Anda di halaman 1dari 52

ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK DENGAN DOWN SYNDROME

Makalah ini ditulis untuk memenuhi salah satu tugas Keperawatan Anak III

Disusun Oleh :

Nama : Westy Ayuningtyas

BP : 1911311023

JURUSAN ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS ANDALAS

2021

1
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang. Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah Keperawatan Anak III.

Makalah ini telah saya susun dengan maksimal dan terlepas dari semua itu,
saya menyadari sepenuhya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi susunan
kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka saya
menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar saya dapat memperbaiki
makalah ini.

Akhir kata saya berharap semoga makalah Keperawatan Anak III ini dapat
memberikan manfaat terhadap pembaca.

Batusangkar, 20 September 2021

Westy Ayuningtyas

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...........................................................................................2

DAFTAR ISI..........................................................................................................3

BAB I PENDAHULUAN......................................................................................5

A. Latar Belakang...................................................................................................5

B. Tujuan.................................................................................................................5

BAB II TINJAUAN TEORITIS...........................................................................7

A. Konsep Dasar.....................................................................................................7

1. Defenisi Down Syndrome...................................................................................7

2. Etiologi................................................................................................................7

3. Patofisiologi........................................................................................................8

4. Pemeriksaan Diagnostik....................................................................................10

5. Penatalaksanaan Medis.....................................................................................11

6. Komplikasi........................................................................................................15

7. Prognosis...........................................................................................................16

B. Asuhan Keperawatan........................................................................................16

1. Pengkajian.........................................................................................................16

2. Diagnosa Keperawatan......................................................................................20

3. Intervensi Keperawatan.....................................................................................21

4. Evaluasi Keperawatan.......................................................................................27

BAB III ASUHAN KEPERAWATAN KASUS................................................28

1. Pengkajian.........................................................................................................28

3
2. Analisis Data.....................................................................................................31

3. Diagnosa Keperawatan......................................................................................32

4. Intervensi & Implementasi Keperawatan..........................................................32

5. Evaluasi Keperawatan.......................................................................................33

BAB IV ANALISIS JURNAL............................................................................35

BAB V PENUTUP...............................................................................................37

A. Kesimpulan.......................................................................................................37

B. Saran.................................................................................................................38

DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................39

Lampiran Jurnal.................................................................................................40

4
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Down syndrome adalah kelainan genetik yang terjadi pada masa


pertumbuhan janin (pada kromosom 21/trisomi 21) dengan gejala yang sangat
bervariasi dan gejala minimal sampai muncul tanda khas berupa keterbelakangan
mental dengan tingkat IQ kurang dari 70 serta bentuk muka (Mongoloid) dan
garis telapak tangan yang khas (Riskesdas, 2013).

Down syndrome adalah abnormalitas jumlah kromosom yang sering di


jumpai kebanyakan kasus (92,5%) nondisjunction pada 80% kasus kejadian
nondisjunction nondisjunction terjadi pada meosis ibu fase I. Hasil dari
nondisjunction adalah tiga kopi kromosom 21 (trimosom 21) berdasarkan
nomenklatur standar sitogenik trisomi 21 dituliskan sebagai 47, XX, +21
(Marcdane & Kliegman, 2014).

Down Syndrome merupakan kelainan kromosom autosomal yang paling


banyak terjadi pada manusia, di perkirakan 20% anak dengan down syndrome di
lahirkan oleh ibu yang berusia di atas 35 tahun. Down Syndrome merupakan
cacat bawaan yang di sebabkan oleh adanya kelebihan kromosom X. Syndrome
ini juga di sebut trysomi 21, karena 3 dari 21 kromosom menggantikan yang
normal, 95% kasus down syndrome di sebabkan oleh kelebihan kromosom
(Nurarif, 2015).

B. Tujuan

1. Mengetahui Defenisi Down Syndrome

2. Mengetahui Etiologi Down Syndrome

3. Mengetahui Patofisiologi (Patoflow) Down Syndrome

4. Mengetahui Pemeriksaan Diagnostik Down Syndrome

5. Mengetahui Penatalaksanaan Medis Down Syndrome

5
6. Mengatahui Komplikasi Down Syndrome

7. Mengetahui Prognosis Down Syndrome

8. Mengetahui Asuhan Keperawatan Anak dengan Down Syndrome

6
BAB II

TINJAUAN TEORITIS

A. Konsep Dasar

1. Defenisi Down Syndrome

Down syndrome adalah abnormalitas jumlah kromosom yang sering di


jumpai kebanyakan kasus (92,5%) nondisjunction pada 80% kasus kejadian
nondisjunction nondisjunction terjadi pada meosis ibu fase I. Hasil dari
nondisjunction adalah tiga kopi kromosom 21 (trimosom 21) berdasarkan
nomenklatur standar sitogenik trisomi 21 dituliskan sebagai 47, XX, +21
(Marcdane & Kliegman, 2014).

Down syndrome merupakan suatu kondisi keterbelakangan fisik dan mental


yang di akibatkan adanya abnormalitas perkembangan kromosom yang gagal
memisahkan diri saat terjadi pembelahan (Wiyani, 2014). Kelainan bawaan sejak
lahir yang terjadi pada 1 antara 800-900 bayi. Mongolisma ( Down Syndrome)
ditandai oleh kelainan jiwa atau cacat mental mulai dari yang sedang sampai
berat. Tetapi hampir semua anak yang menderita kelainan ini dapat belajar
membaca dan merawat dirinya sendiri (Nurarif, 2015).

Down Syndrome merupakan kelainan kromosom autosomal yang paling


banyak terjadi pada manusia, di perkirakan 20% anak dengan down syndrome di
lahirkan oleh ibu yang berusia di atas 35 tahun. Down Syndrome merupakan
cacat bawaan yang di sebabkan oleh adanya kelebihan kromosom X. Syndrome
ini juga di sebut trysomi 21, karena 3 dari 21 kromosom menggantikan yang
normal, 95% kasus down syndrome di sebabkan oleh kelebihan kromosom
(Nurarif, 2015).

