Anda di halaman 1dari 42

KEPRIBADIAN MUSLIM

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................ii

DAFTAR ISI..........................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1

A. Latar Belakang..............................................................................................1

B. Rumusan Masalah.........................................................................................1

C. Tujuan...........................................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN........................................................................................3

A. Kepribadian Syahadatain..............................................................................3

1. Pengertian Kepribadian Syahadatain.........................................................3

2. Kerangka Dasar Kepribadian Syahadatain................................................4

3. Bentuk-bentuk Kepribadian Syahadatain..................................................4

B. Kepribadian Mushalli....................................................................................6

1. Pengetian Kepribadian Mushalli...............................................................6

2. Kerangka Dasar Kepribadian Mushalli.....................................................7

3. Dimensi-dimensi Kepribadian Mushalli...................................................7

4. Pola dan Bentuk-bentuk Kepribadian Mushalli......................................10

C. Kepribadian Shaim......................................................................................21

1. Pengertian Kepribadian Shaim................................................................21

2. Kerangka dasar kepribadian Shaim.........................................................22

3. Dimensi dimensi kepribadian Shaim.......................................................23

4. Pola dan bentuk bentuk kepribadian Shaim............................................24


1. Pengertian Kepribadian Muzakki............................................................26

2. Kerangka Dasar Kepribadian Muzakki...................................................26

3. Pola dan Bentuk-bentuk Kepribadian Muzakki......................................27

D. Kepribadian Haji.........................................................................................30

1. Pengertian Kepribadian Haji...................................................................30

2. Kerangka Dasar Kepribadian Haji..........................................................31

3. Pola dan Bentuk-bentuk Kepribadian Haji..............................................31

BAB III KESIMPULAN DAN SARAN...............................................................38

A. Kesimpulan.................................................................................................38

B. Saran............................................................................................................38

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................39
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Muslim berarti orang Islam. Kata Islam seakar dengan kata al-salam,
al-salm, dan al-silm yang berarti menyerahkan diri, kepasrahan, ketundukan
dan kepatuhan; kata al-silm dan al-salm yang berarti damai dan aman, dan
kata al-salm, al-salam, al-salamah yang berarti bersih dan selamat dari cacat,
baik lahir maupun batin. Orang yang berIslam adalah orang yang menyerah,
tunduk, patuh dalam melakukan perilaku yang baik, agar hidupnya bersih lahir
dan batin pada gilirannya akan mendapatkan keselamatan dan kedamaian
hidup di dunia dan akhirat.
Penyerahan diri sepenuh hati pada Zat yang mutlak membawa
kedamaian yang sejati, ibarat seorang pasien yang diliputi ketakutan dan
kehampaan hidup, kemudian ia menyerahkan persoalannya pada psikiater
maka ia akan mendapatkan kedamaian dan keselamatan. Perilaku individu
yang menyebabkan kekacauan dan kekhawatiran sesungguhnya merupakan
antithesis dari tujuan hakiki Islam, sekalipun ia orang Muslim. Kepribadian
Muslim disini meliputi lima rukun Islam, yaitu: membaca dua kalimat
syahadat yang melahirkan kepribadian syahadatin, menunaikan shalat yang
melahirkan kepribadian mushalli, mengerjakan puasa yang melahirkan
kepribadian sha’im, membayar zakat yang melahirkan kepribadian muzakki,
dan melaksanakan haji yang melahirkan kepribadian hajji.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Kepribadian Syahadatain?
2. Bagaimana Kepribadian Mushalli?
3. Bagaimana Kepribadian Shaim?
4. Bagaimana Kepribadian Muzakki?
5. Bagaimana Kepribadian Haji?
C. Tujuan
1. Mengetahui Kepribadian Syahadatain.
2. Mengetahui Kepribadian Mushalli.

1
3. Mengetahui Kepribadian Shaim.
4. Mengetahui Kepribadian Muzakki.
5. Mengetahui Kepribadian Haji.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Kepribadian Syahadatain
1. Pengertian Kepribadian Syahadatain
Syahadatain berasal dari kata syahida yang berarti bersaksi,
menghadin, melihat, mengetahui, dan bersumpah. Istilah syahadatain
kemudia dinisbatkan pada satu momen di mana individu mengucapkan
dua kalimat syahadat dengan ucapan: Aku bersaksi tiada tuhan selain
Allah, dan aku bersaksi bahwasanya Muhammal adalah utusan Allah.
Kalimat syahadat terdiri atas dua kesaksian. Kesaksian pertama berkaitan
dengan keyakinan bahwa tiada tuhan selain Allah, sedang mad adalab
kesaksian kedua berkaitan dengan kepercayaan bahwa Muham utusan
Allah. Kedua kesaksian ini tidak boleh diabaikan salah satunya sebab jika
diabaikan maka menjadikan ketidakbermaknaan salah satuna Bacaan tiada
tuhan selain Allah memiliki arti tiada tuhan (ilah) yang ada (mawjůd)
kecuali Allah. Syahadah pertama merupakan aktualisasi di tauhid
ulühiyyah (ketuhanan). Sedang syahadah rasul memiliki arti bahwa
Muhammad Saw, merupakan Rasul Allah terakhir atau penutup (khdtim),
yang ajarannya telah disempurnakan (QS AI-Maidah: 3). Apabila terdapat
seseorang yang menyebarkan agama Allah Swt. maka kedudukannya
bukan seagai rasul melainkan sebagai wlama (ilmuwan) yang menjadi
pewaris para rasul.

Kepribadian syahadatain adalah kepribadian individu yang didapat


elah mengucapkan dua kalimat syahadat, memahami hakikat dari
ucapannya serta menyadari akan segala konsekuensi persaksiannya
tersebu.t Kepribadian syahadatain meliputi domain kognitif dengan
pengucapan dua mat secara verbal; domain afektif dengan kesadaran hati
yang tulus; dan domain psikomotorik dengan melakukan segala perbuatan
sebagai konsekuensi dari persaksiannya itu.

3
2. Kerangka Dasar Kepribadian Syahadatain
Menurut Ibn Abbas, yang dikutip oleh Muhammad Rasyid Ridha,
fitrałh semacam merupakan perjanjian pertama (mitsâq al-awwal) yang
perlu diikrarkan lagi pada perjanjian terakhir (al-mitsaq al-akhir) di alam
materi setelah usia akil baligh. Ikrar itu berupa pengucapan dua kalimat
syahadat. Barangsiapa yang mati dalam usia belum baligh maka matinya
dianggap Muslim, sebab ia telah mengikrarkannya di alam perjanjian,
meskipun ia berasal dari keturunan non-Muslim. Namun jika telah
mencapai usia akil baligh, sementara ia belum mengikrarkan
ketauhidannya kembali di alam perjanjian terakhir maka perjanjian
pertamanya telah dianggap. Apabila ia mati maka dalam keadaan kafir.

Mengucapkan dua kalimat syahadat merupakan persyaratan untuk


memasuki agama Islam. Ketika dua kalimat ini terucapkan maka ia
memiliki hak sebagaimana layaknya seorang Muslim. Seluruh miliknya
baik harta benda maupun darahnya, haram diambil atau ditumpahkan.
Sabda Nabi Saw: “aku diperintah untuk memerangi manusia, sehingga
mereka mengucapkan tiada tuhan selain Allah dan sesungguhnya
Muhammad adalah hamba dan utusan Nya. Apabila mereka
mengucapkannya maka aku dicegah untuk menumpahkan darahnya dan
mengambil harta bendanya kecuali karena haknya, sedangkan masalah
perhitungan (apakah bacaan syahadat itu sungguh-sungguh atau pura-pura)
adalah urusan Allah.” (HR AL Turmudzi dari Abu Hurairah dan Anas)

3. Bentuk-bentuk Kepribadian Syahadatain


a. Kepribadian yang bebas, merdeka dan tidak terbelenggu oleh tuhan
tuhan yang nisbi dan temporer, untuk menuju pada lindungan dan
naungan Tuhan yang Mutlaq lagi Sempurna. Kata tiada tuhan
mengandung arti peniadaan (naf) segala tuhan-tuhan relatif dan
temporet, sedang kata kecuali Allah mengandung arti menetaplan
(Gtshle) pada Tuhan yang Mutlaq dan Sempurna. Penuhanan sesuatu
selain Allah sama artinya dengan pembelengguan diri dan membatai

4
kebebasan manusia sebagai makluk yang mulia. Perhatikan QS Al
Baqarah 256, Al-Zukhruf: 26-27 .
b. Kepribadian yang berpengetahuan secara pasti, karena kepercavan
terhadap Tuhan merupakan sesuatu yang paling hakiki dalam
kehidupan manusia. Jika kepercayaan itu hanya dengan dugaan
(chann) bukan berdasarkan pengetahuan yang akurat maka dapat
menjerumuskannya ke dalam lembah kehancuran. Firman Allah Swt:
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai
pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan
hati, semuanya itu akan diminta pertanggung jawabnya”. (QS Al-Isra:
36). Perhatikan QS Al-Zukhruf: 86.
c. Kepribadian yang yakin dan menghilangkan segala bentuk keragu-
raguan. Hidup yang penuh keragu-raguan (Syakk) tidak akan maju dan
sering gagal di tengah jalan, sebab ia tidak memiliki motivasi untuk
menggapai harapan dan tujuannya. Dengan keyakinan akan ketuhanan
Allah Swt. maka kehidupan ini dapat ditempuh dengan optimis,
bergairah dan berusaha menempuh sunnah-Nya. Perhatikan QS Al-
Hujurat: 15
d. Kepribadian yang menerima (qabûl) segala konsekuensi akibat dari
persaksian dan ucapannya. Perbedaan antara ucapan dan perilaku
menunjukkan adanya kemunafikan (hypocrisy) dalam diri individu,
sebaliknya konsistensi antara ucapan dan perilaku menunjukkan
integritas dIri yang baik. Perhatikan QS Al-Shaffat: 35-36.
e. Kepribadian yang tunduk dan patuh (inqiyâd) terhadap Penciptanya.
Individu yang tunduk dan patuh pada Tuhan tidak berarti memiliki
kepribadian yang rendah, tetapi justru memiliki kematangan jiwa atau
kedewasaan diri, sebab ia dapat menempatkan dirinya pada posisi yang
sebenarnya. Hal ini tentunya berbeda dengan apa yang dinyatakan oleh
Erich Fromm bahwa ketundukan dalam beragama menunjukkan tanda
kekanak-kanakan, justru kebebasan yang tak terkendali merupakan

5
perwujudan dari kepribadian yang tak tahu diri. Perhatikan QS
Luqman: 22.
f. Kepribadian yang jujur (shidq), sebab kesaksian menuntut pada ucapan
dan tindakan sesuai apa adanya. Kebohongan dalam kesaksian akan
menjerumuskan diri individu pada kehancuran dan keresahan, sebab
hidupnya dikejar-kejar rasa berdosa atau rasa bersalah. Perhatikan QS
Al-Baqarah: 8-10
g. Kepribadian yang tulus (ikhlash), di mana ia berperilaku bukan
semata- mata karena pengawasan orang lain atau sekadar mencari
perhatian. la berkerja dengan sungguh-sungguh semata-mata karena
perintah dan melaksanakan kewajiban. Kerja yang tidak tulus berakibat
pada kualitas kinerja yang 'musiman', di mana jika menguntungkan diri
sendiri (narsisisme) ia bekerja dengan baik, tetapi jika tidak
menguntungkan maka ia berbuat seenaknya. Perhatikan QS Al-
Bayyinah: 5
h. Kepribadian yang penuh cinta (mahabbah), di mana cinta kepada
Tuhannya berarti cinta kepada diri sendiri, juga cinta pada orang yang
cinta kepada-Nya. Ada satu pepatah mengatakan bahwa “man ahabba
syai'ar. fahuwa abduhu" (barang siapa yang cinta pada sesuatu maka ia
menjadi hambanya). Perhatikan QS Al-Baqarah: 165.

