Anda di halaman 1dari 29

IMUNOLOGI GIZI

KONSEP DASAR SISTEM IMUN

Disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Imunologi Gizi

OLEH :

MARIA NATALIA THEODORA (190400537)

NANDA PRATIWI HASIBUAN (190400538)

NOVITA FAUZIAH PUTRI (190400541)

VIVI MEILIZA MAJID (190400544)

UNIVERSITAS ALMA ATA

ALIH JENJANG S1 GIZI

YOGYAKARTA

2019
Kata Pengantar

Puji syukur alhamdulillah kami panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena telah
melimpahkan rahmat-Nya berupa kesempatan dan pengetahuan sehingga makalah ini
bisa selesai pada waktunya. Makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas Imunologi
Gizi mengenai konsep dasar sistem imun. Kami berharap semoga makalah ini bisa
menambah pengetahuan para pembaca. Namun terlepas dari itu, kami memahami
bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna, sehingga kami sangat
mengharapkan kritik serta saran yang bersifat membangun demi terciptanya makalah
selanjutnya yang lebih baik lagi.

Desember, 2019

Tim Penyusun

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL..........................................................................................................i

KATA PENGANTAR.........................................................................................................ii

DAFTAR ISI.......................................................................................................................iii

BAB I : PENDAHULUAN.................................................................................................4

A. Latar Belakang.........................................................................................................4
B. Rumusan Masalah....................................................................................................5
C. Tujuan .....................................................................................................................5

BAB II : PEMBAHASAN...................................................................................................6

A. Konsep Sistem Imun................................................................................................6


B. Macam Organ dan Sel Sistem Imun........................................................................8
C. Contoh Sel-Sel Imun Non Spesifik.........................................................................14
D. Contoh Sel-Sel Imun Spesifik.................................................................................15
E. Fungsi Sistem Imun.................................................................................................18
F. Gambar-gambar Sistem Imun..................................................................................23

BAB III : KESIMPULAN DAN SARAN...........................................................................26

A. Kesimpulan..............................................................................................................26
B. Saran........................................................................................................................26

DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................27

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pada mulanya imunologi merupakan cabang mikrobiologi yang


mempelajari respon tubuh, terutama respon kekebalan tubuh terhadap
penyakit infeksi. Imunologi adalah suatu cabang yang luas dari ilmu biomedis
yang mencakup kajian mengenai semua aspek sistem imun (kekebalan) pada
semua organisme. Imunologi antara lain mempelajari peranan fisiologi sistem
imun baik dalam keadaan sehat maupun sakit; malfungsi sistem imun pada
gangguan imunologi karakteristik fisik, kimiawi dan fisiologi komponen-
komponen sistem imun (Benjamini et al., 2000).

Sistem imun pada manusia berperan penting untuk mempertahankan


kondisi tubuh karena tubuh manusia secara terus – menerus terpapar oleh agen
penginfeksi yang dapat menyebabkan penyakit. Kebanyakan penyakit ataupun
ancaman dari luar lainnya dicegah masuk ke dalam tubuh oleh sistem
pertahanan tubuh manusia yang dikenal dengan sistem imun (Baratawidjaja,
2009).

Bila sistem imun terpapar oleh zat yang dianggap asing, maka akan
terjadi dua jenis respons imun, yaitu respons imun non spesifik dan respons
imun spesifik. Walaupun kedua respons imun ini prosesnya berbeda, namun
telah dibuktikan bahwa kedua jenis respons imun diatas saling meningkatkan
efektivitasnya. Sistem imun alamiah merespon lebih cepat dan bertindak
sebagai pertahanan awal, seperti mekanisme batuk dan bersin, asam lambung,
sistem komplemen, dan pertahanan selular berupa proses fagositosis.
Kemampuan pertahanan yang lebih spesifik dimiliki oleh sistem imun adaptif
berupa sistem imun humoral oleh limfosit B dan sistem imun seluler oleh
limfosit T. Sistem imun spesifik memberikan perlindungan lebih baik

4
terhadap antigen yang sudah pernah terpajan sebelumnya. Respons imun yang
terjadi sebenarnya merupakan interaksi antara satu komponen dengan
komponen lain yang terdapat didalam system imun. Interaksi tersebut
berlangsung bersama-sama sedemikian rupa sehingga menghasilkan suatu
aktivitas biologic yang seirama dan serasi (Roit dkk., 1993).

B. Rumusan Masalah
1.  Bagaimanakah konsep sistem imun dalam tubuh manusia?
2. Apa sajakah macam organ dan sel  sistem imun dalam tubuh manusia?
3. Apa sajakah contoh sel-sel sistem imun nonspesifik dalam tubuh manusia?
4. Apa sajakah contoh sel-sel sistem imun spesifik dalam tubuh manusia?
5. Apakah fungsi sel-sel sistem imun nonspesifik dan spesifik dalam tubuh
manusia?
6. Bagaimana gambar-gambar sistem imun dalam tubuh manusia?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui bagaimana konsep sistem imun dalam tubuh manusia.
2. Untuk mengetahui macam organ dan sel  sistem imun dalam tubuh
manusia.
3. Untuk mengetahui contoh sel-sel sistem imun nonspesifik dalam tubuh
manusia.
4. Untuk mengetahui contoh sel-sel sistem imun spesifik dalam tubuh
manusia.
5. Untuk mengetahui fungsi sel-sel sistem imun nonspesifik dan spesifik
dalam tubuh manusia.
6. Untuk mengetahui bagaimana gambar-gambar sistem imun dalam tubuh
manusia.

