Anda di halaman 1dari 149

MAKALAH KELOMPOK

ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK DENGAN

KEBUTUHAN KHUSUS, KORBAN PEMERKOSAAN, KORBAN KDRT,

KORBAN TRAFFICKING, NARAPIDANA DAN ANAK JALANAN

Dosen Pengampu : Drs. H. Nasihin, M. Kes

Disusun Oleh :

Kelompok 7

1. Rindi Handika P27905118025


2. Riska Amalia Amanda P27905118026
3. Runda P27905118027
4. Selfiani P27905118028
5. Shaniyatun Ni`mah P27905118029

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS

JURUSAN KEPERAWATAN TANGERANG

POLTEKKES KEMENKES BANTEN

2020

1
KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji dan syukur Alhamdulillah kehadirat Allah SWT atas
segala rahmat dan Ridho-Nya sehingga penyusun mampu menyelesaikan makalah ini
dengan baik, guna memenuhi tugas kelompok mata kuliah Keperawatan Jiwa yang
berjudul “Asuhan Keperawatan Pada Anak Dengan Kebutuhan Khusus, Korban
Pemerkosaan, Korban Kdrt, Korban Trafficking, Narapidana Dan Anak
Jalanan”

Kami berharap makalah ini dapat membantu dan bermanfaat bagi pembaca dan
mohon maaf atas kekurangan yang masih terdapat didalamnya, karena kami menyadari
adanya keterbatasan kemampuan yang dimiliki. Maka dengan senang hati kami akan
menerima kritik dan saran pembaca guna memperbaiki dalam penyusunan makalah
selanjutnya.

Tangerang, 10 Agustus 2020

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................ i

DAFTAR ISI ......................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ...................................................................................... 1


B. Rumusan Masalah ................................................................................. 2
C. Tujuan Penulisan .................................................................................. 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Anak Dengan Kebutuhan Khusus .......................................................... 3


B. Anak Dengan Korban Pemerkosaan .................................................... 17
C. Anak Dengan Korban KDRT .............................................................. 42
D. Anak Dengan Korban Trafficking ....................................................... 61
E. Anak Dengan Narapidana ................................................................. 106
F. Anak Jalanan .................................................................................... 128

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan ....................................................................................... 144


B. Saran ................................................................................................ 145

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... iii

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Keperawatan merupakan kebutuhan pokok manusia sebagaimana
halnyadengan semua usaha untuk memajukan kesejahteraan. Uraian
tentangkeperawatanyang baik harus dilakukan oleh seseorang perawat
dengansendirinya harus dimulai perawat itu sendiri.
Model keperawatan yang dijelaskan oleh Hildegard peplau mencakupsegala
sesuatu tentang diri individu itu sendiri yang tepatnya didalam dirinya,yaitu
interpersonal, dan ini mengarah pada kejiwaan seseorang.ini lah modelkonsep teori
yang dijadikan acuan perawat untuk melakukan tindakankeperawatan.
Kesehatan Jiwa adalah Perasaan sehat dan bahagia serta mampu mengatasi
tantangan hidup, dapat menerima orang lain sebagaimana adanyaserta mempunyai
sikap positif terhadap diri sendiri dan orang lain. Mamp umenghadapi kecemasan di
dalam diri individu.
Jika seseorang tidak sanggup untuk mengatasi permasalahan di dalam hidup
mereka, terutama pada dalam diri mereka sendiri, akan timbulpermasalahan
permasalahan yang akan berakibat fatal yang tentunya akan mengganggu kehidupan
orang yang mengalami permasalahan interpersonal ini. Untuk itu diperlukan peran
perawat dalam mengatasi masalah ini, untuk membantu pasien mengatasi masalah yang
mungkin tidak bisa diselesaikan sendiri oleh seseorang.

1
B. Rumusan Maslah
1. Bagaimana asuhan keperawatan jiwa pada anak dengan kebutuhan khusus?
2. Bagaimana asuhan keperawatan jiwa pada anak dengan korban pemerkosaan?
3. Bagaimana asuhan keperawatan jiwa pada anak dengan korban KDRT?
4. Bagaimana asuhan keperawatan jiwa pada anak dengan korban Trafficking?
5. Bagaimana asuhan keperawatan jiwa pada anak dengan narapida?
6. Bagaimana asuhan keperawatan jiwa pada anak jalanan?

C. Tujuan Penulisan
1. Mahasiswa dapat mengetahui bagaimana asuhan keperawatan jiwa pada anak
dengan kebutuhan khusus
2. Mahasiswa dapat mengetahui bagaimana asuhan keperawatan jiwa pada anak
dengan korban pemerkosaan
3. Mahasiswa dapat mengetahui bagaimana asuhan keperawatan jiwa pada anak
dengan korban KDRT
4. Mahasiswa dapat mengetahui bagaimana asuhan keperawatan jiwa pada anak
dengan korban Trafficking
5. Mahasiswa dapat mengetahui bagaimana asuhan keperawatan jiwa pada anak
dengan narapida
6. Mahasiswa dapat mengetahui bagaimana asuhan keperawatan jiwa pada anak
jalanan

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Anak Dengan Kebutuhan Khusus (Tuna Netra)


1. Pengertian
Menurut kamus besar bahasa Indonesia pengertian tunanetra ialah tidak
dapat melihat, buta. Sedangkan menurut Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa
yang dimaksud dengan tunanetra adalah seseorang yang memiliki hambatan dalam
penglihatan atau tidak berfungsinya indera penglihatan. Karena adanya hambatan
dalam penglihatan serta tidak berfungsinya penglihatan (Heward & Orlansky,
1988 cit Akbar 2011).
2. Etiologi
Dapat disebabkan oleh faktor internal dan faktor eksternal.
a. Faktor internal yaitu faktor keturunan atau genetik dan faktor yang erat
hubungannya selama bayi masih dalam kandungan seperti: kurang gizi,
terkena infeksi, keracunan, aborsi yang gagal, ataupun adanya penyakit
kronis.
b. Faktor eksternal adalah faktor ketika lahir atau maupun faktor setelah lahir.
Misalnya: kecelakaan, terkena penyakit syphilis yang mengenai matanya saat
dilahirkan, kelahiran yang lama sehingga kehabisan cairan, kelahiran yang
dibantu alat yang mengenai syaraf, kurang gizi atau vitamin, terkena racun,
virus trachoma, panas badan yang terlalu tinggi, serta peradangan mata karena
penyakit, bakteri ataupun virus.
3. Klasifikasi Tuna Netra
Berdasarkan Klasifikasi International Classification of Functioning for
Disability and Health (ICF) dalam Marjuki (2009), Penyandang Cacat
Penglihatan diklasifikasikan menjadi 3, yaitu:
a. Tuna netra golongan buta (total blind), dimana terbagi lagi menjadi 3
kelompok yakni;

3
1) Mereka yang sama sekali tidak memiliki persepsi visual
2) Mereka yang hanya memiliki persepsi cahaya
3) Mereka yang memiliki persepsi sumber cahaya. Pada golongan ini,
mereka memerlukan sistem Braille sebagai alat bantu
b. Tuna netra golongan kurang lihat (low vision) yang terbagi lagi menjadi 3
kelompok, yakni:
1) Mereka yang memiliki persepsi benda-benda yang berukuran besar
sehingga mereka masih membutuhkan sistem Braille
2) Mereka yang memiliki persepsi benda-benda berukuran sedang dimana
ada diantaranya yang membutuhkan sistem Braille dan ada juga yang
dapat menggunakan huruf dan tanda visual yang diperbesar
3) Mereka yang memiliki persepsi benda-benda berukuran kecil dimana
mereka pada umunya mampu menggunakan huruf dan tanda visual
sebagai media baca dan pengajaran
c. Tuna netra golongan ganguan Persepsi Cahaya (Light Perception) yaitu
seseorang hanya dapat membedakan terang dan gelap namun tidak dapat
melihat benda didepannya.
4. Dampak Kondisi Tuna Netra
a. Secara kognitif:
1) Pengenalan/pengertian terhadap dunia luar tidak diperoleh secara
lengkap dan utuh, shg perkembangan kognitif cenderung terhambat
dibandingkan orang normal pada umumnya.
2) Hal ini berarti bahwa perkembangan kognitif tidak saja erat kaitannya
dengan kecerdasan atau kemampuan inteligensi, tetapi juga kemampuan
indera penglihatan.
b. Secara Motorik:
1) Fungsi sistem neuromuskularnya tidak bermasalah tetapi fungsi psikis
tidak mendukung shg menjadi hambatan dalam perkembangan motorik.

4
2) Secara fisik, tuna netra biasanya: berjalan dengan posisi tegak, kaku,
lamban, dan penuh kehati-hatian dimana tangan mereka selalu berada
di depan dan sedikit tersendat pada saat berjalan
3) Segi intelegensi, anak-anak tunanetra hampir sama dengan anak normal
pada umumnya, dimana ada anak yang cerdas, ada yang rata-rata dan
ada yang rendah. Menurut Kirley (1975), berdasarkan tes intelegensi
dengan menggunakan Hayes-Binet Scale ditemukan bahwa rentang IQ
anak tunanetra berkisar antara 45- 160, dengan distribusi12,5%
memiliki IQ kurang dari 80, kemudian 37,5% dengan IQ diatas 120 dan
50% dengan IQ antara 80-120.
4) Segi perkembangan emosi, anak tunanetra sedikit mengalami hambatan
dibandingkan dengan anak yang normal.
5) Keterlambatan ini terutama disebabkan oleh keterbatasan kemampuan
dalam proses belajar. Pada awal masa kanakkanak, akan melakukan
proses belajar untuk mencoba menyatakan emosinya, hal ini tetap
dirasakan tidak efisien karena mereka tidak dapat melakukan
pengamatan terhadap reaksi lingkungan secara tepat. Akibatnya pola
emosi yang ditampilkan mungkin berbeda atau tidak sesuai dengan apa
yang diharapkan oleh diri sendiri maupun lingkungannya.
6) Segi perkembangan sosial, tunanetra memiliki lebih banyak hambatan.
7) Hal tersebut muncul sebagai akibat langsung maupun tidak langsung
dari ketunanetraannya.
8) Kurangnya motivasi, ketakutan menghadapi lingkungan sosial yang
lebih luas atau baru, perasaan-perasaan rendah diri, malu, sikap-sikap
masyarakat yang seringkali tidak menguntungkan seperti penolakan,
penghinaan, sikap tak acuh, ketidakjelasan tuntutan sosial, serta
terbatasnya kesempatan bagi anak untuk belajar tentang pola-pola
tingkah laku yang diterima merupakan kecenderungan tunanetra yang
dapat mengakibatkan perkembangan sosialnya amenjadi terhambat.

5
9) Jadi, perkembangan sosial dari penderita tunanetra sangat tergantung
pada bagaimana perlakuan dan penerimaan lingkungan terutama
lingkungan keluarga terhadap penderita tunanetra itu sendiri
5. Kebutuhan Tuna Netra
Kebutuhan sebagai manusia tidak berbeda dengan kebutuhan manusia pada
umumnya. Pada dasarnya setiap prilaku manusia tertuju pada motif pemenuhan
kebutuhan, yang berarti kebutuhan mempengaruhi prilaku manusia. Menurut
teori Maslow tentang motivasi atau perilaku yang dipengaruhi kebutuhan
digambarkan seperti piramida yang tersusun dari lima tingkat dan setiap
tingkatnya mengandung satu unsur kebutuhan.
a. Kebutuhan fisiologis
Kepuasan dari haus, lapar dan sex. Kepuasan Fisiologis ini harus
terpenuhi lebih dulu apabila menginginkan kebutuhan berikutnya terpenuhi.
b. Kebutuhan akan rasa aman
Bagi tunanetra perasaan aman sulit diperoleh. Kerusakan penglihatan
menyebabkan gangguan di dalam menerima informasi lewat mata,
sedangkan indera lainnya kurang memberikan kejelasan. Akibat
ketidakjelasan ini tunanetra selalu bertanya-tanya apa yang ada
dihadapannya. Akibat ketidakpastian ini juga menyebabkan tunanetra
selalu ada rasa curiga.
c. Kebutuhan akan kasih sayang
Rasa memiliki dan rasa kasih sayang itu akan ada pada seseorang
apabila seseorang sudah merasakan kebutuhan fisiologisnya terpenuhi dan
kebutuhan akan rasa amannya juga terpenuhi. Kecenderungan rasa kasih
sayang pada seseorang timbul apabila kehadiran seseorang sesuai dengan
apa yang diharapkan oleh lingkungan. Kehadiran seorang tunanetra di
tengah keluarga dan lingkungan pasti tidak diharapkan. Tidak ada orang tua
yang mengharapkan kelahiran anaknya menderita tunanetra. Karena itu
kehadirannya menimbulkan kekecewaan. Biasanya kekecewaan orang tua

6
dan lingkungan dimunculkan dalam bentuk sikap tidak menyayangi dan
tidak memiliki.
d. Kebutuhan akan penghargaan
Setiap manusia membutuhkan penghargaan atau rasa dihargai oleh
lingkungan. Penghargaan tidak hanya berbentuk materi tapi juga berbentuk
penghargaan phsikologis. Seseorang akan dihargai apabila ia dapat berbuat
sesuatu baik bagi dirinya maupun pada lingkungan, begitu juga penderita
tuna netra.
e. Kebutuhan akan Aktualisasi Diri
Ketidaktergantungan pada pertolongan orang lain merupakan
perwujudan dari kemampuan tunanetra dalam mengaktualisasikan dirinya
ditengah-tengah lingkungannya. Seorang tunanetra yang mampu
mewujudkan dan merealisasikan aktualisasi dirinya, berarti ia telah
memperoleh kebebasan. Kebebasan dan kemandirian inilah yang selalu
didambakan oleh setiap orang termasuk tunanetra.
6. Kebutuhan Khusus Tuna Netra
a. Fisiologis: Membutuhkan perawatan dan pemeriksaan medis, pengobatan
dan evaluasi medis secara umum. Sebagai kegiatan diperlukan latihan gerak
dan ekspresi tubuh.
b. Personal: Akibat ketunanetraan sebagai pengalaman personal, maka timbul
beberapa kebutuhan yang bersifat personal pula. Kebutuhan tersebut antara
lain adalah latihan Orientasi dan Mobilitas, minat untuk berinteraksi dengan
lingkungan, keterampilan aktivitas kehidupan sehari-hari seperti menolong
diri sendiri, serta kebutuhan akan pendidikan dan bimbingan khusus.
c. Sosial: Dengan adanya pandangan ketunanetraan sebagai fenomena sosial,
maka kebutuhan dari segi social adalah adanya hubungan yang baik antar
personal (personal relationship), interaksi yang baik antar anggota keluarga,
interaksi dan hubungan dengan teman-temannya, dan membutuhkan pula
untuk ikut berpartisipasi dengan berbagai kegiatan dalam lingkungannya.

7
7. Kebutuhan Perkembangan Motorik Tuna Netra
Tuna Netra memiliki keterbatasan, yaitu:
a. Keterbatasan dalam lingkup keaneka ragaman pengalaman.
b. Keterbatasan dalam berinteraksi dengan lingkungan.
c. Keterbatasan dalam mobilitas.
d. Pengalaman yang diperoleh tuna netra sangat dibutuhkan untuk melakukan
interaksi dengan lingkungan.
e. Interaksi dapat berlangsung bila ada hubungan timbal balik antara tunanetra
dengan lingkungannya.
f. Hubungan timbal balik akan aktif bila tunanetra memiliki sumber informasi
didalam mentalnya yang berbentuk konsep-konsep.
g. Konsep sesuatu akan dikuasai anak menjadi suatu data yang benar sesuai
dengan realitas bila strategi pengajaran dengan baik.
8. Cara Membantu Anak Tuna Netra
Berikut beberapa cara untuk membantu anak tuna netra, antara lain:
a. Karena anak-anak yang buta tidak dapat menangkap informasi melalui
penglihatan mereka, guru harus menggunakan indra pendengar, peraba,
pengecap, dan pembau saat menyampaikan pelajaran. Guru harus
semaksimal mungkin menggunakan 8 kesempatan mengajar melalui
indera-indera tersebut. Guru harus dapat melibat semua indera untuk
membantu indera penglihatan.
b. Guru sebaiknya mengingat bahwa humor dan intonasi suara merupakan hal
yang penting ketika mengajar anak yang memiliki kelemahan pada
penglihatan ini.
c. Penjelasan verbal yang diberikan guru harus jelas dan tidak berbelit-belit.
Guru harus spesifik dalam memberikan perintah atau meminta tanggapan.
Hindarilah penjelasan atau pertanyaan yang tidak jelas. Karena beberapa
anak yang memiliki kelemahan dalam penglihatan menggunakan braille,
harus disediakan semua bahan pembelajaran dalam bentuk braille.

8
d. Guru harus menggunakan musik yang dapat memberikan rasa aman,
merangsang pikiran, dan membantu murid yang buta untuk membangun
konsep pebelajaran. Musik juga dapat memberikan kesempatan
pertumbuhan mental, spiritual, dan sosial.
e. Krayon, kertas, pensil, tanah liat, dan cat air semuanya dapat membantu
anak yang memiliki kelemahan pada penglihatan untuk mengekspresikan
emosi mereka. Bantulah mereka untuk mengekspresikannya melalui seni
dan keterampilan. Meskipun untuk melakukannya mereka membutuhkan
bimbingan yang lebih daripada anak-anak lain.
f. Bermain peran membantu anak mengingat peristiwa, ide-ide, dan situasi.
Kegiatan ini juga dapat membantu mereka mengingat kejadian-kejadian di
rumah mereka dan situasi lainnya. Berbagai pengalaman dapat diperagakan,
bahkan pengalamanpengalaman dari situasi nyata yang dialami oleh anak.
9. Alat Bantu Baca dan Tulis Anak Tuna Netra
Tuna netra memiliki kelebihan berupa sensasi taktil dan pendengaran yang
tajam. Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat tunanetra umumnya
menggunakan sistem Braille untuk membaca informasi baru. Sistem Braille
adalah salah satu metode yang diperkenalkan secara luas bagi masyarakat
tunanetra yang digunakan untuk membaca dan menulis.
Sistem ini diperkenalkan pada tahun 1821 oleh Louis Braille, seorang
tunanetra yang berasal dari Prancis. Setiap karakter atau sel didirikan dari 6
posisi titik, yang disusun segitiga dan mencakup 2 kolom setiap tiga titik. Huruf
Braille dibaca dari kiri ke kanan dan dapat melambangkan abjad, tanda baca,
angka, tanda musik, simbol matematika dan lainnya. Ukuran huruf Braille yang
umum digunakan adalah dengan tinggi sepanjang 0.5 mm, serta spasi horizontal
dan vertikal antar titik dalam sel sebesar 2.5 mm.

9
10. Asuhan Keperawatan Pada Anak Dengan Kebutuhan Khusus (Tuna
Netra)
a. Pengkajian
1) Aktivitas / Istirahat : Perubahan aktivitas biasanya / hobi sehubungan
dengan gangguan penglihatan.
2) Makanan / Cairan : Mual, muntah
3) Neurosensori : Gangguan penglihatan (kabur/tidak jelas), sinar terang
menyebabkan silau dengan kehilangan bertahap penglihatan perifer,
kesulitan memfokuskan kerja dengan dekat/merasa di ruang gelap
(katarak). Penglihatan berawan/kabur, tampak lingkaran cahaya/pelangi
sekitar sinar, kehilangan penglihatan perifer, fotofobia(glaukoma akut).
Perubahan kacamata/pengobatan tidak memperbaiki penglihatan.
Tanda :
 Pupil menyempit dan merah/mata keras dengan kornea berawan.
 Peningkatan penyebab katarak mata.
4) Nyeri / Kenyamanan : Ketidaknyamanan ringan/mata berair, nyeri tiba-
tiba/berat menetap atau tekanan pada dan sekitar mata, sakit kepala.
5) Penyuluhan / Pembelajaran
 Riwayat keluarga glaukoma, DM, gangguan sistem vaskuler.
 Riwayat stres, alergi, gangguan vasomotor (contoh: peningkatan
tekanan vena), ketidakseimbangan endokrin. Terpajan pada
radiasi, steroid/toksisitas fenotiazin
b. Diagnosa Keperawatan
1) Gangguan persepsi sensori: penglihatan berhubungan dengan gangguan
penerimaan sensori dari organ penerima
2) Kurang Pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi
mengenai penyakit
3) Resiko jatuh berhubungan dengan keterbatasan lapang pandang
4) Resiko Cedera berhubungan dengan keterbatasan lapang pandang.

10
c. Intervensi

RENCANA KEPERAWATAN
NO DIAGNOSA
TUJUAN INTERVENSI
DX KEPERAWATAN
1 Gangguan persepsi  Vision Pencapaian Komunikasi:
sensori: penglihatan compensation Defisit Penglihatan
berhubungan dengan behavior
 Kaji reaksi pasien
gangguan  Kriteria hasil:
penerimaan sensori terhadap penurunan
 Memakai kaca
dari organ penerima, penglihatan
mata atau lensa
 Ajak pasien ntuk
dengan benar
menentukan tujuan dan
 Memakai huruf belajar melihat dengan
braile cara yang lain
 Memakai  Deskripsikan
penyinaran/ lingkungan disekitar
cahaya yang pasien
sesuai
 Jangan memindahkan
sesuatu di ruangan
pasien tanpa memberi
informasi pada pasien
 Bacakan surat atau
koran atau info lainnya
 Sediakan huruf braile
 Informasikan letak
benda-benda yang
sering diperlukan
pasien

Manajemen Lingkungan
 Ciptakan lingkungan
yang aman bagi pasien
 Pindahkan benda-
benda berbahaya dari
lingkungan pasien
 Pasang side rail

11
 Sediakan tempat tidur
yang rendah
 Tempatkan benda
+benda pada tempat
yang dapat dijangkau
pasien

2. Kurang Pengetahuan  Kowlwdge : Teaching : disease


berhubungan dengan disease process Process
kurangnya informsi  Kowledge : health
 Berikan penilaian
mengenai penyakit Behavior
tentang tingkat
 Kriteria Hasil :
pengetahuan pasien
 Pasien dan tentang proses
keluarga penyakit yang spesifik
menyatakan
 Jelaskan patofisiologi
pemahaman
dari penyakit dan
tentang
bagaimana hal ini
penyakit,
berhubungan dengan
kondisi,
anatomi dan fisiologi,
prognosis dan
dengan cara yang
program
tepat.
pengobatan
 Gambarkan tanda dan
 Pasien dan
gejala yang biasa
keluarga
muncul pada penyakit,
mampu
dengan cara yang tepat
melaksanakan
 Gambarkan proses
prosedur yang
penyakit, dengan cara
dijelaskan
yang tepat
secara benar
 Identifikasi
 Pasien dan
kemungkinan
keluarga
penyebab, dengna cara
mampu
yang tepat
menjelaskan
 Sediakan informasi
kembali apa
pada pasien tentang
yang dijelaskan
kondisi, dengan cara
perawat/tim
yang tepat

12
kesehatan  Hindari harapan yang
lainnya kosong
 Sediakan bagi keluarga
atau SO informasi
tentang kemajuan
pasien dengan cara
yang tepat
 Diskusikan perubahan
gaya hidup yang
mungkin diperlukan
untuk mencegah
komplikasi di masa
yang akan datang dan
atau proses
pengontrolan penyakit
 Diskusikan pilihan
terapi atau penanganan
 Dukung pasien untuk
mengeksplorasi atau
mendapatkan second
opinion dengan cara
yang tepat atau
diindikasikan
 Eksplorasi
kemungkinan sumber
atau dukungan, dengan
cara yang tepat
 Rujuk pasien pada
grup atau agensi di
komunitas lokal,
dengan cara yang tepat
 Instruksikan pasien
mengenai tanda dan
gejala untuk
melaporkan pada
pemberi perawatan
kesehatan, dengan cara
yang tepat.

13
3. Resiko jatuh  Risk Kontrol Environment
berhubungan dengan  Kriteria Hasil : Management
keterbatasan lapang  Klien terbebas (Manajemen lingkungan)
pandang dari cedera  Sediakan lingkungan
 Klien mampu yang aman untuk
menjelaskan pasien
cara/metode  Identifikasi kebutuhan
untukmencega keamanan pasien,
h injury/cedera sesuai dengan kondisi
 Klien mampu fisik dan fungsi
menjelaskan kognitif pasien dan
factor resiko riwayat penyakit
dari terdahulu pasien
lingkungan/per  Menghindarkan
ilaku personal lingkungan yang
 Mampumemod berbahaya (misalnya
ifikasi gaya memindahkan
hidup perabotan)
untukmencega  Memasang side rail
h injury tempat tidur
 Menggunakan  Menyediakan tempat
fasilitas tidur yang nyaman dan
kesehatan yang bersih
ada  Menempatkan saklar
 Mampu lampu ditempat yang
mengenali mudah dijangkau
perubahan pasien.
status  Membatasi pengunjung
kesehatan
 Memberikan
penerangan yang
cukup
 Menganjurkan
keluarga untuk
menemani pasien.
 Mengontrol
lingkungan dari
kebisingan

14
 Memindahkan barang-
barang yang dapat
membahayakan
 Berikan penjelasan
pada pasien dan
keluarga atau
pengunjung adanya
perubahan status
kesehatan dan
penyebab penyakit.

4. Resiko Cedera  Risk Kontrol Environment


berhubungan dengan  Kriteria Hasil : Management
keterbatasan lapang  Klien terbebas (Manajemen lingkungan)
pandang dari cedera  Sediakan lingkungan
 Klien mampu yang aman untuk
menjelaskan pasien
cara/metode  Identifikasi kebutuhan
untukmencega keamanan pasien,
h injury/cedera sesuai dengan kondisi
 Klien mampu fisik dan fungsi
menjelaskan kognitif pasien dan
factor resiko riwayat penyakit
dari terdahulu pasien
lingkungan/per  Menghindarkan
ilaku personal lingkungan yang
 Mampumemod berbahaya (misalnya
ifikasi gaya memindahkan
hidup perabotan)
untukmencega  Memasang side rail
h injury tempat tidur
 Menggunakan  Menyediakan tempat
fasilitas tidur yang nyaman dan
kesehatan yang bersih
ada
 Menempatkan saklar
 Mampu lampu ditempat yang
mengenali mudah dijangkau
perubahan pasien.

15
status  Membatasi pengunjung
kesehatan  Memberikan
penerangan yang
cukup
 Menganjurkan
keluarga untuk
menemani pasien.
 Mengontrol
lingkungan dari
kebisingan
 Memindahkan barang-
barang yang dapat
membahayakan
 Berikan penjelasan
pada pasien dan
keluarga atau
pengunjung adanya
perubahan status
kesehatan dan
penyebab penyakit.

d. Evaluasi
Setelah mendapat implementasi keperawatan, maka pasien dengan
tunanetra diharapkan sebagai berikut:
1) Gangguan persepsi sensori pengelihatan dapat teratasi
2) Pengetahuan pasien tentang penyakitnya bertambah
3) Pasien mampu beraktivitas dan terhindar dari resiko terjatu.
4) Pasien terhindar dari resiko cedera

16
B. Anak Dengan Korban Pemerkosaan
1. Pengertian
Pemerkosaan adalah suatu tindak kriminal kekerasan dan penghinaan terhadap
seorang wanita yang dilakukan melalui cara seksual, diluar keinginan dan tanpa
persetujuan wanita tersebut, baik secara paksa atau wanita takut akan paksaan atau
karena obat-obatan atau minuman keras (Videback 2008: 286). Dalam hal ini
terjadi pemaksaan bahkan efek dari obat-obatan terhadap wanita korban dari
pemerkosaan termasuk wanita yang tidak mampu melakukan penilaian yang
rasional dan juga wanita berusia di bawah usia yang sudah dapat memberi
persetujuan. Taylor, dkk (2009: 528) juga mengemukakan bahwa Rape atau
pemerkosaan adalah aktivitas seksual paksa tanpa persetujuan partner.
Pemerkosaan adalah segala bentuk pelecehan seksual termasuk anal dan oral
yang tidak ada persetujuan dari korban dan dapat menyebabkan defisiensi mental,
psikosis atau perubahan tingkat kesadaran seperti dalam keadaan tidur penggunaan
obat-obat atau penyakit (Wong 2009: 627). Pendapat ini senada dengan definisi
pemerkosaan menurut Kaplan dan Sadock (1998: 398) adalah suatu perbuatan
senggama terhadap korban yang tidak menghendaki secara paksa dan dengan
kekerasan, juga senggama melalui dubur dan felasio (dengan mulut) dapat
dilakukan dengan kekerasan dan dipaksakan sehingga dapat disebut perkosaan
juga.
Wicaksana (2008: 90) menyatakan secara sederhana definisi pemerkosaan
adalah penganiayaan fisik dan emosional yang mengakibatkan kegoncangan psikis
bagi korbannya. Pemerkosan meninggalkan korbannya dengan luka-luka batin
yang sulit disembuhkan dan sering kali sangat malu untuk melaporkan diri.
Sekitar setengah jumlah pemerkosaan dilakukan oleh orang yang tidak dikenal
dan setengah sisanya oleh pria yang dikenal oleh korban (Videback 2008: 286).
Pemerkosaan dapat terjadi antara orang yang tidak saling kenal, antar teman, orang
yang sudah menikah, dan sesama jenis.

