Anda di halaman 1dari 7

MATERI 1

USHUL FIQH
A. PENGERTIAN FIQIH DAN USHUL FIQH
Ushul Fiqh berasal dari bahasa Arab yang terdiri dari 2 kata, yaitu Ushul dan
Fiqh.
‫األصول لغة مجع أصل‬
Kata “Ushul” secara etimologi (bahasa) adalah bentuk jamak (plural) dari kata “Ashl”
yang berarti asal.
‫األصول هي األسس أو القواعد اليت يبىن عليها غريها‬
Sedangkan kata “Ushul” secara terminologi (istilah) berarti asas-asas atau dasar-dasar
yang di atasnya dibangun sesuatu yang lain.

‫الفقه لغة الفهم‬


Kata “Fiqih” secara etimologi (bahasa) adalah “al-fahmu” yang berarti pemahaman.

‫الفقه اصطالحا هو العلم ابألحكام الشرعية العملية ادلستفادة من أدلتها التفصيلية‬


Sedangkan kata “Fiqih” secara terminologi (istilah) adalah ilmu tentang hukum-
hukum syara‟ yang amaliyah yang diperoleh dari dalil-dalilnya yang terperinci".

Menurut Sayyid Al-Jurjani, Fiqih adalah:


‫العلم ابألحكام الشرعية العملية من أدلتها التفصيلية‬
“Ilmu tentang hukum-hukum syara' mengenai perbuatan dari dalil-dalilnya yang
terperinci.”.

Sedangkan menurut Abdul Wahhab Khallaf, Fiqih adalah:

‫جمموعة األحكام الشرعية العملية ادلستفادة من أدلتها التفصيلية‬


“Kumpulan hukum-hukum syara' mengenai perbuatan/tindakan yang didapatkan
dari dalil-dalilnya yang terperinci”.

‫أصول الفقه هي األدلة اإلمجالية والقواعد اليت يتوصل هبا إىل العلم ابألحكام الشرعية العملية ادلستفادة من‬
‫أدلتها التفصيلية‬
"Ushul Fiqh adalah dalil-dalil ijmal (global) dan kaidah-kaidah yang digunakan untuk
sampai pada pengetahuan tentang hukum syara‟ yang amaliyah yang diperoleh dari
dalil-dalilnya yang rinci".

PENJELASAN DEFINISI USHUL FIQH:

1) Adillah Al-Ijmaliyah (Dalil Ijmali) adalah dalil-dalil global (bukan dalil-dalil


tafshili), seperti Al-Qur‟an, As-Sunnah, Ijma‟, dll.
2) Qawa’id (Kaidah-Kaidah), meliputi dua macam kaidah:

1
a) Qawa’id Fiqhiyah (kaidah fiqih), seperti kaidah “Maa laa yatimmul
waajibu illa bihi fahuwa waajib”.
b) Qawa’id Ushuliyah (Kaidah Ushul Fiqh), seperti kaidah “al-ashlu fi al-
kalaam al-haqiqah” dan kaidah “al ‘aam yabqaa ‘ala ‘umuumihi maa lam
yarid dalil at-takhsis”.
3) Al-Ilmu (pengetahuan) adalah terwujudnya “malakah” (hushulul malakah) yaitu
suatu pemahaman mendalam pada diri seorang faqih.
4) Al-Amaliyah maksudnya, yang berhubungan dengan perbuatan manusia (lahaa
alaqah bi a‟maal al „ibad), seperti sholat, jual beli, jihad, nashbul khalifah
(mengangkat khalifah), dll.
5) Al-Mustafaadah maksudnya, yang diambil dengan istinbath atau tanpa istinbath.
6) Adillah Tafshiiliyah (dalil-dalil terperinci) maksudnya dalil-dalil juz‟i (parsial),
yaitu sebuah ayat atau hadits tertentu, atau bagian dari ayat atau hadits tertentu.
Menurut Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh adalah:
‫العلم ابلقواعد وادلبحوث اليت يتوصل هبا إىل استفادة األحكام الشرعية من أدلتها التفصيلية‬
“Ilmu tentang kaidah-kaidah (aturan-aturan/ketentuan-ketentuan) dan pembahasan-
pembahasan yang dijadikan sarana untuk memperoleh hukum-hukum syara‟
mengenai perbuatan dari dalil-dalilnya yang terperinci”.
Maksud dari kaidah-kaidah itu dapat dijadikan sarana untuk memperoleh
hukum-hukum syara‟ mengenai perbuatan tertentu, yakni kaidah-kaidah tersebut
merupakan tata cara atau prosedur yang harus ditempuh untuk memperoleh hukum-
hukum syara‟.
Sedangkan menurut Muhammad Abu Zahrah, Ilmu Ushul Fiqh adalah:
‫العلم ابلقواعد اليت ترسم ادلناهج الستنباط األحكام العملية من أدلتها التفصيلية‬
“Ilmu tentang kaidah-kaidah yang menggariskan tata cara untuk memperoleh hukum-
hukum shara' mengenai perbuatan dari dalil-dalilnya yang terperinci”.
Dikatakan oleh Muhammad Abu Zahrah bahwa Ilmu Ushul Fiqh adalah ilmu
yang menjelaskan cara dan prosedur yang ditempuh oleh imam- imam mujtahid
dalam mengambil hukum dari dalil-dalil yang berupa nash-nash (teks-teks) syara‟ dan
dalil-dalil yang didasarkan kepadanya, dengan memberikan 'illat (alasan hukum)
yang dapat dijadikan dasar ditetapkannya hukum serta kemaslahatan-kemaslahatan
yang dimaksud oleh syara‟. Oleh karena itu, Ilmu Ushul Fiqh dapat juga dikatakan:
‫جمموعة القواعد اليت تبني للفقيه طرق استخراج األحكام من األدلة الشرعية‬
“Kumpulan kaidah-kaidah yang menjelaskan kepada faqih cara-cara
mengeluarkan/menetapkan hukum-hukum dari dalil-dalil syara‟”.
Ushul Fiqh intinya adalah suatu minhaj (metode) yang ditempuh mujtahid
untuk mengistinbath hukum dari sumber-sumber hukum (dalil syara‟).
Dari definisi di atas maka Ushul Fiqh merupakan ilmu hukum islam di
bidang amaliyah praktis; bidang kajian usul fiqh merupakan persoalan yang praktis
bukan dalam bidang tauhid/i‟tiqad, Ushul fiqh merupakan prosedur yang terukur
bagi fuqaha dalam menjalankan istinbath hukum. Metode yang digunakan fuqaha

2
merupakan aplikasi satuan dalil tertentu dalam kasus hukum amaliyah dengan nalar
deduktif dan normatif.

B. SEJARAH PERTUMBUHAN USHUL FIQH


 IMAM SYAFI’I PELETAK USHUL FIQH
Imam Syafi‟i hidup 150-204 H. Termasuk generasi Tabi‟it Tabi‟in. Berguru
kepada Imam Malik (W.179H) di Madinah dan bertemu dengan murid-murid Imam
Abu Hanifah (W.150H), seperti Muhammad bin Al Hasan (W.189H) di Baghdad.
Imam Syafi‟i disebut peletak dasar ilmu Ushul Fiqh. Mengapa? Karena beliau
ulama pertama yang menulis kitab Ushul Fiqh secara sistematis, berjudul “Ar-
Risalah”. Imam Ibnu Khaldun (W.808H) dalam kitabnya “Muqaddimah” ketika
membahas ilmu ushul fiqh, beliau mengatakan:
‫ تكلم فيها يف األوامر والنواهي‬،‫ أملى فيه رسالته ادلشهورة‬،‫وكان أول من كتب فيه الشافعي رضي هللا تعاىل عنه‬
‫والبيان واخلرب والنسخ وحكم العلة ادلنصوصة من القياس‬
“Orang pertama yang menulis dalam bidang itu [ushul fiqh] adalah Asy-Syafi‟i RA,
di dalamnya beliau mendiktekan kitab Ar-Risalah yang terkenal, di dalamnya beliau
bicara tentang amar dan nahi, bayan, khabar (hadits), nasakh, dan hukum illat yang
disebut dalam nash dalam Qiyas”.