5
BAB II

PEMBAHASAN

A. Konsep Sistem Imun

Sumber : Wahab, A, dkk, 2002

Sistem imun merupakan sistem yang sangat komplek dengan


berbagai peran ganda dalam usaha menjaga keseimbangan tubuh. Seperti
halnya sistem indokrin, sistem imun yang bertugas mengatur keseimbangan,
menggunakan komponennya yang beredar diseluruh tubuh, supaya dapat
mencapai sasaran yang jauh dari pusat. Untuk melaksanakan fungsi
imunitas, didalam tubuh terdapat suatu sistem yang disebut dengan sistem
limforetikuler. Sistem ini merupakan jaringan atau kumpulan sel yang
letaknya tersebar diseluruh tubuh, misalnya didalam sumsum tulang,
kelenjar limfe, limfa, timus, sistem saluran napas, saluran cerna dan
beberapa organ lainnya. Jaringan ini terdiri atas bermacam-macam sel yang
dapat menunjukkan respons terhadap suatu rangsangan sesuai dengan sifat

6
dan fungsinya masing-masing (Roitt dkk., 1993; Subowo, 1993; Kresno,
1991).

Dengan kemajuan imunologi yang telah dicapai sekarang ini, maka


konsep imunitas dapat diartikan sebagai suatu mekanisme yang bersifat faali
yang melengkapi manusia dan binatang dengan suatu kemampuan untuk
mengenal suatu zat sebagai asing terhadap dirinya, yang selanjutnya tubuh
akan mengadakan tindakan dalam bentuk netralisasi, melenyapkan atau
memasukkan dalam proses metabolisme yang dapat menguntungkan dirinya
atau menimbulkan kerusakan jaringan tubuh sendiri. Konsep imunitas
tersebut, bahwa yang pertama-tama menentukan ada tidaknya tindakan oleh
tubuh (respons imun), adalah kemampuan sistem limforetikuler untuk
mengenali bahan itu asing atau tidak (Bellanti,1985: Marchalonis, 1980;
Roitt,1993).

Rangsangan terhadap sel-sel tersebut terjadi apabila kedalam tubuh


terpapar suatu zat yang oleh sel atau jaringan tadi dianggap asing.
Konfigurasi asing ini dinamakan antigen atau imunogen dan proses serta
fenomena yang menyertainya disebut dengan respons imun yang
menghasilkan suatu zat yang disebut dengan antibodi. Jadi antigen atau
imunogen merupakan potensi dari zat-zat yang dapat menginduksi respons
imun tubuh yang dapat diamati baik secara seluler ataupun humoral. Dalam
keadaan tertentu (patologik), sistem imun tidak dapat membedakan zat asing
(non-self) dari zat yang berasal dari tubuhnya sendiri (self), sehingga sel-sel
dalam sistem imun membentuk zat anti terhadap jaringan tubuhnya sendiri.
Kejadian ini disebut dengan Autoantibodi (Abbas dkk., 1991; Roit dkk.,
1993).

Bila sistem imun terpapar oleh zat yang dianggap asing, maka akan
terjadi dua jenis respons imun, yaitu respons imun non spesifik dan respons
imun spesifik. Walaupun kedua respons imun ini prosesnya berbeda, namun

7
telah dibuktikan bahwa kedua jenis respons imun diatas saling meningkatkan
efektivitasnya. Respons imun yang terjadi sebenarnya merupakan interaksi
antara satu komponen dengan komponen lain yang terdapat didalam sistem
imun. Interaksi tersebut berlangsung bersama-sama sedemikian rupa
sehingga menghasilkan suatu aktivitas biologic yang seirama dan serasi
(Grange, 1982; Goodman, 1991; Roit dkk., 1993).

Hasil penelitian yang dilakukan mencit yang diimunisasi secara


berulang dengan antigen C. cellulosae dapat menghasilkan respons imun
yang berbeda. Hal tersebut dikarenakan pada imunisasi pertama, sel
pertahanan tubuh terutama limfosit baru pertama kali terpapar oleh antigen
C. cellulosae sehingga respons imun terhadap antigen tersebut masih rendah.
Pada tahapan ini tubuh mencit baru pertama kali terpapar antigen sehingga
perlu waktu bagi sel pertahanan tubuh untuk mengenali antigen dan belum
terbentuk sel memori. Hal ini menyebabkan respons imun berjalan lambat
dan titer antibodi yang dihasilkan juga masih rendah. Sedangkan pada
imunisasi ulangan (booster), di dalam tubuh mencit telah terbentuk sel
memori akibat imunisasi primer, sel imun akan bereaksi lebih cepat dan
menghasilkan titer antibodi tinggi (Swacita, et.al, 2011).

B. Macam Organ dan Sel Sistem Imun

Sistem imun dilengkapi dengan kemampuan untuk memberikan


respons imun non spesifik, misalnya fagositosis, maupun kemampuan untuk
memberikan respons imun spesifik yang dilakukan oleh sel-sel dan jaringan
limfoid yang tergolong kedalam system limforetikuler (Oppenheim
dkk.,1987; Abbas dkk.,1991; Roit dkk.,1993). Sistem ini terdiri atas sejumlah
organ limfoid yaitu :

a. Kelenjar timus
b. Kelenjar limfe
c. Limfa

8
d. Tonsil
e. Berbagai jenis sel serta jaringan diluar organ limfoid, seperti :
 Peyer’s patches yang terdapat pada dinding usus.
 Jaringan limfoid yang membatasi saluran nafas dan saluran urogenital.
 Jaringan limfoid dalam sumsum tulang dan dalam darah.

Sistem limforetikuler inilah yang merupakan system kendali dari


semua mekanisme respons imun. Disamping system limforetikuler diatas,
masih ada unsur-unsur lain yang berperan dalam mekanisme respons imun,
dan faktor-faktor humoral lain diluar antibody yang berfungsi menunjang
mekanisme tersebut.

Organ dan jaringan limfoid dibagi dalam dua kelompok utama, yaitu
organ limfoid primer seperti timus, ekivalen bursa fabricius dan sumsum
tulang.yang berfungsi sebagai embriogenesis dari sel-sel imunologik, dan
organ limfoid sekunder seperti, kelenjar limfe, limfa dan jaringan limfoid
lainnya, yang bereaksi aktif terhadap stimulasi antigen. Kelenjar timus,
dianggap sebagai organ limfoid utama dalam imunogenesis dan menjadi pusat
pengendalian aktivitas organ serta jaringan limfoid yang lainnya (Bellanti,
1985; Abbas 1991; Subowo 1993; Roitt dkk., 1993).

a) Organ Limfoid Primer


 Kelenjar Timus

Kelenjar timus terletak dibagian depan mediastinum, terbagi


dalam dua lobus dan banyak lobulus yang masing-masing terdiri atas
korteks dan medula. Sel induk pluripoten yang merupakan cikal bakal
sel T, masuk kedalam timus lalu berproliferasi menjadi sel yang
disebut dengan timosit. Proses diferensiasi limfosit didalam timus,
dipengaruhi oleh epitel timus dan sel dendritik yang berasal dari
sumsum tulang (interdigitating cells). Sel dendritik ini
mengekspresikan MHC kelas II dalam jumlah banyak dan diduga

9
berperan dalam mendidik limfosit T untuk mengenal antigen diri
(self). Dalam proses maturasi ini sel T menjadi imunokompeten. Dua
sampai tiga hari, setelah sel induk masuk kedalam timus, limfosit
meninggalkan timus lalu masuk kedalam sirkulasi dan selanjutnya
menetap didalam organ limfoid perifer.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa salah satu perubahan


besar yang terjadi seiring pertambahan usia adalah proses thymic
involution. Timus yang terletak di atas jantung di belakang tulang dada
adalah organ tempat sel T menjadi matang. Sel T sangat penting
sebagai limfosit untuk membunuh bakteri dan membantu tipe sel lain
dalam sistem imun. Seiring perjalanan usia, maka banyak sel T atau
limfosit T kehilangan fungsi dan kemampuannya melawan penyakit.
Volume jaringan timus kurang dari 5% daripada saat lahir. Saat itu
tubuh mengandung jumlah sel T yang lebih rendah dibandingkan
sebelumnya (saat usia muda), dan juga tubuh kurang mampu
mengontrol penyakit dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya.
Jika hal ini terjadi, maka dapat mengarah pada penyakit autoimun
yaitu sistem imun tidak dapat mengidentifikasi dan melawan kanker
atau sel-sel jahat. Inilah alasan mengapa resiko penyakit kanker
meningkat sejalan dengan usia (Fatmah, 2006).

 Sumsum Tulang dan Ekivalen Bursa Fabrisius

Spesies unggas, mempunyai organ limfoid primer yang berasal


dari epitel usus janin yang disebut dengan bursa fabrisius. Sel induk
pluripoten yang memasuki bursa fabrisius berdiferensiasi menjadi sel
B yang mampu membentuk antibodi. Organ semacam ini tidak
dijumpai pada mamalia, akan tetapi diketahui bahwa sel B pada
mamalia berdiferensiasi dalam sumsum tulang dan dalam organ
limfoid perifer. Selain tempat pematangan sel B, sumsum tulang juga

10
mengandung sel T matang dan plasmosit. Dengan demikian, sumsum
tulang disamping sebagai organ limfoid primer, juga berfungsi sebagai
organ limfoid sekunder.

Hasil penelitian mengenai aktivitas ekstrak daun kelor terhadap


respons imun humoral pada mencit yang diinfeksi salmonella typhi,
diketahui bahwa persentase jumlah relatif sel limfosit B yang terdapat
pada sumsum tulang ada peningkatan jumlah persentase relatif sel
limfosit B220 pada sumsum tulang setelah perlakuan pemberian
ekstrak air daun kelor dengan model infeksi maupun non infeksi S.
typhi. Hal tersebut dikarenakan kandungan bahan aktif daun kelor
berupa senyawa flavonoid yang dapat bertindak sebagai Mitogen
Activated Protein Kinase (MAPK), sehingga dapat memicu proliferasi
sel B (B220). Flavonoid juga dapat meningkatkan sekresi sitokin Inter
Leukin-2 (IL-2) yang dapat bertindak sebagai faktor proliferasi dan
diferensiasi (Mohammad, dkk. 2013).

b) Organ Limfoid Sekunder


 Kelenjar Limfe

Dalam bagian sinus dari kelenjar limfe terdapat banyak


makrofag, sedangkan dalam bagian korteksnya terdapat banyak sel T
yang berasal dari darah, serta sel B yang menyusun diri membentuk
nodul. Dibagian tengah dari nodul, terdapat pusat germinal dimana
kelompok-kelompok sel B membelah diri secara aktif. Bila kelenjar
dirangsang oleh antigen, maka pusat-pusat germinal itu membesar dan
berisi banyak limfoblast. Pusat-pusat germinal diatas juga dihuni oleh
banyak sel dendritik yang mempunyai reseptor untuk C3 dan fragmen
Fc dari IgG. Dengan demikian antigen yang tidak diproses dapat
dipertahankan pada permukaan sel ini dalam bentuk kompleks antigen
antibodi-C3 selama beberapa bulan. Antigen yang tertangkap ini

11
diduga memberikan rangsangan secara periodik dengan sewaktuwaktu
melepaskan iccomes yang kemudian ditangkap dan diproses oleh APC
dan disajikan kepada sel T. Hal ini akan mengakibatkan sel T secara
terus menerus akan merangsang sel B memory untuk berproliferasi
dan membentuk pusat-pusat germinal.

 Limfa

Limfa terdiri atas pulpa merah sebagai tempat penghancuran


eritrosit dan pulpa putih yang terdiri atas jaringan limfoid. Didalam
limfa limfosit T menumpuk dibagian tengah lapisan limfoid
periarteriolar, sedangkan sel B terdapat didalam pusat-pusat germinal
dibagian perifer. Sel B dapat dijumpai dalam bentuk tidak teraktivasi
maupun 35 teraktivasi. Dalam pusat-pusat germinal juga dijumpai sel
dendritik dan makrofag. Makrofag spesifik umumnya terdapat
didaerah marginal dan sel ini bersama-sama dengan sel dendritik
berfungsi sebagai APC yang menyajikan antigen kepada sel B.

Hasil penelitian mengenai pengaruh pajanan gelombang


telepon seluler terhadap struktur histologi limpa pada mencit
menunjukkan bahwa radiasi gelombang telepon seluler memberikan
dampak yang kurang baik terhadap sistem biologi terutama pada limpa
yaitu terjadi peningkatan ukuran diameter pulpa putih limpa mencit.
Peningkatan ukuran diameter ini menyebabkan terjadi peningkatan
aktivitas sistem imunitas tubuh untuk melawan benda asing yang
masuk tubuh yaitu radiasi gelombang telepon seluler. Pada umumnya
antigen asing masuk ke dalam tubuh melalui kulit, lapisan epitel
gastro-intestinal, dan sistem respirasi. Kulit, mukosa epitel, dan organ
parenkim meng- andung banyak pembuluh limfatik yang mempunyai
saluran limfe mulai dari tempat masuknya antigen sampai ke
limfonodus regional. Di dalam lapisan epitel ini terdapat sel-sel

12
dendritik yang akan mengikat antigen tersebut untuk dibawa ke
limfonodus regional melalui pembuluh limfatik tersebut agar melalui
diproses oleh limfosit T. Akan tetapi sebagian antigen yang tidak
terikat oleh sel dendritik akan masuk ke dalam sistem limfatik dimana
antigen ini akan diikat oleh Antigen Presenting Cell (APC) untuk
kemudian diproses oleh limfosit. Apabila kondisi seperti ini terjadi
terus-menerus akan berakibat tertekannya sistem imun tubuh dan
terjadi mutasi DNA. Mutasi DNA akan mengakibat- kan sel-sel
bertransformasi dari sel normal menjadi sel tumor. Transformasi ini
tidak terjadi sekaligus, tetapi bersifat selektif, pertumbuhan meningkat
berlebihan dan tidak terkendali sampai akhirnya terjadi transformasi
kanker penuh (Mayfuza, 2012).

 Jaringan Limfoid lain

Jaringan limfoid lain tersebar dalam jaringan submukosa


saluran nafas, saluran cerna dan saluran urogenital. Contoh jaringan
limfoid yang tersusun baik dan mengandung banyak pusat-pusat
germinal adalah tonsil yang merupakan garis pertahanan pada pintu
masuk saluran cerna dan saluran nafas, dan Peyer,s patch yang
tersebar dalam mukosa saluran cerna. Peyer,s patch dan apendiks
termasuk kedalam gut-associated lymphoid tissue (GALT). Dalam
jaringan limfoid ini terdapat bagian yang dipengaruhi oleh timus.
Mucosa associated lymphoid tissue (MALT), yang terdapat pada
saluran nafas, saluran cerna dan urogenital berfungsi untuk
memberikan respons imunologik lokal pada permukaan mukosa.
Jaringan limfoid ini selain berisi limfosit juga berisi fagosit sehingga
mampu memberikan respons imun nonspesifik maupun respons imun
spesifik. Didalam jaringan limfoid sepanjang saluran cerna dan saluran
nafas akan terbentuk IgA sekretorik dan Ig E yang disekresikan untuk
mempertahankan tubuh terhadap antigen yang masuk melalui mukosa.

13
C. Contoh Sel-Sel Sistem Imun Non Spesifik
Umumnya merupakan imunitas bawaan (innate immunity), dalam
artian bahwa respons terhadap zat asing dapat terjadi walaupun tubuh
sebelumnya tidak pernah terpapar oleh zat tersebut. Sebagai contoh dapat
dijelaskan sebagai berikut: salah satu upaya tubuh untuk mempertahankan
diri terhadap masuknya antigen misalnya, bakteri, adalah dengan cara
menghancurkan bakteri tersebut dengan cara nonspesifik melalui proses
fagositosis. Dalam hal ini makrofag, neutrofil dan monosit memegang
peranan yang sangat penting. Supaya dapat terjadi fagositosis, sel-sel
fagositosis tersebut harus berada dalam jarak yang dekat dengan partikel
bakteri, atau lebih tepat lagi bahwa partikel tersebut harus melekat pada
permukaan fagosit. Untuk mencapai hal ini maka fagosit harus bergerak
menuju sasaran. Hal ini dapat terjadi karena dilepaskannya zat atau mediator
tertentu yang disebut dengan factor leukotaktik atau kemotaktik yang berasal
dari bakteri maupun yang dilepaskan oleh neutrofil, makrofag atau
komplemen yang telah berada dilokasi bakteri (Kresno, 1991; Roitt, 1993).
Selain faktor kemotaktik yang berfungsi untuk menarik fagosit
menuju antigen sasaran, untuk proses fagositosis selanjutnya, bakteri perlu
mengalami opsonisasi terlebih dahulu. Ini berarti bahwa bakteri terlebih
dahulu dilapisi oleh immunoglobulin atau komplemen (C3b), supaya lebih
mudah ditangkap oleh fagosit. Selanjutnya partikel bakteri masuk kedalam sel
dengan cara endositosis dan oleh proses pembentukan fagosum, ia
terperangkap dalam kantong fagosum, seolah-olah ditelan dan kemudian
dihancurkan baik dengan proses oksidasi-reduksi maupun oleh derajat
keasaman yang ada dalam fagosit atau penghancuran oleh lisozim dan
gangguan metabolisme bakteri (Bellanti, 1985; Subowo, 1993).
Selain fagositosis diatas, manifestasi lain dari respons imun
nonspesifik adalah reaksi inflamasi. Reaksi ini terjadi akibat dilepaskannya
mediator-mediator tertentu oleh beberapa jenis sel, misalnya histamine yang
dilepaskan oleh basofil dan mastosit, Vasoactive amine yang dilepaskan oleh

14
trombosit, serta anafilatoksin yang berasal dari komponen–komponen
komplemen, sebagai reaksi umpan balik dari mastosit dan basofil. Mediator-
mediator ini akan merangsang bergeraknya sel-sel polymorfonuklear (PMN)
menuju lokasi masuknya antigen serta meningkatkan permiabilitas dinding
vaskuler yang mengakibatkan eksudasi protein plasma dan cairan. Gejala
inilah yang disebut dengan respons inflamasi akut (Abbas, 1991; Stite; 1991;
Kresno, 1991).
Zink berperan penting dalam perkembangan dan fungsi sel yang
dipengaruhi oleh imunitas nonspesifik dengan cara menginduksi adhesi sel
mielomonosit pada endotel, sehingga zink berperan penting pada respon awal
sistem imun (Rink, Gabriel, 2000). Sel NK penting sebagai imunitas terhadap
infeksi dan tumor. Zink dibutuhkan untuk menjaga fungsi normal sel NK
(Sakakibara, et all. 2011).
Zink digolongkan sebagai mikronutrient dan dapat ditemukan pada
semua jaringan tubuh, serta berperan penting pada pertumbuhan sel dan
diferensiasi sel. Mineral ini berperan penting dalam perkembangan dan fungsi
sel yang dipengaruhi oleh imunitas nonspesifik. Pada sistem imun spesifik,
zink lebih berperan pada proliferasi sel T, dibandingkan dengan sel B. Mineral
ini turut memegang peranan pada saluran nafas, kulit dan saluran cerna (Rita,
et all., 2013).
Berdasarkan hasil penelitian, fraksi daun katuk dapat memberikan
pengaruh terhadap aktivitas dan kapasitas fagositosis makrofag. Salah satu
bagian dari katuk bermanfaat sebagai pengobatan yaitu daunnya untuk
mengobati demam, suara parau, pelancar ASI dan dapat meningkatkan respon
sistem imun non-spesifik (Rauf, Haeeria, Anas, 2016).

D. Contoh Sel-Sel Sistem Imun Spesifik

Merupakan respon imun yang didapat (acquired), yang timbul


akibat dari rangsangan antigen tertentu, sebagai akibat tubuh pernah

15
terpapar sebelumnya. Respons imun spesifik dimulai dengan adanya
aktifitas makrofag atau antigen precenting cell (APC) yang memproses
antigen sedemikian rupa sehingga dapat menimbulkan interaksi dengan
sel-sel imun. Dengan rangsangan antigen yang telah diproses tadi, sel-sel
sistem imun berploriferasi dan berdiferensiasi sehingga menjadi sel
yang memiliki kompetensi imunologik dan mampu bereaksi dengan
antigen (Bellanti, 1985; Roitt,1993; Kresno, 1991).
Zink memegang peranan penting terhadap fungsi timus. Timus
merupakan organ tempat pematangan sel T. Mineral ini berperan sebagai
kofaktor esensial terhadap hormon timulin (ZnFTS) yangn dihasilkan
timus melalui sel epitel timus. Zat ini berperan tidak hanya pada proses
diferensiasi sel T yang belum matang, tetapi juga mengatur pelepasan
sitokin oleh sel monokuler perifer dalam darah, merangsang
pembentukan sel T CD8, bersama dengan interleukin 2 (IL-2), serta
menjaga aktifitas reseptor untuk IL-2 pada sel T yang matang (Salgueiro
MJ, et all., 2000).
Antigen pada kontak pertama (respon primer) dapat dimusnahkan
dan kemudian sel-sel sistem imun mengadakan involusi, namun
respons imun primer tersebut sempat mengakibatkan terbentuknya klon
atau kelompok sel yang disebut dengan memory cells yang dapat
mengenali antigen bersangkutan. Apabila dikemudian hari antigen yang
sama masuk kedalam tubuh, maka klon tersebut akan berproliferasi dan
menimbulkan respons sekunder spesifik yang berlangsung lebih cepat
dan lebih intensif dibandingkan dengan respons imun primer.
Mekanisme efektor dalam respons imun spesifik dapat dibedakan
menjadi:
a. Respons Imun Seluler