17
2. Tanda dan Gejala
a. Terdapat stressor yang berat dan jelas (kekerasan, perkosaan, yang akan
menimbulkan gejala penderitaan yang berarti bagi hampir setiap orang.
b. Penghayatan yang berulang-ulang dari trauma itu yang dibuktikan oleh
terdapatnya paling sedikit satu dari hal berikut:
1) Ingatan berulang dan menonjol tentang peristiwa itu.
2) Mimpi-mimpi berulang dari peristiwa itu.
3) Timbulnya secara tiba-tiba perilaku atau perasaan seolah-olah
peristiwa traumatik itu sedang timbul kembali, karena berkaitan
dengan suatu gagasan atau stimulus/rangsangan lingkungan.
c. Penumpulan respons terhadap atau berkurangnya hubungan dengan dunia
luar (“psychicnumbing” atau “anesthesia emotional” yang dimulai beberapa
waktu sesudah trauma dan dinyatakan paling sedikit satu dari hal berikut:
1) Berkurangnya secara jelas minat terhadap satu atau lebih aktivitas
yang cukup berarti.
2) Perasaan terlepas atau terasing dari orang lain.
3) Afek (alam perasaan) yang menyempit (constricted affect) atau afek
depresif (murung, sedih, putus asa).
d. Paling sedikit ada dua dari gejala-gejala berikut ini yang tidak ada sebelum
trauma terjadi, yaitu
1) Kewaspadaan atau reaksi terkejut yang berlebihan.
2) Gangguan tidur (disertai mimpi-mimpi yang menggelisahkan).
3) Perasaan bersalah karena lolos dari bahaya maut, sedangkan orang
lain tidak, atau merasa bersalah tentang perbuatan yang dilakukannya
agar tetap hidup.
4) Hendaya (impairment) daya ingat atau kesukaran konsentrasi.
5) Penghindaran diri dari aktivitas yang membangkitkan ingatan tentang
peristiwa traumatik itu.
6) Peningkatan gejala-gejala apabila dihadapkan pada peristiwa yang
menyimbolkanatau menyerupai peristiwa traumatik itu.

18
3. Dampak Pemerkosaan
Tindak pemerkosaan membawa dampak emosional dan fisik pada korbannya
a. Secara emosional
1) Perasaan mudah marah
2) Takut, cemas dan gelisah
3) Rasa bersalah
4) Malu, reaksi-reaksi lain yang bercampur aduk
5) Merasa menyalahkan diri sendri
6) Menangis billa mengingat peristiwa tersebut
7) Ingin melupakan peristiwa yang telah terjadi
8) Merasa takut berhubungan intim
9) Merasa diri tidak normal, kotor, berdosa dan tidak berguna
10) Stress, depresi dan gangguan jiwa
11) Ingin bunuh diri
b. Secara fisik
1) Penurunan nafsu makan
2) Merasa lelah, tidak ada gairah, sulit tidur dan sakit kepala
3) Selalu ingin muntah
4) Perut dan vagina selalu merasa sakit
5) Beresiko tertular PMS
6) Luka di tubuh akibat pemerkosaan dengan kekerasan dan lainnya
4. Klasifikasi
Klasifikasi dari seksual abuse pada anak
a. Pemerkosaan
Pemerkosaan adalah jenis kekerasan yang paling mendapat sorotan.
Diperkirakan 22% perempuan dan 2% laki-laki pernah menjadi korban
perkosaan. Untuk di Amerika saja, setiap 2 menit terjadi satu orang
diperkosa. Hanya 1 dari 6 perkosaan yang dilaporkan ke polisi. Sebagian
besar perkosaan dilakukan oleh orang yang mengenal korban alias orang
dekat korban.

19
b. Kekerasan seksual terhadap anak-anak
Suatu tinjauan baru-baru ini terhadap 17 studi dari seluruh dunia
menunjukkan bahwa di manapun, sekitar 11% sampai dengan 32%
perempuan dilaporkan mendapat perlakuan atau mengalami kekerasan
seksual pada masa kanak-kanaknya. Umumnya pelaku kekerasan adalah
anggota keluarga, orang-orang yang memiliki hubungan dekat, atau teman.
Mereka yang menjadi pelaku kekerasan seksual terhadap anak biasanya
adalah korban kekerasan seksual pada masa kanak-kanak.
c. Kekerasan seksual terhadap pasangan
Kekerasan ini mencakup segala jenis kekerasan seksual yang dilakukan
seseorang terhadap pasangan seksualnya. Sebesar 95% korban kekerasan
adalah perempuan. Temuan penelitian yang dilakukan Rifka Annisa
bersama UGM, UMEA University, dan Women ’s Health Exchange USA
di Purworejo, Jawa Tengah, Indonesia, pada tahun 2000 menunjukkan
bahwa 22% perempuan mengalami kekerasan seksual. Sejumlah 1 dari 5
perempuan (19%) melaporkan bahwa biasanya mereka dipaksa untuk
melakukan hubungan seksual dengan pasangan mereka selama dipukuli.
Termasuk kekerasan seksual adalah kekerasan yang dilakukan seorang
laki-laki terhadap seorang perempuan, semata-mata karena sang korban
adalah perempuan. Istilah untuk ini adalah kekerasan berbasis gender.
d. Kekerasan fisik: Menampar, memukul, menendang, mendorong,
mencambuk, dll.
e. Kekerasan emosional/ verbal: Mengkritik, membuat pasangan merasa
bersalah, membuat permainan pikiran, memaki, menghina, dll.
f. Ketergantungan finansial: Mencegah pasangan untuk mendapat pekerjaan,
membuat pasangan dipecat, membuat pasangan meminta uang, dll.
g. Isolasi sosial: Mengontrol pasangan dengan siapa boleh bertemu dan di
mana bisa bertemu, membatasi gerak pasangan dalam pergaulan, dll.
h. Kekerasan seksual: Memaksa seks, berselingkuh, sadomasokisme, dll.

20
i. Pengabaian/penolakan: Mengatakan kekerasan tidak pernah terjadi,
menyalahkan pasangan bila kekerasan terjadi, dll.
j. Koersi, ancaman, intimidasi: Membuat pasangan khawatir, memecahkan
benda-benda, mengancam akan meninggalkan, dll
5. Patofisiologi
Menurut Maria (2008) kekerasan seksual pada anak dapat terjadi satu kali,
beberapa kali dalam periode berdekatan, bahkan menahun. Walaupun berbeda-
beda pada setiap kasus, kekerasan seksual tidak terjadi begitu saja, melainkan
melalui beberapa tahapan antara lain:
a. Tahap awal, pelaku membuat korban merasa nyaman. Ia menyakinkan
bahwa apa yang dilakukannya "tidak salah" secara moral. Pelaku mencoba
menyentuh sisi kbutuhan anak akan kasih saying dan perhhatian,
penerimaan dari orang lain, atau mencoba menyamakannya dengan
permainan dan menjanjikan imbalan material yang menyenangkan. Pelaku
dapat mengintimidasi secara halus ataupun bersikap memaksa secara kasar.
b. Tahap kedua, adalah interaksi seksual. Perilaku yang terjadi bisa saja hanya
berupa mengintip sampai perilaku yang intensitasnya berat, yaitu
memakasa anak untuk melakukan hubungan seksual. Setelah kejadian
tersebut, pelaku mengancam korban agar merahasiakan apa yang terjadi
kepada orang lain.
c. Tahap berikutnya, adalah tahapan dimana korban mau menceritakan
pengalamannya kepada orang lain. Kemungkinan korban merahasiakan
pengalamannya sampai berusia dewasa, atau menceritakannya kepada
orang yang mempunyai kedekatan emosional dengannya, sehingga ia
merasa aman. Pelaku "mencobai" korban sedikit demi sedikit, mulai dari :
1) Pelaku membuka pakaiannya sendiriu
2) Pelaku meraba-raba tubuh bagian tubuhnya sendiri
3) Pelaku memperlihatkan alat kelaminnya
4) Pelaku mencium korban dengan pakaian lengkap

21
5) Pelaku meraba bagian-bagian tubuh korban : payudara, alat kelamin
dan bagian lainnya.
6) Mastrubasi dilakukan oleh pelaku sendiri atau pelaku dan korban
saling menstimulasi
7) Oral sex dengan menstimulasi alat kelamin korban
8) Sodomi
9) Petting
10) Penetrasi alat kelamin pelaku
6. Penatalaksanaan
Menurut suda (2006) ada beberapa model program counseling yang dapat
diberikan kepada anak yang mengalami seksual abuse yaitu
a. The dynamics of sexual abuse
Artinya, terapi difokuskan pada pengambangan konsepsi. Pada kasus
tersebut kdsalahan dan tanggung jawa berada pada pelaku bukan pada
korban. Anak dijamin tidak disalahkan meskipun telah terjadi kontak
seksual.
b. Protective behaviors counseling
Artinya, anak-anak dilatih menguasai keterampilan mengurangi
kerentannya sesuai dengan usia. Pelatihan anak prasekolah dapat dibatasi;
berkata tidak terhadap sentuhan-sentuhan yang tidak diinginkan; menjauh
secepatnya dari orang yang kelihatan sebagai abusive person; melaporkan
pada orangtua atau orang dewasa yang dipercaya dapat membantu
menghentikan perlakuan salah.
c. Survivor/ self-esteem counseling
Artinya, menyadarkan anak-anak yang menjadi korban bahwa mereka
sebenarnya bukanlah korban, melainkan orang yang mampu bertahan
(survivor) dalam menghadapi masalah sexual abuse. Keempat, feeling
counseling. Artinya, terlebih dahulu harus diidentifikasi kemampuan anak
yang mengalami sexual abuse untuk mengenali berbagai perasaan.

22
Kemudian mereka didorong untuk mengekspresikan perasaan-
perasaannya yang tidak menyenangkan, baik pada saat mengalami sexual
abuse maupun sesudahnya. Selanjutnya mereka diberi kesempatan untuk
secara tepat memfokuskan perasaan marahnya terhadap pelaku yang telah
menyakitinya, atau kepada orang tua, polisi, pekerja sosial, atau lembaga
peradilan yang tidak dapat melindungi mereka.
d. Cognitif terapy
Artinya, konsep dasar dalam teknik ini adalah perasaan-perasaan
seseorang mengenai beragam jenis dalam kehidupannya dipengaruhi oleh
pikiran-pikiran mengenai kejadian tersebut secara berulang-lingkar
7. Pengobatan
Ada dua macam terapi pengobatan yang dapat dilakukan korban
pemerkosaan yaitu dengan menggunakan farmakoterapi dan psikoterapi
a. Farmakoterapi
Mulai terapi obat hanya dalam hal kelanjutan pengobatan pasien yang
sudah dikenal. Tetapi dengan anti depresiva pada gangguan stress pasca
traumatic ini masih kontroversial. Obat yang biasa digunakan adalah
benzodiazepin, litium, camcolit dan zat pemblok beta seperti propranolol,
klonidin dan karbamazepin. obat tersebut biasanya diresepkan sebagai obat
yang sudah diberikan sejak lama dan kini dilanjutkan sesuai yang
diprogramkan, dengan kekecualian, yaitu Benzodiazepin. Contoh
estazolam 0,6 mg per os, Oksanazepam 10-30 mg per os, Diazepam
(valium) 5-10 mg per os. Klonazepam 0,25-0,5 mg per os atau Lorazepam
1-2 mg per os atau IM juga dapat digunakan dalam UGD atau kamar
praktek terhadap ansietas yang gawat dan agitasi yang timbul bersama
gangguan stress pasca traumatic tersebut.

23
b. Psikoterapi
1) Anxiety management
Pada anxiety management, terapi akan mengajarkan beberapa
keterampilan untuk membantu mengatasi gejala korban pemerkosaan
dengan lebih baik
2) Relaxtion training
Yaitu belajar untuk mengontrol ketakutan dan kecemasan secara
sistematis dan merelaksasikan kelompok ootot-otot utama
3) Breathing retraining
Yaitu belajar bernafas dengan perut secara perlahan-lahan, santai dan
menghindari bernafasdengan tergesa-gesa yang menimbulkan
perasaan tidak nyaman, bahkan reaksi fisik yang tidak baik seperti
jantung berdebar dan sakit kepala.
4) Positive thinking dan self-talk
Caitu belajar untuk menghilangkan pikiran negatif dan mengganti
dengan pikiran positif ketika menghadapi hal-hal yang membuat stress
(stressor)
8. Beban Psikologis dan Kesehatan Korban Pemerkosaan
Kondisi, dampak, dan tantangan yang dihadapi tiap korban
pemerkosaan berbeda satu sama lain.Terasa takut, cemas, panik, shock atau
bersalah adalah hal yang wajar. Luka yang mereka rasakan dapat menetap dan
berdampak hingga seumur hidup. Banyak korban yang merasa kehilangan
kepercayaan diri dan kendali atas hidup mereka sendiri. Hal ini juga dapat
membuat mereka kesulitan mengungkapkan yang terjadi pada diri mereka,
meski cerita mereka sangat dibutuhkan untuk menindak pelaku, berbagai
perasaan yang campur aduk dan situasi rumittersebut akan membawa dampak
bagi kesehatan dan psikologis mereka.

24
a. Beban Psikologis
Tindak pemerkosaan pasti mendatangkan trauma bagi yang
mengalaminya, respons tiaporang terhadap pemerkosaan yang
menimpanya pasti berbeda dengan munculnya berbagai perasaan yang
menjadi satu dan bahkan dapat baru terlihat lama setelah peristiwa
tersebut terjadi. Berikut ini adalah beberapa perubahan psikologis yang
umumnya dialami korban
1) Menyalahkan diri sendiri
Sikap menyalahkan diri sendiri adalah kondisi yang paling umum
dialami korban pemerkosaan. sikap inilah yang paling menghambat
proses penyembuhan. Korban pemerkosaan dapat berisiko
menyalahkan diri sendiri karena dua hal
a) Menyalahkan diri karena perilaku.
Mereka menganggap ada yang salah dalam
tindakanmereka sehingga akhirnya mengalami tindakan
pemerkosaan. mereka akan terus merasauntuk seharusnya
berperilaku berbeda sehingga tidak diperkosa.
b) Menyalahkan diri karena merasa ada sesuatu yang salah di
dalam diri mereka sendiri sehingga mereka pantas
mendapatkan perlakuan kasar.
Sayangnya orang-orang terdekat, seperti pasangan,
belum tentu dapat mendukung pulihnya kondisi pasien,
sebagian kerabat korban mungkin merasa tidak dapat
menerima kenyataan atau justru menyalahkan sehingga korban
makin berada dalam posisi yang sulit. Kebanyakan korban
pemerkosaan juga tidak dapat dengan mudah diyakinkan
bahwa ini bukanlah salah mereka.

25
Rasa malu ini kemudian berhubungan erat dengan
gangguan lain, seperti pola makan, kecemasan, depresi,
mengonsumsi minuman keras dan obat-obatanterlarang, serta
gangguan mental lain. Kondisi ini dapat diatasi dengan terapi
perilaku kognitif dalam melakukan reka ulang proses
penyusunan fakta dan logika dalam pikiran.
2) Bunuh diri
Kondisi stres pascatrauma membuat korban pemerkosaan lebih
berisiko untuk memutuskan bunuh diri. Tindakan ini terutama
dipicu oleh rasa malu dan merasa tidak berharga.
3) Kriminalisasi korban pemerkosaan
Ada budaya dan kelompok masyarakat tertentu, korban
pemerkosaan dapat menjadikorban untuk kedua kalinya karena
dianggap telah berdosa dan tidak layak hidup. Mereka diasingkan
dari masyarakat, tidak diperbolehkan menikah, atau diceraikan (jika
telah menikah) Dalam kelompok masyarakat lain, kriminalisasi pun
dapat terjadi ketika korban disalahkan karena dianggap perilaku
atau cara berpakaiannya yang menjadi penyebab diperkosa.
Selain itu, korban berisiko mengalami hal-hal lain seperti depresi,
merasa seakan-akan peristiwa tersebut terulang terus-menerus,
sering merasa cemas dan panik, mengalamigangguan tidur dan
sering bermimpi buruk , sering menangis, menyendiri, menghindari
pertemuan dengan orang lain, atau sebaliknya tidak mau ditinggal
sendiri. Ada kalanya mereka menarik diri dan menjadi pendiam,
atau justru menjadi pemarah
4) Efek terhadap fisik korban
Selain luka psikologis, korban pemerkosaan membawa luka
pada tubuhnya, sebagian mungkin terlihat, namun sebagian lagi
barangkali baru dapat dideteksi beberapa waktu kemudian.

26
Sementara secara fisik mereka dapat terlihat mengalami
perubahan pola makan atau gangguan pola makan. Tubuh mereka
bisa terlihat tidak terawat, berat badan turun, dan luka pada tubuh
seperti memar atau cedera pada vagina
Berikut beberapa kondisi yang umum terjadi pada korban
pemerkosaan
a) Penyakit menular seksual (PMS)
Penetrasi vagina yang dipaksakan membuat terjadinya
luka yang membuat virus dapat masuk melalui mukosa vagina.
Kondisi ini lebih rawan terjadi pada anak atau remaja yang
lapisan mukosa vaginanya belum terbentuk dengan kuat. Meski
belum ada tanda-tanda yang terasa, namun korban
pemerkosaan sebaiknya memeriksakan diri untuk mendeteksi
kemungkinan terkena penyakit menular seksual infeksi seperti
HIV (virus yang menyebabkan AIDS) dapat ditangani dengan
post-exposure prophylaxis (PEP) yaitu perawatan profilaksis
setelah tubuh terpapar penyakit. Namun perawatan ini harus
dilakukan sesegera mungkin.
b) Penyakit lain
Selain penyakit menular seksual, korban perkosaan umumnya
menderitakonsekuensi yang berpengaruh pada kesehatan
mereka
 Peradangan pada vagina atau vaginitis
 Infeksi atau perdarahan pada vagina atau anus
 Gangguan hasrat seksual hipoaktif (hypoactive sexual
desire disorder /HSDD) keengganan esktrem untuk
berhubungan seksual atau justrumenghindari semua atau
hampir semua kontak seksual.
 Nyeri saat berhubungan seksual, disebut juga dyspareunia.

27
 Vaginismus kondisi yang memengaruhi kemampuan
wanita untuk merespons penetrasi ke vagina akibat otot
vagina yang berkontraksi di luar kontrol.
 Infeksi kantong kemih
 Nyeri panggul kronis
c) Kehamilan yang tidak diinginkan
Kehamilan adalah salah satu kondisi dan konsekuensi
terberat yang mungkinterjadi pada korban pemerkosaan. Belum
berhasil menyembuhkan diri sendiri, mereka harus dihadapkan
pada kenyataan adanya kehidupan lain di dalam tubuhnya yang
sebenarnya tidak mereka harapkan. kondisi psikologis wanita
yang buruk dapat membuat bayi berisiko tinggi mengalami
kondisi kelainan atau lahir premature. Dampak fisik mungkin
dapat sembuh dalam waktu lebih singkat. Namun dampak
psikologis dapat membekas lebih lama. peran keluarga, kerabat,
dokter, dan terapis akan menjadi kunci dari kesembuhan dan
ketenangan bagi mereka yang menjadi korban pemerkosaan.
9. Asuhan Keperawatan Anak dengan Korban Pemerkosaan
a. Pengkajian
Menurut Doenges et.al (2007) pengkajian anak yang mengalami
penganiayaan seksual (sexual abus) antara lain:
1) Aktivitas atau istirahat: Masalah tidur (misalnya tidak padat tidur atau
tidur berlebihan, mimpi burukm, berjalan saat tidur, tidur di tempat yang
asing, keletihan.
2) Integritas ego
a) Pencapaian diri negatif, menyalahkan diri sendiri/meminta ampun
karena tindakannya terhadap orang tua.
b) Harga diri rendah (pelaku/korban penganiayaan seksual yang
selamat).

28
c) Perasaan bersalah, marah, takut dan malu, putus asa dan atau tidak
berdaya.
d) Minimisasi atau penyangkalan signifikasi perilaku (mekanisme
pertahanan yang paling dominan/menonjol).
e) Penghindaran atau takut pada orang, tempat, objek tertentu, sikap
menunduk, takut (terutama jika ada pelaku).
f) Melaporkan faktor stres (misalnya keluarga tidak bekerja,
perubahan finansial, pola hidup, perselisihan dalam pernikahan).
g) Permusuhan terhadap/objek/tidak percaya pada orang lain.
3) Eliminasi
a) Enuresisi, enkopresis.
b) Infeksi saluran kemih yang berulang.
c) Perubahan tonus sfingter.
4) Makan dan minum: Muntah sering, perubahan selera makan
(anoreksia), makan berlebihan, perubahan berat badan, kegagalan
memperoleh berat badan yang sesuai.
5) Higiene
a) Mengenakan pakaian yang tidak sesuai dengan kondisi cuaca
(penganiayaan seksual) atau tidak adekuat memberi perlindungan
b) Mandi berlebihan/ansietas (penganiayaan seksual), penampilan
kotor/tidak terpelihara.
6) Neurosensori
a) Perilaku ekstrem (tingkah laku sangat agresif/menuntut), sangat
amuk atau pasivitas dan menarik diri, perilaku tidak sesuai dengan
usia.
b) Status mental: memori tidak sadar, periode amnesia, laporan adanya
pengingatan kembali. Pikiran tidak terorganisasi, kesulitan
konsentrasi/membuat keputusan. Afek tidak sesuai, mungkin
sangat waspada, cemas dan depresi.

29
c) Perubahan alam perasaan, kepribadian ganda, cinta, kebaikan dan
penyesalan yang dalam setelah penganiayaan seksual terjadi.
d) Kecemburuan patologis, pengendalian impuls yang buruk,
ketrampilan koping terbatas, kurang empati terhadap orang lain.
e) Membantung. Menghisap jempol atau perilaku kebiasaan lain:
gelisah (korban selamat).
f) Manifestasi psikiatrik (misal: fenomena disosiatif meliputi
kepribadian ganda (penganiayaan seksual), gangguan kepribadian
ambang (koeban inses dewasa).
g) Adanya defisit neurologis/kerusakaan SSP tanpa tanda-tanda
cedera eksternal.
7) Nyeri atau Ketidaknyamanan
a) Bergantung pada cedera/bentuk penganiayaan seksual.
b) Berbagai keluhan somatik (misalnya nyeri perut, nyeri panggul
kronis, spastik kolon, sakit kepala).
8) Keamanan
a) Memar, tanda bekas gigitan, bilur pada kulit, terbakar (tersiran air
panas, rokok) ada bagian botak di kepala, laserasi, perdarahan yang
tidak wajar, ruam/gatal di area genital, fisura anal, goresan kulit,
hemoroid, jaringan parut, perubahan tonus sfingter.
b) Cedera berulang, riwayat bermacam kecelakaan, fraktur/ cedera
internal.
c) Perilaku mencederai diri sendiri (bunuh diri), keterlibatan dalam
aktivitas dengan risiko tinggi.
d) Kurangnya pengawasan sesuai usia, tidak ada perhatian yang dapat
menghindari bahaya di dalam rumah

30
9) Seksualitas
a) Perubahan kewaspadaan/aktivitas seksual, meliputi masturbasi
kompulsif, permainan seks dewasa sebelum waktunya,
kecenderungan mengulang atau melakukan kembali pengalaman
inses. Kecurigaan yang berlebihan tentang seks, secara seksual
menganiaya anak lain.
b) Perdarahan vagina, laserasi himen linier, bagian mukosa berlendir.
c) Adanya PMS, vaginitis, kutil genital atau kehamilan (terutama pada
anak).
10) Interaksi Sosial
Melarikan diri dari rumah, pola interaksi dalam keluarga secara
verbal kurang responsif, peningkatan penggunaan perintah langsung
dan pernyataan kritik, penurunan penghargaan atau pengakuan verbal,
merasa rendah diri. Pencapaian restasi dis ekolah rendah atau prestasi
di sekolah menurun
b. Diagnosa Keperawatan
Menurut Townsend (1998), dan Doenges et.al (2007) diagnosa
keperawatan yang dapat dirumuskan pada anak yang mengalami sexual
abuse antara lain:
1) Sindrom trauma perkosaan berhubungan dengan menjadi korban
perkosaan seksual yang dilakukan dengan menggunakan kekuatan
dan berlawanan dengan keinginan dan persetujuan pribadi seseorang.
2) Ketidakberdayaan berhubungan dengan harga diri rendah.
3) Perubahan pertumbuhan dan perkembangan berhubungan dengan
pengasuhan yang tidak adekuat dan penderitaan oleh pengasuh dari
nyeri fisik atau cidera dengan tujuan untuk menyebabkan bahaya,
biasanya terjadi dalam waktu.
4) Ansietas (sedang sampai berat) berhubungan dengan ancaman
konsep diri, rasa takut terhadap kegagalan, disfungsi system keluarga
dan hubungan antara orang tua dan anak yang tidak memuaskan.

31
5) Gangguan harga diri rendah berhubungan dengan koping individu
tidak efektif.
6) Gangguan pola tidur berhubungan dengan a nsietas dan hiperaktif.
7) Koping defensif berhubungan dengan harga diri rendah, kurang
umpan balik atau umpan balik negatif yang berulang yang
mengakibatkan penurunan makna diri.
8) Koping keluarga tidak efektif berhubungan dengan perasaan bersalah
yang berlebihan, marah atau saling menyalahkan diantara anggota
keluarga mengenai perilaku anak, kepenatan orang tua karena
menghadapi anak dengan gangguan dalam jengka waktu lama.
9) Defisit pengetahuan tentang kondisi, prognosis, perawatan diri dan
kebutuhan terapi berhubungan dengan kurang sumber informasi,
interpretasi yang salah tentang informasi
c. Intervensi Keperawatan
Menurut Videbeck (2008), Townsend (1998), dan Doenges et.al (2007)
intervensi keperawatan yang dapat dirumuskan untuk mengatasi diagnosa
keperawatan diatas antara lain :
1) Sindrom trauma perkosaan berhubungan dengan menjadi korban
perkosaan seksual yang dilakukan dengan menggunakan kekuatan
dan berlawanan dengan keinginan dan persetujuan pribadi seseorang
Tujuan :
a) Tujuan jangka pendek: Luka fisik anak akan sembuh tanpa
komplikasi.
b) Tujuan jangka panjang: anak akan mengalami resolusi berduka
yang sehat, memulai proses penyembuhan psikologis
Intervensi:
a) Smith (1987) menghubungkan pentingnya
mengkomunikasikan empat ucapan berikut ini pada korban
perkosaan: saya prihatin hal ini terjadi padamu, anda aman
disini, saya senang anda hidup, anda tidak bersalah.

32
Anda adalah korban. Ini bukan kesalahan anda. Apapun
keputusan yang Anda buat pada saat pengorbanan adalah hak
seseorang karena anda hidup.
Rasional : Wanita tau anak yang telah diperkosa secara seksual
takut terhadap kehidupannya dan harus diyakinkan kembali
keamanannya. Ia mungkin juga sangat ragu-ragu dengan
dirinya dan menyalahkan diri sendiri dan pernyataan-
pernyataan ini membangkitkan rasa percaya secara bertahap
dan memvalidasi harga diri anak.
b) Jelaskan setiap prosedur pengkajian yang akan dilakukan dan
mengapa dilakukan. Pastikan bahwa pengumpulan data
dilakukan dalam perawatan, cara tidak menghakimi.
Rasional : Untuk menurunkan ketakutan atau ansietas dan
untuk meningkaytkan rasa percaya.
c) Pastikan bahwa anak memiliki privasi yang adekuat untuk
semua intervensi-intervensi segera pasca krisis. Cobaan sedikit
mungkin orang yang memberikan perawatan segera atau
mengumpulkan bukti segera. Atau mengumpulkan bukti
segera.
Rasional : Anak pasca trauma sangat rentan. Penambahan
orang dalam lingkungannya meningkatkan perasaan rentan ini
dan bertindak meningkatkan ansietas.
d) Dorong anak untuk menghitung jumlahs erangan kekerasan
seksual. Dengarkan, tetapi tidak menyelidiki.
Rasional : Mendengarkan dengan tidak menghakimi
memberikan kesempatan untuk katarsis bahwa anak perlu
memulai pemulihan. Jumlah yang rinci mungkin dibutuhkan
untuk tindak lanjut secara legal, dan seorang perawat sebagai
pembela anak dapat menolong untuk mengurangi trauma dari
pengumpulan bukti

33
e) Diskusikan dengan anak siapa yang dapat dihubung untuk
memberikan dukungan atau bantuan. Berikan informasi
tentang rujukan setelah perawatan.
Rasional : Karena ansietas berat dan rasa takut, anak mungkin
membutuhkan bantuan dari orang lain selama periode segera
pasca-krisis. Berikan informasi rujukan tertulis untuk referensi
selanjutnya (misalnya psikoterapi, klinik kesehatan jiwa,
kelompok pembela masyarakat)
2) Ketidakberdayaan berhubungan dengan harga diri rendah
Tujuan :
a) Tujuan jangka pendek : Anak mengenali dan menyatakan
secara verbal pilihan-pilihan yang tersedia dengan demikian
merasakan beberapa kontrol terhadap situasi kehidupan
(dimensi waktu ditentukan secara individu).
b) Tujuan jangka panjang : Anak memperlihatkan kontrol situasi
kehidupan dengan membuat keputusan tentang apa yang harus
dilakukan berkenaan dengan hidup bersama siklus
penganiyaan seksual (dimensi waktu ditentukan secara
individual)
Intervensi :
a) Dalam berkolaburasi dengan tim medis, pastikan bahwa semua
cedera fisik, fraktur, luka bakar mendapatkan perhatian segera,
mengambiul foto jika anak mengijinkan merupakan ide yang
baik.
Rasional : Keamanan anak merupakan prioritas keperawatan.
Foto dapat digunakan sebagai bukti jika tuntutan dilakukan
b) Bawa anak wanita tersebut ke dalam area yang pribadi untuk
melakukan
wawancara.

