Anda di halaman 1dari 34

PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN JANIN TRIMESTER I

Makalah ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah
Feto Materna Program Studi Profesi Bidan
Dosen Pembimbing:
Qanita Wulandara, SST, M. Keb

Disusun Oleh:

Aini Musydah Taslim Qolbi Elvira Nafiani Nur Fitri Ratna Yulia
Asti Siti Fujianti Elga Nurmaisya Ningsih Widayati
Chintia Dwi Ayu Lestari Febby Nadila Lestari Reni Suminar
Dila Septi Rosdiani Gina Lestari Rima Fitrianti
Diena Rahmatul Ummah Hartini Rahayu Rose Setiasih
Dara Linggar Adi Prahastuti Hana Fauziah Lestari Renitasari Amruloh
Dita Adiyanti Imas Puspitasari Siti Musliahah Rama
Dian Sartika Ismah Khaerunisa Shofia Najma Fauzia
Dewi Endah Purnamawati Iyar Atirillah Rahmaniyar Sri Wahyuni
Darajati Septia Wijayanti Muza Baturohmah Tina Trianty
Eti Rohaeti Musliah Ucu Siti Nurjanah
Euis Kartina Mayang Asri Anwar Umi Umaroh
Neng Mita Patmawati Widya Aprilliani Utami

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES TASIKMALAYA
JURUSAN KEBIDANAN TASIKMALAYA
2021
i

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb
Puji syukur kehadirat Allah SWT, atas karunia dan hidayah-Nya yang berlimpah
dan tiada akan pernah habis terhitung. Sungguh, maha besar Allah karena telah
meridhai tim penulis untuk menyelesaikan penulisan makalah dengan judul
“Pertumbuhan dan Perkembangan Janin Trimester I”. Makalah ini dipergunakan untuk
memenuhi tugas mata kuliah Feto Maternal dalam kegiatan pembelajaran Program
Studi Profesi Bidan Poltekkes Tasikmalaya. Rasa terimakasih yang sebesar-besarnya
saya ucapakan kepada dosen pembimbing serta banyak pihak yang terkait dalam
penyelesaian makalah ini.
Dalam penyusunan makalah ini kami menyadari masih banyak kekurangan dan
kelemahannya. Oleh karena itu kami sangat memerlukan kritik dan saran yang bersifat
membangun untuk menyempurnakan makalah ini. Semoga makalah ini menjadi lebih
bermanfaat.
Akhir kata, kami barharap semoga makalah ini bemanfaat khususnya bagi kami
dan umumnya bagi seluruh mahasiswa dan pembaca. Kami menyadari bahwa
kesempurnaan hanyalah milik Allah SWT, untuk itu kami menerima kritik dan saran
yang membangun. Terimakasih.
Wassalamualaikum Wr. Wb

Tasikmalaya, 29 Juli 2021

Tim Penyusun
ii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................... i


DAFTAR ISI ............................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang............................................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah ....................................................................................... 2
1.3 Tujuan ........................................................................................................ 2
1.4 Manfaat ...................................................................................................... 2
BAB II TINJAUAN TEORI...................................................................................... 3
A. Pertumbuhan dan Perkembangan Janin Secara Fisiologis Pada Trimester I ...... 3
B. Pertumbuhan dan Perkembangan Janin Secara Patologis Pada Trimester I ..... 14
BAB III PENUTUP ................................................................................................ 30
3.1 Kesimpulan............................................................................................... 30
3.2 Saran ........................................................................................................ 30
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................. 31
1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pertumbuhan janin dalam kandungan merupakan hasil interaksi antara
potensi genetik dari ayah maupun ibu dan lingkungan intrauterin. Pertumbuhan
janin dipengaruhi oleh faktor-faktor selama kehamilan, yaitu sakit berat,
komplikasi kehamilan, kurang gizi, dan keadaan stress pada ibu hamil.
Penilaian kesejahteraan janin digunakan untuk mengetahui kesejahteraan janin
di dalam rahim sehingga dapat mendeteksi secara dini ada tidaknya asfiksia
terutama pada janin dengan Pertumbuhan Janin Terhambat (PJT).
Kesejahteraan janin dapat diketahui dengan beberapa pemeriksaan, diantara
dengan pengkajian biofisik yang terdiri dari perilaku janin dan gerakan janin,
serta penilaian reaktivititas denyut jantung janin
Perkembangan dan pertumbuhan janin yang baik merupakan hal utama
yang diidamkan oleh setiap wanita hamil. Janin yang tumbuh sesuai dengan
umur kehamilan merupakan prioritas utama, apalagi bagi mereka yang baru
memiliki seorang anak. Banyak para wanita hamil yang tidak memahami
perkembangan janin yang normal dan yang mengalami gangguan karena
penyakit yang menyertai. Menurut data World Health Organization (WHO),
pada tahun 2015 Angka kematian janin di dunia di perkirakan sekitar 3,82 -
22,14 juta jiwa. Kematian Janin dalam rahim termasuk dalam masalah perinatal
dan merupakan indikator kesehatan yang saat ini sangat sensitif karena
berhubungan dengan kesehatan ibu dan anak. Angka kematian perinatal
menyumbang sekitar 77% dari kematian neonatal, dimana kematian neonatal
menyumbang 58% dari total kematian bayi (WHO, 2015). Di Indonesia angka
kematian bayi adalah 32 kematian per 1000 kelahiran hidup (25,2 %) (Depkes
RI, 2015).
2

1.2 Rumusan Masalah


Rumusan masalah dari makalah ini adalah:
1. Bagaimana pertumbuhan dan perkembangan janin trimester I secara
fisiologis?
2. Bagimana pertumbuhan dan perkembangan janin trimester Isecara
patologis?
1.3 Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini adalah:
1. Untuk mengetahui pertumbuhan dan perkembangan janin trimester I
secara fisiologis
2. Untuk mengetahui pertumbuhan dan perkembangan janin trimester Isecara
patologis
1.4 Manfaat
Dapat menambah wawasan baru dan pengetahuan mengenai pertumbuhan dan
perkembangan janin trimester I baik secara fisiologis maupun patologis.
3

BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Pertumbuhan dan Perkembangan Janin Secara Fisiologis Pada Trimester I


1. Pengertian
Manusia terbentuk diawali oleh pertemuan sebuah sel telur (ovum)
dengan sebuah sel sperma (spermatozoa). Pertemuan ini menghasilkan noktah
yang disebut zigot. Di dalam perut ibu, zigot lama kelamaan akan tumbuh
berkembang menjadi janin. Pada manusia, proses pertumbuhan janin di dalam
perut ibu dibagi menjadi tiga tahap, yaitu pertumbuhan janin trimester
pertama, trimester kedua, dan trimester ketiga.
Pada trimester pertama atau tiga bulan pertama masa kehamilan
merupakan masa dimana system organ prenatal dibentuk dan mulai berfungsi.
Pada minggu ke 3 sel-sel mulai membentuk organ-organ spesifik dan
bagianbagian tubuh. Minggu ke 13, jantung telah lengkap dibentuk dan mulai
berdenyut, sebagian besar organ telah dibentuk, dan janin mulai dapat
bergerak.

