Anda di halaman 1dari 28

LAPORAN MINIPROJECT

GAMBARAN TINGKAT KEJADIAN KASUS TB PARU


PADA MASYARAKAT DI WILAYAH KERJA
PUSKESMAS KEBUN KOPI

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Pelayanan Kesehatan Masyarakat Primer


Program Internsip Dokter Indonesia

Disusun oleh :
dr. Larasantang Has Nuroh

Pendamping :
dr. Imat Rahmatillah

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA


UPT PUSKESMAS KEBUN KOPI
JAMBI
2021
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan

hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas penyusunan laporan mini project

yang berjudul “Gambaran Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kepatuhan Pengobatan TB

Paru Pada Pasien Di Wilayah Kerja Puskesmas Kebun Kopi. Penulisan mini project ini

disusun sebagai salah satu syarat dalam program internship untuk memenuhi Tugas

Pelayanan Kesehatan Masyarakat Primer pada Program Internship Dokter Indonesia (PIDI) di

Jambi.

Penulisan mini project ini terwujud atas bimbingan, pengarahan, dab bantuan dari

berbagai pihak. Untuk itu rasa terimakasih penulis ucapkan kepada dr. Imat Rahmatillah atas

jerih payah beliau dalam membimbing penulisan mini project ini sampai selesai. Pada

kesempatan ini peneliti juga mengucapkan terima kasih kepada:

Teman teman dokter intership UPT Puskesmas Kebun Kopi yang sedikit banyak telah

membantu dalam proses penulisan mini project ini.

Semua pihak yang telah memberikan bantuan baik secara moril maupun material yang

tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.


Semoga Allah SWT membalas budi baik semua pihak yang telah memberi kesempatan,

dukungan, ilmu, dan juga bantuan yang lain dalam menyelesaikan penulisan mini project

ini. Penulis menyadari bahwa penyusunan mini project ini masih memiliki banyak

kekurangan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun

guna perbaikan penelitian selanjutnya. Harapan penulis semoga penulisan mini project ini

dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu.

Jambi, 10 September 2021

dr. Larasantang Has Nuroh


BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tuberkulosis (TB) paru merupakan penyakit infeksi bakteri menahun yang disebabkan

oleh Mycobacterium tuberkulosis yang merupakan bakteri aerob. Penyakit ini biasanya

menyerang organ paru, tetapi dapat menyebar hampir seluruh bagian tubuh, seperti otak,

ginjal, tulang, dan kelenjar getah bening.

WHO menyatakan bahwa Tuberculosis atau TB masih menjadi masalah penting bagi

dunia. Dikatakan bahwa strategi DOTS terbukti mampu untuk pengendalian TB, tetapi angka

penyakit TB di masyarakat masih sangat tinggi. Sejak tahun 2003, diperkirakan masih

terdapat sekitar 9,5 juta kasus baru TB, dan sekitar 0,5 juta orang meninggal akibat TB di

seluruh dunia (WHO, 2009). Selain itu, pengendalian TB mendapat tantangan lagi yaitu ko-

infeksi TB dengan HIV, TB yang resisten obat dan tantangan lainnya.

Pengobatan kasus TB merupakan salah satu strategi utama dalam pengendalian TB

karena dapat memutuskan rantai penularan. Pada tahun 1994, WHO meluncurkan strategi

pengendalian TB untuk diimplementasikan secara internasional, yaitu DOTS (Direct Observe

Treatment Short-course). Pada 2006, WHO menetapkan strategi baru untuk menghentikan

TB yang bertujuan untuk mengintensifkan penanggulangan TB, menjangkau semua pasien,

dan memastikan tercapainya target Millennium Development Goals (MDGs) pada tahun

2015. Pengobatan TB paru memerlukan jangka waktu sekitar 6 – 9 bulan. Semua penderita

mempunyai potensi tidak patuh untuk berobat dan minum obat. Penggunaan obat yang benar

sesuai dengan jadwal (kepatuhan) sangat penting untuk menghindari timbulnya TB paru yang

resisten terutama pada fase lanjutan setelah penderita merasa sembuh. Penderita meminum

obat harus teratur sesuai petunjuk dan menghabiskan obat sesuai waktu yang ditentukan

berturut-turut tanpa putus.


Indonesia saat ini berada pada ranking kelima negara dengan beban TB tertinggi di dunia.

