Anda di halaman 1dari 17

PEMBELAJARAN ANAK DENGAN AUTISME

MENGGUNAKAN MEDIA APLIKASI


LAPORAN
Di ajukan untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Literasi ICT dan Media
Pembelajaran
Dosen Pengampu:
Dr. H. Endang Rochyadi, M. Pd.

Disusun Oleh:
Kelompok 5
Alma Shafa Tabia 1800191
Aulia Yasmin Erwanti 1805010
Azizah Rahmatunnisa 1807358
Cantika Widiani 1807383
Indi Novianda Putri 1807217

DEPARTEMEN PENDIDIKAN KHUSUS


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
BANDUNG
2021
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan berkah dan hidayah-Nya,
sehingga kami dapat diberikan kemudahan dan kelancaran dalam menyelesaikan
tugas laporan yang berjudul Pembelajaran Anak dengan Autisme Menggunakan
Media Aplikasi yang bertujuan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Literasi
ICT dan Media Pembelajaran.
Sangat disadari kendati pun penyelesaian laporan ini dilakukan seoptimal
mungkin namun tentunya tidak luput dari kekurangan di dalamnya. Namun berkat
usaha, bimbingan, bantuan, dan petunjuk akhirnya makalah ini dapat diselesaikan.
Oleh karena itu, dengan kerendahan hati, penyusun mengucapkan terima kasih
kepada:
1. Yth. Dr. H. Endang Rochyadi, M.Pd selaku pembimbing yang telah
memberikan motivasi, bimbingan, dan arahan dalam penyusunan laporan.
2. Yth Ana Azzahra selaku pembimbing yang telah memberikan motivasi,
bimbingan, dan arahan dalam penyusunan laporan.
3. Teman-teman seperjuangan yang berpartisipasi aktif dalam melakukan
penyusunan laporan ini.
Semoga laporan ini dapat memberikan manfaat khususnya bagi para pembaca,
Aamiin Yaa RabbalAa’lamiin