2. Etiologi

Menurut Soetjiningsih (2016) down syndrome pada anak terjadi karena


kelainan kromosom. Kelainan kromosom kemungkinan di sebabkan oleh :

7
a. Faktor Genetik

Keluarga mempunyai anak dengan down syndrome memiliki kemungkinan


lebih besar keturunan berikutnya mengalami down syndrome dibandingkan
dengan keluarga yang tidak memiliki anak dengan down syndrome.

b. Usia Ibu Hamil

Usia ibu hamil yang di atas 35 tahun kemungkinan melahirkan anak dengan
down syndrome semakin besar karena berhubungan dengan perubahan endokrin
terutama hormon seks, antara lain : peningkatan sekresi androgen, peningkatan
kadar LH (Luteinizing Hormone) dan peningkatan kadas FSH (Follicular
Stimulating Hormone).

c. Radiasi

Ibu hamil yang terkena atau pernah terkena paparan radiasi terutama di area
sekitar perut memiliki kemungkinan untun melahirkan anak dengan down
syndrome.

d. Autoimun

Autoimun tiroid pada ibu yang melahirkan anak down syndrome berbeda
dengan ibu yang melahirkan anak normal.

e. Umur Ayah

Kasus kelebihan kromosom 21 sekitar 20-30% bersumber dari ayahnya

3. Patofisiologi (Patoflow)

Down syndrome di sebabkan adanya kelainan pada perkembangan


kromosom. Kromosom merupakan serat khusus yang terdapat pada setiap sel
tubuh manusia dan mengandung bahan genetik yang menentukan sifat-sifat
seseorang. Pada bayi normal akan terdapat 46 kromosom (23 pasang) di mana
kromosom nomor 21 berjumlah 2 buah (sepasang). Bayi dengan penyakit down
syndrome memiliki 47 kromosom karena kromosom nomor 21 berjumlah 3 buah.
Kelebihan 1 kromosom (nomor 21) atau dalam bahasa medisnya disebut trisomi-
21 ini terjadi akibat kegagalan sepasang kromosom 21 untuk saling memisahkan

8
diri saat terjadi pemisahan. Akibat dari ekstrakromosom muncul fenotip dengan
kode (21q22.3) yang bertanggung jawab atas gambaran wajah, kelainan pada
tangan dan retardasi mental.

Trisomi-21 menyebabkan fisik penderita down syndrome tampak berbeda


dengan orang-orang umumnya. Selain ciri khas pada wajah, mereka juga
mempunyai tangan yang lebih kecil, jari-jari pendek dan kelingking bengkok.
Keistimewaan lain yang dimiliki oleh penderita down syndrome adalah adanya
garis melintang yang unik di telapak tangan mereka. Garis yang disebut
simiancrease ini juga terdapat di kaki penderita down syndrome, yaitu antara
telunjuk dan ibu jari yang berjauhan (Sandal Foot). Anak dengan down syndrome
lahir semua perbedaan sudah terlihat dan karena memiliki sel otak yang lebih
sedikit, maka anak dengan down syndrome lebih lambat dalam perkembangan
kognitifnya.

WOC

9
4. Pemeriksaan Diagnostik

Pemeriksaan diagnostik digunakan untuk mendeteksi adanya kelainan down


syndrome, ada beberapa pemeriksaan yang dapat membantu menegakkan
diagnosa ini, antara lain :

1) Pemeriksaan fisik penderita

2) Pemeriksaan kromosom

Kariotip manusia biasa hadir sebagai 46 autosom + XX atau 46


autosom+XY, menunjukkan 46 kromosom dengan aturan XY bagi jantan,
tetapi pada down syndrome terjadi kelainan pada kromosom ke 21 dengan
bentuk trisomi atau translokasi kromosom 12 dan 22. Kemungkinan terulang
pada kasus (trisomi adalah sekitar 1% sedangkan translokasi kromosom 5-
15%).

3) Ultrasonography (didapatkan brachycepahalic, sutura dan fontela


terlambat menutup, tulang ileum dan syapnya melebar).

4) ECG (terdapat kelainan jantung)

10
5) Echocardiogram untuk mengetahui ada tidaknya kelainan jantung bawaan
mungkin terdapat ASD atau VSD

6) Pemeriksaan Darah (percutaneus umbilical blood sampling) salah satunya


adalah dengan adanya leukimia akut menyebabkan penderita semakin rentan
terkena infeksi, sehingga penderita ini memerlukan monitoring serta
pemberian terapi pencegah infeksi yang adekuat.

7) Penentuan Aspek Keturunan

8) Dapat ditegakkan melalui pemeriksaan cairan amnion atau korion


kehamilan minimal 3 bulan, terutama kehamilan di usia diatas 35 tahun keatas
(Nurarif, 2015).

5. Penatalaksanaan Medis

Sampai saat ini belum di temukan metode pengobatan yang paling


efektif untuk mengatasi kelainan ini. Pada tahap perkembangannya penderita
down syndrome juga dapat mengalami kemunduran sistem penglihatan,
pendengaran maupun kemampuan fisiknya mengingat tonus otot-otot yang
lemah. Dengan demikian anak yang terkena down syndrome harus
mendapatkan dukungan maupun informasi yang cukup serta kemudahan
dalam menggunakan sarana atau fasilitas yang sesuai.

1) Pencegahan

Pencegahan terhadap down syndrome dapat dilakukan dengan beberapa cara,


yaitu :

a. Konseling Genetik maupun amniosentesis pada kehamilan yang di curigai akan


sangat membantu mengurangi angka kejadian down syndrome

b. Biologi Molekuler, misalnya dengan “gane targeting” atau yang dikenal


dengan “homologous recombination” sebuah gen dapat di nonaktifkan

2) Penanganan Secara Medis

a. Pendengarannya : sekitar 70-8-% anak dengan down syndrome terdapat


gangguan pendengaran dilakukan tes pendengaran oleh THT sejak dini

11
b. Penyakit jantung bawaan

c. Penglihatan : perli evaluasi sejak dini

d. Nutrisi : akan terjadi gangguan pertumbuhan pada masa bayi/pra sekolah

e. Kelainan tulang : Dislokasi patela, subluksasio pangkal paha/ketidakstabilan


atlantoaksial. Bila keadaan terakhir ini sampai menimbulkan medula spinalis atau
bila anak memegang kepalanya dalam posisi seperti torkikolit, maka perlu
pemeriksaan radiologis untuk memeriksa spina servikalis dan diperlukan
konsultasi neurologis