2. Pertumbuhan Janin Masa Prenatal


a. Fase Germinal
Berlangsung pada waktu 10 -14 hari setelah pembuahan. Zigot (hasil
pembuahan) berkembang cepat 72 jam setelah pembuahan, membelah
diri menjadi 32 sel dan sehari kemudian sudah 72 sel. Pembelahan ini
berlangsung terus sampai menjadi 800 milyar sel atau lebih, dan dari
sinilah manusia tumbuh berkembang.
Dalam fase germinal ini terbentuklah saluran yang menempel pada
uterus yang dicapai selama 3-4 hari yang kemudian berubah bentuk
menjadi “blastocyst“ yang terapung bebas dalam uterus selama satu atau
dua hari. Beberapa sel sekitar pinggiran blastocyst membentuk piringan
4

embrionik (embryonic disk) merupakan massa sel yang tebal dan dari
sinilah bayi akan tumbuh. Massa ini mengalami deferensiasi menjadi tiga
lapisan, bagian atas yaitu ektoderm, bagian bawah endoderm dan lapisan
tengah mesoderm.
1) Ektoderm
Lapisan ini nantinya akan membentuk lapisan kulit luar, kuku,
rambut gigi, organ perasa dan system syaraf termasuk otak dan
sumsum tulang belakang.
2) Endoderm
Lapisan bagian bawah ini akan membentuk system pencernaan, hati,
pancreas, kelenjar ludah, system pernafasan.
3) Mesoderm
Lapisan tengah (mesoderm) merupakan lapisan yang akan
berkembang dan berdeferensiasi menjadi lapisan kulit bagian dalam,
urat daging, kerangka, sistem ekskresi dan system sirkulasi.
Gambar berikut menunjukkan proses pembuahan sampai terjadi
impalantasi di dalam rahim ibu.

Gambar 1. Representasi diagramatis siklus ovarium; mulai dari


pembuahan sampai implantasi
5

Bagian lain dari blastocyst tumbuh menjadi plasenta, tali pusat


dan kantong empedu. Pada masa ini pula yaitu pada usia embrio 4
minggu, embrio mengeluarkan hormone yang menyebabkan
berhentinya siklus haid ibu.
b. Fase Embrional
Berkembang mulai pada 2 – 8 minggu setelah pembuahan. Selama
fase ini system pernafasan, pencernaan, system syaraf dan tubuh tumbuh
dan berkembang cepat. Pada periode pertumbuhan embrional ini
sangatlah peka terhadap pengaruh lingkungannya. Keadaan tidak normal
atau cacat pada waktu lahir dapat terjadi karena adanya gangguan pada
masa kandungan tiga bulan pertama.
Selama periode pertumbuhan embrio terjadi pembelahan sel, dan
relatif lebih cepat dari periode lainnya. Pertumbuhan embrio yang cepat
tersebut menunjukkan kebutuhan oksigen dan zat gizi tinggi untuk setiap
unit massa embrio. Hal ini menyebabkan embrio sensitif terhadap
perubahan suplai gizi dan oksigen. Pada saat ketersediaan oksigen
menurun atau kekurangan zat gizi tertentu dapat menyebabkan hambatan
pertumbuhan yang permanen (Rosso, 1990)
c. Fase Fetus (Janin)
Berkembang delapan minggu setelah pembuahan. Sel tulang
pertama mulai tumbuh dan embrio menjadi janin. Dari periode ini
sampai saat kelahiran bentuk tubuh makin sempurna, bagian-bagian
tubuh tumbuh dengan laju yang berbeda-beda dan janin sendiri tumbuh
memanjang sampai kira-kira 20 kalinya.
Selama janin tumbuh dan berkembang, total cairan tubuh menurun
dari 92 menjadi 72 persen. Perubahan ini diikuti oleh peningkatan
protein dan lemak terutama selama dua bulan terkahir kehamilan,
dimana peningkatan protein lebih banyak dari pada lemak. Selain itu
pada janin terjadi pula pertambahan yang nyata pada natrium, kalsium
6

dan besi. Natrium terutama terdapat dalam cairan ekstraseluler dan


dalam tulang, sedang kalium terdapat dalam cairan intraseluler
berkaitan dengan massa sel.
Kegiatan janin selama dalam kandungan selain menghisap zat gizi
dan bernafas, janin juga bergerak aktif seperti menyepak, berputar,
melengkung dan menggenggam. Selain itu janin mampu melakukan
respon terhadap rangsangan suara atau getaran. Janin juga peka
terhadap kondisi kejiwaan ibunya, misalnya ibu yang mengandung
merasa takut, sedih atau cemas maka janin akan melakukan gerakan-
gerakan yang lebih cepat. Demikian pula apabila si ibu kelelahan.
Respon tersebut diduga karena adanya perubahan sekresi kelenjar yang
terjadi dalam tubuh ibunya.

3. Pertumbuhan dan Perkembangan Janin Trimester I

Gambar 2. Periode kritis perkembangan janin selama kehamilan

Periode perkembangan janin (kehamilan/prenatal) berlangsung


280 hari (40 minggu) dihitung mulai hari pertama haid terakhir (HPHT).
Urutan perkembangan: kepala, mata, tubuh, tangan, kaki, alat kelamin
(cephalocaudal dan proximodistal).
7

Minggu ke-1 merupakan tahap perkembangan awal janin.


Minggu ini sebenarnya masih periode menstruasi, bahkan pembuahan
pun belum terjadi. Sebab tanggal perkiraan kelahiran dihitung
berdasarkan hari pertama haid terakhir. Selama masa ini, yang
dibutuhkan hanyalah nutrisi (melalui ibu) dan oksigen. Sel-sel telur
yang berada didalam rahim, berbentuk seperti lingkaran sinar yang
mengelilingi matahari. Sel ini akan bertemu dengan sel-sel sperma dan
memulai proses pembuahan. 5 juta sel sperma sekaligus berenang
menuju tujuan akhir mereka, yaitu menuju sel telur yang bersembunyi
pada saluran sel telur, pada akhirnya hanya 1 sel sperma yang bisa
menembus indung telur.
Minggu ke-2 sampai minggu ke-3 perubahan terjadi pada akhir
minggu kedua. 30 jam setelah dibuahi, sel telur akan membelah menjadi
dua. Sambil terus membelah, sel telur bergerak di dalam lubang falopi
menuju rahim. Setelah membelah menjadi 32, sel telur disebut morula.
Sel-sel mulai berkembang dan terbagi kira-kira dua kali sehari, sehingga
pada hari ke-12 jumlahnya bertambah dan membantu blastocyst
(diameter 0,1-0,2 mm6 ) menempel pada dinding endometrium. Ibu
mungkin beum sadar jika sedang mengandung.

Gambar 3. Fertilisasi dan Implantasi pada minggu 3 dan 4


8

Minggu ke-4, darah mulai mengalir dari plasenta ke janin.