Bandung, Januari 2021

Penyusun
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Istilah “autism” pertama kali diperkenalkan oleh Leo Kanner pada tahun
1943, selanjutnya ia juga memakai istilah “Early Infantile Autism”, atau dalam
bahasa Indonesianya diterjemahkan sebagai “Autisme masa kanak-kanak”. Hal ini
untuk membedakan dari orang dewasa yang menunjukkan gejala autism seperti
ini. Autism merupakan suatu jenis gangguan perkembangan pada anak yang
sifatnya kompleks dan berat, biasanya telah terlihat sebelum berumur 3 tahun,
dengan ciri tidak mampu berkomunikasi dan mengekspresikan perasaan maupun
keinginannya. Akibatnya perilaku dan hubungannya dengan orang lain menjadi
terganggu, keadaan ini sangat mempengaruhi perkembangan anak selanjutnya.
Autism dapat mengenai siapa saja tidak tergantung pada etnik, tingkat
pendidikan, sosial, dan ekonomi. Autisme bukanlah masalah baru, dari berbagai
bukti yang ada diketahui kelainan ini sudah ada sejak berabad-abad lampau.
Hanya saja istilahnya relatif baru. Diperkirakan 20 tahun yang lalu, autisme
merupakan suatu kondisi yang masih jarang ditemukan, diperkirakan hanya 2-4
saja anak autis. Tetapi sekarang terjadi peningkatan jumlah anak autis sampai
lebih kurang 15-20 per 10.000 anak yang diperkirakan akan terus bertambah. Jika
angka kelahiran pertahun di Indonesia 4,6 juta anak, maka jumlah anak autis
pertahun akan bertambah 0,15% yaitu 6900 anak.
Autisme merupakan suatu kondisi yang serius dan kompleks, apabila tidak
ditangani dengan tepat dan cepat kondisi ini akan menetap dan dapt berakibat
pada keterlambatan perkembangan. Dari sudut pandang pendidikan, seseorang
yang mengalami autistic dapat diamati dari aspek perkembangan dan hambatan
belajarnya. Beberapa upaya pendidikan diarahkan untuk mengurangi hambatan
perkembangan dan mengupayakan seoptimal mungkin dapat mengikuti
pendidikan sampai mencapai tingkatan yang dibutukannya.
Sehubungan dengan hambatan yang dialaminya, maka kurikulum pendidikan
anak Autis harus memberikan layanan kebutuhan khusus seperti pengubahan
tingkah laku, pengembangan interaksi dan komunikasi, ADL, dan keterampilan
lain sesuai kebutuhan anak. Oleh karena itu, dalam pembelajaran anak autis
memerlukan strategi pembelajaran yang tepat untuk menarik minat belajar anak,
salah satunya adalah dengan menggunakan sebuah aplikasi.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan sebelumnya, maka rumusan
masalah dalam laporan ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah hasil analisis asesmen pada anak?
2. Bagaimana desain media atau aplikasi yang tepat untuk diimplementasikan
kepada anak berdasarkan hasil asesmen dan kebutuhannya?
3. Bagaimana hasil implementasi media atau aplikasi pembelajaran?
1.3 Tujuan Penulisan Laporan
Berdasarkan rumusan masalah yang telah diuraikan sebelumnya, maka tujuan
penulisan laporan ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui bagaimana hasil dari asesmen yang telah dilakukan kepada
anak.
2. Untuk mengetahui desain media atau aplikasi pembelajaran yang sesuai
dengan kebutuhan anak.
3. Untuk mengetahui bagaimana hasil dari implementasi aplikasi pembelajaran.
1.4 Metode Penulisan Laporan
Metode yang digunakan dalam pengambilan data laporan ini adalah melalui
observasi lapangan dan kajian pustaka. Observasi lapangan adalah sebuah metode
dimana dilakukannya suatu pengamatan secara langsung terhadap suatu keadaan
dan disertai dengan pencatatan dengan menggunakan instrument yang telah
disepakati sebelumnya. Sedangkan kajian pustaka yaitu metode yang dilakukan
dengan mempelajari dan mengumpulkan data dari pustaka erupa buku, jurnal, dan
informasi melalui media daring.
1.5 Sistematika Penulisan Laporan
Untuk memahami secara lebih jelas isi dari laporan, maka materi yang tertera
pada laporan dikelompokkan menjadi beberapa sub-bab dengan sistematika
penyampaian sebagai berikut:
BAB I Pendahuluan : Berisi tentang latar belakang, perumusan masalah,
tujuan penulisan, metode pengambilan data, dan sistematika penulisan.
BAB II Kajian Teori : Berisi tentang teori terkait dengan konsep autisme,
serta mengenai konsep perkembangan kognitif.
BAB III Pembahasan : Berisi tentang timeline kerja, dan hasil asesmen.
BAB IV Hasil Implementasi : berisi tentang prosedur atau desain media dan
analisis hasil implementasi produk (aplikasi pembelajaran) pada anak dengan