Estimasi prevalensi TB semua kasus adalah sebesar 660,000 (WHO, 2010) dan estimasi

insidensi berjumlah 430,000 kasus baru per tahun. Jumlah kematian akibat TB diperkirakan

61,000 kematian per tahunnya. Indonesia merupakan negara dengan percepatan peningkatan

epidemi HIV yang tertinggi di antara negara-negara di Asia. Estimasi nasional prevalensi

HIV pada pasien TB baru adalah 2.8%. Angka MDR-TB diperkirakan sebesar 2% dari

seluruh kasus TB dan 20% dari kasus TB dengan pengobatan ulang. Diperkirakan terdapat

sekitar 6.300 kasus MDR TB setiap tahunnya. Indonesia merupakan negara pertama diantara

High Burden Country (HBC) di wilayah WHO South-East Asian yang mampu mencapai

target global TB untuk deteksi kasus dan keberhasilan pengobatan pada tahun 2006.

Walaupun secara nasional menunjukkan perkembangan yang meningkat dalam penemuan

kasus dan tingkat kesembuhan, pencapaian di tingkat provinsi masih menunjukkan disparitas

antar wilayah. Sebanyak 28 provinsi di Indonesia belum dapat mencapai angka penemuan

kasus (CDR) 70% dan hanya 5 provinsi menunjukkan pencapaian 70% CDR dan 85%

kesembuhan. Angka nasional proporsi kasus relaps dan gagal pengobatan di bawah 2%, maka

angka resistensi obat TB pada pasien yang diobati di pelayanan kesehatan pada umumnya

masih rendah. Namun demikian, sebagian besar data berasal dari Puskesmas yang telah

menerapkan strategi DOTS dengan baik selama lebih dari 5 tahun terakhir. Kemungkinan

terjadinya resistensi obat TB lebih tinggi di rumah sakit dan sektor swasta yang belum terlibat

dalam program pengendalian TB nasional sebagai akibat dari tingginya ketidakpatuhan dan

tingkat drop out pengobatan karena tidak diterapkannya strategi DOTS. Data dari penyedia

pelayanan swasta belum termasuk dalam data di program pengendalian TB nasional.

Sedangkan untuk rumah sakit, data yang tersedia baru berasal dari sekitar 30% rumah sakit

yang telah melaksanakan strategi DOTS.


Laporan pencapaian MDG’s Tahun 2010 menunjukkan bahwa pengendalian penyebaran

dan mulai menurunkan jumlah kasus baru Tuberkulosis, merupakan satu satunya target

MDG’s di bidang kesehatan yang telah tercapai. Upaya pengendalian TB di Indonesia telah

dilaksanakan dengan benar dan memberikan kontribusi pada upaya pembangunan nasional.

Berdasarkan jumlah penduduk tahun 2015, diperhitungkan penemuan kasus baru TB

BTA + di Provinsi Jambi mencapai 122/100.000 penduduk. Dimana derajat kesehatan

masyarakat menunjukkan peningkatan yang baik dapat dilihat dari pencatatan dan pelaporan.

Beberapa penyakit menular seperti TB Paru, DBD, Diare, Pneumonia dan Kusta masih

menjadi masalah kesehatan.

Berdasarkan dari data rekapan kunjungan pasien Puskesmas Kebun Kopi selama tahun

2019- 2020, kasus TB Paru sebanyak 188 orang baik suspek maupun yang sudah terdiagnosis

TB Paru.

Berdasarkan latar belakang diatas maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian

terhadap penderita TB Paru dengan judul Gambaran Faktor-Faktor yang Mempengaruhi

Ketidakpatuhan Pengobatan Penyakit TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Kebun Kopi.

1.2 Rumusan Masalah

Dari uraian diatas tentang kondisi yang terjadi di wilayah kerja Puskesmas Kebun Kopi,

dapat disimpulkan permasalahan utama yang perlu digali adalah faktor-faktor apakah yang

mempengaruhi ketidakpatuhan pengobatan pasien TB Paru.

1.3 Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui gambaran faktor-faktor yang mempengaruhi ketidakpatuhan

pengobatan penyakit TB Paru di wilayah kerja Puskesmas Kebun Kopi.


1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Bagi Penulis

- Diharapkan dapat menambah ilmu pengetahuan bagi penulis tentang penyakit TB

Paru

- Untuk memenuhi tugas dalam menjalani program internsip dokter umum

Indonesia.

1.4.2 Bagi Masyarakat

- Hasil penelitian diharapkan agar masyarakat lebih memahami tentang penyakit

TB Paru

1.4.3 Bagi Puskesmas

- Diharapkan menjadi sebuah evaluasi kinerja puskesmas mengenai program TB

Paru

- Diharapkan dapat membantu puskesmas dalam pencapaian program TB Paru.


BAB 2
LATAR BELAKANG

2.1 Definisi Tuberculosis

Penyakit Tuberkulosis adalah penyakit infeksi bakteri menahun yang disebabkan oleh

Mycobacterium tuberculosis yang ditandai dengan pembentukan granuloma pada jaringan

yang terinfeksi, sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ

tubuh lainnya termasuk meningen, ginjal, tulang, dan nodus limfe.

