuk melakukan rekanalisasi yaitu pembentukan kembali patensi sistem vena,
seberapa banyak gumpalan darah yang dapat diserap serta pembentukan
optocilliary shunt vessels.

2.3.3 Gambaran Klinis7


Anamnesis lengkap terutama berkaitan dengan penyakit sistemik yang
diderita maupun faktor lokal lain yang merupakan predisposisi terhadap CRVO
harus selalu digali. Riwayat penyakit yang signifikan berhubungan dengan CRVO
antara lain:
• Hipertensi
• Diabetes mellitus

19
• Penyakit kardiovaskular
• Penyakit gangguan pembekuan darah
• Vaskulitis
• Penyakit autoimun
• Penggunaan kontrasepsi oral
• Trauma kepala
• Konsumsi alkohol
• Aktivitas fisik yang berat
• Glaukoma primer sudut terbuka atau tertutup
Pasien dapat datang dengan atau tanpa keluhan pada penglihatan. Gejala
yang sering didapatkan pada pasien dengan indikasi CRVO yaitu:
• Penglihatan kabur
• Gangguan penglihatan/ kabur dapat dikeluhkan terjadi secara tiba-tiba
atau perlahan selama beberapa hari atau beberapa minggu. Gangguan
penglihatan dapat bervariasi dari gangguan sementara yang membaik
dengan sendirinya (biasanya pada awalan perjalanan penyakit) kemudian
lama-kelamaan menjadi konstan.
• Fotofobia/ silau
• Kebutaan yang disertai nyeri pada mata yang bersangkutan
• Mata merah
Gejala-gejala lain seperti penglihatan buram, nyeri pada mata, rasa tidak
nyaman, mata berair maupun mata merah dapat dikeluhkan pada mata dengan
CRVO yang sudah lama.

2.3.4 Pemeriksaan Fisik8


Pasien dengan CRVO harus menjalani pemeriksaan mata lengkap
termasuk pemeriksaan visus, refleks pupil, pemeriksaan lampu celah untuk
mengevaluasi segmen anterior dan posterior mata, gonioskopi, pemeriksaan
fundus.
Pemeriksaan visus untuk menilai penglihatan terkoreksi terbaik harus
selalu dilakukan karena dapat memprediksi prognosis. Refleks pupil dievaluasi
untuk mengetahui ada atau tidaknya RAPD. Apabila terdapat pembuluh darah

20
abnormal pada iris maka kemungkinan reflek pupil negatif. Kongesti konjungtiva
dan pembuluh darah silier dapat ditemukan pada kasus yang berat. Pada iskemik
CRVO yang berat dan sudah lama mungkin didapatkan pembuluh darah abnormal
akibat neovaskularisasi pada iris. Pembuluh darah ini paling baik dievaluasi pada
iris yang tidak diberi midriatikum karena munculnya pembuluh darah selalu mulai
dari perifer iris atau pada iridektomi perifer. Sudut bilik mata depan dievaluasi
dengan gonioskopi tanpa dilatasi pupil. Pada CRVO yang ringan mungkin
ditemukan sudut kamera depan terbuka dengan sedikit neovaskularisasi. Pada
CRVO yang berat dapat ditemukan sudut tertutup dengan sinekia anterior totalis.
Pemeriksaan funduskopi indirek dilakukan untuk mengevaluasi seluruh
kuadran retina dan mendapatkan informasi yang lengkap tentang kondisi makula,
diskus optikus dan pembuluh darah retina. Perdarahan retina terdapat di semua
quadran retina. Bentuk perdarahan bervariasi, mulai dari perdarahan superfisial,
dot and blot, atau perdarahan pada lapisan retina yang lebih dalam. Perdarahan
dapat ringan atau berat, juga akan berbeda gambarannya pada perdarahan dengan
onset baru dengan perdarahan yang onsetnya sudah lama. Jika baru terjadi
perdarahan yang berat seluruh fundus dapat tertutup bayangan merah (darah),
gambaran yang demikian disebut “blood and thunder appearance”. Gambaran lain
yang sering ditemukan pada funduskopi indirek, yaitu:
• Cotton wool spot, lebih sering ditemukan pada iskemik CRVO. Cotton
wool spot dapat diserap dalam waktu 2-4 bulan
• Neovaskularisasi pada diskus optikus (NVD, Neovascularization of the
disk). NVD dapat menyebabkan perdarahan vitreous
• Neovaskularisasi di tempat lain (NVE, Neovascularization elsewhere).
NVE lebih jarang ditemukan daripada NVD, adanya NVE
mengindikasikan iskemia retina yang beratOptocilliary shut vessels yaitu
pembuluh darah abnormal pada diskus optikus yang mengalirkan darah
dari sirkulasi retina ke sirkulasi koroid sebagai mekanisme kompensasi
• Perdarahan pre retina atau vitreous
• Edema makula, dapat pula disertai eksudat
• Edema makula sistoid
• Macular hole

21
• Atrofi papil
• Perubahan pigmen pada makula

2.3.5 Pemeriksaan Pencitraan Penunjang9


Pemeriksaan pencitraan peunjang dibutuhkan untuk mengetahui tingkat
keparahan penyakit dan prognosis sebagai bahan pertimbangan tindakan atau
tatalaksana yang akan dilakukan. Pemeriksaan pencitraan penunjang yang sering
dilakukan yaitu Color Doppler dan Optical Cohorence Tomography (OCT). Color
Doppler sering dipilih di karena non-infasif dan dapat menilai sirkulasi
retrobulbar secara kuantitatif. OCT adalah teknologi pencitraan noninvasif, non-
kontak, transpupil yang mampu menggambarkan struktur retina in vivo dengan
resolusi aksial 1-15μm. OCT menunjukkan kondisi fotoreseptor dan lapisan sel
ganglion. OCT terutama digunakan untuk mengamati edema makula secara
berkala dan responnya terhadap pengobatan. Pemeriksaan fundus dengan
Fluorescein Angiography (FFA) dapat mendokumentasikasn derajat obstruksi,
tingkat keparahan gangguan permeabilitas kapiler serta dapat menunjukkan
seberapa luas daerah non-perfusi pada retina setelah perdarahan. Pemeriksaan
FFA memberikan gambaran yang lebih baik jika menggunakan kamera fundus
yang bersudut luas karena dapat mencakup perifer fundus dan posterior pole
dimana paling sering terjadi non-perfusi kapiler setelah resolusi perdarahan
intraretina.
FFA pada impending CRVO akan menunjukkan sedikit peningkatan pada
waktu sirkulasi retina. FFA pada non-ischemic CRVO akan menunjukkan
perlambatan yang sangat jelas pada arteriovenous transit time yaitu lebih dari 20
detik. FFA pada ischemic CRVO akan menunjukkan daerah-daerah yang tidak
mendapat perfusi kapiler (non-perfusi). Risiko neovaskularisasi meningkat pada
area non-perfusi yang lebih luas daripada 10 area diskus optikus.

22
Gambar 2.10 CRVO pada wanita muda, onset baru dengan keluhan
penglihatan kabur tiba-tiba. Terdapat perdarahan flameshaped di seluruh
quadran retina, edema papil nervus optikus dan edema makula

2.3.6 Manajemen Faktor Risiko7


Terdapat dua tujuan utama dalam penatalaksanaan CRVO yaitu (1)
mengidentifikasi dan mengontrol faktor risiko mayor yang mencetuskan CRVO
dan (2) diagnosis dan tatalaksana komplikasi yang mengancam penglihatan,
terutama edema makula dan neovaskularisasi. Manajemen faktor risiko yang baik
dapat mengurangi keparahan penyakit, mengurangi risiko komplikasi serta
melindungi mata yang belum terdampak.
Apabila secara klinis ditemukan tanda CRVO tanpa gejala perburukan
visus, maka manajemen faktor risiko sistemik dapat segera dilakukan. Tekanan
darah tinggi serta glaukoma harus selalu dieksklusi atau segera diterapi apabila
ada. Manajemen faktor risiko yang baik dapat memperlambat bahkan
menghentikan progresifitas CRVO.

2.3.7 Modalitas Penatalaksanaan Komplikasi CRVO10


Terdapat berbagai modalitas terapi dalam penatalaksanaan komplikasi
CRVO, yaitu:
1. Anti-vascular endothelial growth factors (anti-VEGF)
Anti-VEGF telah menjadi modalitas standar dalam penatalaksanaan
CRVO. Terdapat tiga agen anti-VEGF yang saat ini dipakai untuk
mengobati edema makula terkait CRVO yaitu Ranibizumab,
Bevacizumab dan Aflibercept. Ranibizumab dan Aflibercept saat ini
23
telah terdaftar di FDA (Food and Drug Administration) dan telah
mendapatkan authorisasi marketing dari EMA (European Medicines
Agency) sebagai terapi edema makula yang berkaitan dengan CRVO.
Bevacizumab sendiri belum mendapat ijin legal sebagai injeksi
intraokular (off-label, unlicenced use). Injeksi anti-VEGF memerlukan
dosis ulangan. Ketiga agen anti-VEGF saat ini sedang banyak menjadi
objek penelitian untuk menentukan berapa rentang waktu pemberian
dosis ulangan yang efektif sehingga dapat meminimalkan beban, biaya
dan risiko injeksi.
2. Kortikosteroid intraokular
Kortikosteroid intraokular terbukti efektif dalam mengatasi edema
makula terkait CRVO karena memiliki sifat anti-inflamasi,
menghambat sitokin yang terlibat dalam perjalanan penyakit tersebut,
termasuk VEGF, interleukin-6, intercellular adhesion molecule-1 dan
monocyte chemoattractant protein-1. Kortikosteroid intraokular
dipakai sebagai terapi lini kedua pada kasus-kasus yang tidak
merespon terhadap pemberian anti-VEGF, namun di beberapa pusat
pelayanan kortikosteroid intraokular mungkin dipakai sebagai lini
pertama karena lebih mudah didapat dan harganya lebih murah.
Triamcinolone acetonide tersedia dalam dua dosis injeksi intravitreal
yaitu injeksi 4 mg dan 1 mg. Clinical Trial SCORE-CRVO
membandingkan profil efektifitas dan keamaan kedua dosis injeksi
intravitreal tersebut dan didapatkan bahwa kedua dosis tersebut efektif
meningkatkan ketajaman penglihatan pada edema makula terkait
CRVO, namun meningkatkan angka operasi katarak pada 12-24 bulan
setelah onset terapi serta meningkatkan penggunaan obat-obatan
penurun tekanan bola mata dalam waktu 12 bulan setelah terapi. Dosis
1 mg menunjukkan keunggulan pada profil keamanan dibandingkan
dengan dosis 4 mg. Saat ini agen kortikosteroid intraokular yang
tersedia secara luas adalah triamcinolone acetonide, namun agen baru
dalam bentuk implant kortikosteroid menunjukkan keunggulan
dibandingkan dengan injeksi karena memungkinkan pelepasan zat

24
aktif secara perlahan, meningkatkan durasi kerja dan mengurangi
toksisitas. Belum ada penetelitian skala besar yang membandingkan
efektivitas kortikosteroid intraocular dengan anti-VEGF. Beberapa
penelitian berskala kecil seperti yang dilakukan oleh Gado AS, dkk
yang membandingkan efektifitas Bevacizumab dengan implan
dexamethasone (Ozurdex) pada 60 pasien dengan non-ischemic
CRVO, tidak ditemukan perbedaan yang signifikan dalam BCVA
letter score maupun ketebalan makula pada kedua kelompok dalam
waktu 6 bulan. Penelitian tersebut juga menemukan bahwa terjadi
peningkatan tekanan intraokular yang signifikan pada grup
dexamethasone dibandingkan dengan grup bevacizumab. Penelitian
serupa oleh Ding, dkk menunjukkan hasil yang serupa dalam waktu 9
bulan.
3. Laser
Penggunaan laser dalam terapi RVO telah lama menjadi kontroversi
jauh sebelum ditemukannya anti-VEGF. Central Vein Occlusion Study
Group (CVOS) pada tahun 90-an telah mengkonfirmasi bahwa grid-
pattern photocoagulation faktanya memang mengurangi edema
makula, namun tidak memberikan perbaikan visus pada pasien edema
makula terkait CRVO.
4. Dense peripheral paretinal photocoagulation (PRP).
Dense peripheral paretinal photocoagulation (PRP) masih digunakan
untuk mengatasi komplikasi neovaskularisasi iris dan retina pada
CRVO. PRP tidak meningkatkan visus, namun dapat mengurangi
resiko neovaskularisasi iris dan glaucoma neovaskular. Setelah era
anti-VEGF maka penggunaan PRP sudah banyak berkurang.

