Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN PENDAHULUAN

PASIEN DENGAN DIAGNOSA TUBERCULOSIS

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Laporan Individu

Praktek Klinik Keperawatan Medikal Bedah 1

Oleh:

Nama: Ika Meilia Asri

Nim: P17210191007

PRODI D-III KEPERAWATAN MALANG

JURUSAN KEPERAWATAN

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MALANG

TAHUN AJARAN 2021/2022


A. Konsep Tuberkulosis
a. Pengertian Tuberkulosis

Menurut Tabrani (2010) Tuberkulosis Paru adalah penyakit yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis, yakni kuman aerob yang dapat hidup terutama di paru
atau diberbagai organ tubuh yang lainnya yang mempunyai tekanan parsial oksigen
yang tinggi. Kuman ini juga mempunyai kandungan lemak yang tinggi pada
membran selnya sehingga menyebabkan bakteri ini menjadi tahan terhadap asam dan
pertumbuhan dari kumannya berlangsung dengan lambat. Bakteri ini tidak tahan
terhadap ultraviolet, karena itu penularannya terutama terjadi pada malam hari.
Tuberkulosis Paru atau TB adalah penyakit radang parenkim paru karena infeksi
kuman Mycobacterium Tuberculosis. Tuberkulosis Paru adalah suatu penyakit
menular yang disebabkan oleh basil mikrobacterium tuberculosis masuk ke dalam
jaringan paru melalui airbone infection dan selanjutnya mengalami proses yang
dikenal sebagai focus primer dari ghon (Wikurendra, 2019).

Menurut Robinson, dkk (2014),TB Paru merupakan infeksi akut atau kronis yang
disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis di tandai dengan adanya infiltrat paru,
pembentukan granuloma dengan perkejuan, fibrosis serta pembentukan kavitas

b. Gejala dan Tanda Tuberkulosis

Menurut (Oktavia et al., 2016), keluhan yang dirasakan pasien tuberkulosis dapat
bermacam-macam atau malah banyak ditemukan pasien TB Paru tanpa keluhan sama
sekali dalam pemeriksaan kesehatan. Keluhan yang terbanyak adalah:

1) Demam

Biasanya subfebris menyerupai demam influenza, tetapi kadang-kadang panas


badan dapat mencapai 40-41oC. serangan demam pertama dapat sembuh sebentar
tetapi kemudian dapat timbul kembali. Begitulah seterusnya hilang timbulnya demam
influenza ini, sehingga pasien merasa tidak pernah terbebas dari serangan demam
influenza. keadaan ini sangat dipengaruhi oleh daya tahan tubuh pasien dan berat
ringannya infeksi tuberkulosis yang masuk.

2) Batuk/batuk berdahak

Batuk ini terjadi karena ada iritasi pada bronkus. batuk ini diperlukan untuk
membuang produk-produk radang keluar, karena terlibatnya bronkus pada setiap
penyakit tidak sama. Mungkin saja batuk baru ada setelah penyakit berkembang
dalam jaringan paru yakni setelah berminggu-minggu atau berbulan-bulan
peradangan bermula. Sifat batuk ini dimulai dari batuk kering (non-produktif)
kemudian setelah timbulnya peradangan menjadi produktif (menghasilkan sputum).
keadaan yang lanjut adalah berupa batuk darah karena terdapat pembuluh darah yang
pecah. kebanyakan batuk darah tuberkulosis pada kavitas, tetapi dapat juga terjadi
pada ulkus dinding bronkus.

3) Sesak Napas

Pada penyakit ringan (baru kambuh) belum dirasaka sesak napas. Sesak napas
akan ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut yang infiltrasinya sudah meliputi
sebagian paru-paru

4) Nyeri Dada

Gejala ini agak jarang ditemukan. Nyeri dada timbul bila infiltrasi radang sudah
sampai ke pleura sehingga menimbulkan pleuritis. Terjadi gesekan kedua pleura
sewaktu pasien menarik melepaskan napasnya.