3) Pendidikan

a. Intervensi Dini

Program ini dapat dipakai sebagai pedoman bagi orangtua untuk memberi
lingkungan yang memadai bagi anak dengan down syndrome. Tujuannya untuk
latihan motorik kasar dan halus serta petunjuk agar anak mampu berbahasa.
Selain itu agar anak mampu mandiri seperti berpakaian, makan, belajar,
BAK/BAB dan mandi

b. Taman Bermain

Misalnya dengan peningkatan keterampilan motorik kasar dan halus melalui


bermain dengan temannya, karena anak dapat melakukan interaksi sosial dengan
temannya

c. Pemdidikan Khusus (SLB-C)

Anak akan mendapat perasaan tentang identitas personal =, harga diri dan
kesenangan. Selain itu mengasah perkembangan fisik, akademis dan kemampuan
sosial, bekerja dengan baik dan menjalin hubungan baik

4) Penyuluhan Pada Orangtua

a. Berikan nutrisi yang memadai

- Lihat kemampuan anak untuk menelan

12
- Beri informasi pada orangtua cara yang tepat/benar dalam memberi makanan
yang baik

- Berikan nutrisi yang baik pada anak dengan gizi yang baik

b. Anjurkan orangtua untuk memeriksakan pendengaran dan penglihatan secara


rutin

c. Gali pengertian orangtua mengenai down syndrome :

- Beri penjelasan pada orangtua tentang keadaan anaknya

- Beri informasi pada orangtua tentang perawatan anak dengan down syndrome

d. Motivasi orangtua agar :

- Memberi kesempatan anak untuk bermain dengan teman sebaya agar anak
mudah bersosialisai

- Memberi keleluasaan/kebebasan pada anak untuk berekspresi

e. Berikan motivasi pada orangtua agar memberi lingkungan yang memadai pada
anak

- Dorong partisipasi orangtua dalam memberi latihan motorik kasar dan halus
serta petunjuk agar anak mampu berbahasa

- Beri motivasi pada orangtua dalam memberi latihan pada anak dalam aktivitas
sehari-hari

Penatalaksaan lainnya yang dapat dilakukan pada down syndrome antara lain :

1. Stimulasi dini

Stimulasi sedini mungkin kepada bayi yang down syndrome, terapi bicara,
olah tubuh karena otot-ototnya cenderung lemah. Memberikan rangsangan-
rangsangan dengan permainan layaknya pada anak normal, walaupun respons dan
daya tangkap tidak sama bahkan mungkin sangat minim karena keterbatasan
intelektualnya

2. Pembedahan

13
Biasanya dilakukan pada penderita untuk mengoreksi adanya defek pada
jantung, meningat sebagian besar penderita lebih cepat meninggal akibat adanya
kelainan pada jantung

3. Fisioterapi

Penanganan fisioterapi menggunakan tahap perkembangan motorik kasar


untuk mencapai manfaat yang maksimal dan menguntungkan untuk tahap
perkembangan yang berkelanjutan. Tujuan dari fisioterapi disini adalah
membantu anak mencapai perkembangan terpenting secara maksimal bagi sang
anak, yang bukan berarti untuk menyembuhkan penyakit down syndrome yang
dideritanya

4. Terapi wicara

Suatu terapi yang diperlukan untuk anak down syndrome yang mengalami
keterlambatan bicara dan pemahaman kosa kata. Saat ini sudah banyak sekali
jenis-jenis terapi yang bisa di manfaatkan untuk tumbuh kembang anak dengan
down syndrome misalnya terapi okupasi. Terapi ini diberikan untuk melatih anak
dalam hal kemandirian, kognitif/pemahaman, kemampuan sensorik dan
motoriknya

5. Terapi remedial

Terapi ini diberikan bagi anak yang mengalami gangguan kemampuan


akademis dan yang dijadikan acuan terapi ini adalah bahan-bahan pelajaran dari
sekolah biasa

6. Terapi sensori integrasi

Sensori integrasi adalah ketidakmampuan mengolah rangsangan/sensori yang


diterima. Terapi ini diberikan bagi anak dengan down syndrome yang mengalami
gangguan integrasi sensori misalnya : pengendalian sikap tubuh, motorik kasar,
motorik halus dan lain-lain. Dengan terapi ini anak diajarkan melakukan aktivitas
dengan terarah sehingga kemampuan otak akan meningkat

7. Terapi tingkah laku (Behaviour Theraphy)

14
Mengajarkan anak down syndrome yang sudah berusia lebih besar agar
memahami tingkah laku yang sesuai dan yang tidak sesuai dengan norma-norma
dan aturan yang berlaku di masyarakat

8. Terapi alternatif

Penanganan yang dilakukan oleh orangtua tidak hanya penangangan medis


tetap juga dilakukan penanganan alternatif. Hanya saja terapi jenis ini masih
belum pasti manfaatnya secara akurat karena belum banyak penelitian yang
membuktikan manfaatnya, meskipun banyak pihak yang mengatakan dapat
menyembuhkan down syndrome. Orangtua harus bijaksana memilih terapi
alternatif ini dan jangan sampai terjebak dengan janji bahwa down syndrome
pada sang anak akan bisa hilang karena pada kenyataannya tidaklah mungkin
down syndrome bisa hilang. Terapi alternatif tersebut diantaranya: Terapi
Akupuntur, Terapi Musik, Terapi Lumba-Lumba dan Terapi Craniosacral

6. Komplikasi

Menurut Bernstein & Shelov (2016), kelainan yang akan di alami anak
penderita down syndrome antara lain kelainan saluran cerna (Atresia duodenum,
pancreas anular,anus imperforate), defek neurologic (hipotonia,kejang), kelainan
tulang dan kelainan hematologic

Menurut Nurarif (2015), komplikasi Down Syndrome antara lain :

a. Sakit jantung berlubang (misalnya: defek septum atrium atau ventrikel


tetralogi fallot)

b. Mudah mendapat selesema, radang tenggorokan dan radang paru-paru

c. Kurang pendengaran

d. Lambat/bermasalah dalam berbicara

e. Penglihatan kurang jelas

f. Retardasi mental

g. Penyakit azheimer (penyakit kemunduran susunan saraf pusat)

15
h. Leukimia (penyakit dimana sel darah putih melipat ganda tanpa
terkendalikan)

7. Prognosis

Survive rate penderita down syndrome umumnya hingga usia 50 tahun.


