Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH QAWAID AT TAFSIR KELOMPOK 10

KAIDAH NAFY (AL-NAFY)

Dosen pengampuh: Dr. Abdul Gaffar S.Th.I., M.Th.I


Di susun oleh:
Suciati Nur Hamidah (2020030105040)
Widia Astika (2020030105036)
Sarida (2020030105009)
Nur Salam (2020030105042)

PROGRAM STUDI ILMU AL QUR’AN DAN TAFSIR


FAKULTAS USHULUDDIN ADAB DAN DAKWA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
KENDARI
2021
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Alquran sebagai pegangan hidup umat Islam dapat dipahami dengan menafsirkannya.
Akan tetapi, penafsiran tidak dapat dilakukan setiap orang kecuali mempunyai perangkat
dasar keilmuan yang cukup dan melibatkan mauhibah dari Allah Swt., dan orang-orang yang
mendapatkan mauhibah tersebut wajib menjelaskan Alquran kepada manusia, baik melalui
lisan maupun tulisan(Q.S. Ali Imran/3 : 187). Rasulullah Saw adalah orang pertama yang
memiliki ‘kelebihan’ itu, kemudian diikuti oleh para sahabat di masanya, tabi’in (orang-
orang yang hidup bersama dan sesudah sahabat), tabi’ual-tabi’in (orang yang hidup bersama
dan sesudah tabi’in) hingga ulama zaman sekarang ini.
Untuk itu, diantara dasar agama khususnya bidang ilmu yang paling agung dan
ushulyang perlu dibangun seperti kokohnya sebuah bangunan adalah ilmu tafsir atau
penjelasan makna kalam Allah Swt.
Para ulama telah meletakkan dasar-dasar ilmu tafsir, biasa disebut qawa’idal-tafsir
yang tidal lain adalah untuk meluruskan dan mengarahkan umat ini kepada pemahaman
Alquran yang benar terhadap firman Allah Swt., dan dari sekian bentuk kaidah-kaidah tafsir,
kaidah al-nafy merupakan salah satu kaidah penting dalam memahami teks suci, contohnya
ketika Allah berfirman dalam Q.S. al-Kahfi/18: 49,

‫َو اَل يَ ۡظلِ ُم َربُّكَ اَ َحدًا‬

Terjemahan:
“Dan Tuhanmu tidak menzalimi seorang pun jua”

Secara tekstual, siapapun mengira bahwa Allah mutlak tidak menzalimi makhluk-
Nya, padahal Allah sendiri sempurna dan memiliki semua sifat itu sekalipun tidak
mendominasi sifat-sifat “baik” Allah, tentunya kedua hal itu sangat kontradiksi, sebab disatu
sisi Allah mengatakan tidak menzalimi seorang pun,tetapi di sisi lain ketika Allah Swt.
menurunkan azab dan menghancurkan kaum penentang “risalah langit”, ini mengindikasikan
sifat tersebut juga dimiliki Allah dengan segala kesempurnaan-Nya, untuk itu bagaimana
menyelesaikan “konflik” ini? Atau, cara memahami ayat itu adalah dengan menganggap
bahwa sunnatullah “bekerja” untuk orang zalim maka akibat kezaliman itu akan kembali
menimpa dirinya sendiri.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian al nafy
2. Apa saja kaidah kaidah al nafy dalam al-qur’an

C. Tujuan penulisan
Untuk mengetahui pengertian dan kaidah kaidah tafsir yang berhubungan dengan al nafy
dalam al quran.
BAB II
PEMBAHASAN

1. Pengertian al-Nafy
Secara etimologis, al-nafy atau nafyun dari , ‫ ف‬,‫ ن‬dan (‫رف العتل‬VV‫ ي )الح‬jika
dirangakai menjadi ‫ نفيا ونفيا‬-‫ ينفي‬-‫ نفى‬artinya meniadakan, menegasikan, membuang dan
mengeluarkan, pada asalnya yaitu upaya meniadakan sesuatu dari yang lain dan berusaha
َ Vُ‫ َّذ ي ه‬V‫ ِد ِه ال‬Vَ‫ص ْن اَن يُ ْنفِي من بَل‬
َ ‫ر‬VVَ‫ ٍد اَخ‬Vَ‫ ِه إِلَى بَل‬Vِ‫و ب‬V
menjauhkannya ‫نَة‬V‫س‬ ُ ‫ “ نَ ْف‬Dikatakan
ِ ْ‫ي الزَانِي لَ ْم يُح‬
(bentuk hukuman) mengeluarkan pezina yang tidak terpelihara (dari kejahatan) adalah
dibuang/diusir dari negerinya ke negeri lain selama setahun.
Sedangkan secara terminologi adalah sesuatu yang tidak dapat terjadi karena adanya
ucapan .emberitahuan agar pekerjaan itu tidak di kerjakan itu artinya ‫ال‬
2. Kaidah-Kaidahal-Nafyu dalam Alquran
a. Kaidah Pertama

‫ أَنَّهُ الَ يَ ُكونُ لَهُ فِ ْي‬،‫ق َش ْي ًءا َوأَ ْثبَتَهُ لِنَ ْف ِس ِه‬
ِ ‫ال إِ َذا نَفَى ع َْن الخَ ْل‬
َ ‫اإل ْستِ ْق َراء فِ ْي القُرْ ا ِن َعلَ َى أَ َّن هللا تَ َع‬
ِ ‫َد َّل‬
.‫ك‬ٌ ‫َذلِكَ اإِل ْثبَا ت َش ِر ْي‬
Artinya :
Ditegaskan dalam Alquran bahwa sesungguhnya Allah Swt. jika
menegasikan/meniadakan sesuatu dari mahluk dan menetapkannya untuk diriNya
sendiri maka tidak ada sekutu bagi Allah dalam ketetapan tersebut.
Dalam kaidah ini dapat dipahami bahwa dalam Alquran terdapat ayat-ayat yang mana
Allah Swt. menegasikan keterlibatan mahluk dan kemudian menunjuk diriNya sendiri
sebagai Maha Menetapkan. Ketika Allah Swt. menetapkan sesuatu, maka mahluk tidak
terlibat dalam urusan atau ketetapan itu, sehingga yang tampak adalah hanya Allah Swt.
semata, Sang Penguasa Tunggal.
Contoh:
1. Q.S. Ali ‘Imran/3:7.

