Anda di halaman 1dari 15

Hadits Arbain #39: Tidak Sengaja,

Lupa, Dipaksa Berarti Tidak


Terkena Dosa
Muhammad Abduh Tuasikal, MSc  Follow on TwitterSend an emailJune 23, 2020

0 19,197 15 minutes read

Tidak sengaja, lupa, dipaksa tidak terkena dosa, apa maksudnya Yuk kita kaji dari hadits
Arbain #39 kali ini.
Baca pembahasan sebelumnya: Hadits Arbain #38: Menjadi Wali Allah dengan Amalan
Wajib dan Sunnah
Daftar Isi  buka 

Hadits Arbain #39


:‫هللا تَ َجاوَ زَ ِلي عَ نْ أُ َّم ِتي‬َ َّ‫«إن‬ ِ :‫هللا ﷺ َقال‬ ِ ‫ َأنَّ رَ سُو َل‬،‫هللا عَ ْن ُهمَا‬ ُ ‫ي‬ َ ‫ض‬ ِ َ‫َّاس ر‬ ٍ ‫ْن عَ ب‬
ِ ‫عَ ِن اب‬
‫ي وَ َغيْرُ ُهمَا‬
ُّ ‫َاج ْه وَ البَ ْي َه ِق‬ ٌ ‫سْ يَانَ وَ مَا اسْ تُ ْك ِرهُوا عَ لَ ْي ِه» َح ِدي‬PQ‫الخَ ط َ َأ وَ ال ِِّن‬.
َ ‫ْث َحسَنٌ رَ وَ ا ُه ابْنُ م‬
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah memaafkan umatku ketika ia tidak sengaja,
lupa, dan dipaksa.” (Hadits hasan, HR. Ibnu Majah no. 2045, Al-Baihaqi VII/356, dan
selainnya)
 

Keterangan hadits
Tajaawaza: memaafkan
‘an ummati: ummatil ijabah, ummat yang menerima dakwah.
 

Faedah hadits
1. Luasnya rahmat Allah pada hamba-Nya.

2. Allah memaafkan hamba ketika keliru, lupa, atau dipaksa.

3. Pemaafan dan kemudahan adalah kekhususan umat ini.


4. Syariat datang untuk mengangkat kesulitan. Maka konsekuensinya, dosa diangkat
dari orang yang tidak berniat yaitu saat keliru, lupa, atau dipaksa.

Kaedah dari hadits


Segala yang haram yang dikerjakan hamba karena tidak tahu (jahil), lupa, atau dipaksa,
maka tidak dikenakan dosa.

Ketika Lupa
Lupa secara bahasa berarti meninggalkan. Seperti dalam ayat,

‫نَسُوا اللَّ َه َفنَ ِسيَ ُه ۗ ْم‬


“Mereka telah lupa kepada Allah, maka Allah melupakan mereka.” (QS. At-Taubah: 67).
Maksud nisyan dalam ayat ini adalah meninggalkan.
Secara istilah, Ibnu Nujaim mengatakan tentang nisyan adalah,
‫اج ِت ِه ِإلَ ْي ِه‬ َ ‫شيْ ِء وَ ْق‬
َ ‫ت َح‬ َّ ‫عَ َد ُم تَ َذ َّك ُر ال‬
“Tidak mengingat sesuatu pada waktu ia membutuhkannya.”

Pengaruh Lupa
Ulama Syafi’iyah dan ulama Hambali dalam pendapat sahih menurut mereka, orang yang
lupa berarti telah bebas dari mukallaf (pembebanan syariat) ketika ia lupa. Karena
mengerjakan suatu perintah harus dengan didasari ilmu.

Adapun pengaruh hukum terhadap yang lupa:


Pertama: Hukum ukhrawi
Sepakat para ulama bahwa orang yang lupa tidak dikenakan dosa sama sekali. Sebagaimana
firman Allah,
‫رَ بَّنَا الَ ت َُؤا ِخ ْذنَا ِإنْ نَ ِسينَا َأوْ َأخْ ط َ ْأنَا‬
“Ya Rabb kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah.” (QS. Al-
Baqarah: 286)
Dalam hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ketika turun firman Allah Ta’ala,

‫َت رَ بَّنَا الَ ت َُؤا ِخ ْذنَا ِإنْ نَ ِسينَا َأوْ َأخْ ط َ ْأنَا‬ َ َ‫َت وَ عَ لَ ْي َها مَا ا ْكت‬
ْ ‫سب‬ َ ‫س َع َها لَ َها مَا َك‬
ْ ‫سب‬ ْ ‫ِّفُ اللَّ ُه نَ ْفسًا ِإالَّ ُو‬QP‫الَ يُ َكِل‬
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat
pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang
dikerjakannya. (Mereka berdoa): “Ya Rabb kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami
lupa atau kami tersalah.” (QS. Al-Baqarah: 286). Lalu Allah menjawab, aku telah
mengabulkannya.” (HR. Muslim, no. 125).
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma secara marfu’, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
ْ PQ‫ِإنَّ اللَّ َه وَ ضَ عَ عَ نْ أُ َّم ِتى ا ْلخَ ط َ َأ وَ ال ِِّن‬
‫سيَانَ وَ مَا اسْ تُ ْك ِرهُوا عَ لَ ْي ِه‬
“Sesungguhnya Allah menghapuskan dari umatku dosa ketika mereka dalam keadaan keliru,
lupa dan dipaksa.” (HR. Ibnu Majah, no. 2045. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini
sahih).
Ibnu Taimiyah berkata tentang masalah ini,