autistic.
BAB V Penutup : Berisi tentang kesimpulan dan rekomendasi yang berkaitan
dengan analisis pembahasan kelompok berdasarkan hal yang telah diuraikan pada
bab-bab sebelumnya.
Daftar Pustaka
Lampiran
BAB II
KAJIAN TEORI
2.1 Pengertian Autisme
Autis merupakan salah satu kelompok dari gangguan perkembangan pada
anak. Menurut Veskariyanti (2008:17) dalam bahasa Yunani dikenal kata autis,
“auto” yang berarti sendiri ditujukan pada seseorang ketika menunjukkan gejala
hidup dalam dunianya sendiri atau mempunyai dunia sendiri. Menurut Wright
(2007:4) autism adalah gangguan perkembangan yang secara umum tampak di
tiga tahun pertama kehidupan anak. Gangguan ini akan berpengaruh pada
komunikasi, interaksi sosial, imajinasi, dan sikap. Yuwono (2009:26) menyatakan
bahwa autis merupakan gangguan perkembangan neurobiologis yang sangat
kompleks/berat dalam kehidupan yang panjang yang meliputi gangguan pada
aspek interaksi sosial, komunikasi, bahasa, dan perilaku serta gangguan emosi dan
persepsi sensori bahkan pada aspek motoriknya.
Menurut Hadis (2006:55) anak autis digolongkan sebagai anak yang
mengalami gangguan perkembangan pervasive (Pervasive Developmental
Disorder). Kelompok gangguan ditandai dengan adanya abnormalitas secara
kualitatif dalam interaksi sosial dan pola komunikasi disertai minat dan gerakan
terbatas, strereotipik, dan berulang. Pervasive berarti bahwa gangguan tersebut
sangat luas dan berat yang mempengaruhi fungsi individu secara mendalam di
segala situasi. Safaria (2005:1) juga menuliskan bahwa secara khas gangguan
yang termasuk dalam kategori pervasive ini ditandai dengan distorsi
perkembangan fungsi psikologis dasar majemuk yang meliputi perkembangan
keterampilan sosial dan berbahasa, seperti perhatian, persepsi, daya nilai terhadap
realitas, dan gerakan motorik.
2.2 Klasifikasi Anak Autis
Menurut Childhood Autism Rating Scale (CARS), autism dibagi menjadi tiga
tingkatan, yaitu (Mujiyanti, 2011):
1. Autis ringan. Pada kondisi ini anak autisme masih menunjukkan adanya
kontak mata walaupun tidak berlangsung lama. Anak autism ini dapat
memberikan sedikit respon ketika dipanggil namanya, menunjukkan ekspresi-
ekspresi muka, dan dalam berkomunikasi dua arah meskipun terjadinya hanya
sesekali.
2. Autis sedang. Pada kondisi ini anak autisme masih menunjukkan sedikit
kontak mata namun tidak memberikan respon ketika namanya dipanggil.
Tindakan agresif atau hiperaktif, menyakiti diri sendiri, acuh, dan gangguan
motorik yang strereopik cenderung agak sulit untuk dikendalikan tetapi masih
bisa dikendalikan.
3. Autis berat. Anak autisme dengan kategori ini menunjukkan tindakan-
tindakan yang sangat tidak terkendali. Biasanya anak autisme memukul-
mukulkan kepalanya ke tembok secara berulang dan terus-menerus tanpa
berhenti. Ketika orangtua berusaha mencegah, namun anak tidak memberikan
respond dan terus melakukannya, bahkan dalam kondisi berada dipelukan
orangtuanya. Anak baru berhenti setelah merasa kelelahan kemudian langsung
tertidur.
2.3 Karakteristik Autis
Menurut Handojo (2004: 24), beberapa karakteristik dari perilaku autisme pada
anak-anak antara lain:
1. Bahasa atau komunikasi yang meliputi ekspresi wajah yang datar, bicara
sedikit, atau tidak ada, jarang memulai dengan komunikasi , tidak
menggunakan bahasa/isyarat tubuh, tidak meniru aksi atau suara, tampak tidak
mengerti arti kata, mengerti dan menggunakan kata secara terbatas, dan
intonasi atau ritme vokal yang aneh.
2. Hubungan dengan orang meliputi tidak responsif, tidak ada senyum sosial,
tidak berkomunikasi dengan mata, kontak mata terbatas, tampak asik bila
dibiarkan sendiri, tidak melakukan permainan giliran.
3. Hubungan dengan lingkungan meliputi berain repetitive (diulang-ulang),
marah atau tidak menghendaki perubahan-perubahan, berkembangnya
rutinitas yang kaku, memperlihatkan ketertarikan yang sangat tidak fleksibel.
4. Respon terhadap indera atau sensoris meliputi kadang panik terhadap suara-
suara tertensu, sangat sensitif terhadap suara, bermain-main dengan cahaya
atau pantulan, memainkan jari-jari di depan mata, menarik diri ketika
disentuh, tertarik pada pola dan tekstur tertentu, membentur-bentur kepala,
menggigit pergelangan, melompoat-lompat, atau mengepakkan tangan, atau
merespon aneh terhadap nyeri.