2.2 Epidemiologi Tuberkulosis

Hingga saat ini, TB masih menjadi masalah kesehatan utama di dunia.

Mycobacterium tuberkulosis telah menginfeksi sepertiga penduduk dunia. Pada Tahun 1993,

WHO mencanangkan kedaruratan global penyakit TB karena pada sebagian besar negara di

dunia penyakit TB tidak terkendali. Hal ini disebabkan banyaknya penderita yang tidak

berhasil disembuhkan terutama penderita menular (BTA positif). Pada tahun 1995

diperkirakan setiap tahun terjadi sekitar 9 juta penderita baru TB dengan kematian 3 juta

orang. Di negara-negara berkembang, kematian TB merupakan 25% dari seluruh kematian

yang sebenarnya dapat dicegah. Diperkirakan 95% penderita TB berada di negara

berkembang 75% penderita TB adalah kelompok usia produktif (15 – 50 tahun).

TB adalah pembunuh nomor satu diantara penyakit menular dan merupakan peringkat

ketiga dalam daftar 10 penyakit pembunuh tertinggi di Indonesia yang menyebabkan sekitar

88.000 kematian setiap tahunnya. Secara Regional prevalensi TB BTA positif di Indonesia

dikelompokan kedalam 3 wilayah, yaitu :

1. Wilayah Sumatera angka prevalensi TB adalah 160 per 100.000 penduduk.

2. Wilayah Jawa dan Bali angka prevalensi TB adalah 110 per 100.000 penduduk.
3. Wilayah Indonesia timur angka prevalensi TB adalah 210 per 100.000 penduduk.

2.3 Etiologi Tuberkulosis

Penyakit tuberkulosis disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberkulosis. Bakteri ini

berbentuk batang lurus atau sedikit melengkung, tidak berspora dan tidak berkapsul. Ukuran

panjang sekitar 1 – 4 µm dan lebar 0,3 – 0,6 µm. Mycobacterium terdiri dari lapisan lemak

yang cukup tinggi (60%). Penyusun utama dinding sel bakteri adalah asam mikolat, kompleks

waxes, trehalosa dimicolat, dan mycobacterial sulfolipids yang berperan dalam virulensi.

Unsur lain yang terdapat pada dinding sel bakteri tersebut adalah polisakarida seperti

arabinogalaktan dan arabinomatan. Struktur dinding sel yang kompleks tersebut

menyebabkan bakteri bersifat tahan asam.

2.4 Patogenesis dan Cara Penularan Tuberkulosis

Terdapat beberapa spesies Mycobacterium, antara lain: M.tuberculosis, M.africanum, M.

bovis, M. tuberculosis, M. Leprae yang juga dikenal sebagai Bakteri Tahan Asam (BTA).

Sifat kuman Mycobacterium tuberculosis yaitu berbentuk batang dengan panjang 1-10

mikron dan lebar 0,2 - 0,8 mikron, bersifat tahan asam dalam pewarnaan dengan metode

Ziehl Neelsen, berbentuk batang berwarna merah dalam pemeriksaan dibawah mikroskop,

memerlukan media khusus untuk biakan, antara lain Lowenstein Jensen, Ogawa. Bakteri ini

tahan terhadap suhu rendah sehingga dapat bertahan hidup dalam jangka waktu lama pada

suhu antara 4°C sampai minus 70°C. Kuman ini peka terhadap panas, sinar matahari dan

sinar ultra violet, jika terjadi paparan langsung terhadap sinar ultra violet, sebagian besar

kuman akan mati dalam waktu beberapa menit. Dalam dahak dengan suhu antara 30-37°C

akan mati dalam waktu lebih kurang 1 minggu.


Penularan pasien TB, yang mengandung kuman TB dalam dahaknya akan menular pada

saat batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk percikan dahak

(droplet nuclei). Infeksi akan terjadi apabila seseorang menghirup udara yang mengandung

percikan dahak yang infeksius.

2.5 Klasifikasi Tuberkulosis

2.5.1 Berdasarkan Organ yang Terkena

1. Tuberkulosis paru

Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan (parenkim) paru, tidak

termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada hilus.

2. Tuberkulosis ekstra paru

Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura, selaput

otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar limfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal,

saluran kencing, alat kelamin, dan lain – lain.

2.5.2 Berdasarkan Pemeriksaan Laboratorium

1. Tuberkulosis paru BTA positif

- Sekurang- kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif.

- 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada menunjukan

gambaran tuberkulosis.

- 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman TB positif.

- 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah

pemberian antibiotika non OAT.

2. Tuberkulosis paru BTA negatif

- Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif.

- Foto toraks abnormal menunjukan gambaran tuberkulosis.


- Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.

- Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan.