5) Malaise

Penyakit tuberkulosis bersifat radang yang menahun. Gejala malaise sering


ditemukan berupa anoreksia, tidak ada nafsu makan, badan makin kurus (berat badan
turun), sakit kepala, meriang, nyeri otot, keluar keringat malam, dll. Gejala malaise
ini makin lama makin berat dan terjadi hilang timbul secara tidak teratur.
c. Patofisiologi Tuberkulosis

Port de entry kuman Mycobacterium tuberculosis adalah saluran pernafasan,


saluran pencernaan, dan luka terbuka pada kulit. Kebanyakan infeksi terjadi melalui
udara, (air bone), yaitu melalui inhalasi droplet yang mengandung kuman-kuman
basil tuberkel yang terinfeksi. Basil tuberkel yang mencapai alveolus dan diinhalasi
biasanya terdiri atas satu sampai tiga gumpalan. Basil yang lebih besar cenderung
bertahan di saluran hidung dan cabang besar bronkus, sehingga tidak menyebabkan
penyakit. Setelah berada dalam ruang alveolus, kuman akan mulai mengakibatkan
peradangan. Leukosit polimorfonuklear tampak memfagosit bakteri di tempat ini,
namun tidak membunuh organisme tersebut (Werdhani, 2002).

Sesudah hari pertama, maka leukosit diganti oleh makrofag. Alveoli yang
terserang akan mengalami konsolidasi dan timbul gejala pneumonia akut. Pneumonia
selular ini dapat sembuh dengan sendirinya, sehingga tidak ada sisa yang tertinggal
atau proses dapat berjalan terus dan bakteri terus difagosit atau berkembang biak di
dalam sel. Basil juga menyebar melalui getah bening menuju getah bening regional.
Makrofag yang mengadakan infiltrasi menjadi lebih panjang dan sebagian bersatu,
sehingga membentuk sel tuberkel epitoloit yang dikelilingi oleh foist. Reaksi ini
biasanya membutuhkan waktu 10-20 jam (Dewanty et al., 2016).
d. Pathway
e. Pemeriksaan Diagnostik
a) Tuberculin Skin test (TST) atau Tes Mantoux

Tuberculin skin test (TST) positif menunjukkan kecenderungan terjadinya infeksi


primer TB. Tes ini merupakan metode standar dalam menentukan apakah seseorang
terinfeksi dengan Mycobacterium tuberculosis. Konversi TST biasanya terjadi 3-6
minggu setelah paparan terhadap kuman TB. Sekitar 20% pasien-pasien dengan TB
aktif, khususnya pada penyakit yang sudah berlanjut, memiliki hasil TST yang
normal.

Pembacaan hasil TST dilakukan antara 48 dan 72 jam setelah dimasukkan 0,1 ml
suntikan tuberkulin PPD secara intradermal. Suntikan yang benar akan menimbulkan
gelembung kulit kecil pucat berdiameter 6-10 mm. Reaksi terhadap suntikan akan
teraba mengeras, atau membengkak, disebut sebagai indurasi yang diukur
diameternya dalam milimeter ke arah aksis longitudinal pada lengan bawah bagian
ventral. Eritema tidak ikut diukur sebagai indurasi.

b) Pemeriksaan Bakteriologik

Pemeriksaan bakteriologik untuk menemukan kuman tuberkulosis mempunyai arti


yang sangat penting dalam menegakkan diagnosis. Bahan untuk pemeriksaan ini
dapat diambil dari dahak, cairan pleura, cairan serebrospinal,bilasan bronkus, bilasan
lambung, kurasan bronkoalveolar, urin, feses, dan jaringan biopsi.

Umumnya, sampel yang digunakan adalah dahak karena lebih mudah untuk diambil.
Dahak dapat diambil dengan cara setiap pagi selama 3 hari berturut-turut, ataupun
dengan pengambilan dahak sewaktu-pagi-sewaktu.

