Anda di halaman 1dari 40

REFERAT

Atrial Septal Defect pada Kehamilan

Pembimbing :

dr. Sutoko Andrianto, Sp.OG(K)

Disusun Oleh :

Putri Mumpuni Aswoko (201920401011181)

Kelompok : J33

SMF OBSTETRI DAN GINEKOLOGI

RSUD GAMBIRAN KEDIRI

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

2021
LEMBAR PENGESAHAN

REFERAT

Telah disetujui sebagai hasil referat

untuk memenuhi persyaratan

Pendidikan Profesi Dokter Fakultas Kedokteran

Universitas Muhammadiyah Malang

Tanggal : November 2020

Mengetahui,

SMF Obstetri dan Ginekologi RSUD Gambiran Kediri

Ketua,

dr. G.S Heru Tribawono, Sp.OG

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat-

Nya penulis dapat menyelesaikan referat stase Obstetri dan Ginekologi dengan

mengambil topik “Atrial Septal Defect pada Kehamilan”.

Referat ini disusun dalam rangka menjalani kepaniteraan klinik bagian

Ilmu Obstetri dan Ginekologi di Rumah Sakit Gambiran Kediri. Tidak lupa

penulis ucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu dalam

penyusunan referat ini, dr. G.S Heru Tribawono, Sp.OG dan dr. Sutoko

Andrianto, Sp.OG(K) selaku dokter pembimbing yang telah memberikan

bimbingan kepada penulis dalam penyusunan dan penyempurnaan tugas ini.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa referat ini masih jauh dari

sempurna, untuk itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis

harapkan. Semoga tulisan ini dapat memberikan manfaat dalam bidang

kedokteran khususnya Bagian Ilmu Obstetri dan Ginekologi.

Kediri, November 2020

Penulis

DAFTAR ISI

ii
LEMBAR PENGESAHAN i
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
DAFTAR GAMBAR iv
DAFTAR TABEL v
BAB 1 PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Rumusan Masalah 2
1.3 Tujuan 2
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 3
2.1 Atrial Septal Defect 3
2.2 Epidemiologi 4
2.3 Klasifikasi ASD 4
2.4 Patofisiologi ASD 7
2.5 Perubahan Fisiologis Selama Kehamilan 11
2.6 Komplikasi Kardiak pada ASD 14
2.7 Komplikasi Kehamilan pada ASD 17
2.8 Komplikasi Neonates pada ASD 17
2.9 Penutupan ASD 18
2.10 Penatalaksanaan ASD pada Kehamilan 19
2.11 Kontrasepsi dan Konseling Genetik 28
BAB 3 PENUTUP 27
DAFTAR PUSTAKA 28

iii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Jenis-jenis Atrial Septal Defect 6

Gambar 2.2 Perubahan Hemodinamik Selama Kehamilan 13

iv
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Indikasi intervensi pada Atrial Septal Defect 22

v
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Atrial Septal Defect (ASD) merupakan salah satu lesi yang paling umum

terjadi pada wanita hamil dengan penyakit jantung bawaan (PJB) (Yap S et al,

2009). ASD ditandai oleh defek pada atrium yang memungkinkan pulmonary

venous return untuk langsung memasuki atrium kanan (Bredy C et al, 2018).

Sebagian besar wanita dengan ASD sederhana terisolasi tidak menunjukkan gejala

yang jelas dan bahkan mungkin tidak menyadari adanya kelainan tersebut (Yap S

et al, 2009). Kehamilan menyebabkan loading volume tambahan yang

meningkatkan beban peredaran darah. Hal ini dapat memperburuk kelebihan

volume di ventrikel kanan akibat adanya defek (Udholm S et al, 2019).

Prevalensi ASD secara keseluruhan diperkirakan sebesar 0,85 per 1.000

orang dewasa, namun angka ini kemungkinan tidak cukup merepresentasikan

keseluruhan kasus mengingat bahwa beberapa pasien tetap tidak menunjukkan

gejala klinis hingga dewasa (Bredy C et al, 2018).

ASD umumnya dapat ditoleransi dengan baik pada kehamilan dan

persalinan, namun sebagian kecil kasus yang disertai hipertensi arteri pulmonal

atau disfungsi ventrikel menjadi alasan penting untuk mencegah kehamilan.

Pedoman saat ini merekomendasikan pengawasan kardiologis untuk semua wanita

hamil dengan ASD karena risiko emboli paradoks, aritmia dan gagal jantung.

Rekomendasi ini didasarkan pada laporan kasus atau seri kasus dengan jumlah

terbatas yang tidak membedakan lesi pirau dan riwayat bedah pada pasien (Yap S

1
et al, 2009). Masih banyak pertanyaan yang belum terjawab mengenai wanita

dengan ASD dan kehamilan (Udholm S et al, 2019).

1.2 Rumusan Masalah

a. Bagaimana cara identifikasi ASD pada kehamilan?

b. Bagaimana Patofisiologi dan manajemen dari ASD pada kehamilan?

1.3 Tujuan

a. Mengetahui cara identifikasi ASD pada kehamilan

b. Mengetaui Patofisiologi dan manajemen dari ASD pada kehamilan

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Atrial septal defect

Atrial Septal Defect (ASD) merupakan salah satu lesi yang paling umum

terjadi pada wanita hamil dengan penyakit jantung bawaan (PJB) (Yap S et al,

2009). ASD terjadi akibat adanya kegagalan penutupan pada septum hingga

terdapat komunikasi antara atrium kanan dan kiri (Celemajer DS, 2018). ASD

kecil biasanya menutup secara spontan pada masa kanak-kanak. Defek besar yang

tidak menutup secara spontan seringkali memerlukan intervensi bedah untuk

mencegah komplikasi lebih lanjut seperti stroke, disritmia, dan hipertensi

pulmonal (Menillo AM et al, 2019).

ASD pada orang dewasa meliputi 35% dari keseluruhan PJB.

Keterlambatan munculnya gejala disebabkan oleh remodeling ventrikel kanan,

dan pembesaran bilik jantung kanan. Pasien umumnya datang dengan gejala yang

terkait disfungsi miokard kanan atau global, aritmia atau tromboemboli. Hingga

saat ini, vaskulopati pulmonal diasumsikan sebagai komplikasi yang jarang terjadi

pada pasien ASD. Dari 1877 orang dewasa dengan PJB yang di folllow up selama

lima tahun di Uni Eropa, 896 di antaranya adalah ASD, dengan prevalensi PAH

masing-masing 12% dan 34% untuk defek yang diperbaiki dan tidak diperbaiki.

Lima belas pasien memiliki gambaran lengkap sindrom Eisenmenger (Lopes AA

et al, 2014).

