Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

PERKEMBANGAN HADITS INDA TADWIN

Dosen Pengampu : Prof. Dr. H. Endang Soetari Ad.,M.Si


Hamdan Hambali, M.Ag

Disusun oleh : Kelompok 2


Meuthia Zhahira P.A (1202050070)
Mona Maulana Syakinah (1202050073)
Muhammad Umar Wibowo (1202050076)
Nadiya Firda Rahmah (1202050082)
Nopy Nuraeni (1202050087)
Nur Syfa (1202050088)
Rainandi Yahya (1202050097)
Rasyidah Tsurayya (1202050098)
Rifa Sabila Husna (1202050100)

PENDIDIKAN MATEMATIKA
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG
TAHUN AJARAN 2021/2022
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR

Bismillahirahmanirahim,
Puji serta syukur kami panjatkan pada Allah SWT, karena atas hidayah, rahmat, serta
karunia-Nya kepada kita semua sehingga kami mampu menyelesaikan makalah dengan judul
“Perkembangan Hadits ‘Inda Tadwin”. Adapun tujuan dari penulisan makalah ini yakni untuk
memenuhi tugas kelompok pada mata kuliah Ulumul Hadits.
Kami harap makalah ini mampu menambah pengetahuan serta memperluas wawasan
bagi pembaca maupun kami selaku penulis. Kami ucapkan terima kasih kepada Bapak
Endang Soetari Ad., H., Prof., Dr., M.Si,. dan Hamdan Hambali, M.Ag. selaku dosen mata
kuliah Ulumul Hadits yang telah membimbing kami sehingga kami dapat menulis makalah
“Perkembangan Hadits ‘Inda Tadwin”.
Kami selaku penulis merasa masih banyak kekurangan dalam penulisan serta
penyusunan makalah ini, baik karena terbatasnya pengetahuan maupun wawasan. Oleh
karena itu, kami mengharapkan pemberian kritik serta saran yang dapat membangun dari
pembaca sehingga makalah ini dapat tersempurnakan.