Interpretasi hasil pemeriksaan mikroskopik dari 3 kali pemeriksaan ialah :

 Apabila didapatkan 2 kali positif, dan 1 kali negatif → dianggap basil tahan
asam (BTA) positif
 Apabila didapatkan 1 kali positif, dan 2 kali negatif → BTA diulangi 3 kali,
kemudian bila 1 kali positif, dan 2 kali negatif maka dianggap BTA positif.
Namun apabila 3 kali negatif maka dianggap BTA negatif

Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak, TB paru dapat dibedakan menjadi TB paru


BTA positif dan BTA negatif.

c) Foto Rontgen dada

Foto rontgen dada dapat dilakukan dalam posisi lateral, posteroanterior, dan lordotik
apikal. Gambaran yang mungkin didapatkan di antaranya adalah :

 Kavitas, menandakan infeksi yang sudah berlanjut dan diasosiasikan dengan


adanya jumlah kuman TB yang tinggi
 Infiltrat non-kalsifikasi berbentuk bulat, ini mesti dibedakan dengan
karsinoma paru
 Nodul-nodul kalsifikasi yang homogenus, ukuran 5-20 mm, seperti
tuberkuloma menunjukkan infeksi lama

Pasien dengan hasil röntgen dada seperti tersebut diatas dan memiliki gambaran klinis
TB paru yang khas sudah dapat dikatakan terkena TB paru walaupun tanpa dilakukan
pemeriksaan sputum. Sebaliknya, bila gambaran rontgen dada normal, tidak
menyingkirkan TB terutama pada pasien dengan kekebalan tubuh menurun.

Pada TB primer aktif, gambaran rontgen dada tidak spesifik, bahkan kadang normal.
Secara tipikal dapat muncul gambaran seperti pneumonia dengan proses infiltrasi
pada bagian tengah atau bawah paru yang cenderung menyerupai gambaran
community-acquired pneumonia (CAP).

Pada kasus reaktivasi TB, gambaran klasik lesi berlokasi pada segmen posterior lobus
kanan bagian atas, segmen apikoposterior pada lobus kiri atas, dan segmen apikal
pada lobus-lobus bagian bawah. Kavitasi adalah gambaran yang paling umum.
Sedangkan tuberkuloma yang sembuh akan menjadi jaringan parut, dimana
parenkimnya akan hilang dan terjadi kalsifikasi.

Pada Infeksi TB dan HIV, lesi yang muncul akan atipikal, walaupun sekitar 20%
pasien dengan HIV positif dan TB aktif memiliki hasil rontgen dada yang normal

Pada TB laten dan TB paru yang telah sembuh, gambaran dapat berbeda-beda.
Gambaran rontgen dapat berupa nodul-nodul yang radioopak, dengan atau tanpa
kalsifikasi pada hilus atau lobus-lobus atas. Selain itu, dapat pula muncul gambaran
nodul-nodul yang kecil, dengan atau tanpa jaringan parut fibrotik pada lobus-lobus
atas. Gambaran lesi-lesi fibrotik dan nodul-nodul dapat jelas dibedakan, dan tampak
memiliki densitas dengan gambaran radioopak dan tepi yang jelas. Pasien dengan
gambaran rontgen dada seperti ini yang disertai hasil positif TST dikatakan sebagai
karier laten.

Pada pasien TB Milier, rontgen dada akan menunjukkan lesi-lesi nodular kecil
berukuran sekitar 2 mm yang banyak, menyerupai bulir-bulir yang merupakan
gambaran khas TB milier. Namun, gambaran rontgen dada bisa bervariasi dan dapat
disertai gambaran infiltrat-infiltrat pada lobus atas dengan atau tanpa adanya kavitasi.

d) Interferon-Gamma Release Assay (IGRA)

Konversi interferon-gamma release assay (IGRA) yang positif merupakan cerminan


reaksi hipersensitivitas yang lambat terhadap protein Mycobacterium tuberculosis.
Pemeriksaan ini dapat digunakan untuk skrining infeksi TB laten.

Meski tes IGRA lebih mahal, memerlukan teknik lab yang lebih canggih, dan
prosesnya lebih rumit, namun tes ini lebih menguntungkan dibandingkan TST, karena
pasien hanya perlu sekali berkunjung ke tempat pemeriksaan. Selain itu, tes juga
dilakukan secara ex vivo, tidak ada efek booster setelah pemeriksaan, dan tidak
bergantung pada riwayat vaksinasi BCG.
Namun, perlu diingat bahwa baik TST atau IGRA tidak cukup sensitif untuk
menyingkirkan seorang pasien terkena TB. Pada bayi dan orang dengan
imunosupresif kedua tes ini hendaknya diintepretasikan dengan hati-hati

e) DNA Sequencing

Pemeriksaan menggunakan DNA sequencing lebih cepat untuk mendeteksi resistensi


OAT. Pemeriksaan ini memiliki spesifitas dan senstivitas yang tinggi terhadap INH,
rifampisin, etambutol dan pirazinamide. [21,22]

f. Penatalaksanaan Medis

Tujuan pengobatan Tuberculosis ialah memusnahkan basil tuberkulosis


dengan cepat dan mencegah kambuh. Obat yang digunakan untuk
Tuberculosis digolongkan atas dua kelompok yaitu :

