Artinya : Allah melaknat muhallil dan muhallal lahu (HR Ahmad dengan
sanad hasan). Dalam hadist ini sudah jelas bahwa sanya allah akan melaknat Muhallil
dan muhallal lahu. Adapun ada beberapa hadist yang di riwayatkan oleh para
muhadist mengenai pernikahan Tahlil.
Dari beberapa hadist Rasulullah SAW yang sudah disebutkan diatas dapat
dipahami bahwa hukum nikah tahlil adalah haram dan akad nikah yang di lakukan
dinyatakan tidak sah meskipun tidak disebutkan secara langsung pada saad akad
nikah. Sebab, yang menjadi landasan dalam akad nikah adalah niat dan tujuan
pernikahan tersebut.
Ibnu Qayyim berkata, Tidak ada perbedaan pendapat di antara para ulama
Madinah, ahli hadits, dan ulama fikih mengenai haramnya nikah tahlil, baik
diucapkan secara langsung pada saat akad, dengan perbuatan (bersetubuh) ataupun
hanya sebatas niat, sebab akad yang dilakukan mesti dilakukan dengan ungkapan dan
ungkapan yang keluar sebagai bentuk dari niat. Ketika seseorang mengucapkan akad,
syarat yang diniatkan sejajar dengan syarat yang diucapkan. Kalimat yang diucapkan
tidak hanya sebatas diucapkan, tapi sebagai ungkapan atas niat atau maksud yang ada.
Karena itu, jika maksud dan tujuan sudah jelas, maka kalimat yang diucapkan tidak
menjadi suatu hal yang penting karena pada dasarnya, kalimat atau ungkapan hanya
sebatas media.
Oleh karena itu, bagaimana bisa dikatakan bahwa nikah tahlil adalah halal
sementara akad yang dilakukan hanya bertujuan untuk menghalaikan (mantan) istri
agar bisa menikah lagi dengan suami sebelumnya, dengan menentukan batas waktu
tertentu dan sama sekali tidak bertujuan untuk membina hubungan yang
berkelanjutan, tidak adanya keinginan untuk mewujudkan tujuan pernikahan seperti
mendapatkan anak, mendidiknya dan tujuan lain dari pernikahan sebagaimana yang
telah ditetapkan dalam syariat.
Ibnu Taimiyah berkata, Agama Allah swt. (Islam, red) terlalu suci dan bersih
jika hanya sekadar untuk memperbolehkan halalnya kemaluan (bersetubuh) sampai
sampai memperbolehkan laki laki yang tidak berkeinginan untuk menikah
(sebagaimana yang diatur dalam syariat) dan mempertahankan pernikahan. Pada
dasarnya, nikah tahlil merupakan perbuatan yang hina, bentuk lain dari pereinaan
sebagaimana yang disebut oleh sahabat Rasulullah saw.. Lantas, bagaimana mungkin
sesuatu yang haram dinyatakan halal? Bagaimana mungkin sesuatu yang kotor
dinyatakan bersih? Bagaimana mungkin sesuatu yang najis dikatakan suci?
Seseorang yang dilapangkan dadanya oleh Allah swt. dan diberi cahaya iman
tidak akan memungkiri bahwa nikah tahlil merupakan perbuatan yang paling buruk
dari sekian banyak perbuatan buruk yang ada, dan tidak bisa diterima oleh akal
manusia, terlebih lagi jika disandingkan dengan syariat para nabi yang merupakan
syariat yang paling mulia dan jalan yang paling terang
Inilah pendapat yang benar, dan juga diikuti oleh Imam Malik, Ahmad,
Tsauri, mazhab zhahiri, dan ulama-ulama fikih lainnya, seperti Hasan, Nakha'i,
Qatadah, Laits, dan Ibnu Mubarak.
Sebagian ulama ada juga yang mengatakan bahwa nikah tahlil hukumnya
boleh selama tidak diucapkan. Alasannya adalah bahwa ketentuan suatu hukum hanya
dinilai dari sisi zhahir (tampak), bukan didasarkan pada maksud dan niat yang
disembunyikan. Menurut mereka, niat ketika melakukan akad tidak memiliki
konsekuensi apa pun.
Abu Hanifah dan Zufar berkata, Apabila laki-laki itu mensyaratkan tahlil
ketika melakukan akad dengan menyebutkannya tujuan pernikahannya yang hanya
untuk menghalalkan perempuan yang dinikahi agar dia bisa menikah lagi dengan
suami sebelumnya, maka perempuan yang dinikahinya boleh menikah kembali
dengan suami sebelumnya tapi dibenci sebab nikah tidak dapat dibatalkan dengan
syarat yang batil. Dengan demikian, perempuan yang dinikahi secara tahlil
diperbolehkan menikah kembali dengan suami sebelumnya manakala dia sudah
dicerai atau suami yang menikahinya dengan tujuan tahlil meninggal dunia dan dia
sudah melewati masa iddah.
Abu Yusuf berpendapat, Akad nikah dengan tujuan untuk menghalalkan nikah
lagi dengan suami sebelumnya hukumnya tidak sah.
Ahmad berpendapat, Akad nikah yang dilakukan dengan tujuan untuk
menghalalkan nikah lagi dengan suami sebelumnya hukumnya sah, tapi perempuan
yang dinikahi tidak boleh kembali lagi kepada suami sebelumnya.
Bagi seorang suami menceraikan istrinya dengan telak tiga, dia tidak boleh
merujuknya Kembali, kecuali jika mantan istrinya sudah menikah dengan laki-laki
lain. kemudian dia menjanda kembali dan masa iddahnya sudah selesai. Pernikahan
yang dilakukan mantan istrinya dengan laki-laki lain juga dilandasi dengan kerelaan
dan atas dasar suka sama suka, bukan pernikahan yang hanya sebatas untuk
memenuhi persyaratan belaka.
Manakala perempuan yang ditalak tiga menikah lagi dengan laki-laki lain atas
dasar cinta dan dia melakukan persetubuhan sehingga mereka merasakan indahnya
pernikahan, kemudian laki-laki menikahinya menceraikannya ataupun meninggal
dunia, maka mantan suaminya diperbolehkan menikahinya lagi tapi setelah masa
iddah selesai.
Imam Syafi'i, Bukhari, Ahmad dan Muslim meriwayatkan hadits dari Aisyah
ra., bahwa istri Rifa'ah al-(ardhi mengadu kepada Rasulullah sa w. Dia berkata,
”Wahai Rasulullah, aku telah dicerai oleh Rifa'ah. Kemudian, Abdurrahman bin
Zubair menikahiku, dan dia hanya laksana pinggiran kain .
Dzaugu al-Usailah maksudnya adalah persetubuhan, dan hal itu cukup dengan
bertemunya alat kelamin laki-laki dan perempuan yang mewajibkan untuk mandi.
Para ulama fikih dan mufassir (pakar di bidang tafsir) mengatakan, di antara
hikmah penetapan syarat-syarat di atas adalah, ketika seorang laki-laki mengetahui
apabila dia menceraikan istrinya dengan talak tiga, maka istrinya tidak akan dapat
dirujuk atau dinikahi kembali, kecuali apabila mantan istrinya sudah menikah lagi
dengan laki laki Jain. Hal ini dapat membuatnya marah karena rasa cemburu, apalagi
jika orang yang menikahi mantan istri yang telah diceraikannya adalah orang yang
tidak disukainya.
Talak yang dilakukan suami kepada istri sampai kedua kalinya merupakan
ujian bagi sang istri karena pada perceraian yang pertama, suaminya mungkin tidak
bermaksud atau tidak menyadari ketika dia mengucapkan kalimat talak kepadanya.
Tidak lama setelah dia mengucapkannya, dia menyesali ucapannya tersebut lantas
merujuknya. Berbeda dengan perceraiannya yang kedua, suaminya tidak
menceraikannya, kecuali setelah adanya penyesalan atas perceraian yang pertama.
Jika kemudian suami merujuk istrinya kembali, hal itu merupakan bukti penguat
bahwa sang suami benar-benar tidak ingin melepaskan hubungannya dengan sang
istri. Jika dia kembali menceraikan istrinya untuk yang ketiga kalinya, setelah melihat
penderitaan yang dialami istrinya, sungguh dia termasuk sosok orang yang akalnya
tidak sempurna,
sehingga dia tidak diberi hal lagi untuk berkumpul dengan istrinya yang sudah
dicerai tiga, karena sang istri hanya akan dijadikan sebagai permainan belaka.
Sehingga hikmah larangan menikahi lagi istri yang sudah ditalak tiga adalah agar
sang istri terlepas dari kuasa suaminya.
Jika pada akhirnya sang istri yang sudah ditalak tiga berkeinginan untuk
menikah lagi dengan laki-laki lain dengan dilandasi rasa cinta, kemudian suami
keduanya sepakat untuk cerai atau meninggal dunia, dan dia (suami sebelumnya, red)
tertarik untuk menikahinya lagi, nraka dia diperbolehkan melakukannya tapi setelah
mantan istrinya yang sudah menikah dengan lakilaki lain selesai menjalani masa
iddah. Ketika suami pertama berkeinginan untuk menikahi mantan istrinya yang
sudah dicerai suami keduanya, dan sang suami yang pertama mengetahui hal itu,
diharapkan ikatan rumah tangganya yang dibangun kembali akan semakin kuat.
Apabila akad nikah disertai dengan syarat, baik syarat tersebut sesuai dengan
tujuan yang ingin dicapai dalam pernikahan ataupun tidak, syarat tersebut
mengandung manfaat ataupun tidak, sesuai dengan syariat ataupun tidak, maka
masing-masing syarat memiliki hukum tertentu. Secara garis besar uraiannya
sebagaimana berikut.
Di antara syarat yang harus dipenuhi adalah syarat yang mengarah pada
pemenuhan hak dan sesuai dengan tujuan dilangsungkannya akad nikah sehingga
tidak melanggar ketetapan Allah swt. dan rasul-Nya. Di antaranya adalah menjalin
hubungan yang baik, memberi nafkah dan tidak mengurangi hak-hak istri. Begitu
juga, syarat yang sudah umum diajukan kepada istri untuk berjanji bahwa dia tidak
akan keluar dari rumah, berpuasa, mempersilakan orang lain memasuki rumahnya,
dan membelanjakan uang, kecuali atas izin dari suaminya.
Apabila akad nikah yang dilakukan adalah sah, tapi persyaratan yang ada
tidak seiring dengan tujuan pernikahan, maka syarat tersebut tidak perlu
dilaksanakan.' Misalnya, syarat untuk tidak memberi nafkah kepada istri, tidak
bersetubuh, tidak membayar mahar, tidak tinggal bersama kecuali hanya pada malam
hari, atau istri diharuskan untuk menafkahi suami. Syarat-syarat seperti ini tidak
seiring dengan tujuan pernikahan sehingga syarat-syarat tersebut tidak sah dan tidak
perlu dipenuhi karena mengandung unsur untuk menggugurkan kewajiban yang
berlaku ketika seseorang menikah.