Bandung,

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Hadits Nabi Muhammad SAW adalah dasar dan pokok ajaran agama Islam kedua
setelah Al-Qur’an, Firman Allah SWT. dalam Al-Qur’an Surah Al Imran ayat 132:  “Dan
taatilah Allah dan Rasul, supaya kamu diberi rahmat”. Hadits merupakan sumber panduan
hidup kedua bagi umat islam, sebab bersamaan dengan kewajiban mentaati Allah SWT,
umat Islam dituntut untuk selalu mengikuti dan mentaati Rasulullah SAW dalam
kehidupan sehari-hari. Hadits berbeda dengan Al-Qur’an yang diyakini kebenarannya dan
diakui qath’i wurudnya, dan jika pada awalnya Al-Qur’an sudah diadakan pencatatan
secara resmi oleh pencatat wahyu atau petunjuk dari Nabi serta, tidak ada tenggang waktu
antara turunnya wahyu dengan penulisnya, maka berbeda dengan hadits. Jika Al-Qur’an
secara normatif telah ada generasi dari Allah, dan tidak ada keraguan keasliannya, maka
tidak demikian dengan hadits. Maka, hadits dalam perkembangannya tidaklah semulus
Al-Qur’an, berbagai keraguan bahkan penolakan muncul seiring perkembangan hadits
tersebut.
Meskipun demikian, keberadaan hadits dalam proses kodifikasinya sangat berbeda
dengan Al-Qur’an yang sejak awal mendapat perhatian secara khusus baik dari
Rasulullah SAW, maupun para shahabat yang berkaitan dengan penulisannya.
Selanjutnya, kodifikasi hadits secara resmi baru dilakukan satu abad setelah Rasulullah,
tepatnya pada masa khalifah Umar bin Abdul Azis, bukan berarti penulisan Al-Hadits
belum ada sebelumnya. Hal ini dapat  dilihat dari beberapa karya tulisan para sahabat dan
tabi’in yang sudah ada sebelumnya, ini menunjukkan bahwa keaslian hadits dapat
dipertanggungjawabkan dan tidak mungkin hadits dapat sampai kepada tabi’ut tabi’in
tanpa melalui proses yang terjadi sebelumnya.
Waktu yang relatif jauh antara masa Nabi dengan tadwin al-Hadits secara resmi
timbulah beberapa problematika hadits, baik dari sisi keasliannya, periwayatannya,
sampai pada pemilihan dan penganalisaan hadits di kalangan ahli hadits.
Akan tetapi, umat Islam berusaha membela hadits dan melalui perjuangan para
muhaddisin dengan proses riwayah dan kaidah dirayah berhasil memelihara hadits dan
mengantarkannya ke generasi-generasi untuk diestafetkan bagi amaliah syariat sepanjang
zaman. Meskipun demikian, problematika di atas mengisyaratkan bahwa umat Islam
harus berhati-hati dalam menerima hadits dan menggunakan metode yang tepat dalam
memilah dan memilih hadits bagi pengamalnya.  (Ash-Shiddieqy dalam Prof. Endang
Soetari: 2: 2016).
Hadis pada masa Rasulullah SAW. dan khulafa’ Al-Rasyidin belum dibukukan secara
resmi (tadwin). Hal itu erat kaitannya dengan larangan penulisan selain Al-Qur’an oleh
Rasulullah SAW. Meskipun terdapat juga hadis yang membolehkan penulisannya. Hadits
yang melarang penulisannya adalah: Dari Abi Sa’id al-Khudri bahwa Rasulullah SAW.,
bersabda “Jangan menulis dariku, barang siapa yang menulis dariku selain Al-Qur’an,
hendaklah dia menghapusnya. Riwayatkanlah apa yang datang dariku tanpa ada dosa, dan
barang siapa yang berdusta atas diriku secara sadar, maka hendaklah dia menyiapkan
tempatnya di neraka.  Sedangkan hadis yang membolehkan penulisan hadis adalah:
“Dari Abdullah ibn ‘Amr berkata: Saya menulis setiap sesuatu yang aku dengar dari
Rasulullah SAW untuk dihafal, lalu orang-orang Quraisy melarangku seraya berkata:
Apakah engkau menulis semua apa yang diucapkan Rasulullah pada waktu marah dan
ridha? Lalu saya diam hingga aku laporkan ke Rasulullah SAW. dan berkata “Tulislah!
Demi zat yang aku dalam genggamannya, tak satupun yang keluar dariku kecuali
kebenaran.”

1.2 Rumusan Masalah


Rumusan masalah yang kami simpulkan dalam proses pembuatan makalah ini adalah:
1) Bagaimana Periodisasi Hadits Inda Tadwin?
2) Bagaimana Fase Pentadwinan Hadits dalam Inda Tadwin ?
3) Apa saja Kitab-kitab hasil Pengkodifikasian Hadits masa Inda Tadwin ?

1.3 Tujuan
Adapun tujuan dari makalah ini yang kami simpulkan adalah:
1) Memenuhi salah satu tugas kelompok Mata Kuliah Ulumul Hadits
2) Mengetahui Periodisasi Perkembangan Hadits Inda Tadwin
3) Mengetahui fase pentadwinan Hadits masa Inda Tadwin dan
4) Mengetahui kitab-kitab hasil pengkodifikasian Hadits pada masa Inda Tadwin
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Periodisasi Hadits Masa Inda Tadwin