2.5.3 Berdasarkan Riwayat Pengobatan Sebelumnya

1. Kasus baru adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah

pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu).

2. Kasus kambuh (relaps) adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah

mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan

lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA postif (apusan atau kultur).

3. Kasus setelah putus berobat (default) adalah pasien yang telah berobat dan putus

berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA positif.

4. Kasus setelah gagal (failure) adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap

positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama

pengobatan.

5. Kasus pindahan (transfes in) adalah pasien yang dipindahkan dari UPK yang

memiliki register TB lain untuk melanjutkan pengobatannya.

Kasus lain adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas. Dalam kasus ini

termasuk kasus kronik, yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif setelah

selesai pengobatan ulang.

2.6 Diagnosis Tuberkulosis

2.6.1 Gambaran klinis

Gambaran klinis penderita tuberkulosis paru dibagi menjadi dua golongan, yaitu gejala

respiratorik dan gejala sistemik.

1. Gejala respiratorik, meliputi :

a. Batuk > 3 minggu/ batuk darah


- Pada awal terjadinya penyakit, kuman akan berkembang biak di jaringan paru. Batuk

baru akan terjadi bila bronkus telah terlibat. Batuk merupakan akibat dari

terangsangnya bronkus yang bersifat iritatif. Kemudian akibat terjadinya peradangan,

batuk berubah menjadi produktif karena diperlukan untuk membuang produk-produk

ekskresi dari peradangan. Sputum dapat bersifat mukoid atau purulen.

- Batuk darah terjadi akibat pecahnya pembuluh darah. Berat atau ringannya batuk

darah tergantung dari besarnya pembuluh darah yang pecah. Gejala batuk darah tidak

selalu terjadi pada setiap penderita tuberkulosis paru, kadang-kadang merupakan

suatu tanda perluasan proses tuberkulosis paru. Batuk darah tidak selalu ada sangkut-

paut dengan terdapatnya kavitas pada paru.

b. Sesak napas

Pada penyakit yang ringan belum dirasakan sesak napas. Sesak napas akan

ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut, yang infiltrasinya sudah meliputi

setengah bagian paru, TB paru dengan efusi pleura yang massif, atau TB paru

dengan penyakit kardiopulmoner yang mendasarinya.

c. Nyeri dada

Nyeri dada bersifat tumpul. Adanya nyeri menggambarkan keterlibatan pleura

yang kaya akan persyarafan. Kadang-kadang hanya berupa nyeri menetap yang

ringan. Dapat juga disebabkan regangan otot karena batuk.

2. Gejala sistemik, meliputi :

a. Demam

Biasanya subfebris menyerupai demam influenza. Tetapi, kadang-kadang panas

badan dapat mencapai 40-410C. Serangan demam pertama dapat sembuh sebentar,

kemudian dapat timbul kembali. Begitulah seterusnya hilang timbulnya demam

influenza ini sehingga pasien merasa tidak pernah terbebas dari serangan demam.
Keadaan ini sangat dipengaruhi oleh daya tahan tubuh pasien dan berat ringannya

infeksi kuman tuberkulosis yang masuk.

b. Keringat di malam hari tanpa disertai aktivitas

c. Anoreksia dan penurunan berat badan

- Penyakit tuberkulosis paru bersifat radang menahun. Gejala malaise sering

ditemukan berupa anoreksia tidak ada nafsu makan sehingga membuat badan

penderita makin kurus (penurunan berat badan).

2.6.2 Pemeriksaan Fisik

Pada tuberkulosis paru, kelainan yang didapat tergantung luas kelainan struktur

paru. Pada awal perkembangan penyakit umumnya sulit untuk ditemukan kelainan.

Pada pemeriksaan fisik ditemukan :

Inspeksi : Gerakan dinding dada simetris, namun kadang terdapat retraksi rongga

dada, difragma dan mediastinum.

Palpasi : Fremitus biasanya meningkat.

Perkusi : Tergantung dari beratnya TB, bisa dari pekak sampai redup.

Auskultasi : Suara nafas bronchial, amforik, suara nafas lemah, ronkhi basah

2.6.3 Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakan diagnosis, menilai keberhasilan

pengobatan, dan menentukan potensi penularan. Pemeriksaan dahak untuk

penegakan diagnosis dilakukan dengan mengumpulkan tiga spesimen dahak yang

dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berturutan berupa Sewaktu – Pagi –

Sewaktu (SPS) :

- S (sewaktu) : dahak dikumpulkan pada saat suspek TB datang berkunjung pertama

kali. Pada saat pulang, suspek membawa sebuah pot dahak untuk mengumpulkan

dahak pagi pada hari kedua.


- P (pagi) : dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah bangun

tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas di UPK.