Telah banyak diketahui bahwa mikroorganisme yang hidup


dan berkembang biak secara intra seluler, antara lain didalam

16
makrofag sehingga sulit untuk dijangkau oleh antibodi. Untuk
melawan mikroorganisme intraseluler tersebut diperlukan respons
imun seluler, yang diperankan oleh limfosit T. Subpopulasi sel T
yang disebut dengan sel T penolong (T-helper) akan mengenali
mikroorganisme atau antigen bersangkutan melalui major
histocompatibility complex (MHC) kelas II yang terdapat pada
permukaan sel makrofag. Sinyal ini menyulut limfosit untuk
memproduksi berbagai jenis limfokin, termasuk diantaranya
interferon, yang dapat membantu makrofag untuk menghancurkan
mikroorganisme tersebut. Sub populasi limfosit T lain yang disebut
dengan sel T-sitotoksik (T-cytotoxic), juga berfungsi untuk
menghancurkan mikroorganisme intraseluler yang disajikan melalui
MHC kelas I secara langsung (cell to cell). Selain menghancurkan
mikroorganisme secara langsung, sel T-sitotoksik, juga menghasilkan
gamma interferon yang mencegah penyebaran mikroorganisme
kedalam sel lainnya.
b. Respons Imun Humoral
Respons imun humoral, diawali dengan deferensiasi limfosit
B menjadi satu populasi (klon) sel plasma yang melepaskan antibodi
spesifik ke dalam darah. Pada respons imun humoral juga berlaku
respons imun primer yang membentuk klon sel B memory. Setiap
klon limfosit diprogramkan untuk membentuk satu jenis antibodi
spesifik terhadap antigen tertentu (Clonal slection). Antibodi ini akan
berikatan dengan antigen membentuk kompleks antigen – antibodi
yang dapat mengaktivasi komplemen dan mengakibatkan hancurnya
antigen tersebut. Supaya limfosit B berdiferensiasi dan membentuk
antibodi diperlukan bantuan limfosit T-penolong (T-helper), yang
atas sinyal-sinyal tertentu baik melalui MHC maupun sinyal yang
dilepaskan oleh makrofag, merangsang produksi antibodi. Selain oleh
sel T- penolong, produksi antibodi juga diatur oleh sel T penekan (T-

17
supresor), sehingga produksi antibodi seimbang dan sesuai dengan
yang dibutuhkan.
c. Interaksi Antara Respons Imun Seluler dengan Humoral
Interaksi ini disebut dengan antibodi dependent cell
mediated cytotoxicity (ADCC), karena sitolisis baru terjadi bila
dibantu oleh antibodi. Dalam hal ini antibodi berfunsi melapisi
antigen sasaran, sehingga sel natural killer (NK), yang mempunyai
reseptor terhadap fragmen Fc antibodi, dapat melekat erat pada sel
atau antigen sasaran. Perlekatan sel NK pada kompleks antigen
antibodi tersebut mengakibatkan sel NK dapat menghancurkan sel
sasaran.

Respons imun spesifik (adaptif) dapat dibedakan dari respons


imun bawaan, karena adanya ciri-ciri umum yang dimilikinya yaitu;
bersifat spesifik, heterogen dan memiliki daya ingat atau memory.
Adanya sifat spesifik akan membutuhkan berbagai populasi sel atau
zat yang dihasilkan (antibodi) yang berbeda satu sama lain, sehingga
menimbulkan sifat heterogenitas tadi. Kemampuan mengingat, akan
menghasilkan kualitas respons imun yang sama terhadap konfigurasi
yang sama pada pemaparan berikutnya.

E. Fungsi Sistem Imun/Sistem Pertahanan Tubuh

Pada bukunya, dr. J B Suharjo B Cahyono (2018) menyatakan


bahwa manusia dapat terhindar atau sembuh dari serangan penyakit infeksi
karena telah dilengkapi dengan dua sistem kekebalan tubuh, yaitu sistem
kekebalan non spesifik dan sistem kekebalan spesifik. Disebut sebagai
sistem kekebalan non spesifik karena sistem kekebalan tubuh kita tidak
ditujukan terhadap mikoorganisme atau zat asing. Fungsi sistem imun ialah
sebagai berikut :

18
 Melindungi tubuh dari invasi penyebab penyakit, menghancurkan dan
menghilangkan mikroorganisme atau substansi asing (bakteri, parasit,
jamur, dan virus serta tumor) yang masuk ke dalam tubuh atau penangkal
“benda” asing yang masuk ke dalam tubuh;
 Menghilangkan jaringan atau sel yang mati atau yang rusak untuk
perbaikan jaringan (untukkeseimbangan fungsi tubuh terutama menjaga
keseimbangan komponen tubuh yang telah tua);
 Mengenali dan menghilangkan sel yang abnormal (sebagai pendeteksi
adanya sel-sel abnormal,termutasi, atau ganas, serta menghancurkannya).

Kemampuan sistem imun menentukan respon imun seseorang terhadap


unsur-unsur patogen yang dimiliki komponen-komponen sistem imun yang
terdapat jaringan limforetikuler yang letaknya tersebar dalam tubuh. Sel-sel
dalam jaringan ini dapat menunjukkan respon terhadap suatu rangsangan
sesuai dengan sifat dan fungsi masing-masing. Rangsangan terhadap sel-sel
tersebut terjadi apabila ke dalam tubuh masuk suatu zat yang oleh sel atau
jaringan tadi dianggap asing, yaitu yang disebut antigen. Sistem imun dapat
membedakan zat asing dari zat yang berasal dari tubuh sendiri. Pada beberapa
keadaan patologik, sistem imnun ini membentuk zat anti terhadap jaringan
tubuhnya sendiri yang disebut autoantibodi. Apabila sistem imun terpapar
pada zat yang dianggap asing, mnaka ada dua jenis respons imnun yang
mungkin terjadi yaitu respon imun nonspesifik dan respons imun spesifik (Siti
Boedina Kresno, 1996: 4 dalam Ahmad Yasirin 2014).

1) Respons Non Spesifik


Merupakan respons alamiah dari tubuh yang berfungsi
melindungi tubuh dari antigen baik, dari lingkungan maupun internal.
a) Pertahanan Lapis Pertama
Fungsinya untuk melawan infeksi. Terletak di permukaan
tubuh, yaitu berupa:

19
 Kulit

Luka kecil dapat membuat bakteri dan virus masuk ke


tubuh. Tapi kelenjar di kuli takan menyekresi asam lemak dan
keringat yang mengandung garam sehingga menghambat
laju bakteri.