Sejarah kompilasi dan kodifikasi (tadwîn) hadis, baik di kalangan Sunni maupun
Syi’ah, sejak babak awal hingga tersusun karya-karya kompilasi hadis utama telah
melalui fase-fase historis yang panjang dan rumit, bahkan tak jarang diwarnai
kontroversi. Dari berbagai sumber Sunni ataupun Syi’ah secara jelas diketahui bahwa
selama periode kenabian telah ada beberapa dokumen hadis, seperti Kitâb al-Shadaqah,
Shahîfat al-Madînah, naskah Perjanjian Hudaibiyah, dan surat-surat Nabi saw. Namun,
sangatlah problematis untuk menyatakan bahwa tradisi tadwîn hadis di kalangan Sunni
ataupun Syi’ah telah berlangsung sejak periode ini karena kedua aliran tersebut baru
muncul sepeninggal Nabi.
Pada periode sahabat proses tadwîn hadis mengalami perkembangan yang cukup
dinamis. Meskipun aktivitas tadwîn hadis masih ditanggapi pro dan kontra, yang jelas
penelitian ini menunjukkan data bahwa ada puluhan nama dari generasi sahabat memiliki
dokumendokumen hadis, baik dalam bentuk shahîfah, nuskhah, majallah, kitâb, atau
yang sejenisnya. Dari hasil pengamatan secara lintas aliran dapat diketahui bahwa
kelompok Syi’ah secara khusus mengakui dokumen-dokumen hadis yang dimiliki oleh
‘Aliy ibn Abî Thâlib (w. 40 H), Fâthimah al-Zahrâ’ (w. 11 H), Hasan ibn ‘Aliy (w. 50
H), Salmân al-Fârisiy (w. 32 H), Abû Râfi’ (w. 36 H), atau sahabat tertentu lainnya.
Sementara kelompok Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ’ah secara lebih luas mengakui
dokumen-dokumen hadis yang ditulis oleh para sahabat, seperti Abû Bakr al-Shiddîq (w.
13 H), Sa’ad ibn ‘Ubadah (w. 15 H), Mu’âdz ibn Jabal (w. 18 H), Ubay ibn Ka’ab (w. 22
H), ‘Umar ibn al-Khaththâb (w. 23 H), ‘Abdullâh ibn Mas’ûd (w. 32 H), Zaid ibn Tsâbit
(w. 45 H), Samurah ibn Jundub (w. 58 H), ‘Abdullâh ibn ‘Amr ibn al-‘Âsh (w. 63 H),
‘Abdullâh ibn ‘Abbâs (w. 68 H), ‘Abdullâh ibn ‘Umar (w. 73 H), Jâbir ibn ‘Abdillâh (w.
78 H), ‘Abdullâh ibn Aufâ’ (w. 86 H), Anas ibn Mâlik (93 H), dan termasuk pula nama-
nama sahabat yang diakui oleh kelompok ulama Syi’ah. Akan tetapi, tetaplah
problematis untuk mengidentifikasi nama-nama sahabat itu ke dalam aliran Ahl al-
Sunnah wa al Jamâ’ah ataupun Syi’ah.
Proses historis tadwȋn hadis masih terus berlanjut hingga memasuki periode tabiin.
Sejumlah nama dari generasi tabiin dilaporkan memiliki dokumen-dokumen hadis. Di
antaranya adalah: Sulaimân ibn Qais al-Yasykuriy (w. 75 H), Zaid ibn Wahb (w. setelah