D. Kepribadian Mushalli
1. Pengetian Kepribadian Mushalli
Mushalli adalah orang yang shalat. Shalat secara etimologi berarti
memohon (do'a) dengan baik, yaitu permohonan keselamatan,
kesejahteraan dan kedamaian hidup di dunia dan akhirat kepada Allah Swt.
Permohonan dalam shalat tidak sama dengan permohonan di luar, sebab di
dalam shalat telah diatur dengan tata cara yang baku, yang tidak boleh
dikurangi ataupun ditambah. Menurut istilah, shalat adalah satu perbuatan
yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam beserta
mengerjakan syarat-syarat dari rukun-rukunnya.

6
Kepribadian mushalli adalah kepribadian individu yang didapat
setelah melaksanakan shalat dengan baik, konsisten, tertib dan khusyu',
sehingga mendapatkan hikmah dari apa yang dikerjakan. Pengertian ini
didasarkan atas asumsi bahwa orang yang tekun shalat memiliki
kepribadian lebih shalih ketimbang orang yang tidak mengerjakannya,
sebab ia mendapatkan hikmah dari perbuatannya. Terlebih lagi dinyatakan
dalam hadis bahwa shalat merupakan cermin tingkah laku individu. Jika
shalatnya baik maka seluruh perilakunya dianggap baik, tetapi jika ia
buruk maka seluruh perilakunya dianggap buruk. Karenanya, shalat
merupakan amalan yang shalat pertama kali dihisab atau dihitung di
akhirat kelak.
4. Kerangka Dasar Kepribadian Mushalli
Keimanan individu pada sesuatu yang gaib atau kepada Tuhan
membawa konsekuensi penghambaan, penyerahan, dan ketundukan yang
ketiganya dirangkai dalam satu kegiatan yang disebut dengan ibadah
(ritual prayer). Ibadah merupakan bentuk aktualisasi diri yang fitri dan
hakiki, sebab penciptaan manusia didesain untuk beribadah kepada
Tuhannya (QS Al-Dzariyat: 56). Ibadah dalam Islam banyak jenis dan
bentuknya, namun ibadah yang merepresentasikan seluruh kepribadian
manusia adalah shalat, karena ia yang membedakan hamba yang Muslim
dan yang kafir. Shalat dinilai sebagai miraj al-salikin yaitu pendakian diri
dari orang orang yang menempuh jalan spiritual, sehingga dalam shalat
terjadi komunikasi aktif antara hamba dan Tuhannya.
5. Dimensi-dimensi Kepribadian Mushalli
Penentuan dimensi-dimensi kepribadian mushalli dapat dilihat dari
beberapa sudut pandang. Jika dilihat dari domain yang terdapat pada
rukun- rukun shalat, maka kepribadian mushalli memiliki tiga dimensi,
yaitu: Pertama, dimensi afektif (infiali), satu kepribadian mushalli yang
dibentuk dari pengalaman afektif (affective experience) shalat, sehingga
menimbulkan perasaan-perasaan dan daya emosi yang khas dan kuat.
Kepribadian ini didapat dari rukun galbiyah shalat seperti niat dan

7
kekhusyuan; Kedua, dimensi kognitif (ma'rift), satu kepribadian mushalli
yang dibentuk dari pengalaman kognitif (cognitive experience) shalat,
sehingga menimbulkan efek pengenalan, pikiran dan daya cipta yang luar
biasa Kepribadian ini didapat dari rukun qawliyyah shalat seperti
mengucapkan takbir, surat Al-Fatihah, tasyahud dan shalawat Nabi pada
tasyahud akhir, dan salam pertama; Ketiga, dimensi psikomotorik (nafsi
harak), satu kepribadian mushalli yang dibentuk dari pengalaman
psikomotorilk (psychomotor experience) shalat, sehingga menimbulkan
kemauan, gerak dan daya karsa yang mantap. Kepribadian ini didapat dari
rukun fi'liyyah shalat, seperti berdiri, ruku', sujud, dan duduk dalam shalat.
Dilihat dari sudut motivasi shalat maka kepribadian mushalli
memiliki dua dimensi, yaitu: Pertama, dimensi intrinsik jawhari), satu
kepribadian mushalli yang dibentuk atau didorong dari kewajiban shalat
sendiri tanpa dikaitkan dengan kebutuhannya. Inisiatif pelaksanaan shalat
didasarkan kewajiban melaksanakan ajaran agama, baik kewajiban itu
relevan atau ak terhadap kebutuhannya. Kepribadian ini didapat dari
pelaksanaan alat wajib lima waktu, yaitu Zhuhur, Ashar, Maghrib, 'Isya'
dan Shubuh, masuk shalat sunnah rawatib (shalat yang dilakukan sebelum
atau sudah shalat wajib). Kedua, dimensi ekstrinsik ('aradi), satu
kepribadian ushalli yang dibentuk atau didorong oleh kebutuhan orang
yang shalat. Seseorang yang memiliki kebutuhan sesuatu maka kebutuhan
itu merangsangnya untuk melaksanakan shalat. Kepribadian ini didapat
dari pelaksanaan shalat sunnat, Misalnva:
a. Shalat Hajat, didorong oleh keinginan tercapal Hajal alau Rebulullaily
Sabda Nabi Saw.: "Barangsiapa yang memiliki hajat kepada Allah
atau pada anak Adam, maka berwudhulah dengan baik dan shalatlah
dua rakaat, lalu memujilah kepada Allah dan bershalawatlah kepada
Nabi Saw." (HR al- Turmudzi dan Ibn Majah dari Abd Allah ibn Abi
Awfa).
b. Shalat Tahajjud, didorong oleh keinginan memperoleh kedudukan
yang tinggi, baik di dunia maupun akhirat. Jika ia berdoa maka

8
dikabulkan, jika ia meminta maka diberi, dan jika ia minta ampun
maka diampuni (HR al-Bukhari dari Abu Hurairah). Firman Allah
Swt. "Dan pada sebagian malam hari bersembahyang tahajudlah
kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu: mudah-mudahan
Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji. (QS Al-Isra':
79).
c. Shalat Istikharah, didorong oleh keinginan memilih salah satu yang
terbaik atau menentukan kepastian sesuatu, seperti memilih jodolh,
tempat kerja, sekolah atau kuliah, dan sebagainya. Jabir berkata;
Rasulullah Saw. mengajarkan aku shalat Istikharah dalam semua
urusan yang penting, sebagaimana beliau mengajarkanku surat-surat
dalam Al-Qur'an (HR al-Bukhari dari Jabir).
d. Shalat Taubat, didorong oleh keinginan pengampunan dari Allah at
segala dosa yang diperbuat. Nabi Saw. bersabda: "Barangsiapa yang
berdosa, lalu ia berwudhu dan shalat kemudian minta ampun, maka
Allah mengampuninya." (HR al-Turmudzi dari Abu Bakar).
e. Shalat Dhuha, didorong oleh keinginan memperoleh rezeki yang
banyak, sebab shalat Dhuha dikerjakan pada saat jam kerja yang
efektif Sembari bekerja, individu senantiasa memohon kepada Allah
Swt. melalui shalat, agar diberi rezeki yang banyak, halal dan berkah.
f. Shalat Istisqa, didorong oleh keinginan mendapatkan hujan dari
kemarau panjang.
g. Shalat Tarawih, didorong oleh keinginan untuk rileks dengan
mengendorkan syaraf mengendorkan syaraf dan otot yang ada pada
tubuh serta mendapatkan ampunan, sehingga diri seperti baru
dilahirkan.
h. Shalat Idain di dorong keingingan merayakan dua hari raya yang
menyenangkan menvenangkan (Idul Fitri dan Idul Adha)
Dilihat dari sudut pelaksanaan shalat maka kepribadian musha
memiliki empat dimensi, yaitu: Pertama, shalat harian (yawmiyyah),
seperti shalat wajib lima waktu; satu kepribadian mushalli yang cara

9
kerjanya bersifat harian dan rutinitas dalam meraih program kerja jangka
pendek Kepribadian semacam ini diperlukan untuk memenuhi hajat hidup
sehar hari, baik untuk memenuhi diri sendiri dengan shalat sendirian
(munfari maupun untuk memenuhi kebutuhan keluarga kecil atau besar
dengan shalat berjama'ah, Kedua, shalat mingguan (usbů'iyyah), seperti
shalat Jum'at, satu kepribadian mushalli yang cara kerjanya mingguan
dalam meraih program kerja jangka menengah. Kepribadian semacam ini
memerlukan konsolidasi antar anggota masyarakat di suatu perkampungan
yang setidak-tidaknya ejumlah 40 orang. Karenanya, diperlukan
pencerahan diri terlebih dahulu melalui pemberian semacam doktrin
(khutbah) untuk menyamakan persepsi yang beraneka ragam; Ketiga,
shalat tahunan ('âmiyyah), seperti shalat dua hari raya (Idul Fitri dan Idul
Adha); satu kepribadian mushalli yang cara kerjanya bersifat tahunan
dalam meraih program jangka panjang. Kepribadian semacam ini
memerlukan penggalangan massa sebanyak- banyaknya, tanpa
membedakan jenis kelamin dan perbedaan usia, sehingga tempatnya
disarankan bermarkas di lapangan atau alun-alun.
6. Pola dan Bentuk-bentuk Kepribadian Mushalli
Pola kepribadian mushalli dapat dilihat dari beberapa sudut
pandang: Pertama, berdasarkan isyarat dari ayat-ayat Al-Qur'an atau hadis
yang berkaitan dengan shalat, Kedua, berdasarkan isyarat pada bagian-
bagian halat seperti pada syarat-syarat, rukun-rukun, dan sunnah-
sunnahnya, baik di dalam maupun di luarnya. Berdasarkan isyarat ayat-
ayat Al-Qur'an atau hadis yang berkaitan dengan shalat, indikator
kepribadian mushalli adalah sebagai berikut:
Pertama, kalimat mendirikan shalat (igâm al-shalah) dikuti kalimat
membayar zakat (ita al-zakah) terulang 26 kali dan diikuti kalimat
menafkahkan rizqi (yunfiq al-rizą) terulang delapan kali dan dikuti kalimat
berkorban (nahr) terulang sekali dalam ayat Al-Qur'an. Hal itu
mengandung arti bahwa kepribadian mushalli adalah kepribadian yang
seimbang antara perilaku vertikal (habl min Alláh) dan perilaku horizontal