5. Kesenjangan perkembangan perilaku meliputi kemampuan mungkin sangat
baik atau sangat terlambat, mempelajari keterampilan diluar urutan normal,
misalnya mebaca tapi tidak mengerti arti, menggambar secara rinci tapi tidak
dapat mengancingkan baju, pintar mengerjakan puzzle tetapi sangat sukar
dalam mengikuti perintah, lancar membeo suara tetapi sulit berbicara dari diri
sendiri.
Adapun karakteristik anak autis dapat dilihat berdasarkan jenis masalah serta
gangguan yang dialaminya. Seperti halnya yang dinyatakan oleh Hadis (2006: 46)
yang mendeskripsikan enam karakteristik anak autis sebagai berikut:
1. Bidang Komunikasi
Perkembangan bahasa anak autis sangat lambat bahkan tidak ada, gangguan
bahasa anak ini menyebabkan mereka terlihat seperti tuli, atau tidak bisa
bicara. Anak autis juga sering mengoceh secara berulang-ulang dengan bahasa
yang artinya tidak dapat dimengerti. Selain itu, anak autis juga lebih banyak
menggunakan bahasa tubuh, anak autis sering menarik tangan orang lain
untuk menunjukkan sesuatu atau meminta orang tersebut melakukan apa yang
diinginkannya.
2. Bidang Interaksi Sosial
Dalam segi interaksi sosial ini, anak autis tidak dapat melakukan kontak mata
dan menghindari tatap muka dengan orang lain, tidak tertarik ketika diajak
bermain bersama teman-temannya dan lebih suka bermain sendiri.
3. Bidang Kemampuan Sensoris
Dalam kemampuan sensoris anak autis, mereka cenderung tidak peka dengan
sentuhan, bahkan tidak suka dipeluk, bereaksi (spontan menutup telinga) bila
mendengar suara keras. Selain itu, mereka juga senang mencium dan
menejilati benda atau mainan yang menarik perhatiannya.
4. Bidang Pola Bermain
Anak autis tidak memiliki daya imajinasi dan tidak kreatif dalam bermain,
mereka tidak suka bermain dengan teman sebaya nya. Anak autis tidak bisa
bermain sesuai dengan fungsi mainannya, tertarik dengan mainan yang
berputar seperti roda sepeda. Jika mereka sudah menyukai satu mainan, maka
mainan itu akan terus menerus dibawa kemana-mana.
5. Perilaku
Anak autis sering memperlihatkan perilaku yang berlebihan (hiperaktif),
berputar-putar, berlari-lari serta melakukan gerakan tertentu secara berulang.
Anak autis juga memiliki tatapan yang kosong.
6. Emosi
Pada aspek emosi anak autis sering terlihat marah-marah, tertawa dan
menangis tanpa alas an. Bila dilaran, anak autis akan mengamuk dan dapat
merusak benda-benda disekitarnya. Anak autis juga sering menyakiti diri
sendiri (tantrum) misalnya membenturkan kepalanya ke dinding.
2.4 Faktor Penyebab Autis
Kenyataan bahwa faktor-faktor penyebab autis sampai saat ini belum diketahui
dengan pasti, hanya ada beberapa teori lain yang mendukung terhadap timbulnya
gangguan autistic, diantaranya:
1. Teori psikososial
Leo Kanner menyatakan bahwa adanya pengaruh psikogenik sebagai
penyebab autisme dimana orangtua yang emosional, kaku, dan obsesif yang
mengasuk anak mereka dalam suatu keluarga, maka secara tidak langsung
akan mempengaruhi terhadap perkembangan emosi anak. Anak menjadi tidak
hangat dan selalu dingin. Akibat dari pola pengasuhan yang tidak kondusif
sangat mempengaruhi kestabilan perkembangan anak baik emosi maupun
sosial, sehingga keadaan ini dapat memicu timbulnya gejala autis pada anak.
2. Teori biologis
Teori ini menjadi berkembang karena beberapa fakta seperti berikut:
Adanya hubungan yang erat dengan retardasi mental (75-80%),
perbandingan laki-laki : perempuan = 4:1, meningkatnya insiden gangguan
kejang (25%) dan adanya berbagai kondisi yang memengaruhi sistem saraf
psat. Walaupun sampai saat ini belum diketahui dengan pasti dimana letak
keabnormalitasnya, diduga adanya disfungsi dari kemuginan adanya kelainan
di otak.
Berbagai kondisi tersebut antara lain:
a) Faktor Genetik
Hasil penelitian pada keluarga dan anak kembar menunjukkan adanya
faktor genetic yang berperan dalam perkembangan autisme. Padda anak
kembar 1 telur sekitar 36-89% sedang pada anak kembar 2 telur 0%.
Pada penelitian dalam keluarga ditemukan 2,5 – 3% autisme pada
saudara kandung, yang berarti 50-100 kali lebih tinggi disbanding
populasi normal. Penelitian terbaru menemukan adanya peningkatan
gangguan psikiatrik pada anggota keluarga dari anak autistic, seperti
peningkatan insiden (kejadian) gangguan afektif dan kecemasan, sehingga
mempengaruhi terjadinya peningkatan gangguan dalam fungsi sosial.
b) Faktor Prenatal
