Makalah Konsep Dasar Sistem Imun
Makalah Konsep Dasar Sistem Imun
Disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Imunologi Gizi
OLEH :
YOGYAKARTA
2019
Kata Pengantar
Puji syukur alhamdulillah kami panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena telah
melimpahkan rahmat-Nya berupa kesempatan dan pengetahuan sehingga makalah ini
bisa selesai pada waktunya. Makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas Imunologi
Gizi mengenai konsep dasar sistem imun. Kami berharap semoga makalah ini bisa
menambah pengetahuan para pembaca. Namun terlepas dari itu, kami memahami
bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna, sehingga kami sangat
mengharapkan kritik serta saran yang bersifat membangun demi terciptanya makalah
selanjutnya yang lebih baik lagi.
Desember, 2019
Tim Penyusun
ii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL..........................................................................................................i
KATA PENGANTAR.........................................................................................................ii
DAFTAR ISI.......................................................................................................................iii
BAB I : PENDAHULUAN.................................................................................................4
A. Latar Belakang.........................................................................................................4
B. Rumusan Masalah....................................................................................................5
C. Tujuan .....................................................................................................................5
BAB II : PEMBAHASAN...................................................................................................6
A. Kesimpulan..............................................................................................................26
B. Saran........................................................................................................................26
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................27
iii
BAB I
PENDAHULUAN
Bila sistem imun terpapar oleh zat yang dianggap asing, maka akan
terjadi dua jenis respons imun, yaitu respons imun non spesifik dan respons
imun spesifik. Walaupun kedua respons imun ini prosesnya berbeda, namun
telah dibuktikan bahwa kedua jenis respons imun diatas saling meningkatkan
efektivitasnya. Sistem imun alamiah merespon lebih cepat dan bertindak
sebagai pertahanan awal, seperti mekanisme batuk dan bersin, asam lambung,
sistem komplemen, dan pertahanan selular berupa proses fagositosis.
Kemampuan pertahanan yang lebih spesifik dimiliki oleh sistem imun adaptif
berupa sistem imun humoral oleh limfosit B dan sistem imun seluler oleh
limfosit T. Sistem imun spesifik memberikan perlindungan lebih baik
4
terhadap antigen yang sudah pernah terpajan sebelumnya. Respons imun yang
terjadi sebenarnya merupakan interaksi antara satu komponen dengan
komponen lain yang terdapat didalam system imun. Interaksi tersebut
berlangsung bersama-sama sedemikian rupa sehingga menghasilkan suatu
aktivitas biologic yang seirama dan serasi (Roit dkk., 1993).
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah konsep sistem imun dalam tubuh manusia?
2. Apa sajakah macam organ dan sel sistem imun dalam tubuh manusia?
3. Apa sajakah contoh sel-sel sistem imun nonspesifik dalam tubuh manusia?
4. Apa sajakah contoh sel-sel sistem imun spesifik dalam tubuh manusia?
5. Apakah fungsi sel-sel sistem imun nonspesifik dan spesifik dalam tubuh
manusia?
6. Bagaimana gambar-gambar sistem imun dalam tubuh manusia?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui bagaimana konsep sistem imun dalam tubuh manusia.
2. Untuk mengetahui macam organ dan sel sistem imun dalam tubuh
manusia.
3. Untuk mengetahui contoh sel-sel sistem imun nonspesifik dalam tubuh
manusia.
4. Untuk mengetahui contoh sel-sel sistem imun spesifik dalam tubuh
manusia.
5. Untuk mengetahui fungsi sel-sel sistem imun nonspesifik dan spesifik
dalam tubuh manusia.
6. Untuk mengetahui bagaimana gambar-gambar sistem imun dalam tubuh
manusia.
5
BAB II
PEMBAHASAN
6
dan fungsinya masing-masing (Roitt dkk., 1993; Subowo, 1993; Kresno,
1991).
Bila sistem imun terpapar oleh zat yang dianggap asing, maka akan
terjadi dua jenis respons imun, yaitu respons imun non spesifik dan respons
imun spesifik. Walaupun kedua respons imun ini prosesnya berbeda, namun
7
telah dibuktikan bahwa kedua jenis respons imun diatas saling meningkatkan
efektivitasnya. Respons imun yang terjadi sebenarnya merupakan interaksi
antara satu komponen dengan komponen lain yang terdapat didalam sistem
imun. Interaksi tersebut berlangsung bersama-sama sedemikian rupa
sehingga menghasilkan suatu aktivitas biologic yang seirama dan serasi
(Grange, 1982; Goodman, 1991; Roit dkk., 1993).
a. Kelenjar timus
b. Kelenjar limfe
c. Limfa
8
d. Tonsil
e. Berbagai jenis sel serta jaringan diluar organ limfoid, seperti :
Peyer’s patches yang terdapat pada dinding usus.
Jaringan limfoid yang membatasi saluran nafas dan saluran urogenital.
Jaringan limfoid dalam sumsum tulang dan dalam darah.
Organ dan jaringan limfoid dibagi dalam dua kelompok utama, yaitu
organ limfoid primer seperti timus, ekivalen bursa fabricius dan sumsum
tulang.yang berfungsi sebagai embriogenesis dari sel-sel imunologik, dan
organ limfoid sekunder seperti, kelenjar limfe, limfa dan jaringan limfoid
lainnya, yang bereaksi aktif terhadap stimulasi antigen. Kelenjar timus,
dianggap sebagai organ limfoid utama dalam imunogenesis dan menjadi pusat
pengendalian aktivitas organ serta jaringan limfoid yang lainnya (Bellanti,
1985; Abbas 1991; Subowo 1993; Roitt dkk., 1993).
9
berperan dalam mendidik limfosit T untuk mengenal antigen diri
(self). Dalam proses maturasi ini sel T menjadi imunokompeten. Dua
sampai tiga hari, setelah sel induk masuk kedalam timus, limfosit
meninggalkan timus lalu masuk kedalam sirkulasi dan selanjutnya
menetap didalam organ limfoid perifer.
10
mengandung sel T matang dan plasmosit. Dengan demikian, sumsum
tulang disamping sebagai organ limfoid primer, juga berfungsi sebagai
organ limfoid sekunder.
11
diduga memberikan rangsangan secara periodik dengan sewaktuwaktu
melepaskan iccomes yang kemudian ditangkap dan diproses oleh APC
dan disajikan kepada sel T. Hal ini akan mengakibatkan sel T secara
terus menerus akan merangsang sel B memory untuk berproliferasi
dan membentuk pusat-pusat germinal.
Limfa
12
dendritik yang akan mengikat antigen tersebut untuk dibawa ke
limfonodus regional melalui pembuluh limfatik tersebut agar melalui
diproses oleh limfosit T. Akan tetapi sebagian antigen yang tidak
terikat oleh sel dendritik akan masuk ke dalam sistem limfatik dimana
antigen ini akan diikat oleh Antigen Presenting Cell (APC) untuk
kemudian diproses oleh limfosit. Apabila kondisi seperti ini terjadi
terus-menerus akan berakibat tertekannya sistem imun tubuh dan
terjadi mutasi DNA. Mutasi DNA akan mengakibat- kan sel-sel
bertransformasi dari sel normal menjadi sel tumor. Transformasi ini
tidak terjadi sekaligus, tetapi bersifat selektif, pertumbuhan meningkat
berlebihan dan tidak terkendali sampai akhirnya terjadi transformasi
kanker penuh (Mayfuza, 2012).
13
C. Contoh Sel-Sel Sistem Imun Non Spesifik
Umumnya merupakan imunitas bawaan (innate immunity), dalam
artian bahwa respons terhadap zat asing dapat terjadi walaupun tubuh
sebelumnya tidak pernah terpapar oleh zat tersebut. Sebagai contoh dapat
dijelaskan sebagai berikut: salah satu upaya tubuh untuk mempertahankan
diri terhadap masuknya antigen misalnya, bakteri, adalah dengan cara
menghancurkan bakteri tersebut dengan cara nonspesifik melalui proses
fagositosis. Dalam hal ini makrofag, neutrofil dan monosit memegang
peranan yang sangat penting. Supaya dapat terjadi fagositosis, sel-sel
fagositosis tersebut harus berada dalam jarak yang dekat dengan partikel
bakteri, atau lebih tepat lagi bahwa partikel tersebut harus melekat pada
permukaan fagosit. Untuk mencapai hal ini maka fagosit harus bergerak
menuju sasaran. Hal ini dapat terjadi karena dilepaskannya zat atau mediator
tertentu yang disebut dengan factor leukotaktik atau kemotaktik yang berasal
dari bakteri maupun yang dilepaskan oleh neutrofil, makrofag atau
komplemen yang telah berada dilokasi bakteri (Kresno, 1991; Roitt, 1993).
Selain faktor kemotaktik yang berfungsi untuk menarik fagosit
menuju antigen sasaran, untuk proses fagositosis selanjutnya, bakteri perlu
mengalami opsonisasi terlebih dahulu. Ini berarti bahwa bakteri terlebih
dahulu dilapisi oleh immunoglobulin atau komplemen (C3b), supaya lebih
mudah ditangkap oleh fagosit. Selanjutnya partikel bakteri masuk kedalam sel
dengan cara endositosis dan oleh proses pembentukan fagosum, ia
terperangkap dalam kantong fagosum, seolah-olah ditelan dan kemudian
dihancurkan baik dengan proses oksidasi-reduksi maupun oleh derajat
keasaman yang ada dalam fagosit atau penghancuran oleh lisozim dan
gangguan metabolisme bakteri (Bellanti, 1985; Subowo, 1993).
Selain fagositosis diatas, manifestasi lain dari respons imun
nonspesifik adalah reaksi inflamasi. Reaksi ini terjadi akibat dilepaskannya
mediator-mediator tertentu oleh beberapa jenis sel, misalnya histamine yang
dilepaskan oleh basofil dan mastosit, Vasoactive amine yang dilepaskan oleh
14
trombosit, serta anafilatoksin yang berasal dari komponen–komponen
komplemen, sebagai reaksi umpan balik dari mastosit dan basofil. Mediator-
mediator ini akan merangsang bergeraknya sel-sel polymorfonuklear (PMN)
menuju lokasi masuknya antigen serta meningkatkan permiabilitas dinding
vaskuler yang mengakibatkan eksudasi protein plasma dan cairan. Gejala
inilah yang disebut dengan respons inflamasi akut (Abbas, 1991; Stite; 1991;
Kresno, 1991).
Zink berperan penting dalam perkembangan dan fungsi sel yang
dipengaruhi oleh imunitas nonspesifik dengan cara menginduksi adhesi sel
mielomonosit pada endotel, sehingga zink berperan penting pada respon awal
sistem imun (Rink, Gabriel, 2000). Sel NK penting sebagai imunitas terhadap
infeksi dan tumor. Zink dibutuhkan untuk menjaga fungsi normal sel NK
(Sakakibara, et all. 2011).
Zink digolongkan sebagai mikronutrient dan dapat ditemukan pada
semua jaringan tubuh, serta berperan penting pada pertumbuhan sel dan
diferensiasi sel. Mineral ini berperan penting dalam perkembangan dan fungsi
sel yang dipengaruhi oleh imunitas nonspesifik. Pada sistem imun spesifik,
zink lebih berperan pada proliferasi sel T, dibandingkan dengan sel B. Mineral
ini turut memegang peranan pada saluran nafas, kulit dan saluran cerna (Rita,
et all., 2013).
Berdasarkan hasil penelitian, fraksi daun katuk dapat memberikan
pengaruh terhadap aktivitas dan kapasitas fagositosis makrofag. Salah satu
bagian dari katuk bermanfaat sebagai pengobatan yaitu daunnya untuk
mengobati demam, suara parau, pelancar ASI dan dapat meningkatkan respon
sistem imun non-spesifik (Rauf, Haeeria, Anas, 2016).