ِ َ‫مَنْ َف َع َل م َْحظُورً ا مُخْ ِطئًا َأوْ ن‬


‫اسيًا لَ ْم ي َُؤا ِخ ْذ ُه اللَّ ُه ِب َذ ِلكَ وَ ِحينَ ِئ ٍذ يَ ُكونُ ِب َم ْن ِزلَ ِة مَنْ لَ ْم يَ ْف َع ْل ُه فَاَل يَ ُكونُ عَ لَ ْي ِه إ ْث ٌم‬
‫ي‬َ ‫ي عَ ْن ُه وَ ِحينَ ِئ ٍذ َفيَ ُكونُ َق ْد َف َع َل مَا أُ ِمرَ ِب ِه وَ لَ ْم يَ ْفعَلْ مَا ن ُِه‬ َ ‫اصيًا وَ اَل مُرْ تَ ِكبًا ِلمَا ن ُِه‬ ِ َ‫وَ مَنْ اَل إ ْث َم عَ لَ ْي ِه لَ ْم يَ ُكنْ ع‬
‫َات إ َذا لَ ْم يَ ْفعَلْ مَا أُ ِمرَ ِب ِه َأوْ َف َع َل مَا ُح ِظرَ عَ لَ ْي ِه‬ ِ ‫ وَ ِم ْث ُل َه َذا اَل يُب ِْط ُل ِعبَا َدتَ ُه إنَّمَا يُب ِْط ُل ا ْل ِعبَاد‬. ‫عَ ْن ُه‬
“Siapa saja yang melakukan perkara yang dilarang dalam keadaan keliru atau lupa, Allah
tidak akan menyiksanya karena hal itu. Kondisinya seperti tidak pernah berbuat kesalahan
tersebut sehingga ia tidak dihukumi berdosa. Jika tidak berdosa, maka tidak disebut ahli
maksiat dan tidak dikatakan terjerumus dalam dosa. Jadi ia masih dicatat melakukan yang
diperintah dan tidak mengerjakan yang dilarang. Semisal dengan ini tidak membatalkan
ibadahnya. Ibadah itu batal jika tidak melakukan yang Allah perintahkan atau melakukan
yang dilarang.” (Majmu’ah Al-Fatawa, 25:226).
 

Kedua: Hukum duniawi


Jika itu berkaitan dengan meninggalkan perintah karena lupa, maka tidaklah gugur, bahkan
harus dilakukan ketika ingat.

Jika itu berkaitan dengan melakukan larangan dalam keadaan lupa selama bukan
pengrusakan, maka tidak dikenakan apa-apa.

Jika itu berkaitan dengan melakukan larangan dalam keadaan lupa dan ada pengrusakan,
maka tetap ada dhaman (ganti rugi).

Kaedah membedakan lupa dalam perintah dan larangan


Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Perbedaan penting yang perlu diperhatikan bahwa
siapa yang melakukan yang haram dalam keadaan lupa, maka ia seperti tidak
melakukannya. Sedangkan yang meninggalkan perintah karena lupa, itu bukan alasan
gugurnya perintah. Namun bagi yang mengerjakan larangan dalam keadaan lupa, maka itu
uzur baginya sehingga tidak terkenai dosa.” (I’lam Al-Muwaqi’in, 2:51).
Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,
‫ا عَ ْن ُه‬PQًّ‫اسيًا لَ ْم َي ُكنْ َق ْد َف َع َل َم ْن ِهًي‬
ِ َ‫مَنْ َف َع َل م َْحظُورً ا ن‬
“Barangsiapa melakukan suatu yang terlarang karena lupa, maka ia tidak dikatakan
melakukan suatu yang terlarang.” (Majmu’ah Al-Fatawa, 20:573)
 