Plasenta adalah organ sistem sirkulasi antara ibu dan embrio. Melalui
plasenta ini, ibu memberi nutrrisi dan oksigen ke embrio, termasuk
dalam pembuangan sisa-sisa metabolism janin. Paru-paru mulai
berkembang, kelenjar tiroid, dan lainnya terbentuk. Muka, organ indera,
dan organ reproduksi mulai terbentuk, dengan ukuran embrio sekitar 2
hingga 3,5 mm, jantung mulai berdenyut dan sistem peredaran darah
sudah melaksanakan fungsinya meski masih dalam taraf yang sangat
sederhana. Tahap ini merupakan fase gastrula yaitu tahap pertumbuhan
embrio berbentuk mangkuk setelah masa blastula hasil pembelahan
zigot. Tahap selanjutnya adalah tahap embrio yang berlangsung lima
setengah minggu. Tahap embrio dimulai setelah zigot tertanam dengan
baik pada dinding rahim. Dalam tahap ini, sistem organ dasar bayi mulai
berbentuk dari susunan sel, meskipun bentuk luar masih jauh berbeda
dibandingkan manusia dewasa.

Gambar 4. Perkembangan janin tiga minggu (kiri) dan empat minggu


(kanan) setelah pembuahan
9

Pada minggu ke-5, embrio diperkirakan berukuran antara 5- 7 mm.


pemebentukan organ-organ tubuh seperti telinga dan alat pencernaan
makin sempurna. Pada minggu ke-6, kepala dan leher sudah muncul, dan
mata yang letaknya masih berjauhan juga sudah ada. Hidung yang masih
berbentuk tonjolan sudah mulai terlihat walaupun masih kecil. Pada
minggu ini juga peredaran darah dan organ-organ penting tubuh seperti
ginjal, hati, sistem pencernaan sudah mulai terbentuk. Pada minggu ke-7,
besar embrio seukuran kuku jari kelingking atau 1 cm, tangan sudah ada
dan berkembang dengan cepat.

Gambar 5. Perkembangan janin pada minggu ke lima, enam dan tujuh

Pada akhir minggu ke-8, ukuran embrio mencapai kisaran 2731


mm. secara keseluruhan embrio makin menyerupai bayi dengan taksiran
berat janin sekitar 13-15 gram. Semua organ tubuh juga mulai bekerja,
10

meski belum sempurna17. Embrio mulai bisa bergerak secara teratur,


rata-rata 60 kali gerakan dalam 1 jam. Tubuh embrio semakin menyerupai
bayi.

Gambar 6. Perkembangan janin delapan minggu setelah pembuahan

Minggu ke-9, masa perkembangan janin. Panjang janin sekitar 3


cm, dengan berat 2 gram, memiliki tangan yang besarnya sekacang kapri
dan jari sudah mulai terbentuk. Kaki sudah membentuk lutut dan jari.
Organ genital sudah mulai telihat jelas.
Minggu ke-10, panjang janin adalah 4,5 cm dengan berat 5 gram.
Rahang atas dan bawah sudah terbentuk dan janin sudah mulai
memproduksi air seni. Bentuk janin sudah hamper menyerupai manusia.
Darah dan sel-sel tulang mulai terbentuk. Pada kehamilan 8-10 mingu
pembuluh darah janin mulai terbentuk. Dengan menggunakan
ultrasonography dapat diketahui sedini mungkin apakah jantung janin
telah berdenyut atau belum. Umumnya denyut jantung dapat dicatat pada
minggu ke 12, sedangkan dengan Leanec baru dapat terdengar pada
kehamilan 20 minggu.
11

Gambar 7. Perkembangan janin sepuluh minggu setelah pembuahan

Minggu ke-11, organ tubuh sudah terbentuk dengan legkap dan mulai
berfungsi. Panjang sekitar 6 cm dengan berat 10 gram. Janin mulai bergerak
dan bisa meluruskan tubuhnya (Rahmatia, halaman 3). Di minggu ke-12,
struktur yang telah terbentuk akan terus bertumbuh dan berkembang
semakin sempurna. Di usia ini, sistem saraf dan otot janin mencapai tingkat
kematangan. Selain bernapas, kini janin juga mulai mampu mencerna
makanan.

4. Pertumbuhan dan Perkembangan Plasenta


Setelah minggu pertama (hari 7-8), sel-sel trofoblas yang terletak di
atas embrioblas yang berimplantasi di endometrium dinding uterus,
mengadakan proliferasi dan berdiferensiasi menjadi dua lapis yang berbeda:
a) Sitotrofoblas: terdiri dari selapis sel kuboid, jelas, inti tunggal, di
sebelah dalam (dekat embrioblas).
b) Sinsitiotrofoblas: terdiri dari selapis sel tanpa batas jelas, di sebelah
luar (berhubungan dengan stroma endometrium). Unit trofoblas ini
akan berkembang menjadi plasenta. Di antara massa embrioblas
dengan lapisan sitotrofoblas terbentuk suatu celah yang makin lama
makin besar, yang nantinya akan menjadi rongga amnion.
12

Sel-sel embrioblas juga berdiferensiasi menjadi dua lapis yang berbeda


yaitu:
a) Epiblas: selapis sel kolumnar tinggi, di bagian dalam, berbatasan
dengan bakal rongga amnion.
b) Hipoblas: selapis sel kuboid kecil, di bagian luar, berbatasan dengan
rongga blastokista (bakal rongga kuning telur)
Unit sel-sel blast ini akan berkembang menjadi janin. Pada hari ke-
9, kutub embrional, sel-sel dari hipoblas membentuk selaput tipis yang
membatasi bagian dalam sitotrofoblas (selaput Heuser). Selaput ini
bersama denganhipoblas membentuk dinding bakal yolk sac (kandung
kuning telur). Rongga yang terjadi disebut rongga eksoselom (exocoelomic
space) atau kandung kuning telur sederhana. Dari struktur-struktur tersebut
kemudian akan terbentuk kandung kuning telur, lempeng korion dan
rongga korion. Pada lokasi bekas implantasi blastokista di permukaan
dinding uterus terbentuk lapisan fibrin sebagai bagian dari proses
penyembuhan luka. Jaringan endometrium di sekitar blastokista yang
berimplantasi mengalami reaksi desidua, berupa hipersekresi, peningkatan
lemak dan glikogen, serta edema. Selanjutnya endometrium yang berubah
di daerah-daerah sekitar implantasi blastokista itu disebut sebagai desidua.
Perubahan ini kemudian meluas ke seluruh bagian endometrium dalam
kavum uteri. Pada stadium ini, zigot disebut berada dalam stadium
bilaminar (cakram berlapis dua). Seluruh jaringan endometriumyang telah
mengalami reaksi desidua, juga mencerminkan perbedaan pada kutub
embrional dan abembrional yaitu: 1) Desidua di atas korion frondosum
menjadi desidua basalis; 2) Desidua yang meliputi embrioblas / kantong
janin di atas korion laeve menjadi desidua kapsularis; 3) Desidua di sisi /
bagian uterus yang abembrional menjadi desidua parietalis.
Pada hari 8-9, perkembangan trofoblas sangat cepat, dari selapis sel
tumbuh menjadi berlapis-lapis. Terbentuk ronggarongga vakuola yang
13