83 H), Sulaimân ibn Qais al-Hilâliy (w. 90 H), Sa’îd ibn Jubair (w. 95 H), ‘Ubaidullâh
ibn Abî Râfi„ (w. 80 H), Muhammad ibn ‘Aliy ibn Abî Thâlib—ibn al-Hanafiyah (w. 81
H), ‘Aliy ibn Abî Râfi’ (w. sebelum 100 H), al-Ashbagh ibn Nabâtah (w. setelah 101 H),
‘Athâ’ ibn Yasâr al-Hilâliy (w. 103 H), Abû Qilâbah (w. 104 H), Abû Salamah ibn ‘Abd
al-Rahmân (104 H), Muhammad ibn ‘Aliy al-Bâqir (w. 114 H), Zaid ibn ‘Aliy (w. 122
H), Muhammad ibn Muslim ibn Syihâb al-Zuhriy (w. 124 H), dan Hammâm ibn
Munabbih (w. 131 H).27 Selama periode ini pula, atau tepatnya pada era ‘Umar ibn ‘Abd
al-‘Azîz (w. 101 H), berlangsung kegiatan tadwîn hadis secara resmi dan publik.
Khalifah ‘Umar ibn ‘Abd al’Azîz pernah mengeluarkan surat perintah resmi kepada
seluruh pejabat dan ulama di berbagai daerah untuk menghimpun hadis. Hal itu telah
umum diakui oleh ulama Sunni. Namun sebaliknya, karena alasan-alasan tertentu,
sebagian ulama Syi’ah masih meragukan adanya kegiatan tadwîn hadis tersebut.
Memasuki periode atbâ‘ al-tâbi‘în proses historis tadwîn hadis memasuki tahap
perkembangan yang cukup penting. Hal itu ditandai dengan lahirnya karya-karya
kompilasi hadis yang lebih sistematis. Sebut saja sebagai contoh, dalam kelompok Ahl
al-Sunnah wa al-Jamâ’ah muncul kitab al-Muwaththa’ Mâlik (w. 179 H), al-Muwaththa’
Ibn Wahb al-Qurasyiy (w. 197 H), Sunan dan Musnad Wakî’ ibn al-Jarrâh (w. 197 H),
Musnad Abî Dâwud al-Thayâlisiy (w. 204 H), Sunan dan Musnad al-Syâfi’iy (w. 204 H),
dan Mushannaf ‘Abd al-Razzâq (w. 211 H). Sedangkan dalam kelompok Syi’ah juga
disusun kitab Musnad Imam Mûsâ ibn Ja’far al-Kâzhim (w. 183 H) dan Musnad Imam
‘Aliy al-Ridlâ (w. 202 H).
Perjalanan historis tadwîn hadis ini di kalangan Sunni mencapai puncaknya pada abad
III H yang ditandai dengan munculnya “Enam Kompilasi Hadis Utama” (al-Kutub al-
Sittah), yakni: Shahîh al-Bukhâriy (w. 256 H), Shahîh Muslim (w. 261 H), Sunan Abî
Dâwud (w. 275 H), Jâmi‘ al-Tirmidziy (w. 279 H), Sunan al-Nasâ’iy (w. 303 H), dan
Sunan Ibn Mâjah (w. 273 H). Pada abad yang sama di kalangan Syi’ah juga berhasil
disusun kitab-kitab hadis, seperti al-Jâmi‘ karya Ahmad ibn Muhammad ibn Abî Nashr
(w. 221 H), al-Jâmi‘ karya Muhammad ibn al-Hasan ibn Ahmad (w. 243 H), Jâmi‘ al-
Âtsâr karya Yûnus ibn ‘Abd al-Rahmân, al-Mahâsin karya al-Barqiy (w. 280 H),
Bashâ’ir al-Darajât karya al-Shaffâr al-Qummiy (w. 290 H), dan al-Nawâdir karya