34
Rasional : Jika anak disertai dengan pria yang melakukan
pelecehan seksual pada anak, kemungkinan besar ia tidak jujur
sepenuhnya tentang cederanya atau pengalaman seksualnya.
c) Jika seorang anak wantia datang sendiri atau berserta dengan
orang tuanya, pastikan tentang keselamatannya. Dorong untuk
mendiskusikan peristiwa pemerkosaan yang telah dilakukan.
Tanyakan pertanyaan tentang apakah hal ini telah terjadi
sebelumnya. Jika pelaku kekerasan seksual minum obat bius,
jika anak tersebut memiliki tempat yang aman untuk pergi dan
apakah ia berminat dalam tuntutan yang mendesak
Rasional : Beberapa anak wanita berusaha untuk menyimpan
rahasia tentang bagimana cedera seksual yang dideritanya
terjadi dalam usaha untuk melindungi orang tuanya atau
saudaranya atau karena mereka takut bahwa orang tuanya atau
saudaranya akan membunuh mereka jika menceritakan hal
tersebut.
d) Pastikan bahwa usaha-usaha menyelamatkan tidak diusahakan
oleh perawat. Berikan dukungan, tetapi ingat bahwa keputusan
akhir harus dibuat oleh anak Rasional : Membuat keputusan
untuk dirinya sendiri memberikan rasa kontrol situasi
kehidupannya sendiri. Memberikan penilaian dan nasehat
adalah tidak terapeutik.
e) Tekankan pentingnya keamanan, smith (1987) menyarankan
suatu pernyataan seperti, ya itu telah terjadi. Sekarang ke mana
anda ingin pergi dari sini?. Burgess (1990) menyatakan
"Korban perlu dibuat sadar tentang berbagai sumber yang
tersedia untuk dirinya. Hal ini dapat mencakup hotline krisis,
kelompok-kelompok masyarakat untuk wanita dan anak yang
pernah dianiaya secara seksual, tempat perlindungan, berbagai
tempat konseling.

35
Rasional : Pengetahuan tentang pilihan-pilihan yang tersedia
dapat membantu menurunkan rasa tidak berdaya dari korban,
tetapi kewenangan yang sesungguhnya datang hanya saat ia
memilih untuk menggunakan pengetahuan itu bagi
keuntungannya sendiri.
3) Perubahan pertumbuhan dan perkembangan berhubungan dengan
pengasuhan yang tidak adekuat dan penderitaan oleh pengasuh dari
nyeri fisik atau cidera dengan tujuan untuk menyebabkan bahaya,
biasanya terjadi dalam waktu lama
Tujuan :
a) Tujuan jangka pendek : Anak akan mengembangkan hubungan
saling percayadengan perawat dan melaporkan bagaimana
tanda cedera terjadi (dimensiwaktu ditentukan secara
individu).
b) Tujuan jangka panjang : Anak akan mendemonstrasikan
perilaku yangkonsisten dengan usia tumbuh dan kembangnya.
Intervensi :
a) Lakukan pemeriksaan fisik secara menyeluruh pada anak. Buat
catatabyang teliti dari luka memarnya (dalam berbagai tahap
penyembuhan), laserasi, dan keluhan anak tentang area nyeri
pada derah yang spesifik,misalnya kemaluan. Jangan
mengabaikan atau melalaikan kemungkinan penganiayaan
seksual. Kaji tanda nonverbal penganiayaan, perilakuagresif,
rasa takut yang berlebihan, hiperaktivitas hebat, apatis,
menarik diri, perilaku yang tidaks esuai dengan usianya
Rasional : Suatu pemeriksaan fisik yang akurat dan seksama
dibutuhkan agar perawatan yang tepat dapat diberikan untuk
pasien.
b) Adakan wawancara yang dalam dengan orang tua atau orang
dekat yang menyertai anak. Pertimbangkan jika cidera

36
dilaporkan sebagai suatukecelakaan, apakah penjelasan ini
berlasan? Apakah cedera tersebutkonsisten dengan penjelasan
yang diberikan? Apakah cedera tersebutkonsisten dengan
kemampuan perkembangan anak? Rasional : Ketakutan
terhadap hukuman penjara atau kehilangan kesempatan
memelihara anak mungkin menempatkan orang tua penyiksa
pada sikap membela diri. Ketidaksesuaian dapat ditandai dalam
deskripsi kejadian, danadanya usaha untuk menutupu
keterlibatan merupakan suatu pertahanan diriyang umum yang
dapat dilepaskan dalam suatu wawancara yang dalam.
c) Gunakan pertandingan atau terapi bermain untuk memperoleh
rasa percaya anak. Gunakan teknik-teknik ini untuk membantu
dalam menjelaskan sisilain dari cerita anak tersebut
Rasional : Menetapkan hubungan saling percaya dengan
seorang anak yang teraniaya sangatlah sukar. Mereka mungkin
tidak ingin untuk disentuh. Jenis-jenis aktivitas bermain ini
dapat memberikan suatu lingkungan yangtidak mengancam
yang dapat meningkatkan usaha anak untukmendiskusikan
masalah-masalah yang menyakitkan ini
d) Tentukan apakah cedera yang dialami dibenarkan untuk
dilaporkan kepadayang berwenang. Undang-Undang negara
yang spesifik harus masuk kedalam keputusan apakah ya atau
tidak untuk melaporkan dugaan penganiayaan seksual anak.
Rasional : Suatu laporan (umumhya dibuat) jika ada alasan
untuk mencurigai bahwa seseorang anak telah dicederai
sebagai suatu akibat penganiayaanseksual. Alasan untuk
mencirugai ditetapkan saat ada tanda- tandaketidaksesuaian
atau ketidakkonsistenan dalam menjelaskan cedera padaanak.
Kebanayakan negara membutuhkan individu-individu
berikutmelaporkan kasus dari anak yang dicurigai dianiaya

37
seksual : semua pekerja kesehatan, semau terapis kesehatan
jiwa, guru-guru, pengasuh- pengasuh anak, pemadam
kebakaran, anggota medis gawat darurat dananggota
penyelenggara hukum. Laporan dibuat oleh
DepartemenPelayanan Sosial dan rehabiulitasi atau Badan
penyelenggara Hukum.
4) Koping individu tidak efektif berhubungan dengankelainan fungsi
dari system keluarga dan perkembangan ego yang terlambat, serta
penganiayaan dan pengabaian anak
Tujuan :
a) Anak mengembangkan dan menggunakan keterampilan koping
yangsesuai dengan umur dan dapat diterima sosial dengan
kriteria hasil.
b) Anak mampu menundakan pemuasan terhadap keinginannya,
tanpa terpaksauntuk menipulasi orang lain.
c) Anak mampu mengekspresikan kemarahan dengan cara yang
dapat diterima secara sosial.
d) Anak mampu mengungkapkan kemampuan-kemampuan
koping alternative yang dapat diterima secara sosial sesuai
dengan gaya hidup dari yang ia rencanakan untuk
menggunakannya sebagai respons terhadap rasafrustasi
Intervensi:
a) Pastikan bahwa sasaran-sasarannya adalah realistis
Rasional : penting bagi anak untuk nmencapai sesuatu, maka
rencana untuk aktivitas-aktivitas di mana kemungkinan untuk
sukses adalah mungkin. Sukses meningkatkan harga diri.
b) Sampaikan perhatian tanpa syarat pada ana
Rasional : Komunikasi dari pada penerimaan anda terhadapnya
sebagaimakhluk hidup yang berguna dapat meningkatkan
harga diri.

38
c) Sediakan waktu bersama anak, keduanya pada saty ke satu
basis dan pada aktivitas-aktivitas kelompok
Rasional : Hal ini untuk menyampaikan pada anak bahwa anda
merasa bahwa dia berharga bagi waktu anda.
d) Menemani anak dalam mengidentifikasi aspek-aspek positif
dari dandalam mengembangkan rencana-rencana untuk
merubah karakteristik yanglihatnya sebagai negative
Rasional : identifikasi aspek-aspek positif anak dapat
membantumengembangkan aspek positif sehingga mempunyai
koping individu yangefektif.
e) Bantu anak mengurangi penggunaan penyangkalan sebagai
suatumekanisme sikap defensif. Memberikan bantuan yang
positif bagi identifikasi masalah dan pengembangan dari
perilaku-perilaku kopingyang lebih adaptif
Rasional : Penguatan positif membantu meningkatkan harga
diri danmeningkatkan penggunaan perilaku-perilaku yang
dapat diterima olehanakf. Memberi dorongan dan dukungan
kepada anak dalam menghadapi rasatakut terhadap kegagalan
dengan mengikuti aktivitas-aktivitas terapi danmelaksanakan
tugas-tugas baru. Beri pangakuan tentang kerja keras yang
berhasil dan penguatan positif bagi usaha-usaha yang
dilakukanRasional : Pengakuan dan penguatan positif
meningkatkan harga diri
5) Ansietas (sedang sampai berat) berhubungan dengan ancaman
konsep diri,rasa takut terhadap kegagalan, disfungsi system keluarga
dan hubunganantara orang tua dan anak yang tidak memuaskan
Tujuan :
Anak mampu mempertahankan ansietas di bawah tingkat
sedang,sebagaimana yang ditandai oleh tidak adanya perilaku-

39
perilaku yang tidak perilaku yang tidak mampu dalam memberi
respons terhadap stres.
Intervensi :
a) Bentuk hubungan kepercayaan dengan anak. Bersikap jujur,
konsisten didalam berespons dan bersedia. Tunjukkan rasa
hormat yang positif dan tulus.
Rasional : Kejujuran, ketersediaan dan penerimaan
meningkatkankepercayaan pada hubungan anak dengan staf
atau perawat.
b) Sediakan aktivitas-aktivitas yang diarahkan pada penurunan
tegangan dan pengurangan ansietas (misalnya berjalan atau
joging, bola voli, latihandengan musik, pekerjaan rumah
tangga, permainan-permainan kelompok.
Rasional : tegangan dan ansietas dilepaskan dengan aman dan
denganmanfaat bagi anak melalui aktivitas-aktivitas fisik
c) Anjurkan anak untuk mengidentifikasi perasaan-perasaan yang
sebenar nya dan untuk mengenali sensiri perasaan-perasaan
tersebut padanya
Rasional : Anak-anak vemas sering menolak hubungan antara
masalah-masalah emosi dengan ansietas mereka. Gunakan
mekanisme-mekanisme pertahanan projeksi dan pemibdahan
yang dilebih-lebihkan
d) Perawat harus mempertahankan suasana tentang
Rasional: Ansietas dengan mudah dapat menular pada orang
lain
e) Tawarkan bantuan pada wajtu-waktu terjadi peningkatan
ansietas. Pastikan kembali akan keselamatan fisik dan
fisiologis
Rasional: Keamanan anak adalah prioritas keperawatan

40
f) Penggunaan sentuhan menyenangkan bagi beberapa anak.
Bagaimana pun juga anak harus berhati-hati terhadap
penggunaannya
Rasional: sebagaimana ansietas dapat membantu
mengembangkankecurigaan pada beberapa individu yang
dapat salah menafsirkan sentuhansebagai suatu agresi
g) Dengan berkurangnta ansietas, temani anak untuk mengetahui
peristiwa- peristiwa tertentu yang mendahului serangannya.
Berhasil pada respons-respons alternatif pada kejadian
selanjutnya
Rasional : Rencana tindakan memberikan anak perasaan aman
untuk penanganan yang lebih berhasil terhadap kondisi yang
sulit jika terjadi lagi.
h) Berikan obat-obatan dengan obat penenang sesuai dengan
yangdiperintahkan. Kaji untuk keefektifitasannya, dan beri
petunjuk kepada anak mengenai kemungkinan efek-efek
samping yang memberi penharuh berlawanan
Rasional: Obat-obatan terhadap ansietas (misalnya diazepam,
klordiasepoksida, alprazolam) memberikan perasaan lega
terhadap efek-efek yang tidak berjalan dari ansietas dan
mempermudah kerjasama anakdengan terapi
d. Evaluasi
Hasil yang diharapkan dari pemberian asuhan keperawatan pada anak
dengan pemerkosaan
1) Anak tidak mengalami ansietas panic lagi
2) Anak mendemonstrasikan derajat percaya kepada perawat primer
3) Anak menerima perhatian dengan segera terhadap fisiknya
4) Anak memulai prilaku yang konsisten terhadap respon berduka
5) Anak mendapatkan perhatian segera untuk cedera fisiknya jika ada
6) Anak mendemonstrasikan suatu penurunan dalam prilaku agresif

41
C. Anak Dengan Korban KDRT
1. Definisi
Pengertian kekerasan menurut WHO (1999) Kekerasan adalah penggunaan
kekuatan fisik dan kekuasaan, ancaman atau tindakan terhadap diri sendiri,
perorangan atau sekelompok orang (masyarakat) yang mengakibatkan atau
kemungkinan besar mengakibatkan memar atau trauma, kematian, kerugian
psikologis, kelainan perkembangan atau perampasan hak.
Sedangkan, definisi dari kekerasan dalam rumah tangga atau KDRT menurut
UU no. 23 tahun 2004 adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama
perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau pederitaan secara fisik,
seksual, psikologis dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk
melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan
hukum dalam lingkup rumah tangga.
Maka dapat disimpulkan bahwa KDRT adalah penggunaan kekuatan fisik dan
ancaman terhadap seorang individu didalam keluarga terutama istri (perempuan)
yang mengakibatkan trauma baik secara fisik maupun psikologis
2. Faktor-faktor Penyebab KDRT
Ada faktor-faktor terjadinya kekerasan terhadap perempuan dalam rumah
tangga khususnya yang dilakukan oleh suami terhadap istri, yaitu :
a. Adanya hubungan kekuasaan yang tidak seimbang antara suami dan istri.
Anggapan bahwa suami lebih berkuasa dari pada istri telah terkonstruk
sedemikian rupa dalam keluarga dan kultur serta struktur masyarakat. Bahwa
istri adalah milik suami oleh karena harus melaksanakan segala yang
diinginkan oleh yang memiliki. Hal ini menyebabkan suami menjadi merasa
berkuasa dan akhirnya bersikap sewenang-wenang terhadap istrinya.
b. Ketergantungan ekonomi.
Faktor ketergantungan istri dalam hal ekonomi kepada suami memaksa istri
untuk menuruti semua keinginan suami meskipun ia merasa menderita.
Bahkan, sekalipun tindakan keras dilakukan kepadnya ia tetap enggan
untukmelaporkan penderitaannya dengan pertimbangan demi kelangsungan

42
hidup dirinya dan pendidikan anak-anaknya. Hal ini dimanfaatkan oleh suami
untuk bertindak sewenang-wenang kepada istrinya.
c. Kekerasan sebagai alat untuk menyelesaiakan konflik.
Faktor ini merupakan faktor dominan ketiga dari kasus kekerasan dalam
rumah tangga. Biasanya kekerasan ini dilakukan sebagai pelampiasan dari
ketersinggungan, ataupun kekecewaan karena tidak dipenuhinya keinginan,
kemudian dilakukan tindakan kekerasan dengan tujuan istri dapat memenuhi
keinginannya dan tidak melakukan perlawanan. Hal ini didasari oleh
anggapan bahwa jika perempuan rewel maka harus diperlakukan secara keras
agar ia menjadi penurut. Anggapan di atas membuktikan bahwa suami sering
menggunakan kelebihan fisiknya dalam menyelesaikan problem rumah
tangganya.
d. Persaingan.
Di sisi lain, perimbangan antara suami dan istri, baik dalam hal pendidikan,
pergaulan, penguasaan ekonomi baik yang mereka alami sejak masih kuliah,
di lingkungan kerja, dan lingkungan masyarakat di mana mereka tinggal,
dapat menimbulkan persaingan dan selanjutnya dapat menimbulkan
terjadinya kekerasan dalam rumah tangga. Bahwa di satu sisi suami tidak mau
kalah, sementara di sisi lain istri juga tidak mau terbelakang dan dikekang.
e. Frustasi.
Terkadang pula suami melakukan kekerasan terhadap istrinya karena merasa
frustasi tidak bisa melakukan sesuatu yang semestinya menjadi tanggung
jawabnya. Hal ini biasa terjadi pada pasangan-pasangan seperti dibawah ini :
1) Belum siap kawin.
2) Suami belum memiliki pekerjaan dan penghasilan tetap yang
mencukupi kebutuhan rumah tangga.
3) Serba terbatas dalam kebebasan karena masih menumpang pada orang
tua atau mertua.
4) Kesempatan yang kurang bagi perempuan dalam proses hukum.
Pembicaraan tentang proses hukum dalam kasus kekerasan dalam

43
rumah tangga tidak terlepas dari pembicaraan hak dan kewajiban suami
istri. Hal ini penting karena bisa jadi laporan korban kepada aparat
hukum dianggap bukan sebagai tindakan kriminal tapi hanya
kesalahpahaman dalam keluarga. Hal ini juga terlihat dari minimnya
KUHAP membicarakan mengenai hak dan kewajiban istri sebagai
korban, karena posisi dia hanya sebagai saksi pelapor atau saksi korban.
Dalam proses sidang pengadilan, sangat minim kesempatan istri untuk
mengungkapkan kekerasan yang ia alami.
Beberapa faktor pencetus terjadinya kekerasan dalam rumah tangga adalah
sebagai berikut:
a. Faktor Masyarakat
 Kemiskinan
 Urbanisasi yang terjadi keenjangan pendapatan di antara
penduduk kota.
 Masyarakat keluarga ketergantungan obat
 Lingkungan dengan frekuensi dan kriminalitas yang tinggi
b. Faktor Keluarga
 Adanya anggota keluarga yang sakit dan membutuhkan bantuan
terus-menerus, misalnya anak dengan kelainan mental dan orang
lanjut usia (lansia).
 Kehidupan keluarga yang kacau, tidak saling mencintai dan
menghargai serta tidak menghargai peran wanita.
 Kurang adanya keakraban dan hubungan jaringan sosial pada
keluarga.
 Sifat kehidupan keluarga inti bukan keluarga luas.
c. Faktor Individu
Di Amerika Serikat, mereka yang mempunyai resiko lebih besar
mengalami kekerasan dalam rumah tangga ialah sebagai berikut :
 Wanita yang lajang, bercerai, atau ingin bercerai.
 Berumur 17-28 tahun.

44
 Ketergantungan obat atau alkohol atau riwayat ketergantungan
kedua zat tersebut.
 Sedang hamil.
 Mempunyai partner dengan sifat memiliki dan cemburu berlebiha
3. Faktor Predisposisi
a. Faktor Psikologis
Psycoanalytical Theory; Teori ini mendukung bahwa perilaku agresif
merupakan akibat dari instinctual drives. Freud berpendapat bahwa perilaku
manusia di pengaruhi oleh dua insting. Pertama insting hidup yang dapat di
ekspresikan dengan seksualitas; dan kedua, insting kematian yang
diekspresikan dengan agresivitas.
Frustation agression theory ; teori yang dikembangkan oleh pengikut
Freud ini berawal dari asumsi, bahwa bila usaha seseorang untuk mencapai
suatu tujuan mengalami hambatan maka akan timbul dorongan agresif yang
pada gilirannya akan memotivasi perilaku yang dirancang untuk melukai
orang atau objek yang menyebabkan frustasi. Jadi hampir semua orang
melakukan tindakan agresif mempunyai riwayat perilaku agresif.
Pandangan psikologi lainnya mengenai perilkau agresif, mendukung
pentingnya peran dari perkembangan presdiposisi atau pengalaman hidup. Ini
menggunakan pendekatan bahwa manusia mampu memilih mekanisme
koping yang sifatnya tidak merusak. Beberapa contoh dari pengalaman
tersebut :
 Kerusakan otak organik, retardasi mental, sehingga tidak mampu
menyelesaikan secara efektif.
 Severe Emotional deprivation atau rejeksi yang berlebihan pada masa
kanak-kanak, atau seduction parental, yang mengkin telah merusak
hubungan saling percaya (trust) dan harga diri.
 Terpapar kekerasan selama masa perkembangan, termasuk child abuse
atau mengobservasi kekerasan dalam keluarga, sehingga membentuk
pola pertahanan atau koping.

45
b. Faktor Sosial Budaya
Social Learning Theory; teori yang dikembangkan oleh Bandura
(1977) ini mengemukakan bahwa agresi tidak berbeda dengan respon- respon
yang lain. Agresi dapat di pelajari melalui observasi atau imitasi, dan semakin
sering mendapatkan penguatan makan semakin besar kemungkinan untuk
terjadi. Jadi seseorang akan merespon terhadap keterbangkitaan emosionalnya
secara agresif sesuai dengan respon yang di pelajarinya. Pembelajaran ini bisa
internal atau ekternal. Contoh internal; orang yang mengalami keterbangkitan
seksual karena menonton film erotis menjadi lebih agresif dibandingkan
mereka yang tidak menonton film tersebut; seseorang anak yang marah karena
tidak boleh beli es kemudian ibunya memberinya es agar si anak mendapatkan
apa yang dia inginkan. Contoh eksternal; seorang anak menunjukan perilaku
agresif setelah melihat seseorang dewasa mengekspresikan berbagai bentuk
perilaku agresif terhadap sebuah boneka.
Kultural dapat pula mempengaruhi perilaku kekerasan. Adanya norma
dapat membantu mendefinisikan ekspresi agresif mana yang dapat diterima
atau tidak dapat diterima. Sehingga dapat membantu individu untuk
mengekspresikan marah dengan cara asertif.
c. Faktor biologis
Ada beberapa penelitian membuktikan bahwa dorongan agresif
mempunyai dasar biologis. Penelitian neurobiologi mendapatkan bahwa
adanya pemberian stimulus elektris ringan pada hipotalamus (yang berada di
tengah sistem limbik binatang ternyata menimbulkan perilaku agresif).
Perangsangan yang diberikan terutama pada nukleus periforniks hipotalamus
dapat menyebabkan seekor kucing mengeluarkan cakarnya, mengangkat
ekornya, mendesis, bulunya berdiri.
Neurotransmitter yang sering dikaitkan dengan perilaku agresif adalah
serotonin, dopamin, norepinephrine, acetilkolin, dan asam amino GABA.
Faktor-faktor yang mendukung :
 Masa kanak-kanak yang tidak menyenangkan.

46
 Sering mengalami kegagalan.
 Kehidupan yang penuh tindakan agresif.
 Lingkungan yang tidak kondusif (bising, padat).
4. Faktor Presipitasi
Secara umum, seseorang akan berespon dengan marah apabila merasa dirinya
terancam. Ancaman tersebut dapat berupa injury secara psikis, atau lebih dikenal
dengan adanya ancaman terhadap konsep diri seseorang. Ketika seseorang merasa
terancam, mungkin dia tidak menyadari sama sekali apa yang menjadi sumber
kemarahannya. Oleh karena itu, baik perawat maupun klien harus bersama-sama
mengidentifikasikannya. Ancaman dapat berupa internal ataupun eksternal.
Contoh stressor eksternal yaitu serangan secara psikis, kehilangan hubungan yang
di anggap bermakna dan adanya kritikan dari orang lain. Sedangkan stressor dari
internal yaitu merasa gagal dalam bekerja, merasa kehilangan orang yang
dicintainya, dan ketakutan terhadap penyakit yang diderita.
Bila dilihat dari sudut perawat-klien, maka faktor yang mencetuskan terjadinya
perilaku kekerasan terbagi dua, yaitu :
 Klien : Kelemahan fisik, keputusasaan ketidakberdayaan, kurang percaya
diri.
 Lingkungan : Ribut, kehilangan orang / objek yang berharga interaksi
sosial.
5. Tanda Keluarga dengan KDRT
a. Isolasi Sosial
Anggota keluarga merahasiakan kekerasan dan sering kali tidak
mengundang orang lain datanng kerumah mereka atau tidak mengatakan
kepada orang lain apa yang terjadi. Anak dan wanita yang mengalami
penganiyaan sering kali diancam oleh penganiaya bahwa mereka akan lebih
disakiti jika mengungkapkan rahasia tersebut. Anak- anak mungkin diancam
bahwa ibu, saudara kandung atau hewan peliharaan mereka kan dibunuh jika
oranng diluar keluarga mengetahui penganiayaan tersebut. Mereka

47
ditakuti agar mereka menyimpan rahasia atau mencegah orang lain
mencampuri “ urusan keluarga yang pribadi
b. Kekuasaan dan Control
Anggota keluarga yang mengalami penganiayaan hampir selalu berada
dalam posisi berkuasa dan memilki kendali terhadap korban, baik korban
adalah anak, pasangan, atau lansia. Penganiaya bukan hanya menggunakan
kekuatan fisik terhadap korban, tetapi juga kontrol ekonomi dan sosial.
Penganiaya sering kali adalah satu-satunya anggota keluarga yang membuat
keputusan, mengeluarkan uang, atau diijinkan untuk meluangkan waktu
diluar rumah dengan orang lain. Penganiaya melakukan penganiayaan
emosional dengan meremehkan atau menyalahkan korban dan sering
mengancam korban. Setiap indikasi kemandirian atau ketidakpatuhan
anggota keluarga, baik yang nyata atau dibayangkan, biasanya menyebabkan
peningkatan prilaku kekerasan (singer at al, 1995).
c. Penyalahgunaan Alkohol dan Obat-Obatan Yang Lain
Ada hubungan antara penyalahgunaan zat, terutama alkohol, dengan
kekerasan dalam keluarga. Hal ini tidak menunjukkan sebab dan akibat-
alkohol tidak menyebabkan individu menjadi penganiaya sebalik,
penganiaya juga cenderung menggunakan alkohol atau obat-obatan lain. 50-
90% pria yang memukul pasangannya dalam rumah tangga juga memiliki
riwayat penyalahgunaan zat. Jumah wanita yang mengalami penganiayaan
dan mencari pelarian dengan menggunakan alkohol mencapai 50 %. Akan
tetapi, banyak peneliti yakin bahwa alkohol dapat menguurangi inhibisi dan
membuat perilaku kekerasan lebiih intens atau sering (denham, 1995).
Alkohol juga disebut sebagai faktor dalam kasus pemerkosaan terhadap
pasangan kencan atau pemerkosaan oleh orang yang dikenal. CDC’s division
of violence prevention melaporkan bahwa studi mengidentifikasi
penggunaan alkohol atau obat yang berlebiihan yang dikaitkan dengan
penganiayaan seksual.

48
d. Proses Transmisi Antargenerasi
Berarti bahwa pola prilaku kekerasan diteruskan dari satu generasi ke
generasi berikutnya melalui model peran dan pembelajaran sosial
(humphreeys, 1997;tyra, 1996). Transmisi antargenerasi menunjukkan
bahwa kekerasan dalam keluarga merupakan suatu pola yang dipelajari.
Misalnya, anak-anak yang menyaksikan kekerasan dalam keluarga akan
belajar dari melihat orang tua mereka bahwa kekerasan ialah cara
menyelesaikan konflik dan bagian integral dalam suatu hubungan dekat.
Akan tetapi tidaak semua orang menyaksikan kekerasan dalam keluarga
menjadi penganiayaa atau pelaku kekerasan ketika dewasa sehingga faktor
tunggal ini saja tidak menjelaskan prilku kekerasan yang terus ada.
e. Kekerasan Fisik
 Kekerasan Fisik Berat, berupa penganiayaan berat seperti menendang;
memukul, menyundut; melakukan percobaan pembunuhan atau
pembunuhan dan semua perbuatan lain yang dapat mengakibatkan:
1) Cedera berat
2) Tidak mampu menjalankan tugas sehari-hari
3) Pingsan
4) Luka berat pada tubuh korban dan atau luka yang sulit
disembuhkan atau yang menimbulkan bahaya mati
5) Kehilangan salah satu panca indera.
6) Mendapat cacat.
7) Menderita sakit lumpuh.
8) Terganggunya daya pikir selama 4 minggu lebih
9) Gugurnya atau matinya kandungan seorang perempuan
10) Kematian korban.
 Kekerasan Fisik Ringan, berupa menampar, menjambak, mendorong,
dan perbuatan lainnya yang mengakibatkan:
1) Cedera ringan
2) Rasa sakit dan luka fisik yang tidak masuk dalam kategori berat

49
3) Melakukan repitisi kekerasan fisik ringan dapat dimasukkan ke
dalam jenis kekerasan berat.
f. Kekerasa Psikis
 Kekerasan Psikis Berat, berupa tindakan pengendalian, manipulasi,
eksploitasi, kesewenangan, perendahan dan penghinaan, dalam bentuk
pelarangan, pemaksaan dan isolasi sosial; tindakan dan atau ucapan
yang merendahkan atau menghina; penguntitan; kekerasan dan atau
ancaman kekerasan fisik, seksual dan ekonomis; yang masing-
masingnya bisa mengakibatkan penderitaan psikis berat berupa salah
satu atau beberapa hal berikut:
1) Gangguan tidur atau gangguan makan atau ketergantungan obat
atau disfungsi seksual yang salah satu atau kesemuanya berat dan
atau menahun.
2) Gangguan stres pasca trauma.
3) Gangguan fungsi tubuh berat (seperti tiba-tiba lumpuh atau buta
tanpa indikasi medis)
4) Depresi berat atau destruksi diri
5) Gangguan jiwa dalam bentuk hilangnya kontak dengan realitas
seperti skizofrenia dan atau bentuk psikotik lainnya
6) Bunuh diri
 Kekerasan Psikis Ringan, berupa tindakan pengendalian, manipulasi,
eksploitasi, kesewenangan, perendahan dan penghinaan, dalam bentuk
pelarangan, pemaksaan, dan isolasi sosial; tindakan dan atau ucapan
yang merendahkan atau menghina; penguntitan; ancaman kekerasan
fisik, seksual dan ekonomis yang masing-masingnya bisa
mengakibatkan penderitaan psikis ringan, berupa salah satu atau
beberapa hal di bawah ini:
1) Ketakutan dan perasaan terteror
2) Rasa tidak berdaya, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya
kemampuan untuk bertindak

50
3) Gangguan tidur atau gangguan makan atau disfungsi seksual
4) Gangguan fungsi tubuh ringan (misalnya, sakit kepala, gangguan
pencernaan tanpa indikasi medis)
5) Fobia atau depresi temporer
g. Kekerasan Seksual
 Kekerasan seksual berat, berupa:
1) Pelecehan seksual dengan kontak fisik, seperti meraba, menyentuh
organ seksual, mencium secara paksa, merangkul serta perbuatan
lain yang menimbulkan rasa muak/jijik, terteror, terhina dan merasa
dikendalikan.
2) Pemaksaan hubungan seksual tanpa persetujuan korban atau pada
saat korban tidak menghendaki.
3) Pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak disukai,
merendahkan dan atau menyakitkan.
4) Pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan
pelacuran dan atau tujuan tertentu.
5) Terjadinya hubungan seksual dimana pelaku
memanfaatkan posisi ketergantungan korban yang seharusnya
dilindungi.
6) Tindakan seksual dengan kekerasan fisik dengan atau tanpa bantuan
alat yang menimbulkan sakit, luka,atau cedera.
 Kekerasan Seksual Ringan, berupa pelecehan seksual secara verbal
seperti komentar verbal, gurauan porno, siulan, ejekan dan julukan dan
atau secara non verbal, seperti ekspresi wajah, gerakan tubuh atau pun
perbuatan lainnya yang meminta perhatian seksual yang tidak
dikehendaki korban bersifat melecehkan dan atau menghina korban.
 Melakukan repitisi kekerasan seksual ringan dapat dimasukkan ke
dalam jenis kekerasan seksual berat.