Selain perkembangan fisik dan mental terganggu, juga ditemukan berbagai
kelainan jantung bawaan, seperti defek septum ventrikel yang memperburuk
prognosis. Sebesar 44% penderita down syndrome hidup sampai 50 tahunn dan
hasilnya 14% hidup sampai 68 tahun. Meningkatnya risiko terkena leukemia pada
down syndrome adalah 15 kali dari po[ulasi normal. Penyakit alzheimer yang
lebih dini akan menurunkan harapan hidup setelah umur 44 tahun

Beberapa penderita down syndrome mengalami hal-hal berikut :

a. Gangguan pendengaran akibat infeksi telinga berulang dan otitis serosa

b. Gangguan penglihatan karena adanya perubahan pada lensa dan kornea

c. Pada usia 30 tahun menderita demensia (berupa hilang ingatan, penurunan


kecerdasan dan kepribadian)

Tingginya angka kejadian penyakit jantung bawaan pada penderita down


syndrome yang mengakibatkan 80% kematian. Anak-anak dengan down
syndrome memiliki risiko tinggi untuk menderita kelainan jantung dan leukemia.
Jika terdapat kedua penyakit tersebut maka angka harapan hidupnya berkurang
dan jika kedua penyakit tersebut tidak ditemukan maka anak bisa bertahan
sampai dewasa.

B. ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian

1. Identitas

Harus lengkap dan jelas seperti: umur perlu ditanyakan untuk interpretasi
tingkat perkembangan anak yang sudah sesuai dengan umur, jenis kelamin, nama
orangtua, alamat, pendidikan, agama

2. Riwayat Penyakit Sekarang

16
Biasanya diawali dari pengalaman dan perasaan cemas ibu klien yang
melihat pertumbuhan dan perkembangan anaknya yang terlambat tidak sesuai
dengan kelompok seusianya

3. Riwayat Penyakit Dahulu

Penyakit seperti rubella, tetanus, difteri, meningitis, morbili, polio, portusis,


vrucella dan ensafilitas dapat berkaitan atau mempengaruhi pertumbuhan dan
perkembangan baik secara enteral maupun parenteral

4. Riwayat Antenatal, intranatal dan postnatal

a. Antenatal

Kesehatan ibu selama hamil, penyakit yang pernah diderita serta upaya yang
dilakukan untuk mengatasi penyakitnya, berapa kali, perawatan antenatal,
kemana serta kebiasaan minum jamu-jamuan dan obat yang pernah diminum
serta kebiasaan selama hamil

b. Natal

Tanggal, jam, tempat pertolongan persalinan, siapa yang menolong, cara


persalinan (spontan, ekstraksi vacum, ekstraksi forcep, sectiosesaria dan gamelli),
presentali kepala dan komplikasi atau kelainan congenital. Keadaan saat lahir dan
morbiditas pada hari pertama setelah lahir, masa kehamilan (cukup,kurang,lebih)
bulan

c. Pascanatal

Lama di rawat di rumah sakit, masalah-masalah yang berhubungan dengan


gangguan sistem, masalah nutrisi, perubahan berat badan, warna kulit, pola
eliminasi dan respond lainnya. Selama neonatal perlu dikaji adanya asfiksia,
trauma dan infeksi

5. Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan

Berat badan, lingkar kepala, lingkar lengan kiri atas, lingkar dada terakhir.
Tingkat perkembangan anak yang telah di capai motorik kasar, motorik halus,
kemampuan bersosialisasi dan kemampuan bahasa

17
6. Riwayat Kesehatan Keluarga

Sosial, perkawinan orangtua, kesejahteraan dan ketentraman, rumah tangga


yang harmonis dan pola asuh, asah dan asih. Ekonomi dan adat istiadat
berpengaruh dalam pengelolaan lingkungan internal dan eksternal yang dapat
memengaruhi perkembangan intelektual dan pengetahuan serta keterampilan
anak. Di samping itu juga berhubungan dengan persediaan dan bahan pangan,
sandang dan papan

7. Pemeriksaan Fisik

a. Keadaan umum pasien saat dikaji : kesan kesadaran, tanda-tanda vital


(perubahan suhu, frekuensi pernapasan, sistem sirkulasi dan perfusi jaringan)

b. Kepala dan lingkar kepala : hendaknya diperiksa sampai anak usia 2 tahun
dengan pengukuran diameter oksipito-frontalis terbesar, ubun-ubun normal: besar
rata atau sedikit cekung sampai anak berusia 18 bulan

c. Mata : reflex mata baik, sklera adakah ikterus, konjungtiva adakah anemis,
penurunan penglihatan (visus)

d. Telinga : simetris, fungsi pendengaran baik

e. Mulut/leher : keadaan faring, tonsil (adakah pembesaran, hyperemia), adakah


pembesaran kelenjar limfe, lidah dan gigi (kotor atau tidak, adakah kelainan,
bengkak dan gangguan fungsi). kelenjar tiroid adakah pembesaran (gondok) yang
dapat mengganggu proses pertumbuhan dan perkembangan anak

f. Kulit : keadaan warna, turgor, edema, keringat dan infeksi

g. Thorak : bentuk simetris, gerakan

h. Paru : normal vesikular, adakah kelainan pernapasan (ronkhi, wheezing)

i. Jantung : pembesaran, irama, suara jantung dan bising

j. Genitalia : testis, jenis kelamin, apakah labia mayor menutupi labia minor pada
perempuan

18
k. Ekstremitas : reflek fisiologis, reflek patologis, reflek memegang, sensibilitas,
tonus dan motorik

8. Observasi adanya manifestasi down syndrome :

1) Karakteristik fisik ( Paling sering terlihat)

 Pada saat lahir terdapat kelemahan otot dan hipotonia

 Kepala pendek (brachycephaly)

 Lipatan epikantus bagian dalam dan fisura palpebra serong (mata miring ke
atas dan keluar)

 Hidung kecil dengan batang hidung tertekan ke bawah (hidung sadel)