Beberapa bentuk lupa


Pertama: Lupa dengan meninggalkan perintah
1. Lupa membaca bismillah pada awal wudhu
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫الَ صَ الَ َة ِلمَنْ الَ ُوضُو َء لَ ُه وَ الَ وُضُو َء ِلمَنْ لَ ْم يَ ْذ ُك ِر اسْ َم اللَّ ِه تَعَالَى عَ لَ ْي ِه‬
“Tidak ada shalat bagi yang tidak ada wudhu. Tidak ada wudhu bagi yang tidak membaca
bismillah di dalamnya.” (HR. Abu Daud, no. 101 dan Ibnu Majah, no. 399. Al-Hafizh Abu
Thahir mengatakan bahwa hadits ini hasan).
Kalau dilihat dari hadits-hadits yang ada yang semisal dengan hadits di atas, dapat
dikatakan bahwa haditsnya saling menguatkan satu dan lainnya. Ibnu Hajar Al-Asqalani
berkata, “Nampak bahwa dilihat dari berbagai macam jalur, hadits yang membicarakan
anjuran bismillah saat wudhu saling menguatkan, yang menunjukkan adanya ajaran akan hal
itu.” (Talkhish Al-Habir, 1:128).
Sebagian ulama mendhaifkan hadits di atas, namun dari berbagai jalur, hadits menjadi kuat.
Sedangkan penafian (peniadaan) yang disebutkan dalam hadits adalah kesempurnaan. Jadi
maksudnya adalah tidak sempurna wudhunya. Karena ada hadits-hadits yang
membicarakan tentang wudhu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti hadits ‘Abdullah bin
Zaid, ‘Utsman bin ‘Affan, dan juga Ibnu ‘Abbas, tidak menyebutkan bismilah di dalamnya.
Sehingga penafian yang ada dimaknakan, tidak sempurna. Jadi tetap ada anjuran membaca
bismillah di awal wudhu, namun tidak menunjukkan wajib.

Ulama Syafi’iyah dan madzhab Imam Ahmad berpendapat bahwa membaca bismillah pada
awal wudhu termasuk perkara sunnah. Jika lupa membacanya di awal wudhu, maka boleh
dibaca kapan pun saat wudhu sebelum wudhu selesai. Jika meninggalkan membaca
bismillah karena lupa, maka sah wudhunya.

2. Lupa mengerjakan shalat wajib


Para ulama sepakat bahwa siapa saja yang lupa shalat fardhu, wajib ia mengqadha’nya.

Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,


‫ َها ِإ َذا َذ َكرَ َها َف ِإنَّ اللَّ َه يَقُو ُل َأ ِق ِم الصَّ الَ َة ِل ِذ ْك ِرى‬QP‫ِإ َذا رَ َق َد َأ َح ُد ُك ْم عَ ِن الصَّ الَ ِة َأوْ َغ َف َل عَ ْن َها َف ْليُصَ ِِّل‬
“Jika salah seorang di antara kalian tertidur dari shalat atau ia lupa dari shalat, maka
hendaklah ia shalat ketiak ia ingat. Karena Allah berfirman (yang artinya): Kerjakanlah shalat
ketika ingat.” (QS. Thaha: 14) (HR. Muslim, no. 684)

Cara mengqadha’nya jika yang lupa lebih dari satu shalat, bisa dengan petunjuk dari Syaikh
‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di berikut ketika beliau mengatakan dalam Manhajus
Salikin,
‫بًا‬QP‫ وَ َجبَ عَ لَ ْي ِه َقضَ ا ُؤ َها َفوْ رً ا مُرَ ِِّت‬P‫وَ مَنْ َفاتَ ْت ُه صَ اَل ٌة‬
‫اضرَ ِة‬ َ َ‫س َقط َ التَّرْ ِتيْبُ بَ ْينَ َها وَ بَيْن‬
ِ ‫الح‬ َ ‫صالَ ِة‬ َّ ‫ت ال‬َ ْ‫ي َأوْ َج ِهلَ ُه َأوْ خَ افَ َفو‬
َ ‫َف ِإنْ نَ ِس‬
“Siapa yang luput dari shalat, wajib baginya untuk mengqadha’nya segera secara berurutan.
Jika ia lupa, tidak tahu, atau khawatir luput dari shalat hadhirah  (yang saat ini ada), maka
gugurlah tartib (berurutan) antara shalat yang luput tadi dan shalat yang hadhirah (yang
saat ini ada).”
 

3. Lupa salah satu bagian shalat


Sebagaimana dikatakan oleh Al-Qadhi Abu Syuja’ dalam Matan Al-Ghayah wa At-Taqrib,
ketentuan mengenai perkara yang tertinggal dalam shalat ada tiga yaitu: fardhu, sunnah
ab’adh, dan sunnah hai’at.

Jika termasuk fardhu (rukun shalat), apabila tertinggal dalam shalat, maka tidak bisa
digantikan dengan sujud sahwi. Akan tetapi jika seseorang teringat sementara jarak waktu
masih memungkinkan untuk mengerjakannya, dia harus mengerjakan perkara tersebut dan
di akhir melakukan sujud sahwi.

Jika termasuk sunnah ab’adh (seperti tasyahud awwal, duduk tasyahud awwal, shalawat
kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada tasyahud awal, shalawat kepada keluar Nabi
pada tasyahud awal dan akhir, pen.), lalu tertinggal dalam shalat, maka tidak perlu diulang
apabila yang rukun (fardhu) sudah dikerjakan. Akan tetapi di akhir, harus melakukan sujud
sahwi.

Jika termasuk dalam sunnah hai’at, maka perkara yang tertinggal tersebut tidak perlu
diulang setelah tertinggal dan seseorang tidak perlu melakukan sujud sahwi.