 USHUL FIQH PRA (SEBELUM) IMAM SYAFI’I


Pada masa Rasulullah SAW, shahabat, dan tabi‟in, ilmu ushul fiqh belum ada,
atau setidaknya belum tertulis. Ijtihad oleh shahabat di masa Rasulullah SAW, juga
masa shahabat dan masa tabi‟in, dilakukan secara alamiah. Karena mereka menguasai
bahasa Arab, sebagai bahasa Al Qur`an dan As Sunnah.
Pada awal abad kedua Hijriyah, seiring dengan futuhat dan perluasan Daulah
Islamiyah, banyak bangsa non Arab masuk Islam (Romawi, Persia, India, Barbar, dll).
Akibat interaksi bangsa Arab dan non Arab itu, kemampuan bahasa Arab di
kalangan muslim Arab mulai melemah karena pengaruh bahasa dan lahjah (dialek)
bangsa non Arab.
Maka dirasakan ada kebutuhan untuk menetapkan kaidah (qawa‟id) dan
norma (dhawabith) bahasa Arab untuk mengistinbath hukum dari Al Qur`an dan As
Sunnah.
Dari sekumpulan kaidah (qawa‟id) dan norma (dhawabith) bahasa Arab itulah,
maka terbentuk disiplin ilmu bernama: USHUL FIQH. Ulama pertama yang
menghimpun berbagai kaidah dan norma tersebut, konon adalah Imam Abu Yusuf
(W.182H), shahabat Imam Abu Hanifah, sebagaimana disebut oleh Ibnu Nadiim
(W.438H) dalam kitabnya Al-Fihris. Tapi sayang kitab beliau tidak sampai kepada
kita. Kitab pertama tentang ushul fiqh yang sampai kepada kita adalah Ar-Risalah
karya Imam Syafi‟i.
Diterangkan oleh Abdul Wahhab Khallaf, bahwa ulama yang
pertama membukukan kaidah-kaidah Ilmu Ushul Fiqh dengan alasan-alasannya,
adalah Muhammad bin Idris Asy-Syafi‟i (W.204H) dalam sebuah kitab yang diberi

3
nama Ar-Risalah dan kitab tersebut adalah kitab dalam bidang Ilmu Usul Fiqh yang
pertama sampai kepada kita. Oleh karena itu terkenal di kalangan para ulama bahwa
beliau adalah pencipta Ilmu Usul Fiqh. Pembahasan tentang Ilmu Usul Fiqh
ini, kemudian dilanjutkan oleh para ulama generasi selanjutnya.