ٌ ‫ب َواُ َخ ُر ُمت َٰشبِ ٰه‬


‫ت ۗ فَا َ َّما الَّ ِذ ْينَ فِ ْي قُلُوْ بِ ِه ْم َز ْي ٌغ‬ ِ ‫ت ه َُّن اُ ُّم ْال ِك ٰت‬ ٌ ٰ‫ت ُّمحْ َكم‬ ٌ ‫ب ِم ْنهُ ٰا ٰي‬ َ ‫ك ْال ِك ٰت‬ ْٓ ‫ه َُو الَّ ِذ‬
َ ‫ي اَ ْنزَ َل َعلَ ْي‬
‫هّٰللا‬
ُ ‫ۘ فَيَتَّبِعُوْ نَ َما تَ َشابَهَ ِم ْنهُ ا ْبتِغ َۤا َء ْالفِ ْتنَ ِة َوا ْبتِغ َۤا َء تَأْ ِو ْيلِ ٖ ۚه َو َما يَ ْعلَ ُم تَأْ ِو ْيلَهٗ ٓ اِاَّل‬
Dialah yang menurunkan Kitab (Alquran) kepadamu (Muhammad) diantaranya ada
ayat-ayat yang muhkamat,itulah pokok-pokok Kitab (Alquran) dan yang lainnya
mutasyabihat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong pada kesesatan,
mereka mengikuti yang mutasyabihatuntuk mencari-cari fitnah dan untuk mencarikan
takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah.
Ayat ini menafikan bahwa tidak ada yang mengetahui maksud ayat ayat mutasyabihat,
yaitu ayat ayat yang mengandung beberapa pengertian, sulit dipahami, kecuali allah yang
mengetahuinya.
Pada ayat di atas kalimat ‫( َو َما يَ ْعلَ ُم تَأْ ِويلَهُ إالَّ هللا‬padahal tidak ada yang mengetahuinya
kecuali Allah ) terdapat lafal “ ‫ ( ”ما‬tidak ada), di sini Allah menegasikan keberadaan
siapapun yang mengetahui takwil ayat-ayat mutasyabihat, kemudian menyebut kata “‫”إال‬
(kecuali) berfungsi sebagai penetapan dan men-takhshishh (mengkhususkan) bahwa hanya
Allah Swt semata (satu-satunya) yang mengetahui takwil dari ayat-ayat mutasyabihat.

b. Kaidah Kedua

ِ ‫ي ال َعام أَحْ َس ْن ِم ْن نَ ْف ِي ْالخَ ا‬


‫ص‬ ُ ِ‫)نَف‬

ِ ‫ص اَحْ َسن ِم ْن إِ ْثبَا ت ال َع‬


.‫ام‬ ِ ‫ت ْال َخا‬
ُ ‫َواِ ْثبَا‬

-Nafyu al-’am (penegasian dalam bentuk umum) lebih baik dari nafyu al-khashh
(penegasian dalam bentuk khusus).
-‘Itsbat al-khashh (penetapan dalam bentuk khusus) lebih baik dari ‘itsbat al-’am
(penetapan dalam bentuk umum).
pernyataan nafy al-‘am ‘menegasikan yang umum’, makan al-‘am itu adalah al-
syamil ‘menyeluruh’, yaitu pengertian etimologinya. Oleh karena itu semua yang mencakup
yang lainnya ituadalh al-‘am. Rumusan al-‘am di sini lebih luas cakupannya dari pada
cakupan istilah itu dalam dalam ilmu ushul. Kata nur misalnyalebih umum dari pada kata
dhaw’ oleh karena dhaw’ itu termasuk kedalam nur.
Argumen kaidah ini adalah bahwa menegasikan yang umum berarti menegasikan
yang khusus, dan mempositifkan yang umum tidak mesti mempositifkan yang khusus.
Sedangkan mengenai yang khusus, maka menetapkan yang khusus itu berberarti
menetapkan yang umum, dengan arti di atas dan menegasikan yang khusus tidak mesti
menegasikan yang umum.
Contoh:
1. Menegasikan yang umum berarti menegasi kan yang khusus Q.S. Al-Baqarah/ 2:
17 Allah Swt. berfirman:

‫ب هّٰللا ُ ِب ُن ْو ِر ِه ْم‬ ْ ‫ض ۤا َء‬


َ ‫ت َما َح ْولَ ٗه َذ َه‬ َ َ‫َ َفلَمَّٓا ا‬
Maka setelah api itu menerangi sekelilingnya Allah hilangkan cahaya mereka.
Allah tidak menyatakan bi dhu’ihim pada halaman sebelumnya di nyatakan adha’at,
karena al-nur lebih umum dari al-dhaw’, yang mencakup cahaya yang banyak dan sedikit,
sedangkan al-dhaw’di terapkan pada cahaya yang banyak saja, karena itu dinyatakan dalam
(QS. Yunus [10]:5):
‫س ضِ َي ۤا ًء َّو ْال َق َم َر ُن ْورً ا‬
َ ْ‫ه َُو الَّذِيْ َج َع َل ال َّشم‬
Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya.