Gangguan penyulit (komplikasi) prenatal, natal, dan neonatal, yang
meningkat juga ditemukan pada anak autistic. Komplikasi yang paling
sering dilaporkan adanya pendarahan setelah trimester pertama dan
adanya kotoran janin, cairan amnion yang merupakan tanda-tanda bawaan
dari janin (fetal distress).
Penggunaan obat –obatan tertentu pada ibu yang mengandung diduga
ada hubungan dengan timbulnya autisme. Adanya komplikasi waktu
bersalin seperti terlambat menangis, gangguan pernafasan, anemia pada
janin juga diduga ada hubungannya dengan autisme.
c) Model Neuroanatomi
Berbagai kondisi neuropatologi (gangguan saraf) diduga dapat
mendorong timbulnya ganguan perilaku pada autisme, ada beberapa
daerah diotak anak autistic yang diduga mengalami disfungsi. Adanya
kesamaan perilaku autistic dan perilaku abnormal pada orang dewasa yang
diketahui mempunyai lesi (perlukaan) di otak, dijadikan dasar dari
beberapa teori penyebab autisme.
d) Hipotesis Neurokemistri
Sejak ditemukan adanya kenaikan kadar serotonin di dalam darah pada
sepertiga anak autistic tahun 1961, fungsi neurotransmitter pada autisme
menjadi focus perhatian banyak peneliti. Dengan anggapan bila disfungsi
neurokemistri yang ditemukan merupakan dasar dari perilaku dan kognitif
yang abnormal tentunya dengan terapo dan obat diharapkan disfungsi
sistem neurotransmitter ini akan dapat diperbaiki. Beberapa jenis
neurotransmitter yang diduga mempunyai hubungan deengan autisme
antara lain: serotonin dopamine, dan opioid endogen.
3. Teori Immunologi
Ditemukannya penurunan respon dari sistem imun pada beberapa anak
autistic meningkatkan kemungkinan adanya dasar imunologis pada beberapa
kasus autisme. Ditemukan antibody beberapa ibu terhadap antigen leukosit
anak mereka yang autistic, memperkuat dugaan ini karena ternyata antigen
leukosit itu juga ditemukan pada sel-sel otak, sehingga antibody ibu dapat
secara langsung merusak jaringan saraf otak janin, yang menjadi penyebab
timbulnya autisme.
4. Infeksi Virus
Peningkatan frekuensi yang tinggi dari gangguan autisme pada anak-
anak dengan congenital, rubella, herpes simplex encephalitis, dan
cytomegalovirus efection, juga pada anak-anak selama musim semi dengan
kemungkinan ibu menderita influenza musim dingin saat mereka (anak) ada di
dalam Rahim, telah membuat para peneliti infeksi virus ini mengatakan bahwa
hal ini, merupakan salah satu penyebab autisme.
5. Keracunan Logam Berat
Hal ini misanya terjadi pada anak yang tinggal didekat tambang batubara dan
sebagainya.
2.5 Kebutuhan Anak Autis
A. Optimalisasi Tingkah Laku Positif yang terdiri dari:
1. Mengurangi atau menghilangkan tingkah laku yang tidak dikehendak.
Tingkah laku seperti berjalan-jalan, mengepak-ngepak, menggigit-
gigit,menarik diri, tidak kontak mata, merupakan sebagian dari sejumlah
tingkah laku yang tidak dikehendaki yang sering muncul pada anak
autis. Tingkah laku tersebut tidak hanya mengganggu anak itu sendiri,
tetapi juga orang lain. Oleh karena itu pengurangan sampai
penghilangan tingkah laku yang tidak dikehendaki merupakan
kebutuhan yang mendasar bagi anak, karena jika tingkah laku seperti itu
tidak dihilangkan akan terus menerus mengganggua anak dalam
mengembangkan kemampuannya.
2. Mengembangkan Atau Meningkatkan Tingkah Laku Yang Dikehendaki
Tingkah laku seperti berespon terhadap panggilan, rangsangan, atau
berinteraksi dengan lingkungan atau orang lain, merupakan sebagian
tingkah laku yang dikehendaki. Tingkah laku—tingkah laku seperti itu
merupakan kebutuhan yang sangat membantu anak untuk
mengoptimalkan potensi yang dimilikinya.
B. Kegiatan Sehari-Hari
Sugiarmin mengatakan bahwa selain optimalisasi Tingkah Laku
Positif, kegiatan sehari-hari menjadi kebutuhan bagi anak autis yang terdiri
dari:
1. Menolong Diri
Sebagaimana anak berkebutuhan khusus lainnya, anak autis
dengan berbagai masalah yang menyertainya, membutuhkan perhatian
dalam memenuhi kebutuhan khususnya berkaitan dengan kegiatan
hidup sehari-hari. Menolong diri yang dimaksud dalam tulisan ini
adalah kegiatan anak untuk memenuhi segala kebutuhan sehari-hari
seperti berpakaian, menyimpan pakainan bekas dipakai atau sepatu,
menyiapkan kebutuhan belajar seperti buku, dan sebagainya.
Kebutuhan-kebutuhan seperti itu merupakan kegiatan rutin yang
dilakukan anak sehari-hari. Berbeda dengan anak umumnya kegiatan