Berdasarkan literatur sebelumnya, etiologi ASD diketahui berhubungan

dengan pola pewarisan Mendel (McBride KL et al, 2010), aneuploidi (Lin AE et

al, 2019), kesalahan transkripsi (Roy RR et al, 2016), mutasi (Chen J et al, 2016),

3
dan paparan ibu (Feng Y et al, 2014). ASD juga ditemukan pada pasien dengan

sindrom Down (Kim M-A et al, 2014), sindrom Turner (Carvalho AB et al, 2010),

dan sindrom Noonan (Prendiville TW et al, 2014). Sindrom-sindrom ini terjadi

sebagai akibat dari pewarisan Mendel. Paparan ibu terhadap rubela dan obat-

obatan, seperti kokain dan alkohol juga dapat mempengaruhi janin yang belum

lahir untuk mengalami ASD (Feng Y et al, 2014). Selain itu, ASD juga dapat

disebabkan oleh kelainan genetik dan defek konduksi. Faktor transkripsi penting

selama septasi atrium yaitu GATA4, NKzX2-5, dan TBX5 (Aoki H et al, 2018).

2.2 Epidemiologi

Prevalensi penyakit jantung bawaan dan ASD telah meningkat selama 50

tahun terakhir. Pada 1930-an penyakit jantung bawaan didiagnosis kurang dari 1

per 1.000 kelahiran hidup. Dalam beberapa tahun terakhir, penyakit jantung

bawaan terdapat pada 9 per 1.000 kelahiran hidup. ASD yang diidentifikasi antara

tahun 1945 dan 1949 kurang dari 0,5 kelahiran hidup per 1000 kelahiran hidup.

Data epidemiologis yang lebih baru menunjukkan bahwa ASD terjadi pada 1,6 per

1.000 kelahiran hidup. Peningkatan prevalensi tersebut mungkin bukan karena

adanya peningkatan penyakit melainkan karena peningkatan dalam modalitas

pencitraan dan pelatihan praktisi. Beberapa faktor yang berhubungan dengan

peningkatan prevalensi PJB termasuk usia lanjut ibu. Perbedaan ekonomi dan

geografis juga berpengaruh terhadap prevalensi. PJB lebih umum didiagnosis

pada pasien di negara maju yang memiliki pendapatan lebih tinggi (Menillo AM

et al, 2019).

4
2.3 Klasifikasi ASD

Terdapat 3 jenis utama ASD yaitu: defek sekundum, primum, dan sinus

venosus (Webb G et al, 2006). Jenis ASD yang paling umum adalah defek

sekundum, yang terletak sentral di septum atrium dan tepisah dari vena cava

superior (SVC), vena cava inferior (IVC), katup trikuspid dan mitral oleh tepi

jaringan septum atrium. Jenis defek ini menyumbang sekitar 75-80% dari kasus

ASD. Jika diperlukan penutupan, defek ini adalah satu-satunya jenis ASD yang

berpotensi dapat menerima penutupan alat perkutan. Meskipun ASD sekundum

merupakan jenis ASD paling sederhana, namun ia juga dapat memiliki variasi

lokasi. Variasi lokasi pada septum atrium tersebut dapat berhubungan dengan

SVC, IVC, aortic root, sinus koroner, dan / atau katup atrioventrikular (AV).

ASD ini dapat memiliki margin tipis atau margin yang kurang jelas dan bisa

tunggal atau multipel (Celemajer DS, 2018).

Jenis ASD yang paling umum berikutnya adalah defek primum, yaitu pada

15% kasus ASD. Defek primum merupakan defek yang jauh lebih rumit dengan

posisi di septum atrium yang lebih rendah dan melibatkan endocardial cushion

(bantalan endokardial). ASD primum berhubungan dengan deviasi aksis kiri

ekstrem pada gambaran EKG, sementara tipe ASD lain umumnya menunjukkan

gambaran deviasi aksis kanan. ASD primum selalu dikaitkan dengan kelainan

morfologis katup AV kiri beberapa derajat (yang sebenarnya bukan katup mitral

sejati, melainkan adalah sisi kiri apparatus katup AV dengan 'celah' medial yang

jelas, yang kadang-kadang bisa cukup besar) (Celemajer DS, 2018).

5
Jenis ASD yang paling umum ketiga yaitu defek 'sinus venosus'. Defek ini

berlokasi di bagian superior, meliputi 5-10% kasus ASD. Defek ini hampir selalu

berhubungan dengan anomali drainase dari beberapa vena pulmonal sisi kanan,

biasanya vena lobus atas dan / atau tengah, yang mengalir ke persimpangan atrium

kanan SVC daripada ke atrium kiri. Hal ini memperburuk derajat pirau kiri ke

kanan oleh darah 'merah muda' dari pembuluh darah pulmonal yang kembali

langsung ke sisi kanan jantung, di samping pirau melalui ASD (Celemajer DS,

2018).

6
Gambar 2.1 Jenis-jenis atrial septal defect

Dikutip dari: Celermajer, DS. Atrial septal defects: even simple congenital heart

diseases can be complicated. European Heart Journal. 2018;0:1-3.

ASD primum dan sinus venosus yang terakhir ini tidak menerima

penutupan alat perkutan dan membutuhkan perbaikan bedah jika diindikasikan.

Penutupan ASD primum sering membutuhkan perbaikan katup AV sisi kiri, dan

7
penutupan ASD sinus venosus hampir selalu membutuhkan rerouting intrakardiak

dari vena pulmonalis sisi kanan anomali ke atrium kiri (Celemajer DS, 2018).

Selain variasi anatomi, ukuran ASD dan kesesuaian relatif dari ventrikel

kiri dan kanan turut menentukan derajat pirau kiri ke kanan. Pada defek besar,

peningkatan aliran pulmonal dapat menyebabkan peningkatan resistensi vaskular

paru (PVR) yang pada akhirnya dapat mengubah besarnya dan / atau arah pirau

melalui defek. Dalam kasus PVR yang meningkat ekstrem, pembalikan pirau

dapat terjadi melalui ASD (sindrom Eisenmenger) dan hal ini mengarah pada

sianosis, eritrositosis, hiperviskositas, serta sekuel dari perubahan tersebut

(Celemajer DS, 2018).

2.4 Patofisiologi ASD

ASD pada umumnya menyebabkan pirau kiri-ke-kanan. Arah dan

besarnya aliran darah ditentukan oleh ukuran defek dan oleh tekanan atrium

relatif, yang berhubungan dengan komplians ventrikel kiri dan kanan. Pada ASD

yang besar, kedua atrium memiliki tekanan sama besar sehingga pirau hanya

tergantung pada rasio komplians ventrikel. Brannon dan rekannya menyatakan

bahwa resistensi relatif terhadap pengisian ventrikel adalah faktor utama. Seperti

yang ditunjukkan sebelumnya, dimensi defek yang diukur dengan transthoracic

echocardiography, berhubungan dengan rasio aliran darah paru-ke-sistemik yang

dievaluasi dengan kateterisasi jantung kanan (Le Gloan L et al, 2018).

Komplians ventrikel kanan dapat berubah seiring waktu. Saat lahir,

resistensi pembuluh darah paru tinggi, sementara komplians ventrikel kanan

rendah, berubah secara bertahap menjadi komplians tinggi-sirkulasi resistensi

8
rendah. Hal ini menjelaskan mengapa pirau kiri-ke-kanan meningkat secara

bertahap selama bulan-bulan pertama kehidupan. Kondisi apa pun yang

memodifikasi komplians ventrikel dapat memengaruhi derajat dan arah shunt

interatrial. Penurunan komplians ventrikel kiri atau kondisi apa pun dengan

peningkatan tekanan pengisian ventrikel kiri (mis., hipertensi, penyakit jantung

iskemik, kardiomiopati, penyakit katup aorta dan mitral) akan meningkatkan pirau

kiri ke kanan. Dalam kasus defek besar, dapat terjadi kongesti vena sistemik.