Makna ayat di ayas itu Q.S. Al-Baqarah/ 2: 17 dengan demikian adalah bahwa Allh
menghilangkan al-nur dan karena itu allah menyambung nya:
‫ت اَّل ُيبْصِ ر ُْو َن َو َت َر َك ُه ْم‬ ُ ْ‫فِي‬
ٍ ‫ظلُ ٰم‬
 dan membiarkan mereka dalam kegelapan, tidak dapat melihat.

(karena yang umum, al-nur saja sudah di negasi kan, maka yang khusus, al-dhau’,
tentu juga ikut di negasikan. Jadi, mereka tidak memiliki cahaya sama skali).

2. Menetapkan yang khusus berarti juga menetapkan yang umum (Q.S. al-Fath/48:
29,)
‫مُح َّم ٌد رَّ س ُْو ُل هّٰللا‬
ِ َ
Muhammad itu adalah rasul utusan Allah

Ayat ini menyebutkan bahwa Muhammad adalah ِ‫س ُو ُل هللا‬


ُ ‫ َر‬seorang Rasul Allah Swt.
(berbentuk khusus) memiliki derajat tinggi dan mulia di hadapan Allah. Lafal Rasulullah
adalah khusus, tidak seperti nabi (bentuk umum) meskipun sama-sama adalah utusan Allah
Swt. logikanya seseorang tidak akan menjadi rasul kalau bukan nabi, sebaliknya nabi belum
tentu rasul, karena rasul hanyalah dari kalangan nabi dan diberikan amanah tambahan untuk
mendakwahkan risalatal-tawhid (ajaran meng-esakan Allah Swt. dan tidak
menyekutukanNya dengan yang lain) kepada kaumnya dan semua manusia, sedangkan“nabi”
hanya sebatas kaumnya dan sebatas memperbarui ajaran yang sudah ada sebelumnya, untuk
itulah Allah menyebutkan “rasulullah”(bentuk khusus) kepada Muhammad daripada
menyebutkan “nabyullah”saja (bentuk umum).

c. Kaidah Ketiga

ْ َ ‫نَفِ ْي ااْل َ ْد نَى أَ ْبلَ َغ ِم ْن نَفِ ِي اأْل‬


.‫علَى‬

Penegasian yang lebih kecil lebih besar maknanya dari pada penegasian yang lebih
besar.
Maksud kaidah ini ingin memperingatkan keberadaan sesuatu yang kecil di tengah
sesuatu yang besar, bukan untuk menunjukan bahwa sesuatu yang yang kecil itu lebih
istimewa.
Contohnya
1. Q.S. al-A’raf/7: 61.

‫ض ٰللَ ٌة َّو ٰلـ ِك ِّن ۡى َرس ُۡو ٌل م ِّۡن رَّ بِّ ۡال ٰعلَم ِۡي َن‬ َ ‫َقا َل ٰي َق ۡو ِم لَ ۡـي‬
َ ‫س ِب ۡى‬
Nuh menjawab, “hai kaumku, tak ada padaku kesesatan sedikitpun tetapi aku adalah
utusan dari tuhan semesta alam.”

Itu adalah jawaban dari nabi Nuh terhadap tuduhan kaumnya bahwa ia sesat skali,
dalam ayat sebelumnya.
Al-dhalal itu banyak,al-dhalalah satu, menafikannya satu lebih kuat. (artinya satu
kesesatan saj nabi nuh tidak memiliki apalagi lebih dari itu).

2. Q.S. al-Baqarah/2: 26

‫ض ًة َف َما َف ْو َق َها‬ ‫هّٰللا‬


َ ‫ب َمثَاًل مَّا َبع ُْو‬
َ ‫اِنَّ َ اَل َيسْ َتحْ ٓ ٖي اَنْ يَّضْ ِر‬

Sesungguhnya Allah tidak segan membuat perumpamaan seekor nyamuk atau yang
lebih kecil dari itu.

Seekor amuba saja yang begitu kecil (baru terlihat dalm mickroskop setelah di
besarkan 10.000 kali lipat) Allah tidak malu menyatakan sebagai tanda kekuasaanya (virus
dan bakteri besar kekuatannya), apa lagi yang lebih besar dari itu.

3. Q.S al-Nisa’/4: 40

ْ َ‫اِ َّن هّٰللا َ اَل ي‬


‫ظلِ ُم ِم ْثقَا َل َذ َّر ٍة‬

Allah tidak menganiaya seseorang walaupun sebesar zarrah.


d. Kaidah keempat

.‫ت بَ ْينَ ْال َكالَ َم ْي ِن بِ َجحْ َد ْي ِن َكا نَ ْالكَاَل ُم إِ ْخبَارًا‬


ْ ‫اجا َء‬
َ ‫العرب إِ َذ‬

Artinya:
Orang-orang Arab memahai bahwa jika ada di antara dua perkataan yang
menyangkali/mengingkari maka perkataan itu berita
Sudah menjadi kebiasaan Orang Arab jika terdapat dua ucapan/perkataan yang
tampaknya saling mengingkari atau bertolak belakang maka mereka memahaminya sebagai
berita yang tidak hanya dipahami tekstual semata melainkan ‘sebaliknya’, contoh dalam Q.S.
al-‘Anbiya’/21: 8 Allah berfirman:

َّ ‫َو َما َج َع ْل ٰن ُه ْم َج َس ًدا اَّل َيأْ ُكلُ ْو َن‬


‫الط َعا َم َو َما َكا ُن ْوا ٰخلِ ِدي َْن‬
Terjemahnya:

Dan kami tidak menjadikan mereka (rasul-rasul) suatu tubuh yang tidak memakan
makanan.
Secara tekstual ayat ini menerangkan bahwa Allah Swt. tidak menjadikan tubuh
mereka (para rasul) yang tidak butuh makanan, maksudnya adalah sesungguhnya Allah Swt.
menciptakan mereka dengan tubuh yang butuh makan. Tek-teks seperti ini redaksitekstual
dan kontekstualnya sepertinya cukup sulit untuk dipahami, karena harus “ditafsirkan” lebih
dalam lagi, meskipun telah diketahui inti maknanya, ayat-ayat seperti itu bagi orang Arab
hanya dianggap berita semata.
Untuk itu, Menurut ibnal-Jariral-Tabari(2001: 229)., takwil yang benar dan ayat ini
adalah

َ‫(ج َسدًا ال يَأْ ُكلُون‬،َ ‫ك‬ َ ِ‫ضيَ ِة قِب َْل أُ َّمت‬


ِ ‫ك يَا ْم َح َّمد إِلى األُ َم ِم ْال َما‬َ ِ‫و َما َج َع ْلنَا ال ُر ُس َل ال ِذ ْينَ أَر َس ْلنَاهُ ْم ِم ْن قَ ْبل‬
‫ َولَ ِكنَ َج َع ْلنَا هُم أَجْ َسادًا ِم ْثلُكَ يَأْ ُكلُونَ الطَّ َعا َم‬،‫الطَّ َعا َم ) لَ ْم نَ َّج َع ْلهُ ْم َماَل ِء َكة اَل يَأْ ُكلُو نَ الطَّ َعا َم‬
Artinya:
Dan tidaklah kami menjadikan rasul-rasul! yang kami utus sebelum kamu wahai
Muhammad kepada kaum-kaum terdahulu sebelum kaummu tubuh yang tidak
memakan makanan, kami tidak menjadikan mereka (seperti) malaikat yang tidak
memakan makanan akan tetapi kami jadikan mereka tubuh-tubuh seperti kamu yang
memakan makanan.
e. Kaidah Kelima

Vُ ُ‫ َوقَ ْدي َُرا ُدبِ ِه ْال ُو ق‬، ‫َاع‬


‫وف‬ ُ ‫ َوقَ ْدي َُرا ُد بِ ِه نَ ْف‬،‫ي ْالقَ ْد َر ِة َواإْل ِ ْم َكا ِن‬
ِ ‫ي اإْل ِ ْمتِن‬ ُ ‫ي اإْل ِ ْستِطَا َع ِة قَ ْد ي َُرا ُد بِ ِه نَ ْف‬ ُ ِ‫نَف‬
.‫بِ َم َشقَّ ٍة و ُك ْلفَ ٍة‬

Penegasian kemampuan adakalanya berarti penafian kekuatan dan kemungkinan


penafian penghalang, dan terjadinya sangat sulit dan berat.

Contoh:
1. Q.S. al-’Anbiya’/21: 40.

‫َفاَل َي ۡس َتطِ ۡيع ُۡو َن َر َّد َها‬

Maka mereka tidak sanggup menolaknya.

Siapapun tidak punya kesanggupan menolak datangnya hari kiamat, Lafal


layastathi’una secara bahasa berarti tidak sanggup. Allah menggunakan kata ini kepada orang
kafir menunjukkan ketidak-mampuan mereka ketika datang azab Allah Swt.
Logikanya, Allah sudah menjadikan dan menciptakan laki-laki dengan segala sifat
dan kehebatannya yang mampu dalam semua hal, tapi dengan segala kemampuan (‫)إستطاعة‬
laki-laki itu Allah sudah menentukan bahwa mereka “tidak sanggup melahirkan”. Lafal
“tidak sanggup” yang digunakan berbentuk menegasikan kernampuan laki-laki melahirkan,
sebenarnya yang diinginkan adalah “ketentuan laki-laki mustahil dapat melahirkan”. Jelas
bahwa sekalipun yang digunakan lafal-lafal al-nafyu/negasi “tidak sanggup” tetapi yang
َ ‫ي اإْل ِ ْستِطَا‬
diinginkan adalah ‫( القدرة‬kesanggupan). lnilah yang dimaksud dengan ‫ع ِة قَ ْد يُ َرا ُد‬ ُ ِ‫نَف‬
‫ي ْالقَ ْد َر ِة‬
ُ ‫بِ ِه نَ ْف‬

2. Q.S. al-Maidah/5: 122,

‫ُّك اَنْ ُّي َن ِّز َل َعلَ ْي َنا َم ۤا ِِٕٕى َد ًة م َِّن ال َّس َم ۤا ِء‬
َ ‫ٰۗ ي ِع ْي َسى اب َْن َمرْ َي َم َه ْل َيسْ َتطِ ْي ُع َرب‬

wahai Isa putra Maryam! sanggupkah tuhanmu menurunkan hidangan dan langit kepada
kami?”
Kaidah kedua; nafyual-istitha’ah (penegasian suatu kemampuan) dimaksudkan
nafyual-‘Imtana’ (penegasian suatu yang dihalangi). Contoh kaidah ini dapat dipahami
percakapan antara Isa dan pengikutnya yang setia, ketika itu mereka bertanya apakah Allah
sanggup menurunkan hidangan dari langit? Kemudian dijawab oleh Isa, bertakwalah ka1ian
kepada Allah jika kamu orang-orang beriman. Hakikatnya, pengikut Isa sudah tahu bahwa Isa
bisa menjawab pertanyaan mereka dan Allah sanggup menurunkan hidangan dari langit,
tetapi tujuan sesungguhnya dari pertanyaan ini adalah meminta penjelasan lanjut terkait
apakah ada larangan dan penolakan? Namun, sebagai pengikut Isa yang beriman kepada
Allah Swt. tidak layak bertanya demikian, apalagi meragukan kekuasanNya Allah Swt.
berfirman dalam
Contoh:
1. Q.S. al-Kahfi/18: 67