15
terpapar sebelumnya. Respons imun spesifik dimulai dengan adanya
aktifitas makrofag atau antigen precenting cell (APC) yang memproses
antigen sedemikian rupa sehingga dapat menimbulkan interaksi dengan
sel-sel imun. Dengan rangsangan antigen yang telah diproses tadi, sel-sel
sistem imun berploriferasi dan berdiferensiasi sehingga menjadi sel
yang memiliki kompetensi imunologik dan mampu bereaksi dengan
antigen (Bellanti, 1985; Roitt,1993; Kresno, 1991).
Zink memegang peranan penting terhadap fungsi timus. Timus
merupakan organ tempat pematangan sel T. Mineral ini berperan sebagai
kofaktor esensial terhadap hormon timulin (ZnFTS) yangn dihasilkan
timus melalui sel epitel timus. Zat ini berperan tidak hanya pada proses
diferensiasi sel T yang belum matang, tetapi juga mengatur pelepasan
sitokin oleh sel monokuler perifer dalam darah, merangsang
pembentukan sel T CD8, bersama dengan interleukin 2 (IL-2), serta
menjaga aktifitas reseptor untuk IL-2 pada sel T yang matang (Salgueiro
MJ, et all., 2000).
Antigen pada kontak pertama (respon primer) dapat dimusnahkan
dan kemudian sel-sel sistem imun mengadakan involusi, namun
respons imun primer tersebut sempat mengakibatkan terbentuknya klon
atau kelompok sel yang disebut dengan memory cells yang dapat
mengenali antigen bersangkutan. Apabila dikemudian hari antigen yang
sama masuk kedalam tubuh, maka klon tersebut akan berproliferasi dan
menimbulkan respons sekunder spesifik yang berlangsung lebih cepat
dan lebih intensif dibandingkan dengan respons imun primer.
Mekanisme efektor dalam respons imun spesifik dapat dibedakan
menjadi:
a. Respons Imun Seluler
16
makrofag sehingga sulit untuk dijangkau oleh antibodi. Untuk
melawan mikroorganisme intraseluler tersebut diperlukan respons
imun seluler, yang diperankan oleh limfosit T. Subpopulasi sel T
yang disebut dengan sel T penolong (T-helper) akan mengenali
mikroorganisme atau antigen bersangkutan melalui major
histocompatibility complex (MHC) kelas II yang terdapat pada
permukaan sel makrofag. Sinyal ini menyulut limfosit untuk
memproduksi berbagai jenis limfokin, termasuk diantaranya
interferon, yang dapat membantu makrofag untuk menghancurkan
mikroorganisme tersebut. Sub populasi limfosit T lain yang disebut
dengan sel T-sitotoksik (T-cytotoxic), juga berfungsi untuk
menghancurkan mikroorganisme intraseluler yang disajikan melalui
MHC kelas I secara langsung (cell to cell). Selain menghancurkan
mikroorganisme secara langsung, sel T-sitotoksik, juga menghasilkan
gamma interferon yang mencegah penyebaran mikroorganisme
kedalam sel lainnya.
b. Respons Imun Humoral
Respons imun humoral, diawali dengan deferensiasi limfosit
B menjadi satu populasi (klon) sel plasma yang melepaskan antibodi
spesifik ke dalam darah. Pada respons imun humoral juga berlaku
respons imun primer yang membentuk klon sel B memory. Setiap
klon limfosit diprogramkan untuk membentuk satu jenis antibodi
spesifik terhadap antigen tertentu (Clonal slection). Antibodi ini akan
berikatan dengan antigen membentuk kompleks antigen – antibodi
yang dapat mengaktivasi komplemen dan mengakibatkan hancurnya
antigen tersebut. Supaya limfosit B berdiferensiasi dan membentuk
antibodi diperlukan bantuan limfosit T-penolong (T-helper), yang
atas sinyal-sinyal tertentu baik melalui MHC maupun sinyal yang
dilepaskan oleh makrofag, merangsang produksi antibodi. Selain oleh
sel T- penolong, produksi antibodi juga diatur oleh sel T penekan (T-
17
supresor), sehingga produksi antibodi seimbang dan sesuai dengan
yang dibutuhkan.