51
h. Kekerasan Ekonomi
 Kekerasan Ekonomi Berat, yakni tindakan eksploitasi, manipulasi dan
pengendalian lewat sarana ekonomi berupa:
1) Memaksa korban bekerja dengan cara eksploitatif termasuk
pelacuran.
2) Melarang korban bekerja tetapi menelantarkannya.
3) Mengambil tanpa sepengetahuan dan tanpa persetujuan korban,
merampas dan atau memanipulasi harta benda korban.
 Kekerasan Ekonomi Ringan, berupa melakukan upaya-upaya sengaja
yang menjadikan korban tergantung atau tidak berdaya secara ekonomi
atau tidak terpenuhi kebutuhan dasarnya.
6. Dampak Kekerasan Dalam Rumah Tangga
a. Dampak pada istri :
1) Perasaan rendah diri, malu dan pasif
2) Gangguan kesehatan mental seperti kecemasan yang berlebihan, susah
makan dan susah tidur
3) Mengalami sakit serius, luka parah dan cacat permanen
4) Gangguan kesehatan seksual
5) Menderita rasa sakit fisik dikarenakan luka sebagai akibat tindakan
kekerasan
6) Kekerasan seksual dapat mengakibatkan turun atau bahkan hilangnya
gairah seks, karena istri menjadi ketakutan dan tidak bisa merespon
secara normal ajakan berhubungan seks
7) Terus menerus mengalami ketakutan dan kecemasan, hilangnya rasa
percaya diri, hilang kemampuan untuk berindak dan rasa tidak berdaya
8) Kematian akibat kekerasan fisik, pembunuhan atau bunuh diri
9) Trauma fisik berat : memar berat luar/dalam, patah tulang, cacat
10) Trauma fisik dalam kehamilan yang berisiko terhadap ibu dan janin
11) Kehilangan akal sehat atau gangguan kesehatan jiwa

52
12) Curiga terus menerus dan tidak mudah percaya kepada orang lain
(paranoid)
13) Gangguan psikis berat (depresi, sulit tidur, mimpi buruk, disfungsi
seksual, kurang nafsu makan, kelelahan kronis, ketagihan alkohol dan
obat-obatan terlarang)
b. Dampak pada anak :
1) Mengembangkan prilaku agresif dan pendendam
2) Mimpi buruk, ketakutan, dan gangguan kesehatan
3) Kekerasan menimbulkan luka, cacat mental dan cacat fisik
4) Meniru tindakan kekerasan yang terjadi di rumah
5) Menjadi sangat pendiam dan menghindar
6) Mimpi buruk dan ketakutan
7) Sering tidak makan dengan benar
8) Menghambat pertumbuhan dan belajar
9) Menderita banyak gangguan kesehatan
c. Dampak pada suami :
1) Merasa rendah diri, pemalu, dan pesimis
2) Pendiam, cepat tersinggung, dan suka menyendiri
d. Dampak terhadap masyarakat
1) Siklus kekerasan akan terus berlanjut ke gerasi yang akan datang
2) Anggapan yang keliru akan tetap lestari bahwa pria lebih baik dari
wanita
3) Kualitas hidup manusia akan berkurang karena wanita tidak berperan
serta dalam aktivitas masyarakat bila wanita tersebut dilarang
berbicara atau terbunuh karena tindakan kekerasan
4) Efek terhadap produktifitas, misalnya mengakibatkan berkurangnya
kontribusi terhadap masyarakat, kemampuan realisasi diri dan kinerja,
dan cuti sakit bertambah sering

53
7. Pencegahan dan Penanggulangan KDRT
Beberapa hal yang bisa dilakukan untuk mencegah dan penanggulangan KDRT,
diantaranya :
a. Memberikan kesadaran kepada ibu rumah tangga, sebagai mayoritas korban,
tentang hak yang mereka miliki
b. Memberikan pemahaman dan pengertian tentang payung hukum serta proses
hukum yang bisa dijalani.
c. Memberikan keyakinan akan adanya perlindungan dari korban KDRT yang
melaporkan masalah KDRT pada pihak yang berwenang.
d. Menyadaran pada para korban, bahwa tidak perlu malu untuk mengekspos
dan melaporkan kasus tersebut kepada pihak yang berwajib
e. Memberikan kesadaran kepada kaum pria, tentang adanya batasan
wewenang yang bisa dilakukan kepada semua istri
8. Peran Perawat
 Perawat memiliki peran utama yaitu dalam meningkatkan dan
mempertahankan kesehatan klien dengan mendorong klien untuk lebih
proaktif jika membutuhkan pengobatan.
 Memeriksa kesehatan korban sesuai dengan standar profesi (anjurkan
segera lakukan pemeriksaan visum)
 Melakukan konseling untuk menguatkan dan memberikan rasa aman bagi
korban
 Memberikan informasi mengenai hak-hak korban untuk mendapatkan
perlindungan
 Mengantarkan korban ke tempat aman atau tempat tinggal alternative
(ruang pelayanan khusus)
 Melakukan koordinasi yang terpadu dalam memberikan layanan kepada
korban dengan pihak kepolisian, dinas social. Serta lembaga social yang
dibutuhkan korban
 Sosialisasi tentang Undang-Undang KDRT kepada keluarga & masyarakat.

54
9. Asuhan Keperawatan Pada Korban KDRT
a. Pengkajian
1) Identitas Pasien
Nama : Ny.-
Usia : 30 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Pendidikan : SMA
Alamat : Kp. Cibangkonol Ds. Sukamulya Kec.
Cikeusik
Pekerjaan :-
Agama : Islam
2) Keluhan Utama :
Istri merasa tidak kuat lagi dengan tindakan suaminya yang sering
memukulinya
3) Faktor Predisposis :
 Kekerasan Fisik : Suami sering memukuli istri dengan tangan
atau benda-benda disekitarnya
 Kekerasan Psikis : Perilaku dan ucapan kasar dari suami kerap
kali dilontarkan pada sang istri
 Seksual : Suami sering memukuli bila istri tidak memenuhi
kebutuhan suami dan terkadang suaminya sering melakukan
kekerasan dalam hubungan seksual
 Kekerasan Ekonomi : Suami yang bekerja sebagai tukang
becak sudah sering tidak bekerja karena sepi penumpang, maka
istri tidak menerima nafkah lagi dari suaminya
4) Pemeriksaan Fisik
 Keadaan Umum : - (Kaji tingkat kesadaran klien)
 TTV : - (Kaji TD, RR, HR, T)
 Pemeriksaan Luka : Terdapat luka lebam disekujur badan
 Psikososial : Klien tampak sering menangis dan

55
ketakutan, sering menyendiri dan
tampak murung.
 Status mental
 Penampilan : - (Kaji cara klien berpenampilan)
 Pembicaraan : - (Kaji cara klien berbicara: cepat, keras,
gagap, inhoheren, lambat, apatis)
 Aktivitas Motorik : - (Kaji adanya tremor, gelisah, agitasi,
tengang, kompulsi)
 Interaksi selama wawancara: (Kaji kontak mata, mudah
teringgung, curiga, tidak kooperatif)
 Aspek Spiritual : - (Kaji kepercayaan, nilai, moral, dan
agama yang dianut oleh anggota keluarga)

ANALISA DATA

Data Senjang Etiologi Masalah


DS : Istri mengaku sering Faktor penyebab KDRT Ansietas
dipukuli oleh suami
dengan menggunakan Keadaan ekonomi rendah,
tangan dan benda- benda ketergantungan ekonomi
disekitar istri terhadap suami,

DO : terdapat luka lebam Pergeseran fungsi


disekujur tubuh, klien keluarga
tampak sering menangis
dan Stress dan cemas
ketakutan
Perasaan terancam
Kemarahan

56
Mekanisme koping tidak
adekuat

Hubungan tidak seimbang


Antara suami dan istri

Pandangan bahwa suami


lebih berkuasa daripada
istri

Tindakan dekstruktif dan


tidak asertif

Perilaku kekerasan
terhadap istri

Istri mengalami
kecemasan

Ansietas
DS : - Perilaku kekerasan Harga Diri Rendah
DO : Tampak sering terhadap istri
menyendiri dan ketakutan
Murung. Pukulan dengan tangan
dan benda

Trauma Psikis

57
Gangguan konsep diri :
harga diri rendah
DS : - Perilaku kekerasan Gangguan Integritas Kulit
DO : terdapat luka di terhadap istri
sekujur tubuh
Lebam

Gangguan integritas kulit

b. Diagnosa
1) Gangguan integritas kulit berhubunga n dengan luka pukulan yang
berulang ditandai dengan luka lebam seluruh tubuh
2) Ansietas b.d koping individu tid efektif d.d klien tampak sering
menangis dan ketakutan
c. Intervensi
No Diagnosa Tujuan Intervensi Rasional
1 Gangguan Tujuan: integritas 1. Observasi kondisi 1. Untuk
integritas kulit klien terjaga. kulit,karakteri stik menentukan intervensi
selanjutnya yang efektif.
kulit luka, distribusi luka
berhubunga Tujuan: dalam 2x24 dan jenis luka 2. Menghindari terjadinya
n dengan jam kulit klien 2. kaji penyebab semua infeksi.
3. Air dingin mengurangi
luka membaik, luka lebam luka nyeri dan mempercepat
pukulan sedikit-sedikit 3. Kompres dengan penyembuhan
yang hilang,klien tidak menggunakan air 4. Menjaga
kelembaban kulit.
berulang mengeluh kesakitan es/air dingin
5. Agar tidak mengiritasi
ditandai 4. Berikan perawatan kulit ketika menggaruk
dengan kulit (lotion). kulit.
6. Menjaga kulit dari gesekan
luka lebam 5. Pertahankan kuku tetap antara kulit dan pakaian.
pendek. 7. mempercepat
penyembuhan luka

58
seluruh 6. Gunakan pakaian yang
tubuh longgar
7. Perhatikan jadwal
istirahan klien
2 Ansietas Tujuan Umum: Klien 1. Sapa klien dengan 1. Menciptakan kesan yang
b.d koping dapat mengurangi ramah, baik verbal baik di awal pertemuan
maupun nonverbal 2. Menghilangkan
individu tid ansietasnya kecurigaan klien pada
(lakukan
efektif d.d sampai tingkat sedang komunikasi perawat
klien atau ringan. terpetik) 3. Klien lebih mudah untuk
2. Yakinkan klien terbuka
tampak Khusus: 4. Keterbukaan dan
dalam keadaan aman
sering Klien percaya dan perawat siap meningkatkan rasa
menangis terhadap perawat, menolong dan percaya klien terhada
mendampingi nya perawat
dan ketakutan mulai 5. Meningkatkankepercayaan
3. Yakinkan bahwa
ketakutan menghilang dan kerahasiaan klien dan kerjasama klien
tampak tegar akan tetap terjaga sehingga lebih
4. Tunjukkan sikap memudahkan perawat
menghadapi dalam memberikan
terbuka dan jujur
masalahnya. Perhatikankebutuhan intervensi
dasar dan beri 6. Kondisi lingkungan dapat
bantuan untuk memengaruhi tingkat
memenuhiny a ansietas
6. Kurangi 7. Menurunkan ansietas dan
stimulus lingkungan membuka jalan
penyelesaian masasah
dan batasi interaksi
klien
klien dengan klien
8. Penjelasan dan respon
lain.
positif dapat mengurangi
7. diskusikan semua
ansietas
masalah yang
dialami klien
berikan
8. Penjelasan dan respon
positif terhadap
masalah klien
3 Gangguan tujuan umum: 1. Berikan 1. memberikan rasa nyaman
Konsep - konsep diri baik perhatian dan klien terhadap perawat
dan mampu penghargaan positif

59
diri: harga mengkomunikasi terhadap klien 2. meningkatkan hub trust
diri rendah kan perasaannya. 2. Dengarkan klien antara perawat dank lien
khusus: dengan empati :
b.d 3. mengetahui apa yang
- Membina berikan
d.d klien dipikirkan klien
hubungan saling Kesempatan bicara
mengenai masalahnya
tampak percaya.mampu (jangan di buru-buru),
4. memberikan
- Menyebutkan tunjukkan perawat
sering pengetahuan dan
penyebab mengikuti
menyendiri motivasi yang bisa
menarik pembicaraan klien.
memperbaiki konsep
dan diri,melakukan 3. Bicara dengan klien
diri klien 5.mendorong
hubungan sosial penyebab sering
murung terjadinya interaksi
secara bertahap, mengendiri.
dengan orang lain
klien – perawat, 4. Diskusikan akibat
5. Kemampuan klien
klien – yang dirasakan dari
mengidentifikasi
kelompok, klien menarik diri.
penyebab menarik diri
keluarga. 5. Diskusikan
akan meningkatkan
keuntungan
kesadaran dan
berinteraksi dengan
kerjasama klien
orang lain. Bantu
6. interaksi singkat dan
klien mengidentifik
sering melatih klien
asi kemampuan yang
berani berinteraksi
dimiliki klien untuk
dengan yang lain dapat
bergaul.
membantu
6. Lakukan
permasalahan klien
interaksi sering dan
7. Berkenalan /
singkat dengan klien
berkomunikasi dengan
Motivasi / temani
orang-orang di sekitar
klienuntuk
klien membantu klien
berinteraksi dengan
untuk memulai
orang yang dipercaya
hubungan sosial
dan mampu
8. Keluarga merupakan
membantu
bagian terdekat klien
permasalahan klien
yang sangat berperan
9. Bantu klien
dalam upaya
melakukan aktivitas
peningkatan kesehatan
hidup sehari-hari
klien
dengan interaksi.
9. Pengetahuan perawat
10. Fasilitas hubungan
klien dengan keluarga mengenai kondisi klien

60
secara terapeutik. dalam berhubungan
11. Diskusikan dengan social memudahkan
klien setiap selesai perawat dalam
interaksi atau mengukur keberhasilan
kegiatam intervensi
12. Beri pujian terhadap 10. Pujian atas
kemampuan klien pengungkapan
mengungkapk an perasaan membuat
perasaannnya merasa dihargai
sehingga semakin
termotivasi

D. Anak Dengan Korban Trafficking


1. Definisi Traficking Human
Trafficking adalah konsep dinamis dengan wujud yang berubah dari waktu
kewaktu, sesuai perkembangan ekonomi, sosial dan politik. Sampai saat ini tidak
ada definisi trafficking yang disepakati secara internasional, sehingga banyak
perdebatan dan respon tentang definisi yang dianggap paling tepat tentang
fenomena kompleks yang disebut trafficking ini.

Pada tahun 1994 PBB mendefinisikan trafficking sebagai pergerakan dan


penyelundupan orang secara sembunyi-sembunyi melintasi batas-batas negara dan
internasional, kebanyakan berasal dari negara berkembang dan negara-negara yang
ekonominya berada dalam masa transisi, dengan tujuan untuk memaksa perempuan
dan anak-anak masuk ke dalam sebuah situasi secara seksual maupun ekonomi
terkompresi, dan situasi eksploitatif demi keuntungan perekrut, penyelundup, dan
sindikat kriminal seperti halnya aktivitas ilegal lainnya yang terkait dengan
perdagangan (trafficking), misalnya pekerja rumah tangga paksa, perkawinan palsu,
pekerja yang diselundupkan dan adopsi palsu.

Menurut resolusi senat AS no. 2 tahun 199, trafficking adalah salah satu atau
lebih bentuk penculikan, penyekapan, perkosaan, penyiksaan, buruh paksa atau
praktek-praktek seperti perbudakan dan menghancurkan hak asasi manusia.

61
Trafficking memuat segala tindakan yang termasuk dalam proses
rekruitmen atau pemindahan orang di dalam ataupun antar negara, melibutkan
penipuan, paksaan atau dengan tujuan menempatkan orang-orang pada situasi
penyiksaan atau eksploitasi seperti prustitusi paksa, penyiksaan dan kekejaman
luar biasa, buruh di pabrik dengan kondisi buruk atau pekerja rumah tangga yang
dieksploitasi
Human trafficking atau perdagangan manusia oleh Perserikatan Bangsa-
bangsa (PBB) mendefinisikan sebagai perekrutan, pengiriman, pemindahan,
penampungan atau penerimaan seseorang dengan ancaman, penggunaan kekerasan,
perbudakan, pemaksaan, pemerangkapan utang ataupun bentuk-bentuk penipuan
yang lainnya dengan tujuan eksploitasi (Course Instruction, 2011:2).
Perdagangan manusia berhubungan dengan menjajakan diri
(memperdagangkan), tawar-menawar, membuat kesepakatan, melakukan
transaksi dan hubungan seksual (Taiwan Medicare, 2012).
Perdagangan manusia melakukan pemindahtanganan seseorang dari satu
pihak ke pihak yang lainnya dengan menggunakan ancaman, penipuan dan
penguasaan. Perdagangan manusia mengandung elemen pengalihan yang
tujuannya bisa untuk apa saja baik eksploitasi tenaga kerja, pembantu rumah
tangga, pengambilan organ tubuh dan sampai kepada eksploitasi seks komersil
(Wagner, 2004).
Misalnya Caouette memberi batasan tentang perdagangan sebagai suatu
perekrutan dan transfortasi orang atau sekelompok orang di dalam dan melawati
perbatasan nasional menggunakan kekerasan terhadap orang lain. para korban
dirayu, ditipu, diculik atau dalam berbagai cara diakali untuk masuk prostitusi.
Menurut Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan
Orang (PTPPO) pasal 1 ayat 1, dedinisi trafficking adalah tindakan perekrutaan,
pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan
seseorang dengan ancaman kekerasan, penculikan, penipuan, penyekapan,
peyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan hutang atau memberi
bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh peretujuan dari orang yang

62
memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara
maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang
tereksploitasi.

Sebelum Undang-undang tindak pidana disahkan, pengertian tindak pidana


perdagangan orang (trafficking) yang umum paling banyak digunakan adalah
protokol PBB. Adapun menurut protokol PBB tersebut pengertian trafficking
adalah:
a. Perekrutan, pengiriman, pemindahan, penjualan, penampungan atau
penerimaan seseorang, dengan ancaman atau penggunaan kekerasan atau
bentuk-bentuk lain dari pemaksaan, penculikan, penipuan, kebohongan atau
penyaalah gunaan kekuasaan atau posisi rentan atau memberi atau menerima
pembayaran atau memperoleh keuntungan agar dapat memperoleh
persetujuan dari seseorang yang berkuasa atas orang lain, untuk tujuan
eksploitasi. Eksploitassi termasuk, paling tidak eksploitasi untuk melacurkan
orang lain atau bentuk-bentuk lain dari eksploitasi seksual, kerja atau
pelayanan paksa, perbudakan atau praktek-praktek serupa perbudakan,
pengahambaa atau pengambilan organ tubuh.
b. Persetujuan korban perdagangan orang terhadap eksploitasi yang dimaksud
yang dikemukakan dalam sub line.
c. Perekrutan, pengiriman, pemindahan, penampungan atau penerimaan
seorang anak untuk tujuan eksploitasi dipandang sebagai perdagangan orang
bahkan jika kegiatan ini tidak melibatkan satu pun cara yang dikemukakan
dalam sub babline.
d. Anak adalah setiap orang yang berumur di bawah 18 tahun.
Pengertian di atas tidak menekankan pada perekrutan dan pengiriman yang
menentukan suatu perbuatan tersebut adalah tindak pidana perdagangan orang,
tetapi juga kondisi eksploitatif terkait ke dalam mana orang diperdagangkan.

63
Dari pengertian tersebut ada tiga unsur yang berbeda yang saling berkaitan
satu sama lainnya, yaitu:
a. Tindakan atau perbuatan yang dilakukan, yaitu perekrutan, pengiriman,
pemindahan, penampungan atau penerimaan seseorang.

b. Cara: menggunakan ancaman, penggunaan kekerasa atau bentuk-bentuk


paksaan lain, penculikan, tipu daya, penipuan, pemberian atau penerimaan
pembayaran atau keuntungan untuk memperoleh persetujuan dari
orangorang.
c. Tujuan atau maksud, untuk tujuan eksploitsi. Eksploitasi mencakup
setidaktidaknya eksploitasi pelacuran dari orang lain atau bentuk-bentuk
eksplotasi seksual lainnya, kerja paksa, perbudakan, pengahambaan atau
pengambilan organ tubuh.

Dari definisi di atas ada beberapa hal yang menjadi ciri utama dari beberapa
pengertian trafficking yaitu:
a. Adanya proses perekrutan, pengiriman, eksploitasi, pemindahan,
penampungan atau penerimaan manusia baik itu lintas wilayah maupun
negara.
b. Ada pihak-pihak yang mendapatkan keuntungan dengan memanfaatkan
perempuan maupun anak untuk melakukan sebuah pekerjaan (dibayar atau
tidak), sebagai hubungan kerja yang eksploitatif (secara ekonomi atau
seksusal), baik itu TKW, prostitusi, buruh manual atau industri, perkawinan
paksa, atau pekerjaan lainnya.
c. Ada korban baik perempuan maupun anak yang karena keperempuanan dan
kekanakannya dimanfaatkan dan di eksploitasi baik secara ekonomi maupun
seksual, guna kepentingan pihak-pihak tertentu dengan cara paksa, disertai
ancaman, maupun tipuan ataupun penculikan, penipuan, kebohongan,
kecurangan atau penyalahgunaan kekuasaan.
Dalam hal ini termasuk juga terhadap beberapa korban yang
menyatakan persetujuan yang mana dipahami bahwa situasi-situai tertentu

64
yang mengakibatkan para korban setuju, misalnya karena kebutuhan
ekonomi, ada tekanan kekuasaan dan lain sebagainya.
Melihat dari beberapa definisi yang telah dipaparkan tentang pengertian
trafficking di atas dapat diambil benang merahnya bahwa kategori trafficking akan
terpenuhi apabila memenuhi tiga unsur yaitu: proses, jalan atau cara dan tujuan.
Proses disni meliputi perekrutan, pengiriman, pemindahan, penampungan dan
penjualan, sedangkan cara atau jalannya ialah dengan kekerasan, pemaksaan,
penipuan, kebohongan dan penculikan. Adapun tujuannya adalah untukeksploitasi,
baik seksual atupun ekslpoitasi yang lain seperti perbudakan dan menjadikan
pelayan.

2. Faktor-faktor Penyebab Trafficking Human


Terjadinya Trafficking baik itu berupa kasus kekerasan maupun eksploitasi
terhadap anak-anak dan perempuan disebabkan oleh beberapa factor khususnya di
Indonisia diantaranya ialah sebagai berikut:
a. Faktor Ekonomi
Ekonomi yang minim atau disebut kemiskinan menjadi factor penyebab
utama terjadinya Human Trafficking. Ini menunjukkan bahwa perdagangan
manusia merupakan ancaman yang sangat membahayakan bagi orang
miskin. Sudah bukan menjadi rahasia umum lagi bahwa rendahnya ekonomi
membawa dampak bagi prilaku sebagian besar masyarakat. Ekonomi yang
pas-pasan menuntut mereka untuk mencari uang dengan berbagai cara.
Selain itu budaya konsumvitisme, juga ikut andil menambah iming-iming
masyarakat untuk mencari biaya penghidupan. Semua ini menjadikan
mereka dapat terjerumus ke dalam prostitusi dan tindak asusila lainnya.
Di sisi yang lain kurangnya lahan pekerjaan atau masih banyaknya
angka pengangguran melengkapi rendahnya pendapatan atau ekonomi
masyarakat.

65
Keterbatasannya lahan pekerjaan yang dapat menampung perempuan
dengan tingkat keterampilan yang minim menyebabkan banyak perempuan-
perempuan menganggur sehingga kondisi inilah yang dipergunakan dengn
baik oleh para perantara yang menyarankan perempuan-perempuan untuk
bekerja. Mereka dijanjikan untuk bekerja di dalam kota, atau di luar negeri.
Dalam bujukan tersebut, tidak dijelaskan secara detail pekerjaan apa yang
akan didapatkan. Biasanya para perantara hanya memberikan iming-iming
gaji atau upah yang besar. Tanpa disadari, korban telah terjebak penipuan
dalam hal ini sebagai pelayan seks. Biasanya mereka bersedia bekerja di
manapun ditempatkan.
Oleh karena itu ketika ada perantara yang menawarkan sebuah
pekerjaan dengan iming-iming upah atau gaji yang besar maka mereka akan
menyambut dengan senang hati tawaran tersebut. Tawaran ini selalu menjadi
dewa penyelamat untuk meneyelesaikan kondisi ekonomi. Namun pada
hakikatnya hal tersebut adalah sasaran empuk bagi para calo untuk dijadikan
korban trafficking.
Pada wilayah anak-anak, putus sekolah menyebabkan mereka untuk
memaksakan diri mereka sendiri untuk memasuki dunia kerja. Mereka
dipaksa kerja untuk bisa meringankan beban keluarga. Tidak jarang
anakanak menjadi korban eksploitasi seksual komersial dan trafficking
terhadap anak karena orang tua mereka sudah tidak sanggup lagi membiayai.
Keluarga yang miskin mungkin tidak sanggup untuk mengirim anak mereka
ke sekolah dan biasanya akan mendahulukan pendidikan bagi anak laki-laki
jika mereka hanya mampu mengirim sebagian anak-anak mereka ke sekolah.
Jika orang tua tidak mampu mencari pekerjaan, maka anak akan mereka
suruh bekerja diladang atau di pabrekatau di dalam situasi yang lebih
berbahaya serta jauh dari rumah seperti diluar kota atau di luar negeri.

66
Melalui semua jalur ini, kemiskinan membuat anak dan perempuan
semakin rentan terhadap trafficking. Pemaknaan ekonomi rendah juga bisa
diaplikasikan pada orang yang terjerat banyak hutang. Jeratan hutang
tersebut yang pada akhirnya berujung fenomina yang disebut “Buruh Ijon”,
yaitu suatu pekerjaan yang dilakukan oleh seseorang yang dianggap sebagai
pembayaran hutang. Adapun kasus jeratan hutang bisa terjadi pada siapapun.
Pada kasus trafficking mudus yang biasa terjadi dengan cara penipuan.
Buruh migrah telah menempatkan diri mereka dalam jeratan hutang. Di
mana mereka setuju untuk membuat pinjaman uang untuk membayar biaya
perjalanan mereka. Korbanhutang tersebut kemudian harus bekerja sampai
hutangnya lunas, biasanya trafficker meminta melunasi sesuai
permintaannya.
Ada yang sebagai pekerja seks, pembantu rumah tangga dan masih
banyak yang lain. Kekerasan dan eksploitasi yang terperangkap dalam buruh
ijon bekerja pada rumah tangga sebagai pembantu atau penjaga anak,
direstauran, toko-toko kecil, di pabrek- pabrek atau pada industri seks. Tapi
menjadi rahasia umum apabila masih gadis maka melunasi dengan bekerja
sebagai pekerja seks.
Karena itulah jeratan hutang dapat mengarah pada kerja paksa.
Sedangkan kerja paksa membuka besarnya kemungkinan untuk kekerasan
dan eksploitasi terhadap pekerja. Pada kondisi seperti di atas, pekerja
kehilangan kebebasannya untuk bergerak karena orang yang menguasai
hutang ingin memastikan bahwa pekerja tidak berusah melarikan diri dari
hutangnya. Bahkan para korban disembunyikan dari penegak hukum, polisi
dan masyarakat luas. Pada akhirnya rendahnya ekonomi berujung pada
penerimaan pinjaman para calo agar mereka dapat bekerja akan tetapi
mereka tidak memahami bahaya yang akan menimpanya

67
b. Posisi Subordinate Perempuan dalam Sosial dan Budaya
Seperti halnya kondisi pedagangan manusia yang terjadi di dunia, untuk
Indonisia penelitian-penelitia yang dilakukan di lembaga pendidikan dan
LSM menunjukkan sebagian besar korban perdagangan manusia adalah
perempuan dan anak-anak.
Indonisia adalah suatu masyarakat yang patrialkhal, suatu struktur
komonitas dimana kaum laki-laki yang lebih memegang kekuasaan,
dipersepsi sebagai struktur yang mendegorasi perempuan baik dalam
kebijakan pemerrintah maupun dalam prilaku masyarakat. Misalnya
perumusan tentang kdudukan istri dalam hokum perkawinan,
kecenderungan untuk membayar upah buruh wanita di bawah upah buruh
laki-laki, atau kecenderungan lebih mengutamakan anak laki-laki dari pada
anak perempuan dalam bidang pendidikan, merupakan salah satu refleksi
keberadaan permpuan dalam posisi subordinat dibandingkan dengan laki-
laki.
Kondisi perekonomian yang lemah serta kontrusksi masyarakat yang
ada menempatkan hak perempuan dalam posisi yang lebih tidak
menguntungkan. Meskipun dalam pasal 3 perjanjian tentang hak Ekonomi,
Sosial dan Budaya tahun 1966 menyatakan bahwa adanya persamaan bagi
laki- laki dan perempuan untuk memperoleh hak ekonomi, sosial dan
budaya. Namun kenyataannya HAM di Indonesia masih belum menyentuh
masyarakat karena masih kuatnya diskriminasi terhadap perempuan
c. Faktor Pendidikan
Tingkat pendidikan yang rendah juga sangat mempengaruhi kekerasan
dan eksploitasi terhadap anak dan perempuan.
Banyaknya anak yang putus sekolah, sehingga mereka tidak
mempunyai skill yang memadai untuk mempertahankan hidup.
Implikasinya, mereka rentan terlibat kriminalitas.

