Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH BERBICARA RETORIKA

( Ruang Lingkup Retorika)

Dosen Pengampuh : Dwi Syukriady, S. Pd., M. Pd

Disusun oleh : Kelompok I


Isna Nur Khairiyah (19083014001)
Asri Aulia Ainun (20083014011)
Nurfadillah Rahman (19083014011)
Muhammad Ilham (19083014003)
Tasya(19083014008)
Musfirah almadhani(19083014010)

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS ISLAM MAKASSAR
TAHUN AKADEMIK 2020/2021
KATA PENGANTAR

Segala Puji bagi Allah yang telah memberikan Kami kemudahan sehingga Kami dapat
menyelesaikan Makalah ini tepat pada waktu yang ditentukan. Tanpa pertolongan- Nya mungkin
Penyusun tidak akan sanggup menyelesaikannya dengan baik. Tidak lupa Sholawat serta Salam
Senantiasa Tercurahkan Kepada Junjungan Kita Nabi Agung, Nabi Muhammad SAW, yang
telah membawa kita dari Zaman Jahiliah ke Zaman yang terang benderang ini.

Makalah ini memuat materi tentang “Ruang Lingkup Retorika”. Tidak lupa Kami mengucapkan
Terimakasih Kepada Dosen Pengampu yang telah membantu Kami dalam mengerjakan
Makalah ini. Kami juga mengucapkan Terimakasih Kepada Teman-teman Mahasiswa yang juga
sudah memberi Konstribusi baik langsung maupun tidak langsung dalam pembuatan makalah ini.

Semoga Makalah ini dapat memberikan Pengetahuan yang lebih luas kepada Pembaca. Penyusun
membutuhkan Kritik dan saran dari Pembaca yang bersifat membangun, guna Terciptanya
Makalah yang lebih baik di masa yang akan datang. Terimakasih.

Manokwari, 03 April 2021

Kelompok 1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR……………………………………………………………………

DAFTAR ISI……………………………………………………………………………..

BAB I

A. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang………………………………………………………………..


1.2 Rumusan Masalah……………………………………………………………..
1.3 Tujuan…………………………………………………………………………

BAB II

B. PEMBAHASAN

2.1 Pengertian dan Kegunaan Retorika………………………………………….

2.1.1 Fungsi Retorika……………………………………………….

2.1.2 Manfaat Retorika………………………………………………..

2.1.3 Kegunaan Retorika…………………………………………..

2.2 Sejarah Retorika……………………………………………………………..

BAB III

C. PENUTUP

3.1 Simpulan…………………………………………………………………………..

3.2 Saran……………………………………………………………………………….

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dalam kehidupan sehari-hari kita selalu menggunakan bahasa sebagai alat berkomunikasi
dengan sesama kita baik melalui bahasa langsung (berbicara) maupun tidak langsung (bahas
tulis). Ada berbagai macam maksud yang hendak kita sampaikan seperti meyakinkan,
mempengaruhi, mengajak, memerintah dan lain-lain. Keberhasilan kita dalam berkomunikasi
sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah logos (meyakinkan dengan logika-
logika), patos (kejiwaan atau aspek pisikologi), etos (kepercayaan atau kredibilitas).

Dalam kajian ilmu pengetahuan seni berbicara atau komunikasi ini sering disebut dengan
retorika. Orang yang menguasai ilmu retorika atau memiliki retorika yang bagus dalam
berkomunikasi maka akan lebih mudah menyampaikan maksud dan tujuan dari apa yang
dibicarakannya serta terasa enak didengarkannya dan tidak membuat bosan pendengarnya.
Retorika, bukan hanya ilmu pidato, tetapi meliputi pengetahuan sastra, gramatika, dan
logika.Karena dengan rasio tidak cukup untuk meyakinkan orang, untuk meyakinkan orang lain
memerlukan teknik-teknik memanipulasi emosi dan menggunakan prasangka untuk menyentuh
hati pendengar.

Berbicara telah membedakan manusia dari makhluk lain. Dengan berbicara, manusia
mengungkapkan dirinya, mengatur lingkungannya, dan pada akhirnya menciptakan bangunan
budya insane. Lama sebelum lambang-lambang tulisan digunakan, orang sudah menggunakan
bicara sebagai alat komunikasi. Bahkan setelah tulisan ditemukan sekalipun, bicara tetap lebih
banyak digunakan. Ada beberapa kelebihan bicara yang tidak dapat digantikan dengan tulisan.
Bicara lebih akrab, lebih pribadi(personal), lebih manusiawi. Tidak menghenrankan, bila ilmu
bicara telah dan sedang menjadi perhatian manusia. Kemampuan bicara bukan saja diperlukan di
depan sidang parlemen, dimuka hakim atau dihadapan massa. Kemampuan ini dihajatkan dalam
hamper seluruh kegiatan manusia sehari-hari. Penelitian membuktikan bahwa 75% waktu
bangun kita berada dalam kegiatan komunikasi. Kemampuan bicara bisa merupakat bakat. Tetapi
kepandaian bicara yangbaik memerlukan bicara dan latihan. Retorika sebagai ilmu bicara
sebenarnya diperlukan setiap orang. Dalam makalah ini akan dijelaskan beberapa hal tentang
retorika beserta ruang lingkup retorika. Dengan uraian historis ini kita ingin mengingatkan
bahwa retorika adalah bidang studi komunikasi yang telah berumur tua, disamping menujukkan
tempatnya yang layak dalam perkembangan ilmu komunikasi.

1.2 Rumusan Masalah


a) Apa pengertian dari retorika ?
b) Apa fungsi dan manfaat dari retorika ?
c) Bagaimana kegunaan dari retorika ?
d) Bagaimana sejarah dari retorika ?