2.3.8 Kesimpulan
CRVO merupakan penyakit vascular mata yang sering dijumpai pada
praktek sehari-hari dan bertanggung jawab atas sejumlah kebutaan dan morbiditas
pada mata. Diagnosis dini dan penatalaksanaan yang tepat terkait faktor risiko

25
sistemik maupun kondisi mata sangat penting untuk meningkatkan hasil dan
prognosis ketajaman penglihatan.
Penatalaksanaan CRVO saat ini sudah mengalami perkembangan yang
pesat dengan banyaknya modalitas baru termasuk anti-VEGF dan implant
kortikosteroid yang telah terbukti secara klinis mampu mengobati edema makula
terkait CRVO. Baik injeksi anti-VEGF maupun kortikosteroid intravitreal
memerlukan injeksi berulang, namun sampai saat ini belum ditemukan rentang
waktu optimal dimana terapi ulang harus dilakukan. Penelitian lebih lanjut masih
diperlukan terutama untuk menentukan rentang waktu terapi sehingga
meminimalkan beban, biaya serta risiko injeksi.

2.4 CRAO (Central Retinal Artery Occlusion)


2.4.1 Pendahuluan11

Oklusi arteri retina sentral merupakan suatu keadaan dengan penurunan


aliran darah secara tiba-tiba pada arteri retina sentral sehingga menyebabkan
iskemi pada bagian dalam retina. Keadaan ini merupakan salah satu kedaruratan
mata (true ocular emergencies) yang membutuhkan penanganan dengan segera,
karena iskemi yang lama akan menyebabkan kerusakan retina yang irreversible.

Kasus oklusi arteri retina sentral dilaporkan pertama kali oleh Graefe pada
tahun 1859, yang diakibatkan oleh emboli pada pasien yang menderita
endokarditis1. dan emboli multisistemik. Lima tahun kemudian, Sweiger
menjelaskan tentang histopatologi oklusi arteri retina sentral. Pada tahun 1868,
Mauther menyampaikan dugaannya bahwa kontraksi spasmodik dapat memicu
timbulnya obtruksi arteri retina. Loring, pada tahun 1874, menyatakan bahwa
kelainan dengan obstruktif fokal pada pembuluh darah merupakan penyebab
oklusi arteri retina sentral.

Data dari Wills Eye Hospital Amerika Serikat menyebutkan bahwa oklusi
arteri retina sentral terdapat pada 1 dari 10.000 pasien rawat jalan. Kelainan ini
umumnya terdapat pada penderita dengan usia ratarata 60 tahun, meskipun dapat
juga ditemukan pada anak-anak. Insiden oklusi arteri retina sentral pada penderita
yang berumur dibawah 30 tahun adalah 1 dari 50.000 pasien rawat jalan. Angka

26
ini jauh lebih kecil pada penderita yang berumur dibawah 10 tahun. Rumelt dkk
mendapatkan angka penderita oklusi arteri retina sentral di Western Galilee-
Nahariya Medical Center Israel adalah 1,13 per 10.000 pasien rawat jalan.
Penderita lakilaki lebih banyak daripada wanita, dengan perbandingan 2:1.
Hampir semua kasus unilateral dan hanya 1%-2% kasus bilateral.

Oklusi arteri retina sentral mempunyai hubungan yang erat dengan


berbagai macam penyakit sistemik, antara lain hipertensi, penyakit jantung dan
pembuluh darah, diabetes mellitus, sickle cell disease, dan giant cell arteritis.
Beberapa keadaan yang dapat menyebabkan oklusi arteri retina sentral adalah
emboli, trombus intralumen, perdarahan di bawah plak aterosklerotik, nekrosis
arterial hipertensif, spasme, dan proses inflamasi. Gambaran klinis khas oklusi
arteri retina sentral adalah riwayat penurunan tajam penglihatan dengan tiba-tiba,
opasifikasi retina bagian posterior yang menjadi lebih putih, dan adanya cherry
red spot pada fovea central.

Saat ini belum ada kesepakatan tentang cara penatalaksanaan oklusi arteri
retina sentral yang dianggap baik meskipun telah banyak dikemukakan berbagai
metode terapi. Penderita oklusi arteri retina sentral juga memiliki prognosis yang
buruk untuk penglihatan. Pemulihan dengan segera fungsi sirkulasi retina dengan
cara membebaskan sumbatan dapat mencegah kerusakan retina dan
mengembalikan fungsi penglihatan. Sari pustaka ini membahas oklusi arteri retina
sentral pada etiopatogenesis, manifestasi klinis, dan penatalaksanaannya. Sebagai
salah satu kedaruratan mata dengan resiko kematian akibat penyakit yang
menyertainya, diagnosis yang tepat dan terapi yang cepat sangat diperlukan dalam
penanganan penyakit ini.

2.4.2 Etiopatogenesis11,12
Oklusi arteri retina sentral diketahui berhubungan erat dengan berbagai
macam kelainan sistemik.4,16 Sembilan puluh persen penderita oklusi arteri
retina sentral terkait dengan penyakit-penyakit sistemik. Dua pertiga (66%)
diantaranya menderita hipertensi, 45% menderita aterosklerosis karotis, 25%
menderita diabetes mellitus, 25%-28% menderita penyakit katup jantung, dan 2%
menderita giant cell arteritis.

27
Penyebab oklusi arteri retina sentral diantaranya emboli, trombosis, vaskulitis,
spasme pembuluh darah, dan nekrosis arterial hipertensif. Penyebab tersering
oklusi arteri retina sentral adalah sumbatan yang disebabkan oleh emboli yang
berasal dari jantung atau arteri mayor yang memperdarahi kepala. Bagian yang
paling sering terjadi sumbatan adalah lamina kribrosa. Emboli dapat berupa lemak
dari ateroma, endapan kalsium dari penyakit katup jantung, fibrin, dan butirbutir
trombin. Penyebab lain adalah giantcell arteritis, penyakit kolagen pembuluh
darah, peningkatan tekanan bola mata seperti perdarahan retrobulbar dan
eksoftalmus. Penyebab oklusi yang lebih jarang adalah sickle cell disease.
Kira-kira 20%-40% penderita memperlihatkan adanya emboli pada
pembuluh darah retina. Emboli yang sering didapat adalah emboli kolesterol yang
berwarna kuning (Hollenhorst plaque). Emboli ini umumnya berasal dari endapan
aterosklerosis pada pembuluh darah karotis, disamping itu juga dapat berasal dari
arkus aorta, arteri oftalmikus, atau dari bagian proksimal arteri retina sentral.
Emboli kolesterol biasanya berukuran kecil dan tidak menyumbat arteri retina
secara total. Emboli akibat proses kalsifikasi dari katup jantung terlihat berukuran
besar dan berwarna putih. Emboli ini mempunyai kecenderungan lebih besar
untuk menyebabkan oklusi dibandingkan emboli dari kolesterol.
Berdasarkan ada/tidaknya emboli pada arteri retina, oklusi arteri retina
sentral diklasifikasikan menjadi dua bentuk, yaitu tipe emboli dan non emboli.
Pada kasus dimana tidak ditemukan adanya emboli, ada kemungkinan emboli
telah melewati sirkulasi retina, diserap dan menghilang dalam sirkulasi kapiler.
Pada penderita berusia dibawah 30 tahun, penyebab oklusi arteri retina
sentral berbeda dengan penyebab pada penderita yang berusia lanjut. Beberapa
penyakit yang umumnya menyebabkan oklusi arteri retina sentral pada orang
dewasa muda adalah migrain, kelainan jantung, trauma, dan sickle cell
hemoglobinopati. Brown dkk menemukan penyakit terbanyak yang berhubungan
dengan penderita oklusi arteri retina sentral berusia dibawah 30 tahun adalah
migrain, yang terdapat pada sepertiga penderita. Penelitian lain oleh Greven dkk.
terhadap penderita berusia dibawah 40 tahun mengidentifikasi penyakit jantung
sebagai penyebab terbanyak oklusi arteri retina sentral.

28
Penyebab tersering oklusi arteri retina sentral pada anak-anak diantaranya
trauma, migrain, dan keadaan yang menyebabkan terbentuknya emboli seperti
prolaps katup mitral, penyakit jantung rematik, dan atrial myxoma. Lee dkk
melaporkan kasus oklusi arteri retina sentral pada anak berumur 8 tahun yang
diduga karena vaskulitis post-viral.

Gambar 2.11 Emboli retina dengan edema makula dan cherry red spot.

2.4.3 Manifestasi Klinis11,12


Pasien dengan oklusi arteri retina sentral mengalami penurunan tajam
penglihatan secara tiba-tiba tanpa disertai rasa sakit dan memburuk dalam waktu
singkat . Penurunan tajam penglihatan pada penderita oklusi arteri retina sentral
terjadi karena bagian dalam retina tidak mendapat perdarahan sehingga
menyebabkan iskemi. Beberapa penderita mempunyai riwayat kehilangan
penglihatan sementara (amaurosis fugax) dari beberapa detik sampai beberapa
menit dan kembali normal sebelum mengalami kehilangan penglihatan yang berat.
Pada pemeriksaan awal, 90% penderita oklusi arteri retina sentral memiliki
tajam penglihatan antara menghitung jari sampai dengan hanya dapat melihat
cahaya.
Dalam penelitiannya, Brown dkk. mendapatkan 51% penderita oklusi
arteri retina sentral dapat menghitung jari, 23% dengan lambaian tangan, 16%
dengan persepsi cahaya, 4% penderita tidak dapat melihat cahaya sama sekali, 3%
dengan visus 6/60, dan 3% dengan visus 6/30. Sepuluh persen penderita dimana
arteri silioretina ikut memperdarahi fovea, visus dapat membaik dan mencapai
20/50 atau lebih dalam beberapa minggu. Pada umumnya penderita masih

29
memiliki sebagian kecil lapang pandang temporal. Afferent pupillary defect
biasanya segera muncul setelah terjadinya oklusi arteri retina sentral. Pemeriksaan
bagian depan bola mata menunjukkan gambaran normal, kecuali bila telah terjadi
komplikasi neovaskularisasi iris.
Pada pemeriksaan funduskopi, gambaran fundus masih normal dalam
menit-menit pertama sampai beberapa jam setelah oklusi. Setelah itu akan terlihat
perubahan warna retina menjadi lebih putih, yang jelas terlihat pada daerah
makula. Perubahan ini menunjukkan gambaran cherry red spot yang muncul
dalam beberapa jam setelah oklusi. Penelitian Beiran dkk mendapatkan gambaran
cherry red spot muncul dalam waktu 12 – 36 jam. Gambaran ini timbul karena
bagian perifoveolar dengan ketebalan 0,5 mm mengalami iskemik dan opasifikasi,
sedangkan foveola yang tipis dengan ketebalan 0,1 mm memperlihatkan bayangan
epitel pigmen retina dan koroid dibawahnya. Pada kasus yang ringan, gambaran
ini dapat terlihat sampai beberapa hari dan pada kasus berat akan menghilang
setelah 4 sampai 6 minggu. Selanjutnya akan terlihat gambaran diskus optik yang
pucat, arteri retina yang menyempit, dan pada keadaan yang lebih berat
menunjukkan segmentasi pembuluh darah (box-carring).
Berdasarkan berat/ringannya gejala, oklusi arteri retina sentral dibedakan
menjadi 3 tingkatan. Derajat I (inkomplet), yang ditandai dengan penurunan tajam
penglihatan dan penyempitan lapang pandang, edema retina ringan disertai
gambaran cherry red spot di makula, dan tidak ada perburukan retina dalam
beberapa jam. Fluorescein angiography memperlihatkan perlambatan aliran darah.
Derajat II (subtotal), dengan penurunan tajam penglihatan yang berat,
penyempitan lapang pandang, edema retina yang lebih nyata dengan gambaran
cherry red spot di makula. Arteri retina tampak menyempit dengan penurunan dan
terputusnya aliran darah (sludge phenomenon di arteri dan vena, cattle truck sign
di arteri). Fluorescein angiography menunjukkan perlambatan nyata aliran darah
terutama arteriol perimakula. Derajat III (total), yang ditunjukkan dengan tidak
adanya persepsi cahaya, edema retina masif yang meluas dari bagian sentral
(makula) ke bagian nasal retina, tidak ada gambaran cherry red spot, tidak ada
aliran darah di perimakula dan biasanya terlihat cattle truck sign di arteri.