68
Survei Sosial Ekonomi Nasional Tahun 2000 lalu melaporkan bahwa
34,0% penduduk Indonisia berusia 10 tahun ke atas belum atau tidak tamat
pendidikandasar (SD) dan hanya 15% tamat SLTP. Menurut laporan BPJS
Tahun 2000 juga terdapat 14% anak usia 7-12 tahun dan 24% anak usia 13-
15 tahun tidak melanjutka kejenjang pendidikan SLTP karena alasan ketidak
mampuan dalam hal biaya.
Melihat data di atas tampak bahwa mayoritas masyarakat Indonesia
masih banyak yang bertaraf rendah tingkatannya dalam hal pendidikan.
Rendahnya tingkat pendidikan serta minimnya keterampilan atau skill
menyebabkan sebagian besar dari permpuan menganggur serta
menghabiskan sebagian besar hidup dan waktunya di rumah. Dan pada
akhirnya tidak menghasilkan keuangan bahkan mengurani pemasukan.
Sebenarnya tidak hanya kaum perempuan yang menganggur akan tetapi laki-
laki juga mengalami hal yang serupa. Tampak bahwa setip tahun ribuan
orang meninggalkan kampung halamannya dan snak keluarganya demi
mencari keja atau penghidupan yan lebih layak di daerah lain Indonesia atau
bahkan keluar negeri.
Namun dari data di atas menunjukkan bahwa kaum perempuan yang
paling banyak menganggur. Kedaan inilah yangmenyebabkan mereka
menerima tawaran pekerjaan oleh para perantara yang yang mereka tidak
menyadarinya sebagai trafficker meskipun belum menegtahui seberapa
besar uapah atau gaji yang akan diterimanya
d. Tidak Ada Akta Kelahiran
Sebuah studi yang dipublikasikan oleh UNICEF APADA mei 2002
yang lalu memperkirakan bahwa hingga tahun 2000 lalu, 37% balita
Indonesia belum mempunyai akta kelahiran.
Pasal 9 konvensi mengenai hak-hak anak menentukan bahwa semua
anak harus didaftarkan segera setelah kelahirannya dan juga harus
mempunyai nama serta kewarganegaraan.

69
Ada bermacam- macam alasan mengapa banyak anak tidak terdaftar
kelahirannyaa. Orang tua yang miskin mungkin merasa biaya pendaftaran
terlalu mahal atau mereka tidak menyadari pentingtnya akata kelahiran.
Banyak yang tidak tahu bagaimana mendaftarkan seorang bayi yang baru
lahir. Rendahnya registrasi. Kelahiran, khususnya di masyarakat
desamenjadi fasilistas perdagangan manusia. Agen dan pelaku perdagangan
memanfaatkan ketiadaan akta kelahiran asli untuk memalsukan umur
perempuan muda agar mereka dapat bekerja di luar negeri. karena mereka
tidak mempunyai dokumin yang disyaratkan, maka mereka dimanfaatkan
oleh pelaku perdagangan
e. Kebijakan yang Bias Gender
Perempuan di Indonesia umumnya menikmati kesetaraan gender di
mana hukum Undang-undang Dasar 1945 menjamin kesetaraan hak untuk
laki- laki dan perempuan. Indonisia juga telah meratifikasi beberapa
konvensi PBB yang menjamin kesetaraan hak bagi perempuan, antara lain
rativikasi konvensi untuk penghpusan deskriminasi untuk perempuan
(CEDAW) pada tahun 1984. Namun kenyataannya hukum perlindungan
hanya di atas kertas sedangkan prakteknya masih jauh dari yang
diaharapkan. Kesetaraan gender belum sepenuhnya terwujud, perempuan
masih tertinggal secara sosial, politik, dan ekonomi dari kaum laki-laki.
Adapun dalam hal pendidikan misalnya, ditemukan bahwa semakin
tinggi tingkat pendidikan, maka semakin lebar kesenjangan antara partisipasi
perempuan dan laki-laki. UU perkawinan tahun 1974 menaikkan usia
minimum bagi seorang gadis untuk meniah menjadi 16 tahun. Namun
pernikahan diusia lebih muda dimungkinkan dengan izin dari peradilan. UU
perkawinan secara hukum mengannggap mereka sebagai orang dewasa
sekalipun mereka masih di bawah 18 tahun.

70
Undang-undang tersebut menyatakan bahwa kedua orang tua wajib
memelihara dan mendidik anak mereka sebaik-baiknya sampai anak itu
kawin atau dapat berdikari (pasal 45) sekalipun tidak ada larangan bagi anak
yang sudah menikah untuki bersekolah, anak perempuan yang sudah
menikah sangat jarang meneruskan pendidikan mereka. Kenyataannya
sekolah-sekolah formal untuk tingkat SMP atau SMA tidak menerima siswa
yang sudah menikah, walaupun ada itu hanya disekolah kesetaraan yang
kejar paket B atau C.
Dalam bidang ketenagakerjaaan, hukum Indonisia memberikan
perlindungan de jure bagi perempuan di tempat kerja. Menurut hukum,
perempuan dilindungi dari diskriminasi berdasarkan gender atau Karena
menerima bayaran yang setara untuk pekerjaan yang sama, tidak dapat
diberhentikan jika menikahh atau melahirkan, tidak boleh mengerjakan
pekerjaan yang berbahaya dan harus diberikan cuti hamil.
Selain itu, kerentanan perempuan semakin tinggi setelah berserai,
khususnya bagi mereka yang memmiliki anak. Undang-undang perkawinan
dan peraturan-peratuan yang terkait mengizinkan laki-laki dan perempuan
bercerai untuk alasan yang sama. Namun peraturan tersebut menempatkan
perempuan yang bercerai dalam posisi yang tidak menguntungkan dalam hal
tunjangan dari suami setelah perceraian terjadi.
f. Pengaruh Globalisasi
Pemberitaan tentang trafficking (perdagangan manusia), pada beberapa
waktu terakhir ini di Indonesia semakin marak dan menjadi isu yang aktual,
baik dalam lingkup domistik maupun yang telah bersifat lintas batas negara.
Perdagangan manusia yang paling menonjol terjadi khususnya yang
dikaitkan dengan perempuan dan kegiatan industri seksual, ini baru mulai
menjadi perhatian masyarakat melalui media massa pada beberapa tahun
terakhir ini. Kemungkinan terjadi dalam skala yang kecil, atau dalam suatu
kegiatan yang terorganisir dengan sangat rapi.

71
Merupakan sebagian dari alasan-alasan yang membuat berita-berita
perdagangan ini belum menarik media massa paa masa lalu. Adapun
pengaruh dari akibat globalisasi dunia, Indonesia juga tidak dapat luput dari
pengaruh keterbukaan dan Kemajuan di berbagai aspek teknologi, politik,
ekonomi, dan sebagainya. Kemajuan di berbagai aspek tersebut membawa
perubahan pula dalam segi-segi kehidupan sosial dan budaya yang diacu
oleh berbagai kemudahan informasi.
Dampak negatif dari perrubahan dan kemudahan tersebut menjadi
konsekuensi bagi munculnya permasalahan-permasalahan sosial termasuk
pada perempuan dan anak, salah satunya adalah berkembangannya
perdagangan seks pada anak

3. Bentuk dan Modus Trafficking Human


a. Bentuk Trafficking
Seiring berjalannya waktu bentuk dan modus trafficking pun semakin
komplek, banyak model dan bentuk perdagangan yang dipergunakan agar
misi trafficking berhasil. Ini tidak dapat dipungkiri karena sudah menjadi
fenomena yang menjamur diberbagai belahan dunia termasuk Indonisia.
Adapun bentuk-bentuk tarfficking diantaranya adalah:
1) Eksploitasi Seksual
Eksploitasi seksual dibedakan menjadi dua yaitu:
a) Eksploitasi seksual komersial untuk prostitusi.
Misalnya perempuan yang miskin dari kampung atau
mengalami perceraian karena akibat kawin muda atau putus
sekolah kemudian diajak bekerja ditempat hiburan kemudian
dijadikan pekerja seks atau panti pijat. Korban bekerja untuk
mucikari atau disebut juga germo yang punya peratutan yang
eksploitatif, misalnya jam kerja yang tak terbatas agar
menghasilkan uang yang jumlahnya tidak ditentukan.

72
Korban tidak berdaya untuk menolak melayani laki-laki
hidung belang yang menginginkan tubuhnya dan jika ia menolak
maka sang mucikari tidak segan-segan untuk menyiksanya
karena biasanya mereka punya bodigard-budigard yang
mengawasi mereka.
Kesempatan untuk melepaskan diri sangatlah sulit
sekali, sehingga korban bagaikan buah si malakama. Jika korban
protes maka mereka diharuskan membayar sejumlah uang
sebagai ganti dari biaya hidup yang digunakan oleh korban.
Dalam prakteknya korban dalam posisi yang lemah dan
diskenariokan untuk selalu tergantung atau merasa
membutuhkan aktor baik untuk kebutuhan rasa aman maupun
kebutuhan secara ekonomis.
b) Eksploitas non komersial
Misalnya pencabulan terhadap anak, perkosaan dan
kekerasan seksual. Banyak pelaku pencabulan dan perkosaan
yang dapat dengan bebas menghirup udara kebebasan dengan
tanpa dijerat hukum. Sementara perempuan sebagai korban
harus menderita secara lahir dan batin seumur hidup bahkan ada
yang putus asa dan mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri, ada
juga yang karena tidak sanggup menghadapi semuanya
terganggu jiwanya.
Di Indonesia keberadaan perempuan yang dijerumuskan
ke dalam prostitusi yang diperdagangkan seksualitasnya dan
perempuan yang digunakan untuk memproduksi bahan-bahan
pornugrafi merupakan fakta yang tidak terbantahkan. Dalam
banyak kasus, perempuan semula dijanjikan oleh pihak-pihak
tertentu untuk bekerja sebagai buruh migran, pembantu rumah
tangga, pekerja restoran, pelayan toko, dan lain sebagainya.

73
Tetapi kemudian dipaksa pada industri seks pada saat
mereka tida pada daerah tujuan.
Eksploitasi seksual baik yang komersial maupun yang
non komersial kedua-duanya sama-sama menjadi penyakit
penyebar HIV dan AIDS, sebuah virus yang menggerogoti
sistem kekebalan tubuh sehingga jika seseorang sudah tertular
maka kekebalan tubuhnya sudah tidaki ada lagi. Dari tahun ke
tahun penularan penyakit ini perkembangannya semakin pesat,
yang tertular tidak hanya di kalangan masyarakat kota tapi juga
sampai ke pelosok desa seperti papua. Ini adalah masalah yang
sangat besar, satu sisi agama dan negara mencegah dengan
peraturan- peraturannya namun disisi lain kejahatan semakin
merajalela dan semakin canggih.
2) Pekerja Rumah Tangga
Pembantu rumah tangga yang bekerja baik di luar maupun di
dalam wilayah Indonesia dijadikan korban kedalam kondisi kerja yang
dibawah paksaan, pengekangan dan tidak diperbolehkan menolak
bekerja. mereka bekerja dengan jam kerja yang panjang, upah yang
tidak dibayar. Selama ini juga pekerja rumah tangga tau yang disebut
pembantu tidaklah dianggap sebagai pekerja formal melainkan sebagai
hubungan informal antara pekerja dan majikan, dan pekerjaan kasar
yang tidak membutuhkan keterampilan. upah yang diterima sangat
rendah dibawah UMR yang tidak sebanding dengan pekerjaan yang
dilakukan, dimana jam kerja yang sangat panjang, tidak ada libur,
bahkan banyak yang tidak ada waku untuk istirahat.
Perlakuan yang lebih buruk lagi adalah mereka diperlakukan
layaknya budak, baik ketika menyuruh suatu pekerjaan atau dalam hal
makan, di mana mereka diberi makan yang sedikit dan tidak memenuhi
standar gizi yang dapat memberikan asupan tenaga, dilarang
menjalankan ibadah sesuai dengan agamanya bahkan di luar negeri

74
seringkali majikan dan agen menyita paspor TKW agar tidak bisa
kabur jika mereka diperlakukan oleh semua majikan karena ada juga
majikan yang baik dalam memperlakukan pembantu rumah tangganya
bahkan menganggapnya sebagai keluarga.
3) Penjualan Bayi
Di sejumlah negara maju, motif adopsi anak pada keluarga
modern menjadi salah satu penyebab maraknya incaran trafficker.
Keluarga modern yang enggan mendapatkan keturunan dari hasil
pernikahan menjadi rela mengeluarkan dana yang tidak sedikit untuk
mengadopsi anak. Kebutuhan adopsi massal itulah yang menyebabkan
lahirnya para penjual bayi, calo-calo anak dan segenap jaringannya
Di sisi lain, negara-negara berkembang masih dipenuhi warga
miskin dengan segala persoalannya, yang kemudian menjadi sasaran
pencarian anak-anak yang akan diadopsi melalui proses perdagangan.
Misalnya hilangnya 300 anak pasca sunami di Aceh yang kemudian
dilarikan oleh LSM. Banyak pihak yang menduga anak itu dilarikan
ke Amerika.
Selama tahun 2007, gugus tugas anti trafficking Menteri Negara
Pemberdayaan Perempuan (GTA MNPP) menemukan sekitar 500
anak Indonesia yang diperdagangkan ke Swedia. Para trafficker tidak
hanya mengambil anak-anak usia belita, usia sekolah dan remaja saja
janinpun bisa mereka tampung.
Dari sumber yang sama menyebutkan bahwa pada tahun 2003
di perbatasan Indonesia-Malaysia harga orok bermata sipit dan
berkulit putih dihargai sekitar 18.000 -25.000 Ringgit Malaysia.
Sedangkan untuk orok bermata bundar dan berkulit hitam
dihargai 10.000-15.000 Ringgit Malaysia.

75
Cara atau modus penjualan bayi bervariasi. Misalnya, beberapa
buruh migran Indonesia yang menjadi korban sebagai perkawinan
palsu saat di luar negeri, dipaksa untuk menyerahkan bayinya untuk
diadopsi secara illegal. Dalam kasus lain, ibu rumah tangga Indonesia
ditipu oleh pembantu rumah tangga kepercayaannya yang melarikan
bayi majikannya kemudian menjual bayi tersebut kepasar gelap.
4) Jeratan Hutang
Jeratan hutang adalah salah satu bentuk dari perbudakan
tradiional, di mana korban tidak bisa melarikan diri dari pekerjaan atau
tempatnya bekerja sampai hutangnya lunas. Ini terjadi mislanya pada
para TKW, di mana ketika mereka berangkat ke negara tujuan dibiayai
oleh PJTKI dan mereka harus mengganti dengan gaji sekitar empat
bulanan yang padahal jika dihitung-hitung baiaya yang dikeluarkan
oleh PJTKI tidak sebanyak gaji TKW tersebut. Ini menjadikan para
TKW harus tetapbekerja apapun kondisi yang dihadapi di lapangan
sampai habis masa kontrak. Karena itulah jeratan hutang dapat
mengarah pada kerja paksa dan membuka kemungkinan terjadinya
kekerasan dan eksploitasi terhadap pekerja.
Pekerja kehilangan kebebasannya untuk bekerja karena orang
yang menghutangkan ingin memastikan bahwa pekerja tidak akan lari
dari hutangnya. Meskipun secara teori mereka hutang tersebut dapat
dibayarkan dalam jangka waktu tertentu tetapi hutang tersebut akan
terus ditingkatkan sampai si peminjam tidak dapat melunasinya.
5) Pengedar Narkoba dan Pengemis
Dunia saat ini sudah diserang virus berbahaya yang namanya
narkoba. Narkoba sudah mengglobal di seluruh dunia dan sulit untuk
dicegah penyebarannya mulai dari kota besar sampai kepelosok desa.

76
Karena secara materi hasil dari penjualan narkoba sangat
fantastis dibanding dengan pekerjaan atau bisnis apapun. Inilah salah
satu yang menyebabkan orang-orang terjun kelingkungan mafia,
karena satu sisi hasilnya sangat menggiurkan dan disisi lain ia sulit
menemukan pekerjaan yang layak dengan penghasilan besar walaupun
resikonya juga sangat besar.
Kemudian juga dimanfaatkan oleh bandar-bandar narkoba untuk
mengedarkan pil setannya juga menjadi penggunanya. Misalnya
banyak kasus dalam tayangan berita di mana muda mudi tertangkap
menyeludupkan narkoba termasuk heroin atau ganja tertangkap polisi.
Mereka sangat sulit sekali untuk membuka siapa yang ada dibalik
mereka, karena biasanya mereka sudah diikat dengan perjanjian untuk
tidak membuka dan kadangkala mereka sendiri tidak tau siapa pihak
pertama atau pemilik barang haram tersebut. Akhirnya merekalah yang
harus menerima resikonya sementara bandar narkobanya bebas
melenggang.
Pekerjaan lain yang juga menjadi penyakit adalah adanya
sindikat bagi para pengemis. Banyak perempuan-perempuan di lampu
merah yang bahkan menggendong anak kecil dengan penampilan yang
amat sangat tidak layak untuk masa sekarang ini yang serba modern
berburu kepingan rupiah dari mereka-mereka yang punya rasa iba.
Ternyata banyak diantara mereka yang dikordinir dan ditempatkan
ditempat-tempat yang sudah ditentukan. Untuk mengatasi masalah ini,
dibutuhkan kerja keras dari semua pihak dengan sungguh-sungguh dan
bukan penyelesaian yang hanya bersifat formalitas belaka. Memang
sudah ada upaya dari Dinas Sosial tapi ini mungkin baru sedikit karena
buktinya semakin hari perempuan yang mengemis di jalanan makin
banyak.

77
6) Pengantin Pesenan Pos (Mail order bride)
Kasus ini dapat terjadi salah satunya adalah karena tingginya
mahar yang diminta oleh pihak perempuan, sementara laki-laknya
tidak mampu secara ekonomi untuk memenuhinya sedangkan usia
mereka lebih dari cukup untuk menikah. Maka salah satu caranya
adalah dengan membeli perempuan dari luar negeri untuk dinikahinya
karena tidak perlu memberikan mahar yang besar dan lebih mau
menuruti apa maunya si laki- laki. Ini dialami oleh seorang TKW
dimana ia menceritakan bahawa ia telah menikah dengan laki-laki asal
timur tengah, namun ironinya ketika perempuan tersebut hamil ia
dipulangkan ke Indonesia dengan tanpa sepersenpun diberi nafkah dan
biaya persalinan.
Ada dua metode yang dikembangkan dalam melihat perkawinan
sebagai salah satu penipuan.
a) perempuan tersebut dan membawa ke wilayah lain yang sangat
asing, namun sesampai di wilayah tujuan perempuan tersebut
disalurkan dalam industri seks atau prostitusi. Ini sangat ironi
sekali dan sangat bias gender, dimana seorang suami yang
harusnya berkewajiban mencari nafkah untuk keluarga justru
sebaliknya ia menghambur- hamburkan uang yang dikumpulkan
istri. Mungkin ini karena pihak laki-laki merasa ia sudah
membeli si perempuan sehingga ia menganggap bahwa
perempuan itu adalah budaknya yang bisa bebas ia perlakukan.
b) Perkawinan untuk memasukkan perempuan ke dalam rumah
tangga untuk mengerjakan pekerjaan-pekerjaan domistik yang
sangat eksploitatif bentuknya. Fenomina pengantin pesanan ini
banyak terjadi dalam masyarakat keturunan cina di Kalimantan
Barat dengan para suami berasal dari Taiwan walaupun dari
Jawa Timur diberitakan telah terjadi beberapa kasus serupa.

78
Data dari Pusat Studi Wanita Universitas Tanjung Pura, setiap tahun
kira-kira 50 perempuan kembali ke Singkawang dari Taiwan telah
mengalami kekerasan dan penipuan. Kekerasan dan penipuan yang
dilaporkan bermacam-macam yaitu dinikahkan dengan laki-laki yang
lebih tua, berlainan dengan apa yang diberitahukan sebelumnya atau
dengan laki-laki yang cacat mental atau fisik atau dinikahkan secara
sah sebagai perempuan simpanan atau menjadi pelayan tanpa bayaran
atau bekerja di pabrek dan dipaksa bekerja di prostitusi
7) Donor Paksa Organ Tubuh
Perdagangan organ tubuh manusia kini semakin merajalela
seiring dengan kemajuan teknologi dibidang kedokteran, misalnya saja
teknologi cangkok jantung, ini biasanya dipesan untuk mereka para
penderita jantung yang berkantong tebal dan “turis cangkok” sebutan
untuk para pasien yang datang ke negara-negara miskin untuk membeli
organ tubuh orang-orang miskin. Di Indonesia, modus penjualan organ
tubuh ini beranika ragam, ada yang menjual karena terdesak kebutuhan
ekonomi, misalnya yang dilakukan seorang ibu demi memenuhi biaya
hidup, pendidikan bahkan untuk pengobatan penyakit anaknya ia rela
menjual organ ginjalnya atau juga yang dilakukan dengan cara menipu
sang donor. Bahkan ditengarai ada kasus pembubuhan dengan tujuan
mengambil organ tubuh korban kemudian dijual
Modus lain adalah memanfaatkan organ tubuh para TKW yang
meninggal di luar negeri. Untuk kasus ini seringkali ketika jenazah sampai
di dalam negeri biasanya pihak keluarga tidak diperkenankan meliahat atau
membuka peti jenazah. Sebenarnya ini sering terjadi tapi karena ketidak
tahuan pihak keluarga akhirnya pihak keluarga hanya menuruti saja, padahal
mungkin saja jenazah yang cukup lama tapi juga karena organ tubuh mayat
sudah diambil untuk dijual yang mingkin saja dilakukan oleh pihak majikan
ataupun pihak rumah sakit yang sudah bekerjasama dengan sindikat
penjualan organ tubuh manusia.

79
b. Modus Trafficking
Dalam menjalankan operandinya para trafficker sering menggunakan
mudus berupa iming-iming. Di antara modus-modusnya antara lain yaitu:
1) Tawaran Kerja
Salah satu modus human trafficking yang sering dilakukan
adalah penawaran kerja ke luar pulau atau luar negeri dengan gaji
tinggi. Pelaku biasanya mendatangi rumah calon korbannya dan saat
pemberangkatan juga tanpa dilengkapi surat keterangan dari
pemerintah desa setempat.
Cara tersebut dilakukan untuk menghilangkan kecurigaan
sejumlah pihak, termasuk memberi kemudahan kepada keluarga
korban untuk dapat diterima kerja tanpa harus mengurus sejumlah
surat kelengkapan kerja di luar daerah atau negeri. Dari pihak orang
tua korban sudah tidak memperdulikan aturan atau kelengkapan surat-
surat kerja karena sudah termakan oleh bujukan pelaku.
Modusnya adalah para calo atau perantara memberi iming-
iming bagi para korban dengan menawarkan bekerja di mall dan salon
dengan gaji besar. Selanjutnya korban diserahkan pada germo yang
kemudian dipekerjakan secara paksa sebagai wanita penghibur di
tempat-tempat hiburan malam.
Selain aspek pemaksaan yang menyalahi aturan, aspek upah
juga sangat merugikan para korban. Mereka hanya mendapatkan
sedikit upah dari transaksi. pdahal sekali kencan korban diberi uang
oleh hidung belang sekitar kurang lebih 500 ribu sekali kencan. Hal ini
biasanya dijadikan dalih oleh para germo sebagai pembiayaan fasilitas
antar jemput, baju, dan rias bagus serta modis agar lebih menarik.

80
2) Bius
Rayuan dan iming-iming pekerjaan bukan lagi menjadi
modus yang paling sering dilakukan dalam human trafficking, tetapi
saat ini orang bisa menjadi korban perdagangan manusia dengan
kekerasan seperti dibius.
Modus ini menggunakan kekerasan, cara modus ini berawal dari
penculikan terhadap korban, kemudian pelaku membiusnya dengan
suntikan ataupun dengan alat yang lain yang digunakan untuk
membius. Kemudian korban dibawa dan dipertemukan dengan sang
bos. Setelah itu korban diserahkan jaringan lainnya untuk dibawa
ke negara lain tanpa membawa paspor untuk dipekerjakan secara
paksa sebagai pekerja seks.

4. Dampak Pengaruh Trafficking Human


Berdasarkan perspektif historis, startegi dan tahapan, serta faktor penyebab
human trafficking, maka hal tersebut menempatkan perempuan korban trafficking
dalam situasi yang beresiko tinggi yang berdampak terhadap fisik, psikis maupu
kehidupan sosial perempuan korban trafficking sebagaimana yang digambarkan
Course Instruction (2011: 13, 14) sebagai berikut
a. Dampak Psikologi dan Kesehatan Mental
Menurut Williamson et al. (2010: 2), perempuan korban trafficking
sering mengalami, menyaksikan, atau dihadapkan dengan suatu peristiwa
atau kejadian yang melibatkan cedera aktual atau terancam kematian yang
serius, atau ancaman terhadap integritas fisik diri sendiri atau orang lain" dan
tanggapan mereka terhadap peristiwa ini sering melibatkan "rasa takut yang
sangat, dan ketidakberdayaan, sebagai reaksi umum dari post traumatic
stress disorder (PTSD). Pengalaman traumatis dan ketakutan dialami
perempuan korban trafficking sejak awal mereka ditangkap secara paksa,
mengalami penyekapan di daerah transit sebelum dikirim ke tempat tujuan
untuk dijual dan di eksploitasi (American Association, 2005: 467).

81
Setelah kedatangan ke tempat tujuan, perempuan korban trafficking
perempuan korban trafficking terisolasi secara sosial, yang diselenggarakan
dalam kurungan, dan kekurangan makanan. Semua milik pribadi dilucuti
dari mereka, surat identitas, paspor, visa, dan dokumen lainnya (Course
Instruction, 2011:1). Korban mengalami banyak gejala psikologis yang
dihasilkan dari kekerasan mental sehari-hari dan penyiksaan. Ini termasuk
depresi, stres yang berhubungan dengan gangguan, disorientasi,
kebingungan, fobia, dan ketakutan. Korban shock, mengalami penolakan,
ketidakpercayaan, tentang situasi mereka saat itu, perasaan tidak berdaya
dan malu (Stotts & Ramey, 2009:10). Rasa takut yang terus-menerus untuk
keamanan pribadi mereka dan keselamatan keluarga mereka, ancaman
deportasi akhirnya berkembang menjadi rasa kehilangan dan tidak berdaya.
Hal ini tidak mengherankan bahwa depresi, kecemasan, dan post traumatic
stress disorder (PTSD) adalah gejala yang umum dialami oleh para korban
yang diperdagangkan.
Para perempuan korban trafficking seringkali mengalami kondisi yang
kejam yang mengakibatkan trauma fisik, seksual dan psikologis.
Kegelisahan, insomnia, depresi dan post traumatic stress disorder
menggambarkan standar evaluasi atau penilaian yang mengecewakan nilai
diri dengan memandang rendah diri sendiri (Taylor, 2012:1). Para
perempuan korban trafficking seringkali kehilangan kesempatan penting
untuk mengalami perkembangan sosial, moral, dan spiritual. Hilang harapan
tanpa tujuan hidup yang jelas, suram dan gelap masa depan.
1) Post Traumatic Stress Disorder (PTSD)
PTSD merupakan suatu pengalaman individu yang mengalami
peristiwa traumatik yang menyebabkan gangguan pada integritas diri
individu dan sehingga individu mengalami ketakutan,
ketidakberdayaan dan trauma tersendiri (Townsend M.C., 2009).

82
Individu dengan Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) sering
menyebabkan peningkatan keadaan siaga yang berlebihan, deperti
insomnia, waspada berlebihan dan iritabilitas terhadap lingkungan
yang berbahaya. Peningkatan ansietas dapat menyebabkan perilaku
agresif atau perilaku menciderai (Fontaine, 2009).
Berdasarkan penelitian Rose (2002) ada 3 tipe gejala yang sering
terjadi pada PTSD, yaitu:
a) Pengulangan pengalaman trauma, ditunjukkan dengan selalu
teringat akan peristiwa yang menyedihkan yang telah dialami
itu, flashback (merasa seolah-olah peristiwa yang menyedihkan
terulang kembali), nightmares (mimpi buruk tentang kejadian-
kejadian yang membuatnya sedih), reaksi emosional dan fisik
yang berlebihan karena dipicu oleh kenangan akan peristiwa
yang menyedihkan.
b) Penghindaran dan emosional yang dangkal, ditunjukkan dengan
menghindari aktivitas, tempat, berpikir, merasakan, atau
percakapan yang berhubungan dengan trauma. Selain itu juga
kehilangan minat terhadap semua hal, perasaan terasing dari
orang lain, dan emosi yang dangkal.
c) Sensitifitas yang meningkat, ditunjukkan dengan susah tidur,
mudah marah / tidak dapat mengendalikan marah, susah
konsentrasi, kewaspadaan yang berlebih, respon yang berlebihan
atas segala sesuatu.
2) Kecemasan
Kecemasan adalah kebingungan, kekhawatiran pada sesuatu
yang akan terjadi dengan penyebab yang tidak jelas dan dihubungkan
dengan perasaan tidak menentu dan tidak berdaya (Videbeck, 2008).