c. Interaksi Antara Respons Imun Seluler dengan Humoral
Interaksi ini disebut dengan antibodi dependent cell
mediated cytotoxicity (ADCC), karena sitolisis baru terjadi bila
dibantu oleh antibodi. Dalam hal ini antibodi berfunsi melapisi
antigen sasaran, sehingga sel natural killer (NK), yang mempunyai
reseptor terhadap fragmen Fc antibodi, dapat melekat erat pada sel
atau antigen sasaran. Perlekatan sel NK pada kompleks antigen
antibodi tersebut mengakibatkan sel NK dapat menghancurkan sel
sasaran.
18
Melindungi tubuh dari invasi penyebab penyakit, menghancurkan dan
menghilangkan mikroorganisme atau substansi asing (bakteri, parasit,
jamur, dan virus serta tumor) yang masuk ke dalam tubuh atau penangkal
“benda” asing yang masuk ke dalam tubuh;
Menghilangkan jaringan atau sel yang mati atau yang rusak untuk
perbaikan jaringan (untukkeseimbangan fungsi tubuh terutama menjaga
keseimbangan komponen tubuh yang telah tua);
Mengenali dan menghilangkan sel yang abnormal (sebagai pendeteksi
adanya sel-sel abnormal,termutasi, atau ganas, serta menghancurkannya).
19
Kulit
Membran mukosa
Lendir yang disekresi saluran pernapasan akan
menangkap bakteri. Saat lendir yang mengandung bakteri
masuk ke dalam saluran pernapasan, secara refleks kita
akan bersin atau batuk.
Sekresi alami
Misalnya liur dan air mata mengandung lisozim
sehingga bakteri akan mengalami lisis. Asam lambung
membunuh bakteri yang masuk bersama makanan.
Bakteri alami
Kulit, saluran pencernaan dan saluran kelamin wanita
memiliki bakteri alami yang bersifat nonpatogen.
Bakteri alami menghambat bakteri patogen.
b) Pertahanan Lapis Kedua
20
penyakit dengan cara memakan (fagositosis) penyakit tersebut.
Itulah sebabnya leukosit disebut juga fagosit. Contoh:
21
Protein Komplemen
Dibentuk di hati, beredar mengikuti aliran darah dalam
bentuk tidak aktif.
Ada > 20 jenis protein komplemen.
Saat terjadi infeksi, akan terbentuk antibodi dan memicu
terbentuknya proteinkomplemen.
Jika ada satu protein komplemen yang aktif, akan memicu
protein komplemen laindan akan membentuk reaksi
berantai.
Cara protein komplemen membantu pertahanan lapis
kedua:
- Menempel pada mikroba sehingga fagosit mudah
mengenalinya.
- Merangsang fagosit menuju daerah infeksi.
- Menghancurkan membran mikroba yang menyerang.
- Berperan dalam kekebalan yang diperoleh (acquired
immunity).
Interferon
Sel yang terinfeksi virus akan mengeluarkan interferon.
Interferon mengganngu replikasi virus.
Interferon juga memperlambat pembelahan dan
pertumbuhan sel tumor dengan meningkatkan potensi
sel NK dan sel T sitotoksik (antikanker).
Peran interferon yang lain: meningkatkan aktivitas
fagositosis makrofag dan merangsang produksi antibodi.
22
Sitokinin
Imflamasi (peradangan)
Imflamasi timbul karena adanya infeksi dan terbukanya
arteriol di sekitar daerah yang terluka sehingga
suplai darah ke daerah terluka meningkat.
Daerah yang menginflamasi ,kemungkinan juga
mengandung nanah (abses). Nanah ini berasal dari
leukosit yang telah menelan bakteri. Nanah juga masih
mengandung leukosit yangmasih hidup dan sisa sel
lainnya.