10
(habl min al-nds). Individu yang aktif melaksanakan shalat seharusnya
dikuti dengan pre sosial, seperti zakat. Artinya, semakin baik kualitas
shalat individu semakin baik pula interaksi sosialnya. Zakat, infaq dan
berkorban dalam konteks ini tidak sekadar menyalurkan harta benda, tetapi
lebih dari itu juga berarti pengentasan problem sosial, seperti melerai
konflik antar ras etnik, bahkan agama; membuka lapangan kerja;
memberantas kebodohan dan berkorban demi kemashlahan umat.
Berdasarkan konsep ini, perilaku kepribadian mushalli akan berimplikasi
pada pembentukan masyaraka yang rahmat li al-'alamin.
Kedua, perintah kewajiban shalat menggunakan kata igâmah
(menunaikan) bukan 'ada (melaksanakan). Hal itu mengandung arti bahwa
kepribadian mushalli tidak hanya dibentuk secara jadi-jadian atau asal
asalan, melainkan melalui proses yang kontinue (istigâmah), sehingga
dapat berdiri kokoh dan tegak lurus dalam menjalankan amal shalih.
Kewajiban shalat tidak dapat dibatalkan oleh keadaan atau kepentingan
sesaat, seperti sakit atau darurat perang, meskipun konfigurasi
pelaksanaannya dapat disesuaikan. Dalam kondisi sakit misalnya harus
tetap shalat meskipun diperbolehkan shalat sambil duduk atau tidur
berbaring: dalam kondisi bepergian diperbolehkan shalat jama' (waktu dua
shalat digabung meniadi satu) dan qashar (meringkas shalat); dalam
kondisi perang diperbolehkan shalat khawf, yang tata caranya agak
berbeda dengan shalat biasa, dan seterusnya.
Ketiga, shalat disebut pertama kali dalam urutan aktivitas manusia
(QS Al-An’am: 162, Thaha: 14) dan perilaku pertama kali yang dihitung
di akhirat kelak. Hal itu mengandung isyarat bahwa kepribadian mushalli
dapat menjadi acuan pokok dalam rekrutmen pegawai. Institusi selain
melakukan tes-tes kepribadian untuk penempatan atau mengetahui
kemampuan dasar calon pegawai, juga diperlukan penyelidikan apakah
yang bersangkutan aktif menjalankan shalat atau tidak. Selain itu, melalui
shalat dapat dilihat juga tingkat dedikasi dan keikhlasan calon pegawai
dalam bekerja. Perhatikan firman Allah Swt. QS Al-Mukminun ayat I dan

11
9. "Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman (yaitu) ... dan
orang-orang yang memelihara sembahyangnya”. dan QS Al-An'am: 92.
Dalam Surat Al-Ma'arij ayat 19-23 dan 34 disebutkan bahwa
manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa
kesusahan ia berkeluh kesah, dan apabila ia mendapatkan kebaikan ia amat
kikir, kecuali orang-orang yang mengerjakan shalat di mana mereka tetap
melaksanakan dan memelihara shalatnya. Hal itu mengandung arti bahwa
sifat-sifat buruk, seperti keluh kesah, kikir, malas, kemangkiran, mudah
putus asa dan tidak merasa puas (dissatisfaction) terhadap pemberian yang
diterima, hanya dapat disembuhkan dengan cara menjalankan shalat secara
istiqamah (continue). Karena itu, sangat beralasan apabila shalat menjadi
indikator utama dalam penilaian dedikasi dan komitmen pegawai dalam
bekerja. Pengabaian indikator ini dapat menghasilkan pegawai yang buruk
yang dalam bekerja hanya untuk memenuhi nafsu pribadi. Firman Allah
Swt.: “Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang
menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka
kelak akan menemui kesesatan”. (QS Maryam: 59)
Keempat, shalat selayaknya dilakukan di masjid, sebab masjid
merupakan markas atau pusat kegiatan peribadatan. Hal itu mengandung
isyarat bahwa kepribadian mushalli merupakan kepribadian yang memiliki
markas yang dimaksud berdiri di atas ketakwaan, sehingga tiada perilaku
yang dilakukan kecuali yang bernuansa ibadah. Ibadah shalat, proses
belajar-mengajar, musyarakat antar umat, dan pemecahan problem sosial-
keagamaan semuanya dapat diselesaikan di masjid. Karena masjid sebagai
rumah Allah SWT maka tiada keputusan yang diambil kecuali yang
mengandung nilai peningkatan keimanan dan jaminan kemashlahatan
umat.
Kelima, sebelum shalat dilakukan terlebih dahulu membersihkan
diri dari segala zat yang berbahaya, seperti minuman keras, napza dan zat
adiktif lainnya. Hal itu mengandung arti bahwa kepribadian mushalli
adalah kepribadian yang dalam kehidupan sehari-harinya hanya tergantung

12
kepada Allah Swt. dan tidak tergantung pada yang lain, apalagi tergantung
pada minuman keras arau zat adiktif. Ketergantungan terhadap minuman
keras atau napza menunjukkan tingkat keimanan yang lemah, sebab
individu yang seharusnya merdeka, bebas dan mampu mengendalikan diri
sendiri justru menjadi budak zat atau benda mati. Kepribadian mushalli
juga kepribadian yang memiliki tingkat konsentrasi (tarkiz) yang tinggi
dan fokus dalam melihat sesuatu, sebab dalam shalat disyaratkan untuk
mengetahui memahami dan menghayati apa yang diucapkan. Firman Allah
SWT: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang
kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu
ucapkan. (QS Al-Nisa': 43). Penggunaan zat-zat adiktif, baik di dalam
maupun di luar shalat, dapat merusak sistem jaringan syaraf seseorang.
Ketika seseorang menggunakan apalagi ketagihan terhadap zat-zat tersebut
maka (1) fungsi qalbunya melemah sehingga ia tidak memiliki rasa belas
kasihan, rasa hormat, rasa malu; (2) fungsi akalnya menurun sehingga ia
tidak mampu bertafakkur dan bertazakkur, (3) fungsi nafsunya menguat
sehingga daya fantasi seksualnya tinggi dan mendorong seseorang untuk
berbuat zina serta dapat mengembangkan daya-daya agresif seperti
egoisme, ingin menguaa dan campur tangan terhadap urusan orang lain.
Keenam, shalat merupakan wahana berzikir dan berpikir, bahkan
zikir terbaik ada di dalam shalat. Firman Allah Swt.: "Dirikanlah shalat
untuk mengingat Aku". (QS Thaha: 14) dan Dan sesungguhnya mengingat
Allah (di dalam shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-
ibadat yang lain). (Al-Ankabut: 45). Hal itu mengandung arti bahwa
kepribadian mushalli adalah kepribadian yang senantiasa mengingat dan
menyebut asma Allah Swt. di mana dan kapan saja ia berada. la berzikir
kepada-Nya sebelum shalat (QS 15), di dalam shalat (QS Thaha: 14) dan
setelah shalat, baik dalam keadaan berdiri, duduk ataupun berbaring (QS
Al-Nisa': 103). Zikir kepada Allah Swt. selain dapat menenangkan hati
(QS Al-Ra'd: 28), menghindarkarkan kehidupan, pandangan dan wawasan
yang sempit (QS Thaha: 124), juga sebagai komunikasi vertikal antara

13
manusia dengan Tuhannya, sebab jika manusia mengingat maka Dia juga
mengingat-Nya (QS Al-Baqarah: 152). Zikir dan pikir dalam shalat
merupakan metode meditasi terbaik. Selain memiliki nilai spiritual-ilahiah,
meditasi dalam shalat juga memiliki pengaturan atau kontrol yang
harmonis terhadap seluruh dimensi ragawi manusia, mulai dari syaraf,
otot-otot, peredaran darah, pernapasan, pencernaan, kelenjar, reproduksi
dan sebagainya.
Pola berdasarkan syarat-syarat shalat, citra kepribadian mushalli
dapat digambarkan sebagai berikut:
Pertama, suci dari hadas, tempat dan pakaian; satu kepribadian
mushalli yang bersih dan suci, baik dalam pakaian, tempat tinggal maupun
keadaan diri. Salah satu syarat shalat adalah mensucikan diri dari hadas
besar dengan mandi dan hadas kecil dengan wudhu serta kesucian pakaian
dan tempat shalat. Bersih berarti terhindarnya dari kotoran, sedang suci
terhindar dari najis. Kebersihan dan kesucian tidak hanya aspek fisik
(jasmani) tetapi juga pada aspek psikis (rohani). Wudhu sebelum Shalat
merupakan proses pencemerlangan wajah (tabyaddhu wujuh) yang
memiliki affect display (perasaan-perasaan yang disampaikan lewat gerak-
gerak wajah) yang baik, sehingga wajah rampak berseri-seri, terutama di
akhirat kelak.
Kedua, menghadap kiblat; satu kepribadian mushalli yang
memiliki wawasan dan orientasi hidup yang menyatu pada satu kiblat,
yakni Ka’bah. Ka’bah adalah bangunan bersegi empat yang sudut-
sudutnya kokoh dan saling menopang satu dengan yang lain. Itulah citra
diri (self-image) kepribadian mushalli yang menjunjung tinggi persatuan
dan kesatuan.
Ketiga, menutup aurat; satu kepribadian mushalli yang menjaga
kehormatan diri dengan menutup aurat melalui kain penutup. Aurat
berarti kekurangan (al-naąsh) dan aib atau cacat. Menutup aurat berarti
menutup aib diri lahir, jika aib terbuka maka kehormatannya hilang, atau
paling tidak mengundang nafsu orang lain yang dapat mengancam

14
kehormatan. Citra batin individu dapat dilihat dari citra lahirnya. Pepatah
Arab menyebutkan “al-zhahir yadul ‘ala al-bathin” (yang tampak itu
mencerminkan yang batin). Apabila aib luarnya terbuka dan dibiarkan
tidak tertutup, besar kemungkinan citra batinnya rapuh yang gampang
terjerumus dalam kemaksiatan. Kriteria berpakaian yang baik adalah
menutup aurat sesuai ketentuan, memakai kain tidak transparan, dan tidak
terlalu ketat. Perhatikan QS Al-A'raf. 31.
Keempat, shalat pada waktunya; satu kepribadian mushalli yang
disiplin waktu, beraktivitas sesuai jam yang ditentukan, tidak terlambat,
apalagi mengurangi jam kerja. Salah satu indikator kesuksesan individu
dalam kerja adalah disiplin waktu, sehingga efektivitas dan efisiensi dalam
satu institusi (baik formal maupun spiritual) berjalan dengan baik.
Pola berdasarkan rukun-rukun shalat, citra kepribadian mushalli
dapat digambarkan sebagai berikut:
Pertama, niat; satu kepribadian mushalli yang dalam bertingkah
laku memiliki motivasi dan bertujuan yang mana motivasi akhirnya tertuju
pada motivasi ketuhanan (al-hadtsu al-Ilähiyyah) yang transenden.
Motivasi ketuhanan dalam shalat merupakan motivasi teogenetik atau
religiogenetik di mana individu dapat mengaktualisasikan dirinya dalam
bertuhan dan beragama. Oleh karena motivasi ketuhanan bersifat
transendental, maka segala tingkah laku yang digerakkannya memiliki
makna dan hikmah yang dalam dan menjangkau relung-relung jiwa
manusia yang tersembunyi. Dalam kondisi biasa, terkadang makna dan
hikmah itu tidak dapat dirasakan secara langsung oleh mushalli, tetapi
dalam kondisi tertentu dimana qalbu telah khudhür (attendance) dan
khusyu' (submissiveness) di hadapan-Nya maka menimbulkan ketakjuban
yang luar biasa. Firman Allah Swt: “(yaitu) orang-orang yang khusyu
dalam shalatnya". (QS Al-Mukminun 2) dan “Padahal mereka tidak
disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan
kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka

15
mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama
lurus. (QS Al-Bayyinah: 5).
Kedua, dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam, satu
kepribadian mushalli yang dalam bertingkah laku diawali dengan
penyucian diri vertikal melalui bacaan Allahu Akbar (Allah Maha Besar)
dan diakhin dengan realisasi diri horizontal melalui bacaan al-salâm
'alaykum wa rahmat Allah (salam sejahtera untuk kalian dan semoga
rahmat Allah tetap pada kalian). Takbir merupakan tingkah laku yang
berorientasi teologis dengan mengangkat kedua tangan sebagai tanda
penghormatan, sementara salam merupakan tingkah laku yang berorientasi
sosiologis dengan menengok kanan dan kiri pada orang sekitar.
Ketiga, berdiri (qiyám), membungkuk (ruku), berdiri tegak kembali
(I’tidal), sujud (sujüd) dan duduk (julüs); satu kepribadian mushalli yang
dinamik, luwes dan mampu menempatkan diri sesuai dengan situasi dan
kondisi di mana ia bertingkah laku. Terhadap masalah-masalah kehidupan
yang esensial, seperti masalah ketuhanan dan keberagamaan, individu
seharusnya bersikap tegak, tegas tidak plin plan. Ketegasan yang
digambarkan dalam gerakan qiyam memiliki arti komitmen yang
membentuk identitas diri. Sementara terhadap masalah-masalah kehidupan
yang seperti masalah mu'amalah, individu dapat bersikap luwes,
kondiional dan menjunjung tinggi kepentingan bersama. Keluwesan yang
digambarkan dalam gerakan ruku', i'tidal, sujud dan duduk memiliki arti
inklusivisme, keterbukaan dan keakraban dalam menghadapi pluralisme
masyararakat.
Keempat, membaca surat Al-Fätihah; satu kepribadian mushalli
yang menjadi pioner atau pelopor dalam setiap event kehidupan. Sebagai
pioner perilaku, kepribadian mushalli ini menjadi prototype dan induk bagi
seluruh aktivitas yang baik, karena di dalam perilaku itu mengandung
unsur unsur keimanan, peribadatan, hukum dan sejarah. Surat Al-Fatihah
berarti pembukaan atau permulaan dalam suatu perbuatan. Tata tertib surat
Al-Qur'an diawali dengan surat Al-Fatihah, karenanya dalam shalat

16
diwajibkan membaca surat Al-Fatihah dalam setiap rakaatnya. Intisari
surat-surat dalam Qur'an dikumpulkan dalam Al-Fatihah, sehingga surat
ini disebut dengn Umm al-Kitab (induk Al-Qur'an). Bacaan Al-Fatihah
dalam shalat dapat membentuk pribadi yanp senantiasa berkomunikasi (al-
itishål) dan berinteraksi (al-tafa'ul) secan ilahiah. Tuhan tidak membiarkan
hamba-Nya yang menginginkan bercengkrama dengan-Nya, sehingga
dalam shalat terjadi hubungan kebersamaan (ma'iyyah) antara hamba dan
Tuhannya (QS Al-Maidah: 12). Jika hamba bertanya maka Tuhan akan
menjawab. Jika hamba meminta maba Tuhan akan memberi. Jika hamba
berdoa maka Tuhan akan mengabulkan. Sabda Nabi Saw. dalam hadis
Qudsi: “Allah berfirman, Aku berbagi shalat antara diri-Ku dan hamba-Ku
dalam dua bagian. Bagian hamba-Ku adalah apa saja yang diminta. Jika
seorang hamba mengucapkan (al-hamd li Allâh rabb al-'alamin), Allah
menjawab; Hamba-Ku telah memuji-Ku, apabila ia mengucapkan (al-
Rahmân al-Rahtm), Allah menjawab: Hamba-Ku telah memuja pada-Ku.
Apabila ia mengucapkan (málik yawm al-din), Allah menjawab hamba-Ku
menyanjung -Ku dan berserah din pada-Ku. Jika ia mengucapkan (iyyäka
na’budu wa iyyäka nasta 'in) Allah menjawab; pada sesi ini terdapat
bagian-Ku dan hamba-Ku, sedanghan bagian hamba-Ku adalah apa saja
yang diminta. Apabila ia mengucapkan (ihdiná al-shirath al-mustagim
shirath alladzina an'amta 'alayhim al-maghdhub 'alayhim wa lã al-dhållin)
Allah merjawab; inlah bagian hamba dan bagi hamba-Ku adalah apa saja
yang diminta. (HR Muslim dari Abu rairah).
Kelima, thuma'ninah; satu kepribadian yang tenang, rileks, dan
santai setelah melakukan jedah sejenak dalam mengarungi semua dimensi
kehidupan. Hampir semua rukun-rukun shalat disyaratkan untuk
melakukan thuma'ninah, dengan cara berhenti sejenak. Thuma'ninah selain
untuk kesempurnaan pelaksanaan suatu kewajiban, juga sebagai isyarat
agar individu senantiasa menikmati dan merasakan ketenangan dalam
setiap moment kehidupannya. Ketidaktenangan menjadikan hidup stress,
depresi pada akhirnya menimbulkan kehampaan dan keterasingan diri

17
dalam menjalankan suatu aktivitas. Thuma'ninah merupakan bentuk
relaksasi (istirkha) dalam shalat, dimana mushalli berdiam sejenak untuk
merasakan istirahat atau bersantai-santai setelah mengalami kontraksi atau
peregangan otot dan syaraf. Melalui thuma'ninah, mushalli diharapkan
mengalami kedamaian dan ketenangan, sehingga dapat menghilangkan
atau paling tidak mengurangi kecemasan, keluhan akibat psikosomatik dan
insomnia (sulit tidur) dan hiperaktif bagi anak. Pengertian thuma'ninah
tidak berarti diam, statis, dan berhenti. Sebab dalam thuma'ninah terdapat
aktivitas yang disertai dengan perasaan tenang. Dinamika thuma'ninah
dalam shalat memiliki ritme yang harmonis. Terkadang mengangkat
tangan, berdiri tegak, membungkuk, kembali tegak, bersujud dan duduk.
Dinamika seperti itu menggambarkan seluruh perilaku manusia yang
senantiasa jatuh-bangun dalam mengarungi kehidupan. Apabila istilah
thuma'ninah memiliki arti statis dan tidak bergerak berarti jiwa manusia
tidak akan berkembang. Ketenangan dirasakan oleh individu disebabkan
karena aktivitas yang diłakukan tetap dalam prosedur yang benar, tidak
menyalahi aturan, dan tidak sedikit pun terindikasi berbuat makar. Sulit
bisa diterima jika individu beraktivitas dengan tenang, sementara aktivitas
yang dilakukan berlabel dosa dan maksiat. Jika perbuatan dosa dan
maksiat itu dapat menyenangkan bahkan menenangkan individu maka
sifatnya hanya sesaat untuk kemudian akan berakibat pada penderitaan dan
keresahan selama-lamanya. Menurut sabda Nabi; "Kebaikan itu adalah
sesuatu yang menenangkan (ithma annah) di dalam hati." Hadis lain
disebutkan: "Dosa adalah apa yang dapat membimbangkan hatimu dan
engkau merasa benci apabila perbuatan itu diketahui oleh orang lain.” (HR
Muslim dan Ahmad dari al-Nawas ibn Sim'an al-Anshari). Dan dalam
perkataan sahabat; "Kejujuran itu menenangkan (ithma'annah), sedang
dusta itu meragukan (raibah)."
Keenam, tasyahud akhir; satu kepribadian yang selalu memberi
penghormatan pada sesuatu yang pantas diberi penghormatan.
Penghormatan pertama kepada Tuhan, lalu kepada Nabi-Nya, kepada diri

18
sendiri dan pada hamba-hamba-Nya yang shalih. Penghormatan diberikan
bukan karena kekayaan, kedudukan duniawi, dan status sosial, tetapi yang
terpenting adalah karena kehormatan spiritualnya. Karena inu,
penghormatan dalam shalat ditutup dengan bacaan dua kalimah syahadat.
"Kehormatan, bertambah kebaikan, shalawat dan kebaikan hanya milik
Allah. Salam sejahtera, rahmat dan berkah padamu wahai Nabi. Salam
juga untuk kita dan untuk hamba-hamba Allah yang shalih. Aku bersaksi
tiada Tuhan selain Allah dan aku bersaksi bahwasannya Muhammad
adalah hamba dan utusan-Nya." (HR Muslim, Abu Dawud, al -Turmudzi,
al-Nasa'i dan Ahmad dari Ibn Abbas).
Ketujuh, shalawat nabi; satu kepribadian yang tunduk dan patuh
mengikuti sunnah-sunnah rasulnya, yang disimbolkan dengan
mengucapkan shalawat (doa keselamatan) kepadanya dalam shalat. Tidak
mungkin seseorang membaca shalawat dalam shalat untuk kemudian pada
perilaku kesehariannya bertentangan dengan perilakunya. Doa shalawat
memiliki arti bahwa sang pribadi tidak mendewa-dewakan nabinya, sebab
bagaimanapun juga nabi adalah manusia biasa (al-basyar), hanya saja
beliau memiliki keistimewaan karena pribadinya yang suci, anggun dan
bijaksana serta mendapat wahyu dan risalah dari Allah Swt. Jika Allah dan
malaikat-Nya mengucapkan shalawat kepada nabi seharusnys umatnya
juga melakukan hal yang sama.
Pola berdasarkan sunnah-sunnah shalat, baik dilakukan sebelum, di
dalam maupun setelah shalat, citra kepribadian mushalli dapat
digambarkan sebagai berikut:
Pertama, sebelum shalat disunnahkan mengumandangkan adzan
dan iqamah; satu kepribadian mushalli yang mau diundang, diajak, dan
diingatkan untuk mengerjakan kewajiban shalat. Betapa pun sadar
individu akan kewajibannya, namun ia tetap perlu pengingat. Peringatan
pertama ketika ia baru dilahirkan, dengan di-adzan-kan di telinga kanan
dan di-iqamah-kan di telinga kiri; peringatan kedua dan seterusnya ketika

19
akan melaksanakan kewajiban shalat; dan peringatan terakhir ketika telah
meninggal dunia.
Kedua, setiap shalat wajib lima waktu dianjurkan untuk shalat
berjamaah, bahkan diwajibkan untuk shalat Jum'at dan shalat dua hari
raya. Keutamaan shalat berjamaah lebih dari dua puluh tujuh derajat
dibanding dengan shalat sendirian. Sabda Nabi Saw. "Shalat jamaah itu
melebihi shalat sendirian sampai dua puluh tujuh derajat." (HR al-Bukhari,
Abu Dawud, Ibn Majah dan Ahmad dari Abd Allah ibn Umar).
Keutamaan itu didasarkan implikasi positif yang menyertai individu dalam
pembentukan kepribadian mushalli. Di antaranya:
Kepribadian yang senang berorganisaasi yang mana setiap tindak
tanduknya terorganisir dengan baik. Berjamaah menunjukkan sikap
persatuan, kebersamaan, saling cinta kasih, sapa menyapa, toleransi, dan
tolong menolong yang pada akhirnya membentuk team building yang
kokoh. Berjamaah membentuk barisan yang lurus dan kokoh yang tidak
dapat ditembus oleh musuh. Berjamaah mampu mengkatrol kekurangan
satuan-satuan individu yang berada di dalam komunitasnya, sebab salah
satu kualitas shalat berjamaah terganung pada kekompakannya. Berjamaah
mampu menembus sekat-sekat birokratis, perbedaan status, golongan, ras,
usia, dan jenis kelamin. Siapa lebih dahulu datang dan mengambil tempat
paling depan maka dialah orang yang paling banyak mendapatkan
hikmahnya.
Kepribadian yang tunduk dan patuh satu komando pemimpin
(imam) sehingga pola hidupnya teratur, sistemik, terkontrol, dan
terbimbing yang didasarkan atas sikap saling percaya dan gotong royong.
Pemimpin yang baik diangkat dari individu yang memiliki kualitas-
kualitas yang khas, yang secara hierarkis ditentukan dari aspek (1)
keanggunan sikap dan nilai spiritualitasnya seperti taqwa dan khusyu',
bukan fasiq atau orang yang dibenci; (2) memiliki pengetahuan dan
kepandaian yang luas, khususnya hukum-hukum shalat; (3) fasih dan
lantang dalam menyuarakan bacaan (aspirasi): (4) jenjang usia atau masa

20
kerja (bukan anak kecil); (5) memiliki kinerja (performance) fisik yang
baik dan tidak memiliki cacat fisik seperti buta; (6) tidak lemah seperti
‘perempuan’ kecuali untuk sesama perempuan; (7) memiliki asal-usul
yang jelas; (8) dianjurkan orang yang menetap (bukan imigran); (9)
memiliki status sosial yang baik di masyarakat (bukan budak); dan (10)
bertanggung jawab atas segala problem makmum (rakyat). Untuk
menghindari kesulitan, pemimpin diangkat dari kaum laki-laki, satu sosok
pribadi yang kuat, rasional, dan berwibawa. Kepribadian yang memiliki
keserasian, keselarasan dan keharmonisan antara pemimpin dan rakyat,
baik pada aspek nada suara maupun gerakan.
Hal itu dapat dilakukan dengan cara menceritakan keluhannya,
menangis atau mendekap dipelukannya. Orang yang membaca doa iftitah
dalam shalat sebenarnya telah melakukan catharsis ilahilah. Ia diibaratkan
sebagai pasien yang mengadukan semua keluhannya pada maha Psikiater
(Allah). Tentunya pengaduan itu dapat mengurangi keluhannya, seperti
mengurangnya keluhan seseorang setelah ia menceritakan problemnya
pada orang tua atau teman dekatnya. Bahkan tingkat keampuhan catharsis
ilahilah lebih dalam dan lebih manjur daripada sekadar catharsis insanlah,
sebab sifatnya multi dimensi yang mampu menembus pada wilayah
wilayah transenden. Allah Swt yang memberi sakit kepada manusia dan
dia pada yang menyembuhkannya. Firman Allah Swt : Dan apabila aku
sakit, dialah yang menyembuhkanku. (Al-Syu’ara’ : 80). Dalam doa duduk
diantara dua sujud disebutkan : “Ya Tuhanku, ampunilah aku, belas kasihi
aku, tambahllah kekuranganku, angkat derajatku, berilah rezeki padaku
dan tunjukkanlah aku.” (Hr Ahmad dari Ibnu Abbas).
Enam permohonan di atas merupakan kebutuhan asasi manusia.
Kebutuhan pertama adalah ampunan dari segala dosa dan kesalahan, agar
ia kembali suci sebagaimana ketika ia dilahirkan. Kebutuhan kedua adalah
kasih saying agar mendapatkan kehidupan yang lebih bergairah.
Kebutuhan ketiga adalah menambah atas kekurangan. Agar kehidupannya
menjadi lebih sempurna. Kebutuhan keempat adalah diangkat derajatnya,

21
sehingga ia memiliki posisi, kedudukan dan martabat yang lebih baik.
Kebutuhan kelima adalah diberi rezeki untuk kelangsungan hidup biologis.
Kebutuhan keenam adalah petunjuk agar kehidupannya tidak salah jalan.
E. Kepribadian Shaim
1. Pengertian Kepribadian Shaim
Shaim adalah orang yang berpuasa. Puasa secara etimologi berarti
menahan (al-imsak) terhadap sesuatu, baik yang bersifat materi maupun
non materi. Menurut istilah, puasa adalah menahan diri diwaktu siang dari
segala yang membatalkan yang dilakukan (makan, minum, dan hubungan
seksual) dengan niat dimulai terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari.
Puasa juga berarti menahan (imsak) diri dari segala perbuatan yang
dapat merusak citra fitri manusia. Dengan demikian, puasa terbagi menjadi
2 macam yaitu :
a. Puasa fisik, yaitu menahan lapar, haus dan berhubungan seks dari
segala makanan, minuman, atau bersetubuh yang diharamkan (bukan
miliknya atau bukan pada tempatnya)
b. Puasa psikis, yaitu menahan hawa nafsu dari segala perbuatan
maksiat, seperti menahan marah (ghadhab), sombong (takabbur),
dusta (kizb), serakah (thama’), sumpah palsu dan sebagainya..
Kepribadian shaim adalah kepribadian individu yang dapat setelah
melaksanakan puasa dengan penuh keimanan dan ketaqwaan, sehingga ia
dapat mengendalikan diri dengan baik. Pengertian ini didasarkan atas
asumsi bahwa orang yang mampu menahan diri dari sesuatu yang
membatalkan puasa memiliki kepribadian lebih kokoh, tahan uji, dan
stabil ketimbang orang yang tidak mengerjakannya, sebab ia mendapatkan
hikmah dari perbuatannya.
7. Kerangka dasar kepribadian Shaim
Manusia memiliki dua potensi yang saling berlawanan dan tarik
menarik, yaitu potensi baik dengan daya qalbu dan potensi buruk dengan
daya nafsu. Agar daya nafsu tidak berkembang maka diperlukan aturan
pertahanannya. Salah satu pertahanan yang baik adalah puasa , terutama

22
puasa wajib di bulan ramadhan. Puasa bukan saja prilaku umat
Muhammad, tetapi juga prilaku umat – umat sebelumnya ( QS Al Baqarah
: 183 ). Hampir semua agama memiliki konsep tentang puasa, meskipun
caranya berbeda-beda.
Dengan menahan lapar, minum dan menhindari seksual di waktu
siang, diri individu mengalami perubahan. Persoalanya apakah perubahan
itu menuju perilaku yang positif ataukah mengarah kepada perilaku
negatif? Sepintas, puasa itu mengarah pada perilaku negatif, seperti malas
bekerja, Berkurangnya gairah dan daya produksi, serta cenderung menuju
pada pola hidup kemunduran ( regression ). Namun jika dilihat secara
seksama, puasa ternyata menjadi start bagi timbulnya motivasi dan daya
kreativitas. Mundur tidak berarti kalah dan lemah, melainkan mengambil
moment psikologis yang nantinya mampu menstimuli semangat atau
gairah baru. Selain itu, puasa merupakan zakatnya fisik, agar fisik manusia
terbebas dari segala tuntutan. Sabda Nabu Saw. Riwayat Ibn Majah dari
Abu Hurairah disebutkan :
“Li kulli syai’ zakat wa zakat al – jasad al shawm” (setiap sesuatu ada
zakatnya dan zakatnya jasad adalah puasa).
8. Dimensi dimensi kepribadian Shaim
Ada banyak pendapat mengenai dimensi – dimensi puasa, namun
dalam hal ini penulis membaginya dalam dua kategori. Pertama, puasa
fisik, yaitu menahan lapar, haus, dan berhubungan seks. Dimensi puasa ini
merupakan dimensi lahiriah, yang verifikasinya dapat menggunakan
indikator lahiriah, seperti menahan makan, minum, dan bersetubuh mulai
dari terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari. Individu yang mampu
menahan ketiga aspek itu berarti ia telah berkepribadian shaim; kedua,
puasa psikis, yaitu menahan hawa nafsu dari segala perbuatan maksiat,
seperti menahan marah ( ghadhab) , sombong ( takabbur ), dusta ( Kizb ),
serakah ( thama’ ), dan penyakit hati lainya. Dimensi kedua ini tidak
terbatas pada waktu – waktu tertentu dalam berpuasa, tetapi juga di luar

23
puasa dan diluar bulan ramadhan. Puasa yang sempurna adalah ketika
individu mampu menahan fisik dan psikisnya.
“Banyak orang yang puasa yang tidak memperoleh apa apa dari
puasanya kecuali dahaga, dan banyak pula orang yang shalat (di waktu
malam) yang tidak memperoleh apa apa dari shalatnya kecuali rasa
kantuk.” (HR al – Darimi dari Abu Hurairah).
Hadis tersebut menunjukkan betapa pentingnya puasa psikis, sebab
puasa ini memberi nilai lebih bagi puasa fisik. Seruan untuk puasa psikis
tidak berarti meninggalkan puasa fisik, sebab puasa fisik menjadi
kewajiban instrinsik bagi setiap muslim.
9. Pola dan bentuk bentuk kepribadian Shaim
Pola kepribadian Shaim dapat dilihat dari isyarat ayat – ayat Al-Qur’an
atau hadis yang berkaitan dengan puasa. Indikator kepribadian shaim
adalah sebagai berikut :
a. Puasa sebagai pembentukan kepribadian yang sabar, tabah, tahan uji
dan mengendalikan diri yang baik dalam mengarungi kehidupan,
terutama sabar menjalankan perintah Tuhan. Hadis Nabi Saw. Riwayat
Ibn Majah dari Abu Hurairah disebutkan bahwa “al-shiyam nishf al-
shabr.” (puasa itu separuh dari kesabaran). Artinya, separuh sifat sabar
dapat diperoleh melalui puasa, sedang separuh sabar yang lain dapat
dijelaskan dari ibadah – ibadah selain puasa. Dalam puasa, individu
mampu menahan diri dari makan, minum dan bersetubuh, bahkan
menahan marah, dusta, iri hati dan benci. Ia tidak membatalkan puasa
kecuali waktunya telah tiba. “Puasa merupakan perisai maka jangan
berbuat dosa ( bersetubuh ) dan jangan melakukan perbuatan yang
bodoh. Apabila ada seseorang yang memusuhi atau memaki maka
katakan ‘ aku sedang puasa ‘ sebanyak dua kali. “ ( HR al-Bukhari dan
Muslim dari Abu Hurairah). Dalam kajian psikologi pendidikan, puasa
dapat menjadi sarana untuk melatih kecerdasan, terutama kecerdasan
emosional. Bahkan menurut Goleman, sukses seseorang justru 70 %
ditentukan oleh kecerdasan emosional, sisanya dari kecerdasan yang

24
lain. Dikisahkan , pada suatu hari seseorang dari bani israil menemui
Nabi Musa As dan bertanya,”Wahai Nabiullah, adakah di dunia ini
orang yang lebih berilmu darimu ?” ujarnya. Nabi Musa tersenak
kaget, lalu menjawab dengan tegas, “Tegas”. Tentu saja, siapa yang
mampu menandingi ilmu Musa, utusan Allah kala itu. Namun,
pernyataan Nabi Musa tersebut di tegur oleh Allah SWT., kemudian
diberitahukan kepada Musa, bahwa orang paling pintar bukanlah
dirinya, masih ada orang yang jauh lebih pintar dan memiliki ilmu
yang Musa tidak memilikinya, ia tidak lain adalah Nabi Khidir As.
Mendengar hal tersebut, Nabi Musa bergegas mencari dan menemui
Nabi Khidir dengan niat untuk berguru padanya. Setelah Musa
bertemu khidir terjadilah kesepakatan bahwa Nabi Khidir mengizinkan
Nabi Musa untuk berguru denganya dengan satu syarat yaitu. Nabi
Musa tidak boleh bertanya hingga Nabi Khidir sendiri yang
menjelaskannya. Keanehan demi keanehan diperbuat Nabi Khidir,
hingga saat di perjalanan Nabi Khidir membocorkan sebuah perahu
yang akan di gunakan orang miskin Yang akan melakukan perjalanan,
membunuh anak kecil tanpa dosa dan memerintahkan musamerenovasi
temnok sebuah rumah di desa yang penduduknya tidak menyukai
kehadiran mereka berdua.
b. Puasa dapat menyebabkan karakter ‘ayd (orang yang kembali ke fitrah
asal) dan fa’iz ( orang yang beruntung ). Dikatakan ‘ayd karena ia
tidak memiliki dosa, baik dosa vertikal maupun dosa horizontal. Dosa
vertikal dihapus dengan melaksanakan ibadah puasa, shalat malam dan
bermalam – malam mencari lailatul qadar. Sedangkan dosa horizontal
ditebus dengan saling memaafkan ketika melakukan halal bi halal.
Karena kepribadian shaim terbatas dari dosa, maka hari pertama yang
ia rasakan adalah idul fitri, yang artinya kembali pada fitrah semula,
seperti bayi yang baru dilahirkan dalam keadaan suci tanpa dosa.
Dikatakan fa’iz karena ia telah dijamin masuk surga dan diselamatkan
dari api neraka. Firman Allah SWT : “ Barangsiapa dijauhkan dari

25
neraka dsn dimasukkan kedalam surga, maka sungguh ia telah
beruntung.” (QS Ali Imran: 185)
c. Puasa sebagai pembentukan kepribadian yang sehat, baik jasmani
maupun rohani. Sabda Nabi SAW: “shumu tashihhu” (Puasalah
kalian agar kalian sehat). Secara jasmani, makna puasa dapat
dijelaskan dengan program diet, dimana individu melakukan
pantangan diri terhadap makanan atau minuman tertentu. Dengan
puasa endapan zat zat makanan yang tidak terpakai, seperti lemak,
menjadi berfungsi, sehingga mengurangi penyumbatan pembuluh
darah yang pada gilirannya akan menghindarkan dari penyakit stroke
dan jantung.
D. Kepribadian Muzakki
1. Pengertian Kepribadian Muzakki
Muzakki adalah orang yang telah membayar zakat. Zakat secara
etimologi berarti berkembang (al-namw) dan bertambah (al-ziyâdah), baik
secara kuantitas maupun kualitas (keberkahan). Orang yang membayar
zakat, hartanya cenderung bertambah bukan semakin mengurang. Menurut
istilah, zakat adalah mengeluarkan sebagian harta kepada orang yang
berhak menerimanya ketika telah mencapai batasnya (nishâb).
Kepribadian muzakki adalah kepribadian individu yang didapat setelah
membayar zakat dengan penuh keikhlasan, sehingga ia mendapatkan
hikmah dari apa yang dilakukan. Pengertian ini didasarkan atas asumsi
bahwa orang yang membayar zakat memiliki kepribadian yang pandai
bergaul, dermawan, terbuka, berani berkorban, tidak arogan, memiliki rasa
empati dan kepekaan sosial serta mudah menyesuaikan diri dengan orang
lain, sekalipun pada orang yang berbeda statusnya.
10. Kerangka Dasar Kepribadian Muzakki
Salah satu fitrah hidup manusia adalah berkelompok. Ia tidak dapat
hidup tanpa berinteraksi dan berkomunikasi dengan orang lain. Dalam
kelompok itu tentu terdapat yang lemah dan ada yang kuat, ada yang
miskin dan ada yang kaya, ada yang sakit dan ada yang sehat dan

26
seterusnya. Sekalipun status atau strata sosialnya berbeda, masing-masing
pada individu prinsipnya saling membutuhkan. Zakat selain untuk
pembersihan harta (QS Al-Taubah: 103), juga sebagai media interaksi
antara kaum yang kuat (kaya) dengan yang lemah (fakir-miskin) yang
nantinya akan berimplikasi pada kehidupan yang seimbang, merata dan
sejahtera dalam hidup bermasyarakat. Supaya harta itu jangan hanya
beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu (QS Al-Hasyr: 7).
Harta adalah amanah (titipan) yang harus difungsikan sebagaimana yang
diperintahkan oleh yang memberinya. Dengan zakat, infaq dan sedekah,
sebagian amanah itu telah dilaksanakan dengan baik oleh pemiliknya.
Muzakki adalah sosok yang memiliki hati yang lapang dan senang
berkorban dengan harta bendanya. Tanpa landasan iman yang kuat,
individu akan menganggap 'rugi' jika dipungut zakatnya, sebab sebagian
jerih payahnya diambil atau diberikan pada orang lain
11. Pola dan Bentuk-bentuk Kepribadian Muzakki
Berdasarkan jenis-jenis zakat, infaq dan sedekah, pola kepribadian
muzzaki dibedakan atas (1) wajib seperti zakat fitrah, zakat harta benda,
zakat hasil peternakan, zakat hasil pertanian, zakat logam mulia, zakat
perdagangan, dan zakat profesi; (2) Sunnah seperti sedekah yang bukan
kategori wajib. Baik yang wajib maupun yang sunnah, keduanya dapat
membentuk kepribadian muzakki sebagai berikut:
Pertama, kepribadian yang suci dan menjadikan muzakki pada citra
awalnya (fitrah) yang tanpa dosa. Kesucian itu diperoleh setelah muzzaki
mengeluarkan sebagian hartanya yang bukan miliknya, karena penggunaan
harta orang lain mengakibatkan kekotoran. Kesucian di sini bersifat (1)
material (madiyyah), karena harta bendanya tidak tercampur dengan hak
milik orang lain; dan (2) spiritual (ma'nawiyyah), karena jiwanya
terampuni dari perilaku dosa, seperti pelit, materialis, hedonis, menumpuk-
numpuk harta dan membangga-banggakan harta. Sabda Nabi Saw. riwayat
Ahmad dari Jabir "shadaqah itu dapat menghapus kesalahan, sebagaimana
air dapat memadamkan api." Firman Allah Swt.: “Ambillah zakat dari

27
sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan dan
mensucikan mereka.” (QS Al-Taubah: 103).
Kedua, Kepribadian yang seimbang, di mana individu
menyelaraskan aktivitas yang berdimensi vertikal dan horizontal. Dalam
Al-Qur'an, kata zakat mengikuti kata shalat sebanyak 27 kali. Shalat
simbolisasi dari aktivitas vertikal-ketuhanan (habl min Allâh), sedang
zakat simbolisasi dari aktivitas horizontal-kemanusiaan (habl min al-nas).
Orang yang shalat seharusnya berimplikasi pada karakter dermawan,
pemurah dan membantu yang lemah. Sebaliknya, orang yang zakat
seharusnya berimplikasi pada kedekatan dengan Tuhannya sebagai rasa
syukur atas pemberian-Nya. Firman Allah Swt. "Padahal mereka tidak
disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan
kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka
mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama
yang lurus". (QS AI-Bayyinah: 5).
Ketiga, Kepribadian yang penuh empati terhadap penderitaan
pribadi lain, sehingga mengakibatkan kepekaan sosial (social sensitivity).
Empati merupakan realisasi dan pengertian terhadap perasaan, kebutuhan
dan penderitaan pribadi lain. Jiwa muzakki merasakan betapa resahnya
orang yang hidup serba kekurangan, betapa bingungnya orang yang tidak
memiliki uang ketika membutuhkan sesuatu, dan betapa sakitnya hati
orang yang hidup termarginalkan. Zakat merupakan bentuk empati yang
paling realistik dibanding dengan upaya-upaya lain. Sabda Nabi SAW. :
"Tiga hal yang membinasakan kikir yang diikuti, hawa nafsu yang
diperturutkan dan kekaguman pada diri sendiri." ( HR Al-Thabrani).
Sebagai implikasi dari empati, maka kepribadian muzakki menghindarkan
seseorang dari penyakit keterasingan diri (alienation) di mana seseorang
merasa terasing, terlepas dan terpisah dari lingkungannya. la tidak
memiliki kehangatan, relasi dan kebersamaan (ma'iyyah) serta
persahabatan dengan orang-orang di sekitarnya. la melihat orang-orang di
sekitarnya, tetapi tidak dapat berkomunikasi dan berinteraksi dengan baik.

28
Hidupnya terasa sempit, rikuh, dan pekiwuh. Kalau ada suatu kesulitan
dan masalah, ia tanggung sendiri dan tidak berani meminta tolong pada
orang lain, sehingga penuh beban yang berat. Dengan zakat, maka peryakit
ini dapat ternetralisir.
Keempat, kepribadian yang selamat dari petaka dan fitnah, sebab
zakat, infaq dan sedekah dapat menolak balak. Sabda Nabi Saw. riwayat
al-Bukhari dari Khudaifah "seseorang terkena fitnah dari keluarga, harta
dan tetangganya, dan fitnah itu dapat dihilangkan dengan melakukan
shalat, puasa dan sedekah." Konon, pada masa Nabi Sulaiman terdapat
sepasang burung mengadukan telurnya yang selalu dicuri oleh pemburu
burung, sehingga burung itu tak sempat memiliki anak. Sulaiman lalu
menyuruh jin untuk menjaga sarang burung, agar pemburu burung tidak
dapat mengambilnya. Ketika pemburu burung berangkat untuk mengambil
telur, ia membawa bekal untuk di perjalanan, tetapi di tengah perjalanan ia
dapati seorang pengemis meminta makanannya. Pemburu burung
memberikannya dengan senang hati dan pengemis pun memakannya
Sesampainya di pohon, yang di dalamnya terdapat sarang burung,ia dapat
memanjat dan mengambil telur dengan mudah. Jin yang menjaga pohon
itu tidak bisa bergerak, seolah-olah ada yang menghalanginya. Cerita ini
menunjukkan bahwa sedekah dapat menolak bala', sebab orang yang diberi
sedekah mendoakan untuk kebaikan pemberinya dan malaikat pun turun
mendampinginya.
Kelima, Kepribadian yang kreatif dan produktif untuk memperoleh
harta benda yang halal dan mendistribusikannya dengan cara yang halal
pula. Muzakki, dituntut kreatif dan produktif dalam memproleh harta
benda dan membagi-bagikan kepada yang lain. Hal itu dapat dulustrasıkan
dengan (1) zakat harta pendaman atau rampasan perang adalah sebanyak
20 %. Presentase zakat ini diperbanyak sebab usaha manusia bersifat
spekulatif, tanpa modal dan tanpa risiko yang berat, (2) zakat hasil
pertannian yang dikelola secara tradisional adalah sebanyak 10 % .
Presentase zaka ini tidak terlalu banyak atau juga tidak terlalu sedikit. Hal

29
itu disebabkan oleh upaya manusia yang masih menggantungkan air hujan
dan tidak banyak membutuhkan modal; (3) zakat hasil pertanian yang
dikelola secara modern adalah sebanyak 5 % . Presen tasi zakatnya ini
diperkecil sebab usaha manusia sudah mengeluarkan modal untuk irigasi
melalui mesin diesel:(4) zakat hasil perdagangan yang membutuhkan
banyak modal, strategi dan penuh risiko . Persentase zakatnya diperkecil
( 2.5 % ) , karena usaha manusia mencapai taraf maksimal.
Persentase zakat tersebut mempunyai implikasi terhadap karakter
muzakki sebagai berikut: (1) tuntutan untuk berusaha dengan cara yang
halal dan mendistribusikan hasilnya dengan cara yang halal pula, (2) usaha
yang baik adalah usaha yang tidak sekadar untung-untungan (spekulatıif),
melainkan harus ditopang oleh modal, baik yang berbentuk materi maupun
kemampuan (profesionalisme), (3) semakin banyak produktivitas dan
kreativitas tingkah laku manusia maka semakin dihargai oleh Allah. Oleh
karena itu, zakatnya diperkecil bagi perdagangan (QS Al-Najm: 39-41),
(4) usaha yang baik adalah usaha yang bersıfat produktif dan bukan
konsumtif. Usaha produkrif disyaratkan dalam perdagangan, sedang usaha
konsumtif diisyaratkan dalam pertanian. Air misalnya merupakan barang
konsumtif, apabila dikemas secara profesional menjadi hasil produktif
seperti air mineral maka harganya lebih mahal daripada minyak.
F. Kepribadian Haji
1. Pengertian Kepribadian Haji
Haji adalah orang yang telah melaksanakan haji. Haji secara
etimolog berarti menyengaja (al-qashd) pada sesuatu yang diagungkan.
Orang yang melaksanakan haji berarti hatinya selalu menuju pada Zat
yang Maha Tinggi. Menurut istilah, haji adalah menyengaja pergi ke
Baitullah (Ka'bah) untuk melaksanakansyarat (Islam, baligh, berakal,
merdeka dan mampu), rukun (niat ihram dari miqad, wuquf di Arafah,
Tawaf Ifadhah, Sa'i, cukur dan tertib) dan wajıbnya (ihram di miqad,
menginap di Muzdalifah, menginap di Mina, melontar jumrah dan tawaf

30
wadak) pada bulan yang ditentukan (Syawal, Dzu al-Qa'dah dan Dzu al-
Hijjah).
Kepribadian haji adalah kepribadian individu yang didapat setelah
melaksanakan haji yang semata-mata dilakukan karena Allah Swt,
sehingga ia mendapatkan hikmah dari apa yang dilakukan.Pengertian ini
didasarkan atas asumsi bahwa orang yang melaksanakan haji memiliki
kepribadian yang sabar dalam melintasi bahaya dan cobaan;luwes,
egaliter, inklusif dan pandai bergaul dengan sesamanya;berani berkorban
atau menanggalkan status, jabatan dan harta bendanya, demi tercapainya
kesamaan dan kebersamaan (ma'iyyah) dengan sesamanya, agar
mendapatkan ridha Allah Swt.
12. Kerangka Dasar Kepribadian Haji
Haji merupakan wisata spiritual yang menuju 'taman rohani bagi
individu yang merindukan akan kehadiran Sang Maha Kekasih, yakni
Allah Swt. Dalam perjalanan ibadah haji, individu diundang oleh Sang
Maha fisik), sang kekasih Kasih untuk menikmati perjamuan spiritual
seperti berdekat-dekatan (muqarabah), mencurahkan isi hati (munajat) dan
bercengkrama. Segala fasilitas rohaniah disediakan, agar tidak ada jarak
antara yang merindukan dan yang dirindukan. Begitu Sang Kekasih
mengundangnya, dengan tanpa mempertimbangkan aspek-aspek material
(uang, jabatan dan kecapean fisik). Sang kekasih pun langsung
mengucapkan "labbayka Allahummaa labbayk (aku penuhi panggilan-Mu
ya Allah).
Nilai dan hıkmah haji sangat tergantung pada kesanggupan bagi
orang yang melaksanakannya, mulai dari pembayaran ongkos naik haji
(ONH) yang halal, melaksanakan rukun Islam yang lain seperti shalat,
zakat dan puasa, persiapan mental yang utuh dan tangguh sampai pada
penyerahan nyawa. Firman Allah Swt: Mengerjakan haji adalah kewajiban
manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan
perjalanan ke Baitullah. (QS Ali Imran:97).

31
Lafal sanggup (istatha'ah) mengandung arti kesiapan material dan
spiritual. Bagi mereka yang datang tanpa membawa kesanggupan spiritual
seperti rasa iman yang benar, maka yang ditemui hanyalah batu yang
keras, tanah yang tandus, panas yang menyengat, dingin yang menyayat
kulit dan egoisme yang tinggi. Namun bagi mereka yang datang dengan
penuh keikhlasan dan ketawadhuan, tentu akan mendapatkan pengalaman
spiritual yang mungkin tidak dapat dilukiskan di alam material.
13. Pola dan Bentuk-bentuk Kepribadian Haji
Kepribadian haji dapat dibentuk melalui dua pola. Pertama, pola
umum yaitu pola yang diambil dari ayat-ayat Al-Qur'an serta hadis-hadis
Nabi Saw yang membahas tentang haji. Pola ini bersifat umum yang
lazimnya membahas mengenai motivasi dan balasan bagi orang yang
melakukan ibadah haji; Kedua, pola khusus, yaitu pola yang diambil dari
hikmah dalam melaksanakan rukun, wajib dan sunnah haji. Masing-
masing bagian haji tersebut memiliki hikmah dalam kehidupan manusia,
karena hal itu menjadi miniatur perilaku manusia dari masa lalu, masa kini
dan masa yang akan datang. Bentuk-bentuk kepribadian haji dari pola
umum diantaranya adalah :
a. Kepribadian Tawhidi, yaitu kepribadian yang utuh dalam memenuhi
panggilan Allah Swt, yang diwujudkan dalam bacaan talbiyah dan
menyengaja menuju ke Ka'bah. Bacaan talbiyah (labbayka Allahumma
labbayk) merupakan ungkapan ketundukan dan ketaatan kepada Sang
Khalik dengan penuh kesadaran dan kekhusyuan, bukan tunduk dan
patuh pada aturan selain-Nya.
b. Kepribadian mujahid, yaitu orang yang berjihad dengan cara berperang
dan berkorban secara sunguh-sungguh demi mendapatkan ridha Allah
Swt. Bentuk jihadnya adalah mengeluarkan harta benda untuk biaya
haji: meninggalkan tanah air, keluarga, status dan jabatan; menguras
tenaga fisik dan psikis dalam menjalankan ibadah yang penuh risiko
melawan hawa nafsu dan setan. Sabda Nabi Saw. "Sebaik-baik jthad
adalak haji. (HR al-Bukhari dan Muslim dari Aisyah)

32
c. kepribadian yang suci dan fitri, karena dalam ibadah tersebut
menghapus nuktah (titik hitam) dalam jiwanya. Dalam haji dilarang
berbicara yang kotor dan kasar, berdebat, marah, egois, dan sombong.
semua perilaku batin yang buruk tersebut mengakibatkan hilangya
kesucian jiwa manusia.Haji merupakan wahana semua kotoran jiwa
tersebut.Karena itulah Nabi Saw.bersabda "Barang siapa yang
melakukan haji karena Allah tanpa disertai dengan perbuatan yang
buruk dan dosa maka ia pulang seperti baru dilahirkan dari perut
ibunya."(HR si al-Bukhari dari Abu Hurairah).Perhatikan juga firman
Allah Swt. pada QS Al-Baqarah ayat 197.
d. Kepribadian yang sukses, karena telah melewati segala rintangan,
tantangan dan risiko yang berat dalam mensyiarkan agama
Allah.Kesuksesan dalam haji karena dilandasi oleh ketakwaan hati
yang utuh. Firman Allah Swt.: Demikianlah (perintah Allah). Dan
barangsiapea mengagungkan syi' ar-syi'ar Allah, maka sesungguhnya
itu timbul dari ketakwaan hati. (QS Al-Haj: 32). Mereka yang sukses
dalam haji diberi predikat mabrur yang berarti maqbul (hajinya
diterima) dan diberi imbalan yang istimewa, yakni syurga. Sabda Nabi
Saw.: "Tiada imbalan yang pantas bagi haji mabrur kecuali syurga."
(HR al-Turmudzi dari Ibn Mas'ud).
Bentuk-bentuk kepribadian haji dari pola khusus, yang bersumber
dari rukun, wajib dan sunnah haji di antaranya sebagai berikut:
a. Kepribadian muhrim (yang ihram), yaitu kepribadian yang
mengharamkan atau menahan diri terhadap perilaku yang dilarang,
demi persatuan dan kesamaan derajat antar sesama manusia dan
merendahkan diri (tawadhu) di hadapan Allah. Dalam kepribadiarn
muhrim menghendaki adanya kesamaan derajat tanpa menonjolkan
perbedaan status, jabatan, etnis dan golongan. Antara yang kaya dan
yang miskin menjadi satu, tanpa ada atribut yang menonjol seperti
wewangian. Persaudaraan terlihat, termasuk kepada hewan dan
tumbuh-tumbuhan, karana semuanya adalah makhluk-Nya yang satu