ini merupakan suatu kegiatan yang perlu dipersiapkan, diajarkan agar
anak bisa melakukannya sendiri.
2. Merawat Diri
Merawat diri yang dimaksud adalah kegiatan anak khususnya
yang berhubungan dengan kebersihan diri, seperti mandi, buang air
kecil , buang air besar, cuci tangan atau gosok gigi, dan sebagainya.
Seperti halnya menolong diri, kebutuhan akan merawat diri bagi anak
autis memerlukan upaya dan teknik-teknik yang tidak mudah untuk
mengajarkannya kepada anak autis. Oleh karena itu penting juga
informasi dan pengetahuan ini di miliki oleh orang tua atau pengasuh
anak agar mereka menerapkannya di rumah.
C. Keterampilan dasar belajar yang terdiri dari:
1. Pengembangan Kemampuan Pemusatan Perhatian, Persepsi, Motorik,
Dan Bahasa. Keterampilan dasar ini merupakan kebutuhan yang akan
membantu anak terutama untuk mempelajari materi pelajaran yang
diikutinya manakala mereka mengikuti kegiatan belajar mengajar.
2. Keterampilan membaca, menulis, berhitung Keterampilan membaca,
menulis, dan berhitung merupakan kebutuhan dasar untuk dapat
mempelajari atau menguasai materi-materi pelajaran lainnya. Jika anak
belum menguasai keterampilan ini, akan sulit bagi anak untuk dapat
menyerap dan menambah pengetahuan yang dibutuhkannya agar dapat
melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
2.6 Hambatan Belajar Anak Autis
Hambatan belajar dapat dilihat dari berbagai dimensi, yaitu pertama dalam
dimensi proses: menunjuk pada ketidakmampuan, kesulitan, atau kegagalan untuk
menangkap informasi dan menafsirkan. Anak autis dengan hambatan yang
dialaminya mengalami masalah untuk menerima dan menafsirkan informasi.
Kedua dalam dimensi produk: menunjuk pada adanyakegagalan untuk
mencapai prestasi sesuai harapan/tujuan. Proses belajar akan sangat dipengaruhi
oleh kemampuan menerima dan menyerap informasi yang diterima.
Ketiga secara akademik: menunjuk pada kesulitan dalam mengikuti pelajaran.
Hambatan dalam bidang akademik ini merupakan pengaruh dari hambatan-
hambatan yang menyertai anak autis seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.
Tetapi jika dalam kaitannya dengan hambata belajar pada anak autis paling
tidak terdapat empat hal yaitu:
Pertama memproses informasi: anak autis karena sulit memfokuskan
perhatian dan hambatannya dalam perkembangan modalitas sensori. Hambatan
perkembangan seperti hyper sensitive (sangat sensitif terhadap rangsangan yang
diterima) atau hypo sensitive (sangat rendah bahkan tidak terangsang sama sekali
oleh berbagai rangsangan yang diberikan). Keadaan ini mengakibatkan kesulitan
untuk melakukan seleksi terhadap input yang diterimanya dan selanjutnya
informasi pun tidak dapat di proses sebagaimana mestinya.
Kedua pemahaman; jika proses informasi terganggu akan berpengaruh
terhadap pemahaman. Ini terjadi pula pada anak autis. Namun, perlu diperhatikan
bahwa pemahaman tidak hanya tergantung pada proses informasi akan tetapi juga
dipengaruhi oleh potensi individu. Pada anak autis pemahaman akan lebih sulit
lagi jika anak tergolong pada low functioning. Sebaliknya bagi anak yang high
functioning pemahaman akan lebih mudah dilakukan.
Ketiga pengungkapan; kemampuan pengungkapan pada anak autis sulit
dilakukan, jika instruksi disampaikan anak tidak mudah melakukan respon atau
jika anak menginginkan sesuatu, mereka mengalami kesulitan untuk
mengungkapkannya. Keadaan ini seringkali membuat anak autis dianggap tidak
memiliki kemampuan. Akibatnya kebutuhan belajar anak autis tidak terakomodasi
dan terhambat belajarnya.
Keempat penyesuaian; kemampuan penyesuaian diri pada anak autis
merupakan masalah yang sangat menonjol. Interaksi sosial, komunikasi, dan
perilaku yang ditampilkan seringkali mengakibatkan anak sulit untuk
menyesuaikan diri dengan lingkungannya.
Oleh karena itu dibutuhkan persiapan dan strategi yang matang agar
pengelolaan dalam pelaksanaan pembelajaran anak autis dapat berlangsung
dengan efektif. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam belajar anak
autis:
a. Anak memiliki daya ingat yang sangat kuat terutama yang berkaitan
dengan objek visual (gambar) oleh karena itu dalam proses
pembelajaran lebih banyak menggunakan alat-alat visual misalnya
computer atau gambar-gambar.
b. Mempunyai kemampuan yang tinggi lebih pada bidang yang berkaitan
dengan angka misalnya mengingat nomor untuk digit yang banyak.