2) Respons Spesifik
a) Jika pertahanan lapis pertama dan kedua gagal, maka
kehadiran bakteri patogen akan memicu pertahanan lapis ketiga
untuk aktif.
b) Pertahanan lapis ketiga melibatkan respons spesifik oleh sistem
imun terhadap infeksi khusus sehingga memperoleh kekebalan
(imunitas).
c) Imunitas spesifik (acquired immunity) yang terdapat seseorang,
dapat bertahan lama, bisa sampai seumur hidup.
d) Pertahanan lapis ketiga melibatkan limfosit, yaitu limfosit B (sel
B) dan limfositT (sel T).
e) Sel B merupakan perubahan limfosit yang telah dewasa pada
sumsum tulang belakang.
f) Sel T merupakan limfosit yang belum dewasa yang meninggalkan
sumsum tulang menujukelenjar timus dan terdifrensiasi.
23
F. Gambar-Gambar Sistem Imun
Penurunan fungsi sel T pada orang tua juga mempengaruhi fungsi sel
B karena sel T dan sel B bekerjasama untuk mengatur produksi antibodi. Sel
T menginduksi sel B untuk hipermutasi gen-gen immunoglobulin,
menghasilkan perbedaan antibodi untuk mengenali jenis-jenis antigen. Pada
orang tua terdapat jenis antibodi yang lebih sedikit dibandingkan pada orang
muda, rendahnya respons IgM terhadap infeksi, dan menurunnya kecepatan
pematangan sel B. Semua itu berkontribusi terhadap penurunan jumlah
antibodi yang diproudksi untuk melawan infeksi (Fatmah, 2006).
24
25
26
BAB III
A. Kesimpulan
B. Saran
27
DAFTAR PUSTAKA
Abbas, A.K. and Lichtman, A.H. 2007. Cellular and Molecular Immunology. 6th ed.
WB Saunders Company Saunders: Philadelphia.
Bellanti, J. A. 1985. Imunologi III, Cetakan ke-1, 48-49, 12-15. W.B. Saunders
Company. Philladelphia.
Benjamini, E., Coico, R., Sunshine, G. 2000. Immunology: A Short Course, Edisi
Keempat, 20-21, Willey-Liss, Inc., Canada.
Fatmah. 2006. Respons Imunitas Yang Rendah Pada Tubuh Manusia Usia
Lanjut. Depok : Departemen Gizi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan
Masyarakat, Universitas Indonesia.
Rauf, A., Haeria, Anas, D. D. 2016. Efek Imunostimulan Fraksi Daun Katuk
(Sauropus androgynous L. MERR.) Terhadap Aktivitas dan Kapasitas
Fagositosis Makrofag pada Mencit Jantan (Mus Musculus). Makassar: JF FIK
UINAM Vol.4 No.1 2016.
28
Rink L, Gabriel P 2000. Zinc and the immune system. Cambridge University Press:
Proceedings of the Nutrition Society Volume 59 Issue 4.
Rita, N. Y., Evalina, R., Irsa, L. 2013. Peran Zink Terhadap Sistem Imun Anak.
Medan: Majalah Kedokteran Nusantara Volume 46 No. 2.
Salgueiro MJ, Zubilaga M, Lysionek A, Sarabia MI, Care R, Paoli TD, et al. Zinc as
an esensial micronutrient: a review. Elsevier. 2000;20:737-55.
Stites, D.P. & Terr, A.I., 1990, Basic and Clinical Immunology, Seven Edition,
Appleton and Lange, U.S.A.
Swacita, et.al. 2011. Respons Imun Mencit yang Diimunisasi dengan Cysticercus
cellulosae. Denpasar : Universitas Udayana.
Yasirin, Ahmad., Setya Rahayu, Said Junaidi. 2014. Latihan Senam Aeorobik dan
Peningkatan Limfosit CD4 Pada Penderita HIV. JSSf (3;3) 2014.
29