- S (sewaktu) : dahak dikumpulkan di UPK pada hari kedua saat menyerahkan dahak

pagi.

Interpretasi pemeriksaan mikroskopik dibaca dalam skala IUATLD (International

Union Against Tuberkulosis and Lung Disease) :

- Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang disebut negatif.

- Ditemukan 1 – 9 BTA dalam 100 lapang pandang hanya disebutkan dengan jumlah

kuman yang ditemukan.

- Ditemukan 10 – 99 BTA dalam 100 lapang pandang disebut + (+1).

- Ditemukan 1 – 10 BTA dalam 1 lapang pandang disebut ++ (+2).

- Ditemukan > 10 BTA dalam 1 lapang pandang disebut +++ (+3).

2.6.4 Pemeriksaan Radiologi

Pada sebagian besar TB paru, diagnosis terutama ditegakan dengan pemeriksaan

dahak secara mikroskopis dan tidak memerlukan foto toraks. Namun, pada kondisi

tertentu, pemeriksaan foto toraks perlu dilakukan sesuai dengan indikasi sebagai

berikut :

- Hanya satu dari tiga spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif. Pada kasus ini,

pemeriksaan foto toraks dada diperlukan untuk mendukung diagnosis TB paru BTA

positif.

- Ketiga spesimen dahak hasilnya tetap negatif setelah tiga spesimen dahak SPS pada

pemeriksaan sebelumnya hasilnya negatif dan tidak ada perbaikan setelah pemberian

antibiotik non OAT.


- Pasien tersebut diduga mengalami komplikasi sesak nafas berat yang memerlukan

penangan khusus, seperti pneumothoraks, pleuritis eksudatif, efusi perikarditis, atau

efusi pleural dan pasien yang mengalami batuk berdarah berat untuk menyingkirkan

bronkiektasis atau aspergiloma.

Gambaran radiologi yang dicurigai sebagai lesi aktif akan tampak bayangan

berawan di segmen apikal dan posterior lobus atas paru dan segmen superior lobus

bawah. Dapat ditemukan juga kavitas atau bayangan bercak milier. Pada lesi TB

inaktif tampak gambaran fibrotik, kalsifikasi dan penebalan pleura.

Pemeriksaan foto toraks standar untuk menilai kelainan radiologis TB paru adalah

foto toraks posisi posteroanterior dan lateral. Kelainan radiologis tuberkulosis paru

menurut klasifikasi The National Tuberkulosis Assosiation of the USA (1961) adalah

sebagai berikut:

1. Minimal lesion

- Infiltrat kecil tanpa kaverne.

- Menenai sebagian kecil dari satu paru atau keduanya.

- Jumlah keseluruhan paru yang ditemui tanpa memperhitungkan

distribusi, tidak lebih dari luas antara pesendian chondrosternal kedua sampai corpus

vertebra torakalis V (kurang dari 2 sela iga).

2. Moderately advanced lesion

Dapat mengenai sebelah paru atau kedua paru tetapi tidak melebihi ketentuan

sebagai berikut :

- Bercak infiltrat tersebar tidak melebihi volume sebelah paru.

- Infiltrat yang mengelompok yang luasnya tidak melebihi 1/3 volume

sebelah paru.

- Diameter kaverne bila ada tidak melebihi dari 4 cm.


3. Far advanced lesion

Far advanced lesion merupakan lesi yang melewati moderately advanced lesion atau

ada kavernae yang sangat besar.

Tersangka penderita
TBC (suspek TBC)

Periksa dahak Sewaktu, Pagi, Sewaktu

Hasil BTA Hasil BTA Hasil BTA - - -


+ + +/+ + - + - -

Beri antibiotik spektrum luas


Periksa Rontgen Dada

Tidak ada Ada


perbaikan perbaikan
Hasil tidak
Hasil mendukung TBC
mendukung
TBC
Ulang pemeriksaan dahak
mikroskopik
M

Penderita TBC BTA Hasil BTA Hasil


positif +++ BTA
++- ---
+--

Periksa Rontgen dada

Hasil Hasil
mendukung TBC Rontgen (-)

TBC BTA negatif Bukan TBC,


Rontgen positif penyakit lain

Gambar 1.1 Alur Diagnosis TB paru


2.7 Penatalaksanaan Tuberkulosis

Lini pertama (first choice) yaitu Rifampisin (R), Isoniazid (H), Pirazinamid (Z),

Etambutol (E), Streptomisin (S).

Menurut Depkes RI (2002), paduan OAT disediakan dalam bentuk paket kombipak,

dengan tujuan untuk memudahkan pemberian obat dan menjamin kelangsungan

pengobatan sampai selesai. Satu paket untuk penderita dalam satumasa pengobatan.

Program Nasional Penanggulangan TB di Indonesia.

Hasil Akhir Pengobatan TB dibagi menjadi :

a. Sembuh: dari bakteriologis positif menjadi negatif di akhir pengobatan

b. Lengkap: Pengobatan lengkap tetapi hasil akhir pengobatan tidak diketahui

c. Gagal: dahak tetap positif atau kembali positif pada buln ke lima atau lebih, atau hasil

dahak menunjukan resisten obat

d. Meninggal ( oleh sebab apapun)

e. Lost to follow up ( putus obat): – pasien TB yang tidak mium obat atau berhenti

berobat secara terus menerus > 2 bulan

f. Tidak dievaluasi: tidak diketahui hasil akhir pengobatan (termasuk pasien pindah)

DOTS (Directly Observed Treatment Short Course)


DOTS dalah suatu strategi atau cara penanggulangan TB yaitu: pengobatan TB

menggunakan rejimen jangka pendek ( 6 bulan ) dengan pengawasan langsung. Bukan berarti

obat gratis atau obat program.

2.8 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kepatuhan Minum Obat Pasien TB Paru

1. Faktor Keluarga

Tingkat kepatuhan pasien tuberculosis sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor

diantaranya motivasi keluarga, pengetahuan dan sikap pasien. Pada umumnya, pasien

sangat membutuhkan dukungan dari keluarga agar mau menyelesaikan pengobatan

hingga tuntas. Bentuk dukungan yang dapat membuat pasien merasa nyaman seperti,

diperdulikan dan dicintai oleh keluarga sehingga dapat menghadapi masalah dengan

baik. Penelitian Septia, dkk (2013) menyatakan bahwa dukungan dari keluarga pasien

penderita TB dapat meningkatkan kepatuhan pasien untuk minum obat. Pasien harus

diberi perhatian lebih dengan motivasi dari keluarga agar memiliki semangat dan

dorongan agar segera sembuh.

2. Faktor Pengetahuan

Pada faktor pengetahuan, dimana pengetahuan yang banyak dapat meningkatkan

keyakinan diri pasien mengenai manfaat yang akan didapat jika mengikuti masa

pengobatan secara rutin dan teratur. Peran keluarga dalam kategori baik

meningkatkan kepatuhan pasien dalam berobat dengan persentase 52,3%.


3. Faktor Pekerjaan

Berdasarkan data yang didapatkan ditemukan fakta bahwa pasien yang mengidap

tuberculosis dan bekerja lebih rendah tingkat kepatuhannya dibandingkan dengan

pasien yang bekerja. Hal ini disebabkan oleh kesibukan. Terdapat hubungan pekerjaan

dengan kepatuhan minum obat pada penderita TB Paru. Pada dasarnya, pekerjaan

menentukan penghasilan keluarga penderita TB dan penderita TB lebih memilih

untuk bekerja dibandingkan menyelesaikan pengobatannya hingga selesai.

4. Faktor Kebudayaan

Selain faktor diatas, terdapat faktor negatif yang mempengaruhi tingkat kepatuhan

pasien, yaitu budaya yang menganggap bahwa penyakit tuberculosis merupakan

penyakit kutukan. Faktor ini dapat dihilangkan dengan memberikan pengetahuan

lebih mengenai penyakit yang diderita pasien.


BAB 3
METODE

3.1 Analisis Masalah

3.1.1 Identifikasi Masalah

Proses identifikasi masalah melalui kegiatan analisis laporan program puskesmas pada

tahun 2021 di Puskesmas Kebun Kopi, serta observasi langsung lapangan.

Hasil dari proses identifikasi, ditemukan 3 masalah. Masalah ini dilihat dari urgensi,

intervensi, ketersediaan biaya yang dapat diupayakan, serta dampak yang dihasilkan terhadap

peningkatan derajat kesehatan masyarakat.

Uraian 4 permasalahan kesehatan yang dipilih tersebut, yaitu :

1. Prioritas Penyakit TB Paru

2. Pemberian ASI Eksklusif

3. Penggunaan jamban sehat

4. Ketersedian air bersih

3.1.2 Prioritas Masalah

Berdasarkan empat masalah diatas, selanjutnya dilakukan pemilihan prioritas masalah

dengan menggunakan analisis USG dengan mempertimbangan kriteria sebagai berikut :

Tabel 3.1 Kriteria penentuan prioritas masalah dengan metode USG

U Urgensi Tingkat kepentingan yang mendesak


S Seriousness Tingkat kesungguhan, bukan karena waktu penanganan

masalah
G Growth Tingkat perkiraan dan bertambah buruknya keadaan pada

saat masalah mulai terlihat sesudahnya

Tabel 3.2 Penilaian kriteria metoda USG


Nilai Kriteria
Urgency Seriousness Growth
5 Sangat urgen Sangat serius Sangat tumbuh
4 Cukup urgen Cukup serius Cukup
3 Urgen Serius Tumbuh
2 Kurang urgen Kurang serius Kurang tumbuh
1 Sangat kurang Sangat kurang serius Sangat kurang

tumbuh

Dengan menjumlahkan ( U + S + G) maka nilai total akan diurutkan sebagai prioritas

masalah.