 Membran mukosa
Lendir yang disekresi saluran pernapasan akan
menangkap bakteri. Saat lendir yang mengandung bakteri
masuk ke dalam saluran pernapasan, secara refleks kita
akan bersin atau batuk.

 Sekresi alami
Misalnya liur dan air mata mengandung lisozim
sehingga bakteri akan mengalami lisis. Asam lambung
membunuh bakteri yang masuk bersama makanan.
 Bakteri alami
Kulit, saluran pencernaan dan saluran kelamin wanita
memiliki bakteri alami yang bersifat nonpatogen.
Bakteri alami menghambat bakteri patogen.
b) Pertahanan Lapis Kedua

Jika pertahanan lapis pertama berhasil ditembus, maka


pertahanan lapis kedua yang akan melawan bakteri tersebut.
Pertahanan lapis kedua meliputi:

 Fagosit dan sel pembunuh alami (Sel Natural Killer/NK)

Leukosit, merupakan nama lain untuk sel darah putih.


Leukosit berfungsimempertahankan tubuh dari serangan

20
penyakit dengan cara memakan (fagositosis) penyakit tersebut.
Itulah sebabnya leukosit disebut juga fagosit. Contoh:

Neutrofil, plasmanya bersifat netral, inti selnya


berjumlah banyak dengan bentuk bermacam-macam. Neutrofil
fagositosis terhadap eritrosit (sel darah merah), kuman,dan
jaringan mati.

Monosit, monosit dapat bergerak seperti Amoeba dan


mempunyai inti yang bulat/bulat panjang. Monosit diproduksi
pada jaringan limfa dan bersifat fagosit. Adakalanya benda
asing ataupun mikroba yang tidak dikehendaki memasuki
tubuhkita. Jika hal tersebut terjadi tubuh akan menganggap
benda yang masuk itu sebagai benda asing atau antigen.

 Sel pembunuh alami

Leukosit yang dapat membunuh sel-sel tubuh yang


telah terinfeksi. Contoh:

 Eosinofil: Plasmanya bersifat asam. Itulah sebabnya


eosinofil akan merah tua bila ditetesi eosin. Eosinofil juga
bersifat fagosit dan jumlahnya akan meningkat jika tubuh
terkena infeksi.
 Basofil: Plasmanya bersifat basa. Itulah sebabnya plasma
akan berwarna biru jika ditetesi larutan basa. Sel darah
putih ini akan berjumlah banyak jika terkena infeksi.
Basofil juga bersifat fagosit. Selain itu, mengandung zat
kimia anti penggumpalan,yaitu heparin.
 Limfosit: Limfosit tidak dapat bergerak dan berinti satu.
Ukurannya ada yang besar dan adayang kecil. Limfosit
berfungsi untuk membentuk antibodi.

21
 Protein Komplemen
 Dibentuk di hati, beredar mengikuti aliran darah dalam
bentuk tidak aktif.
 Ada > 20 jenis protein komplemen.
 Saat terjadi infeksi, akan terbentuk antibodi dan memicu
terbentuknya proteinkomplemen.
 Jika ada satu protein komplemen yang aktif, akan memicu
protein komplemen laindan akan membentuk reaksi
berantai.
 Cara protein komplemen membantu pertahanan lapis
kedua:
- Menempel pada mikroba sehingga fagosit mudah
mengenalinya.
- Merangsang fagosit menuju daerah infeksi.
- Menghancurkan membran mikroba yang menyerang.
- Berperan dalam kekebalan yang diperoleh (acquired
immunity).

 Interferon
 Sel yang terinfeksi virus akan mengeluarkan interferon.
 Interferon mengganngu replikasi virus.
 Interferon juga memperlambat pembelahan dan
pertumbuhan sel tumor dengan meningkatkan potensi
sel NK dan sel T sitotoksik (antikanker).
 Peran interferon yang lain: meningkatkan aktivitas
fagositosis makrofag dan merangsang produksi antibodi.

22
 Sitokinin

Sitokinin merupakan molekul protein yang dihasilkan


sel T, fungsinya sebagai pembawa pesan antar sel yang
membentuk sistem kekebalan.

 Imflamasi (peradangan)
 Imflamasi timbul karena adanya infeksi dan terbukanya
arteriol di sekitar daerah yang terluka sehingga
suplai darah ke daerah terluka meningkat.
 Daerah yang menginflamasi ,kemungkinan juga
mengandung nanah (abses). Nanah ini berasal dari
leukosit yang telah menelan bakteri. Nanah juga masih
mengandung leukosit yangmasih hidup dan sisa sel
lainnya.
2) Respons Spesifik
a) Jika pertahanan lapis pertama dan kedua gagal, maka
kehadiran bakteri patogen akan memicu pertahanan lapis ketiga
untuk aktif.
b) Pertahanan lapis ketiga melibatkan respons spesifik oleh sistem
imun terhadap infeksi khusus sehingga memperoleh kekebalan
(imunitas). 
c) Imunitas spesifik (acquired immunity) yang terdapat seseorang,
dapat bertahan lama, bisa sampai seumur hidup. 
d) Pertahanan lapis ketiga melibatkan limfosit, yaitu limfosit B (sel
B) dan limfositT (sel T).
e) Sel B merupakan perubahan limfosit yang telah dewasa pada
sumsum tulang belakang.
f) Sel T merupakan limfosit yang belum dewasa yang meninggalkan
sumsum tulang menujukelenjar timus dan terdifrensiasi.

