Hadits Arbain 39
Hadits Arbain 39
Tidak sengaja, lupa, dipaksa tidak terkena dosa, apa maksudnya Yuk kita kaji dari hadits
Arbain #39 kali ini.
Baca pembahasan sebelumnya: Hadits Arbain #38: Menjadi Wali Allah dengan Amalan
Wajib dan Sunnah
Daftar Isi buka
Keterangan hadits
Tajaawaza: memaafkan
‘an ummati: ummatil ijabah, ummat yang menerima dakwah.
Faedah hadits
1. Luasnya rahmat Allah pada hamba-Nya.
Ketika Lupa
Lupa secara bahasa berarti meninggalkan. Seperti dalam ayat,
Pengaruh Lupa
Ulama Syafi’iyah dan ulama Hambali dalam pendapat sahih menurut mereka, orang yang
lupa berarti telah bebas dari mukallaf (pembebanan syariat) ketika ia lupa. Karena
mengerjakan suatu perintah harus dengan didasari ilmu.
َت رَ بَّنَا الَ ت َُؤا ِخ ْذنَا ِإنْ نَ ِسينَا َأوْ َأخْ ط َ ْأنَا َ ََت وَ عَ لَ ْي َها مَا ا ْكت
ْ سب َ س َع َها لَ َها مَا َك
ْ سب ْ ِّفُ اللَّ ُه نَ ْفسًا ِإالَّ ُوQPالَ يُ َكِل
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat
pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang
dikerjakannya. (Mereka berdoa): “Ya Rabb kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami
lupa atau kami tersalah.” (QS. Al-Baqarah: 286). Lalu Allah menjawab, aku telah
mengabulkannya.” (HR. Muslim, no. 125).
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma secara marfu’, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
ْ PQِإنَّ اللَّ َه وَ ضَ عَ عَ نْ أُ َّم ِتى ا ْلخَ ط َ َأ وَ ال ِِّن
سيَانَ وَ مَا اسْ تُ ْك ِرهُوا عَ لَ ْي ِه
“Sesungguhnya Allah menghapuskan dari umatku dosa ketika mereka dalam keadaan keliru,
lupa dan dipaksa.” (HR. Ibnu Majah, no. 2045. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini
sahih).
Ibnu Taimiyah berkata tentang masalah ini,
Jika itu berkaitan dengan melakukan larangan dalam keadaan lupa selama bukan
pengrusakan, maka tidak dikenakan apa-apa.
Jika itu berkaitan dengan melakukan larangan dalam keadaan lupa dan ada pengrusakan,
maka tetap ada dhaman (ganti rugi).
الَ صَ الَ َة ِلمَنْ الَ ُوضُو َء لَ ُه وَ الَ وُضُو َء ِلمَنْ لَ ْم يَ ْذ ُك ِر اسْ َم اللَّ ِه تَعَالَى عَ لَ ْي ِه
“Tidak ada shalat bagi yang tidak ada wudhu. Tidak ada wudhu bagi yang tidak membaca
bismillah di dalamnya.” (HR. Abu Daud, no. 101 dan Ibnu Majah, no. 399. Al-Hafizh Abu
Thahir mengatakan bahwa hadits ini hasan).
Kalau dilihat dari hadits-hadits yang ada yang semisal dengan hadits di atas, dapat
dikatakan bahwa haditsnya saling menguatkan satu dan lainnya. Ibnu Hajar Al-Asqalani
berkata, “Nampak bahwa dilihat dari berbagai macam jalur, hadits yang membicarakan
anjuran bismillah saat wudhu saling menguatkan, yang menunjukkan adanya ajaran akan hal
itu.” (Talkhish Al-Habir, 1:128).
Sebagian ulama mendhaifkan hadits di atas, namun dari berbagai jalur, hadits menjadi kuat.
Sedangkan penafian (peniadaan) yang disebutkan dalam hadits adalah kesempurnaan. Jadi
maksudnya adalah tidak sempurna wudhunya. Karena ada hadits-hadits yang
membicarakan tentang wudhu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti hadits ‘Abdullah bin
Zaid, ‘Utsman bin ‘Affan, dan juga Ibnu ‘Abbas, tidak menyebutkan bismilah di dalamnya.
Sehingga penafian yang ada dimaknakan, tidak sempurna. Jadi tetap ada anjuran membaca
bismillah di awal wudhu, namun tidak menunjukkan wajib.