33
sama lain saling membutuhkan. Kepribadian muhrim mengikat diri
untuk tidak melakukan kesalahan dan melanggar larangan dalam masa
(miqatzamani) dan tempat (miqat makani). Pada masa-masa tententu,
misalnya hari jumat, kepribadian ini berkomitmen untuk tidak
melakukan kesalahan sama sekali sehingga disebut dengan Jumat
bersih atau jumat sukses. Atau pada tempat tertentu, seperti lingkungan
rukun tetangga, dimana individu berjanji tidak melakukan pelanggaran
apapun di tempat yang dimaksud, sehingga disebut rukun tetangga
bersih.
b. Kepribadian Thawif (yang thawaf), yaitu kepribadian yang hanya
menuju kepada Allah Swt. dengan cara berputar tujuh kali, Dalam
thawaf selalu melihat Ka'bah yang merupakan wujud keutuhan
orientasi hidup semua umat Islam menuju satu tujuan, yakni Allah,
Menghadap ke Ka'bah sama artinya mengagungkan simbol ketauhidan
dalam Islam, sambil mengucapkan zikir dan doa kepada-Nya. Dalam
thawaf juga disunnahkan mencium hajar aswad (batu hitam), dan
berdoa pada tempat tempat mustajabah (terkabul) doanya, seperti Hijir
Ismail, Multazam dan Maqam Ibrahim.
c. Kepribadian Waqif (yang wuqut), yaitu kepribadian yang
menghentikan seluruh kegiatan duniawi dalam waktu sesaat, kecuali
hanya menunaikan shalat, berzikir dan berdoa kepada Allah, dengan
harapan agar mereka terbebas dari belenggu hawa nafsu dan materi.
Kepribadian ini menjadi suci karena dosa-dosanya diampuni dan
dibebaskan dari api neraka (HR Muslim dari Aisyah).
d. Kepribadian Sai (yang sa'i),* yaitu kepribadian yang selalu bekerja
keras, dengan lari-lari kecil, dalam mencapai suatu tujuan, seperti
bekerja mencari nafkah (mencari air zamzam untuk diminum di musim
kemarau) dalam menghidupi diri dan keluarga tanpa merasakan
kelelahan. Kepribadian ini mengingatkan akan kasih sayang seoran ibu
(Siti Hajar istri Nabi Ibrahim) dalam merawat dan memelihara
anaknya (Ismail), sekalipun ia ditinggal berdakwah oleh suaminya.

34
e. Kepribadian mutahallil (yang tahallul), yaitu kepribadian yang tidak
melakukan sesuatu kecuali yang dihalalkan melakukannya. Untuk
mencapai kehalalan diperlukan adanya pengorbanan dengan mencukur
beberapa helai rambut, sebab rambut merupakan mahkota seseorang.
Tanpa pengorbanan baik berupa harta, pikiran bahkan jabatan sesuatu
tidak memiliki nilai lebih.
f. Kepribadian yang mandiri dan siap susah dengan cara mabit
(bermalam) baik di Muzdalifah maupun di Mina. Pada mabit ini
seseorang ditempah pada termpat, keadaan, sarana dan peralatan
seadanya. Cuaca terasa sangat dingin , kekuatan fisik melemah bahkan
tempat tidur dan makan seadanya. Bagi mereka yang biasa hidup enak
dan dilayani, mabit merupakan bagian haji yang tersulit.
g. Kepribadian yang selalu membuang dan memerangi syetan, baik
syetan yang ada dalam dirinya (hawa nafsu) maupun syetan melalui
melempar jumrah. Syetan ada yang berbentuk wujud rohani yang
buruk dan ada pula merupakan sifat atau perilaku yang buruk. Baik
wujud maupun perilaku syaithaniyah, keduanya harus dijauhi manusia,
karena syetan adalah musuh manusia yang mengajak ke jalan
kesesatan (QS AL-Hijn 39-40). Dengan melontar jumrah, diharapkan
perilaku buruk hilang dalam diri seseorang dan dapat digantikan
dengan perilaku yang baik.
h. Kepribadian yang sadar akan kesalahannya dengan cara menebusnya
dengan mengalirkan darah (dam) kambing, unta atau sapi di tanah
haram, dalam rangka memenuhi ketentuan haji. Kepribadian yang baik
bukanlah kepribadian yang sama sekali tidak melakukan kesalahan
tetapi kepribadian yang baik adalah jika khilaf dan melakukan
kesalahan, maka segera sadar dan menebusnya dengan pengorbanan
harta benda yang dimiliki.
i. Kepribadian yang mengingat dan berkunjung (ziarah) pada tempat
tempat suci, yang dapat mendekatkan diri kepada Allah Swt. Tempat

35
yang dimaksud selain tempat-tempat yang ditentukan dalam haji, juga
tempat-tempat lain yang bersejarah seperti ke :
j. Masjid Nabawi. Masjid ini menjadi sentral aktivitas Nabi Muhammad
Saw. dan sahabatnya, baik dalam urusan agama maupun pemerintahan.
Kepribadian yang baik adalah menjadikan masjid sebagai pusat
aktivitasnya. Masjid harus bersemayam dalam qalbu, karena di dalam
masjid tidak akan digunakan untuk berbuat maksiat.
k. Gunung (jabâl) Nur dan Gua Hira', yaitu gua yang mana Nabi Saw
pertama kali menerima wahyu QS Al-Alaq ayat 1-5. Kepribadian yang
baik adalah kepribadian qur'ani, karena di dalamnya memuat resep-
resep rabbani yang menyelamatkan manusia dunia dan akhirat.
l. Gunung Tsûr, yaitu tempat Nabi Saw. berlindung bersama Abu Bakar
ketika mau hijrah ke Madinah dari kejaran kafir Quraisy. Nabi
terlindung dengan sarang laba-laba yang tidak rusak dan burung
merpati yang bertelur. Lalu turun QS Al-Taubah ayat 40 bahwa Allah
menolongnya. Salah satu kepribadian yang baik adalah hijrah dari
perilaku yang dilarang Allah, menuju pada perilaku yang
diperintahkan-Nya.
m. Gunung Rahmah, di Arafah terlihat bukit yang di atasnya terdapat
tugu. Tempat ini pertama kali Adam dan Hawa' bertemu setelah
berpisah 100 tahun sehabis turun dari surga. Kasih sayang merupakan
bagian kepribadian yang menjadikan hidup lebih hidup. yang karena
kasih sayang maka semua anak Adam dilahirkan.
n. Masjid Jin, di mana jin berbaiat mengakui kerasulan Muhammad,
sehingga turunlah surat Al-Jin. Masjid ini mengingatkan para haji
betapa universalnya ajaran Nabi Saw., sehingga para jin pun ikut
berbaiat pada beliau.
o. Makam rasul, letaknya disebelah sudut timur masjid Nabawi. Makam
ini bersebelahan dengan dengan Abu Bakar Al-Shiddiq dan Umar bin
Khatab. Makam ini mengingatkan para haji tentang sosok yang patut
di teladani dalam tingkah laku sehari-hari.

36
p. Rawdhah (taman rumah) yang letaknya diantara rumah Nabi (sekarang
makam) dan mimbar. Rawdhah tempat yang dikabulkan doa, dan
termasuk taman surga. Tampat ini mengingatkan para haji, beta
bahagianya keluarga rasul yang berteduh di taman surgawi, sekalipun
rumah beliau sangat-sangat sederhana.
q. Makam baqi : tempat pemakaman orang madinah letaknya disebelah
timur Masjid nabawi. Disana ada makam Usman bin affan, dan istri-
istri rasul (Aisyah, Umi salamah, Juwairah, Zainab, Hafsah, Mariyah)
dan anak-anak rasul (Ibrahim, Fatimah, Zainab, Umu kulsum) dan Ibu
susuan beliau Ruqqayah Halimah Sa'diyah. Makam ini mengingatkan
para haji terhadap orang-orang yang dekat dengan rasul yang hidupnya
penuh dengan cobaan dan pengorbanan.
r. Masjid Quba: masjid pertama kali di dirikan oleh Nabi SAW sewaktu
hijrah ke madinah terletak sekitar 5 km sebelah darat daya Madinah.
Masjid ini mengingatkan para haji agar seorang pimpinan tidak
mendahulukan bangunan apapun kecuali masjid.
s. Gunung Uhud: Bukit terbesar di Madinah yang terletak 5 km dari
pusat Kota. Gunung ini mengingatkan haji akan pengorbanan para
Syuhada di medan perang dan kekalahan orang-orang yang tamak atau
materialistis.
t. Masjid Qiblatain: disebut juga majid Bani Salamah. Letaknya di tepi
jalan menuju kampus universitas madinah dekat istana Raja. Hari senin
bulan Rajab tahun ke-2 H Nabi sedang Shalat Dzuhur turunlah QS Al-
Baqarah ayat 144 tentang perpindahan kiblat dari Masjid Aqsha ke
Masjid Haram. Masjid ini mengingatkan haji agar tidak mendewa-
dewakan tempat tertentu, kecuali yang telah ditetapkan oleh Allah.
u. Khandak/Masjid Khamsah: parit pertahanan bekas perang khandak
dimana nabi dan kota madinah di kepung oleh Kafir Quraisy bersama
sekutunya Yahudi Bani Nadhir dan Gathfan. Ide pembuatan parit dari
Salman Al-Farisi. Tempat ini mengingatkan pada haji agar semua

37
tingkah laku diatur dengan prosedur stamrategi yang mapan, bukan
nekad.

38
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Orang yang berIslam adalah orang yang menyerah, tunduk, patuh
dalam melakukan perilaku yang baik, agar hidupnya bersih lahir dan batin
pada gilirannya akan mendapatkan keselamatan dan kedamaian hidup di dunia
dan akhirat.Perilaku individu yang menyebabkan kekacauan dan kekhawatiran
sesungguhnya merupakan antithesis dari tujuan hakiki Islam, sekalipun ia
orang Muslim.
Kepribadian syahadatain adalah kepribadian individu yang didapat
elah mengucapkan dua kalimat syahadat, memahami hakikat dari ucapannya
serta menyadari akan segala konsekuensi persaksiannya tersebut. Kepribadian
mushalli adalah kepribadian individu yang didapat setelah melaksanakan
shalat dengan baik, konsisten, tertib dan khusyu', sehingga mendapatkan
hikmah dari apa yang dikerjakan. Kepribadian shaim adalah kepribadian
individu yang dapat setelah melaksanakan puasa dengan penuh keimanan dan
ketaqwaan, sehingga ia dapat mengendalikan diri dengan baik. Kepribadian
muzakki adalah kepribadian individu yang didapat setelah membayar zakat
dengan penuh keikhlasan, sehingga ia mendapatkan hikmah dari apa yang
dilakukan. Kepribadian haji adalah kepribadian individu yang didapat setelah
melaksanakan haji yang semata-mata dilakukan karena Allah Swt, sehingga ia
mendapatkan hikmah dari apa yang dilakukan.
B. Saran
Saran dari penulis yaitu diharapkan mahasiswa bimbingan dan
konseling sebagai calon pendidik dapat memahami dan mengaplikasikan
kepribadian muslim.

39
DAFTAR PUSTAKA

Mujib, Abdul. (2017). Teori Kepribadian Perspektif Psikologi Islam. Jakarta: PT


RajaGrafindo Persada.

40

Anda mungkin juga menyukai