Sebaliknya, kondisi apa pun yang mengurangi komplians ventrikel kanan (mis.,

stenosis pulmonal, hipertensi paru, proses fibrosis ventrikel kanan) atau penyakit

katup trikuspid dapat menurunkan pirau kiri-ke-kanan dan akhirnya menyebabkan

pembalikan pirau yang mengakibatkan sianosis (Le Gloan L et al, 2018).

Studi hemodinamik lama telah menunjukkan bahwa pirau kiri-ke-kanan

sebagian besar terjadi pada interval yang meliputi sistol ventrikel akhir dan diastol

awal, ketika kedua sistem vena (atrium dan kedua ventrikel) berada pada

komunikasi bebas. Pirau juga meningkat selama kontraksi atrium. Respirasi

mempengaruhi pirau, karena selama periode peningkatan tekanan intrathorakal,

gradien kiri ke kanan meningkat dan selama periode penurunan tekanan

intrathorakal terjadi penurunan gradien kiri ke kanan. Pirau kanan-ke-kiri terjadi

dengan timbulnya kontraksi ventrikel dan selama diastole ventrikel awal, tanpa

signifikansi klinis yang merugikan (Le Gloan L et al, 2018).

Dalam kondisi normal, komplians ventrikel kanan tinggi menjelaskan

bahwa defek septum atrium lebih sering terjadi pirau kiri-ke-kanan melalui defek.

Pirau kiri-ke-kanan menyebabkan kelebihan volume ventrikel kanan dan sirkulasi

9
paru berlebih. Kelebihan volume ventrikel biasanya diamati ketika ukuran defek

lebih besar dari 10 mm. Defek yang lebih kecil tidak menyebabkan kelebihan

volume ventrikel kanan yang signifikan. Untuk pirau yang lebih besar, volume

berlebih menimbulkan pembesaran rongga sisi kanan. Hal ini menghasilkan

perubahan geometri ventrikel kiri, dengan "efek reverse Bernheim", yang

diusulkan oleh Dexter et al., di mana septum menonjol ke dalam dan melewati

batas rongga ventrikel kiri. Dalam echocardiography transthoracic, tampak

perataan diastolik dari septum interventricular, dengan ventrikel kiri berbentuk-D

saat diastolik akhir (ketika katup atrioventrikular dibuka dan tekanannya sama di

kedua atrium dan ventrikel) dan bentuk lingkaran di sistol (ketika katup

atrioventricular menutup dan geometri septum mencerminkan rasio antara tekanan

ventrikel sistolik kiri dan kanan). Data serupa dilaporkan untuk semua situasi

jantung yang mengakibatkan kelebihan volume ventrikel kanan; mis., regurgitasi

trikuspid, regurgitasi paru (Lin AE et al, 2019). Oleh karena itu, interdependensi

interventrikular akan terganggu dan ventrikel kiri akhirnya kurang terisi dan

kurang dapat distensi (dikompresi oleh ventrikel kanan melebar), dengan

pengalihan aliran atrium kiri ke atrium kanan melalui defek septum atrium, dan

akhirnya reduksi dalam curah jantung.

Berkurangnya kapasitas pengisian ventrikel kiri didukung oleh fakta

bahwa tekanan akhir-diastolik ventrikel kiri sering sebanding dengan atau lebih

besar daripada subyek normal meskipun volume ventrikel akhir-diastolik kiri

berkurang karena shunt atrium kiri-ke-kanan. Hal ini ditunjukkan dalam 2

penelitian sebelumnya yang menunjukkan pergeseran ke kiri dan ke atas

10
hubungan tekanan-volume diastolik untuk pasien dengan defek septum atrium,

dibandingkan dengan control. Namun demikian, hubungan tekanan-volume

diastolik ventrikel kiri dipengaruhi oleh beberapa faktor, termasuk kekakuan

diastolik intrinsik, efek dari kendala eksternal, relaksasi, dan karakteristik

pengisian yang sedang berlangsung. Kendala eksternal dan karakteristik pengisian

yang berkelanjutan dapat dikurangi atau dinormalisasi setelah penekanan pirau

interatrial.

Oleh karena itu, hanya 2 faktor lain yaitu kekakuan diastolik ventrikel kiri

dan relaksasi abnormal ventrikel kiri yang mungkin menyebabkan gagal jantung

akut dan paling sering setelah penutupan shunt. Pada anak-anak, studi hubungan

volume tekanan diastolik akhir ventrikel kiri menunjukkan bahwa penurunan

kapasitas pengisian tidak berhubungan dengan peningkatan kekakuan pasif

ventrikel kiri. Penuaan dikaitkan dengan kekakuan ventrikel kiri, yang

meningkatkan risiko gagal jantung kiri saat menutup defek. Waktu relaksasi yang

lama terjadi pada anak-anak dan orang dewasa dengan defek septum atrium, tetapi

hanya pada pasien dengan pirau kiri-ke-kanan yang besar, hal ini menunjukkan

interdependensi ventrikel (Le Gloan L et al, 2018).

Kelebihan volume ventrikel kanan terjadi akibat berkurangnya bukaan

preload (ditunjukkan oleh berkurangnya volume diastolik akhir ventrikel kiri),

berkurangnya peregangan myofiber dan akibatnya mengurangi volume stroke

ventrikel kiri menurut hukum Starling (Le Gloan L et al, 2018).

Pirau yang lama dan signifikan menyebabkan kelebihan volume rongga

sisi kanan kronis diikuti cedera miokard yang ditandai dengan peningkatan nilai

11
troponin I pada pasien dengan defek septum atrium dibandingkan dengan kontrol.

Pembesaran rongga sisi kanan meningkatkan kebutuhan oksigen miokard, yang

menghasilkan hipoperfusi relatif miokardium. Kadar angiotensin II dan

katekolamin yang lebih tinggi dapat menginduksi nekrosis dan apoptosis sel-sel

miokard, sehingga berperan dalam cedera miokard. Peptida amino terminal

prokolagen tipe III adalah penanda pada darah yang bersirkulasi, yang

mencerminkan sintesis kolagen dalam jaringan. Konsentrasinya meningkat pada

pasien dengan gagal jantung. Kadarnya berkorelasi dengan rasio aliran darah

pulmonal ke sistemik pada pasien dengan defek septum atrium. Sebagai penanda

remodeling miokard, tingkat peptida N-terminal prokolagen tipe III yang tinggi

dapat dikaitkan dengan peningkatan kekakuan miokard dan akhirnya

menyebabkan gagal jantung diastolik. Selain itu, hukum Poiseuille menunjukkan

bahwa peningkatan aliran kronis melalui arteri paru menyebabkan peningkatan

tekanan kronis (Le Gloan L et al, 2018).