 Lidah menjulur kadang berfisura

 Mandibula hipoplastik (membuat lidah tampak besar)

 Palatum berlengkung tinggi

 Leher pendek tebal

 Muskulatur hipotonik (perut buncit, hernia umbilikus)

 Sendi hiperfleksibel dan lemas

 Tangan dan kaki lebar, pendek tumpul

 Garis simian ( puncak transversal pada sisi telapak tangan)

2) Intelegensia

 Bervariasi dan retardasi hebat sampai intelegensia normal rendah

 Umumnya dalam rentang ringan sampai sedang

 Keterlambatan bahasa lebih berat daripada keterlambatan kognitif

3) Anomaly congenital ( peningkatan insiden)

 Penyakit jantung kongenital

19
 Defek lain meliputi : Agenesis renal, atresia duodenum, penyakit hiscprung,
fistula esophagus, subluksasi pinggul. Ketidakstabilan vertebra servikal
pertama dan kedua (ketidakstabilan atlantoaksial)

4) Masalah Sensori

 Kehilangan pendengaran konduktif (sangat umum)

 Strabismus

 Myopia

 Nistagmus

 Katarak

 Konjungtivitis

5) Pertumbuhan dan perkembangan seksual

 Pertumbuhan tinggi badan dan BB menurun, umumnya obesitas

 Perkembangan seksual terlambat, tidak lengkap atau keduanya

 Infertile pada pria, wanita dapat fertile

 Penuaan premature umum terjadi harapan hidup rendah

B. Diagnosis Keperawatan

Diagnosa yang bisa di angkat pada anak dengan down syndrome :

1. Risiko keterlambatan perkembangan berhubungan dengan gangguaan genetik

2. Risiko tinggi infeksi berhubungan dengan hipotonia, peningkatan kerentanan


terhadap infeksi prnapasan

3. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan


kesulitan pemberian makan karena gangguan fungsi menelan

4. Defisiensi pengetahuan (orangtua) berhubungan dengan perawatan anak


dengan down syndrome

5. isolasi sosial berhubungan dengan keterbatasan fisik

20
C. NOC dan NIC

Diagnosa NOC NIC


Resiko Perkembangan Anak : 4 Peningkatan
keterlambatan tahun Perkembangan : Anak
perkembangan
Setelah dilakukan tindakan Intervensi :
berhubungan
keperawatan selama proses
dengan gangguan 1. Bangun hubungan
keperawatan diharapkan anak
genetik saling percaya dengan
dapat melakukan kegiatan
anak
sesuai dengan perkembangan
usianya. Didapatkan indikasi 2. Lakukan interaksi

sebagai berikut : personal dengan anak

1. Belajar, memanjat, berlari : 5 3. Identifikasi kebutuhan


unik setiap anak dan
2. Naik dan turun tangga : 5
tingkat kemampuan
3. Berjingkrak dan melompat adaptasi yang diperlukan
dengan satu kaki : 5
4. Bangun hubungan
4. Naik sepeda roda tiga atau saling percaya dengan
sepeda dengan roda latihan : 5 orangtua

5. Ajarkan orangtua
mengenai tingkat
perkembangan normal
dari anak dan perilaku
yang berhubungan

6. Demonstrasikan
kepada orangtua
mengenai kegiatan yang
mendukung tumbuh
kembang anak

7. Fasilitasi orangtua
untuk menghubungi

21
bantuan komunitas, bila
diperlukan

Risiko tinggi Kontrol infeksi : Proses Kontrol Infeksi


infeksi infeksi
Intervensi :
berhubungan
Setelah dilakukan tindakan
dengan hipotonia 1. Ajarkan keluarga
keperawatan infeksi tidak
peningkatan tentang penggunaan
terjadi (terkontrol)
kerentanan teknik mencuci tangan

terhadapinfeksi Kriteria hasil : yang baik untuk

pernapasan meminimalkan
Anak tidak menunjukkan bukti
pemajanan pada
infeksi aau distress pernapasan
organisme infektif
(respirasi meningkat, sianosis)
2. Bersihkan lingkungan
1. Mengidentifikasi tanda dan
dengan baik setelah
gejala infeksi : 5
digunakan untuk setiap
2. Memonitor prilaku diri yang pasien
berhubungan dengan risiko
3. Lakukan tindakan-
infeksi : 5
tindakan yang bersifat
3. Mempertahankan lingkungan universal
yang bersih
4. Ajarkan pasien dan
4. Mengembangkan strategi keluarga mengenai tanda
efektif untuk mengontrol infeksi dan gejala infeksi dan
:5 kapan harus melaporkan

5. Melakukan tindakan segera kepada penyedia

untuk mengurangi resiko : 5 perawatan kesehatan

6. Memonitor perubahan status 5. Dorong untuk istirahat


kesehatan : 5 6. Tekankan pentingnya

7. Melakukan imunisasi yang mengganti posisi anak


direkomendasikan : 5 dengan sering, terutama

22
penggunaan postur duduk
untuk mencegah
penumpukan sekresi dan
memudahkan ekspansi
paru

7. Dorong penggunaan
vaporizer uap dingin
untuk mencegah krusta
sekresi nasal dan
mengeringkan membran
mukosa

8. Ajarkan pada keluarga


pengisapan hidung
dengan spuit tipe-bulp
karena tulang hidung
anak yang tidak
berkembang
menyebabkan masalah
kronis ketidakadekuatan
drainase mukus

9. Tekankan pentingnya
perawatan mulut yang
baik (mis: lanjutkan
pemberian makan dengan
air jernih, sikat gigi untuk
menjaga mulut sebersih
mungkin)