Sebab melakukan sujud sahwi menurut ulama Syafi’iyah ada empat:

1. Meninggalkan salah satu dari sunnah ab’adh seperti tasyahud awal.

2. Ragu mengenai jumlah rakaat.


3. Melakukan sesuatu yang terlarang dalam shalat karena lupa; jika dilakukan
sengaja, akan membatalkan shalat seperti menambah rakaat jadi lima dalam
shalat Zhuhur karena lupa.

4. Memindahkan yang merupakan fi’il (perbuatan) shalat baik rukun shalat atau
sunnah ab’adh atau memindahkan membaca surat bukan pada tempatnya seperti
membaca Al-Fatihah ketika tasyahud, membaca surat pendek ketika I’tidal.
(Lihat Al-Fiqh Al-Manhaji, 1:173-174)
Cara melakukan sujud sahwi:
Sujud sahwi dilakukan dengan dua kali sujud seperti sujud saat shalat. Yang ingin
melakukannya berniat untuk sujud sahwi. Sujud sahwi dilakukan di akhir shalat sebelum
salam. Jika seseorang yang shalat mengucapkan salam sebelum sujud sahwi dengan sengaja
atau lupa, dan jedanya sudah begitu lama, maka sujud sahwi jadi gugur. Jika jaraknya masih
dekat, maka sujud sahwi tetap dilakukan dengan dua kali sujud dengan niatan sujud sahwi,
lalu salam. Inilah penjelasan dalam madzhab Syafi’i sebagaimana disebutkan dalam Al-Fiqh
Al-Manhaji, hlm. 174.

Dalam Mughni Al-Muhtaj–salah satu kitab fiqih Syafi’iyah–disebutkan, “Tata cara sujud
sahwi sama seperti sujud ketika shalat dalam perbuatann wajib dan sunnahnya, seperti
meletakkan dahi, thuma’ninah(bersikap tenang), menahan sujud, menundukkan kepala,
melakukan duduk iftirosy ketika duduk antara dua sujud sahwi, duduk tawarruk ketika
selesai dari melakukan sujud sahwi, dan dzikir yang dibaca pada kedua sujud tersebut
adalah seperti dzikir sujud dalam shalat.”

Baca Juga: Manhajus Salikin: Sujud Sahwi


4. Lupa membaca bismillah ketika makan
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‫ى َأنْ يَ ْذ ُكرَ اسْ َم اللَّ ِه تَعَالَى ِفى َأ َّو ِل ِه َف ْليَقُلْ ِبسْ ِم اللَّ ِه َأوَّ لَ ُه وَ آ ِخرَ ُه‬ ْ ‫ِإ َذا َأ َك َل َأ َح ُد ُك ْم َف ْليَ ْذ ُك ِر ا‬
َ ‫س َم اللَّ ِه تَعَالَى َف ِإنْ نَ ِس‬
“Apabila salah seorang di antara kalian makan, maka hendaknya ia menyebut nama Allah
Ta’ala. Jika ia lupa untuk menyebut nama Allah Ta’ala di awal, hendaklah ia mengucapkan:
‘BISMILLAAH AWWALAHU WA AAKHIROHU (dengan nama Allah pada awal dan akhirnya).’”
(HR. Abu Daud, no. 3767 dan Tirmidzi, no. 1858. Tirmidzi mengatakan hadits tersebut hasan
sahih. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits tersebut sahih).
Dalam lafazh lain disebutkan,
‫سْم اللَّه ِفي َأوَّله وَ آ ِخره‬
ِ ‫ ِب‬: ْ‫ي ِفي َأوَّله َف ْليَقُل‬ ْ ‫ِإ َذا َأ َك َل َأ َحد ُك ْم طَعَامًا َف ْليَقُلْ ِب‬
َ ‫ َف ِإنْ نَ ِس‬، ‫س ِم اللَّه‬
“Apabila salah seorang di antara kalian makan, maka hendaknya ia ucapkan “Bismillah”. Jika
ia lupa untuk menyebutnya, hendaklah ia mengucapkan: BISMILLAAH FII AWWALIHI WA
AAKHIRIHI (dengan nama Allah pada awal dan akhirnya).” (HR. Tirmidzi no. 1858, Abu Daud
no. 3767 dan Ibnu Majah no. 3264. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits
ini sahih dan Syaikh Al Albani menyatakan hadits ini sahih).

Kedua: Lupa dengan melakukan larangan


1. Makan dan minum dalam keadaan lupa saat puasa
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
َ َ‫ َف ِإنَّمَا َأطْ َع َم ُه َاللَّ ُه و‬,ُ‫ َف ْليُ ِت َّم صَ وْ َمه‬, َ‫ش ِرب‬
‫س َقا ُه‬ َ ْ‫ َف َأ َك َل َأو‬,‫ي وَ ُهوَ صَ ا ِئ ٌم‬
َ ‫مَنْ نَ ِس‬
“Barangsiapa yang lupa sedang ia dalam keadaan puasa lalu ia makan atau minum, maka
hendaklah ia sempurnakan puasanya karena kala itu Allah yang memberi ia makan dan
minum.” (HR. Bukhari, no. 1933 dan Muslim, no. 1155).