30
Klasifikasi oleh Hayreh dkk membedakan oklusi arteri retina sentral
menjadi 4 tipe, yaitu (1) Non Arteritic Central Retinal Artery Occlusion (NA-
CRAO) dengan gambaran klasik infark retina dan cherry red spot, disertai
sirkulasi retina yang minimal/menghilang pada Fluorescein angiography (2) NA-
CRAO dengan arteri silioretina (3) Arteritic CRAO dengan penyebab giant cell
arteritis. Gambaran fundus sama dengan NA-CRAO, tetapi pada pemeriksaan
fluorescein angiography terdapat oklusi arteri siliaris posterior (4) Transient NA-
CRAO dengan riwayat penurunan penglihatan sementara, gambaran fundus mirip
dengan NACRAO.

Gambar 2.12 Fundus penderita oklusi arteri retina sentral 24 jam pasca
oklusi. Arteriol menyempit, retina superficial edema dan memutih dengan
cherry red spot.

2.4.4 Diagnosis13
Diagnosis oklusi arteri retina sentral ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan oftalmologis, dan pemeriksaan penunjang lain. Pemeriksaan
penunjang seperti fluorescein angiography dan electroretinography sangat
membantu dalam menegakkan diagnosa, tetapi dengan pemeriksaan funduskopi
yang seksama dapat menegakkan diagnosis oklusi arteri retina sentral.
Riwayat menderita penyakit sistemik yang dapat membentuk emboli
penting dalam menegakkan diagnosa. Penderita memerlukan pemeriksaan tekanan

31
darah, elektrokardiografi, kadar gula darah, kadar lemak dan kolesterol untuk
mendeteksi penyakit sistemik seperti hipertensi, aterosklerosis atau diabetes.
Hayreh dkk. mengemukakan beberapa tanda klinis klasik oklusi arteri
retina sentral sebagai dasar menegakkan diagnosis oklusi arteri retina sentral.
Tanda klinis ini berupa (1) riwayat penurunan tajam penglihatan secara tiba-tiba,
(2) pemeriksaan awal menunjukkan gambaran infark retina dengan cherry red
spot, (3) gambaran box-carring (cattle trucking) pada pembuluh darah retina, (4)
pemeriksaan awal dengan fluorescein angiography menunjukkan perlambatan atau
tidak ada sirkulasi arteri retina.
Fluorescein Fundus Angiography (FFA) berguna untuk menunjukkan
detail sirkulasi abnormal aliran darah. Terdapat keterlambatan pengisian arteri
retina dan biasanya pada fase arteri-vena (normal pengisian arteri kira-kira 12
detik). Pengisian pembuluh darah koroid biasanya masih normal.
Elektroretinography (ERG) memperlihatkan amplitudo gelombang-a yang
normal dan penurunan amplitudo gelombang-b yang menunjukkan adanya
iskemik lapisan dalam retina.
Orbital Color Doppler Imaging (OCDI) dapat memperlihatkan adanya
emboli dalam arteri retina sentral berupa retrobulbar hyperechoic material
(plaque). Foroozan dkk menemukan emboli pada 9 pasien dengan OCDI, yang
tidak tampak dengan pemeriksaan biasa.

2.4.5 Diagnosis Banding14


Diagnosis banding oklusi arteri retina sentral adalah oklusi arteri
oftalmikus dan Tay-Sachs disease. Oklusi arteri oftalmikus memberikan
gambaran retina yang lebih putih, tetapi tidak memperlihatkan gambaran cherry
red spot. Tay-Sachs disease memberikan gambaran cherry red spot, tetapi lebih
sering terdapat pada usia muda, dan bersifat bilateral. Pemeriksaan
elektroretinography pada oklusi arteri oftalmikus, memperlihatkan penurunan
amplitudo gelombang-a dan gelombang-b, yang menunjukkan adanya iskemik
pada lapisan dalam dan luar retina.

32
2.4.6 Penatalaksanaan13,14
Penatalaksanaan oklusi arteri retina sentral melibatkan multidisiplin terapi.
Penderita oklusi arteri retina sentral memiliki resiko tinggi terhadap kematian
akibat penyakit jantung dan pembuluh darah, karena itu perlu dilakukan
pemeriksaan klinis dan penatalaksanaan secara menyeluruh dengan segera
merujuk penderita ke bagian internis atau kardiologi.
Belum ada terapi yang terbukti efektif dan memuaskan untuk
mengembalikan fungsi penglihatan pada penderita oklusi arteri retina sentral.
Tujuan dari berbagai metode terapi oklusi arteri retina sentral adalah melepaskan
oklusi dan mengembalikan aliran darah retina secepat mungkin karena perbaikan
fungsi penglihatan sangat tergantung pada lamanya oklusi.
Penelitian yang dilakukan oleh Hayreh dkk. pada kera muda dan sehat
didapatkan bahwa kerusakan retina masih reversibel bila oklusi arteri retina
sentral terjadi dalam kurun waktu 97-98 menit, tetapi kerusakan retina akan
irreversibel bila oklusi berlangsung selama 105 menit. Penelitian lain oleh Hayreh
dkk. pada kera yang berumur lebih tua sekaligus menderita hipertensi dan
aterosklerotik menunjukkan bahwa oklusi yang berlangsung selama 240 menit
akan menimbulkan kerusakan retina yang luas dan irreversibel. Berdasarkan hal
tersebut Hayreh dkk. menyatakan bahwa penderita yang memperoleh perbaikan
sirkulasi retina menjadi normal dalam waktu kurang dari 4 jam dari saat terjadinya
oklusi tidak akan menunjukkan kelainan yang berarti, tetapi penanganan yang
dilakukan setelah 4 jam atau bahkan berhari-hari tidak akan memperbaiki fungsi
penglihatan.
Tindakan pada oklusi arteri retina sentral berupa terapi konvensional yang
meliputi pemijatan bola mata untuk melepaskan emboli pada arteri retina sentral,
penurunan tekanan intra okular dengan obat dan pembedahan untuk meningkatkan
perfusi retina, vasodilatasi arteri retina sentral dengan isosorbid dinitrat
sublingual, campuran oksigen dan karbondioksida, dan obat-obat antipembekuan.
Terapi lain yang dianjurkan adalah obat trombolisis intravena atau local
intraarterial fibrinolisys yang disuntikkan langsung pada arteri oftalmikus,
oksigen hiperbarik, pentoksifilin untuk menurunkan kepekatan sel darah merah,
dan kortikosteroid sistemik untuk mengurangi edema.25 Penanganan terhadap

33
penderita oklusi arteri retina sentral direkomendasikan dalam waktu 24 jam
setelah munculnya penurunan tajam peglihatan. Di bagian Vaskular Retina Wills
Eye Hospital, pemijatan bola mata dan parasíntesis bilik mata depan umumnya
masih dilakukan pada oklusi yang berlangsung kurang dari 24 jam.
Pemijatan bola mata dilakukan dengan tangan atau menggunakan lensa
kontak Goldman. Walaupun jarang, tindakan ini dapat melepaskan penyumbatan.
Hal ini sebaiknya dilakukan berulang-ulang dengan cara melakukan penekanan
supaya terjadi peningkatan tekanan bola mata selama 10-15 detik yang diikuti
dengan pelepasan secara tiba-tiba. Teknik ini akan membuat arteri retina melebar
yang secara teori meningkatkan perfusi retina.
Parasíntesis bilik mata depan juga dianjurkan sebagai terapi oklusi arteri
retina sentral. Tindakan ini akan menyebabkan penurunan tekanan bola mata
secara tiba-tiba, dengan tujuan agar tekanan perfusi arteri di belakang sumbatan
dapat mendorong emboli ke perifer.6 Cara lain untuk menurunkan tekanan
intraokular adalah dengan tetes mata topikal (Timolol 0,25-0,5% 1 tts bid) dan
sistemik (Acetazolamide 250-500 mg intravena atau 500 mg peroral).
Campuran 95% oksigen dan 5% karbondioksida (carbogen) telah
digunakan sebagai terapi pada beberapa kasus. Pada penderita dengan oklusi arteri
retina sentral, inspirasi terhadap oksigen 100% akan menghasilkan PO2 yang
normal pada permukaan retina melalui difusi dari koroid. Disamping itu
karbondioksida merupakan suatu vasodilator yang dapat meningkatkan jumlah
aliran darah ke retina.6 Pemberian carbogen dilakukan selama 10 menit setiap 2
jam dalam waktu 48 jam.
Penelitian yang dilakukan oleh Atebara dkk menunjukkan bahwa terapi
gabungan parasintesis bilik mata depan dan inhalasi dengan carbogen hanya
memperoleh hasil yang lebih baik pada seperempat kelompok penderita yang
mendapat terapi, dibandingkan dengan kelompok penderita yang tidak mendapat
terapi. Hal ini menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan bermakna
keberhasilan terapi antara dua kelompok.
Terapi hiperbarik menggunakan metode inhalasi oksigen 100% pada
tekanan udara diatas 1 atmosfir dengan tujuan meningkatkan difusi oksigen
jaringan retina. Terapi hiperbarik yang dilakukan dengan segera (< 2 jam setelah

34
gejala) dapat meningkatkan perbaikan penglihatan. Terapi ini masih bermanfaat
bila dilakukan dalm waktu 12 jam setelah timbul keluhan. Beiran dkk melaporkan
perbaikan tajam penglihatan pada 82,9% penderita oklusi arteri retina sentral yang
mendapat terapi hiperbarik dalam 8 jam setelah keluhan. Terapi dilakukan selama
90 menit dua kali sehari dalam 3 hari pertama dan selanjutnya satu kali sehari .
Terapi dihentikan bila tidak ada perbaikan penglihatan setelah 3 kali terapi
berturutturut.
Penatalaksanaan oklusi arteri retina sentral dengan menggunakan regimen
terapi agresif secara sistematis yang mencakup terapi medis dan mekanik dapat
memperbaiki sirkulasi retina dan mengembalikan tajam penglihatan. Simón dkk
melaporkan adanya perbaikan tajam penglihatan dan aliran adarah retina pada 8
(73%) dari 11 penderita oklusi arteri retina sentral dalam waktu 12 jam dari
keluhan. Penelitian ini menggunakan langkahlangkah kombinasi terapi berupa
pemijatan bola mata dengan melakukan penekanan bola mata selama 10 detik
diikuti pelepasan selama 5 detik. Selama pemijatan penderita mendapat isosorbid
dinitrat 10 mg sublingual dan acetazolamide intravena 500 mg diikuti manitol
20% 1 mg/kgbb intravena atau gliserol 50% 1 mg/kgbb per oral. Perbaikan
sirkulasi arteri retina dipantau dengan menggunakan lensa three-mirror. Bila tidak
ada perbaikan selama 20 menit setelah pemijatan, maka dilakukan parasíntesis
bilik mata depan yang dilanjutkan dengan metilprednisolon 500 mg intravena
diikuti oleh streptokinase 750.000 IU, dan tolazolin 50 mg retrobulbar.
Pemantauan aliran darah retina dilakukan pada setiap langkah dan terapi
diteruskan sampai ada perbaikan sirkulasi atau bila semua langkah telah
dilakukan.
Terapi lain adalah penyuntikan secara intraarteri pada bagian proksimal
arteri oftalmikus menggunakan local intraarterial fibrinolisys (LIF) yaitu
urokinase dengan dosis 800 ribu – 1 juta IU atau recombinant tissue plasminogen
activator (rTPA) dengan dosis 40-80 mg. Terapi dengan urokinase atau rTPA
dapat mencetuskan terjadinya perdarahan cerebral bila dibolus dengan dosis tinggi
dan dalam waktu singkat. Pemberian obat selama 60-90 menit dapat menurunkan
resiko perdarahan. Kontraindikasi terapi ini antara lain infark miokard,
insufisiensi jantung, aritmia absolut, sirosis hepatis, tukak lambung dan

35
duodenum, dan hipertensi. Schmidt dkk. menyatakan bahwa LIF dapat
direkomendasikan sebagai pilihan terapi oklusi arteri retina sentral dengan
didukung oleh antikoagulan dan dikombinasi dengan pemijatan bola mata.
Penelitian lain mendapatkan bahwa LIF dengan rTPA dapat memperbaiki
penglihatan pada 66% penderita oklusi arteri retina sentral.