83
Satu studi melaporkan bahwa orang yang selamat dari trafficker
mengalami kecemasan dengan gejala kegugupan (95%), panik (61%),
merasa tertekan (95%) dan keputusasaan tentang masa depan (76%)
(Bradley, 2005).
3) Ketidakberdayaan
Ketidakberdayaan adalah persepsi yang menggambarkan
perilaku seseorang yang tidak akan berpengaruh secara signifikan
terhadap hasil, suatu keadaan dimana individu kurang dapat
mengendalikan kondisi tertentu atau kegiatan yang baru dirasakan.
Secara kognitif korban umumnya kurang konsentrasi,
ambivalensi, kebingungan, fokus menyempit / preokupasi,
misinterpretasi, bloking, berkurangnya kreatifitas, pandangan suram,
pesimis, sulit untuk membuat keputusan, mimpi buruk, produktivitas
menurun, pelupa. Afek korban terkadang tampak sedih, bingung,
gelisah, apatis / pasif, kesepian, rasa tidak berharga, penyangkalan
perasaan, kesal, khawatir, perasaan gagal. Korban sering semakin
sering mengeluh kelemahan, pusing, kelelahan, keletihan, sakit kepala,
perubahan siklus haid. Keluarga mungkin melaporkan
perubahantingkat aktivitas pada korban, mudah tersinggung, kurang
spontanitas, sangat tergantung, mudah menangis. Kecenderungan
untuk isolasi, partisipasi sosial berkurang pada tingkat lanjut mungkin
akan tampak pada korban (Rahmalia, 2010)
b. Dampak Sosial
Secara sosial para perempuan korban trafficking teralenasi, karena sejak
awal direkrut, diangkut atau ditangkap oleh jaringan trafficker mereka sudah
disekap, diisolir agar tidak berhubungan dengan dunia luar atau siapapun
sampai mereka tiba ditempat tujuan. Eksploitasi seksual yang di alami para
korban ditempat pekerjaan membatasi mereka untuk bertemu dengan orang
lain (Course Instructions, 2011: 3, 4), kecuali harus melayani nafsu bejat
para tamu (lelaki hidung belang).

84
Para korban semestinya memandang dunia dan masa depan dengan
mata bersinar, hidup aman tentram bersama perlindungan dan kasih sayang
keluarganya, tibatiba harus tercabut masuk ke dalam situasi yang eksploitatif
dan kejam, menjadi korban sindikat trafficking
Konsekuensi sosial tersebut sebagai salah satu dampak yang banyak
dialami oleh perempuan. Korban trafficking. Korban mengalami isolasi
sosial, yang berfungsi sebagai strategi untuk perbudakan dan eksploitasi
seksual. Sementara diperbudak, para korban terutama anak-anak biasanya
kehilangan kesempatan pendidikan dan sosialisasi dengan teman sebayanya
(Stotts & Ramey, 2009: 10). Karena trafficking perempuan tampaknya
mengorbankan seluruh masyarakat, anak dan wanita, isolasi sosial
merupakan upaya untuk mencegah mereka mendapatkan pendidikan dan
meningkatkan kerentanan masa depan mereka untuk diperdagangkan.
Menurut Chatterjee et al. (Wickham, 2009: 12, 13), persoalan sosial
yang sangat tragis dan semakin meningkatkan stress dan depresi para korban
adalah ketika keluarga dan masyarakat menolak untuk menerima mereka
kembali. Selain itu, para pria sering melihat perempuan korban trafficking
sebagai orang yang kotor, telah ternodai dan karena itu menolak untuk
menikahi mereka. Diskriminasi terhadap para perempuan korban trafficking
terjadi dalam berbagai sector dan berbagai bentuk. Kenyataan ini telah
menggugah rasa kemanusiaan dari berbagai pihak untuk terus berjuang agar
nilai-nilai kemanusiaan seperti keadilan, kesederajatan, bisa diwujudkan.
Jadi dampak sosial yang dimaksud adalah isolasi sosial, penolakan dari
keluarga & masyarakat mengakibatkan perempuan korban trafficking
kehilangan makna dan tujuan hidup serta penghargaan atas dirinya.
c. Dampak Kesehatan Fisik
Secara fisik, cedra aktual para perempuan korban trafficking terjadi,
karena mereka mengalami kekerasan fisik dan seksual. Mereka seringkali
terpaksa harus tinggal di lingkungan yang tidak manusiawi dan bekerja
dalam kondisi berbahaya.

85
Mereka tidak memiliki gizi yang cukup dan dikenakan penyiksaan
secara brutal pada fisik dan psikis, apabila mereka tidakmemberikan
pelayanan seksual yang diinginkan pelanggan (“lelaki hidung belang”) atau
karena penolakan para korban terhadap eksploitasi seksual. Korban sering
tidak memiliki akses ke perawatan medis yang memadai dan tinggal
dilingkungan yang najis dan tidak layak (Stotts & Ramey, 2009: 10).
Perawatan kesehatan dan pencegahan penyakit seksual menular terhadap
para korban hampir tidak ada, dan kesehatan biasanya diabaikan sampai
mereka semakin terpuruk menderita penyakit HIV / AIDS, sipilis, gonorea
dan penyakit seksual menular lainnya.
Para perempuan korban trafficking dirugikan dengan berbagai metode
yang digunakan traffickers untuk "kondisi" mereka, termasuk pemerkosaan,
pemerkosaan geng, ancaman untuk menyakiti korban atau keluarga korban,
kronis pada pendengaran, dan kardiovaskular atau masalah pernapasan yang
disebabkan oleh penyiksaan, trans-seksual dan memaksa penggunaan
narkoba. Luka fisik termasuk hal-hal seperti patah tulang, gegar otak, luka
bakar, dan vagina atau dubur robek. Kehamilan korban yang tidak
diinginkan akibat pemerkosaan atau prostitusi. Infertility sebagai akibat
infeksi kronis menular seksual yang tidak diobati atau gagal atau melakukan
aborsi tradisional bukan oleh para medis dan tanpa perawatan medis. Belum
lagi penyakit yang tidak terdeteksi atau tidak diobati, seperti diabetes atau
kanker, sebagai ancaman masa depan para korban (Stotts & Ramey, 2009:
11). Penyalahgunaan zat (obat- obatan terlarang) sebagai sarana untuk
mengatasi situasi depresi korban sekaligus sebagai strategi traffickers
menundukkan korban untuk melakukan eksploitasi seksual.
Jadi dampak kesehatan fisik yang dimaksud adalah cedera aktual &
ancaman terhadap integritas diri para korban yang mengalami kekerasan
fisik dan seksual.

86
Penderitaan secara fisik yang dialami para perempuan korban
trafficking, menciptakan citra diri negatif, konsep diri para korban semakin
terpuruk, kehilangan makna hidup, harkat dan martabat para korban menjadi
hancur
5. Pencegahan dan Penanggulangan Human Trafficking
Perdagangan orang, khususnya perempuan sebagai suatu bentuk tindak
kejahatan yang kompleks, tentunya memerlukan upaya penanganan yang
komprehensif dan terpadu.
Tidak hanya dibutuhkan pengetahuan dan keahlian professional, namun juga
pengumpulan dan pertukaran informasi, kerjasama yang memadai baik sesame
apparat penegak hokum seperti kepolisian, kejaksaan, hakim maupun dengan
pihak- pihak lain yang terkait yaitu lembaga pemerintah (Kementrian terkait) dan
lembaga non pemerintah (LSM) baik local maupun internasional.
Semua pihak bisa saling bertukar informasi dan keahlian profesi sesuai
dengankewenangan masing-masing dan kode etik instansi. Tidak hanya perihal
pencegahan, namun juga penanganan kasus dan perlindungan korban semakin
memberikan pembenaran bagi upaya pencegahan dan penanggulangan
perdagangan peremuan secara terpadu. Hal ini bertujuan untuk memastikan agar
korban mendapatkan ha katas perlindungan dalam hukum.
Dalam konteks penyidikan dan penuntutan, aparat penegak hukum dapat
memaksimalkan jaringan kerjasama dengan sesama apparat penegak hokum
lainnya didalam suatu wilayah negara, untuk bertukar informasi dan melakukan
investigasi bersama. Kerjasama dengan apparat penegak hokum di negara tujuan
bisa dilakukan melalui pertukaran informasi, atau bahkan melalui mutual legal
assistance, bagi pencegahan dan penanggulangan perdagangan perempuan lintas
negara.

87
Upaya Masyarakat dalam pencegahan trafficking yakni dengan meminta
dukungan ILO dan Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI) yang
melakukan Program Prevention ofChild Trafficking for Labor and Sexual
Exploitation. Tujuan dari program ini adalah:
a. Memperbaiki kualitas pendidikan dari tingkat Sekolah Dasar sampai
Sekolah Menegah Atasuntuk memperluas angka partisipasi anak laki-laki
dan anak perempuan.
b. Mendukung keberlanjutan pendidikan dasar untuk anak perempuan setelah
lulus sekolah dasar
c. Menyediakan pelatihan keterampilan dasar untuk memfasilitasi kenaikan
penghasilan
d. Menyediakan pelatihan kewirausahaan dan akses ke kredit keuangan untuk
memfasilitasi usaha sendiri.
e. Merubah sikap dan pola pikir keluarga dan masyarakat terhadap trafficking
anak.
6. Asuhan Keperawatan
Kasus :
Suara Ibu Sulis terdengar geram ketika bercerita mengenai apa yang terjadi
pada salah satu putrinya, yang menjadi korban – dan pada akhirnya penyintas –
perdagangan orang pada akhir 2013. “Tidak bisa saya bayangkan ketakutannya.,
Dia jauh dari rumah, bekerja untuk rumah biadab itu. Dia melihat semuanya., Dia
seperti jadi orang lain ketika saya pertama kali mendengar suaranya (melalui
telepon) setelah sekian lama tidak berhubungan,” kata Ibu Sulis berapi-api.
“Keluarga kami broken home. Anak-anak melihat orangtua tidak akur. Mungkin
itu yang menyebabkan dia memutuskan pergi,” jelas Ibu Sulis yang berasal dari
Palopo, Sulawesi Selatan. “Anak saya mungkin frustasi dan tidak tahan kondisi
keluarga kami,” tegas ibu Sulis, 45 tahun.
Bella yang lahir pada tahun 1995, menurut ibunya, tergoda dengan iming-
iming gaji Rp 10 juta per bulan sebagai SPG.

88
Dia mendapat tawaran dari teman masa kecilnya yang memang sudah lebih
dulu bekerja di Dobo, kota kecil di Kepulauan Aru di Maluku.
Bersama dengan teman lama dan sahabatnya, Bella pergi diam-diam
meninggalkan desa dan merasa bahwa mencari nafkah sendiri merupakan jawaban
akan kegalauannya. Dari kampung mereka, Rawamangun di Palopo, gadis-gadis
sebaya ini berangkat ke Makassar., Menginap satu malam di sebuah hotel dan
bertemu dengan calon pemberi pekerjaan, yang ternyata adalah pemilik kelab
malam. Lalu berangkat dengan pesawat menuju Ambon pada keesokan harinya.
Para pelaku praktek perdagangan orang ini diduga menggunakan sistem sel yang
terputus-putus di satu daerah ke daerah lain., Hampir serupa dengan cara sindikat
narkoba beroperasi. Sehingga dari Ambon, gadis-gadis Palopo ini bertemu dengan
orang yang berbeda yang membawa mereka ke Pulau Aru. Dan cerita sedih
berkepanjangan dimulai ketika mereka menginjakkan kaki di tempat kerja mereka.
“Dia magang untuk 3 bulan baru boleh dibawa keluar. Selama itu dia kerja
melayani tamu, menemani minum. Setiap hari dia disuruh memakai pakaian
seminim mungkin dan dipajang di ruang kaca. Bisa saya katakan separuh
telanjang,” kata Ibu Sulis menceritakan apa yang dia dengar dari anaknya. Bella
dan teman-temannya melihat perlakuan buruk kepada perempuan yang bekerja di
sana.; Bukan hanya dari para pelanggan tetapi juga pekerja laki-laki serta pemilik
tempat hiburan itu. “Mereka membuat perempuan menjadi binatang. Menjerat
dengan hutang yang jelas-jelas tidak akan sanggup mereka bayar. Ada ibu-ibu
yang sama sekali tidak bisa meninggalkan tempat itu karena hutang banyak, anak
banyak dan tidak jelas siapa saja bapaknya.” “Bella juga melihat teman-temannya
yang sakit atau hamil dibawa pergi dari pulau dan tidak pernah kembali.”
Cerita Bella hanyalah satu dari ribuan kisah pilu perdagangan orang.
Tersamarkan dengan berbagai modus yang terus diperbaharui seiring dengan
perkembangan jaman untuk menjerat korbannya. Iming-iming gaji bulanan dengan
jumlah fantastis masih sering digunakan, tetapi para pemangsa mulai
menggunakan media sosial untuk menjerat targetnya. Dan sudah ada pula kasus-
kasus dimana korban dijerat melalui perjalanan umrah.

89
a. Pengkajian
Nama Klp : Kelompok 7 Tg/ Jam MRS :
Tgl/ Jam Pengkajian : No. RM :
Sumber Data : Ny. S Ruangan/ Kelas :
Metode : No. Kamar :
Alat/ Bahan :
Diagnosa Medis :
I. IDENTITAS
1. Nama : Nn. B
2. Umur : Lahir tahun 1995
3. Jenis Kelamin : Perempuan
4. Pekerjaan : SPG
5. Alamat dan No. Telp : Rawamangun, Palopo
6. Penanggung Jawab & : Ny. S (45 Tahun) sebagai Ibunya
Hubungan dg Klien

II. POLA PERSEPSI KESEHATAN ATAU PENANGANAN


KESEHATAN
1. Keluhan Utama:

Menurut Ny. S “Anak saya mungkin frustasi dan tidak


tahan kondisi keluarga kami,”

2. Riwayat Penyakit Sekarang

(Tidak terdapat dalam Kasus)

3. Lamanya Keluhan

(Tidak terdapat dalam Kasus)

90
4. Faktor yang Memperberat

Menurut Ny. S “Keluarga kami broken home. Anak-


anak melihat orangtua tidak akur. Mungkin itu yang
menyebabkan dia memutuskan pergi,”

5. Upaya yang dilakukan untuk mengatasi Keluhan

Menurut Ny. S bersama dengan teman lama dan


sahabatnya, Bella pergi diam-diam meninggalkan desa dan
merasa bahwa mencari nafkah sendiri merupakan jawaban
akan kegalauannya.

6. Riwayat Penyakit Dahulu

(Tidak terdapat dalam Kasus)

7. Persepsi Klien tentang status kesehatan dan kesejahteraan

(Tidak terdapat dalam Kasus)

8. Riwayat Kesehatan Keluarga

(Tidak terdapat dalam Kasus)

9. Susunan Keluarga (Genogram)

(Tidak terdapat dalam Kasus)

10. Riwayat Alergi

(Tidak terdapat dalam Kasus)

III. POLA NUTRISI DAN METABOLIK

(Tidak terdapat dalam Kasus)

IV. POLA ELIMINASI

(Tidak terdapat dalam Kasus)

91
V. POLA AKTIVITAS DAN LATIHAN

(Tidak terdapat dalam Kasus)

VI. POLA ISTIRAHAT DAN TIDUR

(Tidak terdapat dalam Kasus)

VII. POLA KOGNITIF DAN PERSEPTUAL

Tingkat Ansietas:

Menurut Ny. S “Tidak bisa saya bayangkan


ketakutannya., Dia jauh dari rumah, bekerja untuk rumah
biadab itu. Dia melihat semuanya., Dia seperti jadi orang lain
ketika saya pertama kali mendengar suaranya (melalui telepon)
setelah sekian lama tidak berhubungan,”

VIII.POLA PERSEPSI DIRI/ KONSEP DIRI

1. Role Peran : Konflik Peran

Menurut Ny. S “Dia magang untuk 3 bulan baru


boleh dibawa keluar. Selama itu dia kerja melayani
tamu, menemani minum. Setiap hari dia disuruh
memakai pakaian seminim mungkin dan dipajang di
ruang kaca. Bisa saya katakan separuh telanjang,”

2. Identity/ Identitas Diri : Merasa Terkekang dan Kurang


Mampu menentukan Pilihan.

Menurut Ny. S “Mereka membuat perempuan


menjadi binatang. Menjerat dengan hutang yang jelas-
jelas tidak akan sanggup mereka bayar.

92
Ada ibu-ibu yang sama sekali tidak bisa
meninggalkan tempat itu karena hutang banyak, anak
banyak dan tidak jelas siapa saja bapaknya.”

Masalah Keperawatan : Resiko Harga Diri Rendah

IX. POLA PERAN DAN HUBUNGAN

Pekerjaan : SPG

X. POLA SEKSUALITAS/ REPRODUKSI

(Tidak Terdapat dalam Kasus)

XI. POLA KOPING/TOLERANSI STRESS

(Tidak Terdapat dalam Kasus)

XII. POLA NILAI / KEPERCAYAAN

(Tidak Terdapat dalam Kasus)

XIII. PENGKAJIAN PERSISTEM (Review of System)

(Tidak Terdapat dalam Kasus)

XIV. PEMERIKSAAN PENUNJANG

(Tidak Terdapat dalam Kasus)

XV. TERAPI

(Tidak Terdapat dalam Kasus)

93
ANALISA DATA
Nama Klien : Nn. B
Umur : Lahir Tahun 1995
Ruangan/ Kamar :
No. RM :
No. Data (Symptom) Penyebab (Etiologi) Masalah (Problem)
1. Objektif Perubahan Proses
Keluarga
1. Menurut Ny. S “Anak
saya mungkin frustasi dan
Frustasi
tidak tahan kondisi
Perubahan Proses
keluarga kami,”
Tidak Tahan Kondisi Keluarga
2. Menurut Ny.S “Keluarga
Keluarga
kami broken home. Anak-
anak melihat orangtua
Broken Home
tidak akur. Mungkin itu
yang menyebabkan dia
Orang Tua Tidak Akur
memutuskan pergi,”

2. Objektif
Resiko HDR
1. Menurut Ny. S “Dia
magang untuk 3 bulan
Kerja Melayani Tamu
baru boleh dibawa keluar.
Pria Resiko Harga Diri
Selama itu dia kerja
Rendah
melayani tamu,
Memakai Pakaian
menemani minum. Setiap
Minim
hari dia disuruh memakai
pakaian seminim
Pekerjaan SPG
mungkin dan dipajang di
ruang kaca. Bisa saya

94
katakan separuh
telanjang,”
2. Menurut Ny. S “Mereka
membuat perempuan
menjadi binatang.
Menjerat dengan hutang
yang jelas-jelas tidak akan
sanggup mereka bayar

b. Diagnosa Keperawatan
1) Proses Perubahan Keluarga
2) Resiko Harga Diri Rendah

c. Intervensi
Perencanaan
No Diagnosa
Tujuan Kriteria Hasil Intervensi
1 Proses Pasien dan Keluarga 1. Pengkajian
mampu:
Perubahan mampu:
a. Kaji Interaksi
1. Mengidentifikasi
Keluarga 1) Memahami
antara pasien dan
Pola Koping
perubahan dalam
keluarga, waspada
2. Berpartisipasi
peran keluarga
terhadap potensi
dalam proses
perilaku merusak
membuat
b. Kaji Keterbatasan
keputusan
anak, dengan
tentang
demikian dapat
perawatan
mengakomodasi
setelah rawat

95
inap anak untuk
3. Berfungsi untuk berpartisipasi
saling dalam aktivitas
memberikan sehari-hari
dukungan 2. Intervensi Umum
kepada setiap a. Bina Hubungan
anggota keluarga Saling Percaya Beri
4. Mengidentifikasi Kesempatan
cara untuk kepada Keluarga
berkoping lebih sebagai Individu
efektif dan Sebagai
Kelompok untuk
saling berbagi
tentang perasaan
yang mereka
pendam
b. Tekankan bahwa
anggota keluarga
tidak bertanggung
jawab atas
kebiasaan mabuk
anggota keluarga
lainnya.
c. Gali keyakinan
keluarga tentang
situasi yang
mereka hadapi dan
tujuan mereka.
d. Bicarakan tentang

96
metode tak efektif
yang digunakan
keluarga
e. Bantu keluarga
memahami
efek dari upaya
merekamengontrol
kebiasaan mabuk
g. Tekankan bahwa
membantu
pencandu alcohol
berarti pertama-
tama harus
membantu diri
mereka sendiri
h. Bicarakan dengan
keluarga bahwa,
selama masa
pemulihan,
dinamika keluarga
mereka akan
berubah drastic.
i. Bicarakan tentang
kemungkingan
kambuh dan factor
penunjang
j. Bila terdapat
diagnosis
keperawatan

97
individu atau
keluarga tambahan,
lihat Tindak
penganiyaan
anakatau tindak
kekerasan dalam
rumah tangga
dibawah diagnosis
ketidakmampuan
koping keluarga
k. Lakukan
penyuluhan
kesehatan
mengenai sumber
daya komunitas
dan lakukan
perujukan sesuai
indikasi.
3. Promosi Integritas
Keluarga

a. Kaji Perasaan
Bersalah yang
mungkin dialami
keluarga
b. Kaji jenis
hubungan keluarga
c. Pantau hubungan
keluarga saat ini
d. Kaji pemahaman

98
keluarga tentang
penyebab penyakit
e. Identifikasi
Prioritas yang
bertentangan
diantara anggota
keluarga
4. Penyuluhan untuk
Pasien/ Keluarga
a. Ajari keterampilan
merawat pasien
yang diperlukan
oleh keluarga
(misalnya,
manajemen waktu,
pengobatan)
b. Ajari keluarga
perlunya kerjasama
dengan system
sekolah untuk
menjamin akses
kesempatan
pendidikan yang
sesuai untuk
penderita penyakit
kronis atau anak
cacat.
5. Aktivitas Kolaboratif
a. Pelopori konferensi

99
multidisiplin
perawatan pasien,
dengan melibatkan
pasien/ keluarga
dalam
menyelesaikan
masalah dan
fasilitasi
komunikasi
b. Berikan

perawatan
berkelanjutan
dengan
mempertahankan
komunikasi
yang efektif antara
anggota staf
melalui catatan
keperawatan
dan rencana
perawatan
c. Anjurkan
pelayanan
konsultasi social
untuk membantu
keluarga
menentukan
kebutuhan

100
pascahospitalisasi

dan identifikasi
sumber dukungan
di komunitas.
d. Promosi Integrasi
keluarga (NIC),
rujuk untuk terapi
keluarga sesuai
indikasi
2 Gangguan Pasien Mampu : Setelah…..pertemuan
klien  Identifikasi
Konsep  Mengidentifikasi
mampu: kemampuan positif
Diri: kemampuan dan
 Mengidentifikasi yang dimiliki
Harga diri aspek posiif yang
kemampuan - Diskusikan bahwa
rendah dimiliki
aspek positif pasien masih
 Menilai kemampuan
yang dimiliki memiliki sejumlah
yang dapat
 Memiliki kemampuan dari
digunakan
kemampuan aspek positif
 Menetapkan/memilih
yang dapat seperti kegiatan
kegiatan yang sesuai
digunakan. pasien di rumah
dengan kemampuan
 Memilih adanya keluarga
 Melatih kegiatan
kegiatan sesuai dan lingkungan
yang sudah
kemampuan terdekat pasien.
dipilih, sesuai
 Melakukan Beri pujian yang
kemampuan
kegiatan yang realistis dan
 Merencanakan
sudah dipilih. hindarkan setiap
kegiatan yang sudah
 Merencanakan kali bertemu
dilatihnya
kegiatan yang dengan pasien
sudah dilatih. penilaian yang

101
negative.
 Nilai kemampuan
yang dapat dilakukan
saat ini
- Diskusikan
dengan pasien
kemampuan yang
masih digunakan
saat ini
- Bantu pasien
menyebutkannya
dan memberi
penguatan
terhadap
kemampuan diri
yang diungkapkan
pasien
- Perlihatkan respon
yang kondusif dan
menjadi
pendengar yang
aktif
- Pilih kemampuan
yang akan dilatih
Diskusikan dengan
pasien beberapa
aktivitas yang
dapat dilakukan
dan dipilih sebagai

102
kegiatan yang akan
pasien lakukan
sehari-hari
- Bantu pasien
menetapkan
aktivitas mana
yang dapat pasien
lakukan secara
mandiri
▪ Aktivitas
yang
memerlukan
bantuan
minimal dari
keluarga
▪ Aktivitas apa
saja yang perlu
bantuan penuh
dari keluarga
atau lingkungan
terdekat pasien
▪ Beri contoh
pelaksanaan
aktivitas yang
dapat
▪ dilakukan
pasien Susun
bersama pasien
aktivitas atau

103
kegiatan sehari-
hari pasien
 Nilai kemampuan
pertama yang telah
dipilih

- Diskusikan dengan
pasien untuk
menetapkan urutan
kegiatan (yang
sudah dipilih
pasien) yang akan
dilatihkan
- Bersama pasien dan
keluarga
memeperagakan
beberapa kegiatan
yang akan
dilakukan pasien.
- Berikan dukungan
dan pujian yang
nyata sesuai
kemajuan yang
diperlihatkan
pasien.
- Masukan dalam
jadwal kegiatan
pasien Beri
kesempatan pada
pasien untuk

104
mencoba kegiatan
- Beri pujian
atas

aktivitas/kegiatan
yang dapat
dilakukan pasien
setiap hari
- Tingkatkan
kegiatan sesuai
dengan toleransi
dan setiap
perubahan
- Susun daftar
aktivitas yang
sudah dilatihkan
bersama pasien dan
keluarga
- Berikan
kesempatan
mengungkapkan
perasaannya
setelah
Pelaksanaan
kegiatan. Yakinkan
bahwa keluarga
mendukung setiap
aktivitas
yang dilakukan
pasien

105
E. Anak Dengan Narapidana
1. Pengertian
Menurut Dirjosworo (dalam Lubis dkk, 2014) Narapidana adalah
manusia biasa seperti manusia lainnya hanya karena melanggar norma hukum
yang ada, maka dipisahkan oleh hakim untuk menjalani hukuman. Berdasarkan
Pasal 1 ayat (7) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 (dalam Lubis dkk, 2014)
tentang Pemasyarakatan, narapidana adalah terpidana yang menjalani pidana
hilang kemerdekaan di Lembaga Pemasyarakatan.
Menurut Pasal 1 ayat (6) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 (dalam
Soraya, 2013) tentang Pemasyarakatan, terpidana adalah seseorang yang dipidana
berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Dengan demikian, pengertian narapidana adalah seseorang yang melakukan
tindak kejahatan dan telah dinyatakan bersalah oleh hakim di pengadilan serta
dijatuhi hukuman penjara
2. Penggolongan Narapidana
Pasal 12 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan
menentukan bahwa dalam rangka pembinaan terhadap narapidana di Lembaga
Pemasyarakatan dilakukan penggolongan atas dasar:
a. Umur
b. Jenis kelamin
c. Lama pidana yang dijatuhkan
d. Jenis kejahatan.
e. Kriteria lainnya sesuai dengan kebutuhan atau perkembangan pembinaan.
f. Pembinaan Narapidana Wanita di LAPAS dilaksanakan di LAPAS Wanita.
Dalam standar registrasi dan klasifikasi narapidana dan tahanan yang
ditetapkan berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pemasyarakatan
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor: Pas- 170.Pk.01.01.02 Tahun
2015 tentang Standar Registrasi dan Klasifikasi Narapidana dan Tahanan.

106
Penggolongan narapidana berdasarkan umur terdiri atas:

a. Anak (12 s.d. 18 tahun)


b. Dewasa (diatas 18 tahun)

Penggolongan narapidana berdasarkan jenis kelamin, terdiri atas:

a. Laki – laki
b. Wanita

Penggolongan narapidana berdasarkan lama pidana, terdiri atas:

a. Pidana 1 hari sd 3 bulan (Register B.II b)


b. Pidana 3 bulan sd 12 bulan 5 hari (1 tahun) (Register B.II a)
c. Pidana 12 bulan 5 hari (1 tahun keatas) (Register B.I)
d. Pidana Seumur Hidup (Register Seumur Hidup)
e. Pidana Mati (Register Mati)

Penggolongan narapidana berdasarkan jenis kejahatan, terdiri atas:

a. Jenis kejahatan umum


b. Jenis kejahatan khusus

Penggolongan berdasarkan kriteria lainnya sesuai dengan kebutuhan atau


perkembangan pembinaan. Rahmat Hi. Abdullah (hal. 54) dalam jurnalnya
menjelaskan bahwa adapun penggolongan narapidana sebagaimana yang
tercantum dalam Pasal 12 UU 12/1995 memang perlu, baik dilihat dari segi
keamanan dan pembinaan serta menjaga pengaruh negatif yang dapat berpengaruh
terhadap narapidana lainnya. Jenis kejahatan juga merupakan salah satu
karakteristik ide individualisasi dalam pembinaan narapidana. Untuk itu, di dalam
melakukan pembinaan terhadap narapidana haruslah dipisah-pisahkan
berdasarkan jenis kejahatannya, seperti narkotika, pencurian, penipuan,
penggelapan, pembunuhan, dan lain-lain. Hal ini dilakukan untuk menghilangkan
prisonisasi atas narapidana.

107
Di Indonesia terdapat penggolongan lembaga pemasyarakatan, yaitu lapas
umum dan lapas khusus seperti Lapas Perempuan, Lapas Anak, Lapas Narkotika
dan Lapas untuk tindak pidana berat seperti yang ada di Nusakambangan Cilacap.
Namun tidak di semua daerah di Indonesia memunyai lapas-lapas khusus.
Biasanya daerah yang tidak memunyai lapas khusus contohnya untuk narapidana
anak, maka akan dititipkan di lapas anak di daerah lain yang paling dekat.