2.5 Perubahan Fisiologis Selama Kehamilan

Beberapa perubahan hemodinamik selama kehamilan normal berkontribusi

terhadap peningkatan keseluruhan beban kerja jantung. Dua perubahan dominan

tersebut yaitu penurunan resistensi pembuluh darah dan peningkatan curah

jantung. Perubahan hormon pada awal kehamilan menyebabkan penurunan

resistensi vaskular sistemik dan paru, disertai dengan penurunan tekanan darah

sebesar 5-10 mmHg dalam 2 trimester pertama. Dari awal kehamilan hingga akhir

trimester kedua, volume plasma meningkat secara progresif hingga 50% dan

berhubungan dengan peningkatan 20-30% volume sel darah merah, yang

12
menyebabkan anemia relatif. Selain itu, peningkatan volume plasma awal

berkontribusi pada peningkatan curah jantung, yang memuncak antara 28 dan 30

minggu kehamilan. Pada titik ini, curah jantung mungkin 30-50% lebih tinggi dari

nilai pra-kehamilan awal. Peningkatan curah jantung didorong oleh peningkatan

awal volume stroke dan denyut jantung yang meningkat 10-20 x/m pada trimester

kedua. Secara keseluruhan, konsumsi oksigen meningkat 30% selama kehamilan

normal (Bredy C et al, 2018).

Selama persalinan, volume stroke meningkat 300-500 mL pada setiap

kontraksi, yang disertai dengan lonjakan denyut jantung yang diinduksi rasa nyeri,

kombinasi ini dapat menghasilkan peningkatan 80% output jantung bila

dibandingkan dengan nilai-nilai pra-kehamilan. Selain itu, kehilangan darah

bervariasi sesuai dengan cara persalinan, umumnya lebih sedikit pada kelahiran

normal (~ 500 mL) dibandingkan dengan operasi caesar (~ 1.000 mL). Parameter

hemodinamik secara bertahap kembali normal selama periode postpartum 4-6

minggu (Bredy C et al, 2018).

Kehamilan normal juga disertai dengan perubahan sistem koagulasi dan

fibrinolitik. Perubahan ini meliputi peningkatan sejumlah faktor pembekuan (mis.,

VII, VIII, IX, X, XII dan faktor von Willebrand), aktivasi fibrinogen dan

trombosit, penurunan protein S dan penghambatan fibrinolisis. Penghambatan

fibrinolisis dimediasi oleh peningkatan inhibitor aktivator plasminogen-1 dan

inhibitor pembentukan plasmin (mis., Α2 anti-plasmin dan α2 macroglobulin).

Perubahan-perubahan ini mendasari keadaan hiperkoagulasi yang terkait dengan

kehamilan, bersama dengan peningkatan risiko tromboemboli. Risiko

13
tromboemboli meningkat 5 kali lipat pada trimester ketiga, memuncak pada

periode awal pascapersalinan, dan tetap meningkat hingga 6 minggu setelah

melahirkan (Bredy C et al, 2018).

Pada pasien dengan ASD yang tidak diperbaiki, perubahan fisiologis yang

diinduksi kehamilan ini dapat memperburuk kelebihan volume ventrikel kanan,

berpotensi untuk memicu gagal jantung dan berkontribusi terhadap pelebaran

atrium dan pembentukan aritmia atrium (mis., Atrial fibrilasi dan atrial flutter).

Penurunan resistensi vaskular sistemik dapat mendukung hipertensi paru

sementara, dengan potensi untuk pembalikan pirau, terutama dalam keadaan

peningkatan tekanan arteri paru yang sudah ada sebelumnya. Hal ini dapat

menghasilkan berkurangnya darah yang mengandung oksigen dalam sirkulasi ibu

dan janin. Selain itu, keadaan hiperkoagulabel dikombinasikan dengan potensi

pembalikan pirau dapat meningkatkan risiko emboli paradoks (Bredy C et al,

2018).

14
Gambar 2.2 Perubahan hemodinamik selama kehamilan. Resistensi vaskular

sistemik dan paru menurun selama kehamilan. Tekanan darah dapat

menurun pada trimester kedua, sedikit meningkat pada akhir

kehamilan. Curah jantung dan volume stroke mencapai puncaknya

pada usia kehamilan 16 minggu.

Dikutip dari: Bredy C. et al. Pregnancy in adults with repaired/unrepaired atrial

septal defect. J Thorac Dis.2018;10(24):2945-52

15
2.6 Komplikasi Kardiak pada ASD dengan Perbaikan atau Tanpa Perbaikan

2.6.1 Peristiwa tromboemboli

Selain risiko stroke yang terkait dengan aritmia atau endotelisasi perangkat

prostetik yang tidak lengkap setelah penutupan perkutan, pasien dengan ASD juga

rentan terhadap emboli paradoks. Emboli paradoks didefinisikan sebagai migrasi

emboli trombus ke dalam sirkulasi sistemik melalui pirau kanan ke kiri.

Prevalensi pasti tidak diketahui pada populasi ASD umum. Emboli paradoks telah

terbukti terjadi pada pasien dengan defek yang lebih kecil dan berhubungan

dengan trombosis vena dalam. Pada wanita tanpa penyakit jantung bawaan,

perubahan koagulasi yang dikombinasikan dengan stasis vena di ekstremitas

bawah berkontribusi pada 1 hingga 2 per 1.000 risiko tromboemboli vena.

Pengamatan ini konsisten dengan risiko yang lebih tinggi dari emboli paradoks

yang diamati selama kehamilan pada pasien dengan ASD yang tidak diperbaiki,

dilaporkan antara 2% dan 5%. Meskipun tromboprofilaksis rutin tidak dianjurkan

selama kehamilan pada pasien dengan ASD, kecurigaan klinis untuk trombosis

vena dalam harus segera diperiksa mengingat hubungannya dengan emboli

paradoks (Bredy C et al, 2018).

2.6.2 Aritmia

Atrial fibrilasi dan atrial flutter lebih umum terjadi pada pasien dengan

ASD yang tidak diperbaiki, atau yang dilakukan penutupan ASD pada usia lebih

tua, jika dibandingkan dengan populasi umum. Diperkirakan sebanyak 10%

pasien dengan ASD yang tidak diperbaiki mengalami aritmia supraventrikular

terutama atrial fibrilasi pada usia 40 tahun. Orang dewasa dengan ASD yang

16
diperbaiki tetap berisiko mengalami aritmia atrium setelah penutupan bedah atau

perkutan, dengan risiko lebih tinggi pada mereka yang mengalami aritmia

sebelumnya. Aritmia simptomatik yang berlebihan sering terjadi selama

kehamilan pada wanita dengan ASD. Aritmia dapat diperburuk oleh keadaan

volume berlebihan yang terkait dengan kehamilan, dengan efek remodeling atrium

elektrofisiologi dan struktural yang menyertainya (Bredy C et al, 2018).

Dalam sebuah penelitian retrospektif dari 188 wanita hamil dengan ASD

yang tidak diperbaiki (N = 133) atau diperbaiki (N = 55), komplikasi jantung yang

paling umum adalah aritmia yang dianggap memiliki signifikansi klinis, dengan

kejadian 4,3%. Ini meliputi episode atrial fibrilasi, supraventrikular takikardia

berkelanjutan dengan sinkop, dan serangan ventrikel takikardia berkelanjutan.

