Teori Belajar Behaviorisme
Teori Belajar Behaviorisme
Disusun Oleh :
Ardi Aditia 1301145009
Asep Gunawan 1301145012
Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Puji syukur penulis panjatkan ke
hadirat-Nya, yang telah memberikan keluasan waktu dan kesehatan kepada penulis untuk
dapat menyelesaikan tugas mata kuliah Belajar dan Pembelajaran yang diampuh oleh Bapak
Gufron Amirullah. Jenis tugas yang diberikan adalah membuat makalah. Perincian makalah
yang diberikan adalah menyusun makalah tentang Teori Belajar Behaviorisme
Melalui penugasan ini diharapkan semua pembaca dapat memahami tentang Teori Belajar
Behaviorisme yang pada gilirannya dapat diterapkan dalam kegiatan pembelajaran. Selain itu
manfaat yang dapat dirasakan adalah meningkatnya kompetensi pembelajaran para pembaca
yang sebagian besar merupakan mahasiswa.
Penulis menyadari, bahwa makalah ini belum sempurna. Oleh karena itu, penulis
mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk kesempurnaan makalah ini. Mudah-
mudahan makalah ini bermanfaat bagi penulis sendiri, maupun siapa saja yang
memerlukannya.
.
Jakarta, 18 Desember 2013
Penulis
i
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR……..……………………………………………….... i
DAFTAR ISI……….………………………………………………………... ii
BAB I. PENDAHULUAN……………………………………………… 1
1.1 Latar Belakang…..…………………………………………… 1
1.2 Pembatasan Masalah….……………………………………… 2
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1
1.2. Perumusan Masalah
Karena pembahasan tentang teori behaviorisme sanagt luas, maka pada pembahasan
makalah ini penulis akan menitik beratkan pada poin-poin dibawah ini:
1. Siapakah tokoh-tokoh yang mendukung teori belajar behaviorisme?
2. Bagaimana aplikaasi teori belajar behaviorisme dalam pendidikan di
Indonesia?
3. Apa kelemahan dan kelebihan dari teori belajar behaviorisme?
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
yang dilakukan Pavlov dan ahli lain tampaknya sangat terpengaruh pandangan
behaviorisme, dimana gejala-gejala kejiwaan seseorang dilihat dari perilakunya.
Hal ini sesuai dengan pendapat Bakker bahwa yang paling sentral dalam hidup
manusia bukan hanya pikiran, peranan maupun bicara, melainkan tingkah
lakunya. Pikiran mengenai tugas atau rencana baru akan mendapatkan arti yang
benar jika ia berbuat sesuatu.Bertitik tolak dari asumsinya bahwa dengan
menggunakan rangsangan-rangsangan tertentu, perilaku manusia dapat berubah
sesuai dengan apa yang di inginkan. Kemudian Pavlov mengadakan eksperimen
dengan menggunakan binatang (anjing) karena ia menganggap binatang
memiliki kesamaan dengan manusia. Namun demikian, dengan segala
kelebihannya, secara hakiki manusia berbeda dengan binatang.
4
mingkin suara itu asing, tetapi setelah si penjual es creem sering lewat, maka
nada lagutersebut bisa menerbitkan air liur.
Berdasarkan eksperimen yang dilakukan Pavlov diperoleh kesimpulan berkenan
dengan beberapa cara perubahan tingkah laku yang dapat digunakan dalam
proses pembelajaran. Misalnya murid dimarahi karena ujian biologinya buruk.
Saat murid untuk ujian kimia dia juga akan menjadi gugup karena kedua
pelajaran tersebut saling berkaitan.
2.2.2 John Watson
Watson menyatakan bahwa hanya tingkah laku yang teramati saja yang dapat
dipelajari dengan valid dan reliable. Dengan demikian stimulus dan respon
harus berbentuk tingkah laku yang dapat diamati (observable).