2. Berbicara dalam shalat dalam keadaan lupa


Dari Mu’awiyah bin Hakam As-Sulamiy radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku ketika itu shalat
bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu ada seseorang yang bersin dan ketika itu aku
menjawab ‘yarhamukallah’ (semoga Allah merahmatimu). Lantas orang-orang memalingkan
pandangan kepadaku. Aku berkata ketika itu,

َّ َ‫ش ْأنُ ُك ْم تَ ْنظُرُونَ ِإل‬


‫ى‬ َ ‫ِميَا ْه مَا‬PQِّ ُ‫وَ اثُ ْك َل أ‬
“Aduh, celakalah ibuku! Mengapa Anda semua memandangku seperti itu?” Mereka bahkan
menepukkan tangan mereka pada paha mereka. Setelah itu barulah aku tahu bahwa mereka
menyuruhku diam. Lalu aku diam. Tatkala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selesai
shalat, ayah dan ibuku sebagai tebusanmu (ungkapan sumpah Arab), aku belum pernah
bertemu seorang pendidik sebelum dan sesudahnya yang lebih baik pengajarannya
daripada beliau. Demi Allah! Beliau tidak menghardikku, tidak memukul, dan tidak
memakiku. Beliau bersabda saat itu,

ِ ْ‫َّسْبيحُ وَ التَّ ْك ِبيرُ وَ ِقرَ ا َء ُة ا ْلقُر‬


‫آن‬ َ ‫ِإنَّ َه ِذ ِه الصَّ الَ َة الَ يَصْ لُ ُح ِفي َها‬
ِ ‫شىْ ٌء ِمنْ َكالَ ِم الن‬
ِ ‫َّاس ِإنَّمَا ُهوَ الت‬
‘Sesungguhnya shalat ini, tidak pantas di dalamnya ada percakapan manusia, karena shalat
itu hanyalah tasbih, takbir dan membaca Al-Qur’an.’” (HR. Muslim, no. 537)
Menurut ulama Malikiyah dan Syafi’iyah bahwa siapa yang berbicara ketika shalat dalam
keadaan lupa, shalatnya tidaklah batal asalkan kata-kata yang keluar sedikit dan nantinya
ditutup kealpaan tersebut dengan sujud sahwi. Jika kata-kata yang keluar banyak, shalatnya
batal.

3. Baru mengetahui adanya najis setelah shalat


Barangsiapa yang lupa membersihkan diri dari najis lalu ia shalat dalam keadaan lupa, maka
shalatnya sah. Masalah najis berkaitan dengan larangan ketika shalat. Ketika dilakukan
diterjang dalam keadaan lupa, maka shalatnya tetap sah dan tidak perlu diulangi. Hal ini
menjadi pendapat Syafi’i yang qadim. Dalil dari hal ini adalah hadits ketika Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam melepas sandal saat shalat. Hadits lengkapnya sebagaimana berikut ini.

Dari Abu Sa’id radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,


َ‫َار ِه َفلَمَّا رَ َأى َذ ِلك‬ َ
ِ ‫ي ِبأصْ َح ِاب ِه ِإ ْذ خَ لَعَ نَعْ لَ ْي ِه َفوَ ضَ َع ُهمَا عَ نْ يَس‬PQ‫سلَّ َم يُصَ ِِّل‬ َ َ‫بَ ْينَمَا رَ سُو ُل اللَّ ِه صَ لَّى اللَّ ُه عَ لَ ْي ِه و‬
‫سلَّ َم صَ اَل تَ ُه َقا َل مَا َح َملَ ُك ْم عَ لَى ِإ ْل َقا ِء ِنعَا ِل ُك ْم َقالُوا‬ َ َ‫ا ْل َقوْ ُم َأ ْل َقوْ ا ِنعَالَ ُه ْم َفلَمَّا َقضَ ى رَ سُو ُل اللَّ ِه صَ لَّى اللَّ ُه عَ لَ ْي ِه و‬
َ َ َ َ َ‫ْت نَعْ لَيْكَ َف َأ ْل َق ْينَا ِنعَالَنَا َف َقا َل رَ سُو ُل اللَّ ِه صَ لَّى اللَّ ُه عَ لَ ْي ِه و‬
َ ‫رَ َأ ْينَاكَ َأ ْل َقي‬
‫يهمَا‬ ِ ‫سلَّ َم ِإنَّ ِجب ِْري َل أتَا ِني َفأخْ بَرَ ِني أنَّ ِف‬
‫ِل‬PQِّ َ‫س ِج ِد َف ْليَ ْنظُرْ َف ِإنْ رَ َأى ِفي نَعْ لَ ْي ِه َق َذرً ا َأوْ َأ ًذى َف ْليَمْ س َْح ُه وَ ْليُص‬ ْ ‫َق َذرً ا َأوْ َقا َل َأ ًذى وَ َقا َل ِإ َذا َجا َء َأ َح ُد ُك ْم ِإلَى ا ْل َم‬
‫يهمَا‬
ِ ‫ِف‬
“Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat bersama shahabatnya, tiba-tiba dia
melepaskan kedua sandalnya dan meletakkannya di sebelah kirinya. Ketika para shahabat
melihatnya, mereka pun melepas sandalnya. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
selesai shalat, beliau berkata, ‘Apa yang membuat kalian melepas sandal kalian?’ Mereka
berkata, ‘Kami lihat engkau melepas sandalmu, maka kamipun melepas sandal kami.’ Lalu
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Sesungguhnya Jibril mendatangiku dan
mengabarkan kepadaku bahwa pada kedua sandalku terdapat kotoran. Dan dia berkata,
‘Jika kalian mendatangi masjid, hendaknya memperhatikan, jika pada sandalnya terdapat
najis atau kotoran hendaknya dia bersihkan, lalu shalat dengan memakai keduanya.” (HR.
Abu Daud, no. 650. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini sahih)
Baca Juga: Safinatun Najah: Uzur Shalat yaitu Tidur dan Lupa
Ketika Tidak Sengaja
Yang dimaksud di sini adalah tidak punya maksud untuk melakukan sesuatu. Bukan yang
dimaksud dengan khatha’ di sini adalah lawan dari benar atau berarti salah.