 USHUL FIQH PASCA (SESUDAH) IMAM SYAFI’I


Meski Imam Syafi‟i adalah penulis kitab ushul fiqh pertama, tapi kitab ini
belumlah sempurna dan menyeluruh. Karena itu, para ulama ada yang mendukung
kitab Ar-Risalah, ada yang menambahkan kaidah-kaidah baru, dan ada yang
menyalahi kaidah-kaidah yang dibuat Imam Syafi‟i. Setelah berkembangnya
madzhab-madzhab fiqih, mereka mempunyai sikap masing-masing terhadap kitab Ar-
Risalah.
Berikut ini sikap dari masing-masing madzab fiqih terhadap kitab Ar-Risalah:
a) SIKAP MADZHAB SYAFI’I: Mereka mendukung kitab Ar Risalah dan
membuat berbagai syarah (penjelasan/uraian) dari kitab Ar Risalah. Mereka itu
misalnya:
(1) Abu Bakar Muhammad As Shairafi (W.330H).
(2) Abu Muhammad Al Qaffaal As Syaasyi (W.365H)
(3) Abu Muhammad Abdullah bin Yusuf Al Juwaini (W.438H).
b) SIKAP MADZHAB HANAFI: Mereka menambahkan dua dalil ijmali (sumber
hukum) yaitu Al-Istihsan dan „Urf. Dua dalil ijmali itu menambah dalil-dalil
ijmali dalam kitab Ar Risalah yang terbatas pada empat saja: Al-Qur’an, As
Sunnah, Ijma’, dan Qiyas. Kitab ushul fiqh yang awal, misalnya Risalah Al-
Karkhiy, karya Imam Al-Karkhiy (W.340H). Juga kitab Ushul Al-Jashshash,
karya Imam Al Jashshash (W.370H).
c) SIKAP MADZHAB MALIKI: Mereka menambahkan tiga dalil ijmali (sumber
hukum) yaitu Ijma’ Ahlil Madinah, Al Istihsan, dan Al Mashalih Al Mursalah.
Imam Syafi‟i tidak setuju dengan tiga dalil ijmali tersebut. Ulama Malikiyah juga
memperluas pembahasan Saddudz Dzaraai’. Kitab ushul fiqh madzhab Maliki
misalnya: At-Ta’rif wal Irsyad fi Tartib Thuruqil Ijtihad Karya Imam Qadhi
Baqilani (W.403H).
d) SIKAP MADZHAB HANBALI: Mereka mengikuti pendapat Imam Syafi‟i,
namun ada sedikit perbedaan khususnya masalah Ijma’. Imam Ahmad bin Hanbal
(W.241H) hanya mengambil Ijma’ Shahabat sebagai dalil syar‟i. Sementara
Imam Syafi‟i mengambil Ijma’ Mujtahidin Umat Islam. (lebih umum). Namun
ulama Hanabilah pasca (sesudah) Imam Ahmad ada yang mengambil Ijma’
Mujtahidin Umat seperti pendapat Imam Syafi‟i. Misalnya: Imam Ibnu
Qudamah (W.630H) dalam kitabnya Raudhatun Nazhir wa Junnatul
Munazhir.
e) SIKAP MADZHAB ZHAHIRI: Mereka tidak mengakui Qiyas, dan hanya
berpegang dengan zhahir nash. Pendiri madzhab Zhahiri adalah Imam Dawud Az
Zhahiri (W.270H). Ulama madzhab Zhahiri yang terkenal adalah Imam Ibnu
Hazm (W.456H), dengan karyanya Al-Muhalla.

4
f) SIKAP MADZHAB SYIAH: Mereka menolak Qiyas, menolak hadits yang
bertentangan dengan paham mereka tentang Khilafah/Imamah, hanya mengakui
ijtihad imam-imam mereka.

C. ALIRAN DAN MODEL PENULISAN USHUL FIQH


DALAM PENYUSUNAN ILMU USHUL FIQH, PARA ULAMA
MENEMPUH DUA METODE (THARIQAH):
1) METODE MUTAKALLIMIN
Mutakallimin adalah istilah untuk menyebut ulama yang menggunakan dalil
akal untuk menetapkan ushuluddin (aqidah/keimanan). Metode mutakallimin dalam
ushul fiqh, adalah menetapkan kaidah-kaidah (qawaid) ushul fiqh secara murni lebih
dahulu, tanpa terpengaruh oleh furu‟ (hukum fiqih).
Substansi metode: qawaid mendahului furu‟ (induk mendahului cabang/anak).
Contoh: ada satu qaidah ushuliyah berbunyi Ijma‟ Ahli Madinah bukanlah hujjah
(dalil syara‟). Kaidah tersebut ditetapkan oleh Ibnu Qudamah (W.630H) dalam
kitabnya Raudhatun Nazhir berdasarkan burhan (bukti) akal, misalnya:
a) Bahwa penduduk Madinah tidak semuanya mendengar hadits Nabi SAW.
b) Bahwa Makkah lebih utama dari Madinah, tapi toh tidak ada Ijma‟ Ahli
Makkah.
Metode Mutakallimin dirintis oleh Imam Syafi‟i dan dilanjutkan oleh ulama-
ulama pengikutnya selanjutnya. Yang menggunakan metode Mutakallimin antara
lain ulama madzhab Syafi’i, Maliki, dan Hanbali. Ulama madzhab Hanafi
menggunakan metode lain, yaitu metode Fuqoha (Hanafiyyah).
2) METODE FUQOHA (HANAFIYYAH)
Metode Fuqoha (Hanafiyyah) dalam ushul fiqh, adalah menetapkan kaidah-
kaidah (qawaid) ushul fiqh dengan dipengaruhi oleh furu‟ (hukum fiqih) yang sudah
ada lebih dahulu. Substansi metode: furu‟ mendahului qawaid (cabang/anak
mendahului induk). Metode digunakan oleh para ulama pengikut Imam Abu Hanifah.
Contoh: ada satu qaidah ushuliyah berbunyi Al-‘Ibrah bi ‘umumil lafzhi laa
bi khusus as-sababi. Artinya: yang menjadi patokan adalah keumuman lafazh bukan
kekhususan sebab. Kaidah tersebut disimpulkan dari furu‟, yaitu hukum-hukum fiqih
yang sudah ada. Hukum-hukum tersebut diamalkan oleh para shahabat dan tabi‟in.
Hukum-hukum tersebut antara lain:
a) Keumuman hukum sucinya kulit bangkai yang disamak, meski sababul
wurudnya adalah bangkai kambing milik Maimunah.
b) Keumuman hukum potong tangan bagi pencuri (Q.S. Al-Maidah (5): 38),
meski sababun nuzulnya adalah tentang pencurian baju milik Shofwan.
c) Keumuman hukum li‟an antara suami isteri (Q.S. An-Nur (24): 5-9), meski
sababun nuzulnya adalah tentang kasus li‟an Hilal bin Umayyah.
Hukum-hukum furu‟ tersebut, ternyata penerapannya tidak hanya pada
sebabnya yang khusus (sababun nuzul ayat atau sababul wurud hadits), melainkan
diterapkan secara umum pada kasus lainnya. Dari hukum-hukum furu‟ itulah
disimpulkan kaidah ushul Al ‘Ibrah biumumil lafzhi dst.

5
KITAB USHUL FIQH TERPENTING
a) METODE MUTAKALLIMIN
1) Kitab Al-Mu’tamad karya Abul Hasan Al-Bashri (W.463H)
2) Kitab Al-Burhan karya Imam Al-Haramain Al-Juwaini (W.487H)
3) Kitab Al-Mustashfa karya Imam Ghazali (W.505H).
4) Kitab Al-Ihkam fi Ushulil Ahkam karya Imam Al-Amidi (W. 631H),
menghimpun 3 kitab sebelumnya.
b) METODE FUQOHA (HANAFIYYAH)
1) Kitab Risalah Al-Karkhyi karya Imam Al-Karkhi (W.340H)
2) Kitab Ushul Al-Jashshash karya Imam Al-Jashshash (W.370H)
3) Kitab Ushulul Sarakhsi karya Imam Sarakhsi (W.483H).
4) Kitab Ushul Al-Bazdawi karya Imam Al-Bazdawi (W.482H).

D. PERBEDAAN FIQIH DAN USHUL FIQH


Ada empat perbedaan utama antara Fiqih dan Ushul Fiqh, yaitu:
1) Dari aspek pembahasan dalil, bahwa Ushul Fiqh membahas dalil ijmali,
sedangkan Fiqih membahas dalil juz‟i atau tafshili.
2) Dari aspek fakta ilmu, bahwa Ushul Fiqh membahas kaidah untuk mengistinbath
hukum syara‟, sedangkan Fiqih membahas ilmu tentang hukum syara‟.
3) Dari aspek bahasa, bahwa Ushul Fiqh membahas aspek bahasa, sedangkan Fiqih
tidak membahas aspek bahasa.
4) Dari aspek tujuan, bahwa Ushul Fiqh membahas tentang menerapkan kaidah
untuk mengistinbath hukum syara‟, sedangkan Fiqih membahas tentang
menjelaskan hukum syara‟.

E. OBJEK KAJIAN (MAUDHU’) USHUL FIQH

Objek kajian (Maudhu‟) Ushul Fiqh mencakup 4 objek kajian, yaitu:

1. (‫ )األدلة اإلمجالية‬Dalil-dalil Ijmali (global) atau disebut juga Dalil Syara‟ (sumber
hukum), seperti Al-Qur‟an, As-Sunnah, Ijma‟, Qiyas, Istihsan, Mashlahah
Mursalah, „Urf, Syar‟u Man Qablana dll, yang dibahas dari segi kehujjahannya
dan kedudukannya dalam istidlal.
2. (‫ )احلكم الشرعي وما يتعلق به‬Hukum Syara‟ dan hal-hal yang terkait dengannya, seperti
pembahasan apa itu hukum syara‟, macam-macam hukum syara‟, rukun hukum
syara‟ (hakim (pembuat hukum/Allah SWT), mahkum alahi (objek
hukum/mukallaf), mahkum fiihi (subjek hukum).
3. (‫ )دالالت األلفاظ‬Dalalah lafazh (pengertian yang ditunjukkan dalil) dari Al-Qur‟an
dan As-Sunnah, atau disebut juga Fahmu Dalil (pemahaman terhadap dalil),
seperti manthuq, mafhum, umum, khusus, mutlak, muqayyad dll.
4. (‫ )اإلجتهاد والتقليد‬Ijtihad dan Taqlid, seperti pembahasan tentang definisi hukum, dan
syarat Ijtihad atau Taqlid.

6
F. URGENSI DAN FAEDAH (TUJUAN) MEMPELAJARI USHUL FIQH
1) Untuk menetapkan (itsbat) secara pasti (qath‟i) bahwa suatu dalil ijmali (misal Al-
Qur‟an dan As-Sunnah) adalah benar-benar wahyu dari Allah SWT. Dalil
ijmali/dalil syar‟i termasuk masalah masalah ushul (aqidah) yang wajib ditetapkan
berdasarkan dalil qath'i, bukan dalil zhanni (Lihat Q.S. Yunus (10): 36, Q.S. Al-
Isra (17): 36).
َّ ‫﴿ َوَما يَتَّبِع أَ ْكثَره ْم إَِّال ظَنًّا إِ َّن الظَّ َّن َال ي ْغ ِن ِم َن ا ْحلَ ِق َش ْي ئًا إِ َّن‬
﴾‫اّللَ َعلِيم ِِبَا يَ ْف َعلو َن‬
“Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya
persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran. Sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan” (Q.S. Yunus (10): 36).
﴾‫وال‬ َ ِ‫اد كل أولَئ‬
ً ‫ك َكا َن َع ْنه َم ْسئ‬ َ ‫ص َر َوالْف َؤ‬ َّ ‫َك بِ ِه ِعلْم إِ َّن‬
َ َ‫الس ْم َع َوالْب‬ َ ‫سل‬
َ ‫﴿ َوَال تَ ْقف َما ل َْي‬
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan
tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan
diminta pertanggungan jawabnya” (Q.S. Al-Isra (17): 36).
2) Bagi Mujtahid: untuk menerapkan kaidah-kaidah ushul fiqh pada dalil-dalil
tafshili untuk mengistinbath hukum syara‟ yang mutlak diperlukan oleh kaum
muslimin dalam kehidupan mereka. Ini tujuan yang amat mulia, karena akan
membantu manusia beribadah, sbg tujuan diciptakannya manusia oleh Allah SWT
(Q.S. Az-Zariyat (51): 56), yang tak mungkin ibadah itu terlaksana tanpa
mengetahui hukum syara‟.
ِ ‫اإلنْس إَِّال لِي ْعبد‬ ِ
﴾‫ون‬ َ َ ِْ ‫﴿ َوَما َخلَ ْقت ا ْْل َّن َو‬
“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi
kepada-Ku” (Q.S. Az-Zariyat (51): 56).
3) Bagi Muqallid: untuk memahami kaidah-kaidah yang digunakan oleh mujtahid
dalam mengistinbath hukum syara‟ dari dalil syara‟. Ini penting, karena di
samping menjadi satu tahapan kompetensi pra ijtihad, juga untuk memantapkan
hati bahwa para mujtahid terdahulu adalah ulama yang layak untuk diikuti dan
pendapat mereka adalah hukum syara‟ yang sahih.

Ijtihad adalah mengeluarkan (menggali) hukum-hukum yang tidak terdapat


nash (teks) yang jelas; yang tidak mengandung kecuali satu makna tentangnya, jadi
Mujtahid (orang yang melakukan ijtihad) ialah orang yang memiliki keahlian dalam
hal ini, sedangkan Muqallid (orang yang melakukan taqlid; mengikuti pendapat para
mujtahid) adalah orang yang belum sampai kepada derajat tersebut.

Anda mungkin juga menyukai