Ulama Syafi’iyah dan madzhab Imam Ahmad berpendapat bahwa membaca bismillah pada
awal wudhu termasuk perkara sunnah. Jika lupa membacanya di awal wudhu, maka boleh
dibaca kapan pun saat wudhu sebelum wudhu selesai. Jika meninggalkan membaca
bismillah karena lupa, maka sah wudhunya.
Cara mengqadha’nya jika yang lupa lebih dari satu shalat, bisa dengan petunjuk dari Syaikh
‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di berikut ketika beliau mengatakan dalam Manhajus
Salikin,
بًاQP وَ َجبَ عَ لَ ْي ِه َقضَ ا ُؤ َها َفوْ رً ا مُرَ ِِّتPوَ مَنْ َفاتَ ْت ُه صَ اَل ٌة
اضرَ ِة َ َس َقط َ التَّرْ ِتيْبُ بَ ْينَ َها وَ بَيْن
ِ الح َ صالَ ِة َّ ت الَ ْي َأوْ َج ِهلَ ُه َأوْ خَ افَ َفو
َ َف ِإنْ نَ ِس
“Siapa yang luput dari shalat, wajib baginya untuk mengqadha’nya segera secara berurutan.
Jika ia lupa, tidak tahu, atau khawatir luput dari shalat hadhirah (yang saat ini ada), maka
gugurlah tartib (berurutan) antara shalat yang luput tadi dan shalat yang hadhirah (yang
saat ini ada).”
Jika termasuk fardhu (rukun shalat), apabila tertinggal dalam shalat, maka tidak bisa
digantikan dengan sujud sahwi. Akan tetapi jika seseorang teringat sementara jarak waktu
masih memungkinkan untuk mengerjakannya, dia harus mengerjakan perkara tersebut dan
di akhir melakukan sujud sahwi.
Jika termasuk sunnah ab’adh (seperti tasyahud awwal, duduk tasyahud awwal, shalawat
kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada tasyahud awal, shalawat kepada keluar Nabi
pada tasyahud awal dan akhir, pen.), lalu tertinggal dalam shalat, maka tidak perlu diulang
apabila yang rukun (fardhu) sudah dikerjakan. Akan tetapi di akhir, harus melakukan sujud
sahwi.
Jika termasuk dalam sunnah hai’at, maka perkara yang tertinggal tersebut tidak perlu
diulang setelah tertinggal dan seseorang tidak perlu melakukan sujud sahwi.
4. Memindahkan yang merupakan fi’il (perbuatan) shalat baik rukun shalat atau
sunnah ab’adh atau memindahkan membaca surat bukan pada tempatnya seperti
membaca Al-Fatihah ketika tasyahud, membaca surat pendek ketika I’tidal.
(Lihat Al-Fiqh Al-Manhaji, 1:173-174)
Cara melakukan sujud sahwi:
Sujud sahwi dilakukan dengan dua kali sujud seperti sujud saat shalat. Yang ingin
melakukannya berniat untuk sujud sahwi. Sujud sahwi dilakukan di akhir shalat sebelum
salam. Jika seseorang yang shalat mengucapkan salam sebelum sujud sahwi dengan sengaja
atau lupa, dan jedanya sudah begitu lama, maka sujud sahwi jadi gugur. Jika jaraknya masih
dekat, maka sujud sahwi tetap dilakukan dengan dua kali sujud dengan niatan sujud sahwi,
lalu salam. Inilah penjelasan dalam madzhab Syafi’i sebagaimana disebutkan dalam Al-Fiqh
Al-Manhaji, hlm. 174.
Dalam Mughni Al-Muhtaj–salah satu kitab fiqih Syafi’iyah–disebutkan, “Tata cara sujud
sahwi sama seperti sujud ketika shalat dalam perbuatann wajib dan sunnahnya, seperti
meletakkan dahi, thuma’ninah(bersikap tenang), menahan sujud, menundukkan kepala,
melakukan duduk iftirosy ketika duduk antara dua sujud sahwi, duduk tawarruk ketika
selesai dari melakukan sujud sahwi, dan dzikir yang dibaca pada kedua sujud tersebut
adalah seperti dzikir sujud dalam shalat.”
رَ بَّنَا اَل ت َُؤا ِخ ْذنَا ِإنْ نَ ِسينَا َأوْ َأخْ ط َ ْأنَا
“Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tidak sengaja.”
(QS. Al-Baqarah: 286). Dalam hadits disebutkan bahwa Allah telah memenuhi hal tersebut.