banyak pada lapisan sinsitiotrofoblas (selanjutnya disebut sinsitium) yang


akhirnya saling berhubungan, maka pada saat ini perkembangan plasenta
disebut stadium berongga (lacunar stage). Pertumbuhan sinsitium ke dalam
stroma endometrium makin dalam kemudian terjadi perusakan endotel
kapiler di sekitarnya, sehingga rongga-rongga sinsitium (sistem lakuna)
tersebut dialiri masuk oleh darah ibu, membentuk sinusoid-sinusoid yang
merupakan awalterbentuknya sistem sirkulasi uteroplasenta / sistem
sirkulasi feto-maternal.
Sementara itu pada hari ke 11-12, di antara lapisan dalam
sitotrofoblas dengan selapis sel selaput Heuser, terbentuk sekelompok sel
baru yang berasal dari trofoblas dan membentuk jaringan penyambung
yang lembut, yang disebut mesoderm ekstraembrional. Bagian yang
berbatasan dengan sitotrofoblas disebut mesoderm ekstraembrional
somatopleural, kemudian akan menjadi selaput korion (chorionic plate).
Bagian yang berbatasan dengan selaput Heuser dan menutupi bakal yolk
sac disebut mesoderm ekstraembrional splanknopleural.
Menjelang akhir minggu kedua (hari 13-14), seluruh lingkaran
blastokista telah terbenam dalam uterus dan diliputi pertumbuhan trofoblas
yang telah dialiri darah ibu. Meski demikian, hanya sistem trofoblas di
daerah dekat embrioblas saja yang berkembang lebih aktif dibandingkan
daerah lainnya. Di dalam lapisan mesoderm ekstraembrional juga
terbentuk celah-celah yang makin lama makin besar dan bersatu, sehingga
terjadilah rongga yang memisahkan kandung kuning telur makin jauh dari
sitotrofoblas. Rongga ini disebut rongga selom ekstraembrional
(extraembryonal coelomic space) atau rongga korion (chorionic space).
14

B. Pertumbuhan dan Perkembangan Janin Secara Patologis Pada Trimester I


1. Sindrom Down
a) Definisi
Sindrom Down (SD) merupakan suatu kelainan genetik yang paling sering
terjadi dan paling mudah diidentifikasi. SD atau yang lebih dikenal sebagai
kelainan genetik trisomi, di mana terdapat tambahan kromosom pada
kromosom 21. Kromosom ekstra tersebut menyebabkan jumlah protein
tertentu juga berlebih sehingga mengganggu pertumbuhan normal dari tubuh
dan menyebabkan perubahan perkembangan otak yang sudah tertata
sebelumnya.
b) Diagnosis Prenatal
Prevalensi hasil konsepsi mempunyai kelainan, yaitu sekitar 8%. Hal ini
merupakan indikasi untuk dilakukan tes diagnosis prenatal invasif yang saat
ini masih merupakan standar baku. Diagnosis prenatal pada kehamilan risiko
tinggi dapat mengurangi penurunan terjadinya Sindrom Down melalui
amniosintesis dan Chorion Villus Sampling (CVS).
Tes skrining pada trimester I (nuchal translucency, free ß-hCG dan
PAPP-A) dan triple test pada trimester II ( Feto Protein, Unconjugated
Estradiol 3 dan ß-hCG) merupakan metode yang sering dipakai untuk
skrining kelainan kromosom. Prosedur standar (gold standard) untuk
diagnosis prenatal adalah dengan fetal karyotyping pada wanita hamil.
Diagnosis definitif ini membutuhkan pemeriksaan invasif yaitu CVS atau
amniosintesis. Terdapat beberapa assay molekuler seperti Fluorescent in situ
Hybridization (FISH), Quantitative Fluorescence PCR (QF-PCR), dan
MLPA Multiplex Probe Ligation Assay (MLPA) yang juga dapat digunakan
untuk diagnosis prenatal.
Amniosintesis dilakukan dengan mengambil sampel air ketuban yang
kemudian diuji untuk menganalisis kromosom janin. Amniosintesis dan CVS
cukup dapat diandalkan tetapi memberikan risiko keguguran sekitar 0,5-1%.
15

CVS dilakukan dengan mengambil sampel sel dari plasenta. Sampel tersebut
akan diuji untuk melihat kromosom janin. Teknik ini dilakukan pada
kehamilan minggu kesembilan hingga empat belas.
a. Faktor Risiko Sindrom Down
Pada Sindrom Down, trisomi 21 dapat terjadi tidak hanya pada saat
meiosis pada waktu pembentukan gamet, tetapi juga saat mitosis awal
dalam perkembangan zigot. Oosit primer yang perkembangannya
terhenti pada saat profase meiosis I, tidak berubah pada tahap tersebut
sampai terjadi ovulasi. Di antara waktu tersebut, oosit mengalami non-
disjunction.2,14 Pada Sindrom Down, meiosis I menghasilkan ovum
yang mengandung 21 autosom dan apabila dibuahi oleh spermatozoa
normal yang membawa autosom 21, maka terbentuk zigot trisomi 21.
Nondisjunction ini dapat disebabkan oleh beberapa hal, yaitu:
i. Infeksi virus
Rubela merupakan salah satu jenis infeksi virus tersering
pada prenatal yang bersifat teratogen lingkungan yang dapat
memengaruhi embriogenesis dan mutasi gen sehingga
menyebabkan perubahan jumlah maupun struktur kromosom.
ii. Radiasi
Radiasi merupakan salah satu penyebab dari nondisjunctinal
pada Sindrom Down. Sekitar 30% ibu yang melahirkan anak
dengan Sindrom Down pernah mengalami radiasi di daerah perut
sebelum terjadinya konsepsi. Kecelakaan reaktor atom Chernobyl
pada tahun 1986 dikatakan merupakan penyebab beberapa
kejadian Sindrom Down di Berlin.
iii. Penuaan Sel Telur
Sel telur wanita telah dibentuk pada saat masih dalam
kandungan yang akan dimatangkan satu per satu setiap bulan pada
saat wanita tersebut mengalami menstruasi. Pada saat wanita
16

memasuki usia tua, kondisi sel telur tersebut terkadang menjadi


kurang baik, sehingga pada saat dibuahi oleh spermatozoa, sel
benih ini mengalami pembelahan yang salah. Proses selanjutnya
disebabkan oleh keterlambatan pembuahan akibat penurunan
frekuensi bersenggama pada pasangan tua. Faktor selanjutnya
disebabkan oleh penuaan sel spermatozoa laki-laki dan gangguan
pematangan sel sperma itu sendiri di dalam epididimis yang akan
berefek pada gangguan motilitas sel sperma itu sendiri juga dapat
berperan dalam efek ekstra kromosom 21 yang berasal dari ayah.
iv. Usia Ibu
Wanita dengan usia lebih dari 35 tahun lebih berisiko
melahirkan bayi dengan Sindrom Down dibandingkan dengan
ibu usia muda (kurang dari 35 tahun). Angka kejadian Sindrom
Down dengan usia ibu 35 tahun, sebesar 1 dalam 400 kelahiran.
Sedangkan ibu dengan umur kurang dari 30 tahun, sebesar
kurang dari 1 dalam 1000 kelahiran. Perubahan endokrin seperti
peningkatan sekresi androgen, penurunan kadar
hidroepiandrosteron, penurunan konsentrasi estradiol sistemik,
perubahan konsentrasi reseptor hormon, peningkatan hormon
LH (Luteinizing Hormone) dan FSH (Follicular Stimulating
Hormone) secara mendadak pada saat sebelum dan selama
menopause, dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya
nondisjunction.

c) Sindrom Edwards (Trisomi 18)


i. Pengertian
Trisomy 18 atau Sindro Edward merupakan kelainan autosomal
urutan kedua setelah trisomy 21. Kelainan terletak pada kromosom ke
17