Tidak ada perbedaan dalam komplikasi aritmia yang diamati berdasarkan apakah

ASD diperbaiki atau tidak diperbaiki. Namun, dalam populasi penelitian khusus

ini, perbaikan ASD dilakukan pada usia rata-rata 26 tahun, dengan 14% dan 18%

wanita masing-masing dengan ASD yang tidak diperbaiki dan diperbaiki,

memiliki aritmia sebelumnya (Bredy C et al, 2018).

2.6.3 Gagal jantung / hipertensi paru

Semua bentuk penyakit jantung bawaan di mana pirau kiri-ke-kanan

memungkinkan volume yang tidak dibatasi dan tekanan berlebih pada sirkulasi

paru-paru dapat menyebabkan hipertensi arteri pulmonal, kecuali dikoreksi pada

masa kanak-kanak. Dibandingkan dengan pasien dengan defek tertutup, pasien

dengan ASD yang tidak diperbaiki memiliki prevalensi peningkatan tekanan arteri

paru yang lebih tinggi (35% vs 13%), disfungsi ventrikel kanan (31% vs 8%) dan

17
volume ventrikel kanan berlebih (18% vs 1%). Hipertensi arteri paru dianggap

sebagai komplikasi lanjut dari ASD yang tidak dikoreksi dan jarang terjadi

sebelum usia 40 tahun. Prevalensinya diperkirakan 10-35% pada orang dewasa

dengan ASD sekundum, namun spektrum penyakit pembuluh darah paru sangat

luas. Beberapa orang dewasa dengan ASD hanya memiliki penyakit vaskular paru

ringan meskipun terdapat pirau yang besar, sedangkan yang lain dapat mengalami

penyakit vaskular paru yang ireversibel berat, pembalikan pirau dan sianosis

kronis (mis., Sindrom Eisenmenger) (Bredy C et al, 2018).

2.6.4 Endokarditis

Endokarditis infektif adalah komplikasi yang jarang terjadi setelah

penutupan ASD. Endotelisasi perangkat prostetik yang tidak lengkap dapat

menjelaskan infeksi yang terlambat setelah penutupan ASD perkutan. Saat ini,

profilaksis endokarditis direkomendasikan selama 6 bulan setelah patch atau

penutupan alat jika tidak ada bukti sisa pirau. Profilaksis antibiotik tidak

dianjurkan selama persalinan (Bredy C et al, 2018).

2.7 Komplikasi kehamilan pada ASD dengan perbaikan atau tanpa

perbaikan

Berdasarkan penelitian oleh Yap et al (2009), tidak ada perbedaan yang

tampak antara wanita dengan ASD dengan perbaikan dan tanpa perbaikan

sehubungan dengan komplikasi kehamilan. Tidak ada episode eklampsia atau

sindrom HELLP yang didokumentasikan. Dibandingkan dengan populasi umum,

wanita dengan ASD yang tidak diperbaiki memiliki risiko preeklampsia yang

lebih tinggi (AOR = 3,54, 95% CI .26–9,98). Tidak ada perbedaan dalam cara

18
persalinan antara ASD dengan perbaikan atau tanpa perbaikan. Dari keseluruhan

operasi Caesar yang dilakukan dalam penelitian tersebut, tidak ada yang dilakukan

karena indikasi jantung ibu. Indikasi untuk operasi caesar yang direncanakan

adalah: riwayat operasi caesar (14,3%), gawat janin (14,3%), presentasi bokong

(14,3%), kehamilan kembar (14,3%), disproporsi sefalopelvik (14,3%) dan alasan

yang tidak diketahui (28,6%). Operasi caesar darurat dilakukan untuk persalinan

tahap pertama atau kedua (42,9%), gawat janin (42,9%), prolaps tali pusat (7,1%)

dan disproporsi sefalopelvik (7,1%) (Yap S et al, 2009).

2.8 Komplikasi neonatus pada ASD dengan perbaikan atau tanpa perbaikan

Yap et al (2009), menyatakan bahwa dibandingkan dengan populasi

umum, wanita dengan ASD tanpa perbaikan memiliki risiko kematian janin yang

lebih tinggi (AOR 5,55, 95% CI 1,77-17,4) dan keturunan yang lebih kecil untuk

usia kehamilan (AOR 1,95, 95% CI 1.15–3.30). Sebaliknya, outcome untuk ASD

dengan perbaikan hamper sama dengan populasi umum. Kekambuhan PJB

dilaporkan pada lima wanita (2,6%). Wanita dengan ASD yang diperbaiki

memiliki dua anak dengan defek septum ventrikel dan seorang anak dengan

lengkung aorta yang terputus. Wanita dengan ASD yang tidak diperbaiki memiliki

anak dengan ASD secundum dan anak dengan defek septum ventrikel. Terdapat

tiga kematian intrauterin, semuanya pada wanita dengan ASD yang tidak

diperbaiki. Penyebab kematian janin adalah sindrom transfusi kembar-ke-kembar,

nefroblastomatosis dan penyebab yang tidak diketahui. Selanjutnya, dua anak

meninggal dalam bulan pertama setelah kelahiran. Satu anak prematur (kehamilan

24 minggu) dari seorang wanita dengan ASD yang diperbaiki meninggal pada

19
persalinan dan anak lainnya meninggal 1 minggu postpartum sebagai akibat dari

kerusakan neurologis yang parah sekunder untuk korioamnionitis (Yap S et al,

2009).

2.9 Penutupan ASD

Penutupan ASD jarang diperlukan selama kehamilan. Penutupan

transkateeter dari ASD ostium sekundum dapat dipertimbangkan pada wanita

hamil dengan sianosis karena pirau kanan ke kiri dan pertumbuhan janin yang

buruk. Namun, hal ini tidak boleh dilakukan dalam konteks meningkatkan

resistensi pembuluh darah paru. Seri kasus kecil telah melaporkan penutupan

ASD perkutan selama kehamilan dengan outcome ibu dan janin yang baik. Dalam

studi ini, indikasi untuk penutupan ASD adalah gagal jantung dengan hipertensi

paru yang tidak berat, kelas fungsional yang memburuk dan stroke berulang.

Untuk meminimalkan risiko pada janin yang sedang berkembang, bila

diindikasikan, penutupan ASD perkutan harus dilakukan selama trimester ke-2 di

bawah panduan ekokardiografi dengan paparan fluoroskopi sesedikit mungkin.

Transcatheter ASD penutupan di bawah bimbingan ekokardiografi

transesophageal tanpa fluoroskopi telah dilaporkan. Bimbingan ekokardiografi

transthoracic atau intracardiac dapat dianggap sebagai modalitas pencitraan

alternatif untuk menghindari risiko yang terkait dengan anestesi umum. Bypass

kardiopulmoner selama kehamilan umumnya tidak meningkatkan risiko kematian

ibu tetapi berhubungan dengan risiko kematian janin hingga 10–15%. Aliran terus

menerus dan hipotermia dapat menyebabkan kontraksi uterus dan penurunan

aliran plasenta. Oleh karena itu, penutupan ASD bedah harus dihindari selama

20
kehamilan dan ditunda sampai setelah melahirkan bila memungkinkan (Bredy C

et al, 2018).