Watson berpendapat bahwa introspeksi merupakan pendekatan yang tidak ada
gunanya. Alasannya adalah jika psikologi dianggap sebagai suatu ilmu, maka
datanya harus dapat diamati dan diukur. Watson mempertahankan pendapatnya
bahwa hanya dengan mempelajari apa yang dilakukan manusia (perilaku
mereka) memungkinkan psikologi menjadi ilmu yang objektif. Watson menolak
pikiran sebagai subjek dalam psikologi dan mempertahankan pelaku sebagai
subjek psikologi. Khususnya perilaku yang observabel atau yang berpotensi
untuk dapat diamati dengan berbagai cara baik pada aktivitas manusia dan
hewan. 3 prinsip dalam aliran behaviorisme:
1. Menekankan respon terkondisi sebagai elemen atau pembangun pelaku.
Kondisi adalah lingkungan external yang hadir dikehidupan. Perilaku muncul
sebagai respon dari kondisi yang mengelilingi manusia dan hewan.
5
terhadap tikus. Akhirnya, tanpa ada suara keras sekalipun, balita menjadi takut
terhadap tikus.
Meskipun eksperimen Watson dan rekannya secara etika dipertanyakan,
hasilnya menunjukkan untuk pertamakalinya bahwa manusia dapat ‘belajar’
takut terhadap stimuli yang sesungguhnya tidak menakutkan. Namun ketika
stimuli tersebut berasosiasi dengan pengalaman yang tidak menyenangkan,
ternyata menjadi menakutkan. Eksperimen tersebut juga menunjukkan bahwa
classical conditioning mengakibatkan beberapa kasus fobia (rasa takut), yaitu
ketakutan yang yang tidak rasional dan berlebihan terhadap objek-objek tertentu
atau situasi-situasi tertentu.
Pakar psikologi sekarang dapat memahami bahwa classical conditioning dapat
menjelaskan beberapa respons emosional seperti kebahagiaan, kesukaan,
kemarahan, dan kecemasan yaitu karena orang tersebut mengalami stimuli
khusus. Sebagai contoh, seorang anak yang memiliki pengalaman
menyenangkan dengan roller coaster kemungkinan belajar merasakan
kesenangan justru karena melihat bentuk roller coaster tersebut. Bagi seorang
dewasa yang menemukan sepucuk surat dari teman dekat di dalam kotak surat,
hanya dengan melihat alamat pengirim yang tertera di sampul kemungkinan
menimbulkan perasaan senang dan hangatnya persahabatan.
Pakar psikologi menggunakan prosedur classical conditioning untuk merawat
fobia (rasa takut) dan perilaku yang tidak diinginkan lainnya seperti kecanduan
alkohol dan psikotropika. Untuk merawat fobia terhadap objek-objek tertentu,
pakar psikologi melakukan terapi dengan menghadirkan objek yang ditakuti
oleh penderita secara berangsur-angsur dan berulang-ulang ketika penderita
dalam suasana santai. Melalui fase eliminasi (eliminasi stimulus kondisi),
penderita akan kehilangan rasa takutnya terhadap objek tersebut. Dalam
memberikan perawatan untuk alkohol, penderita meminum minuman beralkohol
dan kemudian menenggak minuman keras tersebut sehingga menyebabkan rasa
sakit di lambung. Akhirnya ia merasakan sakit lambung begitu melihat atau
mencium bau alkohol dan berhenti meminumnya. Keefektivan dari terapi seperti
ini sangat bervariasi bergantung individunya dan problematika yang
dihadapinya.
2.2.3 Edward Lee Thorndike
Dalam bukunya Animal Intelligence (1911) ia menyangkal pendapat bahwa
hewan memecahkan masalah dengan nalurinya. Ia justru berpendapat bahwa
hewan juga memiliki kecerdasan.
Menurut Thorndike, belajar merupakan peristiwa terbentuknya asosiasi-asosiasi
antara peristiwa-peristiwa yang disebut stimulus (S) dengan respon (R ).
Stimulus adalah apa yang merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti
pikiran, perasaan, atau hal-hal lain yang dapat ditangkap melalui alat indera.
Sedangkan respon adalah reaksi yang dimunculkan peserta didik ketika belajar,
yang dapat pula berupa pikiran, perasaan, atau gerakan/tindakan.Jadi perubahan
tingkah laku akibat kegiatan belajar dapat berwujud konkrit, yaitu yang dapat
diamati, atau tidak konkrit yaitu yang tidak dapat diamati.
Teori ini disebut dengan teori koneksionisme atau juga disebut “S -R Bond
Theory” dan “S-R Psycology of learning” selain itu, teori ini juga terkenal
dengan “T rial and Error Learning”.