Ahmad ibn Muhammad ibn ‘Îsâ (w. akhir abad III H). Kegiatan tadwȋn hadis di kalangan
Syi’ah mencapai puncaknya pada abad IV H dan V H ketika berhasil disusun “Empat
Kompilasi Hadis Utama” (al-Kutub al-Arba‘ah), yakni: al-Kâfiy fî ‘Ilm al-Dîn karya al-
Kulainiy (w. 329 H), Man lâ Yahdluruh al-Faqîh karya Ibn Bâbawaih (w. 381 H),
Tahdzîb al-Ahkâm dan al-Istibshâr karya al-Thûsiy (w. 460 H). Sepanjang dua abad itu
di kalangan Sunni juga masih muncul karya-karya kompilasi hadis, seperti Shahîh Ibn
Khuzaimah (w. 311 H), Shahîh Ibn Hibbân (w. 345 H), Shahîh Ibn al-Sakan (w. 353 H),
Mu‘jam al-Thabraniy (w. 360 H), Sunan al-Dâruquthniy (w. 385 H), al-Mustadrak al-
Hâkim (w. 405 H), dan Sunan al-Baihaqiy (w. 458 H).
Kegiatan kompilasi dan kodifikasi (tadwîn) hadis sebagai bagian dari proses sejarah
tentu tidak terlepas dari pengaruh faktor-faktor tertentu. Melalui penelitian ini bukan
hanya diungkap fakta-fakta historis secara vertikal dan kronologis-diakronis, tetapi juga
dilihat secara horizontal faktor-faktor ideologis politis yang mempengaruhi proses
perjalanan tadwîn hadis. Sejumlah sarjana berasumsi bahwa faktor aliran menjadi
penyebab utama munculnya perbedaan sejarah tadwîn hadis. Namun, yang jelas hal itu
tidak selalu menggiring kepada perbedaan dalam proses penyusunan karya-karya
kompilasi hadis di antara golongan-golongan Islam. Pasalnya, ada aliran tertentu dalam
Islam, seperti Murjiah, Qadariyah, Jabariyah, dan Muktazilah, tidak mempunyai karya
kompilasi hadis tersendiri, meskipun golongan Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ’ah, Syi’ah,
dan Khawarij, dilaporkan memiliki karya kompilasi hadis. Hasil penelusuran di sini
menjelaskan bahwa faktor ideologis dan politis justru merupakan penyebab utama bagi
munculnya perbedaan sejarah tadwîn hadis. Lebih lanjut, karena faktor ideologis dan
politis pula terjadi pendiaman timbal balik oleh ulama Sunni dan Syi’ah menyangkut
proses tadwîn hadis. Sejauh ini, penulisan sejarah tadwîn hadis yang dilakukan oleh
ulama Sunni cenderung mendiamkan apa yang telah ditulis oleh ulama Syi’ah.
Sebaliknya, historiografi tentang tadwîn hadis di kalangan Syi’ah juga melakukan hal
serupa dengan mendiamkan apa yang telah dihasilkan oleh ulama Sunni. Penelitian ini,
berbeda dengan dua kecenderungan tersebut, berusaha merekonstruksi secara
menyeluruh proses historis tadwîn hadis di kalangan Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ’ah dan
Syi’ah.