‫صبْرً ا‬ َ ‫ك لَنْ َتسْ َتطِ ي َْع َمع‬


َ ‫ِي‬ َ ‫َقا َل ِا َّن‬
Sungguh engkau tidak akan sanggup sabar bersamaku.

Itu adalah ucapan nabi Khidir kepada nabi musa, yang menunjukan bahwa ia akan
sangat sulit untuk sabar (tidak bisa sabar)
Kaidah ketiga; Nafyual-istitha’ah dimaksudkan berhenti (tidak sanggup) karena
masyaqqah (kesulitan) dan beban berat.

f. Kaidah Keenam

.‫ق بِ َما اَل يَ ُكو نُ فَقَ ْد نَفِ َي َكوْ نُهُ َعلَى أَ ْب َعد ْالو جُو ِه‬
َ ِّ‫ُكلْ أَ ْم ٍر قَ ْد ُعل‬

Semua persoalan yang di kaitkan dengan sesuatu yang tidak mungkin terjadi,
penegasian terjadinya sangat kuat.
Contoh:
1. Q.S. al-Zukhruf/43: 81 Allah

َ ‫ان لِلرَّ حْ ٰ َم ِن َولَ ٌد َفأ َ َنا أَ َّو ُل ْال َع ِابد‬


‫ِين‬ َ ‫قُ ْل إِنْ َك‬
Katakanlah (Muhammad) jika benar Tuhan Yang Maha Pengasih mempunyai anak,
maka akulah orang yang mula-mula memuliakan (anak itu).

Penutup ayat itu tidak mungkin di pahami bahwa nabi muhammad saw. Mungkin saja
menyembah selain allah. Makna pernyataan seperti itu adalah penolakan syirik yang amat
sangat, karena adanya anak mustahil bagi allah, sebagaiman di nyatakan firman-Nya (QS.
Maryam/19 :92)

g. Kaidah Ketujuh

. ُ‫ ُمبَا لَغَة فِ ْي النَّفِ ْي َوتَأْ ِك ْيدًالَه‬،‫ي ال َّشي ِء ُمقَيّدًا َو ْال ُم َر ا ُد نَ ْفيُهُ ُم ْتلَقًا‬
ُ ‫قَ ْد يَ ِر ُدنَ ْف‬
Penegasian sesuatu adakalanya di beri kaitan, sedangkan maksudnya penegasian
secara mutlak. Maknanya untuk menunjukan bahwa penegasian sangat kuat dan di
tekankan sekali.
Contohnya:
1. QS. Ali Imran/3: 21

ٍّ ‫ِب َغي ِْر َح‬


ۖ‫ق‬ ‫َو َي ْق ُتلُ ْو َن ال َّن ِب ٖ ّي َن‬
Dan membunuh para nabi tanpa hak

Kaitan adalah “tanpa hak”, pada hal membunuh nabi bagaimana pun mutlak perbuatan
tanpa hak. Ayat itu mengungkapkan demikian (bahwa mereka membunuh nabi nabi tanpa
hak, seakan akan ada hak/pembenaran dalam membunuh nabi nabi) adalah untuk menunjukan
penafian yang amat sangat, serta untuk menunjukan bahwa pembunuhan mereka (secara
mutlak) merupakan perbuatan yang sangat semena mena.
2. QS. Al-Baqarah/2: 41
ٖ‫َواَل َت ُك ْو ُن ْٓوا اَ َّو َل َكاف ۢ ٍِر ِبه‬
 Dan janganlah kamu menjadi orang yang pertama kafir kepadanya.

Itu adalah ungkapan larangan kafir yang sangat keras. Mereka secara mutlak di larang
kafir.

h. Kaidah Kedelapan
.‫َلز ُم نَفِ ْي ْال ُم َسا َوا ِة‬ ِ ‫ي ْالتَ ْف‬
ِ ‫ضي ِْل الَ يَ ْست‬ ُ ‫نَ ْف‬

Menegasikan sesuatu yang diutamakan tidak berarti menegasikan yang sama.