Gambar 2.13 A. fundus penderita oklusi arteri retina sentral dengan cherry
red spot dan edema retina difus. Tajam pengllihatan 0,5/60. B. fundus
penderita setelah mendapat terapi agresif. Tampak perbaikan edema retina,
terutama di bagian inferior makula. Tajam penglihatan menjadi 6/24.

2.4.7 Komplikasi11,13
Komplikasi oklusi arteri retina sentral adalah rubeosis iridis dan
neovaskularisasi diskus optik. Rubeosis iridis atau neovaskularisasi iris terjadi
pada sekitar 18% penderita dalam 4 bulan setelah oklusi, yang biasanya timbul
pada minggu ke 4 s/d 5. Terapi dengan laser panretinal photocoagulation terbukti
efektif pada 65% penderita untuk mengatasi pembuluh darah baru di iris.
Neovaskularisasi diskus optik ditemukan pada 2-3% kasus. Penderita oklusi arteri
retina sentral dianjurkan kontrol ulang secara ketat selama 3 bulan pertama
sehubungan dengan resiko komplikasi neovaskularisasi iris dan diskus optik.
Penelitian retrospektif yang dilakukan oleh Duker dkk melaporkan insiden
neovaskularisasi iris pada 28 dari 168 (16,6%) penderita oklusi arteri retina
sentral. Onset neovaskularisasi iris biasanya 1 bulan setelah oklusi arteri retina

36
sentral. Oklusi yang berat atau total mempunyai kemungkinan lebih besar
terbentuknya neovaskularisasi di iris.
Penelitian lain oleh Duker dkk mendapatkan insiden neovaskularisasi
diskus optik sebagai komplikasi oklusi arteri retina sentral sebesar 1,8% (3 dari
168). Angka ini merupakan estimasi terendah karena tidak semua pasien
mengikuti follow up lengkap. Penelitian ini juga menemukan adanya
neovaskularisasi iris pada 2 dari 3 pasien tersebut.
Selain komplikasi okular, pasien dengan kelainan oklusi pembuluh darah
retina mempunyai resiko 10% terkena stroke pada tahun pertama penyakit dan
resiko meningkat sebesar 6% setiap tahunnya.

2.4.8 Prognosis14
Penderita oklusi arteri retina sentral memiliki prognosis buruk terhadap
penglihatan. Prognosis oklusi arteri retina sentral dipengaruhi oleh beberapa
faktor, yaitu umur penderita., tingkat oklusi, material penyebab oklusi, dan
lamanya oklusi. Pada 10% penderita oklusi ateri retina sentral yang memiliki
arteri silioretina, sebagian besar mengalami perbaikan tajam penglihatan hingga
20/50 setelah 2 minggu.
Penderita oklusi arteri retina sentral yang mendapat terapi hiperbarik
dalam waktu 8 jam memberikan perbaikan penglihatan. Metode multiterapi secara
agresif dan sistematik yang mencakup tindakan mekanik dan medis dalam waktu
12 jam dari keluhan juga menunjukkan perbaikan sirkulasi retina dan tajam
penglihatan. Terapi dengan LIF bahkan dapat memperbaiki penglihatan meskipun
oklusi telah berlangsung 20 jam.
Terdapat peningkatan angka kematian pada penderita oklusi arteri retina
sentral. Angka harapan hidup penderita oklusi arteri retina sentral adalah 5,5
tahun, yang menurun bila dibandingkan dengan ratarata angka harapan hidup
umumnya sebesar 15,4 tahun. Tingkat kematian penderita oklusi arteri retina
sentral karena emboli setelah 9 tahun adalah 56%, sedangkan non emboli 27%.
Sembilan puluh persen penderita dengan Hollenhorst plaque juga menderita
penyakit jantung, dengan 15% penderita meninggal dalam 1 tahun pertama dan

37
55% meninggal dalam kurun waktu 7 tahun akibat penyakit jantung yang
dideritanya.

2.5 Trauma pada Mata


Trauma pada mata dapat mengenai jaringan dari bola mata, saraf optik dan
adneksa, dapat berupa lesi superfisial hingga membahayakan penglihatan. Trauma
pada mata yang merupakan kegawatdaruratan dapat dibedakan menjadi trauma
mekanik dan trauma non mekanik. Trauma mekanik terdiri dari trauma akibat
benda tumpul, laserasi lamelar, ruptur bola mata, trauma penetrasi, benda asing
pada bola mata, dan trauma penetrasi. Trauma mekanik dapat berupa trauma
tertutup dan trauma terbuka. Trauma non mekanik terdiri dari trauma kimia,
trauma radiasi, dan trauma termal.15

Gambar 2.14 Klasifikasi trauma laserasi: (A) Penetrasi. (B) Perforasi. (C)
Benda asing di dalam bola mata16

2.5.1 Trauma Mekanik


Terminologi trauma pada mata yang ideal membutuhkan kriteria yang
spesifik. Kunci untuk standar penilaian trauma yang digunakan adalah
Birmingham Eye Trauma Terminology (BETT). Birmingham Eye Trauma
Terminology (BETT) merupakan standar sistem terminologi dan klasifikasi yang
digunakan untuk menjelaskan dan membagikan informasi trauma pada mata.
Terminologi ini digunakan sebagai standar pada trauma mata untuk mencegah

38
terjadinya kesalahpahaman antara petugas kesehatan dan juga sebagai bentuk
komunikasi. Kriteria BETT juga berfungsi untuk menganalisis kemungkinan
prognosis visual pasien.15

Gambar 2.15 Birmingham Eye Trauma Terminology (BETT)15

Klasifikasi trauma mekanik pada mata dibagi menjadi trauma terbuka dan
trauma tertutup. Trauma terbuka dapat berupa ruptur bola mata, penetrasi, dan
perforasi. Trauma tertutup disebabkan karena trauma tumpul yang dapat
menyebabkan hifema, pendarahan vitreus, robekan atau lepasnya retina, ruptur
koroid, edema makula, perdarahan retrobulbar, dan neuropati optik akibat trauma.
Klasifikasi ini merupakan sistem untuk mengkategorikan trauma pada mata ketika
pemeriksaan dilakukan dan merupakan standar untuk manajemen klinis dan
penelitian untuk trauma pada mata.15,16
Tujuan utama manajemen trauma pada mata adalah untuk mengembalikan
anatomi bola mata dan memaksimalkan tajam penglihatan pasien. Manajemen
luka terbuka pada mata memiliki empat prinsip untuk mencegah risiko dan
mengoptimalkan hasilnya, yaitu meminimalisir kemungkinan memberatnya
trauma, meminimalisir risiko infeksi, meminimalisir trauma psikis dari pasien dan
keluarga, dan meminimalisir aspek legal. Evaluasi pasien dengan trauma pada
mata juga diperlukan untuk memberikan perawatan yang baik dan untuk
mendapat hasil terbaik dari pengobatan yang diberikan.16

39
Gambar 2.16 Trauma Mekanik15

Manajemen trauma terdiri dari non bedah dan bedah, manajemen non
bedah berupa pemberian obat-obatan. Pemberian antibiotik oral dapat diberikan
untuk mencegah endoftalmitis, pilihan antibiotik intravena dapat diberikan
sebagai alternatif atau akan direncanakan tindakan operasi. Antiemetik terkadang
diberikan pada pasien trauma untuk mencegah manuver valsava. Status vaksinasi
tetanus perlu dikonfirmasi, booster tetanus dapat diberikan apabila diperlukan.
Pasien yang dicurigai atau dengan diagnosis trauma mekanik pada mata perlu
diberikan pelindung mata terutama pada pasien dengan luka terbuka untuk
mencegah bertambah luasnya trauma. Informasi mengenai diagnosis, rencana
tindakan, dan komplikasi perlu diberikan kepada pasien maupun keluarga untuk
memberikan gambaran kondisi pasien setelah dilakukan tindakan.16

40
Gambar 2.17 Klasifikasi Trauma Mekanik15

Manajemen bedah berdasarkan jenis diagnosis dari trauma sebaiknya


dilakukan dalam 24 jam untuk mengurangi risiko endoftalmitis. Benda asing pada
kornea dan konjungtiva dapat diangkat dengan menggunakan jarum berukuran
kecil, sedangkan benda asing pada bola mata perlu dilakukan operasi
pengangkatan benda asing. Laserasi konjungtiva pada beberapa kasus hanya
diberikan obat-obatan, laserasi kornea dapat dilakukan penjahitan kornea dan
pembentukan kedalaman bilik mata depan, sedangkan laserasi pada kelopak mata
perlu dilakukan operasi. Trauma benda tumpul dapat menyebabkan robekan pada
otot sfingter iris sehingga bentuk pupil menjadi abnormal. Robekan pada sfingter
iris merupakan penyebab midiriasis trauma tersering. Tindakan bedah yang
merupakan standar untuk midiriasis trauma adalah penjahitan iris. Indikasi
tindakan bedah apabila terdapat gangguan penglihatan signifikan seperti diplopia
dan fotofobia. Aniridia akibat trauma dapat diikuti dengan ruptur bola mata.
Tindakan bedah pada pasien dengan aniridia dapat berupa pemberian prostesis
iris. Trauma pada lensa dapat menyebabkan katarak traumatika. Indikasi operasi
pada katarak traumatika adalah penurunan penglihatan, inflamasi akibat gangguan
41
lensa dan glaukoma. Manajemen bedah pada katarak traumatika dapat dilakukan
secara primer atau sekunder setelah edema kornea membaik. Ruptur bola mata,
trauma penetrasi, dan trauma perforasi perlu dilakukan operasi.16
Manajemen setelah operasi, pendekatan multidisiplin, manajemen dan
tindak lanjut sangat penting untuk rehabilitasi bedah untuk pasien trauma. Tindak
lanjut dan dokumentasi yang cermat sangat penting dalam pengelolaan mata
dengan trauma. Pencatatan tekanan intraokuler, status retina, dan status lensa serta
pemantauan jahitan merupakan komponen penting dalam perawatan pasca
operasi.16
Tajam penglihatan merupakan hal signifikan yang berhubungan dengan
kualitas hidup pasien setelah pasien mengalami trauma. Penapisan trauma okuli
dikembangkan untuk membantu dokter spesialis mata menentukan prognosis dari
trauma mata. Prognosis awal dapat membantu pemeriksa untuk konseling dan
menentukan triase dan manajemen yang sesuai untuk pasien trauma.15,16
Sindrom kompartemen orbita merupakan kondisi yang dapat muncul pada
pasien trauma mata ketika darah atau udara terperangkap pada kompartemen
orbita sehingga memerlukan tindakan bedah segera tanpa intervensi. Sindrom
kompartemen orbita dapat disertai atau tanpa fraktur tulang orbita. Kehilangan
penglihatan dapat disebabkan tertekannya saraf optik atau tersumbatnya
vaskularisasi retina. Sindrom kompartemen perlu dicurigai pada pasien trauma
orbita dengan keluhan nyeri, berkurangnya tajam penglihatan, RAPD, proptosis,
meningkatnya tekanan intraokuler, kelopak dan adneksa tegang, kemosis, dan
berkurangnya pergerakan otot okular. Manajemen pada sindrom kompartemen
adalah kantotomi lateral dan kantolisis.16

2.5.2 Trauma Kimia


Semua luka bakar akibat bahan kimia harus diterapi sebagai kedaruratan
mata. Harus segera dilakukan lavase di lokasi cedera dengan air keran sebelum
pasien dikirim. Semua benda asing yang jelas tampak harus diirigasi apabila
mungkin. Di ruang darurat, dilakukan anamnesis dan pemeriksaan singkat serta
irigasi permukaan kornea, termasuk forniks konjungtiva, dengan cairan dalam
jumlah besar. Salin isotonik konjungtiva, dengan cairan dalam jumlah besar. Salin