1.3 Tujuan

a) Untuk memenuhi pengertian dari retorika.


b) Untuk mengetahui kegunaan dari retorika.
c) Untuk mengetahui sejarah dari retorika.
d) Untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Berbicara Retorika.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Retorika

Kata retorika merupakan konsep untuk menerangkan tiga seni penggunaan bahasa persuasi
yaitu :etos,patos, dan logos.Dalam artian sempit, retorika dipahami sebgai konsep yang berkaitan
dan seni berkomunikasi lisan berdasarkan tata bahasa, logika, dan dialektika yang baik dan benar
untuk mempersuasi public dengan opini.Dalam artian luas, retorika berhubungan dengan
diskursus komunikasi manusia.

Para pakar retorika lainnya adalah Isocrates dan Plato yang kedua-duanya dipengaruhi
Georgias dan Socrates.Mereka ini berpendapat bahwa retorika berperan penting bagi persiapan
seseorang untuk menjadi pemimpin.Plato yang merupakan murid utama dari Socrates
menyatakan bahwa pentingnya retorika adalah sebagai metode pendidikan dalam rangka
mencapai kedudukan dalam pemerintahan dan dalam rangka upaya mempengaruhi rakyat.

Puncak peranan retorika sebagai ilmu pernyataan antar manusia ditandai oleh
munculnya Demosthenes dan Aristoteles dua orang pakar yang teorinya hingga kini masih
dijadikan bahan kuliah di berbagai perguruan tinggi. Menurut Plato, retorika adalah seni para
retorikan untuk menenangkan jiwa pendengar. Menurut Aristoteles, retorika adalah kemampuan
retorikan untuk mengemukakan suatu kasus tertentu secara menyeluruh melalui persuasi.

Dari simpulan diatas, retorika didefinisikan s ebagai seni membangun argumentasi dan seni
berbicara (the art of constructing arguments and speechmaking). Dalam perkembangannya
retorika juga mencakup proses untuk “menyesuaikan ide dengan orang dan menyesuaikan orang
dengan ide melalui berbagai macam pesan”.

2.1.1 Fungsi Retorika

Fungsi retorika pada dasarnya adalah mempersiapkan sarana yang baik, yakni menyediakan
pengetahuan dan bimbingan bagi penutur, sehingga mereka lebih mudah dapat mencapai tujuan
yang diinginkan. Penyediaan retorika akan pengetahuan manusia sebagai persona tutur, kegiatan
bertutur, bahasa, topik tutur, dan tutur akan membantu para penutur dalam meneruskan
gagasannya kepada orang lain. Selain penyediaan pengetahuan seperti di atas, retorika juga
mempersiapkan sarana pembimbingan yang efektif bagi penutur, seperti:

• cara-cara memilih tutur,


• cara-cara memandang dan menganalisis topik tutur untuk menemukan sarana ulasan yang
persuasif-objektif,

• cara-cara menemukan ulasan artistik dan nonartistik,

• memilih jenis tutur yang sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai,

• menata bagian-bagian tutur serta menempatkan ulasan-ulasan yang sesuai,

• memilih materi bahasa serta menyusunnya menjadi kalimat yang padu, utuh, mantap, dan
bervariasi. Sedang khusus untuk

• retorika tulis, disediakan bimbingan penataan paragraf.

• memilih gaya bahasa dan gaya bertutur. Dengan gambaran dan perangkat bimbingan seperti
diuraikan di atas, sesungguhnya retorika telah memainkan keempat fungsi dasarnya seperti yang
dimaksudkan oleh Aristoteles, yakni: 1) membimbing penutur dalam mengambil keputusan yang
benar, 2) membimbing penutur untuk secara lebih baik memahami masalah kejiwaan manusia
pada umumnya dan kejiwaan pada diri pendengar khususnya, c) membimbing penutur dalam
menemukan ulasan, baik yang artistik maupun yang nonartistik, dan d) membimbing penutur
dalam mempertahankan kebenaran dengan alasan-alasan yang masuk akal. Jadi tujuan dan fungsi
retorika telah menopang kehadiran retorika sebagai ilmu tersendiri sehingga retorika dapat
dipisahkan dari ilmu lain.

2.1.2 Manfaat Retorika

Sejak awal kemunculannya, retorika dianggap sebagai ilmu yang amat bermanfaat untuk
mempengaruhi pendapat umum. Aristoteles saat itu malah sudah merumuskan empat manfaat
atau kegunaan dari retorika, yakni:

• Retorika menuntun penutur dalam mengambil keputusan. Apa yang terjadi dalam
kehidupan ini, menurut Aristoteles ada hal-hal yang memang benar dan ada hal-hal yang
memang tidak benar tetapi cenderung mengalahkan lawannya tanpa mempertimbangkan
kebenaran. Yang pertama tampak misalnya pada fakta-fakta kehidupan, sedang yang kedua
terlihat dari perwujudan perasaan atau appeal negatif terhadap fakta-fakta tersebut. Misalnya:
ketidaksukaan, kemarahan, pras angka, dan sebagainya. Hal-hal yang benar pasti akan muncul
karena bagaimanapun kebenaran akan mengalahkan ketidakbenaran. Di samping itu, semua
manusia mempunyai instink alamiah tentang kebenaran yang dapat menunjukkan mana yang
benar dan mana yang tidak benar. Karena itu, jika dalam kegiatan bertutur, penutur salah dalam
mengambil keputusan karena didorong oleh appeal negatif atau cenderung ingin menang saja,
maka dia akan digilas oleh pilihannya itu. Untuk menyelamatkan penutur dari kemungkinan itu,
Aristoteles menegaskan kembali bahwa retorika adalah sarana yang dapat menuntun penutur
dalam mengambil keputusan yang benar.

• Retorika mengajar penutur dalam memilih argumen. Menurut Aristoteles, argumen


dibedakan menjadi dua jenis, yakni argumen artistik dan argumen nonartistik. Argumen artistik
diperoleh dari pokok persoalan atau topik yang ditampilkan, sedang argumen nonartistik
diperoleh dengan melihat fakta-fakta yang ada di sekitar topik, baik yang terkait langsung
maupun yang tidak terkait langsung dengannya. Misalnya, untuk topik dengan tujuan
pengarahan, maka argumen nonartistiknya antara lain: kondisi ekonomi, politik, keamanan,
perundang-undangan, dan lain-lain.