2. Law of Exercise, hubungan antara stimulus dan respon itu akan sangat kuat
bila sering dilakukan pelatihan dan pengulangan, dan akan menjadi lemah
jika latihan tidak diteruskan.
3. Law of Effect, yaitu perbuatan yang diikuti dengan dampak atau pengaruh
yang memuaskan cenderung ingin diulangi lagi dan yang tidak
mendatangkan kepuasan akan dilupakan.
2.2.4 B.F Skinner
Skinner meyakini bahwa perilaku individu dikontrol melalui proses operant
conditioning dimana seseorang dapat mengontrol tingkah laku organisme
melalui pemberian reinforcement yang bijaksana dalam lingkungan yang relatif
besar.
Operant Conditioning adalah suatu proses perilaku operant (penguatan positif
atau negatif) yang dapat mengakibatkan perilaku tersebut dapat berulang
kembali atau menghilang sesuai dengan keinginan.
Azas operant conditioningB.F Skinner mulai muncul dalam tahun 1930-an, pada
waktu keluarnya teori-teori S-R (Stimulus-Respons) yang kemudian dikenal
dengan model konditioning klasik dari Pavlov yang pada saat itu telah memberi
pengaruh yang kuat dalam pelaksanaan penelitian. Munculnya teori Operant
Conditioning ini sebagai bentuk reaksi ketidak puasan Skinner atas teori S-R,
umpamanya pada pernyataan “Stimulus terus menerus memiliki sifat-sifat
kekuatan yang tidak mengendur” (Gredler, 1991 : 115). Dengan kata lain suatu
stimulus bervariasi serta akan terjadi pengulangan bila terdapat penguatan
(reinforcement). Pengulangan respons-respons tersebut merupakan tahapan-
tahapan dalam proses mngubah atau pembentukan tingkah laku. Sedangkan
secara menyeluruh, istilah
Operant conditioning diartikan sebagai suatu situasi belajar dimana suatu
respons lebih kuat akibat reinforcement langsung (Wasty, 1998 : 126).
Kemudian margaret E. Bell Gredler dalam kesimpulannya mengartikan operant
conditioning sebagai proses mengubah tingkah laku subjek dengan jaalan
memberikan penguatan (reinforcement) atas respons-respons yang dikehendaki
dengan kehadiran stimulus yang cocok (Gredler, 1991 :125).
Dari beberapa definisi di atas, dapat diambil suatu pemahaman bahwa
penciptaan suatu kondisi dalam rangka pengubahan tingkah laku subjek, yang
relatif sesuai dengan yang dikehendaki (misalnya, oleh guru atau pemimpin
pendidikan) yaitu dengan mencermati dan mengontrol respons yang muncul,
kemudian setiap respons tersebut diberikan penguatan (reinforcement).
Seperti halnya Throndike, Skinner menganggap “reward” atau “reinforcement”
sebagai faktor terpenting dalam proses belajar. Skinner berpendapat bahwa
8
tujuan psikologi adalah meramal dan mengontrol tingkah laku (Wasty, 1998 :
119). Dengan demikian tingkah laku yang diinginkan terjadi, dapat
digambarkan dan dibentuk secara nyata melalui pemberian reinforcement yang
sesuai.Menurut Skinner tingkah laku sepenuhnya ditentukan oleh stimulus, tidak
ada faktor perantara lainnya. Rumus Skinner : B (behaviour) = F (fungsi) dari S
(stimulus) (B = F (S). Tingkah laku atau respons (R) tertentu akan timbul
sebagai reaksi terhadap stimulus tertentu (S). Respons yang dimaksud di sini
adalah respons yang berkondisi yang dikenal dengan respons operant (tingkah
laku operant). Sedangkan stimulusnya adalah stimulus operant(Sudjana, 1991 :
85). Oleh karena itu belajar menurut Skinner diartikan sebagai perubahan
tingkah laku yang dapat diamati dalam kondisi yang terkontrol secara
baik.Terdapat dua macam penguat yang dapat diberikan dalam rangka
memotivasi atau memodifikasi tingkah laku.