42
isotonik steril (beberapa liter untuk satu mata yang cedera) diteteskan dengan
selang intravena standar. Mungkin diperlukan spekulum kelopak mata dan
infiltrasi anastetik lokal untuk mengatasi blefarospasme. Analgesik dan anastetik
topikal serta siklopegik hampir selalu harus diberikan. Gunakan aplikator
berujung kapas yang basah dan forseps ahli perhiasan untuk mengeluarkan
bendabenda berbentuk partikel dari forniks. Perhatikan kemungkinan gangguan
pernapasan akibat pembengkakan jaringan lunak di saluran napas atas. pH
permukaan mata diperiksa dengan menaruh seberkas kertas indikator di forniks;
ulangi irigasi apabila pH tidak terletak antara 7,3 dan 7,7. Setelah lavase, berikan
salep antibiotik dan pembalut tekan.1
Karena bahan basa cepat menembus jaringan mata dan akan terus
menimbulkan kerusakan jauh setelah cedera berhenti, maka diperlukan lavase
jangka panjang dan pemantauan pH. Asam membentuk suatu sawar presipitat
jaringan nekrotik yang cenderung membatasi penetrasi dan kerusakan lebih lanjut.
Luka bakar akibat bahan alkalis menyebabkan peningkatan segera tekanan
intraokular akibat kontraksi sklera dan kerusakan jaringan trabekular. Peningkatan
tekanan sekunder 2-4 jam kemudian terjadi akibat pelepasan prostaglandin, yang
mendorong memberatnya uveitis. Hal ini sulit dipantau melalui kornea yang opak.
Pengobatan adalah dengan steroid topikal, obat-obatan antiglaukoma, dan
siklopegik selama 2 minggu pertama. Setelah 2 minggu, pemakaian steroid harus
berhati-hati karena obat ini menghambat reepitelisasi. Kemudiaan dapat terjadi
perlunakan kornea dan kemungkinan perforasi akibat berlanjutnya aktivitas
kolegenase. Tetes mata askorbat (vitamin C) dan sitrat hanya memiliki efek
pencegahan minimal terhadap perlunakan kornea pada pasien dengan luka bakar
berat atau defek epitel kornea persisten. Suatu percobaan dengan inhibitor
kolagenase (asetilsistein) mungkin bermanfaat. Terpajannya kornea dan adanya
defek epitel yang menetap diterapi dengan air mata buatan, tarsorafi, atau lensa
kontak bebat.1
Penyulit jangka panjang dari luka bakar kimia adalah glaukoma sudut
tertutup, pembentukan jaringan parut kornea, simblefaron, entropion, dan keratitis
sika. Kompetensi pembuluh darah sklera dan konjungtiva dibuktikan memiliki

43
nilai prognostik. Semakin banyak jaringan epitel perilimbus dan pembuluh darah
sklera dan konjungtiva yang rusak semakin buruk prognosisnya.1
Trauma bahan kimia dapat terjadi pada kecelakaan yang terjadi di dalam
laboratorium, industri, pekerjaan yang memakai bahan kimia, pekerjaan pertania,
dan peperangan yang memakai bahan kimia di abad modern.17
Bahan kimia yang dapat mengakibatkan kelainan pada mata dapat
dibedakan dalam bentuk: trauma asam dan trauma basa atau alkali. Pengaruh
bahan kimia sangat bergantung pada pH, kecepatan dan jumlah bahan kimia
tersebut mengenai mata. Dibanding bahan asam, maka trauma oleh bahan alkali
cepat dapat merusak dan menembus kornea. Setiap trauma kimia pada mata
memerlukan tindakan segera. Irigasi daerah yang terkena trauma kimia
merupakan tindakan yang segera harus dilakukan karena dapat memberikan
penyulit yang lebih berat. Pembilasan dilakukan dengan memakai garam
fisiologik atau air bersih lainnya selama mungkin dan paling sedikit 15-30
menit.17
Luka bakar kimia harus dibilas secepatnya dengan air yang tersedia pada
saat itu seperti dengan air keran, larutan garam fisiologik, dan asam berat.
Anestesi topikal diberikan pada keadaan di mana terdapatnya blefarospasme berat.
Untuk bahan asam digunakan larutan natrium bikarbonat 3%, sedang untuk basa
larutan asam borat, asam asetat 0,5% atau bufer asam asetat pH 4,5% untuk
menetralisir. Diperhatikan kemungkinan terdapatnya benda asing penyebab luka
tersebut. Untuk bahan basa diberikan EDTA. Pengobatan yang diberikan adalah
antibiotik topikal, siklopegik dan bebat mata selama mata masih sakit. Regenerasi
epitel akibat asam lemah dan alkali sangat lambat yang biasanya sempurna setelah
3-7 hari.17
Trauma kimia yang mengenai organ mata secara umum dapat
menimbulkan kerusakan dari ringan sampai berat, terutama trauma basa / alkali
dan trauma asam. Trauma jenis ini merupakan kondisi gawat darurat mata,
dimana tindakan harus cepat dan tepat serta konsultasi pada dokter mata dengan
segera sangat dianjurkan.18

44
2.5.2.1 Trauma Basa/Alkali
Bahan kimia yang bersifat basa / alkali memiliki pH yang tinggi sehingga
dapat menyebabkan pecah atau rusaknya sel jaringan dengan timbulnya proses
persabunan pada membran sel epitel kornea, yang akan mempemudah penetrasi
bahan kimia, serat kolagen kornea akan rusak, stroma kornea yang rusak akan
menimbulkan tukak pada kornea dan dapat terjadi perforasi kornea. Bila trauma
berat akan merusak sel goblet konjungtiva bulbi, produksi musim terganggu,
sehingga menimbulkan kekeringan air mata dan simblefaron, gangguan sekresi
musin ini juga dapat menimbulkan keratinisasi epitel kornea. Bila terjadi perforasi
kornea, bahan ini akan merusak vaskularisasi iris badan siliar dan epitel lensa.
Bahan-bahan dasar alkali yang sering menimbulkan trauma antara lain ammonia
(NH), NAOH, Ca(OH).18
Trauma akibat bahan kimia basa akan memberikan akibat yang sangat
gawat pada mata. Alkali akan menembus dengan cepat kornea, bilik mata depan,
dan sampai pada jaringan retina. Pada trauma basa akan terjadi penghancuran
jaringan kolagen kornea. Bahan kimia alkali bersifat koagulasi sel dan terjadi
proses persabunan, disertai dengan dehidrasi. Bahan akustik soda dapat
menembus ke dalam bilik mata depan dalam waktu 7 detik.17
Pada trauma alkali akan terbentuk kolagenase yang akan bertambah
kerusakan kolagen kornea. Alkali yang menembus ke dalam bola mata akan
merusak retina sehingga akan berakhir dengan kebutaan penderita.17
Menurut klasifikasi Thoft maka trauma basa dapat dibedakan dalam17 :
Derajat 1 : hiperemi konjungtiva disertai dengan keratitis pungtata
Derajat 2 : hiperemi konjungtiva disertai dengan hilang epitel kornea
Derajat 3: hiperemi disertai dengan nekrosis konjungtiva dan lepasnya epitel
kornea
Derajat 4 : konjungtiva perilimal nekrosis sebanyak 50%
Pada pemeriksaan akan didapatkan pH bola mata meningkat (pH >7,3),
penurunan tajam penglihatan oleh karena edema kornea, pada pemeriksaan
dengan menggunakan fluorescein dan slit lamp akan tampak membran sel epitel
rusak hingga hilangnya epitel, sindroma kekeringan air mata. Bila berat timbul

45
simblefaron, konjungtiva dan sklera yang pucat, peningkatan atau penurunan
tekanan intra ocular (TIO).19

Gambar 2.18 Trauma Basa Akut: Ringan-Sedang. (Sumber: NSW


Department of Health, 2009)

Gambar 2.19 Trauma Basa Akut: Berat. (Sumber: NSW Department of


Health, 2009)

Tindakan bila terjadi trauma basa adalah dengan secepatnya melakukan


irigasi dengan garam fisiologik. Sebaiknya irigasi dilakukan selama mungkin.
Bila mungkin irigasi dilakukan paling sedikit 60 menit segera setelah trauma.
Penderita diberi siklopegia, antibiotika, EDTA untuk mengikat basa. EDTA
diberikan 1 minggu trauma alkali diperlukan untuk menetralisir kolagenase yang
terbentuk pada hari ke tujuh.17

46
Gambar 2.20 Irigasi dengan Eversi Kelopak Mata. (Sumber: NSW
Department of Health, 2009)

Penanganan trauma basa/alkali antara lain irigasi dengan larutan saline


minimal 30 menit, dianjurkan menggunakan pembuka palpebra, periksa PH setiap
5-10 menit. Irigasi sampai pH netral kembali (pH 6.8–7.4), bila terdapat benda
asing yang menyebabkan pH tetap tinggi, harus segera diambil. Obat-obatan yang
diberikan antara lain EDTA, tetes mata sikloplegik untuk mengatasi spasme badan
siliar dan mengurangi sakit, salep mata antibiotic, obat anti glaukoma bila ditemui
peningkatan TIO.19

2.5.2.2 Trauma Asam


Bahan asam yang dapat merusak mata terutama bahan anorganik, organik
(asetat, forniat), dan organik anhidrta (asetat). Bila bahan asam mengenai mata
maka akan segera terjadi pengendapan ataupun penggumpalan protein permukaan
sehingga bila konsentrasi tidak tinggi maka tidak akan bersifat destruktif seperti
trauma alkali. Biasanya akan terjadi kerusakan hanya pada bagian superfisial saja.
Bahan asama dengan konsentrasi tinggi dapat bereaksi seperti terhadap trauma
basa sehingga kerusakan yang diakibatkannya akan lebih dalam.17
Asam akan merusak dan memutus ikatan intramolekul protein, sehingga
terjadi koagulasi protein, keadaan ini dapat merupakan barier yang menghambat
penetrasi zat ke intraokular. Bila trauma disebabkan oleh zat asam kuat maka akan
menembus stroma kornea sehingga berubah warna menjadi kelabu dalam 24 jam
47
dan juga timbul kerusakan pada badan siliar . bahan –bahan asam yang sering
menyebabkan trauma antara lain as. Sulfat (H2SO4)2. As. Hidrofluric (HF), as.
Asetat (CHCOOH), as.hidroklorat (HCL). Pada saat pemeriksaan ditemukan pH
cairan mata turun 30 menit setelah trauma, hipertermia, dan kemosis konjungtiva
bulbi. Peningkatan TIO pada hari pertama, bila kerusakan mengenai endotel
kornea maka ditemukan membrane fibrosa yang mengganti kedudukan sel endotel
yang rusak. Penatalaksanaan seperti trauma basa, irigasi sampai pH kembali netral
dan obat-obatan juga seperti pada trauma basa.19

Gambar 2.21 Trauma Asam

Pengobatan dilakukan dengan irigasi jaringan yang terkena secepatnya dan


selama mungkin untuk menghilangkan dan melarutkan bahan yang
mengakibatkan trauma. Biasanya trauma akibat asam akan normal kembali,
sehingga tajam penglihatan tidak banyak terganggu.17

2.5.3 Trauma Radiasi


Trauma radiasi di sini dapat disebabkan oleh sinar ultraviolet dari matahari
(solar retinopati), sinar infra merah atau sinar yang lain seperti sinar X dan sinar
terionisasi. Sering terjadi pada pengamat gerhana matahari, pelaut, tukang las
yang tidak menggunakan kacamata pelindung. Sinar ini dapat diserap oleh kulit,
epitel konjungtiva, dan menembus kornea, serta dapat diabsorbpsi oleh lensa
sehingga timbul denaturasi protein lensa. Gejala yang timbul biasanya fotofobia,
blefarospasme, lakrimasi, pada pemeriksaan slit-lamp terdapat infiltrat kornea.
Bila sinar langsung mengenai macula maka dalam 1/10 detik penglihatan akan
turun karena fovea terbakar, bahkan sampai menimbulkan lubang / hole pada

48
fovea. Penanganan hanya bersifat simptomatis, mengurangi rasa sakit dengan
analgetik dan steroid untuk mengurangi gejala radang yang timbul.17

2.5.3.1 Trauma Sinar Ultra Violet


Sinar ultraviolet merupakan sinar gelombang pendek yang tidak terlihat
mempunyai panjang gelombang antara 350-295 nM. Sinar ultra violet banyak
terdapat pada saat bekerja las, dan menatap sinar matahari atau pantulan sinar
matahari di atas salju. Sinar ultra violet akan segera merusak epitel kornea. Sinar
ultra violet biasanya memberikan kerusakan terbatas pada kornea sehingga
kerusakan pada lensa dan retina tidak akan nyata terlihat. Kerusakan ini akan
segera baik kembali setelah beberapa waktu, dan tidak akan memberikan
gangguan tajam penglihatan yang menetap. Pasien yang telah terkena sinar ultra
violet akan memberikan keluhan 4-10 jam setelah trauma. Pasien akan merasa
mata sangat sakit, mata seperti kelilipan atau kemasukan pasir, fotofobia,
blefarospasme, dan konjungtiva kemotik. Kornea akan menunjukkan adanya
infiltrat pada permukaannya, yang kadang-kadang disertai dengan kornea yang
keruh dan uji fluoresein positif. Keratitis terutama terdapat pada fisura palpebra.
Pupil akan terlihat miosis. Tajam penglihatan akan terganggu. Keratitis ini dapat
sembuh tanpa cacat, akan tetapi bila radiasi berjalan lama kerusakan dapat
permanen sehingga akan memberikan kekeruhan pada kornea. Keratitis dapat
bersifat akibat efek kumulatif sinar ultra violet sehingga gambaran keratitisnya
menjadi berat. Pengobatan yang diberikan adalah siklopegia, antibiotika lokal,
analgetik, dan mata ditutup untuk selama 2-3 hari. Biasanya sembuh setelah 48
jam.17