2.10 Penatalaksanaan ASD pada kehamilan

Tatalaksana ASD menurut European Heart Journal (2010) adalah sebagai

berikut:

2.10.1 Intervensi bedah / kateter (Tabel 2.1)

Intervensi bedah memiliki mortalitas yang rendah (1% pada pasien tanpa

komorbiditas yang signifikan) dan outcome jangka panjang yang baik (harapan

hidup normal dan morbiditas jangka panjang yang rendah) ketika dilakukan awal

(masa kanak-kanak, remaja) dan tanpa hipertensi paru. Namun mortalitas

mungkin lebih tinggi pada orang tua dan pada pasien dengan komorbiditas

(Baumgartner H et al, 2010).

Penutupan dengan alat menjadi pilihan pertama untuk defek sekundum

jika morfologi memungkinkan (diameter yang direntangkan < 38 mm dan rim

cukup 5 mm kecuali ke arah aorta). Hal ini terjadi pada ~80% pasien. Meskipun

tidak dapat dianggap nol, beberapa penelitian terbaru melaporkan tidak adanya

kematian. Komplikasi serius terjadi pada ≤1% pasien. Takaritmia atrium yang

terjadi lebih awal setelah intervensi sebagian besar bersifat sementara. Erosi

dinding atrium atau aorta serta kejadian trombo-emboli sangat jarang terjadi.

Terapi antiplatelet diperlukan untuk setidaknya 6 bulan (aspirin 100 mg setiap

hari minimal). Potensi kejadian aritmia lanjut atau efek samping masih

membutuhkan penelitian. Studi yang membandingkan operasi dan intervensi

kateter menunjukkan tingkat keberhasilan dan mortalitas yang serupa, tetapi

21
morbiditas lebih rendah dan lama perawatan lebih pendek dengan intervensi

kateter (Baumgartner H et al, 2010).

Outcome terbaik diperoleh dengan perbaikan pada usia <25 tahun.

Penutupan ASD setelah usia 40 tahun tidak mempengaruhi frekuensi

perkembangan aritmia selama masa follow up. Namun pasien tetap mendapat

manfaat dari penutupan pada usia berapa pun sehubungan dengan morbiditas

(kapasitas olahraga, sesak napas, gagal jantung kanan), terutama ketika dapat

dilakukan dengan intervensi kateter.

Fungsi ventrikel kiri yang buruk (sistolik dan diastolik) dapat

menyebabkan kongesti paru setelah penutupan ASD dan mungkin memerlukan tes

pra-intervensi (oklusi balon dengan penilaian hemodinamik ulang) dan

pengobatan. Pada pasien dengan atrial flutter/ fibrilasi, krioablasi atau

radiofrekuensi ablasi (prosedur Maze yang dimodifikasi) harus dipertimbangkan

pada saat operasi. Pada pasien usia lanjut dengan ASD yang tidak layak untuk

penutupan dengan alat, harus dipertimbangkan risiko bedah individu karena

komorbiditas terhadap manfaat potensial dari penutupan ASD (Baumgartner H et

al, 2010).

2.10.2 Rekomendasi tindak lanjut

Evaluasi tindak lanjut harus mencakup penilaian pirau residual, ukuran

dan fungsi ventrikel kanan, regurgitasi trikuspid dan tekanan arteri pulmonal

dengan ekokardiografi, dan juga penilaian aritmia berdasarkan riwayat, EKG, dan

pemantauan Holter hanya jika diindikasikan (tidak secara rutin). Pasien yang

mendapat perbaikan di bawah usia 25 tahun tanpa gejala residu (tidak ada pirau

22
residual, tekanan arteri pulmonal normal, ventrikel kanan normal, tidak ada

aritmia) tidak memerlukan tindak lanjut yang teratur. Namun, pasien dan dokter

rujukan harus diberitahu tentang kemungkinan terjadinya takaritmia yang

terlambat (Baumgartner H et al, 2010).

Pasien dengan sisa pirau, peningkatan tekanan arteri pulmonal, atau

aritmia (sebelum atau setelah perbaikan) dan yang mendapat perbaikan pada usia

dewasa (terutama >40 tahun) harus di follow up secara teratur termasuk evaluasi

di pusat-pusat GUCH khusus (interval tergantung pada keparahan masalah

residual). Setelah penutupan defek, dianjurkan follow up rutin selama 2 tahun

pertama dan kemudian, tergantung pada hasil, setiap 2-4 tahun (Baumgartner H et

al, 2010).

Aritmia pasca operasi yang muncul lambat setelah perbaikan bedah pada

usia 40 tahun paling sering adalah takikardia re-entrant atau atrial flutter yang

berhasil diobati dengan radiofrekuensi ablasi. Tanpa perbaikan atau dengan

perbaikan setelah 40 tahun, atrial fibrilasi menjadi lebih umum dan mungkin

memerlukan terapi antiaritmia (sedikit yang diketahui tentang terapi ablatif dalam

kondisi ini). Akses ke atrium kiri dapat dibatasi setelah penutupan. Pasien dengan

fibrilasi atrium harus mendapat antikoagulasi oral. Sick sinus syndrome atau blok

jantung jarang terjadi (Baumgartner H et al, 2010).

23
Tabel 2.1 Indikasi intervensi pada atrial septal defect

Dikutip dari: Panduan Tatalaksana Penyakit Jantung Bawaan Dewasa, PERKI (2020)

Untuk defek sekundum, penutupan dengan kateter dapat dilakukan selama

kehamilan tetapi jarang diindikasikan. Jika dilakukan penutupan, maka diperlukan

terapi antiplatelet. Penutupan untuk pencegahan emboli paradoks tidak

diindikasikan. Pada wanita dengan sisa pirau, pencegahan stasis vena (stocking

24
kompresi dan meminimalkan tirah baring) sangat penting dan perawatan ekstra

harus dilakukan untuk menghindari udara di jalur i.v (Regitz-Zagrosek V et al,

2018).

2.10.3 Pada kehamilan

Risiko kehamilan cukup rendah pada pasien tanpa hipertensi paru.

Penutupan sebelum kehamilan dapat mencegah emboli paradoks dan

memburuknya status klinis. Kehamilan merupakan kontraindikasi pada pasien

dengan sindrom PAH atau Eisenmenger berat. Tingkat kekambuhan adalah 3-10%

(tidak termasuk ASD familial dan sindrom jantung-tangan dengan pewarisan

autosomal dominan) (Baumgartner H et al, 2010).