No Masalah Pokok Kriteria Total Rangking


U S G
1 Penyakit TB Paru 4 4 4 12 I
2 Pemberian ASI Eksklusif 4 2 3 9 II
3 Penggunaan Jamban Sehat 2 3 2 7 III
4 Ketersediaan air bersih 2 2 2 6 IV

3.1.3 Analisis Penyebab Masalah dan Pemecahan Masalah

Analisis Penyebab Masalah

Dari hasil analisis sebab akibat masalah tersebut, maka dapat disimpulkan dalam diagram

Ischikawa (diagram tulang ikan/fishbone) sebagai berikut :


Material Man
Penyakit
TB Paru

Metode Environment

Pemecahan Masalah

1. Man

Masalah :

- Kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai penyakit TB Paru

- Kurangnya penerapan pola hidup sehat di masyarakat

- Kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya pengobatan TB Paru secara

tuntas

- Ketidakpatuhan pasien meminum obat TB secara teratur

- Kurangnya kesadaran anggota keluarga terhadap pasien yang tidak dapat datang

sendiri ke pelayanan Kesehatan

Penyelasaian Masalah :

- Melakukan penyuluhan kepada masyarakat agar masyarakat lebih mengetahui

tentang penyakit TB Paru dan juga agar masyarakat dapat melakukan pengobatan

dan pencegahan akan penyakit TB Paru.


- Membentuk tim kader TB Paru dimasing masing desa agar dapat lebih efektif

dalam penemuan suspek TB Paru sehingga akan meningkatkan penemuan kasus

TB Paru dengan BTA Positif.

2. Metode

Masalah :

- Kurangnya penderita TB Paru yang terdata, karena penderita tidak memeriksakan

diri.

Penyelesaian Masalah :

- Melakukan Penyuluhan kepada masyarakat agar mau memeriksakan diri ke

Puskesmas, Klinik ataupun Rumah Sakit jika mengalami gejala gejala TB Paru.

- Turun ke lapangan atau masing masing desa untuk melakukan screening kepada

masyarakat dan membagikan pot TB kepada masyarakat yang mengalami gejala

ataupun mempunyai faktor resiko terkena TB Paru agar dapat terdata dan dapat

dilakukannya pengobatan ataupun pencegahan untuk selanjutnya.

3. Material

Masalah :

- Kurangnya sarana promosi penyakit TB Paru

Penyelesaian Masalah :

- Melakukan promosi atau menyampaikan informasi tentang TB kepada masyarakat

dengan menggunakan berbagai media seperti poster dan lainnya sewaktu

melakukan kegiatan lapangan seperti pengobatan gratis, posko ataupun kegiatan

promosi Kesehatan lainnya.

4. Environment

Masalah :
- Masih banyak anggapan masyarakat bahwa meminum obat TB Paru akan

berbahaya.

Penyelesaian Masalah

- Menjelaskan kepada masyarakat bagaiman cara pengobatan dan efek samping

yang mungkin akan timbul dari obat TB paru.

- Turun secara langsung melakukan pengobatan gratis sekaligus membagikan pot

TB dan mengambilnya kembali untuk dilakukan pengevaluasian lebih lanjutan.

3.2 Pemilihan Intervensi

Intervensi dilakukan dengan memberikan penyuluhan secara langsung, dan tanya

jawab. Sebelum melakukan penyuluhan dilakukan pemeriksaan tekanan darah, berat

badan,dan pengumpulan pot TB yang sebelumnya sudah dibagikan. Selanjutnya melakukan

kegiatan pemeriksaan dan pengobatan gratis bagi masyarakat.

Setelah itu, penyuluhan dilakukan dengan materi yang disajikan yaitu mengenai TB

Paru dimana dijelaskan apa saja gejala, pengobatan, pencegahan dan komplikasi yang dapat

terjadi. Dan pentingnya melakukan pengobatan TB Paru secara teratur dan tuntas, serta

menerapkan pola hidup sehat tentang bagaimana etika batuk atau membuang dahak.

Dijelaskan pula cara penggunaan obat hipertensi dan efek samping obat.

3.3 Tempat dan Waktu Penelitian

Kegiatan dilaksanakan pada bulan Juni – September 2021 di Puskesmas Kebun Kopi.