• Retorika mengajar penutur dalam mempersuasi. Dalam hubungan ini, tampak sekali
misalnya ketika retorika mengajarkan bagaimana menata tuturan secara sistematis, memilih
materi bahasa yang tepat untuk mewadahi unit-unit topik, dan menampilkannya menurut cara-
cara yang efektif.

• Retorika membimbing bertutur secara rasional. Seperti telah disebut di atas, bahwa dalam
realitas kehidupan ada sesuatu yang benar, dan ada sesuatu yang salah tetapi diperjuangkan.
Karena itu, untuk memperjuangkan kebenaran yang pertama demi mengimbangi kesesatan yang
dibenarbenarkan, seorang penutur perlu memanfaatkan retorika. Dengan bertutur secara rasional
inilah, penutur akan sangat dibantu menghidari kekonyolan-kekonyolan yang mungkin ia buat,
sebagai akibat ketidakmampuannya menuturkan topik itu. Keuntungan lain, bahwa tuntunan
rasional akan mempercepat tersingkapnya ketidakbenaran. Apakah retorika mampu
melaksanakan fungsinya seperti tersebut di depan? Itu tergantung banyak banyak faktor,
misalnya: watak penutur, kemampuannya mengimajinasi jiwa pendengar atau penanggap tutur,
dan gaya bertutur yang digunakannya. Peranan faktor watak memang sangat penting dalam
setiap peristiwa tutur. Karena dengan sekali saja penutur membohongi pendengarnya, maka etika
dan kejujurannya akan terbongkar.

Imajinasi terhadap jiwa pendengar juga tidak bisa diabaikan, sebab hal ini akan dapat
merebut simpati pendengarnya. Peranan gaya penampilan juga tidak bisa dikesampingkan,
karena hal itu akan sangat membantu pendengar untuk memahami suatu topik. Sedangkan
kekuatan bukti-bukti dan argumen berfungsi untuk meningkatkan daya persuasi. Dengan dasar
seperti itu, dapat dipahami jika Aristoteles selalu menyarankan agar setiap penutur menampilkan
alasan-alasan yang logis, memahami kejiwaan manusia pada umumnya, dan memiliki rasa
tentang apa yang baik dan sebaiknya, serta dapat memahami emosi pendengar. Aristoteles
menawarkan tiga jenis retorika yang dapat dipilih untuk menampilkan suatu tuturan, yakni:

• Retorika Pengarahan (deliberative rhetoric) Retotika ini biasanya dipakai untuk


menggambarkan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi di masa mendatang dari topik
yang dituturkan.
• Retorika Penghakiman (forensic of yudicial rhetoric) Retorika ini biasanya dipakai untuk
menghakimi hal-hal yang sudah terjadi. Wujud tuturnya sendiri terkadang bisa berupa
pembelaan, tetapi tidak jarang retorika ini dipakai untuk menghakimi hal-hal yang sudah terjadi.

• Retorika Pengobatan (epideactic or declama tory rhetoric) Retorika ini biasanya dipakai
untuk membakar semangat pendengar, berhubungan dengan suatu peristiwa yang sedang
berlangsung.

Pemilihan ketiga jenis retorika tersebut sangat ditentukan oleh tujuan yang hendak dicapai
oleh seorang penutur. Ia berdialog dengan dirinya sendiri untuk mempertimbangkan pantas
tidaknya topik yang dipilih untuk ditampilkan; ada tidaknya hubungan sebab akibat topik dengan
keadaan masa lampau, masa sekarang dan masa yang akan datang; imaji yang mengarah ke
penjajagan suka atau tidaknya penutur dengan topik yang disampaikan; dan mempertimbangkan
besar kecilnya manfaat topik yang dituturkannya. Itulah sebabnya menurut Aristoteles, seorang
penutur terlibat dengan prinsip-prinsip yang diajarkan oleh dialektika. Hingga kini retorika
digunakan dalam bidang atau lingkungan yang amat luas, seperti bidang: politik, perdagangan,
seni, pendidikan, dan lainlain. Berikut ini akan dipaparkan penggunaan retorika dalam berbagai
bidang atau lingkungan tersebut.

2.1.3 Kegunaan Retorika

• Penggunaan retorika dalam bidang politik

Bidang politik adalah bidang kegiatan yang pertama-tama memanfaatkan retorika secara
teren cana. Bahkan kehadiran retorika itu sendiri justru didorong oleh kebutuhan politik.
Sebab, sebagaimana kita ketahui bahwa retorika lahir di tengah-tengah rakyat Sisilia,
yakni di kota Sirakusa yang sedang bergolak menentang pemerintah yang sedang
berkuasa, yang dianggap oleh rakyatnya sebagai pemerintahan tiranis. Rakyat Sisilia
menginginkan pemerintahan yang demokratis. Untuk mencapai tujuan itu, rakyat dan
para tokoh yang berpihak kepada rakyat sadar bahwa jika dilakukan perlawanan dengan
kekerasan, belum tentu akan berhasil. Apalagi pemerintahan militer yang berkuasa saat
itu amat tangguh. Untuk menghindari kegagalan, maka ditempuhlah jalan berunding.
Melalui perundingan rakyat mencoba meyakinkan penguasa bahwa, pemerintahan yang
demokratis yang diinginkan oleh seluruh rakyat adalah sistem pemerintahan yang lebih
baik daripada pemerintahan yang sedang berlaku saat itu. Untuk itu, maka
dipersiapkanlah wakil-wakil rakyat yang memiliki kecakapan retorik, yakni kecakapan
berpidato untuk meyakinkan pemerintah. Inti tuntutan rakyat adalah terjadinya perubahan
sistem pemerintahan tanpa pertumpahan darah.