Rekomendasi spesifik pada wanita hamil dengan PJB menurut American

College of Cardiology/American Heart Association (2018) adalah sebagai berikut

(Stout KK et al, 2018):

1. Konseling sebelum hamil memungkinkan dilakukannya penilaian risiko

secara individual. Konseling mencakup edukasi risiko ibu untuk kehamilan,

persalinan, dan periode postpartum, obat-obatan yang mungkin teratogenik

dan memerlukan terapi alternatif (mis. penghambat enzim pengonversi

angiotensin / penghambat reseptor angiotensin). Tenaga kesehatan harus

berhati-hati saat memberikan konseling agar tidak memberikan rekomendasi

yang tidak akurat tentang risiko kehamilan, risiko persalinan, dan jenis

persalinan (misalnya, gagasan yang salah bahwa sebagian besar wanita

dengan PJK memerlukan persalinan sesar) untuk alasan jantung).

25
2. Rencana perawatan harus membahas risiko jantung ibu berdasarkan anatomi

dan fisiologi pasien secara individu. Rekam medis yang jelas diperlukan agar

dokter mengetahui risiko dan outcome yang diharapkan, termasuk risiko

perubahan volume ibu, aritmia, rencana persalinan dan persalinan, dan

kebutuhan akan pemantauan jantung ibu saat diindikasikan. Rencana darurat

untuk komplikasi yang diantisipasi terkait dengan kehadiran PJB juga harus

dikembangkan.

3. Antikoagulasi kronis selama kehamilan dikaitkan dengan peningkatan risiko

perdarahan ibu dan kejadian trombotik serta risiko lebih tinggi kehilangan

janin, dan dalam kasus warfarin, risiko teratogenisitas.

4. Perubahan hemodinamik kehamilan dan persalinan dapat menyebabkan

dekompensasi hemodinamik untuk beberapa wanita dengan PJB. Manajemen

yang melibatkan ahli PJB pada dewasa, pengobatan ibu-janin, dan

anestesiologi harus membantu mengantisipasi dan mengurangi outcome ibu

atau janin yang berpotensi merugikan.

5. Wanita berisiko tinggi adalah yang didiagnosis dengan kondisi jantung yang

memenuhi klasifikasi risiko jantung ibu maternal WHO IV

a. PAH apa pun penyebabnya

b. Disfungsi ventrikel sistemik berat: fraksi ejeksi ventrikrl kiri <30% dan /

atau gejala NYHA III-IV

c. Obstruksi jantung kiri yang berat

d. Koarktasio native yang berat.

26
Pasien-pasien ini memiliki risiko kematian ibu atau morbiditas berat yang

sangat tinggi, dan jika hamil, pilihan untuk terminasi kehamilan harus

didiskusikan.

6. Konseling sebelum hamil mengenai risiko rekurensi PJB pada anak

memberikan informasi yang bermanfaat kepada orang tua untuk pengambilan

keputusan mengenai keluarga berencana dan pilihan persalinan.

7. CPET dilakukan sebelum konsepsi dapat memprediksi outcome ibu dan bayi

baru lahir pada wanita hamil dengan PJB. Respons denyut jantung yang

rendah untuk berolahraga pada wanita dengan PJK dikaitkan dengan risiko

yang lebih tinggi dari kejadian buruk jantung ibu dan neonatal.

8. Jika pasien dengan PJB atau pasangannya sedang hamil, ada peningkatan

risiko PJB pada keturunannya dan ekokardiografi janin dapat berguna dalam

menentukan apakah terdapat PJB pada janin.

2.11 Kontrasepsi dan Konseling Genetik

Mayoritas perempuan dengan PJB dapat mentolerir kehamilan dengan

baik, tetapi bila lesinya kompleks risikonya lebih tinggi. Dibutuhkan perawatan

oleh tim multidisiplin yang terdiri dari pakar PJBD, kebidanan, anestesi dan jika

perlu dari spesialis lainnya.

Status fungsional sebelum kehamilan, fungsi ventrikel, beratnya lesi, dan

Riwayat kejadian jantung sebelumnya juga memiliki nilai prognostik. CPET yang

dilakukan sebelum konsepsi dapat memprediksi hasil luaran ibu dan bayi. Respon

detak jantung yang krang saat Latihan dikaitkan dengan risiko kejadian jantung

yang lebih tinggi pada ibu dan neonates.

27
Angka kematian ibu 0-1% dan kejadian gagal jantung yang mempersulit

kehamilan terjadi pada 11% perempuan dengan penyakit jantung, PH (Pulmonary

Hypertension) dikaitkan dengan risiko tertinggi. Sianosis berisiko signifikan pada

janin, dengan kematian hingga 12% jika saturasi oksigen <85%. Risiko

komplikasi kebidanan pada perempuan dengan PJB juga meningkat, meliputi

persalinan premature, preeklamsia, dan perdarahan postpartum.

PJB
dengan Risiko hamil yang tinggi dan sangat tinggi. Dikutip dari Panduan
Tatalaksana Penyakit Jantung Bawaan Dewasa, PERKI (2020)

Kontrasepsi pada ibu dengan PJB harus dibahas tepat waktu, dengan

perhatian khusus pada efektivitas dan keamanan. Metode penghalang (barrier)

terbukti aman dan dapat mencegah penyakit menular seksual, tetapi hanya efektif

pada pasangan yang patuh. Kontrasepsi hormonal sangat efektif, tetapi sedikit

data tentang keamanannya pada populasi PJB. Kontrasepsi oral kombinasi sangat

28
efektif (99,9%), tetapi sebaiknya dihindari pada pasien dengan risiko thrombosis

(sianosis, fisiologi fontan, katup mekanik, Riwayat tromboemboli, PH), terutama

karena sedikit data bahwa kombinasi terapi antikoagulasi oral aman. Sebaliknya,

kontrasepsi progesterone tidak menimbulkan risiko thrombosis yang tinggi.

Preparate baru yang tersedia dapat diberikan oral atau dengan implant intra

uterine, kemiliki kemanjuran tinggi (>95%). Risiko endocarditis setelah

pemasangan alat kontrasepsi dalam Rahim mungkin rendah, tetapi ada risiko

reaksi vaso-vagal (5%) saat pemasangan atau pengangkatan alat. Untuk pasien

dengan fisiologi yang rentan (misalnya sirkulasi Fontan, PH, sindrom

Eisenmenger, PJB sianotik), pemasangan atau pengeluaran alat kontrasepsi harus

dilakukan di lingkungan yang aman (ada pakar PJBD). Sterilisasi

perempuan/pasangannya hanya dipertimbangankan setelah diskusi yang cermat,

dengan referensi khusus pada prognosis jangka panjang.

Reproduksi dengan bantuan, dapat menambah risiko kehamilan, perlu

dikonsultasikan dahulu dengan pakar PJBD. Superovulasi bersifat protrombotik

dan dapat dipersulit oleh sindrom hiperstimulasi ovarium, protrombotik dan dapat

dipersulit oleh sindrom hiperstimulasi ovarium, akan terjadi pergeseran cairan

yang nyata dan risiko thrombosis yang bahkan lebih besar lagi. Risiko sindrom

hiperstimulasi ovarium dapat dikurangi dengan pemantauan siklus yang cermat,

penggunaan hormone perangsang folikel dosis rendah yang dikombinasikan

dengan antagonis hormone pelepas gonadotropin, membekukan semua embrio,

dan hanya mentransfer satu embrio. Pilihan terakhir sangat disarankan pada

perempuan dengan penyakit jantung, karena kehamilan multiple dikaitkan dengan

29
perubahan kardiovaskular yang lebih besar dan lebih banyak komplikasi pada ibu

dan janin.