10. Dorong kepatuhan


terhadap imunisasi yang
dianjurkan untuk

23
mencegah infeksi

11. Tekankan pentingnya


menyelesaikan program
antibiotik bila
diinstruksikan, untuk
keberhasilan
penghilangan infeksi dan
mencegah pertumbuhan
organisme resisten
Ketidakseimbanga Status Nutrisi Manajemen Nutrisi
n nutrisi kurang
Setelah dilakukan tindakan Intervensi :
dari kebutuhan
keperawatan kebutuhan pasien
tubuh 1. Identifikasi adanya
terpenuhi
berhubungan alergi atau intoleransi

dengan kesulitan Kriteria hasil : makanan yang dimiliki

pemberian makan 1. Asupan gizi : 5 pasien

karena gangguan 2. Tentukan apa yang


2. Asupan makanan : 5
fungsi menelan menjadi preferensi
3. Asupan cairan : 5 makanan bagi pasien

4. Energi : 5 3. Kolaborasi dengan ahli


5. Rasio berat badan tinggi gizi untuk menentukan
badan : 5 jumlah kalori dan nutrisi
yang dibutuhkan pasien :
6. Hidrasi : 5
Intervensi lainnya :

1. Hisap hidung anak


setiap kali sebelum
pemberian makan, bila
perlu untuk
menghilangkan mukus

2. Jadwalkan pemberian

24
makan sedikit tapi
sering : biarkan anak
beristirahat selama
pemberian makan karena
menghisap dan makan
dalam waktu lama sulit
dilakukan dengan
pernapasan mulut

3. Jelaskan pada keluarga


bahwa menarik lidah
merupakan respons
normal pada anak dengan
lidah menjulur dan tidak
berarti penolakan
terhadap makanan

4. Berikan makanan padat


dengan mendorong mulut
bagian belakang dan
samping; gunakan sendok
makan yang panjang dan
bertangkai lurus; jika
makanan didorong
keluar, berikan kembali
makanan ke mulut anak

5. Hitung kebutuhan
kalori untuk memenuhi
kebutuhan energi. Hitung
asupan berdasarkan tinggi
dan berat badan, bukan
berdasarkan usia karena
pertumbuhan cenderung

25
lebih lambat pada anak-
anak dengan down
syndrome

D. Implementasi

Implementasi adalah fase ketika perawat mengimplementasikan intervensi


keperawatan. Tujuan dari implementasi adalah membantu klien dalam mencapai
tujuan yang telah ditetapkan yang mencakup peningkatan kesehatan, pencegahan
penyakit, pemulihan kesehatan dan memfasilitasi koping

1. Berikan nutrisi yang memadai

a. Lihat kemampuan anak untuk menelan

b. Beri informasi pada orangtua cara yang tepat atau benar dalam memberi
makanan yang baik

c. Berikan nutrisi yang baik pada anak dengan gizi yang baik

2. Anjurkan orangtua untuk memeriksakan pendengaran dan penglihatan secara


rutin

3. Gali pengertian orangtua mengenai down syndrome

a. Beri penjelasan kepada orangtua tentang keadaan anak

b. Beri informasi pada orangtua tentang perawatan anak dengan down syndrome

4. Motivasi orangtua agar :

a. Memberi kesempatan anak untuk bermain dengan teman sebaya agar anak
mudah bersosialisasi

b. Memberi keluasaan atau kebebasan pada anak untuk berekspresi

5. Berikan motivasi pada orangtua agar memberi lingkungan yang memadai pada
anak

26
a. Dorong partisipasi orangtua dalam memberi latihan motorik kasar dan halus
serta petunjuk agar anak mampu berbahasa

b. Beri motivasi pada orangtua dalam memberi latihan pada anak dalam aktivitas
sehari-hari

E. Evaluasi

- Diagnosa 1 : Anak dapat melakukan kegiatan sesuai dengan perkembangan


usianya

- Diagnosa 2 : Anak tidak menunjukkan adanya tanda-tanda infeksi atau distress


pernapasan

- Diagnosa 3 :

1. Anak mengkonsumsi makanan dengan jumlah yang adekuat yang sesuai


dengan tinggi dan berat badan

2. Keluarga melaporkan kepuasan dalam pemberian makanan

3. Berat badan anak bertambah sesuai dengan usia dan ukurannya

BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN KASUS

KASUS

27
An.M (perempuan) berumur 10 bulan dibawa oleh ibunya ke rumah sakit
dengan keluhan sesak nafas, menangis terus menerus, dan An. M tampak lemah.
Ibu klien juga mengatakan klien mual dan muntah serta nafsu makan anaknya
berkurang yang membuat berat badan An.M menjadi menurun. Ibu klien juga
mengatakan An.M sulit untuk menggerakkan tangan dan kakinya dan tubuh
An.M mudah memar. Ibu klien mengatakan anaknya mempunyai riwayat
penyakit keterbelakangan fisik dan mental. Ayah dan ibu pasien tidak
mempunyai penyakit seperti yang dialami pasien dan tidak mempunyai penyakit
keturunan maupun penyakit menular.

Kemudian oleh ibunya diperiksakan di RS Sayang Ibu, menurut hasil dari


pemeriksaan An.M mengalami kelemahan otot dan hipotonia dan An. M
didiagnosa risiko tinggi infeksi b.d hipotonia, peningkatan kerentanan terhadap
infeksi pernapasan.

1. Pengkajian

A. Indentitas Klien

Nama : An. M
Usia : 10 bln
Jenis Kelamin : perempuan
Tgl MRS : 20-09-2021
Tgl Pengkajian : 20-09
-2021
Sumber Informasi : Orang tua
klien

B. Status kesehatan saat ini.

Keluhan saat MRS : lemas dan hanya menangis


Keluhan saat pengkajian : klien mengalami
kelemahan otot dan hipotonia

28
Riwayat penyakit sekarang : Anak mengalami
kelemahan otot dan hipotonia

Diagnosa medis : Risiko tinggi infeksi b/d


hipotonia,peningkatankerentanan terhadap infeksi pernapasan.

C. Riwayat Kesehatan Terdahulu .


1. Penyakit yang pernah dialami : keterbelakangan fisik dan mental
2. Kecelakaan ( termasuk kecelakaan lahir/persalinan ) : -
3. Operasi ( jenis dan waktu ) : -
4. Penyakit kronis atau akut : kronis
5. Imunisasi : -

D. Riwayat kesehatan keluarga.


1. Penyakit yang pernah diderita keluarga : tidak ada
2. Lingkungan rumah dan komunitas : baik
3. Perilaku yang mempengaruhi kesehatan : tidak ada
4. Persepsi keluarga terhadap penyakit anak : kurangnya pengetahuan

E. Pola nutrisi metabolic


Gangguan pada gizi pada masa bayi wajib kerja sama dengan ahli gizi.