2.2 Fase Pentadwinan


Penyampaian hadits dilakukan dengan sangat hati-hati, karena menyangkut masalah-
masalah agama. Hal ini sengaja dilakukan demi menjaga apabila dalam penyampaiannya
terjadi kesalahan. Pada fase ini para muddawin mengadakan tadwin dengan memasukan
ke dalam diwannya semua hadits, baik sabda nabi Muhammad SAW maupun fatwa
sahabat dan tabi’in, sehingga meliputi hadist marfu, maukuf, dan maqthu. Tadwin ini
berlangsung selama abad 2 Hijriyah, kitab-kitab yang disusun pada masa ini tidak sampai
pada masa kita sekarang kecuali kitab Al-Muwathu, susunan Malik Ibn Annas.
Kitab ini merupakan kitab terbesar pada masa ini yang disusun dengan sistem
tasynif, yakni dengan meletakkan hadits yang ada hubungannya dengan yang lain dalam
satu bab, kemudian dikumpulkan bab itu ke dalam mushanab. Al-Muwatha berisi 1726
hadits yang terdiri dari 600 musannad, 220 Mursal, 613 Mauquf dan 285 Maqthu. Kitab
ini mendapat perhatian yang besar, baik dari kalangan ulama maupun pemerintah.
Perhatian para ulama terbukti dari usaha memperluas kitab tersebut dengan
mengusahakan syarahnya serta muhsyaharahnya.
Diantara syaratnya adalah kitab al-Tahnid dan al-Istidzkar oleh Ibn Abd Albar (436
H), Kasyf Al-Mughatha ‘fi Syarh al-Murwaththu’ oleh al-Syuyuti (911 H), al-Musawwa
oleh Quthb al-Din Ahmad ibn ‘Abd al-Barr dan Mukhtashar al-Baji. Al-Muwatha’
mempunyai banyak naskahnya, al-Suyuthi menerangkan bahwa yang terkenal ada 14,
tiga diantaranya adalah naskah yahya bin Yahya al-Laits al-Andalusi, naskah ibn Mus’ad
Ahmad ibn Abi Bakar al-Qasimy, dan naskah ibn Hasan al-Syaibani.
A. Fase Tadwin Dengan Kualifikasi
Pada awal abad 3 Hijriyah, para ulama melaksanakan tadwin hadits dengan
memisahkan antara sabda Nabi Muhamad SAW., dengan fatwa sahabat dan tabi’in
(kualifikasi). Tapi masih mencampur saja antara hadits-hadits shahih, hasan, dan
dhaif, sehingga lantaran ini orang-orang yang kurang ahli masih dapat secara mudah
mengambil pengertian hukum atau mengetahui nilai hadits tersebut.
Sistem penulisan hadits pada fase ini didominasi berdasarkan sanad  (perawi
sahabat), yang mengakibatkan sulit dalam mencari atau mengetahui hukum-hukum
syara’ karena tidak berdasarkan tema. Kitab pada fase ini dinamakan al-Musnad,
seperti al-Musnad Ubaidilah Ibnu Musa, Musnad Hanafi, Musnad al-Syafi’i, Musnad
Abu Dawud, Musnad Ahmad dan sebagainya. Sedangkan, di dalam menerbitkan
nama shahabat ada yang menerbitkan menurut tartib kabilah, ada yang menurut masa
memeluk agama Islam, dan ada pula yang tidak memperhatikan tertiban ini.
Sistem tasnid dan musnad ini kelemahannya adalah sulit dalam mencari atau
mengetahui hukum-hukum syara sebab hadits yang dikumpul dalam satu tempat
tidak satu tema. Kitab hadits yang disusun dengan sistem secara ini dinamakan
mushanad. Musnad-musnad yang disusun pada masa ini banyak sekali antara lain:
Musnad ‘Ubaidillah ibn Musa (123 H.), Musnad Hanafi (150 H.), Musnad al-Syafi’i