18 dimana terdapat material kromosom sehingga berjumlah 47


kromosom.
ii. Etiologi
Trisomi 18 tipe total (sempurna) merupakan 90% penyebab
sindroma Edwards. Sisanya adalah trisomy mosaic 10% dan translokasi
kurang dari 1%. Pada tipe mosaic menunjukkan sebagian ekspresi klinik
yang muncul pada trisomy 18, dengan usia harapan hidup lebih lama
dan variasi derajat anomaly mulai mendekati normal sampai gambaran
klinik yang khas.
Pada trisomy 18 parsial dengan lengan yang pendek
menyebabkan gambaran klinik menjadi tidak spesifik dan menunjukkan
keadaan derajat sedang atau tidak adanya defisiensi mental. Trisomy
dengan sepertiga distal sampai setengah panjang lengan biasanya umur
harapan hidup lebih lama dan minimal defisiensi mental.
Insidensi meningkat berdasarkan usia ibu saat hamil sebagai
faktor resiko tinggi. Umut rata-rata maternal saat melahirkan bayi
dengan kondisi tersebut kurnag lebih 32 tahun. Beberapa penelitian
menduga pada laki-laki usia lanjut (>50 tahun) serta ibu yang
mempunyai anak > 4, berisiko tinggi untuk mempunyai anak dengan
trisomy.
iii. Gambaran Klinis
Ciri-ciri Sindroma Edward’s (Gambar 3) antara lain: kelainan
pada banyak alat tubuh, telinga rendah, rahang bawah rendah, mulut
kecil, tuna mental, ginjal dobel, tulang dada pendek, dan hanya dijumpai
pada anak-anak, pada dewasa tidak pernah karena mengakibatkan
kematian.
iv. Diagnosis
Sindrom Edward pada ibu hamil dengan usia kehamilan 10–14
minggu bisa dideteksi melalui uji penapisan (screening test) yang
18

disebut tes kombinasi. Selain mendeteksi sindrom Edward, tes


kombinasi juga dapat mendeteksi kemungkinan janin menderita
sindrom Down dan sindrom Patau.
Dalam tes kombinasi, dokter akan menjalankan tes darah
dan USG untuk mengukur cairan nuchal translucency di bagian
belakang leher janin.
Jika tes kombinasi tidak mungkin dilakukan atau usia kehamilan
telah lebih dari 14 minggu, skrining sindrom Edward akan dilakukan
ketika USG rutin di usia kehamilan 20 minggu. Jika skrining
menunjukkan tanda-tanda sindrom Edward pada janin, maka dokter
akan menganjurkan pemeriksaan berikut untuk memastikan adanya
salinan tambahan pada kromosom 18:
- Chorionic villus sampling, yaitu pemeriksaan sampel sel plasenta
yang dilakukan pada usia kehamilan 11–14 minggu. CVS dilakukan
dengan memasukkan jarum ke perut ibu hamil, atau dengan
memasukkan alat khusus melalui leher rahim.
- Amniocentesis, yaitu pemeriksaan sampel air ketuban yang
dilakukan pada usia kehamilan 15–20
minggu. Amniocentesis dilakukan dengan menusukkan jarum ke
perut ibu hamil hingga ke rahim.
Pada bayi yang lahir dengan trisomi 18, dokter dapat langsung
mendeteksinya dengan melihat penampilan fisik bayi. Untuk
memperkuat diagnosis, dokter akan mengambil sampel darah bayi untuk
memeriksa kemungkinan kelainan pada kromosom 18
d) Sindrom Patau (Trisomi 13)
i. Pengertian
Sindrom Patau (trisomi 13) merupakan kelainan genetic yang
memiliki 3 buah kromosom 13 yang terjadi karena kesalahan dalam
pemisahan kromosom homolog atau non Disjunction selama meiosis.
19

Sindrom Patau merupakan kelainan autosomal ketiga tersering


yang terjadi pada bayi lahir yang hidup setelah Sindrom Down (trisomy
21) dan Sindrom Edwards (Trisomi 18). Insiden Sindrom Patau terjadi
pada 1 : 8000-12000 kelahiran hidup. Insidensi akan meningkat dengan
mengingkatnya usia ibu.
ii. Faktor Risiko
Faktor risiko yang dapat meningkatkan terjadinya trisomi 13
adalah peningkatan usia ibu. Semakin tua usia ibu, dapat meningkatkan
kejadian trisomi 13 akibat non-disjunction. Jenis kelamin fetus dapat
mempengaruhi risiko kejadian trisomi 13. Laki-laki lebih banyak
mengalami aneuploidi daripada perempuan. Trisomi 13 juga berasosiasi
dengan berat bayi lahir rendah (BBLR), prematuritas, dan intra uterine
growth retardation (IUGR).
iii. Manifestasi Klinis
Adapun manifestasi klinis pada pasien yang mengalami
sindroma patau adalah mikrosefal, mikroftalmia/ anoftalmia, Cyclops
(mata tunggal), Sinoftalmia (2 mata bergabung menjadi 1), Absen atau
abnormal struktur nasal atau proboscis, Cleft bibir dan palatum, Low set
ears, Polidaktili (post aksial), Hernia (umbilikal, inguinal),
Undescended testis, Abnormalitas skeletal ekstremitas, Defek pada
scalp (cutis aplasia).
20

iv. Diagnosis
Trisomi 13 dapat didiagnosis sebelum kelahiran (prenatal).
Diagnosis prenatal dilakukan bila kehamilan yang terjadi memiliki
risiko mengalami kelainan kongenital pada janinnya, terutama bila
terdapat riwayat memiliki anak dengan kelainan kongenital. Untuk itu,
dilakukan skrining prenatal yang berupa Ultrasonografi (USG) yang
merupakan pemeriksaan non-invasif yang paling banyak dilakukan dan
dapat dilakukan pada setiap tahap dan usia kehamilan.
Pemeriksaan USG pada trimester (TM) I dilakukan pada usia 11-
13 minggu untuk memeriksa nuchal fold translucency (NT).
Pemeriksaan pada TM I dapat mengidentifikasikan adanya kelainan
seperti Sindrom Down, trisomi 18, dan trisomi 13 hingga 90%. Hasil
pemeriksaan USG pada trisomi 13 dapat ditemukan peningkatan
21

penebalan nuchal, polihidramnion atau oligohidramnion, bukti IUGR,


hidrops fetalis, usus echogenik, dan corda tendinea echogenik. Selain
USG, dilakukan pula pemeriksaan serum maternal.
Selain itu juga dilakukan Skrining marker serum maternal
merupakan tes darah yang dilakukan pada ibu hamil pada kehamilan TM
I dan/atau TM II untuk mengetahui adanya kelainan kromosom atau
tidak. Skrining ini terbagi menjadi 2, diantaranya :
1) TM I (11-13 minggu) Pada waktu ini marker yang diperiksa
adalah serum β-human chorionoc gonadotropin bebas (free β-
hCG) dan pregnancy associated plasma protein (PAPP-A).
Pada trisomi 13, ditemukan penurunan nilai kedua marker
tersebut.
2) TM II (15-18 minggu) Pada waktu ini marker yang diperiksa
adalah kadar protein yang dihasilkan janin selama kehamilan
dan beredar di peredaran darah ibu. Pemeriksaan ini dikenal
sebagai triple screening (αfetoprotein, unconjugated estriol,
dan human chorionoc gonadotropin ) atau quad screening
(ditambah pemeriksaan inhibin A). nilai normal pemeriksaan
marker ini bergantung pada usia kehamilan, jumlah janin,
berat badan, ras, dan riwayat diabetes pada ibunya.
Cara diagnosis pre natal dari sindrom patau diantaranya :
1) Amniosentesis
Amniosentesis merupakan prosedur diagnostik prenatal yang
paling banyak dipakai dan bertujuan untuk mendapatkan sampel
pemeriksaan kromosom Pemeriksaan ini dilakukan untuk memastikan
adanya kelainan kromosom pada janin yang ditemukan pada
pemeriksaan prenatal sebelumnya (USG dan serum marker).
Pemeriksaan ini dilakukan pada TM II, sekitar usia 15-20 minggu.
Pemeriksaan ini menggunakan jarum spinal yang dimasukkan ke dalam
22

kantong amnion dengan tuntunan USG lalu mengambil sekitar 15-30 cc


cairan amnion. Sel janin yang terdapat pada cairan tersebut lalu dikultur
dan diperiksa untuk mengetahui adakah kelainan kromosom.
2) Biopsi Vili Korialis
Biopsi vili korialis dilakukan pada akhir TM I, antara 10-13
minggu yang dilakukan dengan tuntunan USG. Jaringan yang diambil
pada pemeriksaan ini adalah jaringan korion dari plasenta yang
sedangtumbuh. Prosedur ini memiliki risiko abortus lebih tinggi
daripada amniosentesis yaitu sebesar 1-2%.
v. Komplikasi
Komplikasi hampir terjadi sesegera mungkin. Kebanyakan bayi
dengan trisomi 13 memiliki kelainan jantung kongenital. Komplikasi yang
mungkin terjadi : Sulit bernapas atau apnea, ketulian, gagal jantung, kejang
, gangguan penglihatan, masalah dalam pemberian makanan.
vi. Prognosis
Prognosis bayi dengan trisomi 13 sangat buruk dan mayoritas bayi
lahir mati (still birth). Beberapa bayi dapat berhasil lahir namun hidup tidak
lama. Rata-rata usia bayi dengan trisomi 13 adalah 2,5 hari hanya 1 dari 20
bayi yang akan bertahan lebih dari 6 bulan. Lebih dari 80% anak dengan
trisomi 13 meninggal pada tahun pertama.

2. Twin-to-twin transfusion syndrome

Sebagian besar dari kehamilan akanmenghasilkan satu bayi, hanya 1


dari 80 kehamilan akan terjadi kehamilan kembar yang dapat terjadi dalam 2
cara. Cara yang paling umum (2/3 kasus) adalah 2 sperma yang berbeda akan
membuahi 2 ovum menghasilkan kehamilan kembar dizigotik atau disebut juga
fraternal twin (Gambar 1). Pada janin kembar dizigotik akan memiliki dua
membran ketuban dan dua plasenta sehingga sering disebut kehamilan
23

diamniotic, dichorionic.
Pada 1/3 kehamilan lainnya, 1 sperma akan membuahi 1 ovum tetapi
akan membelah menjadi 2 embrio menghasilkan kembar monozigotic, sering
disebut juga kembar identik karena memiliki materi genetik yang sama.
Kurang lebih 1/3 dari kembar monozigotic tampak seperti fraternal twin karena
pada pemeriksaan ultrasound prenatal didapatkan 2 membran ketuban dan
plasenta yang terpisah. Akan tetapi pada 2/3 kasus kembar identik, setiap
janin memiliki membran ketuban sendiri namun akan berbagi plasenta yang
sama. Jenis kembar monozigotik ini sering disebut monochorionic, diamniotic
yang memiliki risiko komplikasi yang lebihtinggi untuk terjadinya TTTS oleh
karena berbagi plasenta yang sama.
Kurang dari 1% dari kembar identik (sekitar 1 dari 2400 kehamilan)
akanmenghasilkan satu membran ketuban dan satu plasenta bagi kedua janin.
Tipe ini disebut monochorionic, monoamniotic. Jenis kembar ini memiliki
risiko yang tinggi untuk terjadinya kematian janin akibat umbilical cord
accident.
Twin-to-twin transfusion syndrome merupakan suatu tantangan dalam
terapi terutama terhadap prognosis janin. Dalam kondisi tanpa penanganan
yang adekuat akan menyebabkan morbiditas dan mortalitas janin. Kondisi ini
akan mempengaruhi kedua janin dimana dengan kondisi awal yang normal,
oleh karena adanya hubungan antara keduanya yang berada pada permukaan
plasenta sehingga seharusnya dapat untuk dilakukan terapi. Kondisi ini hanya
terjadi pada monochorionic, diamniotic (1/3 dari monozygotic twin).
Pada sebagian besar kehamilan ini, plasenta tunggal akan memiliki
pembuluh darah yang akan menghubungkan kedua janin. Untuk alasan yang
belum diketahui sampai dengan saat ini, pada 15%-20% dari monochorionic
diamniotic aliran darah yang melalui pembuluh darah ini menjadi tidak
seimbang menghasilkan kondisi yangdisebut twin-twin transfusion syndrome
(TTTS) yang bukan merupakan faktor yang diturunkan/genetik atau
24

disebabkan oleh sesuatu yang dilakukan oleh ibu atau ayah.


Pada TTTS, janin yang lebih kecil (disebut janin donor) tidak
mendapatkan alirandarah yang mencukupi sedangkan janin yang lebih besar
(disebut janin resipien) menjadi overloaded karena terlalu banyak aliran darah.
Sehingga menghasilkan gangguan pada trimester kedua ditandai dengan
perbedaan jumlah air ketuban dan gangguan pertumbuhan yang mencolok
diantara keduanya, terjadi hipovolemik dan insufiensi plasenta pada janin
donor, dan hipervolemik dan disfungsi jantung padaresipien. Adanya transfusi
yang tidak seimbang diantara keduanya oleh karena anastomosis arteri-vena
yang berjalan satu arah, dengan ketidakmampuan atau tanpa adanya
kompensasi pada sepanjang anastomosis dua arah, sehingga menghasilkan up-
regulation dari sistem renin-angiotensin pada donor dan down-regulation pada
resipien.
Dalam usaha untuk mengurangi volume darahnya, janin resipien akan
meningkatkan produksi urin sehingga pada pemeriksaan ultrasound didapatkan
vesica urinaria yang besar dan jumlah air ketuban yang banyak
(polihidramnion). Pada saat yang sama janin donor akan menghasilkan air
ketuban yang sedikit, air ketuban disekitarnya akan menjadi sedikit atautidak
ada (oligohidramnion). Dalam perjalanan kondisi ini, janin donor akan
memproduksi sangat sedikit urin sehingga vesica urinaria tidak dapat terlihat
pada pemeriksaan ultrasonografi, jumlah air ketuban yang sedikit akan
menghasilkan gambaran janin donor terbungkus oleh membran ketubannya
(stuck twin). Machin et al melakukan pemeriksaan anatomi vaskular plasenta
pada 69 kehamilan kembar monochorioc, ditemukan bahwa prognosis klinis
terburuk didapatkan pada tipe anastomosis arteri-vena yang berasal dari donor
ke resipien yang tidak diimbangi dengan aliran yang sebaliknya.
25