F. Pola eliminasi.

Terganggu karena keterbatasan gerak

G. Riwayat pertumbuhan dan perkembangan.

Pertumbuhan tinggi badan dan BB menurun, umumnya obesitas

H. Genogram.

29
Keterangan :
: Perempuan
: Laki-laki
: Ibu
: Ayah
: Anak Pertama
: Anak Kedua
: Klien
: Tinggal dalam satu rumah

I. Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan umum : Berat pada bayi pada umumnya kurang dari normal
2. Kepala dan leher : Kepala pendek (brachycephaly) dan leher
pendek tebal
3. Dada :-

TERAPI : pemerian obat untuk pola nutrisi sang anak.

30
2. Analisis

NO Data Etiologi Problem


1. DS : Hipotonia Risiko tinggi infeksi
- ibu klien
mengatakan klien
sesak nafas
- Ibu klien
mengatakan klien
sering menangis
kesakitan
- Ibu klien
mengatakan klien
lemah
DO :
- TTV:, S= 37,5 C,
RR=50 x/i , N= 120
x/i
- klien kelihatan
lemas
- Klien tampak pucat
2. DS : kesulitan Perubahan nutrisi
pemberian kurang dari
- ibu klien
makanan karena kebutuhan
mengatakan klien
lidah yang
tidak nafsu makan
- Ibu klien menjulur dan
mengatakan klien palatum yang
mual dan muntah tinggi
- Ibu klien
mengatakan berat
badan klien menurun
DO :
- klien tampak lemah
- Klien tampak pucat
- Distensi abdomen
3. DS: instabilitas Risiko tinggi cedera
atlantoaksia hiperekstensibilitas
- Ibu klien
send
mengatakan klien
sulit menggerakan
tangan dan kakinya
- ibu klien
mengatakan tubuh
klien mudah memar
- ibu klien

31
mengatakan klien
mudah lemas
DO:
- klien tampak
kesulitan
menggerakan tangan
dan kakinya
- klien tampak lemas
- ekstremitas klien
tampak memar

3.Diagnosa Keperawatan

1. Risiko tinggi infeksi b/d hipotonia, peningkatan kerentanan terhadap infeksi


pernapasan.
2. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan kesulitan
pemberian makanan karena lidah yang menjulur dan palatum yang tinggi.
3. Risiko tinggi cedera hiperekstensibilitas sendi, instabilitas atlantoaksial

4.Intervensi dan Implementasi

1. Risiko tinggi infeksi b/d hipotonia, peningkatan kerentanan terhadap infeksi


pernapasan

Kriteria hasil :

1) pasien tidak menunjukkan bukti infeksi pernafasan


2) Tanda-tanda vital dalam batas normal

Intervensi :

a. Ajarkan keluarga tentang teknik mencuci tangan yang baik.


b. Tekankan pentingya mengganti posisi anak dengan sering, terutama
penggunaan postur duduk
c. Dorong penggunaan vaporizer uap dingin
d. Ajarkan pada keluarga penghisapan hidung dengan spuit tipe-bulb
e. Dorong kepatuhan terimunisasi yang dianjurkan

32
f. Tekankan pentingnya menyelesaikan program antibiotic bila
diinstruksikan.

2. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan kesulitan


pemberian makanan karena lidah yang menjulur dan palatum yang tinggi.

Kriteria hasil : kesulitan pemberian makan pada masa bayi menjadi minimal

Intervensi:

1.) Hisap hidung setiap kali sebelum pemberian makan, bila perlu
2.) Jadwalkan pemberian makan sedikit tapi sering: biarkan anak untuk
beristirahat selama pemberian makan
3.) Berikan makanan padat denga mendorongnya ke mulut bagian belakang
dan samping
4.) Hitung kebutuhan kalori untuk memenuhi energy berdasarkan tinggi dan
berat badan
5.) Pantau tinggi dan BB dengan interval yang teratur Rujuk ke spesialis
untuk menentukan masalah makananyang spesifik

3. Risiko tinggi cedera hiperekstensibilitas sendi, instabilitas atlantoaksial

Kriteria hasil: mengurangi risiko terjadinya cedera pada pasien dengan


sindrom down

Intervensi:

1.) Anjurkan aktivitas bermain dan olahraga yang sesuai dengan maturasi
fisik anak, ukuran, koordinasi dan ketahanan.
2.) Anjurkan anak untuk dapat berpartisipasi dalam olahraga yang dapat
melibatkan tekanan pada kepala dan leher
3.) Ajari keluarga dan pemberi perawatan lain (mis: guru, pelatih) gejala
instabilitas atlatoaksial

5.Evaluasi

33
Diagnosa Evaluasi

1. Risiko tinggi infeksi b/d S : -Ibu klien mengatakan tidak ada infeksi
pernafasn
hipotonia, peningkatan
-Ibu klien mengatakan klien tenang
kerentanan terhadap infeksi O : S= 37,5 C, RR=50 x/I, N= 120 x/i
pernapasan A : Masalah teratasi
P : Intervensi dihentikan

2. Perubahan nutrisi kurang dari S : -Ibu klien mengatakan nafsu makan


kebutuhan berhubungan dengan klien kembali membaik
kesulitan pemberian makanan O : - Klien tampak tidak muntah lagi
karena lidah yang menjulur dan -Wajah klien tidak pucat lagi
palatum yang tinggi. A : Masalah teratasi
P : Intervensi dihentika

3. Risiko tinggi cedera S  : -Ibu klien mengatakan klien tidak sulit


hiperekstensibilitas sendi, lagi menggerakan tangan dan kakinya
instabilitas atlantoaksia O : - tangan dan kaki klien tidak memar lagi
A : Masalah teratasi
P : Intervensi dihentikan

