Pembimbing:
Penyusun:
201910401011181
FAKULTAS KEDOKTERAN
2021
POMR
Riwayat perkawinan :
Perkawinan 1x, lama menikah 5 bulan
R.Kehamilan :
1. Hamil ini
R.ANC :
1. 1x di puskesmas
Riwayat KB : -
Pmx. Fisik:
TB : 160 cm
BB: 51 kg
-KU: tampak lemas
-Kes : Composmentis
-TTV:
- Suhu= 36,6 ⁰C
- Tensi : 110/60 mmHg
- Nadi= 102x/menit
- RR= 20x/menit
Head To Toe:
Kepala / Leher : A/I/C/D -/-/-/-
Mata cowong (-), Mukosa bibir kering (+).
Thorax:
I : bentuk normal, simetris, IC tidak tampak,
pergerakan dinding dada simetris
P:ekspansi simetris, Ictus di MCL ICS V tdk
kuat angkat
P:sonor sonor, batas jantung normal
A:vesikuler/vesikuler, ronkhi (-), wheezing
(-), S1S2 tunggal, murmur (-), gallop (-)
Abdomen :
Striae (-), BSC (-), linea alba (-), perut
membesar (-), nyeri tekan suprasimpisis (-),
turgor dbn, Timpani, BU (+) normal
Ekstremitas :
Akral Hangat Kering Merah, Edema (-),
CRT < 2detik
Turgor: normal
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Mual dan muntah dalam kehamilan sangat bervariasi derajatnya mulai
dari ringan hingga berat yang disertai gangguan cairan dan elektrolit dan
gravidarum.
hingga ≥ 3 kali per hari disertai adanya keton urin atau darah dan
penurunan berat badan > 3 kg atau >5% berat badan sebelum hamil. Onset
dimulai pada umur kehamilan 4-6 minggu, puncaknya 8-12 minggu dan
2.2 Epidemiologi
Penelitian-penelitian memperkirakan bahwa mual dan muntah terjadi pada
50-90% dari kehamilan. Mual dan muntah terjadi pada 60-80% primi gravida
dan 40-60% multi gravida. Dari seluruh kehamilan yang terjadi di Amerika
lebih lima dari 1000 kehamilan. Mual dan muntah yang berkaitan dengan
pada usia kehamilan 11-13 minggu, dan sembuh pada kebanyakan kasus pada
ketiga.
hormon hCG, jumlah gravida, dan pekerjaan. Usia ibu saat hamil berkaitan
dengan kondisi psikologis ibu. Literatur menyebutkan bahwa pada usia kurang
dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun lebih sering mengalami hiperemesis
trimester pertama. Faktor resiko lain adalah jumlah gravida, dimana ibu yang
baru pertama kali hamil cenderung mengalami stres yang lebih besar
pola makan, aktifitas, dan stres pada ibu. Sumber lain menyebutkan bahwa
2.4 Klasifikasi
Batasan seberapa banyak terjadinya mual muntah yang disebut
hiperemesis gravidarum belum ada kesepakatannya. Akan tetapi jika keluhan
mual muntah tersebut sampai mempengaruhi keadaan umum ibu dan sampai
mengganggu aktivitas sehari-hari sudah dapat dianggap sebagai hiperemesis
gravidarum. Hiperemesis gravidarum, menurut berat ringannya gejala dapat
dibagi dalam tiga tingkatan, yaitu: (Prawirohardjo, 2002) (Goodwin, 2008)
1. Tingkat I.
Muntah terus menerus yang mempengaruhi keadaan umum penderita, ibu
merasa lemah, nafsu makan tidak ada, berat badan menurun dan merasa nyeri
pada epigastrium. Nadi meningkat sekitar 100 per menit, tekanan darah
sistolik menurun, turgor kulit menurun, lidah mengering dan mata cekung.
2. Tingkat II.
Penderita tampak lebih lemas dan apatis, turgor kulit lebih menurun, lidah
mengering dan nampak kotor, nadi kecil dan cepat, suhu kadang-kadang naik
dan mata sedikit ikterus. Berat badan turun dan mata menjadi cekung, tensi
turun, hemokonsentrasi, oliguria dan konstipasi. Aseton dapat tercium dalam
bau pernapasan, karena mempunyai aroma yang khas dan dapat pula
ditemukan dalam kencing.
3. Tingkat III.
Keadaan umum lebih buruk, muntah berhenti, kesadaran menurun dari
somnolen sampai koma, nadi kecil dan cepat, suhu meningkat dan tensi
menurun. Komplikasi fatal terjadi pada susunan saraf yang dikenal sebagai
Encephalopathy Wernicke dengan gejala nistagmus, diplopia, dan perubahan
mental. Keadaan ini terjadi akibat defisiensi zat makanan, termasuk vitamin B
kompleks. Timbulnya ikterus menunjukan adanya gangguan hati.