Sesuatu ketidaksengajaan tidaklah dikenakan dosa sebagaimana disebutkan dalam ayat,

‫رَ بَّنَا اَل ت َُؤا ِخ ْذنَا ِإنْ نَ ِسينَا َأوْ َأخْ ط َ ْأنَا‬
“Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tidak sengaja.”
(QS. Al-Baqarah: 286). Dalam hadits disebutkan bahwa Allah telah memenuhi hal tersebut.
Dalam hadits disebutkan,

‫سْ يَانَ وَ مَا اسْ تُ ْك ِرهُوا عَ لَ ْي ِه‬PQ‫ِإنَّ اللَّ َه تَ َجاوَ زَ عَ نْ ُأ َّم ِتى ا ْلخَ ط َ َأ وَ ال ِِّن‬
“Sesungguhnya Allah memaafkan umatku ketika ia tidak sengaja, lupa atau dipaksa.” (HR.
Ibnu Majah, no. 2043. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini sahih karena
memiliki penguat dari jalur lainnya)
 

Apakah kalau tidak sengaja dikenakan ganti rugi?


Hal ini perlu dirinci.

Pertama, jika terkait dengan hak sesama manusia. Ada dua hal yang perlu diperhatikan:

1. Jika memang perbuatan tersebut diizinkan, ia sengaja melakukan, namun tidak


sengaja merusak, ketika itu tidak ada dhaman (ganti rugi). Contoh seperti yang
dilakukan oleh seorang tabib atau dokter, atau orang yang menjadi wakil (diserahi
tanggung jawab) lalu tidak sengaja merusak. Karena kaedahnya, sesuatu yang
dibolehkan oleh syari’at mengakibatkan tidak ada dhaman (ganti rugi).

2. Jika memang perbuatan tersebut tidak diizinkan, maka dikenakan dhaman (ganti
rugi). Contoh orang yang tidak sengaja membunuh orang lain walaupun tidak
dikenakan qishash (nyawa dibalas nyawa), namun tetap dikenakan dhaman (ganti
rugi) yaitu dikenakan diyyat.

Kedua, jika terkait dengan hak Allah, maka tidak ada hukuman had. Namun apakah ada
dhaman (ganti rugi)? Hal ini perlu dirinci.

1. Jika tidak ada itlaf (pengrusakan) seperti seseorang yang tidak sengaja menutup
kepalanya saat ihram atau memakai baju saat ihram (padahal tidak boleh
mengenakan pakaian yang membentuk lekuk tubuh seperti baju, pen.), maka
tidak ada kafarah

2. Jika ada itlaf (pengrusakan) seperti memotong kuku saat ihram atau memotong
rambut saat ihram atau berburu hewan saat ihram, maka ada beda pendapat jika
dilakukan tidak sengaja untuk kasus kedua ini. Pendapat yang lebih kuat adalah
tetap dikenakan kafarah.

Baca Juga: Kaedah Fikih (26): Merusak Tetapi Tidak Perlu Ganti Rugi
Adapun yang dimaksud dengan kafarah atau fidyah:
Fidyah karena melakukan larangan ihram yaitu mencukur rambut, memotong kuku,
memakai harum-haruman, mencumbu istri dengan syahwat, memakai pakaian berjahit yang
membentuk lekuk tubuh bagi laki-laki, memakai sarung tangan, menutup rambut kepala,
dan memakai niqob bagi wanita.

Bentuk fidyah dari setiap pelanggaran ini adalah memilih salah satu dari tiga hal:

1. Menyembelih satu ekor kambing

2. Memberi makan kepada enam orang miskin

3. Berpuasa selama tiga hari

Ketika Dipaksa
Bagaimana jika ada yang dipaksa dengan ancaman dibunuh untuk mengucapkan kalimat
kufur, lantas ia mengucapkannya? Atau bagaimana jika ia dipaksa untuk murtad?

Tentang masalah tersebut, mari kita perhatikan dalil-dalil berikut ini.