1) Obat primer

INH (isoniazid), Rifampisin, Etambutol, Streptomisin, Pirazinamid. Memperlihatkan


efektifitas yang tinggi dengan toksisitas yang masih dapat ditolerir, sebagian besar
penderita dapat disembuhkan dengan obat-obat ini.

2) Obat sekunder

Exionamid, Paraminosalisilat, Sikloserin, Amikasin, Kapreomisin dan Kanamisin


(Depkes RI, 2011).

Menurut Zain (2001) membagi penatalaksanaan tuberkulosis paru


menjadi tiga bagian, pengobatan, dan penemuan penderita (active case
finding).

1) pemeriksaan kontak

yaitu pemeriksaan terhadap individu yang bergaul erat dengan penderita TB paru
BTA positif. Pemeriksaan meliputi tes tuberkulin, klinis dan radiologis. Bila tes
tuberkulin positif, maka pemeriksaan radiologis foto thoraks diulang pada 6 dan 12
bulan mendatang. Bila masih negatif, diberikan BCG vaksinasi. Bila positif, berarti
terjadi konversi hasil tes tuberkulin dan diberikan kemoprofilaksis.

2) Mass chest X-ray

yaitu pemeriksaan massal terhadap kelompokkelompok populasi tertentu misalnya:

a) Karyawan rumah sakit/Puskesmas/balai pengobatan.

b) Penghuni rumah tahanan.

3) Vaksinasi BCG

Tabrani Rab (2010), Vaksinasi BCG dapat melindungi anak yang berumur kurang
dari 15 tahun sampai 80%.

Konsep Asuhan Keperawatan

a. Pengkajian Keperawatan
1. Anamnesis
1) Identitas Diri Pasien

Yang terdiri dari nama pasien, umur, jenis kelamin, agama dan lain-lain

2) Keluhan Utama

Keluhan yang sering menyebabkan klien dengan TB Paru meminta pertolongan pada
tenaga medis dibagi menjadi 4 keluhan, yaitu :

a) Batuk

Keluhan batuk timbul paling awal dan paling sering dikeluhkan, apakah betuk
bersifat produktif/nonproduktif, sputum bercampur darah

b) Batuk Berdahak

Seberapa banyak darah yang keluar atau hanya blood streak, berupa garis atau
bercak-bercak darah
c) Sesak Nafas

Keluhan ini ditemukan bila kerusakan parenkim paru sudah luas atau karena ada hal-
hal menyertai seperti efusi pleura, pneumotoraks, anemia, dll.

d) Nyeri Dada

Gejala ini timbul apabila sistem persarafan di pleural terkena TB

3) Keluhan Sistematis
a) Demam

keluhan ini sering dijumpai yang biasanya timbul pada sore hari atau pada malam hari
mirip dengan influenza

b) Keluhan Sistematis Lain

keluhan yang timbul antara lain : keringat malam, anoreksia, penurunan berat badan
dan malaise.

2. Riwayat Kesehatan
1) Riwayat Kesehatan Sekarang :
a) Keadaan pernapasan (napas pendek)
b) Nyeri dada
c) Batuk, dan
d) Sputum
2) Kesehatan Dahulu :

Jenis gangguan kesehatan yang baru saja dialami, cedera dan pembedahan

3) Kesehatan Keluarga

Adakah anggota keluarga yang menderita empisema, asma, alergi dan TB

3. Pemeriksaan Fisik

1) Keadaan umum dan tanda – tanda vital


Hasil pemeriksaan tanda – tanda vital klien biasanya didapatkan peningkatan suhu
tubuh secara signifikan, frekuensi napas meningkat disertai sesak napas, denyut nadi
meningkat seirama dengan peningkatan suhu tubuh dan frekuensi pernapasan dan
tekanan darah biasanya sesuai dengan adanya penyakit penyulit seperti hipertensi.