Dalam hadits disebutkan,
سْ يَانَ وَ مَا اسْ تُ ْك ِرهُوا عَ لَ ْي ِهPQِإنَّ اللَّ َه تَ َجاوَ زَ عَ نْ ُأ َّم ِتى ا ْلخَ ط َ َأ وَ ال ِِّن
“Sesungguhnya Allah memaafkan umatku ketika ia tidak sengaja, lupa atau dipaksa.” (HR.
Ibnu Majah, no. 2043. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini sahih karena
memiliki penguat dari jalur lainnya)
Pertama, jika terkait dengan hak sesama manusia. Ada dua hal yang perlu diperhatikan:
2. Jika memang perbuatan tersebut tidak diizinkan, maka dikenakan dhaman (ganti
rugi). Contoh orang yang tidak sengaja membunuh orang lain walaupun tidak
dikenakan qishash (nyawa dibalas nyawa), namun tetap dikenakan dhaman (ganti
rugi) yaitu dikenakan diyyat.
Kedua, jika terkait dengan hak Allah, maka tidak ada hukuman had. Namun apakah ada
dhaman (ganti rugi)? Hal ini perlu dirinci.
1. Jika tidak ada itlaf (pengrusakan) seperti seseorang yang tidak sengaja menutup
kepalanya saat ihram atau memakai baju saat ihram (padahal tidak boleh
mengenakan pakaian yang membentuk lekuk tubuh seperti baju, pen.), maka
tidak ada kafarah
2. Jika ada itlaf (pengrusakan) seperti memotong kuku saat ihram atau memotong
rambut saat ihram atau berburu hewan saat ihram, maka ada beda pendapat jika
dilakukan tidak sengaja untuk kasus kedua ini. Pendapat yang lebih kuat adalah
tetap dikenakan kafarah.
Baca Juga: Kaedah Fikih (26): Merusak Tetapi Tidak Perlu Ganti Rugi
Adapun yang dimaksud dengan kafarah atau fidyah:
Fidyah karena melakukan larangan ihram yaitu mencukur rambut, memotong kuku,
memakai harum-haruman, mencumbu istri dengan syahwat, memakai pakaian berjahit yang
membentuk lekuk tubuh bagi laki-laki, memakai sarung tangan, menutup rambut kepala,
dan memakai niqob bagi wanita.
Bentuk fidyah dari setiap pelanggaran ini adalah memilih salah satu dari tiga hal:
Ketika Dipaksa
Bagaimana jika ada yang dipaksa dengan ancaman dibunuh untuk mengucapkan kalimat
kufur, lantas ia mengucapkannya? Atau bagaimana jika ia dipaksa untuk murtad?
« ِإنْ عَ ادُوا َف ُع ْد: َان َقا َل ِ ُمطْ َمئِنٌّ ِب: « َكيْفَ تَ ِج ُد َق ْلبَكَ ؟ » َقا َل: » َقا َل
ِ اإل ْيم
Rasul balik bertanya, “Bagaimana hatimu saat itu?” Ia menjawab, “Hatiku tetap dalam
keadaan tenang dengan iman.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kembali mengatakan,
“Kalau mereka memaksa (menyiksa) lagi, silakan engkau mengulanginya lagi seperti tadi.”
(HR. Al-Hakim dalam Al-Mustadrak, 2: 389; Al-Baihaqi dalam Sunan Al-Kubra, 8: 208. Sanad
hadits ini dha’if. Namun ada banyak jalur periwayatan kisah ini. Intinya kisah ini masih
memiliki asal. Ibnu Hajar dalam Fath Al-Bari, 12: 312 menyatakan bahwa hadits ini termasuk
hadits mursal yang saling menguatkan satu dan lainnya)
Ibnu Hazm juga menyatakan ada klaim ijmak dalam hal ini. Beliau berkata dalam Maratib Al-
Ijma’, hlm. 61,
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam kitabnya Al-Istiqamah (2: 210) berkata,
ٍقPQٍّ ِق ال ُم ْكرَ ِه ِب َغي ِْر َحPQِّ وَ ِل َه َذا لَ ْم َي ُكنْ ِع ْن َدنَا ِنزَ ا ٌع ِفي َأنَّ األَ ْقوَ ا َل الَ يَ ْثبُتُ ُح ْك ُم َها ِفي َح
“Oleh karena itu, kami tidak ada silang pendapat mengenai hukum bagi orang yang dipaksa
tanpa jalan yang benar bahwa tidak dikenakan hukum padanya.”