a. Diagnosis
TTTS merupakan kondisi dengan perjalanan yang lambat, dengan dimulai
(dilaporkan) pada umur kehamilan 13 minggu atau trimester kedua. Diagnosis
TTTS ditegakkan dengan evaluasi ultrosonografi yang menunjukkan adanya
kehamilan kembar dengan satu plasenta (monochorionic), jenis kelamin sama
dengan dipisahkan oleh membran ketuban, pengukuran nuchal translucency >3mm
pada umur kehamilan 10-14 minggu, hasil crown-rump length (CRL) yang buruk
pada salah satu janin, polihidramnion pada janin resipien dan oligohidramnion
pada janin donor. Jumlah air ketuban diukur dengan maximum vertical pocket
(MVP). Berdasarkan ultrasonografi, Quintero at al membagi TTTS menjadi 5
klasifikasi:
1) Stage I : Awal dari TTTS akan tampak pada pemeriksaan ultrasonografi
terdapat oligohidramnion pada janin donor dengan MVP 2cm atau kurang,
vesika urinaria masih tampak dan polihidramnion pada janin resipien MVP 8
cm atau lebih.
2) Stage II : Stage I dengan vesika urinaria janin donor yang tidak tampak.
3) Stage III : Pemeriksaan aliran darah (Doppler velocimetry) pada tali pusat dan
ductus venosus janin akan tampak gambaran abnormal (pada salah satu atau
kedua janin). Pada arteri umbilikalis akan didapatkan tidak adanya gambaran
aliran diastolik atau terbalik, gambaran ini biasa didapatkan pada janin donor.
Pada ductus venosus, didapatkan diastolik yang hilang atau terbalik. Gambaran
ini biasa didapatkan pada janin resipien dengan awal kegagalan fungsi jantung.
Janin resipen juga menunjukkan gambaran kebocoran katup jantung sebelah
kanan (regurgitasi trikuspid).
4) Stage IV : Satu atau kedua janin menunjukkan gejala hidrops, yang berarti
telah terjadi kelebihan/penumpukan cairan pada beberapa bagian tubuh janin
seperti pembengkakan pada kulit kepala (scalp edema), abdomen (ascites),
sekitar paru-paru (pleural effusion) atau sekitar jantung (pericardial effusion).
26

Hasil ini sebagai bukti adanya kegagalan fungsi jantung dan biasanya
didapatkan pada janin resipien.
5) Stage V : kedua janin meninggal. Angka survival rate dari janin menjadi
semakin buruk dengan progresivitas penyakit, dengan perkiraan separuh dari
pasien akan berlanjut ke tingkat lebih lanjut, 30% menetap dan 20% akan
mengalami perbaikan.
Salah satu variasi dari dari TTTS, dimana salah satu janin tumbuh dengan
normal sedangkan janin yang lain mengalami kegagalan dalam pembentukan
organ jantung dan organ tubuh lainnya. Pada kehamilan ini, tali pusat janin
acardiac merupakan percabangan langsung dari tali pusat dengan aliran darah dari
janin normal yang disebut juga dengan “pump twin”, dengan aliran darah yang
terbalik (reversed) sehingga kondisi ini disebut twin reversed arterial perfusion
(TRAP). Pada beberapa kasus aliran darah dari pump twin berhenti dan
pertumbuhan janin acardiac akan berhenti. Sedangkan pada kasus lainnya aliran
darah akan terus berlanjut dengan pertumbuhan dari janin acardiac, yang
mengakibatkan kegagalan fungsi jantung dan polihidramnion pada pump
twin/janin donor.
b. Hasil luaran dari TTTS
Tanpa manajemen yang adekuat, TTTS dengan umur kehamilan kurang
dari 24 minggu sejumlah 80%-90% kasus akan dihubungkan dengan kematian
salah satu atau kedua janin. Jika salah satu janin meninggal, maka pembuluh darah
yang menghubungkan kedua janin akan menempatkan janin hidup dengan risiko
jangka panjang terjadi kerusakan otak pada 1/3 kasus. Pada umumnya, semakin
lanjut progresivitas semakin buruk prognosis janin. Jika TTTS timbul pada umur
kehamilan awal (sebelum umur kehamilan 16 minggu), terminasi kehamilan
merupakan suatu pilihan dengan pertimbangan prognosis yang buruk. Variasi dari
manajemen TTTS dengan tujuan utama mempengaruhi ketidakseimbangan
cairan antara kedua janin atau memutuskan anastomosis pembuluh darah yang
27

menghubungkan kedua janin.


Keberhasilan manajemen ini diukur berdasarkan jumlah bayi yang
hidup dan juga jumlah bayi yang tidak mengalami gangguan fungsi otak. Terdapat
beberapa teori yang mencoba menjelaskan adanya defisit neurologis pada kembar
monochorionic yang hidup, terutama dengan TTTS.
Yang pertama, ketika salah satu janin meninggal in utero maka aliran darah
yang berasal janin hidup ke sistem vaskular janin meninggal (dalam kondisi dilatasi)
dapat menyebabkan hipotensi dan iskemik serebral pada janin yang masih hidup.
Teori kedua menyatakan bahwa adanya aliran gumpalan darah dengan
konsentrasi hemoglobin (Hb) yang tinggi (ke janin hidup) akan menyebabkan resipien
mengalami trauma neurologik.Yang ketiga yaitu adanya anemia dan hipoksia pada
donor menjadi penyebabnya.
c. Manajemen
Ada beberapa pilihan manajemen, amnioreduksi dan microseptostomy
(penusukan membran intertwin) dengan tujuan untuk menormalkan volume air
ketuban sehingga dapat mencegah partus preterm oleh karena polihidramnion.
Manajemen ini, utamanya tidak ditujukan untuk dekompensasi terhadap sirkulasi
seperti yang terjadi pada kondisi berat, dan janin yang hidup berisiko untuk terjadinya
komplikasi neurologi terutama jika salah satu janin meninggal in utero, dan juga akan
mempercepat terjadinya hipotensi pada janin lainnya oleh karena agonal transfusi
antara janin. Pada kasus dimana terjadi kematian salah satu janin, dilakukan oklusi tali
pusat dengan bipolar diatermi untuk memberikan kesempatan bagi janin yang hidup
untuk menurunkan risiko komplikasi neurogenik. Tujuan utama ablasi dengan laser
endoskopik adalah menghentikan sindroma dengan cara memutuskan transfusi
intertwin, tetapi dengan risiko kematian janin oleh karena kerusakan non selektif
pembuluh darah pada kotiledon plasenta. Dari semua penelitian sampai saat ini,
menajemen yang paling tepat belum didapatkan walaupun manajemen amnioreduksi
dan laser endoskopik menghasilkan survival rates 60% sampai dengan 65% (pada
28

suatu studi cohort skala besar).


1) Reduction amniocentesis
Amniocentesis secara serial untuk mengurangi jumlah air ketuban yang
berlebihan dari kantung amnion janin resipien dengan menggunakan jarum
melewati dinding perut ibu. Jumlah air ketuban yang dikeluarkan
bervariasi berdasarkan volume awal air ketuban pada janin resipien, umur
kehamilan dan adanya kontraksi uterus selama prosedur tindakan. Pada
umumnya tidak lebih dari 3 liter pada setiap kali prosedur dan diselesaikan
dalam waktu kurang dari 30 menit. Tindakan ini sementara waktu dapat
mengembalikan keseimbangan dalam jumlah air ketuban pada kedua kantung
amnion janin dan dilakukan pada TTTS stadium I-II yang timbul pada akhir
kehamilan. Akan tetapi tindakan ini memerlukan pengulangan yang dilakukan
setiap beberapa hari sampai dengan minggu dimana jumlah air ketuban
kembali mencapai berlebihan. Prosedur ini dirasakan tidak efektif pada TTTS
stadium III dan IV. Komplikasi dari prosedur berulang ini yaitu termasuk
persalinan prematur 3%, ketuban pecah dini 6%, infeksi sejumlah 1% dan
pelepasan dini plasenta (abruptio plasenta) pada 1% kasus. Kehamilan TTTS
dengan manajemen amniosentesis berulang dengan angka rata-rata persalinan
pada umur kehamilan 29-30 minggu dengan survival rate dilaporkan sejumlah
18%- 83%, dimana 56% nya dengan TTTS lanjut dengan luaran satu janin
hidup tanpa kerusakan otak. Mendekati 20%- 25% dari janin TTTS yang hidup
didapatkan memiliki gangguan pertumbuhan jangka panjang.
2) Septostomy atau microseptostomy Septostomy
Tindakan untuk membuat lubang pada membran diantara
membran ketuban kedua janin dengan menggunakan jarum. Lubang ini akan
menyebabkan perpindahan cairan dari kantung ketuban dengan jumlah air
ketuban yang berlebihan (resipien) ke kantung ketuban dengan jumlah sedikit
(donor). Dikarenakan tindakan septostomy menggunakan dengan jarum yang
29

sama denganctindakan amniocentesis, komplikasi dariinfeksi, persalinan


prematur dan ketuban pecah dini sangat jarang. Septostomy memiliki risiko
dimana lubang yang menghubungkan kedua kantung amnion menjadi lebih
besar oleh karena sobeknya membran ketuban sehingga memungkinkan
kedua janin untuk berbagi ruang kantung ketuban yang sama (dilaporkan
sejumlah 3%). Dalam kondisi terburuk, tali pusat kedua janin dapat terlilit
satu sama lain yang mengakibatkan kematian salah satu atau kedua janin.
Pada penelitian dengan skala besar didapatkan survival rate sejumlah 80%
untuk salah satu janin dan 60% untuk kedua janin.
3) Selective laser ablation of the placenta anastomosis vessels
Pada TTTS stadium II atau lebih, tindakan ablasi laser pada pembuluh
darah pada plasenta yang menghubungkan kedua janin dapat merupakan
tindakan kuratif.
4) Selective cord coagulation
Pada beberapa kasus didapatkan kondisi dimana pasien sulit untuk
mengambil keputusan terhadap manajemen yang akan dilakukan oleh karena
kemungkinan kematian salah satu janin untuk menyelamatkan yang lainnya.
Prosedur selective cordcoagulation ini dilakukan jika ablasi dengan laser tidak
dimungkinkan atau jika salah satu dari janin dalam kondisi mendekati
kematian. Dengan menghentikan aliran darah pada tali pusat janin yang
sekarat, janin lainnya dapat terlindungi dari konsekuensi kematian saudaranya.
Prosedur ini dilakukan dengan menggunakan forcep khusus yang dimasukkan
kedalam kantung ketuban janin resipien dengan panduan ultrasonografi.
5) Radio frequency ablation
Prosedur ini dilakukan untuk kondisisindroma TRAP. Tali pusat dari
janin dengan acardiac biasanya sangat pendek dan sulit ditemukan dengan
ultrasonografi sehingga sulit untuk menghentikan aliran darah ke jantung janin
dengan cara koagulasi tali pusat
30

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Pada trimester pertama atau tiga bulan pertama masa kehamilan
merupakan masa dimana system organ prenatal dibentuk dan mulai berfungsi.
Pertumbuhan janin masa prenatal dibagi dalam beberapa fase, yaitu fase
germinal, fase embrional, dan fase fetus (janin). Pertumbuhan dan
perkembangan janin minggu ke-1 sampai minggu ke-12 dimulai dari nidasi,
pembelahan sel, tahap gastrula, tahap embrio, pembenrukan sistem organ dasar
bayi, pembentukan organ-organ tubuh dengan urutan perkembangan: kepala,
mata, tubuh, tangan, kaki, alat kelamin (cephalocaudal dan proximodistal).
Pertumbuhan dan perkembangan patologis pada janin trimester I
diantaranya adalah Sindrom Down suatu kelainan genetik di mana terdapat
tambahan kromosom pada kromosom 21. Selain itu terdapat Trisomy 18 atau
Sindrom Edward dimana pada kromosom ke 18 dimana terdapat material
kromosom sehingga berjumlah 47 kromosom. Selanjutnya terdapat Sindrom
Patau (trisomi 13) yang merupakan kelainan genetic yang memiliki 3 buah
kromosom 13. Selain itu terdapat juga kelainan twin-twin transfusion syndrome
(TTTS).
3.2 Saran
Diharapkan kepada ibu hamil untuk selalu melakukan kunjungan
antenatal rutin sebagai bagian dari deteksi dini dalam gangguan pertumbuhan
dan perkembangan janin. Sehingga
31

DAFTAR PUSTAKA

Dicky_2011_Trisomi_13_dan_18_SV.pdf?sequence=1&isAllowed=y
H. P. W. Yuni Kusmiyati, “Asuhan Ibu Hamil,” Yogyakarta: Fitramaya, 2013. 107
Irwanto, dkk. 2019. A-Z Sindrom Down. Surabaya : Airlangga University Press.

Neil A. Campbell & Jane B. Reece. 2012. Biologi Edisi Kedelapan Jilid 3. Jakarta:
Erlangga

Prawirohardjo, Sarwono. 2014. Ilmu kebidanan Sarwono Prawirohardjo. Jakarta:PT.


Bina pustaka Sarwono Prawiroharjo

Rahmatia, Diah. 2011. Bagaimana Pertumbuhan dan Perkembangan Manusia. Jakarta:


Shakti Adiluhung

Santosa, Dicky. 2011. Trisomi 13 dan 18. Bandung : Universitas Islam Bandung.
Diakses melalui http://repository.unisba.ac.id/bitstream/handle/123456789/110/

Susmitha, Okta Della, dkk. 2018. Sindrom Patau (Trisomi Kromosom 13). Jurnal
Kesehatan Universitas Lampung Vol 7 No 2. Diakses melalui
http://juke.kedokteran.unila.ac.id/index.php/majority/article/view/1892/1860

Wantini Ayu Nonik. Maydianasari Lenna. Febriati Dwi Listia. DKK. 2020. Modul
Imunologi dan Biologi Reproduksi. Yogyakarta : Respati Press

Nora, Hilwah. twin twin transfusion syndrom. Jurnal Kedokteran syiah kuala:volume
13 nomor 2 agustus 2013

Anda mungkin juga menyukai