Namun demikian keadaan di atas tidak selalu ada pada setiap anak autis. Pada
anak autis yang low functioning, mungkin kemampuan diatas tidak ada. Namun, bagi
anak autis yang high functioning mereka memiliki kemampuan tersebut.

2.7 Perkembangan Kognitif


2.7.1 Pengertian Kognitif
Kognitif berasal dari kata cognition persamaan dari knowing yang
berarti mengetahui. Kognitif dalam artian luas berarti perolehan, penataan,
dan penggunaan perolehan. Lalu, kognitif juga bisa diartikan dengan
kemampuan belajar, berfikir, atau kecerdasan yaitu kemampuan untuk
mempelajari keterampilan dan konsep baru, keterampilan untuk memahami
apa yang terjadi dilingkungannya, serta keterampilan menggunakan daya ingat
dan menyelesaikan soal-soal sederhana.
Kemampuan kognitif adalah suatu proses berpikir, yaitu kemampuan
individu untuk menghubungkan, menilai, dan mempertimbangkan suatu
kejadian atau peristiwa. Menurut Gagne dalam Jamaris, Kognitif adalah
proses yang terjadi secara internal di dalam pusat susunan syaraf pada waktu
manusia sedang berfikir. Kemampuan kognitif ini berkembang secara
bertahap, sejalan dengan perkembangan fisik dan syaraf-syaraf yang berada di
pusat susunan syaraf.
2.7.2 Tahapan Perkembangan Kognitif
Perkembangan kognitif menurut Jean Piaget dibagi menjadi empat tahapan,
yaitu:

No Tahapan Keterangan

1 Sensorymotor usia 0-2 Kemampuan pada tahap sensorimotorik


tahun menunjuk pada konsep permanensi objek,
yaitu kecakapan psikis untuk mengerti
bahwa suatu objek tetap ada. Meskipun
pada waktu itu tidak tampak oleh kita dan
tidak bersangkutan dengan aktivitas pada
waktu itu. Tetapi, pada stadium ini
permanen objek belum sempurna.