Tokoh retorika yang terkenal pada saat itu adalah Corax. Ia bersama muridnya yang
bernama Tissias membangun sekolah retorika untuk mereka yang ditunjuk sebagai wakil
rakyat. Di sekolah ini yang terutama diajarkan adalah retorika dalam pengertian
kecakapan berpidato untuk meyakinkan pihak lain. Hasil pendidikan Corax dan Tissias
menunjukkan hasil yang menggembirakan. Wakil-wakil rakyat yang benar-benar ahli
dalam berpidato berhasil meyakinkan penguasa akan pemerintahan demokratis yang
dituntutnya. Dengan demikian, tanpa terjadi pertumpahan darah, maka beralihlah
pemerintahan tirani ke pemerintahan demokrasi seperti yang menjadi tuntutan rakyat
Sisilia.. Dengan keberhasilan itu, maka istilah retorika menjadi populer di seluruh
Yunani, terutama di kota Athena. Sementara itu, ajaran-ajaran Corax dan Tissias
dibukukan dengan judul Techne. Inilah buku retorika pertama yang berisi tentang
kecakapan berpidato untuk tujuan polotik.

• Penggunaan retorika dalam bidang ekonomi

Bidang ekonomi juga menggunakan retorika. Para usahawan terlibat dalam penggunaan
retorika dalam rangka mempromosikan barangbarang produksinya. Oleh karena itu,
retorika digunakan secara luas untuk iklan, advertensi, dan reklame. Terlibatnya retorika
dalam iklan, advertensi, dan reklame tampak mencolok di negara-negara yang persaingan
barang produksinya sudah tinggi. Bahkan di negara-negara seperti itu, ada rumah
produksi periklanan di mana usahawan dapat memesan iklan atau advertensi sesuai
kebutuhannya. Penyusun advertensi dalam menampilkan tuturnya memanfaatkan hal-hal
yang menjadi idam-idaman orang, khayalan, atau harapan-harapan orang. Penyusunan
advertensi dengan bahasa yang retoris berusaha mengeksploitasi kebutuhan manusia,
khayalnya, harapan-harapan, idealnya, dan ketidaksadarannya. Betapa besar pengaruh
bahasa advertensi itu, sampai-sampai kemudian terasa bahwa barangbarang produksi
yang dibuat manusia berbalik membentuk “jiwa” manusia itu sendiri. Berkaitan dengan
ini muncul sinyalemen bahwa, usahawan dengan advertensinya sebenarnya tidak menjual
barang-barang yang diproduksinya, melainkan mereka menjual harapan dan janjijanji.
Perhatikanlah bahasa advertensi berikut.

“Apalah artinya air minum sehat, bila menggunakan Water Dispenser yang tidak sehat.
SANKEN Water Dispenser benar-benar dirancang dengan berbagai kelebihan untuk
menjaga air minum Anda agar tetap segar, aman dan higienis bahkan untuk bayi Anda”
Advertensi di atas dibuat untuk menggoda jiwa manusia dengan menonjolkan kelebihan-
kelebihan suatu produksi, dalam hal ini Water Dispenser. Dengan retorika itu, konsumen
dipengaruhi untuk menggunakannya. Pemilihan ungkapan “Apalah artinya air minum
sehat, bila menggunakan Water Dispenser yang tidak sehat” mengandung pelecehan
terselubung terhadap Dispenser-Dispenser lain yang bukan SANKEN. Sugesti ini
memang sengaja dibangun untuk mempengaruhi pendengar atau pembaca.

Jika pada media cetak, sugesti konsumen hanya dibangkitkan dengan menggunakan kata-
kata saja (retoris), tetapi melalui media TV, sugesti konsumen itu bahkan dibangkitkan
dengan menggunakan kata-kata, tayangan gambar, dan suara (multimedia), sehingga
retorika dalam dunia dagang atau ekonomi benar-benar dapat “mendesak” konsumennya
untuk mencobanya. Penggunaan sarana multimedia ini juga menjadi bagian keseluruhan
retorika, sebab setiap upaya yang dilakukan secara sadar atau tidak sadar yang bermaksud
mempengaruhi orang lain termasuk fenomena retoris.

• Penggunaan retorika dalam seni

Dunia seni juga merupakan bidang kehidupan yang tidak lepas dari retorika. Apalagi seni
itu dimaksudkan untuk “mendidik” penontonnya. Banyak hasil karya seni mengandung
pendidikan, misalnya wayang kulit, wayang orang, wayang golek, wayang beber, ludruk,
arja, tari topeng pajegan (Bali), ludruk, ketrung, dan lain-lain. Pada kesenian tersebut
terdapat tokoh-tokoh punakawan yang pintar bertutur (memberi nasihat), seperti tokoh
Cepot dan Udel (Sunda), Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong (Jawa), Sangut, Delem,
Merdah Tualen, Kartala, Punte (Bali). Tokoh-tokoh ini sering bertutur dengan
menggunakan bahasa yang terpilih, ulasan yang mampu mempengaruhi penonton dengan
menampilkan gagasan-gagasan yang mengandung nilai kehidupan. Dalam hubungan
inilah sesungguhnya mereka telah menggunakan retorika dengan baik. Dalam
pewayangan ada dalang yang menggunakan retorika untuk mempengaruhi penontonnya.
Dalam pewayangan terdapat tokoh-tokoh yang baik dan tokoh-tokoh yang buruk sebagai
persona yang dipakai oleh dalang untuk menampilkan tutur-tutur bijak yang memukau.
Keberhasilan dalang dalam mempengaruhi penontonnya, karena ia mampu menerapkan
retorika dengan baik. Kemampuan seperti itu diperoleh oleh dalang melalui latihan-
latihan yang sistematis.

Pemanfaatan retorika tidak hanya pada karya seni klasik saja, pada seni modern retorika
juga dimanfaatkan, misalnya pada seni drama, teater, film. Pada ketiga kesenian ini
bahasa dan gaya bahasa dipilih benar, kemudian ditata dengan baik, selanjutnya
ditampilkan di depan penonton. Cara kerja memilih/menemukan, menata, dan
menampilkan benar-benar merupakan langkah-langkah seperti dalam retorika.

• Penggunaan retorika dalam tulisan

Para kuli tinta seperti wartawan dan reporter adalah orang-orang yang terlibat dalam
penggunaan retorika. Entah mereka nanti akan menulis kolom, rubrik, tajuk, atau menulis
reportase, semuanya memerlukan kemampuan menggunakan retorika. Intinya adalah
bagaimana mereka dapat mempersuasi atau menarik perhatian pembacanya. Kadang-
kadang ada penulis yang mempunyai niat menggebu-gebu untuk bisa menarik perhatian
pembacanya. Karena keinginan yang menggebu-gebu itu, tulisan mereka sering terkesan
tendensius.
Dalam bentuk lisan, deklamator (dalam deklamasi), pendongeng, tukang cerita, pedagang
obat juga menggunakan retorika. Mereka mencoba “menyihir” pendengarnya dengan
memilih, menata, dan menampilkan tutur yang menawan. Dalam profesi ini, ada tindakan
penemuan topik/ gagasan, menata dalam urutan yang menarik, dan menampilkannya
dengan bahasa dan gaya bertutur yang memikat. Tindakan atau langkah yang dikerjakan
itu merupakan unsur retorika. Oleh karena itu, semua profesi yang disebut di atas
(deklamator, pendongeng, tukang cerita, pedagang obat) adalah profesi yang
menggunakan retorika.

• Penggunaan retorika dalam pendidikan

Secara umum pendidikan diartikan sebagai cara memberikan bimbingan yang sistematis
kepada anak didik untuk mengembangkan dirinya dengan memberi pengetahuan,
keterampilan, dan nilai-nilai yang sesuai dengan kebutuhan hidupnya. Jadi pendidikan
hanyalah membantu memberikan bimbingan kepada anak didik sehingga potensi yang
dimiliki anak dapat berkembang secara wajar. Untuk dapat mewujudkan tujuan tersebut,
maka para pendidik perlu membuat perencanaan, menyiapkan materi, menata unit-unit
materi, menentukan sarana, menetapkan metode, dan melaksanakan kegiatan pengajaran.
Dari perencanaan sampai dengan pelaksanaan yang dilakukan itu, para pendidik selalu
mengkaji persoalan-persoalan yang ada seputar anak didik. Hal ini dilakukan agar
bimbingan (pendidikan) yang diberikan dapat memotivasi, menarik minat, dan
mempersuasi anak didik untuk belajar. Dalam melakukan kegiatan seperti inilah, para
pendidik terlibat dalam penggunaan retorika.

Pertanyaan-pertanyaan berikut akan menjawab keterlibatan seorang pendidik dengan


retorika.

• Pelajaran apakah yang diperlukan oleh anak didik?

• Bagaimanakah cara menyajikan agar memikat anak didik?

• Sarana apakah yang diperlukan untuk mem- berikan kejelasan uraian?

• Bagaimana menyuguhkan contoh, ulasan, ilustrasi, dukungan, dan lain-lain agar anak
terangsang ingin tahu?

• Bagaimana cara mempengaruhi dan meng- atur siswa agar mereka aktif dan kreatif?
Contoh-contoh pertanyaan di atas sesungguhnya tidak lain merupakan bentuk khusus dari
persoalan yang umum dalam retorika. Itulah sebabnya, mengapa dikatakan bahwa, para
pendidik dalam tugas menyiapkan bimbingan yang disebut pendidikan itu dikatakan
terlibat dengan retorika. Penggunaan retorika secara praktis, tampak lebih nyata lagi
dalam proses belajar-mengajar di kelas. Dalam hubungan ini, para guru menerapkan
prinsip-prinsip pendidikan yang telah dipelajari sebelumnya. Melalui aktivitas belajar-
mengajar, guru memanfaatkan retorika sebanyak-banyaknya berdasarkan jenis materi
pelajaran yang diajarkan, kondisi anak didik yang dihadapi, keadaan sekolah tempat
mengajar, situasi sosial politik yang sedang berlangsung, dan faktor-faktor yang lain.
Yang lebih nyata lagi bahwa guru menggunakan retorika adalah ketika guru mengambil
contoh yang telah diketahui oleh anak, memberi ulasan, menggunakan bahasa yang
sesuai dengan tingkat perkembangan anak, menggunakan mimik (gerak-gerik, pandangan
mata, gerak tangan, dll.). Jadi untuk meyakinkan anak didik akan kebenaran materi yang
disajikan, para guru melakukan sejumlah upaya dan tindakan. Semua upaya dan tindakan
yang dilakukan itu dimaksudkan untuk meyakinkan. Itulah pada hakikatnya retorika yang
dimanfaatkan guru.

2.2 Sejarah Retorika

2.2.1 Sejarah Perkembangan Retorika


Objek studi retorika adalah kehidupan manusia. Kefasihan bicara mungkin pertama kali
dipertunjukkan dalam upacara adat: kelahiran, kematian, lamaran, perkawinan, dan sebagainya.
Pidato (retorika) disampaikan oleh orang yang mempunyai status tinggi. Lewis Copeland dalam
kata pengantar bukunya tentang pidato tokoh-tokoh besar dalam sejarah, mengatakan
bahwa”penting sekali diperhatikan adalah catatan peristiwa yang dramatis, yang seringkali
disebabkan oleh para orator hebat.

Sejak Yunani dan Roma sampai zaman kita sekarang, kepandaian orasi dan kenegarawanan
selalu berkaitan. Banyak jago pedang juga terkenal dengan kefasihan bicaranya yang menawan”.