Kaidah ini menerangkan bahwa ketika Allah menyebutkan suatu perkara penting yang
sepertinya sama, kemudian Allah mempertanyakan hal itu dengan lafal ‫( تقضل‬yang lebih....)
seperti “siapakah yang lebih zalim”, dan semacamnya seakan-akan ingin memnadingkan
segala perbuatan yang sama itu, padahal fungsi penyebutan itu adalah ingin menegaskan
bahwa tidak adalagi perbuatan yang lebih zalim daripada apa yang dilakukan sebagian
makhluk-Nya dalam perkara tertentu.
Contohnya:
1. Q.S. al-Baqarah/2: 114

‫َو َمنْ اَ ْظلَ ُم ِممَّنْ َّم َن َع َم ٰس ِج َد هّٰللا ِ اَنْ ي ُّْذ َك َر فِ ْي َها اسْ م ُٗه‬
Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang melarang di dalam masjid -
masjid Allah untuk menyebut namaNya

Maksudnya, begitu banyak perbuatan zalim,tetapi untuk yang satu ini sudah tidak ada
lagi perbuatan yang lebih zalim di kalangan makhluk-Nya dan kezaliman seseorang yang
melarang nama Allah disebut (beribadah) dalam masjid-Nya.
i. Kaidah Kesembilan
.‫ َواَل يَل َز ُم ِم ْن نَ ْفيِ ِه نَ ْف ِي اأْل َ وْ لَ ِويَّ ِة ُمقَا بَلَة‬،‫ح اَل يَ ُد ُل َعلَى ْال َع ِز ْي َم ِة‬
ِ ‫نفي ال ُجنَا‬

Penegasian dosa tidak tidak berarti menunjukan kemestian, namun penegasian itu
tidak berarti memastikan penegasian kelebihutamaan yang sebaliknya.
Contohnya:
1. Q.S. al-Nisa/4: 101

‫صر ُۡوا م َِن الص َّٰلو ِة‬


ُ ‫س َعلَ ۡي ُكمۡ ُج َنا ٌح اَ ۡن َت ۡق‬ ِ ‫ض َر ۡب ُتمۡ فِى ااۡل َ ۡر‬
َ ‫ض َفلَ ۡي‬ َ ‫َو ِا َذا‬
Dan apabila kamu bepergian di bumi, maka tidaklah berdosa kamu meng-qashar
salat.
.
Ayat ini dilihat dan lafazhnya hanya menunjukkan jika seseorang melakukan
perjalanan dan ingin terbebas dan kesulitan (perjalanan) itu maka perlu melaksanakansalat
qashar, artinya ayat ini tidak mutlak mewajibkan seseorang meng-qasarsalat pada semua
perjalanan. Adapun mencari keterangan detail melebihi pesan ayat ini, seperti dalil kewajiban
salat qashar, maka perlu mencari dalil lain.

j. Kaidah Kesepuluh

‫ي ْال ِح ِّل يَ ْست َْلز ُم التَّحْ ِر يْم‬


ُ ِ‫نَف‬

Menafikan halal memestikan keharaman.

Contoh:
1. Q.S. al-Baqarah/2: 230

‫َفاِنْ َطلَّ َق َها َفاَل َت ِح ُّل لَ ٗه م ِۢنْ َبعْ ُد َح ٰ ّتى َت ْنك َِح َز ْوجً ا َغي َْره‬
Kemudian jika dia menceraikannya (setelah talak kedua) maka perempuan itu tidak
halal lagi baginya sebelum dia menikah dengan sumi yang lain.

Istri pada dasarnya halal bagi suami,tetapi akan menjadi tidak halal karena talak
(perceraian). Untuk itu, syarat Islam sudah menjelaskan meskipun talak dibolehkan Allah
tetapi secara tidak langsung menjadikan istri yang ditalak haram bagi suaminya, kecuali jika
mantan istrinya itu telah menikah sah dengan laki-laki lain dan ditalak sah (legal tanpa
ِ V ْ‫ت َْلز ُم التَّح‬V ‫ لِّ يَ ْس‬V‫ي ْال ِح‬
rekayasa), inilah yang dimaksud kaidah di atas ‫ر يْم‬ ُ ِ‫( نَف‬menegasikan
sesuatu yang halal bermaksud pengharaman).
k.Kaidah Kesebelas

‫ا ِء‬VVَ‫ أَوْ اِل ْنتِف‬،‫فِ ِه‬V‫ص‬


ْ ‫ا ِل َو‬VV‫ د َِم َك َم‬V‫ لِ َع‬،ً‫و َدة‬Vُ‫و ج‬VV‫هُ َم‬Vُ‫و َرت‬V‫ض‬ ْ ‫ا ن‬VV‫ا َوإِ ْن َك‬V‫ان َر ْأ ًس‬
ُ ‫َت‬ ِ ‫قَ ْد يُ ْنفَي ال َّشى ُء فِ ْي ْالقُر‬
.‫ثَ َم َرتِ ِه‬
Terkadang ditiadakan sesuatu yang mendasar dalam Alquran meski wujudnya ada,
disebabkan tidak sempurnanya sifat sesuatu itu atau untuk membuang hasilnya.
Maksud dari kaidah ini, ketika Allah Swt. menegasikan sesuatu maka sesuatu itu
sekalipun memiliki kesamaan wujud dianggap tidak sempurna dan tidak bermanfaat,karena
kesempurnaan sesuatu hanyalah Allah Swt. yang mengetahui, dan Dia semata yang
menentukannya. Contoh aplikasinya Q.S. Thaha/20: 74 Allah Swt. berfirman:

‫ت فِ ْي َها َواَل َيحْ ٰيى‬


ُ ‫اَل َيم ُْو‬

Terjemahnya:
Dia tidak mati (terus merasakan azab) di dalamnya dan tidak (pula) hidup.
Kematian di mata manusia adalah ketika seseorang sudah dikuburkan, padahal di mata
Allah itu bukanlah kematian, melainkan pindah dari alam dunia ke alam kubur, maka benar
jika Allah mengatakan “dia tidak mati” karena hakikatnya dia hidup dan merasakan azab
pedih dalam kubur. Sedangkan kematian sebenarnya menurut Allah Swt. adalah menuju
peristirahatan yang damai bukan hilangnya/terputusnya ruh dan jasad manusia.

l. .Kaidah Keduabelas

ِّ ‫ت ْال َمو صُو فَة قد يَ ُكو نُ نَ ْفيًا لِل‬


‫ َوقَد يَ ُكو نُ نَ ْفيًا لل َّذ ا ت َك َذالِك‬، ‫صفة ُدوْ نَ ال ِّذ ات‬ ِ ‫نفي ال َذ ا‬
Menafikan dzat yang di sifati dengan suatu sifat tertentu, adakalanya yang dimaksud
adalah menafikan sifatnya saja dan bukan menafikan dzatnya, dan ada kalanya yang
di maksud adalah menafikan baik dzatnya maupun sifatnya.
Kaidah pertama; peniadaan zat yang disifati adalah peniadaan untuk sifat semata,
bukan zatnya.
Contoh:
1. Q.S. al-’Anbiya’/21: 8

َّ ‫َو َما َج َع ْل ٰن ُه ْم َج َس ًدا اَّل َيأْ ُكلُ ْو َن‬


‫الط َعا َم َو َما َكا ُن ْوا ٰخلِ ِدي َْن‬

Dan tidaklah Kami jadikan mereka tubuh-tubuh yang tiada memakan makanan, dan
tidak pula mereka itu orang-orang yang kekal.

Pada hakikatnya tubuh mereka itu memakan makanan sedangkan penyebutan “tiada
memakan makanan” hanya ditujukan kepada sifatnya saja bukan zatnya (tubuh).
Kaidah kedua; peniadaan zat yang disifati adalah peniadaan untuk sifat dan zatnya.
2. Q.S. al-Mudatstsir/74: 48

ّ ٰ ‫اع ُة ال‬
‫شفِ ِعي ۗ َْن‬ َ ‫َف َما َت ْن َف ُع ُه ْم َش َف‬
Maka tidak berguna lagi bagi mereka syafaat dan orang-orang yang membcrikan
syafaat.

Maksudnya, pada hakikatnya mereka (orang kafir) memang tidak memiliki syafaat
baik sifat maupun zatnya. maka kedua-duanya di-nafi-kan oleh Allah Swt.

m. Kaidah Ketigabelas

ِ ‫ إل ْثبا ت َك َما ِل‬V‫ض ِّمنًا‬


.‫ضده‬ َ َ‫ي ال َم ْقصُو ُد بِ ِه الد ح اَل بُ ِّد ِم ْن أَن يَ ُكو نَ ُمت‬
ُ ‫الن ْف‬
Menafikan sesuatu apabila di maksud untuk memuji, mengandung menetapkan segala
sesuatu yang berlawanan dengan yang di nafikan itu

Maksudnya, sesuatu yang menjadi objek berupa pujian harus menjadi penguat
fungsinya demi kesempurnaan antonimnya. Contoh Q.S. al-Kahfi/18: 49 Allah Swt.
berfirman:

َ َ‫ا‬
‫ح ًدا‬ َ ‫َواَل َي ْظلِ ُم َرب‬
‫ُّك‬
Dan Tuhanmu tidak menzalimi seorang jua pun.

Lafal layazhlimu (tidak menzlimi) adalah pujian penggunaan dimaksudkan untuk


menunjukkan kemahaadilanAllah Swt. (antonimnya).

BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Kaidahal-nafyu adalah bentuk peniadaan berupa keterangan, lafal dan semacamnya
dalam Alquran yang memiliki fungsi beragam. Adapun kaidah-kaidah yang dimaksud antara
lain adalah:
1. Ditegaskan dalam Alquran bahwa sesungguhnya Allah Swt. jika
menegasikan/meniadakan sesuatu dari makhluk dan menetapkannya untuk diri-Nya
sendiri (maka) tida ada bagi Allah dalam ketetapan itu sekutu.
2. -Nafyu al-‘Amm (penegasian dalam bentuk umum) lebih baik dari nafyu al-khash
(penegasian dalam bentuk khusus).
-Itsbat al-khash (penetapan dalam bentuk khusus) lebih baik dari itsbat al-‘amm
(penetapan dalam bentuk umum).
3. Penyebutan nafyu al-adna (penegasian sesuatu yang lebih rendah) lebih memadai dari
pada nafyu al-‘a’la (penegasian sesuatu yang lebih tinggi)
4. Orang-orang Arab memahami bahwa jika ada diantara dua perkataan yang
menyangkali/mengingkari maka perkataan itu berita.
5. Bentuk nafyu al-istitha’ah (penegasian sesuatu kemampuan) dimaksudkan adalah
nafyu al-qudrah (penegasian suatu ketentuan) dari nafyu al-imkan (penegasian suatu
kesanggupan), atau dimaksudkannafyu al-imtina’ (penegasian suatu yang dihalangi)
dan boleh juga dimakdukan berhenti (tida
k sanggup karena masyaqqah (kesulitan) dan beban berat.
Setiap urusan yang dikaitkan dengan apa yang tidak (akan) terjadi/tidak ada, maka
dinegasikan keberadaannya sejauh mungkin (mustahil)
6. Terkadang adanya penegasan sesuatu yang muqayyad (sesuatu yang terikat dengan sifat
atau syarat atau ketentuan tertentu) dan dimaksudkan menegasikan yang muthlaq
(sesuatu yang tidak terikat sifat atau syarat atau ketentuan tertentu), adalah mubalagah
dalam penegasian itu dan penegasan untuk.
7. Menegasikan sesuatu yang diutamakan tidak berarti menegasikan yang sama.
8. Nafyu al-junah (menegasikan kesulitan) tidak menunjukkan kewajiban dan tidak
mengharuskan penegasiannya, bentuk negasi prioritas yang dihadapi.
9. nafyu al-hilli (menegasikan sesuatu yang halal) bermaksud al-tahrim
(pengharaman).
10. Terkadang ditiadakan sesuatu yang mendasar dalam Alquran meski wujudnya ada,
disebabkan tidak sempurnanya sifat sesuatu itu atau untuk membuang hasilnya.
11. Me-nafi-kan zat yang disifati adalah nafyu (penegasian) untuk sifat semata bukan
zatnya dan boleh jadi nafyu terhadap zatnya juga.
12. Nafyu (negasi) yang bermaksud pujian harus menjadi penguat dalam menetapkan
kesempurnaan antonim.
Demikian penjelasan dan pemaparan singkat dari kaidahal-nafyu yang penulis
hadirkan dalam makalah ini, semoga bermanfaat dalam rangka memahami dan
menkonteksualkan teks-teks langit.

DAFTAR PUSTAKA

‘Ak,Khalid Abd al-Rahman al-. 1986. Usul al-Tafsir wa Qawa’iduhu.Cet. II; Bairut: Dar al-
Nafa’is [softwer].
‘Uthaimin, Muhammad ibn Salih al-. 2008. “Ushulun fi al-Tafsir”.Terj. Abu Abdillah Ibnu
Rasto, Kaedah Menafsirkan al-Qur’an. Cet. I; Sidodadi: Pustaka Ar-Rayyan.
Alusi, Syihabuddin Mahmud ibn ‘Abdillah al-Husayni al-. Ruh al-Ma’ani fi Tafsir al-Qur’an
al-Azim wa al-Sab’ul al-Matsani.dalam al-Maktabat al-Syamilah, ver. 2 [software].
Bagaqi, Abu Muhammad al-Husayn ibn as’ud al-. t.th. Ma’alim al-Tanzil.Juz VIII, Dar al-
Nasyr wa al-Tauzi’dalam al-Maktabat al-Syamilah, ver. 2 [software].
Chirzin, Muhammad. 1998. al-Qur’an dan Ulumul Qur’an.Yogyakarta: Dana Bhakti Prima
Yasa.
Departemen Agama R.I. 2005.Al-Qur’an dan Terjemahannya.Jakarta: Yayasan
Penyelenggara Penerjemah al-Qur’an, al-Huda Kelompok Gema Insani.
Hanafi, Ibnu Abi al-‘Izz al-. 2005. Sharh al-‘Aqidah al-Tahawiyyah.Chairo: Dar al-‘Aqidah.
Hassan, Abdul Qadir. t.th. Ushul Fiqih.Bangil: Yayasan al-Muslimun.
Ibn ‘Asyur, Thahir. al-Tahrir wa al-Tanwirdalam al-Muktabat al-Syamilah ver. 2 [software].
Jurjani, al-.al-Ta’rifat.dalam al-Maktabat al-Syamilah, ver. 2 [softwer].
Maliki, al-Sayyid ‘Alwi ibn Sayyid’Abbas al-. t.th. Faidu al-Khabir wa Khulasatu al-Taqrir
‘ala Nahji al-Tasyir: Syarh Manzumat al-Tafsir.Surabaya: Muktabat al-Hidayah.
Mishri, Muhammad ibn Mukarram ibn Mandzur al-Afriqi al-. t.th. Lisan al-Arab.Juz XV,
Cet. I; Beirut: dar Sadir, dalam al-Maktabat al-Syamilah, ver. 2 [softwer].
Quraisyi,Abu al-Fida’ ‘Isma’il ibn ‘Umar ibn Kathir al-. 1990. Tafsir Ibn Katsir. Juz III, Cet.
II; t.t.: Dar al-Thayyibah li al-Nasyr wa al-Tauzi’dalam al-Maktabat al-Syamilah
ver. 2 [software].
Qurthubi, Syamsuddin al-. t.th. Tafsir al-Qurthubi.Juz I, Cet. I; Beirut: Dar Shadirdalam a-
Maktabat al-Samilah, ver. 2 [software].
Sabt, Kahlid ibn ‘Uthman al-. 1997. Mukhtasar fi Qawa’id al-Tafsir.Cet. I; al-Mamlakah al-
‘Arabiyyah al-Sa’udiyyah: Dar ibn ‘Affan.
Sabt, Khalid ibn ‘Uthman al-. 1421 H. Qawa’id al-Tafsir Jam’an wa Dirasatan.Jilid II, Cet.
I; t.t.: Dar ibn ‘Affan.
Suyti, Jalal al-Din al-.al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an. dalam al-Maktabat al-Syamilah, ver. 2
[softwer]
Thabari, Abu Ja’far Muhammad ibn Jarir al-. 2001. Tafsir al-Tabari: Jami’ al-Bayan ‘an
Ta’wil Ay al-Qur’an.Juz XVI, Cet. I; Cairo: Markaz al-Buhuth wa al-Dirasat
al-‘Arabiyyat al-Islamiyyah.
Tuwayjiri, Muhammad Ibrahim ibn ‘Abdullah al-. 2005. Mukhtasar al-Fiqhi al-Islami.Cet. I;
Riyadh: Bayt al-Afkar al-Duliyyah.
Zarkasyi, Muhammad ibn Bahadur ibn ‘Abdillah al-. 1931. al-Burhan fi ‘Ulum al-Quran.Juz
3, Beirut: Dar al-Ma’rifah, dalam al-Maktabat al-Syamilah, ver. 2 [software].

Anda mungkin juga menyukai