Jadi seorang narapidana ditempatkan sesuai dengan penggolongan atas daras


umur, jenis kelamin, lama pidana yang dijatuhkan, jenis kejahatan dan kriteria
lainnya sesuai dengan kebutuhan atau perkembangan pembinaan. Artinya, seorang
narapidana herus ditempatkan dengan narapidana lainnya yang golongannya sama
sebagaimana yang telah ditentukan. Seperti halnya narapidana dengan jenis
kejahatan berbeda tidak ditempatkan dalam satu sel secara bersamaan.

3. Jenis Masalah Kejiwaan Narapidana


Narapidana yang terkucilkan dari masyarakat umum, akan mengalami berbagai
masalah kejiwaan narapidana kemungkinan akan muncul, diantaranya:
a. Harga Diri Rendah dan Konsep Diri yang Negative
1) Definisi
Harga diri rendah adalah perasaan tidak berharga, tidak berarti dan
rendah diri yang berkepanjangan akibat evaluasi yang negative terhadap
diri sendiri atau kemampuan diri. Adanya perasaan hilang kepercayaan
diri, merasa gagal karena tidak mampu mencapai keinginan sesuai ideal
diri (Keliat, 1998). Harga diri rendah adalah evaluasi diri dan perasaan
tentang diri atau kemampuan diri yang negative, dapat secara langsung
atau tidak langsung di ekspresikan. Seseorang yang dikatakan
mempunyai konsep diri negatif jika ia meyakini dan memandang bahwa
dirinya lemah, tidak berdaya, tidak dapat berbuat apa – apa, tidak
kompeten, gagal, malang, tidak menarik, tidak disukai dan kehilangan
daya tarik terhadap hidup.

108
Orang dengan konsep diri negatif akan cenderung bersikap pesimistik
terhadap kehidupan dan kesempatan yang dihadapinya. Akan ada dua
pihak yang bisa disalahkannya, entah itu menyalahkan diri sendiri (secara
negatif) atau menyalahkan orang lain (Rini, J.F, 2002).
Konsep diri terdiri atas komponen-komponen berikut ini :
a) Citra Tubuh (Body Image) Citra tubuh (Body Image) adalah
kumpulan dari sikap individu yang disadari dan tidak disadari
terhadap tubuhnya. Termasuk persepsi masa lalu dan sekarang, serta
perasaan tentang ukuran, fungsi, penampilan, dan potensi. Yang
secara berkesinambungan dimodifikasi dengan persepsi dan
pengalaman yang baru (Stuart & Sundeen, 1998).
b) Ideal Diri (Self Ideal) Ideal diri adalah persepsi individu tentang
bagaimana ia harus berperilaku sesuai dengan standar, aspirasi, tujuan
atau nilai personal tertentu (Stuart & Sundeen, 1998). Sering juga
disebut bahwa ideal diri sama dengan cita – cita, keinginan, harapan
tentang diri sendiri.
c) Identitas Diri (Self Identifity) Identitas adalah pengorganisasian
prinsip dari kepribadian yang bertanggung jawab terhadap kesatuan,
kesinambungan, konsistensi, dan keunikkan individu (Stuart &
Sundeen, 1998). Pembentukan identitas dimulai pada masa bayi dan
terus berlangsung sepanjang kehidupan tapi merupakan tugas utama
pada masa remaja.
d) Peran Diri (Self Role) Serangkaian pola perilaku yang diharapkan
oleh lingkungan sosial berhubungan dengan fungsi individu di
berbagai kelompok sosial. Peran yang diterapkan adalah peran
dimana seseorang tidak mempunyai pilihan. Peran yang diterima
adalah peran yang terpilih atau dipilih oleh individu (Stuart &
Sundeen, 1998).

109
e) Harga Diri (Self Esteem) Harga diri adalah penilaian individu tentang
nilai personal yang diperoleh dengan menganalisa seberapa baik
perilaku seseorang sesuai dengan ideal diri. Harga diri yang tinggi
adalah perasaan yang berakar dalam penerimaan diri tanpa syarat,
walaupun melakukan kesalahan, kekalahan, tetap merasa sebagai
seorang yang penting dan berharga (Stuart & Sundeen, 1998).
2) Etiologi
Harga diri rendah sering disebabkan karena adanya koping individu
yang tidak efektif akibat adanya kurang umpan balik positif, kurangnya
system pendukung kemunduran perkembangan ego, pengulangan umpan
balik yang negatif, difungsi system keluarga serta terfiksasi pada tahap
perkembangan awal (Townsend, M.C. 1998 : 366).
Menurut Carpenito, L.J (1998 : 82) koping individu tidak efektif adalah
keadaan dimana seorang individu mengalami atau beresiko mengalami
suatu ketidakmampuan dalam mengalami stessor internal atau lingkungan
dengan adekuat karena ketidakkuatan sumber-sumber (fisik, psikologi,
perilaku atau kognitif).
Sedangkan menurut Townsend, M.C (1998 : 312) koping individu tidak
efektif merupakan kelainan perilaku adaptif dan kemampuan memecahkan
masalah seseorang dalam memenuhi tuntutan kehidupan dan peran.
Adapun Penyebab Gangguan Konsep Diri Harga Diri Rendah, yaitu:
a) Faktor Presdisposisi
Faktor predisposisi terjadinya harga diri rendah adalah
penolakan orangtua, penolakan orangtua yang tidak realistis,
kegagalan yang berulang kali, kurang mempunyai tanggung jawab
personal, ketergantungan pada orang lain, ideal diri yang tidak
realistis.

110
b) Faktor Presipitasi
Faktor Presipitasi Terjadinya harga diri rendah biasanya adalah
kehillangan bagian tubuh, perubahan penampilan/bentuk tubuh,
kegagalan atau produktifitas yang menurun.
3) Tanda dan Gejala Harga Diri Rendah
 Mengejek dan mengkritik diri
 Merasa bersalah dan khawatir, menghukum dan menolak diri sendiri
 Mengalami gejala fisik, misal: tekanan darah tinggi
 Menunda keputusan
 Sulit bergaul
 Menghindari kesenangan yang dapat meberi rasa puas
 Menarik diri dari realitas, cemas, panic, cemburu, curiga, halusinasi
 Merusak diri: harga diri rendah menyokong pasien untuk mengakhiri
hidupnya
 Merusak/melukai orang lain
 Perasaan tidak mampu
 Pandangan hidup yang pesimistis
 Tidak menerima pujian
 Penurunan produktivitas
 Penolakan terhadap kemampuan diri
 Kurang memerhatikan perawatan diri
 Berpakaian tidak rapih
 Berkurang selera makan
 Tidak berani menatap lawan bicara
 Lebih banyak menunduk
 Bicara lambat dengan nada suara lemah
4) Pematalaksanaan (Psikoterapi)
Terapi kerja baik sekali untuk mendorong penderita bergaul lagi dengan
orang lain, penderita lain, perawat dan dokter.

111
Maksudnya supaya ia tidak mengasingkan diri lagi karena bila ia
menarik diri ia dapat membentuk kebiasaan yang kurang baik. Dianjurkan
untuk mengadakan permainan atau latihan bersama. (Maramis, 2005,
hal.231). Terapi aktivitas kelompok dibagi empat, yaitu terapi aktivitas
kelompok stimulasi kognitif/persepsi, terapi aktivitas kelompok stimulasi
sensori, terapi aktivitas kelompok stimulasi realita dan terapi aktivitas
kelompok sosialisasi (Keliat dan Akemat, 2005, hal.13). Dari empat jenis
terapi aktivitas kelompok diatas yang paling relevan dilakukan pada
individu dengan gangguan konsep diri harga diri rendah adalah terapi
aktivitas kelompok stimulasi persepsi. Terapi aktivitas kelompok (TAK)
stimulasi persepsi adalah terapi yang mengunakan aktivitas sebagai
stimulasi dan terkait dengan pengalaman atau kehidupan untuk
didiskusikan dalam kelompok, hasil diskusi kelompok dapat berupa
kesepakatan persepsi atau alternatif penyelesaian masalah. (Keliat dan
Akemat,2005)
b. Resiko Bunuh Diri
Bunuh diri adalah setiap aktivitas yang jika tidak dicegah dapat
mengarah pada kematian. Bunuh diri adalah pikiran untuk menghilangkan
nyawa sendiri. Jadi bunuh diri adalah suatu tindakan agresif yang merusak diri
sendiri dengan mengemukakan rentang harapan-harapan putus asa, sehingga
menimbukan tindakan yang mengarah pada kematian.
1) Rentang Respon
Pada umumnya tindakan bunuh diri merupakan cara ekspresi
orang yang penuh stress Perilaku bunuh diri berkembang dalam
beberapa rentang. Respon adaptif merupakan respon yang dapat
diterima oleh norma-norma sosial dan kebudayaan yang secara umum
berlaku, sedangkan respon maladaptif merupakan respon yang
dilakukan individu dalam menyelesaikan masalah yang kurang dapat
diterima oleh norma-norma sosial dan budaya setempat.

112
Respon maladaptif antara lain:
a) Ketidakberdayaan, keputusasaan, apatis: Individu yang tidak
berhasil memecahkan masalah akan meninggalkan masalah, karena
merasa tidak mampu mengembangkan koping yang bermanfaat
sudah tidak berguna lagi, tidak mampu mengembangkan koping
yang baru serta yakin tidak ada yang membantu.
b) Kehilangan, ragu-ragu: Individu yang mempunyai cita-cita terlalu
tinggi dan tidak realistis akan merasa gagal dan kecewa jika cita-
citanya tidak tercapai. Misalnya: kehilangan pekerjaan dan
kesehatan, perceraian, perpisahan individu akan merasa gagal dan
kecewa, rendah diri yang semua dapat berakhir dengan bunuh diri.
c) Depresi: Dapat dicetuskan oleh rasa bersalah atau kehilangan yang
ditandai dengan kesedihan dan rendah diri. Biasanya bunuh diri
terjadi pada saat individu ke luar dari keadaan depresi berat.
d) Bunuh diri adalah tindakan agresif yang langsung terhadap diri
sendiri untuk mengkahiri kehidupan. Bunuh diri merupakan koping
terakhir individu untuk memecahkan masalah yang dihadapi.
2) Etiologi Bunuh Diri
a) Faktor Predisposisi
Menurut Stuart dan Sundeen (1997), faktor predisposisi bunuh diri
antara lain:
 Diagnostik > 90% orang dewasa yang mengakhiri hidupnya
dengan bunuh diri, mempunyai hubungan dengan penyakit
jiwa. Tiga gangguan jiwa yang dapat membuat individu
beresiko untuk bunuh diri yaitu gangguan apektif,
penyalahgunaan zat, dan skizofrenia.
 Sifat kepribadian. Tiga aspek kepribadian yang berkaitan erat
dengan besarnya resiko bunuh diri adalah rasa bermusuhan,
implisif dan depresi.

113
 Lingkungan psikososial. Seseorang yang baru mengalami
kehilangan, perpisahan/perceraian, kehilangan yang dini dan
berkurangnya dukungan sosial merupakan faktor penting yang
berhubungan dengan bunuh diri.
 Riwayat keluarga/faktor genetic. Factor genetik mempengaruhi
terjadinya resiko bunuh diri pada keturunannya serta
merupakan faktor resiko penting untuk prilaku destruktif.
Disamping itu adanya penurunan serotonin dapat
menyebabkan depresi yang berkontribusi terjadinya resiko
buuh diri.
 Faktor biokimia. Data menunjukkan bahwa secara serotogenik,
apatengik, dan depominersik menjadi media proses yang dapat
menimbulkan prilaku destrukif diri.
b) Faktor Presipitasi
Faktor pencetus seseorang melakukan percobaan bunuh diri adalah:
 Perasaan terisolasi dapat terjadi karena kehilangan hubungan
interpersonal/gagal melakukan hubungan yang berarti.
 Kegagalan beradaptasi sehingga tidak dapat menghadapi stres.
 Perasaan marah/bermusuhan, bunuh diri dapat merupakan
hukuman pada diri sendiri.
 Cara untuk mengakhiri keputusasaan
Selain itu terdapat pula beberapa motif terjadinya bunuh diri, motif
bunuh diri ada banyak macamnya, yaitu:
a) Dilanda keputusasaan dan depresi.
b) Cobaan hidup dan tekanan lingkungan.
c) Gangguan kejiwaan/tidak waras (gila).
d) Himpitan Ekonomi atau Kemiskinan (Harta/Iman/Ilmu).
e) Penderitaan karena penyakit yang berkepanjangan.

114
3) Psikopatologi
Semua prilaku bunuh diri adalah serius apapun tujuannya.
Orang yang siap membunuh diri adalah orang yang merencanakan
kematian dengan tindak kekerasan, mempunyai rencana spesifik dan
mempunyai niat untuk melakukannya. Perilaku bunuh diri biasanya
dibagi menjadi 4 kategori:
a) Isyarat Bunuh Diri
Isyarat bunuh diri ditunjukkan dengan berprilaku secara
tidak langsung ingin bunuh diri, misalnya dengan mengatakan:
“tolong jaga anak -anak karena saya akan pergi jauh!” atau
“segala sesuatu akan lebih baik tanpa saya”. Pada kondisi ini
pasien mungkin sudah memiliki ide untuk mengakhiri hidupnya,
namun tidak disertai dengan ancaman dan percobaan bunuh diri.
Pasien umumnya mengungkapkan perasaan seperti rasa
bersalah/sedih/marah/putus asa/tidak berdaya. Pasien juga
mengungkapkan hal-hal negative tentang diri sendiri yang
menggambarkan harga diri rendah.
b) Ancaman bunuh diri
Peningkatan verbal/nonverbal bahwa orang tersebut
mempertimbangkan untuk bunuh diri. Ancaman menunjukkan
ambivalensi seseorang tentang kematian, kurangnya respon
positif dapat ditafsirkan seseorang sebagai dukungan untuk
melakukan tindakan bunuh diri. Ancaman bunuh diri pada
umumnya diucapkan oleh pasien, berisi keinginan untuk mati,
disertai dengan rencana untuk mengakhiri kehidupan dan
persiapan alat untuk melaksanakan rencana ter sebut. Secara
aktif pasien telah memikirkan rencana bunuh diri, namun tidak
disertai dengan percobaan bunuh diri.

115
c) Upaya bunuh diri
Semua tindakan yang diarahkan pada diri yang
dilakukan oleh individu yang dapat mengarah pada kematian
jika tidak dicegah. Pada kondisi ini pasien aktif mencoba bunuh
diri dengan cara gantung diri, minum racun, memotong urat
nadi, atau menjatuhkan diri dari tempat yang tinggi Percobaan
bunuh diri terlebih dahulu individu tersebut mengalami depresi
yang berat akibat suatu masalah yang menjatuhkan harga
dirinya.
d) Bunuh Diri
Bunuh diri mungkin terjadi setelah tanda peningkatan
terlewatkan atau terabaikan. Orang yang melakukan percobaan
bunuh diri dan yang tidak langsung ingin mati mungkin pada
mati jika tanda-tanda tersebut tidak diketahui tepat pada
waktunya
4) Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis yang biasanya muncul yaitu:
a) Mempunyai ide untuk bunuh diri.
b) Mengungkapkan keinginan untuk mati.
c) Mengungkapkan rasa bersalah dan keputusasaan.
d) Impulsif.
e) Menunjukkan perilaku yang mencurigakan (biasanya menjadi
sangat patuh).
f) Memiliki riwayat percobaan bunuh diri.
g) Verbal terselubung (berbicara tentang kematian, menanyakan
tentang obat dosis mematikan).
h) Status emosional (harapan, penolakan, cemas meningkat, panic,
marah dan mengasingkan diri).
i) Kesehatan mental (secara klinis, klien terlihat sebagai orang yang
depresi, psikosis dan menyalahgunakan alcohol).

116
4. Bentuk-bentuk Pelayanan Terhadap Narapidana
a. Pelayanan Kesehatan
Kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang
memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial, dan ekonomis.
Pemeliharaan kesehatan adalah upaya penaggulangan, dan pencegahan
gangguan kesehatan yang memerlukan pemeriksaan, pengobatan dan/atau
perawatan. Didalam rumah tahanan sangat penting adanya fasilitas
kesehatan guna untuk melayani setiap narapidana yang sakit. dengan
adanya pelayanan kesehatan maka narapidana yang mengalami sakit akan
secepatnya bisa tertolong untuk mendapatkan kesembuhan. Pelayanan
kesehatan di rumah tahanan teluk kuantan kabupaten kuantan singingi
merupakan bentuk pelayanan yang di berikan oleh pihak rumah tahanan
kepada narapidana. Berikut adalah hasil wawancara peliti dengan kepala
rumah tahanan teluk kuantan yang mana peneliti menanyakan apa saja
bentuk pelayanan kesehatan di dalam rumah tahanan dan kepala rumah
tahanan menjawab sebagai berikut: “Bentuk pelayanan kesehatan yang
kami sediakaan adalah 1 ruangan kesehatan, 2 ranjang tidur, 1 lemari untuk
alat medis, 2 lemari untuk obatobatan, 1 ruangan tenaga medis,1 kamar
mandi”. Dari kutipan diatas dapat dilihat bawa peihak rumah tahanan
menyediakan pelayanan kesehatan bagi narapidana yaitu 1 ruangan klinik
yang terdiri dari Dengan 2 ranjang tidur, 1 lemari untuk alat medis dan
lemari untuk obat-oabatan 1 ruangan tenaga medis dan 1 kamar mandi,
fasilitas ini dapat digunakan oleh narapidana untuk berobat atau jika
narapidana ingin cek kesehatan, dengan menyediakan sarana kesehatan
maka narapidana dapat lebih mudah untuk mendapatkan pertolongan
pertama jika mengalami gangguan kesehatan, jika penyakit narapidana
tidak dapat ditangani oleh tenaga medis maka narapidana akan dirujuk ke
rumah sakit umum daerah teluk kuantan dengan pengawalan dari pihak
rutan.

117
b. Pelayanan Konsumsi
Konsumsi adalah sutu kebutuhan makanan dan minuman yang
dibutuhkan oleh seseorang pada setiap harinya untuk menjaga kesehatan
tubuh seseorang maka harus mendapatkan atau mengkonsumsi makanan
ataupun minuman yang sehat agar terhindar dari segala penyakit yang bisa
menyerang tubuh seseorang. Pelayanan konsumsi adalah bentuk pelayanan
yang sangat penting dan sangat di butuhkan oleh narapidana yang sedang
menjalani hukuman. Berikut adalah hasil wawancara peneliti dengan kepala
rutan tentang apa saja bentuk pelayanan konsumsi dari rumah tahanan untuk
narapidana dan kepala rutan menjawab seagai berikut: Dari kutipan diatas
dapat dilihat bentuk pelayanan konsumsi oleh pihan rutan dapat berupa
peralatan dapur, dan nada juga terdapat 1 kantin untuk narapidana membeli
kebutuhan mereka, narapidana tidak bisa bebas kapanpun mereka mau ke
kantin, tetapi ada waktuwaktu tertentu jika narapidana ingin kekantin.
Pelayanan konsumsi sangat dibutuhkan oleh narapidana yang sedang
menjalani hukuman di dalam rumah tahanan meskipun narapidana sedang
dalam menjalani hukuman tetapi mereka berhak untuk mendapatkan
pelayanan konsumsi daripihak rumah tahanan agar narapidana hidup sehat
c. Pelayanan Penjagaan
Pelayanan penjagaan narapidana adalah bentuk kegiatan dalam
melindungi, menjaga serta memperhatikan narapidana di rumah tahanan
agar terhindar dari kekerasan ataupun kerusuhan antar sesama narapidana.
d. Pelayanan Kunjungan
Pelayanan kunjungan narapidana adalah suatu bentuk pelayanan dari
pihak keluarga maupun kerabat untuk dapat mengunjungi narapidana yang
sedang menjalani hukuman di rumah tahanan.berikut adalah hasil
wawancara peneliti dengan kepala rutan yang mana meneliti menanyakan
bentuk pelayanan ataupun waktu kunjungan yang di berikan oleh pihak
rutan dan kepala rutan menjawab sebagai berikut:

118
“bentuk pelayanan kungjungan dari kami yaitu mengizinkan keluarga
ataupun kerabar narapidana untuk menjenguk narapidana dengan waktu
setiap hari dari jam 09.00- 10.00 dan 15.30-16.30,setiap hari kecuali tanggal
merah.kami mengizinkan keluarga untuk membawakan makanan ataupun
minuman kepada napi.
e. Rehabilitasi pada Narapidana
Pelaksanaan Rehabilitasi dalam Deradikalisasi Narapidana Terorisme
Berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman Nomor M-02-PK.04.10 Tahun
1990 tentang Pola Pembinaan Narapidana/Tahanan, pembinaan bagi
narapidana terorisme dalam sistem pemasyarakatan menekankan pada dua
hal, yakni:
1) Pembinaan kepribadian yang meliputi :
a) Pembinaan kesadaran beragama untuk memberikan pengertian
supaya warga binaan pemasyarakatan dapat menyadari akibat-
akibat dari perbuatan-perbuatan yang benarbenar dan perbuatan-
perbuatan yang salah.
b) Pembinaan kesadaran berbangsa dan bernegara diberikan dengan
tujuan untuk menumbuhkan kesadaran berbangsa dan bernegara
dalam diri para narapidana.
c) Pembinaan kemampuan intelektual (kecerdasan) supaya
pengetahuan serta kemampuan berpikir warga binaan
pemasyarakatan semakin meningkat sehingga dapat menunjang
kegiatan-kegiatan positif yang diperlukan selama masa
pembinaan.
d) Pembinaan kesadaran hukum dilaksanakan dengan
memberikan penyuluhan hukum yang bertujuan untuk mencapai
kadar kesadaran hukum yang tinggi baik saat berada di dalam
lingkungan pembinaan maupun setelah berada kembali di tengah-
tengah masyarakat

119
e) Pembinaan mengintegrasikan diri dengan masyarakat yang
bertujuan supaya mantan narapidana dapat diterima kembali oleh
masyarakat lingkungannya
2) Pembinaan kemandirian yang terdiri dari pemberian:
a) Keterampilan untuk mendukung usaha-usaha mandiri misalnya
kerajinan tangan, industri rumah tangga dan sebagainya;
b) Keterampilan untuk mendukung usaha-usaha industri kecil
misalnya pengolahan bahan mentah dari sektor pertanian dan
bahan alam menjadi bahan setengah jadi
c) Keterampilan yang dikembangkan sesuai dengan bakatnya
masingmasing misalnya kemampuan dibidang seni, maka
diusahakan untuk disalurkan ke perkumpulan seniman.

Rehabilitasi harus mencakup langkah langkah berikut:

1) Tahap persiapan, termasuk penetapan tujuan rehabilitasi, survei dan


pengumpulan data, analisis dan verifikasi informasi, awal analisis
penilaian dan kebutuhan, pengaturan detail rehabilitasi, analisis dan
manajemen risiko, koordinasi dengan pihak terkait, mempersiapkan
narapidana atau peserta rehabilitasi, dan menyiapkan pelatih atau
narasumber
2) Tahapan pelaksanaan, termasuk kegiatan pengembangan umum,
misalnya pengembangan karakter, keterampilan ekonomi dasar,
pemberdayaan diri dan kegiatan pengembangan spesifik misalnya ajaran
agama, keterampilan tukang kayu, keterampilan manajemen kemarahan;
3) Tahapan tindak lanjut, yang meliputi konseling berkelanjutan,
silaturrahmi (diskusi atau dialog), evaluasi keberhasilan rehabilitasi,
mendapat umpan balik untuk perbaikan, dan keterlibatan masyarakat
atau layanan.

120
Target dari tahapan tindak lanjut adalah narapidana yang mendukung
etika dan norma sosial, menunjukkan sikap positif, dan menunjukkan
kesiapan untuk bergabung kembali dengan komunitas yang lebih luas.
Hal ini bertujuan untuk mempertahankan perbaikan yang telah diraih
oleh narapidana atau mantan aktivis terorisme (Sukabdi, 2015).
5. Asuhan Keperawatan Pada Narapidana
a. Pengkajian
1) Identitas klien meliputi Nama, umur, jenis kelamin, tanggal dirawat,
tanggal pengkajian, nomor rekam medis.
2) Faktor predisposisi merupakan faktor pendukung yang meliputi
faktor biologis, faktor psikologis, sosial budaya, dan faktor geneti
3) Faktor presipitasi merupakan faktor pencetus yang meliputi sikap
persepsi merasa tidak mampu, putus asa, tidak percaya diri, merasa
gagal, merasa malang, kehilangan, rendah diri, perilaku agresif,
kekerasan, ketidak adekuatan pengobatan dan penanganan gejala stress
pencetus pada umunya mencakup kejadian kehidupan yang penuh
dengan stress seperti kehilangan yang mempengaruhi kemampuan
individu untuk berhubungan dengan orang lain dan menyebabkan
ansietas.
4) Psikososial yang terdiri dari genogram, konsep diri, hubungan social
dan spiritual.
5) Status mental yang terdiri dari penampilan, pembicaraan, aktifitas
motorik, alam perasaan, afek pasien, interaksi selama wawancara,
persepsi, proses pikir, isi pikir, tingkat kesadaran, memori, tingkat
kosentrasi dan berhitung, kemampuan penilaian, dan daya tilik diri.
6) Mekanisme koping: koping yang dimiliki klien baik adaptif maupun
maladaptive.
7) Aspek medik yang terdiri dari diagnosa medis dan terapi medis.

121
MASALAH YANG PERLU DIKAJI
No Masalah Keperawatan Data Subyektif Data Obyektif
1 Masalah utama : Mengungkapkan Merusak diri sendiri,
gangguan konsep diri : ingin diakui jati Merusak orang lain,
harga diri rendah dirinya. Ekspresi malu,
Mengungkapkan Menarik diri dari
tidak ada lagi yang hubungan social,
peduli. Tampak mudah
Mengungkapkan tersinggung, Tidak
tidak bisa apa-apa. mau makan dan
Mengungkapkan tidak tidur.
dirinya tidak
berguna.
Mengkritik diri
sendiri.
Perasaan tidak
mampu.
2 Penyebab tidak Mengungkapkan Tampak
efektifnya koping ketidakmampuan ketergantungan
individu dan meminta terhadap orang lain
bantuan orang lain. Tampak sedih dan
Mengungkapkan tidak melakukan
malu dan tidak bisa aktivitas yang
ketika diajak seharusnya dapat
melakukan sesuatu. dilakukan Wajah
Mengungkapkan tampak murung
tidak berdaya dan
tidak ingin hidup
lagi.

122
3 Akibat isolasi sosial Mengungkapkan Ekspresi wajah
menarik diri enggan bicara kosong tidak ada
dengan orang lain kontak mata ketika
Klien mengatakan diajak bicara Suara
malu bertemu dan pelan dan tidak jelas
berhadapan dengan Hanya
orang lain memberi jawaban
singkat (ya/tidak)
Menghindar ketika
didekati

b. Diagnosa Keperawatan
Berdasarkan data diatas, yang didapat melalui observasi, wawancara
atau pemeriksaan fisik bahkan melalui sumber sekunder, maka perawat
dapat menegakkan diagnosa keperawatan pada pasien sebagai berikut:
1) Harga Diri Rendah
2) Isolasi Sosial
3) Defisit Perawatan Diri
c. Intervensi Keperawatan
Intervensi keperawatan berdasarkan jenis masalah jiwa pada
narapidana yaitu harga diri rendah dan risiko bunuh diri, sebagai berikut:
1) Harga diri rendah berhubungan dengan koping individu tidak efektif.
Tujuan umum: Klien dapat memiliki koping yang efektif.
Tujuan khusus:
a) Klien dapat mengungkapkan perasaannya secara bebas.
Kriteria Evaluasi: Klien mengungkapkan perasaanya secara bebas.
Intervensi:
 Ijinkan klien untuk menangis.
 Sediakan kertas dan alat tulis jika klien belum mau bicara. –

123
 Nyatakan kepada klien bahwa perawat dapat mengerti apabila
klien belum siap membicarakan permasalahannya.
b) Klien dapat mengidentifikasi koping dan perilaku yang berkaitan
dengan kejadian yang dihadapi.
Kriteria evaluasi: Klien dapat mengidentifikasi koping dan perilaku
yang berkaitan dengan kejadian yang dihadapi.
Intervensi:
 Tanyakan kepada klien apakah pernah mengalami hal yang
sama.
 Tanyakan cara-cara yang dapat dilakukan dalam mengatasi
perasaan dan masalah.
 Identifikasi koping yang pernah dipakai.
 Diskusikan dengan klien alternatif koping yang tepat bagi
klien.
c) Klien dapat memodifikasi pola kognitif yang negatif.
Kriteria evaluasi: Klien memodifikasi pola kognitif yang negatif.
Intervensi:
 Diskusikan tentang masalah yang dihadapi klien.
 Identifikasi pemikiran negatif dan bantu untuk menurunkan
melalui interupsi atau substitusi.
 Bantu klien untuk meningkatkan pemikiran yang positif.
 Identifikasi ketetapan persepsi klien yang tepat tentang
penyimpangan dan pendapatnya yang tidak rasional.
 Kurangi penilaian klien yang negatif terhadap dirinya.
 Evaluasi ketepatan persepsi, logika, dan kesimpulan yang
dibuat klien.
 Bantu klien untuk menyadari nilai yang dimilikinya dan
perubahan yang terjadi
d) Klien dapat berpartisipasi dalam pengambilan keputusan yang
berkenaan dengan perawatan dirinya.