Pertama, reinforcement positif yakni sesuatu atau setiap penguat yang
memperkuat hubungan stimulus respons atau sesuatu yang dapat memperbesar
kemungkinan timbulnya suatu respons atau dengan kata lain sesuatu yang dapat
memperkuat tingkah laku. Kedua, Reinforcement negatif (punishment) yakni
sesuatu yang dapat memperlemah timbulnya respons-respons (Rohani, 1995 :
13). Artinya setiap penguat yang dapat memperkuat tingkah laku respons tetapi
bersifat aversif (menimbulkan kebencian dan penghindaran), misalnya : ujian
tiba-tiba. Stimulus negatif dapat menimbulkan respons emosional bahkan dapat
melenyapkan (extinction) tingkah laku atau respons (Gredler : 1991 : 130).
Macam dari sifat reinforcement ini, merupakan pilihan atau opsi bagi para guru
sebagaii pemilik reinforcement (Baker, 1983 : 121), untuk menerapkannya di
lapangan baik dalam konteks kelas maupun terhadap individu dalam kelas.
Disinilah kemampuan profesionalisme dan pengalaman seorang guru sangat
menentukan, karena bukan suatu hal yang mustahil reinforcement negatif justru
melahirkan respons (tingkah laku) positif. Tetapi Skinner lebih menekankan
kepada pemberian reinforcement positif.
Dalam salah satu eksperimennya, Skinner menggunakan seekor tikus yang
ditempatkan dalam sebuah peti yang disebut dengan Skinner Box. Kotak
Skinner ini berisi dua macam komponen pokok, yaitu manipulandum dan alat
pemberi reinforcement yang antara lain berupa wadah makanan. Manipulandum
adalah komponen yang dapat dimanipulasi dan gerakannya berhubungan dengan
reinforcement. Komponen ini terdiri dari tombol, batang jeruji, dan pengungkit.
Dalam eksperimen tadi mula-mula tikus itu mengeksplorasi peti sangkar dengan
cara lari kesana kemari, mencium benda-benda yang ada disekitarnya, mencakar
dinding, dan sebagainya. Tingkah laku tikus yang demikian disebut dengan ‘’
emmited behavior ” (tingkah laku yang terpancar), yakni tingkah laku yang
terpancar dari organism tanpa memedulikan stimulus tertentu. Kemudian salah
satu tingkah laku tikus (seperti cakaran kaki, sentuhan moncong) dapat menekan
pengungkit. Tekanan pengungkit ini mengakibatkan munculnya butir-butir
makanan ke dalam wadahnya.
Butir-butir makanan yang muncul merupakan reinforce bagi tikus yang disebut
dengan tingkah laku operant yang akan terus meningkat apabila diiringi
reinforcement, yaitu penguatan berupa butiran-butiran makanan kedalam wadah
makanan.
Teori belajar operant conditioning ini juga tunduk pada dua hukum operant
yang berbeda lainnya, yaitu law operant conditioning dan law extinction.
Menurut hukum operant conditioning, jika suatu tingkah diriingi oleh sebuah
penguat (reinforcement), maka tingkah laku tersebut meningkat. Sedangkan
menurut hukum law extinction, jika suatu tingkah laku yang diperkuat dengan
stimulus penguat dalam kondisioning, tidak diiringi stimulus penguat, maka
tingkah laku tersebut akan menurun atau bahkan musnah. Kedua hukum ini
pada dasarnya juga memiliki kesamaan dengan hukum pembiasaan klasik
(classical conditioning).
3.1. KESIMPULAN
Menuurut teori belajar behaviorisme, belajar didefinisikan sebagai perubahan
dalam tingkah laku sebagai akibat dari interaksi antara stimulus dan respon.
Dimana perubahan tingkah laku tersebut tergantung pada konsekuensi.
Aplikasi teori behavioristik dalam kegiatan pembelajaran yaitu karena
memandang pengetahuan adalah objektif, pasti, tetap dan tidak berubah.
3.2. SARAN
Dalam melakukan sebuah penilaian belajar, seorang pendidik sebauknya dan
seharusnya mempertimbangkan keadaan mental peserta didiknya disamping
tingkah laku yang diamati.
DAFTAR PUSTAKA
13
Jufri, A. Wahab. Belajar dan Pembelajaran Sains/A. Wahab Jufri. –
Bandung: Pustaka Reka Cipta, 2013.
Sumber gambar:
http://2.bp.blogspot.com/_I_NkvOqPaTg/S7yOQ-
bU7QI/AAAAAAAAAHc/Vov-Ip672_E/s1600/dog-training-18.jpg