3.4 Sasaran
Sasaran kegiatan adalah masyarakat di wilayah kerja Puskesmas Kebun Kopi.

3.5 Media

Media penyuluhan yang digunakan adalah menggunakan slide power point yang

disampaikan menggunakan laptop dan dilakukan diskusi Tanya jawab.

BAB IV
HASIL

4.1 Profil Komunitas Umum


Pusat Kesehatan Masyarakat (PUSKESMAS) adalah organisasi fungsional yang

menyelenggarakan upaya kesehatan yang bersifat menyeluruh, terpadu, merata, dapat

diterima dan terjangkau oleh masyarakat, dengan peran serta aktif masyarakat dan

menggunakan hasil pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tepat guna, dengan biaya

yang dapat dipikul oleh pemerintah dan masyarakat.

Puskesmas memiliki 6 program pokok pembangunan kesehatan meliputi promosi

kesehatan, KIA-KB, Perbaikan gizi, kesehatan lingkungan, pemberantasan penyakit menular,

serta pengobatan.

Pembangunan kesehatan mengacu kepada konsep “Paradigma Sehat” yaitu pembangunan

kesehatan yang memeberikan prioritas utama pada upaya pelayanan peningkatan kesehatan

(promotif) dan pencegahan penyakit (preventif) dibandingkan upaya pelayanan

penyembuhan/pengobatan (kuratif) dan pemulihan (rehabilitative) secara menyeluruh dan

terpadu serta berkesinambungan.

4.2. Data Geografi

Puskesmas Kebun Kopi berada di Provinsi Jambi Kecamatan Jelutung. Wilayah

Puskesmas Kebun Kopi memiliki wilayah kerja sebanyak 2 kelurahan yaitu kelurahan The

Hok dan kelurahan Pasir Putih. Puskesmas Kebun Kopi memiliki 3 PUSTU (Puskesmas

Pembantu) yaitu Pustu The Hok, Pustu Pasir Putih, Pustu Wahyu.

4.3. Data Demografis


Pembangunan kesehatan nasional perlu diakan dukungan dan peran serta dari masyarakat.

Oleh sebab itu, data kependudukan suatu daerah dalam penyusunan perencanaan

pembangunan kesehatan sangat dibutuhkan.

4.4. Sumber Daya Kesehatan yang ada

Puskesmas Kebun Kopi memiliki sumber daya kesehatan yang terdiri dari dokter spesialis

tidak ada, dokter umum 3 orang, dokter dokter gigi 1 orang, bidan, perawat, tenaga kesehatan

masyarakat, tenaga gizi, tenaga kefarmasian, dan laboratorium.

4.5. Sarana Pelayanan Kesehatan

Dalam memberikan pelayanan kesehata secara menyeluruh, Puskesmas Kebun Kopi

memiliki sarana pelayanan kesehatan berupa poli umum, poli MTBS, poli gigi, poli KIA-KB,

poli tindakan, kefarmasian, dan laboratorium.

4.6. Data Pasien TB Paru

Pada tahun 2021 jumlah pasien yang datang ke poli TB Paru baik pasien yang

terdiagnosis TB Paru maupun pasien Suspect TB paru sebanyak 25 orang dimana 13

orang telah terdiagnosis TB Paru dan 12 orang merupakan Suspect TB Paru.

DAFTAR PUSTAKA
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Nasional penanggulangan

Tuberkulosis, Jakarta: 2006.

Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Buku Ajar Ilmu Penyakit

Dalam Edisi IV Jilid II. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Peyakit Dalam Fakultas

Kedoktern UI, Jakarta: 2006.

World Health Organization. Tuberkulosis Facts 2007. http://www.who.int/TB/en/.

Diakses 3 Agustus 2016.

Depkes RI. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis Edisi II. Jakarta:

Departemen Kesehatan RI, 2008.

Depkes RI. Komite Nasional Penanggulangan Penyakit Tuberkulosis Paru di Indonesia.

Prosedur Tetap Penanggulangan TB Paru Nasional Secara Terpadu. Jakarta: Departemen

Kesehatan RI, 2006.

Adane AA, Alene KA, Koye DN, Zeleke BM. (2013). Nonadherence to Anti-

Tuberculosis Treatments and Determinant Factors among patients with Tuberculosis in

Northwest Ethiopia. PLoS ONE 8(11): e78791.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit

dan Penyehatan Lingkungan. (2011). Strategi Nasional Pengendalian TB di Indonesia 2010-

2014. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; 2011.

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Tuberkulosis: pedoman diagnosis dan

penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia; 2011.

Prihantana dan Wahyuningsihm, 2016. Hubungan Pengetahuan Dengan Tingkat

Kepatuhan Pengobatan Pada Pasien Tuberkulosis di RSUD dr. Soehadi. Jurnal Farmasi

Sains dan Praktis. Vol. 2(1).

Anda mungkin juga menyukai