(204 H.), Musnad Abu Dhawud al-Tayalisi (201 H.), Musnad al-Abasi, Musnad Abu
Ya’la al-Maushuli, Musnad al-Mawrzi, Musnad ‘Utsman ibn Abi Syaibah, Musnad
Nu’aim ibn Hammad, Musnad ‘Ali al-Maididi, musnad al-Bazzar, musnad Baqi ibn
Makhlad, Musnad ibn Rahawaih, Musnad Abu Bakar, Musnad al-Baghawi, musnad
al-Masaekhasi, dan Musnad Sa’id ibn Mansur. Diantara kitab-kitab musnad tersebut
yang paling menonjol adalah musnad Ahmad. Musnad ini berisi 40.000 Hadits
dengan berulang-ulang atau 30.000 Hadits dengan tidak berulang-ulang.
Sedemikian besar hadits yang dihimpun didalamnya, sehingga musnad itu
sudah melengkapi dan menghimpun kitab-kitab hadits yang lainnya. Kemudian kitab
ini dapat memenuhi segala yang diperlukan oleh muslim dari urusan agama dan
dunianya. Begitu pula ada yang menerbitkan musnad Ahmad itu menurut bab fiqih,
seperti yang dilakukan oleh Ahmad ibn Abd-Arrahman ibn Muhamad al-Bana dalam
kitab yang diberi nama Fath al-Rabbani yang kemudian disarahkan dalam kitab
bulugh al-Amani.
B. Fase Tadwin Dengan Seleksi
Pentadwinan hadits corak ini berlangsung mengikuti corak kualifikasi antara
hadits marfu dengan hadits mauquf dan maqthu. Dalam sejarah perkembangan hadits,
terkenal dengan sebutan kualifikasi dan seleksi Ashr-atajrib wa’al tashaiha wa’al
tanqih (masa penyaringan, pemilihan dan perlengkapan). Seleksi hadits dilakukan
terhadap nilai hadits yakni memilih hadits yang shahih saja untuk di bukukan. Hal
yang mendorong usaha tadwin dengan seleksi ini adalah karena meluasnya
pemalsuan hadits di akhir abad 2 H dan abad awal 3 H.
Seleksi yang tertinggi yang dipergunakan olah muddawin kitab shahih yakni
yang dilakukan oleh Bukhori dan Muslim melalui syarat-syarat. (1) sanad yang
muthasil, (2) perawi yang muslim, bersifat benar, tidak suka berdusta (tadlis), tidak
berubah akal, adil, kuat hafalan, tidak ragu-ragu, dan beritikad baik.
Pelopor mudawwin dengan seleksi ini adalah Ishaq Ibnu Rawaih yang diikuti
al-Bukhari, dan Imam Muslim. Seleksi hadits pada fase ini dilakukan dengan cara
meneliti dan membahas perawi hadits dari berbagai segi seperti keadilan, kedlabitan
yang diambil dari biografi perawi, dan dengan cara pembuatan kaidah ilmu hadits
yang dapat membedakan antara hadits shahih dengan hadits dla’if. Pada fase ini
terbitlah beberapa kitab dengan 2 corak, yaitu kitab Shahih yang hanya memasukkan
hadis shahih saja seperti Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Al Mustadrak Hakim,
Shahih Ibnu Hibban, Shahih ibnu Khuzaimah, Shahih Ibnu Awanah, dan Shahih Ibnu
Jarud. Sedangkan corak lainnya kitab sunan yang penyusunannya tidak memasukan
hadis munkar dan sederajat, hadits dla’if yang tidak munkar dan tidak sangat lemah
dimasukkan kedalamnya dengan diterangkan kedla’ifannya. Beberapa contoh kitab
sunan ini adalah Sunan Abu Dawud, Sunan Turmudzi, Sunan al-Nasa`i, Sunan Ibnu
Majah, Sunan al-Damiri, Sunan al-Dailami, Sunan Baihaqi, dan Sunan al-Daruqutni.