Uraian sistematis retorika yang pertama diletakkan oleh orang Syracuse, sebuah koloni Yunani
di Pulau Sicilia. Bertahun-tahun koloni itu diperintah para tiran. Tiran, di mana pun dan pada
zaman apa pun, senang menggusur tanah rakyat. Kira-kira tahun 465 SM, rakyat melancarkan
revolusi. Diktator ditumbangkan dan demokrasi ditegakkan. Pemerintah mengembalikan lagi
tanah rakyat kepada pemiliknya yang sah. Untuk mengambil haknya, pemilik tanah harus
sanggup meyakinkan dewan juri di pengadilan. Waktu itu, tidak ada pengacara dan tidak ada
sertifikat tanah. Setiap orang harus meyakinkan mahkamah dengan pembicaraan saja. Sering
orang tidak berhasil memperoleh kembali tanahnya, hanya karena ia tidak pandai bicara. Untuk
membantu orang memenangkan haknya di pengadilan, Corax menulis makalah retorika, yang
diberi nama Techne Logon (Seni Kata-kata). Walaupun makalah ini sudah tidak ada, dari para
penulis sezaman, kita mengetahui bahwa dalam makalah itu ia berbicara tentang “teknik
kemungkinan”. Bila kita tidak dapat memastikan sesuatu, mulailah dari kemungkinan umum.
Seorang kaya mencuri dan dituntut di pengadilan untuk pertama kalinya. Dengan teknik
kemungkinan, kita bertanya, “Mungkinkah seorang yang berkecukupan mengorbankan
kehormatannya dengan mencuri? Bukankah, sepanjang hidupnya, ia tidak pernah diajukan ke
pengadilan karena mencuri”. Sekarang, seorang miskin mencuri dan diajukan ke pengadilan
untuk kedua kalinya. Kita bertanya, “la pernah mencuri dan pernah dihukum. Mana mungkin ia
berani melakukan lagi pekerjaan yang sama”. Akhirnya, retorika memang mirip “ilmu silat
lidah”. Di samping teknik kemungkinan, Corax meletakkan dasar-dasar organisasi pesan. Ia
membagi pidato pada lima bagian: pembukaan, uraian, argumen, penjelasan
tambahan, dan kesimpulan. Dari sini, para ahli retorika kelak mengembangkan organisasi pidato.
Walaupun demokrasi gaya Syracuse tidak bertahan lama, ajaran Corax tetap berpengaruh.
Konon, Gelon, penguasa yang menggulingkan demokrasi dan menegakkan kembali tirani,
menderita halitosis (bau mulut). Karena ia tiran yang kejam, tak seorang pun berani mem-
beritahukan hal itu kepadanya. Sampai di negeri yang asing, seorang perempuan asing berani
menyebutkannya. Ia terkejut. Ia memarahi istrinya, yang bertahun-tahun begitu dekat dengannya,
tetapi tidak memberitahukannya. Istrinya menjawab bahwa karena ia tidak pernah dekat dengan
laki-laki lain, ia mengira semua laki-laki sama. Gelon tidak jadi menghukum istrinya.
Tampaknya, sang istri sudah belajar retorika dari Corax.

Masih di Pulau Sicilia, tetapi di Agrigenturn, hidup Empedocles (490-430 SM), filosof,
mistikus, politisi, dan sekaligus orator. Ia cerdas dan menguasai banyak pengetahuan. Sebagai
filosof, ia pernah berguru kepada Pythagoras dan menulis The Nature of Things. Sebagai
mistikus, ia percaya bahwa setiap orang bisa bersatu dengan Tuhan bila ia menjauhi perbuatan
yang tercela. Sebagai politisi, ia memimpin pemberontakan untuk menggulingkan aristokrasi dan
kekuasaan diktator. Sebagai orator, menurut Aristoteles, “ia mengajarkan prinsip-prinsip
retorika, yang kelak dijual Gorgias kepada penduduk Athena”.

Tahun 427 SM Gorgias dikirim sebagai duta ke Athena. Negeri itu sedang tumbuh sebagai
negara yang kaya. Kelas pedagang kosmopolitan selain memiliki waktu luang lebih banyak, juga
terbuka pada gagasan-gagasan baru. Di Dewan Perwakilan Rakyat, di pengadilan, orang
memerlukan kemampuan berpikir yang jernih dan logis serta berbicara yang jelas dan persuasif.
Gorgias memenuhi kebutuhan “pasar” ini dengan mendirikan sekolah retorika. Gorgias
menekankan dimensi bahasa yang puitis dan teknik berbicara impromtu (kita bahas pada Bab II).
Ia meminta bayaran yang mahal; sekitar sepuluh ribu drachma ($ 10.000) untuk seorang murid
saja. Bersama Protagoras dan kawan-kawan, Gorgias berpindah dari satu kota ke kota yang lain.
Mereka adalah “dosen-dosen terbang”.

Protagoras menyebut kelompoknya sophistai, “guru kebijaksanaan” Sejarahwan menyebut


mereka kelompok Sophis. Mereka berjasa mengembangkan retorika dan mempopulerkannya.
Retorika, bagi mereka bukan hanya ilmu pidato, tetapi meliputi pengetahuan sastra, gramatika,
dan logika. Mereka tahu bahwa rasio tidak cukup untuk meyakinkan orang. Mereka mengajarkan
teknik-teknik memanipulasi emosi dan menggunakan prasangka untuk menyentuh hati
pendengar. Berkat kaum Sophis, abad keempat sebelum Masehi adalah abad retorika. Jago-jago
pidato muncul di pesta Olimpiade, di gedung perwakilan dan pengadilan. Bila mereka
bertanding, orang-orang Athena berdatangan dari tempat-tempat jauh; dan menikmati “adu
pidato” seperti menikmati pertandingan tinju. Kita hanya akan menyebutkan dua tokoh saja
sebagai contoh: Demosthenes dan Isocrates.

Berbeda dengan Gorgias, Demosthenes mengembangkan gaya bicara yang tidak berbunga-
bunga, tetapi jelas dan keras. Dengan cerdik, ia menggabungkan narasi dan argumentasi. Ia juga
amat memperhatikan cara penyampaian (delivery). Menurut Will Durant, “ia meletakkan rahasia
pidato pada akting (hypocrisis). Berdasarkan keyakinan ini, ia berlatih pidato dengan sabar. Ia
mengulang-ulangnya di depan cermin. Ia membuat gua, dan berbulan-bulan tinggal di sana,
berlatih dengan diam-diam. Pada masa-masa ini, ia mencukur rambutnya sebelah, supaya ia tidak
berani keluar dari persembunyiannya. Di mimbar, ia melengkungkan tubuhnya, bergerak
berputar, meletakkan tangan di atas dahinya seperti berpikir, dan seringkali mengeraskan
suaranya seperti menjerit.