ٌ‫شرَ َح ِبا ْل ُك ْف ِر صَ دْرً ا َف َعلَي ِْه ْم َغضَ ب‬
َ ‫َان وَ لَ ِكن مَّن‬ ُ
ِ ‫مَن َك َفرَ ِباللَّ ِه ِمن بَ ْع ِد إيمَا ِن ِه ِإالَّ مَنْ أ ْك ِر َه وَ َق ْلبُ ُه ُمطْ َمئِنٌّ ِب‬
ِ ‫اإليم‬
‫ِمنَ اللَّ ِه وَ لَ ُه ْم عَ َذابٌ عَ ِظي ٌم‬PQِّ
“Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah),
kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak
berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan
Allah menimpanya dan baginya azab yang besar.” (QS. An-Nahl: 106)
Dalam hadits disebutkan bahwa orang-orang musyrik pernah menyiksa ‘Ammar bin Yasir. Ia
tidaklah dilepas sampai mencela Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menyanjung dengan
kebaikan pada sesembehan orang musyrik. Lalu setelah itu ia pun dilepas. Ketika ‘Ammar
mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka ia pun ditanya oleh Rasul, “Apa
yang terjadi padamu?” “Sial, wahai Rasulullah. Aku tidaklah dilepas sampai aku mencelamu
dan menyanjung-nyanjung sesembahan mereka.”

‫ « ِإنْ عَ ادُوا َف ُع ْد‬: ‫َان َقا َل‬ ِ ‫ ُمطْ َمئِنٌّ ِب‬: ‫ « َكيْفَ تَ ِج ُد َق ْلبَكَ ؟ » َقا َل‬: ‫» َقا َل‬
ِ ‫اإل ْيم‬
Rasul balik bertanya, “Bagaimana hatimu saat itu?” Ia menjawab, “Hatiku tetap dalam
keadaan tenang dengan iman.”  Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kembali mengatakan,
“Kalau mereka memaksa (menyiksa) lagi, silakan engkau mengulanginya lagi seperti tadi.”
(HR. Al-Hakim dalam Al-Mustadrak, 2: 389; Al-Baihaqi dalam Sunan Al-Kubra, 8: 208. Sanad
hadits ini dha’if. Namun ada banyak jalur periwayatan kisah ini. Intinya kisah ini masih
memiliki asal. Ibnu Hajar dalam Fath Al-Bari, 12: 312 menyatakan bahwa hadits ini termasuk
hadits mursal yang saling menguatkan satu dan lainnya)

Ibnu Hazm juga menyatakan ada klaim ijmak dalam hal ini. Beliau berkata dalam Maratib Al-
Ijma’, hlm. 61,

‫هللا تَعَالَى‬ َ ‫َان َأنَّ ُه اَل يَ ْلزَ مْ ُه‬


ِ ‫شيْ ٌء ِمنَ ا ْل ُك ْف ِر ِع ْن َد‬ ِ ‫اتَّ َفقُوْ ا عَ لَى َأنَّ ا ْل ُم ْكرَ َه عَ لَى ا ْل ُك ْف ِر وَ َق ْلبُ ُه ُمطْ َمئِنٌّ ِبا‬
ِ ‫ال ْيم‬
“Para ulama sepakat bahwa orang yang dipaksa berbuat kufur sedangkan hatinya dalam
keadaan tenang di atas iman, ia tidak dihukumi kufur di sisi Allah Ta’ala.”

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam kitabnya Al-Istiqamah (2: 210) berkata,

‫ٍق‬PQٍّ ‫ِق ال ُم ْكرَ ِه ِب َغي ِْر َح‬PQِّ ‫وَ ِل َه َذا لَ ْم َي ُكنْ ِع ْن َدنَا ِنزَ ا ٌع ِفي َأنَّ األَ ْقوَ ا َل الَ يَ ْثبُتُ ُح ْك ُم َها ِفي َح‬
“Oleh karena itu, kami tidak ada silang pendapat mengenai hukum bagi orang yang dipaksa
tanpa jalan yang benar bahwa tidak dikenakan hukum padanya.”

Juga dalam Ensiklopedia Fikih, Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah (22: 182) disebutkan,

ِ ‫ لَ ْم ي‬: ‫وَ اتَّ َف َق ال ُف َق َها ُء عَ لَى َأنَّ مَنْ أُ ْك ِر َه عَ لَى ال ُك ْف ِر َف َأتَى ِب َك ِل َم ِة ال ُك ْف ِر‬
‫َصرْ َكا ِفر ًا‬
“Para fuqaha sepakat bahwa siapa yang dipaksa untuk melakukan suatu kekufuran lantas ia
mengucapkan kalimat kufur, maka tidak divonis sebagai orang kafir.”

Imam Ibnu Jarir Ath-Thabari rahimahullah dalam kitab tafsirnya (14: 223) mengatakan, Ibnu
‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma menyatakan bahwa siapa saja yang kufur setelah sebelumnya
ia beriman, maka baginya murka Allah dan baginya siksa yang pedih. Namun siapa yang
dipaksa untuk mengucapkan kalimat kufur, namun hatinya tetap masih dalam keadaan
iman, ia mengucapkannya hanya ingin menyelamatkan diri dari musuhnya, maka seperti itu
tidaklah mengapa. Karena Allah Ta’ala menghukumi hamba hanya karena kekufuran yang ia
ridhai dalam hatinya.