2.3 Kitab-Kitab Pada Masa Inda Tadwin


1)
2)
3)
4)
5) Kitab Sunan An-Nasa’ie
An-Nasa-iy menyusun sebuah kitab yang bernama As-Sunanul Kubera, yang
di dalamnya ada hadits yang shahih dan nada yang ma’lul. Kemudian beliau
meringkaskannya dalam sebuah kitab yang dinamakan “As-Sunanush Shughra” dan
dinamakan “Al-Mudjtaba”. Isinya adalah shahih menurut pendapat An-Nasaiy.
Kitab Al-Mudjtaba ini adalah sebuah kitab yang paling sedikit hadits dhaif dan
perawi yang tercela. Menurut pendapat sebagian ulama, dia terletak sesudah Shahih
Buchary dan Shahih Muslim. Ringkasnya, syarat An-Nasaiy dalam Al-Mudjtaba,
adalah syarat yang terkuat sesudah syarat-syarat Al-Buchary dan Muslim.
6) Kitab Sunan Abu Daud
Abu Daud memetik Sunannya dari 500.000 hadits. Maka jumlah hadits yang
dipetik dari himpunan itu sebanyak 4800 hadits, kesemuanya dalam bidang hukum.
Abu Daud adalah imam hadits yang ahli dalam bidang fiqh sesudah Al-Buchary.
Karenanyalah kitabnya melengkapi segala bab Fiqh dan melengkapi hadits-hadits
yang dipergunakan oleh ulama-ulama fiqh dan dijadikan dasar hukum.
Derajat hadits-hadits Sunan Abu Daud: “Menurut pendapat Ibnu Shalah,
segala hadits yang disebut oleh Abu Daud secara mutlak sedang hadits itu tidak ada
di dalam Al-Buchary dan Muslim dan tidak dinashkan keshahihannya oleh
seseorang tokoh hadits, maka hadits itu hasan menurut Abu Daud. Dalam pada itu
Abu Daud mengambil hadits yang dhaif apabila tidak diperoleh hadits yang shahih”.
Pernyataan Abu Daud tentang hadits shahih adalah hadis-hadis shahih
dicirikan dengan tiadanya penjelasan tentang martabat dan kualitas hadis. Adapun
hadis-hadis yang mendekati sahih, pada prinsipnya hampir sama kedudukannya
dengan hadis shahih. Perbedaannya hanya terletak pada 'adalah (sikap adil) serta
shiddiq (jujur) dari kepribadian sang perawi. Sementara itu, hadis-hadis yang diberi
penjelasan secukupnya berarti berkualitas dhaif. Menurut Abu Sulaiman al-Khataby,
kitab Sunan Abu Daud memiliki susunan topik-topik yang lebih baik daripada kitab
yang ditulis Imam Bukhari dan Imam Muslim.
Abu Daud langsung membagi hadis-hadis yang dikumpulkannya dalam bentuk
bab dan kitab. Secara keseluruhan, ada 1.871 bab dan 95 kitab.
7) Kitab Sunan At-Tirmidzi
Kitab ini terkenal dengan nama: Djami’ut Turmudzy. Kadang-kadang
dikatakan pula As-Sunan. At-Turmudzy menyusun kitab Djami’nya menurut bab
fiqh dan diisikan dengan hadits-hadits yang shahih, hasan, dan dhaif dengan
diterangkan derajat masing-masingnya dan sebab-sebab kedahifannya, sebagaimana
At-Turmudzy menyebut madzhab-madzhab Shahabat, Tabi’in, dan para fuqaha. At-
Turmudzy meringkaskan jalan-jalan hadits dengan jalan menyebut sebuah sanad saja
dan mengisyaratkan kepada lainnya. Diakhir kitab diterangkan ‘illat-‘illat hadits.
Menurut Ibnu Radjab hadits-hadits At-Turmudzy ada yang shahih, ada yang hasan,
ada yang gharib, yang sebahagiannya munkar walaupun kerap kali diterangkan yang
demikian.
8) Kitab Sunan Ibnu Majjah
Ulama mutaqaddimin dan kebanyakan ahli tahqiq dari golongan mutakhkhirin
berpendapat bahwa induk kitab hadits hanya lima, yaitu: Shahih Al-Buchary, Shahih
Muslim, Sunan An-Nasaiy, Sunan Abu Daud, dan Sunan At-Tarmidzi. Sebagian
mutakhkhirin menetapkan bahwa kitab induk enam, dengan menambah Sunan Ibnu
Majah kepada yang lima itu, lantaran mereka berpendapat, bahwa kitab Sunan Ibnu
Majah besar manfaatnya dalam bidang ilmu fiqh. Yang mula-mula menambah kitab
induk menjadi enam, ialah Ibnu Tarir Al-Maqdisy (507 H) dalm Athhraf kitab 6.
Kemudian diikuti oleh Abdul Ghaniy Al-Maqdisy dalam kitab Al-Iqmal di asma-ir
ridjal. Sebagia ulama mengungkapkan bahwa kitab yang enam ialah Al-Muwatha.
Diantara yang menetapkan demikian ialah Razien Ash-Sharghastiy (535 H) di dalam
kitab. Tadjridush Shahih, dan Ibnul Atsier dalam kitab Djami’ul Ushul.
Dari segi materi Ibnu Majjah terdiri dari 4.342 hadits. Sebanyak 3.002 hadits
diantaranya terlah termaktub dalam Kutub al-Khamsah (Bukhari, Muslim, Abu
Daud dan At-Tirmidzi). Hanya sekitar 1.339 hadits terbilang orsinil (asli), dan
sejumlah 328 hadits shahih. Kemudian sebanyak 99 hadits berstatus hasan.
Sebanyak 613 bersifat dhaif,sedangkan 99 haditsnya bersifat tertuduh (buruk).
Keterangan-keterangan yang temuat dalam materi Sunan Ibnu Majjah umumnya
bersifat benar dan jelas.

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai