Yang diampuh oleh Putu Agus Indrawan S.Pd, M.Pd dan Andriani Paulin Nalle S.Psi,
M.Ed(CPEP)
OLEH
(2001160037)
Kupang
2021
KATA PENGANTAR
Kami panjatkan puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa oleh karena
disusun sebagai pelengkap tugas mata kuliah Konseling Lintas Budaya dan bertujuan
untuk menambah wawasan dan pengetahuan bagi pembacanya maupun pihak yang
makalah ini. Oleh karena itu penyusun sangat membutuhkan saran serta kritik agar
Kupang,November 2021
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
3.1 Kesimpulan………………………………………………………………………
3.2 Saran.....................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………...
BAB I
PENDAHULUAN
Sebagai makhluk yang dinamis, dalamsituasi dan kondisi tertentu, manusia merubah dan
membentuk kebudayaannya sendiri.Namun tidak bisa dipungkiri sebagian besar masyarakat
adalah penerima budaya dari generasi-generasi sebelumnya, sehingga kebudayaan yang
dianut dalam suatu masyarakat mengakar dengan kuat dan sukar untuk dihilangkan. Generasi
manusia sebagai pewaris kebudayaan akan senantiasa memelihara dan mempertahankan
model budaya yang sudah dianut oleh generasi
sebelumnya, sehingga proses mempertahankan ini akan menjadi sebuah kebiasaan kolektif
secara turun temurun.
Kebudayaan atau tradisi merupakan hasil karya manusia yang bertujuan melestarikan
nilai-nilai sosial yang dihidupi dan telah menjadi salah satu unsur yang melatar belakangi
kehidupan manusia. Budaya dan manusia merupakan dua hal yang tak dapat dipisahkan.
PEMBAHASAN
Thel keta artinya menarik atau mengabaikan lidi lontar yang sudah ada. Pada
umumnya lidi yang dibutuhkan ada dua jenis yakni jenis laki-laki ( yang lurus saja) dan jenis
wanita (yang bercabang). Upacara Thel keta dilakukan di sebuah kali yang kondisi kalinya
mengalir agar ketika hewan korban yang disembelih, darahnya harus dibiarkan menetes turun
ke dalam air yang sedang mengalir, dengan maksud untuk dialirkan pergi ke laut. Keadaan
darah hewan korban yang dialirkan ke atas air sungai yang sedang mengalir itu adalah tanda
bahwa segala kesalahan dan perbuatan jahat yang merugikan dan menghalang sudah dibawah
pergi oleh air sungai itu ke laut.
B. Adat Belis
Tradisi pemberian belis yaitu bentuk penghargaan tehadap kaum wanita untuk
membalas air susu ibu, penghargaan ini diberikan oleh pihak laki-laki terhadap pihak
keluarga perempuan. Makna belis sebagai ungkapan terima kasih karena orang tua sudah
bersusah payah untuk mengurus, mengasuh dan membesarkan, menyekolahkan anaknya dari
kecil hingga dewasa bahkan sampai memperoleh pekerjaan. Belis dijadikan sebagai
pengganti atas anak perempuan tersebut, pandangan dan pemaknaan ini secara turun temurun
tetap dipercayai sebagai suatu budaya tetap haru dijalankan dan dilestarikan oleh generasi
selanjutnya. Tradisi belis juga berkaitan dengan harga diri bagi seorang laki-laki maupun
keluarga besarnya. Pemaknaan belis sebagai harga diri dan
jati diri dapat dipahami sebagai suatu usaha seorang untuk mendapatkan harkat dan martabat
dalam masyarakat yang menerapkan tradisi belis. Ketika seorang laki-laki mampu memenuhi
tuntutan belis yang diajukan oleh keluarga perempuan maka laki-laki tersebut akan
mengalami kebanggaan tersendiri karena dapat menunjukan bahwa dirinya mampu untuk
menikahi dan menghidupi calon
istrinya, serta mampu untuk menjalani dan menghadapi segala tantangan hidup dalam bahtera
rumah tangga.
Penentuan belis merupakan suatu tradisi masyarakat Tun’noe dalam adat perkawinan.
Dalam tradisi adat perkawinan, penentuan belis dilakukan dengan beberapa tahap yaitu,
Pertama; tahap Piussulat/ melamar sang wanita, keluarga pihak laki-laki pergi kerumah
wanita dengan mambawa sepucuk surat yang diganti dengan sebotol sopi/tuaboit mese,dan
sirih pinang/manus puah untuk melamar sang wanita yang disukai anak lelaki mereka.
kedua; tahap peminangan/ terang kampung(tunangan) untuk mengikat cinta kedua
mempelai dengan barang – barang yang dibawa oleh lelaki dan dibalas oleh sang wanita
sebagai ikatan bagi kedua mempelai.
Ketiga; tahap pembayaran belis, sebagai sahnya adat perkawinan.
Keempat; pemberkatan/ penerimaan sakramen pernikahan.
Tahap kedua adalah tahap kesaksian, Tahapan ini merupakan peneguhan pembicaraan
yang akan dilakukan oleh beberapa pihak melalui acara-acara sebagai berikut:
1.Sula mnasi atu mnasia
Sula mnasi atu mnasia atau meminang adalah melanjutkan pembicaraaan yang telah
dibicarakan sebelumnya. Orang tua dari pihak laki-laki secara terbuka mengatakan bahwa
mereka berniat menikahkan anak laki-lakinya dengan anak perempuan atau hendak
mengangkat si gadis sebagai menantu.
2.Bunuk hau nok / menaikan daun kayu
Kata bunuk hau nok yaitu laki-laki memberikan tanda berupa barang seperti kain,cincin atau
kalung diistilahkan dengan “ kasih naik bunuk” kepada pihak wanita dan sebaliknya wanita “
kasih naik bunuk” berupa selimut, saku sirih pinang (aluk mama), dengan tujuan kedua pihak
laki-laki dan perempuan saling menjaga diri dari orang lain maupun diantara mereka sendiri.
Barang-barang yang menjadi tanda “bunuk” harus dipakai selama menunggu waktu
pernikahan.
3.Pua mnasi, manu mnasi/ Pinang tua, Sirih tua
Pua mnasi
Pua mnasi, manu mnasi yaitu pihak laki-laki dan wanita saling memberikan penghargaan
kepada orang tua dan keluarga berupa uang perak, uang rupiah ( uang kertas), selimut,
sarung, kemeja, kebaya, sabun mandi, sabun cuci.
4.Antaran
Yang dimaksud dengan antaran adalah Orang tua dari pihak laki-laki memberikan barang
berupa, cincin emas, seperangkat busana wanita, perhiasan, tempat sirih pinang + daun sirih
dan buah pinang., uang untuk pelaksanaan upacara perkawinan dan belis.
Tahap yang ketiga adalah tahap siaga Tahap ini, semua keluarga baik itu dari keluarga
mempelai laki-laki dan wanita yang mempunyai acara mengundang para sesepuh dan sanak
saudara untuk melakukan pertemuan keluarga serta membentuk panitia pesta guna
melaksanakan kegiatan acara-acara pada waktu sebelum dan sesudah acara pesta.
Tahap yang ke empat adalah tahap upacara. Tahap ini memiliki beberapa unsur.
1. Pasang Boe Nok ( memasang tenda )
Pada tahap ini masyarakat suku Timor selalu menunjukkan rasa solidaritas sosial yang erat
dengan selalu bantu-membantu setiap harinya guna membantu bekerja di tempat pesta. Baik
ibu-ibu, bapak-bapak juga kaum muda selalu berpartisipasi.
2. Pemberkatan nikah
Pada masyarakat suku Timor, upacara perkawinan tidak dapat dilepaskan dari kepercayaan
agama Kristen yang dianut sehingga senantiasa dilakukan dengan memperhatikan prosedur
dan pelaksanaannya, karena jumlah agama Kristen pada masyarakat suku Timor begitu
tinggi. Maka setiap pelaksanaan upacara perkawinan akan banyak diatur berdasarkan tata
cara ibadah agama Kristen.
3. Malam resepsi
Diatas telah disinggung bahwa pemberkatan nikah merupakan puncak dari seluruh rangkaian
upacara perkawinan suku Timor. Sebab dalam pemberkatan ini seluruh unsur disatukan baik
itu unsur sosial maupun religi. Malam resepsi ini dilangsungkan dengan acara sebagai berikut
:
a. Penyambutantamu-tamu undangan
b. Makan bersama dan
c. Acara bebas
D. Nilai Budaya Yang Terkandung Dalam Upacara Perkawinan Suku Timor.
Nilai-nilai yang terkandung dalam upacara tersebut adalah Nilai Religius, nilai Musyawarah,
nilai Persaudaraan, nilai Toleransi beragama, nilai Tanggung Jawab, nilai Gotong Royong,
Kebersamaan, dan nilai Sopan Santun.
1. Nilai religius
Pemberkatan nilkah dan janji suci
2. Nilai musyawarah
Pengambilan keputusan, mufakat, dan kesepakatan bersama
3. Nilai persaudraan
Rasa solidaritas sosial yang erat dengan selalu bantu- membantu dalam melancarkan
upacara Perkawinan.
4. Nilai toleransi beragama
Pihak keluarga selalu menyediakan jamuan khusus bagi mereka yang beragama
muslim atau yang beragama lain yang diundang
5. Nilai tanggung jawab
Ucapan terima kasih dari keluarga kedua mempelai kepada semua keluarga, di tandai
dengan pemberian tempat sirih pinang, yang berisi uang maupun salendang.
6. Nilai gotong royong
Bekerja bersama untuk mempersiapkan Konsumsi.
7. Nilai kebrsamaan
Dapat ditemukan dalam upacara perkawinan pada setiap prosesinnya. Masyarakat
oebaki selalu bersama-sama berkumpul sambil bercerita setiap malamnya.
8. Nilai sopan santun
Pada tahap peminangan karena biasanya menggunakan tutur kata yang halus agar apa
yang di sampaikan diterima dengan baik.
9. nilai budaya
Tradisi makan sirih pinang, sopi ( minuman keras)
Upacara Kelahiran, pada upacara kelahiran biasanya sebelum ari-ari keluar, di depan
rumah ditaruh alang-alang mudah, pertanda ada orang baru. Begitu bayi lahir, 1 (satu)
rombongan wanita dan pria berpegang serta berbusana tenunan mengambil ari-ari dibawa dan
digantungkan di atas pohon beringin, kusambi, dan sejenisnya disesuaikan dengan status
sosial masing-masing. Bayi biasanya digendong memakai sarung tenunan (kou) dan sang ibu
dalam beberapa minggu tidak boleh menginjak tanah secara langsung. Karena itu, sebelum
menginjak tanah secara langsung maka di depan pintu diletakan 7 buah batu plat untuk
dilewati satu per satu, dan jika sudah menginjak batu ke-7 maka batunya langsung ditendang
ke belakang. Apabila upacara ini telah dilakukan, maka untuk seterusnya sang ibu boleh dan
bebas menginjak tanah.
Upacara Kematian, dalam adat masyarakat Kabupaten Timor Tengah Utara jika
terjadi peristiwa kematian dalam suatu keluarga, tetangga biasanya turut berduka dan
membantu meringankan keluarga duka, baik berupa tenaga maupun materi. Peranan tenunan
di sini mempunyai arti sebagai air mata, ikut menangis, membungkus mayat/jenazah, dan
biasanya kain tenun tersebut di bawah pada saat melayat. Apabila warga yang meninggal
berjenis kelamin laki-laki, maka kain tenun yang dibawa adalah tenunan beti (selimut) untuk
laki-laki. Sebaliknya, jika wanita yang meninggal maka tenunan yang dibawa adalah tenunan
tais (sarung wanita),
Tarian asal daerah Biboki-Insana, Kabupaten TTU, ini mengungkapkan perasaan gembira seseorang.
Tarian ini sering dijadikan ajang mencari jodoh antar muda-mudi, juga terdapat pantun berbalas
pantun.
Tarian ini kerap dilakonkan masyarakat etnis Miomafo, Insana dan Biboki-Kabupaten TTU. Ini
merupakan tarian perang. Tarian ini menggambarkan kepahlawanan para raja dan prajurit yang pulang
perang dan membawa kepala musuh sebagai tanda kemenangan dan disambut dengan tari-tarian
kegembiraan oleh permaisuri raja dan rakyatnya
Tarian asal daerah Miomafo-Insana dan Biboki-Kabupaten TTU ini menggambarkan aktifitas
menenun mulai dari menanam kapas sampai menghasilkan sebuah kain tenun, yang dikreasikan lewat
gerakan tarian.
Tarian gong merupakan tarian asal daerah Miomafo-Insana dan Biboki, Kabupaten TTU, untuk
seromonial penyambutan. Tarian bermakna sukacita ini diramaikan dengan bunyi gong-gendang-
giring-giring untuk menyambut kedatangan tamu/pembesar.
Hampir serupa dengan suku Helong, kaum pria dari suku Dawan memakai baju bodo
sebagai pakaian atas. Selanjutnya kain tenun seperti selimut dililitkan pada pinggang beserta
ikat pinggang.Selain itu para laki-laki suku Dawan biasa membawa alu mama yang berupa
tas kain tenunan dengan motif suku Dawan berukuran kecil menyerupai kantong.Tas ini
dipakai dengan cara diselempangkan di bahu dengan tali yang juga terbuat dari tenunan.
Untuk bagian tali tidak selalu memiliki motif yang berasal dari tenunan karena dapat pula
berasal dari susunan manik-manik. Biasanya alu mama ini diisi dengan sirih dan pinang. Tas
ini menjadi salah satu aksesoris penting bagi kaum laki-laki suku Dawan tanpa memandang
usia dan status sosialnya.Kemudian untuk aksesoris yang dikenakan adalah kalung emas
dengan bandul seperti gong dan muti salak. Aksesoris yang dikenakan pria suku Dawan
selanjutnya adalah ikat kepala atau destar yang dipadukan dengan hiasan tiara.Selanjutnya
adalah dua buah gelang Timor menjadi pelengkapnya. Ada juga yang digunakan oleh alki-
laki adalah uang perak (Futu noni) dan Parang (Suni).
Sementara untuk pakaian adat wanita berupa sarung tenun yang dikenakan sebagai
bawahan, selendang untuk menutup bagian dada, dan kebaya.Sebagai aksesoris untuk hiasan
leher, mereka juga mengenakan muti salak, serta habas dengan liontin gong.Kemudian untuk
hiasan tangan, kaum prempuan suku Dawan mengenakan sepasang gelang kepala
ular.Sebagai anting-anting adalah giwang Kerabu.Tak lupa hiasan kepala khas bulan sabit
serta tusuk konde dengan hiasan tiga buah koin.
Rumah adat dalam kehidupan masyarakat NTT dipercaya sebagai tempat keramat atau
bersemayamnya roh nenek moyang atau bersemayamnya sang pencipta kehidupan. Salah
satunya adalah rumah adat yang juga disebut rumah keramat sebagai wujud budaya
Struktur sosial budaya masyarakat Kabupaten TTU terbagi dalam beberapa suku yang
terstruktur dalam pembagian Sonaf. Sekian jumlah suku yang berada dalam suatu Sonaf
memposisikan rumah adat dengan fungsi yang berbeda-beda, yang kemudian fungsi
Merupakan rumah adat utama dari Kampung Maslete yang berada di tengah-tengah
kampung. Rumah ini terdiri atas tiga bagian yaitu bagian kaki atau dasar, badan, dan atap.
Dasar bangunan berbentuk bulat yang dibuat dari susunan batu andesit dengan lantai berupa
tanah. Di beberapa bagian dasar bangunan terlihat beberapa batuan yang hilang ataupun
terlepas dan tercecer di sekitar rumah. Bagian badan berupa tiang-tiang penyangga ujung atap
yang terbuat dari kayu. 12 tiang yang berada di depan berbentuk susunan melingkar dan 9 di
antaranya menyangga kayu rusuk atap dengan hiasan burung dan manusia. Bagian ruangan
utama berbentuk persegi empat dengan dinding yang terbuat dari susunan papan kayu
berbentuk persegi empat panjang. Pintu masuk berada di bagian depan yang di atasnya
terdapat motif hias geometris. Pada bangunan ini terdapat 3 tiang penyangga utama; satu
buah terdapat di teras depan, dan dua buah terdapat di dalam kamar (ruangan). Atap
bangunan berbentuk kerucut, di bagian dalamnya diperkuat dengan rusuk-rusuk dari rotan
dan diikat pula dengan tali rotan.
Salah satu kegunaan Rumah adat adalah bisa menyimpan hasil panen, menjadi tempat untuk
tidur dan tempat memasak.
Pariwisata yang ada di Kabupaten Timor Tengah Utara adalah berupa wisata alam dan
budaya serta wisata religi. Berikut sejumlah wisata yang terkenal:
Tempat Wisata di Kefamenanu yang pertama adalah Pantai Tanjung Bastian. Pantai cantik ini
terletak di Kota Wini, sebelah utara Kabupaten Timur Tengah Utara, Nusa Tenggara Timur.
Jaraknya sekitar 65 km dari Kota Kefamenanu.
Hamparan pasir mencapai sekitar seratus meter dengan air laut kristal. Bagi para pengunjung
yang menyukai petualangan bisa mengunjungi Pantai Tanjung Bastian untuk menikmati
panorama yang menakjubkan.
Mata Air Oeluan menjadi Tempat Wisata di Kefamenanu selanjutnya yang haru skamu
kunjungi. Tempat wisata Mata Air Oeluan ini berjarak sekitar 20 km dari pusat Kota
Kefamenanu, ibu kota Kabupaten Timor Tengah Selatan, tepat di sisi jalan trans Kupang-
Atambua. Tempat wisata ini sangat mudah dicapai.
Dari Kota Kefamenanu dapat menggunakan ojek dengan ongkos Rp10.000 atau kalau mau
lebih irit lagi dapat menggunakan bemo (istilah masyarakat setempat untuk menyebut
mikrolet) dengan ongkos Rp3.000 per orang. Tiket masuk kedalam tempat wisata ini Rp3.000
per orang.
Bukit Tuamese merupakan wisata alam di Timor Tengah Utara, tepatnya di Desa Tuamese,
Kecamatan Biboki Anleu. Dapat ditempuh dengan kendaraan bermotor dari pusat kabupaten
Timor Tengah Utara dalam waktu sekitar 2,5 jam. Memang terbilang jauh namun akan
terbayarkan begitu menyaksikan keindahan bukit Tuamese. Dari atas dapat menyaksikan
pemandangan laut dan bukit-bukit batu lain. Saking indahnya, area ini biasa dijadikan lokasi
foto pre-wedding.
Cagar Alam Gunung Mutis berada di dua wilayah yaitu kabupaten Timor Tengah Utara dan
Timor Tengah Selatan. Wisata alam di Timor Tengah Utara ini berupa perbukitan dengan
hamparan pepohonan hijau nan asri. Cagar Alam Gunung Mutis ini terkenal dengan gunung-
gunung batu marmer, oleh penduduk setempat dijuluki Fauf Kanaf alias batu nama. Di
kawasan ini pun dihuni oleh salah satu suku tertua di Nusa Tenggara Timur yaitu Suku
Dawan.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Tradisi pemberian belis yaitu bentuk penghargaan tehadap kaum wanita untuk
membalas air susu ibu, penghargaan ini diberikan oleh pihak laki-laki terhadap pihak
keluarga perempuan. Makna belis sebagai ungkapan terima kasih karena orang tua sudah
bersusah payah untuk mengurus, mengasuh dan membesarkan, menyekolahkan anaknya dari
kecil hingga dewasa bahkan sampai memperoleh pekerjaan.
Tata cara perkawinan adat suku Timor dilakukan dengan langkah-langkah sebagai
berikut. Perkenalan , Persiapan untuk meminang, Meminang, dan Pesta Perkawinan. Nilai-
nilai budaya yang terkandung dalam upacara perkawianan adat suku Timor adalah Nilai
Religius, Nilai Musyawarah, Persaudaraan, Toleransi beragama, Tanggung Jawab, Gotong
Royong, Kebersamaan, dan Sopan Santun.
Nilai-nilai yang terkandung dalam upacara tersebut adalah Nilai Religius, nilai
Musyawarah, nilai Persaudaraan, nilai Toleransi beragama, nilai Tanggung Jawab, nilai
Gotong Royong, Kebersamaan, dan nilai Sopan Santun.
3.2 Saran
Dengan adanya makalah yang dibuat oleh penulis terkait dengan kebudayaan dari
Kabupaten Timor Tengah Utara ,penulis mengharpkan agar kebudyaan lokal harus tetap
dijaga dan dilestarikan agar tetap berkualitas di mata daerah sendiri dan daerah orang lain.