23
F. Gambar-Gambar Sistem Imun

Penurunan fungsi sel T pada orang tua juga mempengaruhi fungsi sel
B karena sel T dan sel B bekerjasama untuk mengatur produksi antibodi. Sel
T menginduksi sel B untuk hipermutasi gen-gen immunoglobulin,
menghasilkan perbedaan antibodi untuk mengenali jenis-jenis antigen. Pada
orang tua terdapat jenis antibodi yang lebih sedikit dibandingkan pada orang
muda, rendahnya respons IgM terhadap infeksi, dan menurunnya kecepatan
pematangan sel B. Semua itu berkontribusi terhadap penurunan jumlah
antibodi yang diproudksi untuk melawan infeksi (Fatmah, 2006).

24
25
26
BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Imunologi adalah ilmu yang mempelajari tentang proses pertahanan


atau imunitas terhadap senyawa makromolekular atau organisme asing yang
masuk ke dalam tubuh. Zat asing dapat berupa virus, bakteri, protozoa atau
parasit. Sistem imun terbagi dua berdasarkan perolehannya atau asalnya, yaitu
Sistem Imun Non Spesifik (sistem imun alami) merupakan lini pertama
sedangkan Sistem Imun Spesifik (sistem imun yang didapat atau hasil
adaptasi) merupakan lini kedua dan juga berfungsi terhadap serangan
berikutnya oleh mikroorganisme patogen yang sama. Masing-masing dari
sistem imun mempunyai komponen seluler dan humoral, walaupun demikian,
kedua sistem imun tersebut saling bekerjasama dalam menjalankan fungsinya
untuk mempertahankan tubuh.

B. Saran

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan


yang diharapkan, karena masih terbatasnya pengetahuan penulis. Penulis
mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun. Makalah ini perlu
dikaji ulang agar dapat sempurna dan dapat digunakan sebagaimana mestinya.

27
DAFTAR PUSTAKA

Abbas, A.K. and Lichtman, A.H. 2007. Cellular and Molecular Immunology. 6th ed.
WB Saunders Company Saunders: Philadelphia.

Baratawidjaja, K.G., Rengganis I. 2010. Imunologi Dasar ed. 9. Jakarta: BP.FKUI.

Bellanti, J. A. 1985. Imunologi III, Cetakan ke-1, 48-49, 12-15. W.B. Saunders
Company. Philladelphia.

Benjamini, E., Coico, R., Sunshine, G. 2000. Immunology: A Short Course, Edisi
Keempat, 20-21, Willey-Liss, Inc., Canada.

Cahyono, S. B. 2010. Vaksinasi Cara Ampuh Cegah Penyakit Infeksi. Yogyakarta:


Kanisisus.

Fatmah. 2006. Respons Imunitas Yang Rendah Pada Tubuh Manusia Usia
Lanjut. Depok : Departemen Gizi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan
Masyarakat, Universitas Indonesia.

Mayfuza H, Sri N. 2012. Pengaruh Pajanan Gelombang Telepon Seluler Terhadap


Struktur Histologi Limpa pada Mencit (Mus musculus). Yogyakarta : Fakultas
Kedokteran & Ilmu Kesehatan, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

Mohammad H, Muhaimin R, Widodo. 2013. Aktivitas Ekstrak Daun Kelor terhadap


Respons Imun Humoral pada Mencit yang Diinfeksi Salmonella typhi. Malang :
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Brawijaya.

Kresno. 1991. Imunologi Diagnosis dan Prosedur Laboratorium. Jakarta: Fakultas


Kedokteran Universitas Indonesia.

Rauf, A., Haeria, Anas, D. D. 2016. Efek Imunostimulan Fraksi Daun Katuk
(Sauropus androgynous L. MERR.) Terhadap Aktivitas dan Kapasitas
Fagositosis Makrofag pada Mencit Jantan (Mus Musculus). Makassar: JF FIK
UINAM Vol.4 No.1 2016.

28
Rink L, Gabriel P 2000. Zinc and the immune system. Cambridge University Press:
Proceedings of the Nutrition Society Volume 59 Issue 4.

Rita, N. Y., Evalina, R., Irsa, L. 2013. Peran Zink Terhadap Sistem Imun Anak.
Medan: Majalah Kedokteran Nusantara Volume 46 No. 2.

Roitt. 1997. Pokok Pokok Ilmu Kekebalan. Jakarta : Gramedia.

Sakakibara Y, Sato S, Kawashima Y, Someya Y, Shirato K, Tachiyashiki K, et al.


Different recovery responses from dietary zinc- deficiencyin the distribution of
rat granulocytes. J Nutr Sci Vitaminol. 2011;57:197-201.

Salgueiro MJ, Zubilaga M, Lysionek A, Sarabia MI, Care R, Paoli TD, et al. Zinc as
an esensial micronutrient: a review. Elsevier. 2000;20:737-55.

Suardana, I.B.K. 2017. Diktat Imunologi Dasar. Denpasar: Universitas Udayana.

Subowo, 1993. Imunobiologi. Bandung: Angkasa. Halaman: 151-156, 187-204.

Stites, D.P. & Terr, A.I., 1990, Basic and Clinical Immunology, Seven Edition,
Appleton and Lange, U.S.A.

Swacita, et.al. 2011. Respons Imun Mencit yang Diimunisasi dengan Cysticercus
cellulosae. Denpasar : Universitas Udayana.

Tizard. 2004. Veterinary Immunology. An Introduction. 6th ed. WB Saundres


Company. Philadelpia.

Wahab, A. Mardiana J. Sistem Imun,Imunisasi, dan Penyakit Imun, Widya Medika,


Jakarta. 2002.

Yasirin, Ahmad., Setya Rahayu, Said Junaidi. 2014. Latihan Senam Aeorobik dan
Peningkatan Limfosit CD4 Pada Penderita HIV. JSSf (3;3) 2014.

29

Anda mungkin juga menyukai