124
Kriteria evaluasi: Klien berpartisipasi dalam pengambilan
keputusan yang berkenaan dengan perawatan dirinya.
Intervensi:
 Libatkan klien dalam menetapkan tujuan perawatan yang ingin
dicapai.
 Motivasi klien untuk membuat jadwal aktivitas perawatan diri.
 Berikan klien privasi sesuai dengan kebutuhan yang ditentukan.
 Berikan reinforcement positif untuk keputusan yang dibuat.
 Berikan pujian jika klien berhasil melakukan kegiatan atau
penampilannya bagus
 Motivasi klien untuk mempertahankan kegiatan tersebut
e) Klien dapat memotivasi untuk aktif mencapai tujuan yang realistik.
Kriteria evaluasi: Klien termotivasi untuk aktif mencapai tujuan
yang realistik.
Intervensi:
 Bantu klien untuk menetapkan tujuan yang realistik. Fokuskan
kegiatan pada saat sekarang bukan pada masa lalu.
 Bantu klien untuk mengidentifikasi area situasi kehidupan yang
dapat dikontrolnya.
 Identifikasi cita-cita yang ingin dicapai oleh klien.
 Dorong untuk berpartisipasi dalam aktivitas tersebut dan
berikan penguatan positif untuk berpartisipasi dan
pencapaiannya.
 Motivasi keluarga untuk berperan aktif dalam membantu klien
menurunkan perasaan tidak bersalah.
2) Resiko Bunuh Diri
a) Sp I Pasien
 Membina hubungan saling percaya dengan klien.
 Mengidentifikasi benda-benda yang dapat membahayakan
pasien.

125
 Mengamankan benda-benda yang dapat membahayakan
pasien.
 Melakukan kontrak treatment.
 Mengajarkan cara mengendalikan dorongan bunuh diri.
b) Sp II Pasien
 Mengidentisifikasi aspek positif pasien
 Mendorong pasien untuk berfikir positif terhadap diri sendiri
 Mendorong pasien untuk menghargai diri sebagai individu
yang berharga
c) Sp III Pasien
 Mengidentisifikasi pola koping yang biasa diterapkan pasien
 Menilai pola koping yng biasa dilakukan
 Mengidentifikasi pola koping yang konstruktif
 Mendorong pasien memilih pola koping yang konstruktif
 Menganjurkan pasien menerapkan pola koping konstruktif
dalam kegiatan harian
d) Sp IV Pasien
 Membuat rencana masa depan yang realistis bersama pasien
 Mengidentifikasi cara mencapai rencana masa depan yang
realistis
 Memberi dorongan pasien melakukan kehiatan dalam
rangka meraih masa depan yang realistis
e) Sp I Keluarga
 Mendiskusikan massalah yang dirasakan keluarga dalam
merawat pasien
 Menjelaskan pengertia, tanda dan gejala resiko bunuh diri,
dan jenis prilaku yang di alami pasien beserta proses
terjadinya.
 Menjelaskan cara-cara merawat pasien resiko bunuh diri
yang dialami pasien beserta proses terjadinya.

126
f) Sp II Keluarga
 Melatih keluarga mempraktekan cara merawat pasien
dengan resiko bunuh diri
 Melatih keluarga melakukan cara merawat langsung kepada
pasien resiko bunuh diri.
g) Sp III Keluarga
 Membantu keluarga membuat jadual aktivitas dirumah
termasuk minum obat.
 Mendiskusikan sumber rujukan yang bias dijangkau oleh
keluarga.
d. Implementasi Keperawatan
Setelah dilakukan perencanaan tindakan keperawatan, maka
selanjutnya dilakukan implementasi sesuai waktu dan urutan perencanaan
tindakan keperawatan
e. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi dilakukan setiap selesai tindakan asuhan keperawatan jiwa
pada klien untuk mengetahui perubahan kondisi yang baik dirasakan oleh
klien.

F. Anak Jalanan
1. Definisi
a. Definisi Anak Jalanan
Anak jalan atau sering di sebut sebagai anjal adalah sebuah istilah
umum yang mengacu pada anak-anak yang mempunyai kegiatan ekonomi di
jalanan, namun masih memiliki hubungan dengan keluarganya. Menurut
Departemen RI (2014), pengertian tentang anak jalanan adalah anak-anak di
bawah usia 18 tahun yang karena berbagai faktor, seperti ekonomi, konflik
keluarga hinggan faktor budaya yang membuat mereka turun ke jalanan.

127
UNICEF memberikan batasan tentang anak jalanan, yaitu Street Child
are those who have abandoned their homes, school and immediate
communities before they are sixteen years of age, and have drified into a
nomadic streat life. Berdasarkan hal tersebut, maka anak jalanan adalah anak-
anak berumur di bawah 16 tahun yang sudah melepaskan diri dari keluarga,
sekolah, dan lingkungan masyarakat tedekatnya, larut dalam kehidupan
berpindah-pindah di jalan raya.
b. Definisi Anak Jalanan Psikotik
Gelandangan psikotik adalah penderita gangguan jiwa kronis yang
keluyuran di jalan-jalan umum, sehingga dapat mengganggu ketertiban
umum dan merusak keindahan lingkungan.
2. Psikotik
Psikotik adalah bentuk disorder mental atau kegalauan jiwa yang dicirikan
dengan adanya di sintegrasi keperibadian dan terputusnya hubungan jiwa dengan
realita. Kriteria psikotik adalah sebagai berikut:
a. Psikotik Organik
Sikotrik yang menyebabkan adalah gangguan pada susunan syaraf pusat
dan psikotik yang disebabkan oleh kondisi fisik, gangguan metabolisme
dan intoksikasi obat.
b. Psikotik Fungsional
Psikotik yang disebabkan oleh gangguan pada kepribadian seseorang
yang bersifat psikogenetik yaitu skizofrenia (perpecahan kepribadian)
seperti psikotik paranoid dan curiga.
Berikut faktor penyebab psikotik, antara lain:
a. Tekanan-tekanan kehidupan (emosional)
b. Kekecewaan yang tidak pernah terselesaikan
c. Adanya hambatan yang terjadi pada masa tumbuh kembang
d. Kecelakaan yang menyebabkan kerusakan gangguan otak
e. Tidak mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan masyarakat.

128
Menurut UU no 23 tentang kesehatan jiwa menyebutkan penyebab munculnya
anak jalanan psikotik adalah:

a. Keluarga tidak perduli


b. Keluarga malu
c. Keluarga tidak tahu
d. Obat tidak diberikan
e. Tersesat ataupun karen urbanisasi
3. Penyebab
Depatemen sosial (2014). Menyebutkan bahwa penyebab keberadaan anak
jalanan ada 3 macam, yakni faktor pada Tingkat Mikro (immediate), Tingkat
Messo ( underlying Causes), Tingkat Makro ( basic cause).
a. Tingkat Mikro (Immediate Cause)
Faktor pada tingkat mikro berhubungan dengan anak dan keluarganya.
Pada tingkat mikro sebab yang bisa diidentifikasi dari anak dan keluarga
yang berkaitan tetapi juga berdiri sendiri, yakni:
1) Lari dari keluarga, disuruh bekerja baik karena masih sekolah atau
sudah putus, berpetualangan, bermain-main atau di ajak teman
2) Sebab dari keluarga terlantar, ketidak mampuan orang tua
menyediakan kebutuhan dasar, ditolak orang tua, salah perawatn atau
kekerasan rumah, kesulitan berhubungan dengan keluarga atau
tetangga, terpisah dengan orang tua, keterbatasan mengurus anak
karna masalah fisik, psikologis dan sosial.
3) Melemahnya keluarga besar, dimana keluarga besar tidak mampu
lagi membantu terhadap keluarga-keluarga inti, hal ini diakibatkan
oleh pergeseran nilai, kondisi ekonomi, dan kebijakan pembangunan
pemerintah.
4) Kesenjangan konunikasi antara orang tua dan anak, dimana orang tua
sudah tidak mampu lagi memahami kondisi serta harapan anak-anak.

129
Dijelaskanpula mengenai faktor-faktor yang menyebaban
keluarga dan anaknya terpisah (Departemen RI) yaitu:
a) Faktor Pendorong
 Keadaan ekonomi keluarga yang semakin dipersulit oleh
besarnya kebutuhan yang di tanggung kepala keluarga.
 Ketidak seriusan dalam keluarga, sehingga anak tidak
betah tinggal di rumah atau anak lari dari keluarag.
 Adanya kekerasan atau perlakuan salah dari orang tua
terhadap anaknya sehingga anak lari dari rumah.
 Kesulitan hidup di kampung, anak melakukan urbanisasi
untuk mencari pekerjaan mengikuti orang dewasa.
b) Faktor Penarik:
 Kehidupan jalanan uang menjadikan, dimana anak mudah
mendapatkan uang, anak bisa bermain dan bergaul dengan
bebas.
 Diajak oleh teman
 Adanya peluang di sektor informal yang tidak terlalu
membutuhkan modal dan keahlian.
b. Tingkat Messo (Underlying Causes)
Faktor-faktor penyebab munculnya anak jalanan pada tingkat messo ini
yaitu faktor yang ada di masyarakat. Menurut Deperatemen sosial RI,
pada tingkat messo (masyarakat), sebab yang dapat diidentifikasi
meliputi:
1) Pada masyarakat miskin, anak-anak adalah aset untuk membantu
peningkatan pendapatan keluarga, anak-anak di ajarkan bekerja yang
menyebabkan drop out dari sekolah.
2) Pada masyarakat lain, urbanisasi menjadi kebiassan dan anak-anak
mengikuti kebiasaan itu.
3) Penolakan masyarakat dan anggapan anak jalanann sebagai calon
kriminal

130
4) Ikut-ikutan teman
5) Bermasalah dengan tetangga atau komunitas
6) Ketidak perdulian komunitas di sekitar tempat tinggal anak atau
adanya toleransi dari mereka terhdadap keberadaan anak-anak di
jalanan menjadi situasi yang sangat mendukung bertambahnya anak-
anak untuk turut ke jalan.
c. Tingkat Makro (Basic Couse)
Faktor-faktor penyebab munculnya anak jalanan pada tingkat makro yaitu
faktor yang berhubungan dengan struktur makro yaitu:
1) Ekonomi adalah peluang pekerjaan sektor informal yang tidak terlalu
membutuhkan modal keahlian, mereka harus lama di jalanan dan
meninggalkan bangku sekolah, ketimbang desa dan kota yang
mendorong urbanisasi.
2) Penggusuran dan pengusiran keluarga miskin dari tanah/rumah
mereka dengan alasan “demi pembangunan”, mereka semakin tidak
berdaya dengan kebijakan ekonomi makro pemerintahan yang lebih
memnguntungkan segelintir orang.
3) Pendidikan adalah biaya sekolah yang tinggi, perilaku guru yang
diskriminatif, dan ketentuan-ketentuan teknis dan birokratis yang
mengalhkan kesempatan belajar.
4) Belum beragamnya unsur-unsur pemerintah memandang anak
jalanan antara sebagai sekelompok yang memerlukan perawatan
(pendekatan kesejahteraan) dan pendekatan yang menganggap anak
jalanan sebagai trouble maker atau pembuat masalah (security
approach/ pendekatan keamanan).
5) Adanya kesenjangan sistem jaring pengamanan sosial sehingga
jaring pengamanan sosial tidak ada ketika keluarga dan anak
menghadapi kesulitan.
6) Pembangunan telah mengorbankan ruang bermain bagi anak
(lapangan, taman dan lahan-lahan kosong). Dampaknya sangat terasa
pada daerah-daerah kumuh perkotaan, dimana anak-anak menjadikan
jalanan sebagai ajang bermain dan bekerja.
7) Korban penculikan dan jalanan. Kasus penculikan yang menimpa
anak-anak untuk dijadikan sebagai anak jalanan hampir terjadi setiap
tahun. Tampaknya kasus ini luput dari perhatian mengingat jumlah
kasusnya memang tidak besar.

131
4. Tanda dan Gejala Anak Jalanan Psikotik
a. Orang dengan tubuh kotor sekali.
b. Rambutnya seperti sapu ijuk
c. Pakaiannya compang camping dengan membawa bungkusan besar
d. Bertingkah laku aneh
e. Sukar di ajak komunikasi
f. Pribadi tidak stabil
5. Layanan Yang Dibutuhkan Oleh Anak Jalanan Psikotik
a. Kebutuhan fisik, meliputi kebutuhan makanan, pakaian, perumahan dan
kesehatan
b. Kebutuhan layanan psikis meliputi terapi medis psikiatris, keperawatan
dan psikologis
c. Kebutuhan sosial seperti rekreasi, kesenian dan olahraga.
d. Layanan kebutuhan ekonomi meliputi ketrampilan usaha, ketrampilan
kerja dan penempatan dalam masyarakat.
e. Kebutuhan rohani.
6. Asuhan Keperawatan Pada Anak Jalanan
a. Pengkajian
1) Faktor predisposisi
 Genetik
 Neurobiologis: penurunan volume otak dan perubahan sistem
neurotransmiter.
 Teori virus dan infeksi
2) Faktor presipitasi
 Biologis
 Sosial kultural
 Psikologis

132
3) Penilaian terhadap stressor

Respon adaptasi Respon maladaptif


 Berfikir logis  Pemikiran  Gangguan
 Presepsi akurat sesekali pemikiran
 Emosi konsisten  Terdistorsi  Waham/halusinasi
dengan  Ilusi  Kesulitan
pengalaman  Reaksi emosi pengolahan
 Perilaku sesuai berlebihan dan  Emosi
 Berhubungan tidak bereksi  Perilaku kacau dan
sosial  Perilaku aneh isolasi social
 Penarikan tidak
bisa berhubungan
sosial

4) Sumber Koping
 Disonasi kognitif (gangguan jiwa aktif)
 Pencapaian wawasan
 Kognitif yang konstan
 Bergerak menuju prestasi kerja
5) Mekanisme Koping
 Regresif (berhubungan dengan masalah dalam proses
informasi dan pengeluaran sejumlah besar tenaga dalam upaya
mengelola anxietas)
 Proyeksi (upaya untuk menjelaskan presepsi yang
membingungkan dengan menetapkan tanggung jawab kepada
orang lain)
 Menarik diri
 Pengingkaran
b. Diagnosa Keperawatan
1) Harga Diri Rendah
2) Menarik Diri
3) Resiko Perilaku Kekerasan/Perilaku Kekerasan

133
4) Gangguan Proses Pikir: Waham
5) Defisit Perawatan Diri
c. Intervensi
Diagnosa 1. Harga Diri Rendah
Tujuan umum: klien tidak terjadi interaksi sosial, bisa berhubungan
dengan orang lain dan lingkungan.
Tujuan Khusus:
1) Klien dapat membina hubungan saling percaya
Tindakan:
 Bina hubungan saling percaya: salam terapeutik, perkenalan
diri
 Jelaskan tujunan interaksi, ciptaka lingkungan yang tenang
 Buat kontrak yang jelas (waktu, tempat dan topik
pembicaraan)
 Beri kesempatan pada klien untuk mengungkapkan
perasaannya
 Sediakan waktu untuk mendengarkan klien
 Katakan kepada klien bahwa dirinya adalah seseorang yang
berharga dan bertanggung jawab serta mampu menolong
dirinya sendiri.
2) Klien dapat mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang
dimiliki
Tindakan:
 Diskusikan kemampuan dan aspek positif yang dimiliki
 Hindarkan memberi penilaian negatif setiap bertemu klien
 Utamakan memberi pujian yang realistis
 Klien dapat menilai kemampuan dan aspek positif yang
dimiliki

134
3) Klien dapat menilai kemampuan yang dapat di gunakan
Tindakan:
 Diskusikan kemampuan dan aspek positif yang dimiliki
 Diskusikan pula kemampuan yang dapat di lanjutkan setelah
pulang
4) Klien dapat menetapkan / merencanakan kegiatan sesuai dengan
kemampuan yang dimiliki
 Rencanakan bersama klien aktivitas yang dapat dilakukan
sesuai kempuan
 Tingkatkan kegiatan sesuai dengan toleransi kondisi klien
 beri contoh cara pelaksanaan kegiatan yang bisa di lakukan
klien
5) Klien dapat melakukan kegiatan sesuai kondisi dan kemampuan
Tindakan:
 Beri kesempatan mencoba kegiatan yang telah direncanakan
 Beri pujian atas keberhasilan klien
 Diskusikan kemungkinan pelaksanaan di rumah
Diagnosa 2 : Menarik Diri
Tujuan Umum: klien dapat berinteraksi dengan orang lain
Tujuan Khusus:
1) Klien dapat membina hubungan saling percaya
Tindakan:
 Bina hubungan saling percaya menggunakan komunikasi
terapeutik. Seperti sapa klien , perkenalan diri , jelaskan tujuan
pertemuan.
2) Klien dapat menyebutkan penyebab menarik diri
Tindakan:
 Kaji pengetahuan klien tentang perilaku menarik diri dan
tanda-tandanya.

135
 Beri kesempatan kepada klien untuk mengungkapkan perasaan
penyebab menarik diri atau mau bergaul
 Diskusikan bersama klien tentang perilaku menarik diri, tanda-
tanda serta penyebab yang muncul
 Berikan pujian terhadap kemampuan klien mengungkapkan
perasaannya
3) Klien dapat menyebabkan keuntungan berhubungan dengan orang
lain dan kerugian tidak berhubungan dengan orang lain.
Tindakan:
 Identifikasi bersama klien cara tindakan yang dilakukan jika
terjadi halusinasi.
 Kaji pengetahuan klien tentang manfaat dan keuntungan
berhubungan dengan orang lain.
 Kaji pengetahuan klien tentang kerugian bila tidak
berhubungan dengan orang lain.
4) Klien dapat melaksanakan hubungan sosial
Tindakan:
 Kaji kemampuan klien membina hubungan saling percaya
 Dorong dan bantu klien untuk berhubungan dengan orang lain
 Beri reinforcement positif terhadap keberhasialan yang telah
dicapai
 Bantu klien untuk mengevaluasi manfaat berhubungan
 Diskusikan jadwal harian yang dilakukan bersama klien dalam
mengisi waktu
 Motivasi klien untuk mengikuti kegiatan ruangan
 Beri reinforment positif atas kegiatan dalam kegiatan ruangan
5) Klien dapat mengungkapkan perasaannya setelah berhubungan
dengan orang lain

136
Tindakan:
 Dorongan klien untuk mengungkapkan peraaannya bila
berhubungan dengan orang lain
 Diskusikan dengan klien tentang perasaan manfaat
berhubungan dengan orang lain
 Berikan reinfoment positif atas kemmpuan klien
mengungkapkan perasaan manfaat berhubungan dengan orang
lain.
6) Klien dapat memberdayakan sistem pendukung atau keluarga
Tindakan:
 Bina hubungan saling percaya dengan keluaraga
 Diskusikan dengan anggota keluarga tentang perilaku menarik
diri
 Dorong anggota keluarga untuk memberikan dukungan kepada
klien untuk berkomunikasi dengan orang lain.
 Anjurkan anggota keluarga secara rutin dan bergantian
menjenguk klien minimal satukali seminggu
 Beri reinforcement positif atas hal-hal yang telah dicapai oleh
keluarga

Diagnosa 3 : Perilaku Kekeraan

Tujuan Umum: klien terhindar dari mecederai diri, orang lain dan
lingkungan.

Tujuan Khusus:

1) Klien dapat membina hubungan aling percaya dengan cara salam


terapeutik, tujuan interaksi, kontrak waktu, perkenalan nama,
berbicara dengan sikap tenang.
2) Klien dapat mengidentifikasi penyebab perilaku kekerasan

137
Tindakan :
 Beri kesmpatan mengungkapkan perasaan.
 Bantu klien mengungkapkan perasaan kesal
 Dengarakan ungkapan rasa marah dan perasaan bermusuhan
klien dengan sikap tenang.
3) Klien dapat mengidentifikasi tanda-tanda perilaku kekerasan
 Anjurkan klien mengungkapkan yang di alami dan dirasakan
saat kesal
 Observasi tanda perilaku kekerasan
 Simpulkan bersama klien tanda-tanda jesal yang di alami
klien
4) Klien dapat mengidentifikasi perilaku kekerasan yang biasa di
lakukan
Tindakan:
 Anjurkan menggungkapkan perilaku kekerasan yang bisa di
lakukan
 Bantu bermain peran sesuai dengan perilaku kekerasan yang
biasa di lakukan
 Tanyakan “apakah dengan cara yang dilakukan masalahnya
selesai?”
5) Klien dapat mengidentifikasi akibat perilaku kekerasan.
Tindakan:
 Biacarakan akibat/ kerugian dari cara yang dilakukan
 Bersama klien menyimpulkan akibat dari cara yang
digunakan
 Tanyakan apakah ingin mempelajari cara baru yang sehat.
6) Klien dapat mengidentifikasi cara konstruktif dalam berespon
terhadap kemarahan.

138
Tindakan:
 Beri pujian jika mengetahui cara lain yang sehat
 Diskusikan cara lain yang sehat. Secara fisik: tarik nafas
dalam jika sedang kesal, berolahraga, memukul bantal
 Secara verbal: katakan bahwa anda sedang marah/kesal
 Secara spiritual: berdo’a, sembahyang, memohon kepada
Tuhsn untuk di beri kesabaran
7) Klien dapat mengidentifikasi cara mengontrol perilaku kekerasan
Tindakan:
 Bantu memilih cara paling tepat
 Bantu mengidentifikasi manfaat cara yang telah dipilih
 Bantu mensimulasikan manfaat cara yang telah di pilih
 Beri reinforcement positif atas keberhasilan yang di capai
dalam simulasi
 Anjurkan menggunakan cara yang telah dipilih saat marah
8) Klien mendapatkan dukungan dari keluarga.
Tindakan:
 Berikan pendidikan kesehatan tentang cara merawat klien
melalui pertemuan keluarga.
 Beri reinforcement positif atas keterlibatan Keluarga.
9) Klien dapat menggunakan obat dengan benar (sesuai program)
Tindakan:
 Diskusikan dengan klien tentang obat (nama, dosis, efek,dan
efek samping)
 Bantu klien menggunakan obat dengan prinsip 5 benar (nama
klien, obat, dosis, cara dan waktu.)
 Anjurkan untuk membicarakan efek dan efek samping obat
yang di rasakan.

139
Diagnosa 4: Gangguan Proses Pikir: Waham

Tujuan Umum: klien tidak terjadi gangguan proses fikir yang


berhubungan dengan gangguan konsep diri ( harga diri rendah/ klien akan
meningkat harga dirinya)

Tujuan Khusus:

1) Pasien dapat berorientasi kepada realitas secara bertahap


2) Pasien dapat memenuhi kebutuhan dasar
3) Pasien mampu berinteraks dengan orang lain dan lingkungan
4) Pasien menggunakan obat dengan prinsip 5 benar
Intervensi:
1) Dapat membina hubungan saling percaya
Tindakan:
 Bina hubungan saling percaya : salam terapeutik, perkenalan
diri , jelaskan tujuan interaksi, ciptakan lingkungan yang
tenang , kontrak waktu, tempat dan apa saja yang ingin
dibicarakan atau di tanyakan
 Beri kesempatan pada klien untuk mengungkapkan
perasaannya
 Sediakan waktu untuk mendengarkan klien
 Jangan membantah dan mendukung waham klien, katakan
perawatan menerima keyakinan klien “saya menerima
keyakinan anda” disertai ekspresi menerima, katakan perawat
tidak mendukung di sertai ekspresi ragu dan empati, tidak
membicarakan isi waham klien.
 Katakan kepada klien bahwa dirinya adalah seseorang yang
berharga dan bertanggung jawab serta mampu menolong
dirinya sendiri.

140
2) Klien dapat mengidentifikai kemampuan dan aspek positif yang
dimiliki
Tindakan:
 Diskusikan kemampuan dan aspek positif yang dimiliki
 Hindarkan penilaian negatif setiap bertemu klien, utamakan
memberi pujian yang realistis
 Klien dpata menilai kemampuan dan aspek positif yang
dimiliki
3) Klien dapat menilai kemampuan yang dapat di gunakan
Tindakan:
 Diskusikan kemampuan dan aspek positif yang dimiliki
 Diskusikan pula kemampuan yang dapat di lanjutkan setelah
pulang ke rumah.
4) Klien dapat menetapkan/ merencanakan kegiatan sesuai dengan
kemampuan yang di miliki.
Tindakan:
 Rencanakan bersama klien aktivitas yang dapat dilakukan
setiap hari sesuai kemampuan
 Tingkatkan kegaiatan sesuai dengan toleransi kondisi klien
 Beri contoh cara pelaksanaan kegiatan yang boleh klien
lakukan
5) Klien dapat melakukan kegiatan sesuai kondisi dan kemampuan
Tindakan:
 Beri kesempatan mencoba kegiatan yang telah di rencanakan
 Beri pujian atas keberhasilan klien
 Diskusikan kemungkinan pelaksanaan di rumah
6) Klien dapat memanfaatkan sistem pendukung yang ada

141
Tindakan:
 Beri pendidikan kesehatan pada keluarga tentang cara merawat
klien
 Bantu keluarga memberi dukungan selama klien di rawat
 Bantu keluarga menyiapkan lingkungan di rumah
 Beri reinforcement positif atas keterlibatan keluarga
Diagnosa 5: Defisit Perawatan Diri: keberhasilan diri, berdandan, makan,
BAB/BAK
Tujuan Umum: Pasien tidak mengalami defisit perawatan diri
keberhasilan diri, berdandan, makan, BAB/BAK.
Tujuan Khusus:
 Pasien mampu melakukan keberhasilan diri secara mandiri
 Pasien mampu melakukan berhias/berdandan secara baik
 Pasien mampu melakukan makan dengan baik
 Pasien mampu melakukan BAB/BAK secara mandiri
Intervensi:
1) Melatih pasien cara-cara perawatan kebersihan diri
 Menjelaskan pentingnya menjaga kebersihan diri
 Menjelaskan alat-alat untuk menjaga kebersihan diri
 Menjelaskan cara-cara melakukan kebersihan diri
 Melatih pasien memperaktekan cara menjaga kebersihan diri
2) Melatih pasien berdandan/berhias
 Untuk pasien laki-laki latihannya meliputi:
a) Berpakaian
b) Menyisir rambut
c) Bercukur
 Untuk pasien wanita latihannya meliputi
a) Berpakaian
b) Menyisir rambut
c) Berhias

142
3) Melatih pasien makan secara mandiri
 Menjelaskan cara mempersiapkan makanan
 Menjelaskan cara makan yang tertib
 Menjelaskan cara merapihkan peralatan makan setelah makan
 Praktek makan sesuai dengan tahap makanan yang baik.
4) Mengajarkan pasien melakukan BAB?BAK secara mandiri
 Menjelaskan tempat BAB/BAK yang sesuai
 Menjelaskan cara membersihkan diri setelah BAB dan BAK
 Menjelaskan cara membersihkan tempat BAB dan BAK

143
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Tunanetra adalah seseorang yang memiliki hambatan dalam penglihatan atau
tidak berfungsinya indera penglihatan. Karena adanya hambatan dalam penglihatan
serta tidak berfungsinya penglihatan. Pemerkosaan adalah suatu tindak kriminal
kekerasan dan penghinaan terhadap seorang wanita yang dilakukan melalui cara
seksual, diluar keinginan dan tanpa persetujuan wanita tersebut, baik secara paksa atau
wanita takut akan paksaan atau karena obat-obatan atau minuman keras. KDRT adalah
penggunaan kekuatan fisik dan ancaman terhadap seorang individu didalam keluarga
terutama istri (perempuan) yang mengakibatkan trauma baik secara fisik maupun
psikologis. Trafficking adalah konsep dinamis dengan wujud yang berubah dari waktu
kewaktu, sesuai perkembangan ekonomi, sosial dan politik. Sampai saat ini tidak ada
definisi trafficking yang disepakati secara internasional, sehingga banyak perdebatan
dan respon tentang definisi yang dianggap paling tepat tentang fenomena kompleks
yang disebut trafficking ini. Narapidana adalah manusia biasa seperti manusia lainnya
hanya karena melanggar norma hukum yang ada, maka dipisahkan oleh hakim untuk
menjalani hukuman. Anak jalan atau sering di sebut sebagai anjal adalah sebuah istilah
umum yang mengacu pada anak-anak yang mempunyai kegiatan ekonomi di jalanan,
namun masih memiliki hubungan dengan keluarganya

144
B. Saran
Dengan adanya makalah ini, kami harapkan semoga dapat digunakan sebagai
pedoman bagi pembaca maupun penulis baik tenaga kesehatan khususnya perawat
maupun para mahasiswa agar dapat memberikan tindakan asuhan keperawatan yang
professional.
Makalah ini masih banyak kekurangan dalam hal penulisan maupun isi. Oleh
sebab itu penulis mengharapkan saran dan kritik demi kesempurnaan penyusunan
makalah ini.

145
DAFTAR PUSTAKA

Capernito, Lyda Juall. 2012. Buku Saku Diagnosis Keperawatan Ed. 13. Jakarta: EGC
Doengoes, M.E. Townsend, M.C. Moorhouse, M.F. (2007). Rencana asuhan
keperawatan Psikiatri (terjemahan). Edisi 3. Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC
Efendi, Ferry; Makhfudli. 2009. Keperawatan Kesehatan Komunitas, Teori dan
Praktik dalam Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika
Farhana. 2010. Aspek Hukum Perdagangan Orang di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika
Mareta, J. Rehabilitasi dalam Upaya Derradikalisasi Narapidana Terorisme.
Masalah-masalah Hukum, 47(4), 338-356.
Ramawati, D (2011) Faktor-faktor yang berhubungan dengan kemampuan perawatan
diri anak tuna netra di Kabupaten Banyumas Jawa Tengah.
Riyadi, Sujono dan Teguh Purwanto. 2009. Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta:
Graha Ilmu
Syafaat, Rachmad. 2002. Dagang Manusia-Kajian Trafficking Terhadap Perempuan
dan Anak di Jawa Timur. Yogyakarta: Lappera Pustaka Utama.
Widiastuti, SH (2010) Pengaruh terapi kelompok suportif terhadap kemampuan
keluarga dalam melatih “self care” anak tunanetra ganda di SLB G Rawinala
di Jakarta. Tesis. Depok: UI.

iii

Anda mungkin juga menyukai