2) Breathing

Inspeksi :

a) Bentuk dada dan gerakan pernapasan klien dengan TB Paru biasanya terlihat kurus
sehingga pada bentuk dada terlihat adanya penurunan proporsi anterior-posterior
bading proporsi diameter lateral

b) Batuk dan sputum

Batuk produktif disertai adanya peningkatan produksi sekret dan sekresi sputum yang
purulent.

Palpasi :

Gerakan dinding thoraks anterior/ekskrusi pernapasan. TB Paru tanpa komplikasi


pada saat dilakukan palpasi, gerakan dada biasanya normal dan seimbang bagian kiri
dan kanan. Adanya penurunan gerakan dinding pernapasan biasanya ditemukan pada
klien TB Paru dengan kerusakan parenkim paru yang luas.

Perkusi :

Pada klien TB Paru tanpa komplikasi biasanya ditemukan resonan atau sonor pada
seluruh lapang paru. pada klien dengan komplikasi efusi pleura didapatkan bunyi
redup sampai pekak pada sisi yang sakit sesuai dengan akumulasi cairan

Aukultasi :

Pada klien TB Paru bunyi napas tambahan ronki pada sisi yang sakit.

3)Brain
Kesadaran biasanya komposmentis, ditemukan adanya sianosis perifer apabila
gangguan perfusi jaringan berat. Pengkajian objektif, klien tampak wajah meringis,
menangis, merintih. Pada saat dilakukan pengkajian pada mata, biasanya didapatkan
konjungtiva anemis pada TB Paru yang hemaptu, dan ikterik pada pasien TB Paru
dengan gangguan fungsi hati.

4) Bledder

Pengukuran volume output urin berhubungan dengan intake cairan. Memonitor


adanya oliguria karena hal tersebut merupakan tanda awal syok.

5) Bowel

Klien biasanya mengalami mual, muntah, penurunan nafsu makan dan penurunan
berat badan

6) Bone

Aktivitas sehari-hari berkurang banyak pada klien TB Paru. gejala yang muncul
antara lain kelemahan, kelelahan, insomnia, pola hidup menetap.

7) Pemeriksaan Fisik Head To Toe

a) Kepala

Kaji keadaan Kulit kepala bersih/tidak, ada benjolan/tidak, simetris/tidak

b) Rambut

Kaji pertumbuhan rata/tidak, rontok, warna rambut

c) wajah

Kaji warna kulit, struktur wajah simetris/tidak

d) Sistem Penglihatan

Kaji kesimetrisan mata, conjungtiva anemia/tidak, sclera ikterik/tidak


e) Wicara dan THT

Wicara

Kaji fungsi wicara, perubahan suara,afasia, dysfonia

THT

 Inspeksi hidung : kaji adanya obtruksi/tidak, simetris/tidak,ada secret/tidak


 Telinga : Kaji Telinga Luar bersih/tidak, membran tympani, ada secret/tidak
 Palpasi : Kaji THT ada/tidak nyeri tekan lokasi dan penjalaran
b. Daftar Diagnosa keperawatan
1) Bersihan jalan nafas tidak efektif
2) Hipertermi
3) Deficit Nutrisi
4) Defisit Pengetahuan
c. Intervensi Keperawatan