Baca Juga: Kaedah Fikih (20): Dipaksa, Tidak Dikenai Dosa


Dipaksa itu ada dua macam
Dalam Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah (22: 182) disebutkan bahwa pemaksaan itu ada dua
macam.

Pemaksaan pertama disebut ikrahan tamman, yaitu pemaksaan sempurna, artinya benar-
benar menghadapi bahaya besar. Seperti dipaksa dengan dibunuh, dipotong, dipukul yang
dapat membahayakan jiwa atau anggota badan, baik dengan sedikit atau banyak pukulan.

Pemaksaan kedua disebut ikrahan naqishan, yaitu pemaksaan yang tidak sempurna, artinya
tidak benar-benar mengancam jiwa. Seperti dipenjara, dirantai, atau pukulan yang tidak
sampai membahayakan jiwa atau anggota badan.

Para ulama menyatakan bahwa yang disebut pemaksaan yang boleh melakukan perbuatan
kekufuran atau mengucapkan kata kufur adalah pemaksaan pertama, yaitu pemaksaan
sempurna (ikrahan tamman). Namun syarat disebut ikrahan tamman adalah:
1. Ancaman yang diberikan benar-benar berdampak bahaya pada jiwa atau anggota
badan.

2. Yang memaksa benar-benar mampu diwujudkan ancamannya.

3. Yang dipaksa benar-benar tidak mampu untuk menolak ancaman pada dirinya,
baik dengan melarikan diri atau meminta pertolongan pada yang lain.

4. Yang dipaksa punya sangkaan kuat bahwa ancaman tersebut benar-benar bisa
diwujudkan oleh yang memaksa.

Memilih mati
Bolehkah bagi yang diancam memilih untuk bersabar dan terus terkena bahaya dan terus
disakiti, andai juga ia terbunuh ketika itu?

Iya, boleh memilih seperti itu. Bilal bin Rabbah radhiyallahu ‘anhu dan lainnya pernah
memilih seperti itu.

Ibnu Katsir rahimahullah menyatakan, seseorang boleh memilih untuk mati ketika diancam
untuk mengatakan kalimat kufur. Seperti yang dipilih oleh Bilal. Ia enggan mengucapkan
kalimat kufur. Sampai-sampai orang kafir meletakkan batu yang besar di dadanya dalam
keadaan panas. Mereka terus memaksa Bilal untuk berbuat syirik pada Allah, namun Bilal
enggan menuruti keinginan mereka. Bilal tetap mengatakan, “Ahad, Ahad (artinya: Esa, Esa).”
Bilal mengatakan, “Demi Allah, seandainya aku tahu suatu kalimat yang akan membuat
kalian lebih marah dari kalimat itu, tentu aku akan mengucapkannya.” Semoga Allah
meridhai Bilal.” (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 4: 715)
Semoga bahasan ini bermanfaat.

Baca Juga: Hadits Arbain #40: Hidup di Dunia Hanya Sebentar


Referensi:
1. Al-Fiqh Al-Manhaji ‘ala Madzhab Al-Imam Asy-Syafi’i. Syaikh Dr. Musthafa Al-Khin,
Suyaikh Dr. Musthafa Al-Bugha, Syaikh ‘Ali Asy-Syabaji. Penerbit Darul Qalam.

2. Al-Haram fii Asy-Syari’ah Al-Islamiyah. Cetakan pertama, tahun 1432 H. Dr. Qutb
Ar Risuni, terbitan Dar Ibni Hazm.
3. Al-Mawshu’ah Al-Fiqhiyyah. Penerbit Kementrian Agama Kuwait.

4. Jami’ Al-Bayan ‘an Ta’wil Ay Al-Qur’an (Tafsir Ath-Thabari). Cetakan pertama,


tahun 1423 H. Al-Imam Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari. Penerbit Dar
Ibnu Hazm.

5. Khulashah Al-Fawaid wa Al-Qawa’id min Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyyah. Syaikh


‘Abdullah Al-Farih.

6. Matan Al-Ghayah wa At-Taqrib. Al-Qadhi Abu Syuja’.

7. Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyyah. Cetakan ketiga, Tahun 1425 H. Syaikh


Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin. Penerbit Dar Ats-Tsuraya.

8. Syarh Al-Manzhumah As-Sa’diyah fi Al-Qowa’id Al-Fiqhiyyah. Cetakan kedua,


tahun 1426 H. Syaikh Dr. Sa’ad bin Nashir bin ‘Abdul ‘Aziz Asy-Syatsri. Penerbit
Dar Kanuz Isybiliya.

9. Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim. Cetakan pertama, tahun 1431 H. Imam Ibnu Katsir.
Penerbit Dar Ibnul Jauzi.

Sumber https://rumaysho.com/25032-hadits-arbain-39-tidak-sengaja-lupa-dipaksa-berarti-tidak-terkena-
dosa.html

Anda mungkin juga menyukai