Demosthenes pernah diusulkan untuk diberi mahkota atas jasa-jasanya kepada negara dan atas
kenegarawanannya. Aeschines, orator lainnya, menentang pemberian mahkota dan
memandangnya tidak konstitusional. Di depan Mahkamah yang terdiri dari ratusan anggota juri,
ia melancarkan kecamannya kepada Demosthenes. Pada gilirannya, Demosthenes menyerang
Aeschines dalam pidatonya yang terkenal Perihal Mahkota. Dewan juri memihak Demosthenes
dan menuntut Aeschines untuk membayar denda. Aeschines lari ke Rhodes dan hidup dari kursus
retorika yang tidak begitu laku. Konon, Demosthenes mengirimkan uang kepadanya untuk
membebaskannya dari kemiskinan. Persaudaraan karena profesi!

Duel antara dua orator itu telah dikaji sepanjang sejarah. Inilah buah pendidikan yang dirintis
oleh kaum Sophis. Tetapi ini juga yang membentuk citra negatif tentang kaum Sophis. Seorang
tokoh yang berusaha mengembangkan retorika dengan menyingkirkan Sophisme negatif adalah
Isocrates. Isocrates percaya bahwa retorika dapat meningkatkan kualitas masyarakat; bahwa
retorika tidak boleh dipisahkan dari politik dan sastra. Tetapi ia menganggap tidak semua orang
boleh diberi pelajaran ini. Retorika menjadi sebuah pelajaran elit, hanya untuk mereka yang
berbakat.

Ia mendirikan sekolah retorika yang paling berhasil tahun 391 SM. Ia mendidik muridnya
menggunakan kata-kata dalam susunan yang jernih tetapi tidak berlebih-lebihan, dalam rentetan
anak kalimat yang seimbang dengan pergeseran suara dan gagasan yang lancar. Karena ia tidak
mempunyai suara yang baik dan keberanian untuk tampil, ia hanya menuliskan pidatonya. Ia
menulis risalah-risalah pendek dan menyebarkannya. Sampai sekarang risalah-risalah ini
dianggap warisan prosa Yunani yang menakjubkan. Gaya bahasa Isocrates telah mengilhami
tokoh-tokoh retorika sepanjang zaman: Cicero, Milton, Massillon, Jeremy Taylor, dan Edmund
Burke. Salah satu risalah yang ditulisnya mengkritik kaum Sophis. Risalah ini ikut membantu
berkembangnya kebencian kepada kaum Sophis. Di samping itu, kaum Sophis kebanyakan para
pendatang asing di Athena. Orang selalu mencurigai yang dibawa orang asing. Apalagi mereka
mengaku mengajarkan kebijaksanaan dengan menuntut bayaran. Yang tidak sanggup membayar
tentu saja melepaskan kekecewaannya dengan mengecam mereka. Socrates, misalnya, hanya
sanggup membayar satu drachma untuk kursus yang diberikan Prodicus. Karena itu, ia hanya
memperoleh dasar-dasar bahasa yang sangat rendah saja.

Socrates mengkritik kaum Sophis sebagai para prostitut. Orang yang menjual kecantikan untuk
memperoleh uang, kata Socrates, adalah prostitut. Begitu juga, orang yang menjual
kebijaksanaan. Murid Socrates yang menerima pendapat gurunya tentang Sophisme adalah Plato.
Plato menjadikan Gorgias dan Socrates sebagai contoh retorika yang palsu dan retorika yang
benar, atau retorika yang berdasarkan pada Sophisme dan retorika yang berdasarkan pada
filsafat. Sophisme mengajarkan kebenaran yang relatif. Filsafat membawa orang kepada
pengetahuan yang sejati. Ketika merumuskan retorika yang benar – yang membawa orang
kepada hakikat – Plato membahas organisasi, gaya, dan penyampaian pesan. Dalam
karyanya, Dialog, Plato menganjurkan para pembicara untuk mengenal “jiwa” pendengarnya.
Dengan demikian, Plato meletakkan dasar-dasar retorika ilmiah dan psikologi khalayak. Ia telah
mengubah retorika sebagai sekumpulan teknik (Sophisme) menjadi sebuah wacana ilmiah.

Aristoteles, murid Plato yang paling cerdas melanjutkan kajian retorika ilmiah. Ia menulis tiga
jilid buku yang berjudul De Arte Rhetorica. Dari Aristoteles dan ahli retorika klasik, kita
memperoleh lima tahap penyusunan pidato: terkenal sebagai Lima Hukum Retorika (The Five
Canons of Rhetoric). Inventio (penemuan). Pada tahap ini, pembicara menggali topik dan
meneliti khalayak untuk mengetahui metode persuasi yang paling tepat. Bagi Aristoteles,
retorika tidak lain daripada “kemampuan untuk menentukan, dalam kejadian tertentu dan situasi
tertentu, metode persuasi yang ada”. Dalam tahap ini juga, pembicara merumuskan tujuan dan
mengumpulkan bahan (argumen) yang sesuai dengan kebutuhan khalayak.

Aristoteles menyebut tiga cara untuk mempengaruhi manusia. Pertama, Anda harus sanggup
menunjukkan kepada khalayak bahwa Anda memiliki pengetahuan yang luas, kepribadian yang
terpercaya, dan status yang terhormat (ethos). Kedua, Anda harus Menyentuh hati khalayak
perasaan, emosi, harapan, kebencian dan kasih sayang mereka (pathos). Kelak, para ahli retorika
modern menyebutnya imbauan emotional (emotional appeals). Ketiga, Anda Meyakinkan
khalayak dengan mengajukan bukti atau yang kelihatan sebagai bukti. Di sini Anda mendekati
khalayak lewat otaknya (logos).