Pra Operasional usia 2-7 Kemampuan pada tahan ini yaitu


tahun kemampuan menggunakan simbol-simbol
2 yang menggambarkan objek yang ada
disekitarnya, berfikirnya mash egosentris
dan terpusat.

Concrete Operational usia Tahap ini mampu berpikir dengan logis


7-11 tahun dan konkrit, mampu memerhatikan lebih
dari satu dimensi sekaligus dan juga dapat
3
menghubungkan dimensi satu dengan yang
lainya. Kurang egosentris dan belum bisa
berfikir abstrak.

Formal Operational usia Mampu berpikir abstrak dan dapat


4 remaja - dewasa menganalisis masalah secara ilmiah dan
kemudian menyelesaikan masalah.

2.7.3 Fase-Fase Perkembangan Kognitif


Aspek perkembangan kognitif anak dalam Permendikbud meliputi:
1. Belajar memecahkan masalah, mencakup kemampuan memecahkan
masalah sederhana dalam kehidupan sehari-hari dengan cara fleksibel
dalam konteks yang baru.
2. Berfikir logis, mencakup perbedaan, klarifikasi, pola, berinisiatif,
berencana, dan mengenal sebab akibat.
3. Berpikir simbolik, mencakup kemampuan mengenal, menyebutkan, dan
menggunakan konsep bilangan, mengenal huruf, serta mampu
mempresentasikan berbagai benda dan imajinasinya berbentuk gambar.
2.7.4 Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Kognitif
Apabila perkembangan kognitif terganggu maka secara langsung juga
mempengaruhi kemampuan kognitifnya. Faktor yang mempengaruhi
perkembangan kognitif antara lain:
1. Faktor Hereditas atau Keturunan
Seorang ahli filsafat yang bernama Schopenhauer menyatakan bahwa
manusia membawa potensi sejak lahir yang tidak dapat dipengaruhi oleh
lingkungan. Taraf intelegensi sudah ditentukan sejak lahir, seorang ahli
psikolog bernama Loehlin, Lindzer, dan Spuhler berpendapat bahwa taraf
intelegensi 75-80% merupakan faktor keturunan.
2. Faktor Lingkungan
John Locke berpendapat bahwa manusia yang lahir seperti kertas puttih.
Tarad intelegensi ditentukan oleh pengalaman dan pengetahuan yang
diperoleh olehnya dari lingkungan.
3. Faktor Kematangan
Fisik maupun psikis dikatakan matang apabila telah mencapai
kesanggupan menjalankan fungsinya masing-masing.
4. Faktor Pembentukan
Pembentukan merupakan suatu keadaan di luar diri seseorang yang
mempengaruhi tingkat intelegensi. Pembentukan ada dua, yaitu disengaja
(formal) dan tidak disengaja (pengaruh lingkungan).
5. Faktor Minat dan Bakat
Minat mengarahkan perbuatan kepada tujuan, dan merupakan dorongan
untuk berbuat lebih giat dan lebih baik. Bakat merupakan kemampuan
bawaan yang perlu diasah agar mendapatkan hasil yang optimal.
Seseorang yang memiliki bakat tertentu akan lebih mudah dan cepat
dalam mempelajarinya.
6. Faktor Kebebasan
Kebebasan merupakan keluasan manusia untuk berpikir. Artinya manusia
dapat memilih metode tertentu untuk memecahkan masalah, dan bebas
dalam memilih sesuai dengan kebutuhannya.

DAFTAR PUSTAKA

tn.tt. Kajian Pustaka Autisme. [daring]. Diakses dari: http://etheses.uin-


malang.ac.id/2273/6/08410062_Bab_2.pdf

Dr. H. Sugiarmin. 2013. Anak Autis. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia

tn.tt. Kajian Teori Perkembangan Kognitif. [daring]. Diakses dari: http://repo.iain-


tulungagung.ac.id/12077/5/e.%2520Bab%2520II.pdf

Anda mungkin juga menyukai