No.Dx Diagnosa Tujuan dan Kriteria hasil Intervensi dan Rasional


Keperawatan
D.0001 Bersihan Jalan Nafas Setelah dilakukan tindak keperawatan Manajemen Jalan Nafas (SIKI, I.01011)
Tidak Efektif selama 2x24 jam masalah Bersihan Jalan Observasi
Nafas Tidak Efektif dapat teratasi 1) Monitor pola nafas
Dengan kriteria hasil:  Mengetahui pola nafas pasien
Bersihan Jalan Nafas (SLKI, L.01001) 2) Monitor produksi sputum
1) Batuk efektif meningkat  Mengetahui jumlah sputum pada saluran
2) Produksi Sputum menurun pernafasan
3) Mengi menurun Terapeutik
4) Dispnea menurun 1) Pertahankan Kepatenan jalan nafas
5) Frekuensi nafas membaik  Agar pasien dapat bernafas dengan bebas
6) Pola nafas membaik 2) Lakukan fisioteapi dada
 Agar organ respirasi Kembali membaik
dan bernafas dengan lancar
3) Posisikan semi fowle/ fowler
 Memberikan kenyamanan atau
memudahkan pasien dalam bernafas
4) Lakukan penghisapan lender kurang dari
15 detik
 Menghilangkan lendir tanpa mengirisitasi
saluran pernafasan pasien
Edukasi
1) Ajarkan Teknik batuk efektif
 Agar pasien lebih lega dan dapat
mengeluarkan dahak
Kolaborasi
1) Kolaborasi pemberian bronkodilator,
ekspektoran, mukolitik jika perlu

D.0130 Hipertermi Setelah dilakukan tindak keperawatan Manajemen Hipertermia (SIKI, I.15506)
selama 2x24 jam masalah hipertermi dapat Observasi
teratasi 1) Monitor suhu tubuh
Dengan kriteria hasil:  Mengetahui suhu tubuh pasien
Termoregulasi (SLKI, L.14134) 2) Monitor haluaran urine
a. Suhu tubuh pasien menurun ke 36 – 37oC.  Mengetahui jumlah produksi urine pasien
b. Frekuensi nadi menurun ke 60 – Terapeutik
100x/menit 1) Sediakan lingkungan yang dingin
c. Frekuensi pernafasan menurun ke 16 –  Menurunkan suhu tubuh pasien dengan
20x/menit bantuan suhu lingkungan
d. Perubahan warna kult dari merah ke warna 2) Longgarkan atau lepaskan pakaian
kulit asli pasien  Agar suhu tubuh pasien cepat turun
3) Basahi dan kipasi permukaan tubuh
 Menurunkan suhu tubuh dengan bantuan
lingkungan
4) Lakukan pendinginan eksternal (mis.
selimut hipotermia atau kompres dingin
pada dahi, leher, dada, abdomen, aksila)
 Menunjang suhu tubuh agar cepat turun
5) Berikan oksigen, jika perlu
 Membantu menurunkan metabolism
dalam tubuh sehingga panas juga
menurun
Edukasi
1) Anjurkan tirah baring
 Karena aktivitas yang berlebihan akan
meningkatkan suhu dalam ubuh
Kolaborasi
1) Kolaborasi pemberian cairan dan
elektrolit intravena, jika perlu
 Menyeimbangkan suhu dalam tubuh
D.0019 Deficit Nutrisi Setelah dilakukan tindak keperawatan Manajemen Nutrisi (SIKI, I.03119)
selama 2x24 jam masalah difisit nutrisi Observasi
dapat teratasi 1) Identifikasi status nutrisi
Dengan kriteria hasil:  Mengetahui status nutrisi pasien
Status Nutrisi (SLKI, L.03030) 2) Identifikasi kebutuhan kalori dan jenis
1) Porsi makan yang dihabiskan nutrient
meningkat  Agar dapat memberikan kalori sesuai
2) Diare menurun kebutuhan pasien
3) Berat badan membaik 3) Identifikasi makanan disukai
4) Nafsu makan membaik  Untuk menarik minat pasien agar mau
makan
4) Monitor asupan makanan
 Mengetahui intake makanan pasien
5) Monitor berat badan
 Mengetahui peningkatan dan penurunan
berat badan papsien
Terapeutik
1) Fasilitasi melakukan pedoman diet
 Agar pasien menerapkan diet sesuai
anjuran
2) Berikan makanan tinggi kalori dan tinggi
protein
 Meningkatkan asupan gizi pada pasien
3) Berikan suplemen makanan