ِ لَ ْم ي: وَ اتَّ َف َق ال ُف َق َها ُء عَ لَى َأنَّ مَنْ أُ ْك ِر َه عَ لَى ال ُك ْف ِر َف َأتَى ِب َك ِل َم ِة ال ُك ْف ِر
َصرْ َكا ِفر ًا
“Para fuqaha sepakat bahwa siapa yang dipaksa untuk melakukan suatu kekufuran lantas ia
mengucapkan kalimat kufur, maka tidak divonis sebagai orang kafir.”
Imam Ibnu Jarir Ath-Thabari rahimahullah dalam kitab tafsirnya (14: 223) mengatakan, Ibnu
‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma menyatakan bahwa siapa saja yang kufur setelah sebelumnya
ia beriman, maka baginya murka Allah dan baginya siksa yang pedih. Namun siapa yang
dipaksa untuk mengucapkan kalimat kufur, namun hatinya tetap masih dalam keadaan
iman, ia mengucapkannya hanya ingin menyelamatkan diri dari musuhnya, maka seperti itu
tidaklah mengapa. Karena Allah Ta’ala menghukumi hamba hanya karena kekufuran yang ia
ridhai dalam hatinya.
Pemaksaan pertama disebut ikrahan tamman, yaitu pemaksaan sempurna, artinya benar-
benar menghadapi bahaya besar. Seperti dipaksa dengan dibunuh, dipotong, dipukul yang
dapat membahayakan jiwa atau anggota badan, baik dengan sedikit atau banyak pukulan.
Pemaksaan kedua disebut ikrahan naqishan, yaitu pemaksaan yang tidak sempurna, artinya
tidak benar-benar mengancam jiwa. Seperti dipenjara, dirantai, atau pukulan yang tidak
sampai membahayakan jiwa atau anggota badan.
Para ulama menyatakan bahwa yang disebut pemaksaan yang boleh melakukan perbuatan
kekufuran atau mengucapkan kata kufur adalah pemaksaan pertama, yaitu pemaksaan
sempurna (ikrahan tamman). Namun syarat disebut ikrahan tamman adalah:
1. Ancaman yang diberikan benar-benar berdampak bahaya pada jiwa atau anggota
badan.
3. Yang dipaksa benar-benar tidak mampu untuk menolak ancaman pada dirinya,
baik dengan melarikan diri atau meminta pertolongan pada yang lain.
4. Yang dipaksa punya sangkaan kuat bahwa ancaman tersebut benar-benar bisa
diwujudkan oleh yang memaksa.
Memilih mati
Bolehkah bagi yang diancam memilih untuk bersabar dan terus terkena bahaya dan terus
disakiti, andai juga ia terbunuh ketika itu?
Iya, boleh memilih seperti itu. Bilal bin Rabbah radhiyallahu ‘anhu dan lainnya pernah
memilih seperti itu.
Ibnu Katsir rahimahullah menyatakan, seseorang boleh memilih untuk mati ketika diancam
untuk mengatakan kalimat kufur. Seperti yang dipilih oleh Bilal. Ia enggan mengucapkan
kalimat kufur. Sampai-sampai orang kafir meletakkan batu yang besar di dadanya dalam
keadaan panas. Mereka terus memaksa Bilal untuk berbuat syirik pada Allah, namun Bilal
enggan menuruti keinginan mereka. Bilal tetap mengatakan, “Ahad, Ahad (artinya: Esa, Esa).”
Bilal mengatakan, “Demi Allah, seandainya aku tahu suatu kalimat yang akan membuat
kalian lebih marah dari kalimat itu, tentu aku akan mengucapkannya.” Semoga Allah
meridhai Bilal.” (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 4: 715)
Semoga bahasan ini bermanfaat.
2. Al-Haram fii Asy-Syari’ah Al-Islamiyah. Cetakan pertama, tahun 1432 H. Dr. Qutb
Ar Risuni, terbitan Dar Ibni Hazm.
3. Al-Mawshu’ah Al-Fiqhiyyah. Penerbit Kementrian Agama Kuwait.
9. Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim. Cetakan pertama, tahun 1431 H. Imam Ibnu Katsir.
Penerbit Dar Ibnul Jauzi.
Sumber https://rumaysho.com/25032-hadits-arbain-39-tidak-sengaja-lupa-dipaksa-berarti-tidak-terkena-
dosa.html