2.5.3.2 Trauma Sinar Infra Merah


Akibat sinar infra merah dapat terjadi pada saat menatap gerhana matahari
dan pada saat bekerja di pemanggangan. Kerusakan ini dapat terjadi akibat
terkonsentrasinya sinar infra merah yang terlihat. Kaca yang mencair seperti yang
ditemukan di tempat pemanggangan kaca akan mengeluarkan sinar infra merah.
Bila seseorang berada pada jarak 1 kaki selama satu menit di depan kaca yang
mencair dan pupilnya melebar atau midriasis maka suhu lensa akan naik sebanyak

49
9 derajat Celcius. Demikian pula iris yang mengabsorpsi sinar infra merah akan
panas sehingga berakibat tidak baik terhadap kapsul lensa di dekatnya. Absorpsi
sinar infra merah oleh lensa akan mengakibatkan katarak dan eksfoliasi kapsul
lensa. Akibat sinar ini pada lensa maka katarak mudah terjadi pada pekerja
industri gelas dan pemanggangan logam. Sinar infra merah akan mengakibatkan
keratitis superfisial, katarak kortikal anterior-posterior dan koagulasi pada koroid.
Bergantung pada beratnya lesi akan terdapat skotoma sementara ataupun
permanen. Tidak ada pengobatan terhadap akibat buruk yang sudah terjadi kecuali
mencegah terkenanya mata oleh sinar infra merah ini. Steroid sistemik dan lokal
diberikan untuk mencegah terbentuknya jaringan parut pada makula atau untuk
mengurangi gejala radang yang timbul.17

2.5.3.3 Trauma Sinar X dan Sinar Ionisasi


Sinar ionisasi dibedakan dalam bentuk sinar alfa yang dapat diabaikan,
sinar beta yang dapat menembus 1 cm jaringan, sinar gama dan sinar X. Sinar
ionisasi dan sinar X dapat mengakibatkan katarak dan rusaknya retina. Dosis
kataraktogenik bervariasi dengan energi dan tipe sinar, lensa yang lebih muda dan
lebih peka. Akibat dari sinar ini pada lensa, terjadi pemecahan diri sel epitel
secara tidak normal. Sedang sel baru yang berasal dari sel germinatif lensa tidak
menjadi jarang. Sinar X merusak retina dengan gambaran seperti kerusakan yang
diakibatkan diabetes melitus berupa dilatasi kapiler, perdarahan, mikroaneuris
mata dan eksudat. Luka bakar akibat sinar X dapat merusak kornea yang
mengakibatkan kerusakan permanen yang sukar diobati. Biasanya akan terlihat
sebagai keratitis dengan iridosiklitis ringan. Pada keadaan yang berat akan
mengakibatkan parut konjungtiva atrofi sel goblet yang akan mengganggu fungsi
air mata. Pengobatan yang diberikan adalah antibiotika topikal dengan steroid 3
kali sehari dan siklopegik satu kali sehari. Bila terjadi simbleferon pada
konjungtiva dilakukan tindakan pembedahan.17

2.6 Neuritis Optik


Neuritis optik adalah peradangan atau demielinisasi saraf optik akibat
berbagai macam penyakit. Insidensi neuritis optikus dalam populasi per tahun

50
diperkirakan 5 per 100.000 sedangkan prevalensinya 115 per 100.000. Sebagian
besar mengenai usia 20 sampai dengan 40 tahun. Wanita lebih umum terkena dari
pada pria. Berdasarkan data The Optic Neuritis Treatment Trial (ONTT) 77%
adalah wanita, 85% kulit putih dan usia rata-rata 32 7 tahun. Sebagian besar kasus
patogenesisnya disebabkan inflamasi demielinisasi dengan atau tanpa sklerosis
multipel. Pada sebagian besar kasus neuritis optikus monosimptomatik merupakan
manifestasi awal sklerosis multipel.1

2.6.1 Etiologi20
Etiologi neuritis optikus termasuk:
1. Inflamasi lokal :
a. Uveitis dan retinitis
b. Oftalmia simpatika
c. Meningitis
d. Penyakit sinus dan infeksi orbita

2. Inflamasi general yaitu:


a. Infeksi syaraf pusat
i. Multiplel sklerosis
Diberbagai kelompok populasi diseluruh dunia, neuritis retrobulbar
berkaitan dengan sklerosis multipel pada 13-85% pasien (Chavis
dan Hoyt, 2000). Data dari Mayo clinic pada tahun 1933
didapatkan dari 255 kasus sebanyak 155 disebabkan oleh sklerosis
multipel.
ii. Acute disseminated encephalomyelitis
iii. Neuromyelitis optic (Devic disease)
Merupakan suatu proses demielinisasi yang mengenai saraf optik.
Penyakit ini sering salah didiagnosis dengan dibedakan
berdasarkan derajat keparahan, optikus, medulla spinalis) dan
(polymorphonuclear pleocytosis).
b. Syphilis
c. Tuberkulosis

51
3. Leber's disease
Merupakan suatu penyakit herediter pada laki-laki muda, manifestasinya
sebagai perubahan mendadak pada penglihatan sentral, pertama kali
mengenai satu mata dan selanjutnya kedua mata. Karakteristiknya terdapat
skotoma sentral dengan dercce central nucleus. Pada beberapa kasus
inflamasi mengenai nervus di dalam bola mata sehingga menyebabkan
papilitis ringan. Pada kasus yang lain mengenai nervus di belakang mata.

4. Toksin endogen
a. Penyakit infeksi akut, seperti influenza, malaria, measles, mumps,
pneumonia
b. Fokus septik pada gigi, tonsil, infeksi fokal
c. Penyakit metabolik: diabetes, anemia, kehamilan, avitaminosis

5. Intoksikasi racun eksogen seperti tobacco, etil alcohol, metil alkohol.

2.6.2 Klasifikasi20
Berdasarkan klasifikasinya neuritis optik terbagi menjadi tiga, yaitu:
Klasifikasi Oftalmologis
a. Neuritis retrobulbar.
Memiliki gambaran diskus optik yang normal pada awal penyakit karena
proses patologis tidak mengikutsertakan papil optik. Merupakan tipe
tersering pada orang dewasa dan sering berkaitan dengan multipel
sklerosis (MS).
b. Papilitis, proses patologis mengenai kepala saraf optik.
Ditandai dengan hiperemia dan edema pada diskus yang berkaitan dengan
perdarahan berbentuk api (flameshaped) didaerah peripapil. Merupakan
tipe tersering pada anak-anak.
c. Neuroretinitis.
Ditandai dengan papilitis dengan gambaran macular star terdiri dari hard
exudates. Lesi makula semakin jelas terlihat dalam beberapa hari-minggu
dan bertambah jelas bila edema pada diskus optik telah mereda.

52
Neuroretinitis merupakan tipe terjarang dan sering berkaitan dengan
infeksi virus dan penyakit cat-scratch fever.

Klasifikasi Etiologis
a. Demielinisasi, merupakan penyebab tersering.
b. Parainfeksi, terjadi setelah infeksi virus atau imunisasi.
c. Infeksi, dapat berhubungan dengan sinus, atau berhubungan dengan cat-
scratch fever, sifilis, penyakit Lyme, dan gondongan.

2.6.3 Patogenesis21
Dasar patologi penyebab neuritis optikus paling sering adalah inflamasi
demielinisasi dari saraf optik. Patologi yang terjadi sama dengan yang terjadi pada
multipel sklerosis (MS) akut, yaitu adanya plak di otak dengan perivascular
cuffing, edema pada selubung saraf yang bermielin, dan pemecahan mielin.
Inflamasi pada endotel pembuluh darah retina dapat mendahului
demielinisasi dan terkadang terlihat sebagai retinal vein sheathing. Kehilangan
mielin dapat melebihi hilangnya akson.
Dipercaya bahwa demielinisasi yang terjadi pada Neuritis optikus
diperantarai oleh imun, tetapi mekanisme spesifik dan antigen targetnya belum
diketahui. Aktivasi sistemik sel T diidentifikasi pada awal gejala dan mendahului
perubahan yang terjadi didalam cairan serebrospinal. Perubahan sistemik kembali
menjadi normal mendahului perubahan sentral (dalam 2-4 minggu). Aktivasi sel T
menyebabkan pelepasan sitokin dan agen-agen inflamasi yang lain. Aktivasi sel B
melawan protein dasar mielin tidak terlihat di darah perifer namun dapat terlihat
di cairan serebrospinal pasien dengan Neuritis optikus. Neuritis optikus juga
berkaitan dengan kerentanan genetik, sama seperti MS. Terdapat ekspresi tipe
HLA tertentu diantara pasien neuritis optikus.

2.6.4 Gejala dan Tanda17,20


Keluhan utama pada neutiris optikus adalah sama, baik pada papilitis,
dimana saraf yang terkena terletak intraokular, maupun pada neuritis retrobulbar
yang mengenai saraf ekstra okular.

53
a. Gambaran akut
1. Gejala neuritis optik biasanya monokular, namun dapat mengenai kedua
mata terutama pada anak-anak.
2. Hilangnya penglihatan tiba-tiba selama beberapa jam sampai beberapa
hari.
3. Nyeri pada mata Nyeri ringan di dalam atau sekitar mata terdapat pada
lebih dari 90% pasien. Nyeri tersebut dapat terjadi sebelum atau bersama-
sama dengan hilangnya penglihatan dan berlangsung selama beberapa
hari. Rasa sakit akan bertambah bila bola mata ditekan dan disertai sakit
kepala. Pergerakan okular terutama gerakan ke atas dan ke bawah juga
dapat memperberat nyeri ini karena perlekatan sejumlah serat otot rektus
superior dengan duramater.
4. Pada pemeriksaan pupil ditemui adanya RAPD yaitu kelainan pupil yang
sering dijumpai dengan adanya tanda pupil Marcus Gunn. Cara
pemerikasaan, mata pasien secara bergantian diberi sinar, pada sisi mata
yang sakit pupil tidak mengecil tetapi malah membesar. Kelainan ini
menunjukan adanya lesi N.II pada sisi tersebut.

Gambar 2.22 Defek Pupil Aferen


5. Defek lapang pandang Pada neuritis optik, lapang penglihatan perifer
menyempit secara konsentris, terdapat skotoma sentral dengan bermacam
tebal dan besarnya. Dapat pula berbentuk sekosentral atau para sentral.
Buta warna pada mata yang terkena, terjadi pada 88% pasien.

b. Gambaran Kronik
Walaupun telah terjadi penyembuhan secara klinis, tanda neuritis optik masih
dapat tersisa. Tanda kronik dari neuritis optik yaitu:

54
1. Kehilangan penglihatan secara persisten. Kebanyakan pasien neuritis optik
mengalami perbaikan penglihatan dalam 1 tahun.
2. Defek pupil aferen relatif tetap bertahan pada 25% pasien dua tahun
setelah gejala awal.
3. Desaturasi warna, terutama warna merah. Pasien dengan desaturasi warna
merah akan melihat warna merah sebagai pink, atau orange bila melihat
dengan mata yang terkena.
4. Fenomena Uhthoff yaitu terjadinya eksaserbasi temporer dari gangguan
penglihatan yang timbul dengan peningkatan suhu tubuh. Olahraga dan
mandi dengan air panas merupakan pencetus klasik.
5. Diskus optik terlihat mengecil dan pucat, terutama didaerah temporal.
Pucatnya diskus meluas sampai batas diskus ke serat retina peripapil.