 Agar meningktkan nafsu makan pasien
Edukasi
1) Ajarkan diet yang diprogramkan
 Agar pasien mengetahui diet yang
diberikan
Kolaborasi
1) Kolaborasi dengan ahli gizi umtuk
menentukan jumlah kalori dan jenis
nutrien yang dibutuhkan
D.0077 Nyeri Akut Setelah dilakukan tindak keperawatan Manajemen Nyeri (SIKI, I.08238)
selama 2x24 jam masalah Nyeri Akut dapat Observasi
teratasi 1) Identifikasi lokal, karakteristik, durasi,
Dengan kriteria hasil: frekuensi, kualitas, intensitas nyeri
Tingkat Nyeri (SLKI, L.08066)  Mengetahui keadaan nyeri pasien
2) Keluhan nyeri menurun 2) Identifikasi skala nyeri
3) Meringis menurun  Mengetahui skala nyeri pada pasien
4) Sikap protektif menurun 3) Identifikasi faktor yang memperberat
5) Gelisah menurun atau memperingan nyeri
6) Frekuensi nadi membaik ke 60 –  Mengetahui hal-hal yang apat
100x/menit menyebabkan nyeri meningkat
Terapeutik
1) Berikan teknik nonfarmakologis untuk
mengurangi nyeri (mis. hipnosis, terapi
musik, terapi pijat, kompres
hangat/dingin, teknik imajinasi
terbimbing)
 Mengurangi nyeri tanpa menggunakan
obat
2) Kontrol lingkungan yang memperberat
nyeri (mis. suhu ruangan, pencahayaan,
kebisingan)
 Meredakan nyeri yang dapat timbul dari
factor lingkungan
Edukasi
1) Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu
nyeri
 Agar pasien mengetahui penyebab
timbulnya nyeri
2) Anjurkan memonitor nyeri secara
mandiri
 Meningkatkan kemandirian pasien
mngindentifikasi nyeri yang dirasakan
Kolaborasi
1) Kolaborasi pemberian analgetik, jika
perlu
D.0111 Deficit pengetahuan Setelah dilakukan tindak keperawatan Edukasi Kesehatan (SIKI, I.12383)
selama 2x24 jam masalah difisit Observasi
pengetahuan dapat teratasi 1) Identifikasi kesiapan dan kemampuan
Dengan kriteria hasil: menerima informasi
Tingkat Pengetahuan (SLKI, L.12111)  Mengetahui kondisi pasien sebelum
1) Prilaku sesuai anjuran meningkat diberikan pendkes
2) Pertanyaan terhadap masalah yang 2) Identifikasi factor-faktor yang
dihadapi menurun meningkatkan dan menurunkan perilaku
3) Persepsi salah terhadap penyakit hidup bersih dan sehat
menurun  Mengetahui perilaku yang meningkatkan
dan menurunkan nyeri
Terapeutik
1) Sediakan materi dan media Pendidikan
Kesehatan
 Agar pasien tertarik memahami
penjelasan yang diberikan
2) Jadwalkan Pendidikan Kesehatan sesuai
kesepakatan
 Agar Pendidikan Kesehatan terjadwal
dan rutin dilakukan
3) Berikan kesempatan untuk bertanya
 Mengetahui apakah pasien sudah jelas
dengan materi yang disampaikan
Edukasi
1) Jelaskan factor-faktor yang
mempengaruhi Kesehatan
 Agar pasien mengatahui penyebab dari
masalah Kesehatan yang dideritanya
2) Ajarkan perilaku hidup bersih dan sehat
 Meningkatkan pola hidup bersih dan
sehat pasien

Referensi

Dewanty, L. I., Haryanti, T., & Kurniawan, T. P. (2016). Kepatuhan Berobat Penderita TB Paru di Puskesmas Nguntoronadi I
Kabupaten Wonogiri. Jurnal Kesehatan, 9(1), 39–43.

Oktavia, S., Mutahar, R., & Destriatania, S. (2016). Analisis faktor risiko kejadian TB Paru di wilayah Kerja Puskesmas
Kertapati Palembang. Jurnal Ilmu Kesehatan Masyarakat, 7(2).

Werdhani, R. A. (2002). Patofisiologi, diagnosis, dan klasifikasi tuberkulosis. Jakarta: Departemen Ilmu Kedokteran
Komunitas, Okupasi, Dan Keluarga. FKUI. Hal, 2–3.

Wikurendra, E. A. (2019). Faktor Faktor Yang Mempengaruhi Kejadian Tb Paru Dan Upaya Penanggulangannya.

Anda mungkin juga menyukai