Di samping ethos, pathos, dan logos, Aristoteles menyebutkan dua cara lagi yang efektif untuk
mempengaruhi pendengar: entimem dan contoh. Entimem (Bahasa Yunani: “en” di dalam dan
“thymos” pikiran) adalah sejenis silogisme yang tidak lengkap, tidak untuk menghasilkan
pembuktian ilmiah, tetapi untuk menimbulkan keyakinan. Disebut tidak lengkap, karena
sebagian premis dihilangkan.

Sebagaimana Anda ketahui, silogisme terdiri atas tiga premis: mayor, minor, dan kesimpulan.
Semua manusia mempunyai perasaan iba kepada orang yang menderita (mayor). Anda manusia
(minor). Tentu Anda pun mempunyai perasaan yang sama (kesimpulan). Ketika saya ingin
mempengaruhi Anda untuk mengasihi orang-orang yang menderita, saya berkata, “Kasihanilah
mereka. Sebagai manusia, Anda pasti mempunyai perasaan iba kepada orang yang menderita
“. Ucapan yang ditulis miring menunjukkan silogisme, yang premis mayornya dihilangkan. Di
samping entimem, contoh adalah cara lainnya. Dengan mengemukakan beberapa contoh, secara
induktif Anda membuat kesimpulan umum. Sembilan dari sepuluh bintang film menggunakan
sabun Lnx. Jadi, sabun Lux adalah sabun para bintang film.

Dispositio (penyusunan). Pada tahap ini, pembicara menyusun pidato atau mengorganisasikan
pesan. Aristoteles menyebutnya taxis, yang berarti pembagian. Pesan harus dibagi ke dalam
beberapa bagian yang berkaitan secara logis. Susunan berikut ini mengikuti kebiasaan berpikir
manusia: pengantar, pernyataan, argumen, dan epilog. Menurut Aristoteles, pengantar berfungsi
menarik perhatian, menumbuhkan kredibilitas (ethos), dan menjelaskan tujuan.

Elocutio (gaya). Pada tahap ini, pembicara memilih kata-kata dan menggunakan bahasa yang
tepat untuk “mengemas” pesannya. Aristoteles memberikan nasihat ini: gunakan bahasa yang
tepat, benar, dan dapat diterima; pilih kata-kata yang jelas dan langsung; sampaikan kalimat yang
indah, mulia, dan hidup; dan sesuaikan bahasa dengan pesan, khalayak, dan pembicara.

Memoria (memori). Pada tahap ini, pembicara harus mengingat apa yang ingin disampaikannya,
dengan mengatur bahan-bahan pembicaraannya. Aristoteles menyarankan “jembatan keledai”
untuk memudahkan ingatan. Di antara semua peninggalan retorika klasik, memori adalah yang
paling kurang mendapat perhatian para ahli retorika modern.

Pronuntiatio (penyampaian). Pada tahap ini, pembicara menyampaikan pesannya secara lisan. Di
sini, akting sangat berperan. Demosthenes menyebutnya hypocrisis (boleh jadi dari sini muncul
kata hipokrit). Pembicara harus memperhatikan olah suara (vocis) dan gerakangerakan,anggota
badan (gestus moderatio cum venustate).
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Kegiatan bertutur tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan manusia. Bertutur merupakan
kebutuhan manusia. Kegiatan dan bentuk bertutur banyak ragamnya. Ada canda, obrolan, basa-
basi, tegur-sapa, khotbah, kampanye, diskusi, seminar, konferensi, dan lain-lain. Boleh | PRASI |
Vol. 6 | No. 12 | Juli - Desember 2010 | 71 dikatakan retorika menjadi bagian yang tidak dapat
dipisahkan dengan kehidupan masyarakat. Hingga kini retorika digunakan dalam bidang atau
lingkungan yang amat luas, seperti bidang: politik, perdagangan, seni, pendidikan, dan lain-lain.
Bidang politik adalah bidang kegiatan yang pertama-tama memanfaatkan retorika secara
terencana. Bahkan kehadiran retorika itu sendiri justru didorong oleh kebutuhan politik. Bidang
ekonomi juga menggunakan retorika. Para usahawan terlibat dalam penggunaan retorika dalam
rangka mempromosikan barang-barang produksinya. Oleh karena itu, retorika digunakan secara
luas untuk iklan, advertensi, dan reklame. Seni juga merupakan bidang kehidupan yang tidak
lepas dari retorika. Apalagi seni itu dimaksudkan untuk “mendidik” penontonnya. Para kuli tinta
seperti wartawan dan reporter juga terlibat dalam penggunaan retorika. Entah untuk menulis
kolom, rubrik, tajuk, atau menulis reportase. Semuanya memerlukan kemampuan menggunakan
retorika.

3.2 Saran

Kami selaku penyusun menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna dan tentunya
banyak sekali kekurangan dalam pembuatan makalah ini. Hal ini disebabkan karena masih
terbatasnya kemampuan kami. Oleh karena itu, kami selaku penyusun makalah ini sangat
mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun. Kami juga mengharapkan makalah ini
sangat bermanfaat untuk kami khususnya dan pembaca pada umumnya.
DAFTAR PUSTAKA

I Nengah Marta, 2010. “RETORIKA DAN PENGGUNAANYA DALAM BERBAGAI


BIDANG”. (Online).
(https://ejournal.undiksha.ac.id/index.php/PRASI/article/download/6828/4675 (diakses pada 3
april 2021).

Adli Abi Imran, 2015. “Makalah Retorika Bahasa Indonesia”. (Online).


(https://blogmateri.wordpress.com/2015/02/12/makalah-retorika-bahasa-indonesia/ (diakses pada
3 april 2021).

Stpakambon, 2009. “Pengertian, Sejarah dan Latar Belakang Retorika”. (Online).


(https://stpakambon.wordpress.com/2009/09/03/pengertian-sejarah-dan-latar-belakang-retorika/
(diakses pada 3 april 2021).

Anda mungkin juga menyukai