2.6.5 Diagnosis1,21
a. Anamnesis
1. Penglihatan yang kabur (visus turun) mendadak
2. Adanya bintik buta
3. Perbedaan subjektif pada terangnya cahaya
4. Persepsi warna yang terganggu
5. Kekaburan penglihatan ketika beraktivitas dan meningkatnya suhu dan
berkurang jika beristirahat.
6. Rasa sakit pada mata yang mengganggu dan lebih sering pada tipe neuritis
retrobulbar daripada tipe papilitis.
7. Gejala berlangsung sementara pada salah satu mata (pada pasien dewasa).
Sedangkan pada pasien anak, biasanya mengenai kedua mata. Terdapat
riwayat demam atau imunisasi sebelumnya pada anak akan mendukung
diagnosis.

b. Pemeriksaan Fisik
1. Pemeriksaan visus. Hilangnya visus dapat ringan (20/30), sedang (20/60),
maupun berat (20/70).

55
2. Pemeriksaan lapang pandang, biasanya berupa skotoma sentral atau
sentrosekal. Namun setelah 7 bulan, 51 % kasus memiliki lapangan
pandang yang normal.
3. Refleks pupil. Defek aferen pupil terlihat dengan refleks cahaya langsung
yang menurun atau hilang.
4. Penglihatan warna berkurang.
5. Adaptasi gelap mungkin menurun.

c. Pemeriksaan Penunjang
1. Funduskopi
• Pemeriksaan funduskopi pada papilitis terlihat gambaran hiperemia dan
edema diskus optik sehingga membuat batas diskus tidak jelas. Pada papil
terlihat perdarahan, eksudat star figure yang menyebar dari papil ke
makula, dengan perubahan pada pembuluh darah retina dan arteri menciut
dengan vena yang melebar. Kadang-kadang terlihat edema papil yang
besar yang menyebar ke retina. Edema papil tidak melebihi 2-3 dioptri.

Gambar 2.23 Edema Nervus Optikus pada Neuritis Optikus


• 60% pasien dengan neuritis retrobulbar memiliki gambaran funduskopi
yang normal. Hal ini menyebabkan adanya suatu istilah “The patient sees
nothing and the doctor sees nothing”. Namun apabila prosesnya sangat
destruktif, dapat berakhir sebagai optik atrofi dan papil menjadi pucat, tak
berbatas tegas, dan matanya buta.
• Perdarahan peripapil, jarang pada neuritis optik tetapi sering menyertai
papilitis karena neuropati optik iskemik anterior.
56
• Tanda lain adanya inflamasi pada mata yang terdeteksi pada pemeriksaan
funduskopi yaitu: perivenous sheathing.

2. Magnetic Resonance Imaging (MRI)


MRI penting untuk memutuskan apakah daerah di otak telah terjadi
kerusakan myelin, yang mengindikasikan resiko tinggi berkembangnya sklerosis
multipel. MRI juga dapat membantu menyingkirkan kemungkinan tumor atau
kondisi lain. Pada pasien yang dicurigai menderita neuritis optikus, pemeriksaan
MRI otak dan orbita dengan fat suppression dan gadolinium sebaiknya dilakukan
dengan tujuan untuk konfirmasi diagnosis dan menilai lesi white matter. MRI
dilakukan dalam dua minggu setelah gejala timbul. Pada pemeriksaan MRI otak
dan orbita dengan fat suppression dan gadolinium menunjukkan peningkatan dan
pelebaran nervus optikus. Lebih penting lagi, MRI dipakai dengan tujuan untuk
memutuskan apakah terdapat lesi ke arah sklerosis multipel. Ciri-ciri resiko tinggi
mengarah ke sklerosis multipel adalah terdapat lesi white matter dengan diameter
3 atau lebih, bulat, lokasinya di area periventrikular dan menyebar ke ruangan
ventrikular

Gambar 2.24 Lesi white matter pada MRI

3. Pemeriksaan cairan serebrospinal


Protein ologinal banding pada cairan serebrospinal merupakan penentu
sklerosis multipel. Terutama dilakukan terhadap pasien-pasien dengan
pemeriksaan MRI normal.

4. Test Visually Evoked Potentials


Test Visually evoked potentials adalah suatu test yang merekam sistem
visual, auditorius dan sensoris yang dapat mengidentifikasi lesi subklinis. Test
57
Visually evoked potentials menstimulasi retina dengan pola papan catur, dapat
mendeteksi konduksi sinyal elektrik yang lambat sebagai hasil dari kerusakan
daerah nervus.

5. Pemeriksaan darah
Pemeriksaan tes darah NMO-IgG untuk memeriksa antibodi neuromyelitis
optica. Pasien dengan neuritis optikus berat sebaiknya menjalani pemeriksan ini
untuk mendeteksi apakah berkembang menjadi neuromyelitis optica. Pemeriksaan
tingkat sedimen eritrosit (erythrocyte sedimentation rate (ESR)) dipakai untuk
mendeteksi inflamasi pada tubuh, tes ini dapat menentukan apakah neuritis
optikus disebabkan oleh inflamasi arteri kranialis.

2.6.6 Diagnosis Banding20


Neuritis Optik Papiledema Neuropati Optik
Iskemik
Gejala visus Visus sentral Visus tidak hilang; Defek akut lapang
hilang cepat, kegelapan yang pandang;
progresif, jarang transien ketajaman
ketajaman bervariasi – turun
dipelihara Akut
Lain Bola mata pegal; Sakit kepala, Biasanya nihil;
sakit bila mual, muntah,
digerakkan; sakit tanda fokal
alis atau orbita neurologis lain
Sakit bergerak Ada Tidak ada Tidak ada
Bilateral Jarang pada orang Selalu bilateral Khas unilateral
dewasa; sering pada stadium akut
pada anak-anak
Gejala Tidak ada isokoria Tidak ada isokoria Tidak ada isokoria
Pupil Reaksi sinar Reaksi normal Reaksi sinar
menurun pada sisi menurun pada sisi
neuritis infark disk

58
Penglihatan warna Turun Normal
Ketajaman visus Biasanya turun Normal Bervariasi
Lapang pandang Skotoma sentral Membesar; ada Skotoma sentral
blind spot
Sel badan kaca Ada Tidak ada Tidak ada
Funduskopi Retrobulbar :
nomal.
Papilitis :
- Media Keruh pada Bening Bening
posterior vitreous

- Warna diskus Hiperemia Merah Pucat


- Pinggir diskus Kabur Kabur Kabur
- Edema diskus Biasanya tidak 2 – 6 diopter Bengkak
melebihi 3 diopter
- Edema Ada Ada Ada
peripapillary
- Perdarahan Biasanya tidak ada Jelas Jelas
retina
- Retinal exudate Kurang jelas Sangat jelas Jelas
- Makula Macular fan bisa Macular star bisa Tidak ada
ada ada
Prognosis visus Visus biasanya Baik dengan Prognosis buruk
kembali normal menghilangka n untuk kembali,
atau tingkat kausa tekanan mata kedua lama-
fungsional tekanan lama terlibat
intrakranial dalam 1/3 kasus
idiopatik
Fluorescein Kebocoran zat Vertical oval pool Ada kebocoran zat
angiogrpahy kontras sedikit zat kontras akibat kontras di
kebocoran Peripapillary

59
2.6.7 Penatalaksanaan4,20,22,23
1. Terapi jangka pendek
The Optic Neuritis Treatment Trial (ONTT) telah meneliti secara
komprehensif tentang penatalaksanaan neuritis optikus dengan menggunakan
steroid. Dalam penelitiannya ONTT melibatkan sebanyak 457 pasien, usia 18-46
tahun dengan neuritis optikus akut unilateral. Data follow up didapatkan dari
kohort ONTT (Longitudinal Optic Neuritis Study (LONS)) menghasilkan
informasi penting tentang gejala klinis, penglihatan jangka panjang, penglihatan
yang berkaitan dengan kualitas hidup dan peranan MRI otak dalam memutuskan
resiko berkembang menjadi Clinically Definite Multiple Sclerosis (CDMS).
Pasien yang terlibat pada penelitian ini diacak menjadi 3 kelompok
perlakuan terapi, yaitu:
a. Mendapatkan terapi prednison oral (1 mg/ kg BB/ hari) selama 14 hari
dengan 4 hari tappering off ( 20 mg hari l, 10 mg hari ke 2 dan 4)
(kelompok terapi oral).
b. Mendapatkan terapi dengan metilprednisolon sodium suksinat IV 250
mg tiap 6 jam selama 3 hari, diikuti dengan prednison oral (1 mg/kg
BB/ hari) selama 11 hari dengan 4 hari tappering off (kelompok terapi
dengan metilprednisolon IV).
c. Mendapatkan terapi dengan placebo selama 14 hari.

Dalam penelitian ini yang dinilai terutama tajam penglihatan dan


sensitifitas terhadap kontras sedangkan berkembangnya menjadi CDMS adalah
hal kedua yang dinilai.
MRI otak dan orbita dengan menggunakan gadolinium telah dilakukan
untuk semua pasien. Hasil yang didapatkan dari penelitian ini adalah:
a. Terapi dengan menggunakan metilprednisolon IV mempercepat
pulihnya penglihatan tetapi tidak untuk jangka panjang setelah 6 bulan
sampai dengan 5 tahun bila dibandingkan dengan terapi menggunakan
placebo atau prednison oral. Keuntungan terapi dengan menggunakan
metilprednisolon IV ini baik dalam 15 hari pertama saja.

60
b. Pasien yang mendapatkan terapi dengan menggunakan prednison oral
saja didapatkan terjadi resiko rekurensi neuritis optiknya (30% setelah 2
tahun dibandingkan dengan kelompok placebo 16% dan kelompok yang
mendapatkan steroid IV 13%) sampai dengan follow up 5 tahun.
c. Pasien dengan monosymptomatik yang mendapatkan terapi dengan
menggunakan metilprednisolon intra vena didapatkan penurunan
tingkat perkembangan ke arah CDMS selama 2 tahun pertama follow
up, tetapi tidak bermanfaat setelah 2 tahun karena persentase
perkembangan menjadi CDMS hampir sama dengan kelompok
prednison oral dan placebo.

2. Terapi jangka panjang


Di antara pasien dengan resiko tinggi berkembang menjadi CDMS yang
ditetapkan dengan kriteria MRI oleh ONTT (dua atau lebih lesi white matter),
telah dilakukan penelitian 383 pasien oleh (The Controlled High-Risk Avonex MS
Prevention Study (CHAMPS)) menunjukkan terapi dengan interferon þ 1a pada
pasien acute monosymptomatic demyelinating optic neuritis berkurang secara
signifikan dalam 3 tahun dibandingkan dengan kelompok placebo, juga terdapat
pengurangan tingkat lesi baru pada MRI otak. Hasil yang sama juga didapatkan
pada pasien dengan neuritis optikus. Semua pasien kelompok terapi dengan
interferon þ-1a dan kelompok placebo juga mendapatkan terapi dengan
metilprednisolon IV selama 3 hari diikuti dengan prednison oral selama 11 hari
sesuai dengan protokol ONTT. Meskipun terapi dengan interferon þ- 1a pada
pasien neuritis optikus dan pada pasien yang beresiko menurut pemeriksaan MRI
manfaat jangka panjangnya tidak diketahui, tetapi hasil dari CHAMPS
memberikan suatu terapi awal yang rasional. Ini didukung oleh hasil penelitian
dari Early Treatment of Multiple Sclerosis Study, (ETOMS)) yang menghasilkan
selama 2 tahun follow up terjadi penurunan yang signifikan jumlah pasien yang
berkembang menjadi CDMS dengan terapi awal interferon 13-1a (34%) bila
dibandingkan dengan kelompok placebo (45%).
Pada model eksperimen sklerosis multipel, dengan menggunakan terapi
immunoglobulin intravena telah menunjukan terjadinya remielinisasi pada sistem

61
syaraf sentral. Penelitian lain (1992) menyarankan bahwa terapi dengan
immunoglobulin bermanfaat pada pasien neuritis optikus dengan penurunan
penglihatan yang bermakna. Akan tetapi dalam penelitian terbaru tentang
immunoglobulin intravena dengan placebo pada 55 pasien sklerosis multipel
dengan kehilangan penglihatan tetap (20/40 atau lebih rendah) yang disertai
neuritis optikus tidak menunjukkan pemulihan yang signifikan terhadap tajam
penglihatan.
Jika pada pemeriksaan dengan MRI ditemukan lesi white matter dua atau
lebih (diameter 3 atau lebih) diterapi berdasarkan rekomendasi dari ONTT,
CHAMPS, dan ETOMS, yaitu:
1. Metilprednisolon IV (1 g per hari, dosis tunggal atau dosis terbagi selama
3 hari) diikuti dengan prednison oral (1 mg/ kg BB/ hari selama 11 hari
kemudian 4 hari tappering off).
2. Interferon þ-1a intramuskular satu kali seminggu.
Pada pasien monosymptomatik dengan lesi white matter pada MRI kurang
dari 2, dan yang telah didiagnosis CDMS, diberikan terapi metilprednisolon
(diikuti prednison oral) dapat dipertimbangkan untuk memulihkan penglihatan,
tetapi ini tidak memperbaiki untuk jangka panjang. Berdasarkan hasil penelitian
dari ONTT, penggunaan prednison oral saja (sebelumnya tidak diterapi dengan
metilprednisolon IV ) dapat meningkatkan resiko rekurensi.
Pasien tanpa riwayat Multiple Sclerosis atau Neuritis optikus :
1. Dari hasil MRI bila terdapat minimum 1 lesi demielinasi tipikal : Regimen
selama 2 minggu :
a. 3 hari pertama diberikan Methylprednisolone 1kg/kg/hari i.v
b. 11 hari setelahnya dilanjutkan dengan Prednisolone 1mg/kg/hari oral
c. Tapering off dengan cara 20 mg prednisone oral untuk hari pertama (hari ke
15 sejak pemberian obat) dan 10 mg prednisone oral pada hari ke-2 sampai
ke-4
d. Dapat diberikan Ranitidine 150 mg oral untuk profilaksis gastritis
Menurut Neuritis optikus Treatment Trial (ONTT) pengobatan dengan
steroid dapat menurunkan progresivitas Multiple sclerosis selama 3 tahun. Terapi

62
steroid hanya mempercepatkan pemulihan visual tapi tidak meningkatkan hasil
pemulihan pandangan visual.