Kehamilan dan fertilitas merupakan kontraindikasi pada perempauan

dengan klasifikasi mWHO kelas IV. Pada perempuan dengan mWHO kelas III

atau pemakai antikoagulan, risiko superovulasi sangat tinggi dan alternatif

fertilisasi in vitro siklus alami harus dipertimbangkan. Masalah seks merupakan

elemen penting dalam kualitas hidup, sehingga perlu didiskusikan lebih sering.

Konseling genetik dapat dipertimbangkan untuk setiap pasien PJB.

Pembuktian adanya kelainan genetik penting untuk pengaturan diri pasien dan

untuk perencanaan keluarga. Diperkirakan 10-30% dari semua PJB memiliki

dasar genetik, angka ini lebih tinggi pada kasus yang disertai kelainan organ lain

dan kejadian dalam keluarga. Kelainan genetic harus ditangani secara

multidisiplin, dengan mengintergrasikan berbagai data klinis agar dicapai

interpretasi yang memadai dan tatalaksana yang baik.

Salah satu aspek penting dan spesifik dari konseling genetic pada pasien

PJB adalah penilaian risiko kekambuhan. Tingkat kekambuhan PJB pada

keturunan berkisar 2-50% dan lebih tinggi pada perempuan dibandingkan laki-

laki. Risiko kekambuhan tertinggi ditemukan pada kelainan gen tunggal dan/atau

kelainan kromosom seperti Marfan, Noonan, sindrom delesi 22q11, dan sindrom

Holt-Oram. Di antara pasien dengan PJB non-familial, tingkat kekambuhan

bervariasi dari 12%, tergantung lesi dasar. Fetal ekokardiografi dianjurkan pada

usia kehamilan 19-22 minggu dan dapat dilakukan pada usia kehamilan 15-16

minggu.

30
BAB III
PENUTUP

Atrial Septal Defect (ASD) merupakan salah satu lesi yang paling umum

terjadi pada wanita hamil dengan penyakit jantung bawaan (PJB). Terdapat 3 jenis

utama ASD yaitu: defek sekundum, primum, dan sinus venosus. Beberapa

perubahan hemodinamik selama kehamilan normal menyebabkan peningkatan

keseluruhan beban kerja jantung. Dua perubahan dominan tersebut yaitu

penurunan resistensi pembuluh darah dan peningkatan curah jantung. Komplikasi

yang dapat terjadi meliputi tromboemboli, aritmia, gagal jantung / hipertensi paru,

atau endocarditis pasca penutupan defek. Penutupan ASD jarang diperlukan

selama kehamilan. ASD umumnya dapat ditoleransi dengan baik pada kehamilan

dan persalinan. Risiko kehamilan cukup rendah pada pasien tanpa hipertensi

pulmonal. Penutupan defek sebelum kehamilan dapat mencegah emboli paradoks

dan memburuknya status klinis. Kehamilan merupakan kontraindikasi pada pasien

dengan sindrom PAH atau Eisenmenger berat.

31
DAFTAR PUSTAKA

1. Yap S et al. Comparison of pregnancy outcomes in women with repaired

versus unrepaired atrial septal defect. 2009;1593–601.

2. Bredy C et al. Pregnancy in adults with repaired/unrepaired atrial septal

defect. J Thorac Dis. 2018 Sep;10(S24):S2945–52.

3. Udholm S et al. Pregnancy outcome in women with atrial septal defect :

associated with in eclampsia vitro fertilisation and pre- . 2019;

4. Celermajer DS. Atrial septal defects: even simple congenital heart diseases

can be complicated. Eur Heart J. 2018 Mar 21;39(12):999–1001.

5. Menillo AM et al. Atrial Septal Defect (ASD) [Internet]. StatPearls. 2019

[cited 2020 December 18]. Available from:

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK535440/

6. Lopes AA et al. Atrial Septal Defect in Adults: Does Repair Always Mean

Cure? Arq Bras Cardiol. 2014;

7. McBride KL et al. Impact of Mendelian inheritance in cardiovascular

disease. Ann N Y Acad Sci. 2010 Dec;1214(1):122–37.

8. Lin AE et al. Congenital heart defects associated with aneuploidy

syndromes: New insights into familiar associations. Am J Med Genet Part

C Semin Med Genet. 2019 Dec 23;ajmg.c.31760.

9. Roy RR et al. The Aspect of NK2 Transcription Factor Related Locus-5

(NKX2.5) Gene Mutations in Bangladeshi Atrial Septal Defect (ASD)

32
patients and 2D Relationship with their Age. Mymensingh Med J. 2016

Jan;25(1):79–84.

10. Chen J et al. A novel mutation of GATA4 (K300T) associated with familial

atrial septal defect. Gene. 2016 Jan;575(2):473–7.

11. Feng Y et al. Maternal lifestyle factors in pregnancy and congenital heart

defects in offspring: review of the current evidence. Ital J Pediatr. 2014

Dec 11;40(1):85.

12. Kim M-A et al. Prevalence of Congenital Heart Defects Associated with

Down Syndrome in Korea. J Korean Med Sci. 2014;29(11):1544.

13. Carvalho AB et al. Cardiovascular and renal anomalies in Turner

syndrome. Rev Assoc Med Bras. 2010;56(6):655–9.

14. Prendiville TW et al. Cardiovascular disease in1. Prendiville TW et al.

Cardiovascular disease in Noonan syndrome. Arch Dis Child. 2014 Jul

1;99(7):629–34. Noonan syndrome. Arch Dis Child. 2014 Jul 1;99(7):629–

34.

15. Aoki H et al. Electrical disorders in atrial septal defect: genetics and

heritability. J Thorac Dis. 2018 Sep;10(S24):S2848–53.

16. Webb G et al. Atrial Septal Defects in the Adult. Circulation [Internet].

2006 Oct 10;114(15):1645–53. Available from:

https://www.ahajournals.org/doi/10.1161/CIRCULATIONAHA.105.59205

17. Le Gloan L et al. Pathophysiology and natural history of atrial septal

defect. J Thorac Dis. 2018 Sep;10(S24):S2854–63.

33
18. Baumgartner H et al. ESC Guidelines for the management of grown-up

congenital heart disease (new version 2010). Eur Heart J.

2010;31(23):2915–57.

19. Regitz-Zagrosek V et al. 2018 ESC Guidelines for the management of

cardiovascular diseases during pregnancy. Vol. 39, European Heart

Journal. 2018. 3165–3241 p.

20. Stout KK et al. 2018 AHA/ACC Guideline for the Management of Adults

With Congenital Heart Disease: A Report of the American College of

Cardiology/American Heart Association Task Force on Clinical Practice

Guidelines. Vol. 139, Circulation. 2019. 698–800 p.

21. Kelompok Kerja Kardiologi Pediatrik dan Penyakit Jantung Bawaan

Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia. 2020. Panduan

Tatalaksana Penyakit Jantung Bawaan Dewasa (PJBD)

34

Anda mungkin juga menyukai