2.5 Patofisiologi
Penyebab hiperemesis gravidarum masih belum diketahui secara
a. Perubahan hormonal
fungsi tiroid akan kembali normal pada pertengahan trimester kedua tanpa
b. Disfungsi gastrointestinal
c. Gangguan metabolik
memiliki kekurangan dalam native thiol dan total thiol, berkorelasi dengan
d. Perubahan lipid
e. Sistem penciuman
mual.
f. Genetik
pada saat kehamilan dan wanita yang lahir tanpa adanya hiperemesis saat
g. Psikologis
2.6 Diagnosis
Diagnosis hiperemesis gravidarum ditegakkan melalui anamnesis,
pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan penunjang.
a. Anamnesis Dari anamnesis didapatkan amenorea, tanda kehamilan muda,
mual, dan muntah. Kemudian diperdalam lagi apakah mual dan muntah terjadi
terus menerus, dirangsang oleh jenis makanan tertentu, dan mengganggu
aktivitas pasien sehari- hari. Selain itu dari anamnesis juga dapat diperoleh
informasi mengenai hal-hal yang berhubungan dengan terjadinya hiperemesis
gravidarum seperti stres, lingkungan sosial pasien, asupan nutrisi dan riwayat
penyakit sebelumnya (hipertiroid, gastritis, penyakit hati, diabetes mellitus,
dan tumor serebri).
b. Pemeriksaan Fisik Pada pemeriksaan fisik perhatikan keadaan umum
pasien, tanda-tanda vital, tanda dehidrasi, dan besarnya kehamilan. Selain itu
perlu juga dilakukan pemeriksaan tiroid dan abdominal untuk menyingkirkan
diagnosis banding.
c. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk membantu
menegakkan diagnosis dan menyingkirkan diagnosis banding. Pemeriksaan
yang dilakukan adalah darah lengkap, urinalisis, gula darah, elektrolit, USG
(pemeriksaan penunjang dasar), analisis gas darah, tes fungsi hati dan ginjal.
Pada keadaan tertentu, jika pasien dicurigai menderita hipertiroid dapat
dilakukan pemeriksaan fungsi tiroid dengan parameter TSH dan T4. Pada
kasus hiperemesis gravidarum dengan hipertiroid 50- 60% terjadi penurunan
kadar TSH. Jika dicurigai terjadi infeksi gastrointestinal dapat dilakukan
pemeriksaan antibodi Helicobacter pylori. Pemeriksaan laboratorium
umumnya menunjukan tanda-tanda dehidrasi dan pemeriksaan berat jenis urin,
ketonuria, peningkatan blood urea nitrogen, kreatinin dan hematokrit.
Pemeriksaan USG penting dilakukan untuk mendeteksi adanya kehamilan
ganda ataupun mola hidatidosa.
2.7 Tatalaksana
1. Prevensi dengan pemberian multivitamin prenatal yang mengandung B6.
obat-obatan yang mengandung Fe dan vitamin dalam jumkah besat, diet dalam
B6
9. Rawat inap pada kondisi berat dengan pemberian hidrasi intraveni (normal
saline atau RL) dikombinasikan dengan thiamine 100 mg 4kali sehari. Hindari
ensefalopati wernicke.
2.8 Komplikasi
Muntah yang terus-menerus disertai dengan kurang minum yang
berkepanjangan dapat menyebabkan dehidrasi. Jika terus berlanjut, pasien
dapat mengalami syok. Dehidrasi yang berkepanjangan juga menghambat
tumbuh kembang janin. Oleh karena itu, pada pemeriksaan fisik harus dicari
apakah terdapat abnormalitas tanda-tanda vital, seperti peningkatan frekuensi
nadi (>100 kali per menit), penurunan tekanan darah, kondisi subfebris, dan
penurunan kesadaran. Selanjutnya dalam pemeriksaan fisis lengkap dapat
dicari tanda-tanda dehidrasi, kulit tampak pucat dan sianosis, serta penurunan
berat badan.
Selain dehidrasi, akibat lain muntah yang persisten adalah gangguan
keseimbangan elektrolit seperti penurunan kadar natrium, klor dan kalium,
sehingga terjadi keadaan alkalosis metabolik hipokloremik disertai
hiponatremia dan hipokalemia. Hiperemesis gravidarum yang berat juga dapat
membuat pasien tidak dapat makan atau minum sama sekali, sehingga
cadangan karbohidrat dalam tubuh ibu akan habis terpakai untuk pemenuhan
kebutuhan energi jaringan. Akibatnya, lemak akan dioksidasi. Namun, lemak
tidak dapat dioksidasi dengan sempurna dan terjadi penumpukan asam aseton-
asetik, asam hidroksibutirik, dan aseton, sehingga menyebabkan ketosis. Salah
satu gejalanya adalah bau aseton (buah-buahan) pada napas. Pada pemeriksaan
laboratorium pasien dengan hiperemesis gravidarum dapat diperoleh
peningkatan relatif hemoglobin dan hematokrit, hiponatremia dan
hipokalemia, badan keton dalam darah dan proteinuria.
Robekan pada selaput jaringan esofagus dan lambung dapat terjadi bila
muntah terlalu sering. Pada umumnya robekan yang terjadi kecil dan ringan,
dan perdarahan yang muncul dapat berhenti sendiri. Tindakan operatif atau
transfusi darah biasanya tidak diperlukan.
DAFTAR PUSTAKA
Chris Tanto dan I Putu Gede Kayika, 2014, Hiperemesis Gravidarum, dalam
Ioannidou, P., Papanikolaou, D., Mikos, T., Mastorakos, G., & Goulis, D. G.
http://emedicine.medscape.com/article/254751-overview#showall
Sarwono Prawirohardjo, 2014, Ilmu Kebidanan Edisi Keempat. Jakarta: PT. Bina
015-0820-2.
417.
– 769
8:46 p
Cunninghan FG, Leveno KJ, Bloom S, Dashe JS, Hoffman BL, Casey BM, Spong
CY. 2018. William Obstetrics. 25th edition. New York: McGraw-Hill. Pp.
371-387
Dutta DC, Malposition, malpresentation, cord prolapse. In Text Book of
Gabbe SG, Niebyl JR, Simpson JL. Malpresentation. In: Obstetrics normal and
2000:478-90.
Gynecol 2002;187:1694-8