2. Dari hasil MRI bila 2 atau lebih lesi demielinasi :


a. Menggunakan regimen yang sama dengan yang di atas.
b. Merujukan pasien ke spesialis neurologi untuk terapi interferon -
intramuskular seminggu sekali selama 28 hari.
c. Metilprednisolon IV (1 g per hari, dosis tunggal atau dosis terbagi selama 3
hari) diikuti dengan prednison oral (1 mg/kg BB/hari selama 11 hari
kemudian 4 hari tappering off ). Tidak menggunakan oral prednisolone
sebagai terapi primer karena dapat meningkatkan resiko rekuren atau
kekambuhan.

3. Dengan tidak ada lesi demielinasi dari hasil MRI :


a. Risiko terjadi MS rendah, kemungkinan terjadi sekitar 22% setelah 10 tahun
kemudian
b. Intravena steroid dapat digunakan untuk mempercepatkan pemulihan visual
c. Biasanya tidak dianjurkan untuk terapi kecuali muncul gangguan visual pada
mata kontralateral
d. MRI lagi dalam 1 tahun kemudian. Mitoxantrone, suatu agen kemoterapi dan
terapi antibiotik di monoklonal telah memberikan hasil yang menjanjikan
bagi penyakit kambuhan-remisi (relapsing-remitting disease) yang progresif
dan sulit diatasi.

2.6.8 Prognosis1,21
Sebagian besar pasien sembuh sempurna atau mendekati sempurna setelah
6-12 minggu. Sembilan puluh lima persen penglihatan pasien pulih mencapai
visus 20/40 atau lebih baik. Dan sebagian besar pasien mencapai perbaikan
maksimal dalam 1-2 bulan, meskipun pemulihan dalam 1 tahun juga
memungkinan. Derajat keparahan kehilangan penglihatan awal menjadi penentu
terhadap prognosis penglihatan. Meskipun penglihatan dapat pulih menjadi 20/20
atau bahkan lebih baik, banyak pasien dengan acute demyelinating optic neuritis

63
berlanjut menjadi kelainan pada penglihatan yang mempengaruhi fungsi harian
dan kualitas hidupnya. Kelainan tajam penglihatan (15- 30%), sensitivitas kontras
(63-100%), penglihatan warna (33-100%), lapang pandang (62-100%), stereopsis
(89%), terang gelap (89-100%), reaksi pupil afferent (55-92%), diskus optikus
(60-80%), dan visual-evoked potensial (63-100%).
Penyembuhan pada neuritis optik berjalan secara bertahap. Pada banyak
pasien neuritis optik, fungsi visual mulai membaik 1 minggu sampai 3 minggu
setelah onset penyakit walau tanpa pengobatan. Namun sisa defisit dalam
penglihatan warna, kontras, serta sensitivitas adalah hal yang umum. Kelainan
tajam penglihatan (15-30%), sensitivitas kontras (63-100%), penglihatan warna
(33-100%), lapang pandang (62-100%), stereopsis (89%), terang gelap (89–
100%), reaksi pupil aferen (55–92%), diskus optikus (60– 80%), dan visual-
evoked potential (63–100%). Rekurensi dapat terjadi pada mata yang lain, kira-
kira 30% dalam 5 tahun.
Penglihatan akhir pada pasien yang mengalami neuritis optik dengan
sklerosis multiple lebih buruk dibanding dengan pasien neuritis optik idiopatik.
Biasanya visus yang buruk pada episode akut penyakit berhubungan
dengan hasil akhir visus yang lebih buruk juga, namun kadang kehilangan
persepsi cahaya pun dapat diikuti dengan kembalinya visus ke 20/20. Hasil akhir
visus yang buruk juga dihubungkan dengan panjangnya lesi yang terkena,
khususnya jika terlibatnya nervus dalam kanalis optikus.
Tiap kekambuhan akan menyebabkan pemulihan yang tidak sempurna dan
memperburuk penglihatan.

2.6.9 Komplikasi20,21
Kehilangan penglihatan pada neuritis optik dapat terjadi permanen.
Neuritis retrobulbar mungkin terjadi walaupun merupakan suatu neuritis optik
yang terjadi cukup jauh di belakang diskus optikus.
Neurits optik yang disebabkan oleh sklerosis multipel memiliki ciri khas
kekambuhan dan remisi. Disabilitas yang menetap cenderung meningkat pada
setiap kekambuhan. Peningkatan suhu tubuh dapat memperparah disabilitas
(fenomena Uhthoff) khususnya gangguan penglihatan.

64
BAB III
KESIMPULAN

Kegawatdaruratan dalam ilmu penyakit mata adalah suatu keadaan dimana


mata terancam akan kehilangan fungsi penglihatannya atau akan terjadi kebutaan
apabila tidak dilakukan tindakan atau pengobatan sesegera mungkin.
Terancamnya fungsi penglihatan atau kebutaan dapat diakibatkan oleh suatu
penyakit atau kelainan mata dan oleh trauma mata. Dalam kasus kegawatdaruratan
mata, kecepatan menentukan diagnosis dan ketepatan penanganan atau terapi
merupakan hal paling utama dalam usaha dokter untuk menyelamatkan bola mata
dan fungsi penglihatan pasien. Kegawatdaruratan dalam ilmu penyakit mata
secara umum dapat terbagi dua, yaitu yang trauma dan non trauma.
Kegawatdaruratan mata karena trauma dapat terbagi menjadi gawat
darurat yaitu trauma kimia (basa/alkali dan asam) dan oklusi arteri retina sentralis,
kondisi gawat yakni trauma radiasi (solar/matahari, ultraviolet), trauma jaringan
ekstra okular (palpebra, sistem lakrimal), trauma tumpul bola mata, trauma tajam
bola mata (laserasi dan trauma tembus) serta yang bersifat non trauma antara lain,
glaukoma sudut tertutup akut, infeksi (konjungtivitis GO, endoftalmitis, selulitis
orbita), dan ablasi retina akut.
Pada kasus kegawatdaruratan di dalam ilmu penyakit mata, maka dokter
harus dapat membuat prioritas diagnosis dan beberapa diferensial diagnosis yang
akan timbul, karena sering kali gejala-gejala dan tanda klinis yang ditemukan saat
pemeriksaan akan tumpang tindih. Seorang dokter di IGD harus mengetahui
apakah kelainan pada mata pasien tesebut termasuk dalam kondisi yang darurat
atau tidak. Jika kasus kegawatdaruratan mata maka dapat dirujuk ke dokter
spesialis mata secara cepat dan menciptakan kolaborasi antara dokter IGD dan
dokter spesialis mata.

65
DAFTAR PUSTAKA

1. Vaughan, Daniel G. Asbury, Taylor. 2000. Oftalmologi umum (General


ophthalmology) edisi 17. EGC: Jakarta. p. 12-199
2. Khurana. Diseases of retina in comprehensive ophthalmology 4th edition.
New Age International Limited Publisher: India. p. 249- 279.
3. Larkin, L. Gregory. Retinal Detachment.[serial online] 8th septembe 2010.
Available from : http//emedicine.medscape.com/article/1226426
4. American Academy Ophtalmology. Retina and Vitreous: Section 12 2007-
2008. Singapore: LEO; 2008. p. 9-299
5. Jenkins T, Su D, Klufas M. RVO Overview: Epidemiology, risk factors,
and clinical features of this common cause of retinal vascular disease.
Retina Today. 2018, Apr 40-3.
6. Buehl W, Sacu S, Schmidt-Erfurt U. Retinal Vein Occlusion. Dev
Ophthalmol 2010; 46:54-72.
7. Keren S, Loewenstein A, Coscas G. Pathogenesis, prevention, diagnosis
and management of retinal vein occlusion. World J Ophthalmol. 2014;Nov
12;4(4) 92-112.
8. Hayreh SS, Podhajsky Pa, Zimmerman MB. Natural history of visual
outcome in central retinal vein occlusion. Ophthalmology 2011;111: 1087-
95.
9. Schütze C, Schmidt-Erfurt U. Imaging for BRVO and CRVO.: OCT
images layers of the retina that are relevant to the evaluation of RVO.
Retina today. 2011, May 63-8.
10. Thorell MR, Goldhardt R. Update in the Management of Macular Edema
Following Retinal Vein Occlusions. Curr Ophthalmol Rep. 2016 March;
4(1): 38-47.
11. Sharma S, Brown GC. Retinal Artery Obstruction. In: Ryan SJ, editor.
Retina. 3 ed. St. Louis: Mosby; 2001. p. 1350-64.
12. Regillo C, Chang TS, Johnson MW, Kaiser PK, Scott IU, Spaide R, et al.
Retina and Vitreous. In: Staff AAO, editor. Basic and Clinical Science
Course. San Francisco: American Academy of Ophthalmology; 2005. p.

66
148-50.
13. Marouf LM, Lee BL. Retinal Arterial Occlusive Disease In: Heuven
WAJV, Zwaan J, editors. Decision Making In Ophthalmology. 2 ed. St.
Louis: Mosby, Inc; 2000. p. 322-3.
14. Santiago ME, Wafapoor H, Corbett JJ. Ocular Ischemic Syndrome,
Central Retinal Artery Occlusion, and Branch Retnal Artery Occlusion. In:
Biller J, editor. Seminars in Cerebrovascular Diseases and Stroke; 2004:
Elsevier; 2004. p. 39-54.
15. Kuhn F, Morris R, Mester V, Witherspoon D. Terminology of mechanical
injuries:the birmingham eye trauma terminology. Dalam : Kuhn F. Ocular
traumatology. Berlin: Springer. 2008. hlm.3-10.
16. R. Reshef E, F. Gardiner M. Classification of open globe injuries. Dalam :
Grob S, Kloek C. Management of Open Globe Injuries. Cham: Springer;
2018. hlm 1-10.
17. Ilyas, S. 2008. Ilmu Penyakit Mata Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI.
18. Webb, L. 2004. Manual of Eye Emergencies: Diagnosis and Management.
London: Butterworth-Heinemann.
19. Kosoko, A., Vu, Q., & Kosoko-Lasaki, O. 2009. Chemical Ocular Burns:
A Case Review. American Journal of Clinical Medicine. Volume Six,
Number Three. http://www.aapsus.org/articles/29.pdf
20. Wijana Nana S,D, Ilmu Penyakit Mata, Cetakan ke 6, Abdi Tegal.Jakarta
1993. Hall 332-342.
21. Mardjono Mahar, Neurologi Klinis Dasar. Cetakan ke sepuluh, Dian
Rakyat. Jakarta.2004. Hall 116-126.
22. Saiful Muhammad, Neuroanatomi Fungsional. Bag. Ilmu Penyakit Syaraf
FK. Unair. Surabaya. 1996. Hall 54-57.
23. Lumbantobing S, Neurologi Klinis Pemeriksaan Fisik dan mental. Balai
Penerbit FKUI 1006. Hall 25-46.

67

Anda mungkin juga menyukai