34
BAB IV

ANALISIS JURNAL

1. Judul Jurnal : Pengalaman Ibu yang Memiliki Anak Down Syndrome


2. Link Jurnal : https://ejournal3.undip.ac.id/index.php/empati/article/view/15443
3. Tahun : 2016
4. Pengarang : Sarah Nur Rachmawati, Achmad Mujab Masykur
5. Tempat : Di Kota Klaten
Penelitian
6. Metodologi : Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara.
Penelitian Dimana wawancara merupakan teknik pengumpulan data yang
digunakan peneliti untuk menggali informasi yang lebih mendalam.
Analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode IPA
(Interpretative Phenomenological Analysis)
7. Tujuan : Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengalaman ibu yang
memiliki anak dengan down syndrome.
8. Responden : Ibu yang memiliki anak dengan down syndrome yang berdomisili di
kota Klaten dan berusia dewasa awal hingga dewasa masdya. Subjek
dalam penelitian ini adalah 3 orang ibu
9. Hasil : Penelitian ini menunjukkan 4 tema induk, yaitu:

1. Upaya penanganan profesional yaitu mengenai upaya penanganan


medis. Upaya para subjek untuk mendapatkan diagnosis dan solusi
dari medis mengenai keadaan anak

35
2. Stressor memiliki anak down syndrome yaitu mengenai proses
penerimaan diri mengenai keadaan dan diagnosis medis ketiga subjek
mengalami perubahan emosi. Hal itu dipengaruhi oleh problematika
dalam keluarga, lingkungan, diri sendiri dan dalam pola pengasuhan
anak. Sehingga hal tersebut juga memunculkan stres pada ketiga
subjek

3. Dukungan sosial dan penyesuaian diri yaitu mengenai dukungan


sosial dan penyesuaian diri berisi mengenai dorongan secara positif
yang memengaruhi proses permainan diri. Faktor dukungan sosial
sendiri berasal dari keluarga dan lingkungan. Cara mengatasi masalah
juga memengaruhi dalam proses penerimaan diri

4. Pengasuhan anak dengan down syndrome yaitu mengenai


pengasuhan anak down syndrome yang dipengaruhi faktor dari dalam
dan luar.

Tema pengasuhan anak dengan down syndrome meliputi penerimaan


diri subjek dan penerapan pengasuhan pada anak

Diagnosis medis, problematika keluarga dan problematika lingkungan


menyebabkan terjadinya konflik pada diri ibu. Dukungan sosial
berupa dukungan emosi suami serta dukungan saudara dan dukungan
lingkungan yang diberikan membuat ibu melakukan coping stress,
faktor-faktor tersebut pastinya akan memengaruhi penerapan
pengasuhan pada anak dengan down syndrome

36
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Down syndrome merupakan suatu kondisi keterbelakangan fisik dan mental


yang di akibatkan adanya abnormalitas perkembangan kromosom yang gagal
memisahkan diri saat terjadi pembelahan (Wiyani, 2014). Kelainan bawaan sejak
lahir yang terjadi pada 1 antara 800-900 bayi. Mongolisma ( Down Syndrome)
ditandai oleh kelainan jiwa atau cacat mental mulai dari yang sedang sampai
berat. Tetapi hampir semua anak yang menderita kelainan ini dapat belajar
membaca dan merawat dirinya sendiri (Nurarif, 2015).

Down Syndrome merupakan kelainan kromosom autosomal yang paling


banyak terjadi pada manusia, di perkirakan 20% anak dengan down syndrome di
lahirkan oleh ibu yang berusia di atas 35 tahun. Down Syndrome merupakan
cacat bawaan yang di sebabkan oleh adanya kelebihan kromosom X. Syndrome
ini juga di sebut trysomi 21, karena 3 dari 21 kromosom menggantikan yang
normal, 95% kasus down syndrome di sebabkan oleh kelebihan kromosom
(Nurarif, 2015).

Down syndrome dapat dicegah dengan melakukan pemeriksaan kromosom


melalui amniocentesis bagi para ibu hamil terutama pada bulan-bulan awal
kehamilan, diantaranya yaitu pemeriksaan fisik penderita, Choionic Villus
Sampling (CVS), pemeriksaan kromosom ekokardiogram (ECG), USG,
pemeriksaan darah dan amniosentesis.

Untuk membantu mempercepat kemajuan pertumbuhan dan perkembangan


anak, penderita ini biasanya dilatih dan dididik menjadi manusia yang mandiri
untuk bisa melakukan semua keperluan pribadinya sehari-hari seperti berpakaian
dan buang air, walaupun kemajuannya lebih lambat dari anak biasa, dengan terapi

37
khusus, diantaranya yaitu terapi wicara, terapi okulasi, terapi remedia, terapi
kognitif, terapi sensori integrasi dan terapi snoefzelen.

B. Saran

Dalam melakukan perawatan pada anak dengan down syndrome, seharusnya


kita sebagai seorang perawat harus mampu mengajak keluarga untuk aktif
berpartisipasi dalam setiap kegiatan keperawatan. Karena pemberian perawatan
yang dilakukan kepada anak yang terkena down syndrome adalah dengan
diberikannya berbagai terapi, seperti terapi berbicara dan latihan fisik sehingga
tetap dapat bersosialisi dengan lingkungan sekitarnya serta belajar hidup dengan
mandiri. Hal ini ditujukan untuk memberikan pendidikan keperawatan kepada
keluarga karena setelah dari rumah sakit tentu keluargalah yang dituntut untuk
bisa melakukan perawatan home care.

38
DAFTAR PUSTAKA

https://www.academia.edu/36249625/ASKEP_SYNDROM_DOWN diakses pada


20 september 2021

Wong, Donna L.2003. Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik Edisi 4. Jakarta:


EGC

https://www.scribd.com/document/390824460/Askep-down-syndrom-pada-anak
diakses pada 20 september 2021

http://bidanvaganza.blogspot.com/2016/03/asuhan-keperawatan-pada-anak-
dengan.html diakses pada 20 september 2021

39
Lampiran Jurnal

PENGALAMAN IBU YANG MEMILIKI ANAK DOWN


SYNDROME

Sarah Nur Rachmawati, Achmad Mujab Masykur

Fakultas Psikologi, Universitas Diponegoro,


Jl. Prof. Soedarto, SH, Kampus Undip Tembalang, Semarang,

Indonesia 50275 Rachmasarah01@gmail.com

Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengalaman ibu yang memiliki anak
down syndrome. Karakteristik subjek dalam penelitian ini adalah ibu yang
memiliki anak down syndrome, berdomisili di kota Klaten, dan berusia dewasa
awal hingga dewasa madya. Subjek dalam penelitian ini adalah tiga orang ibu.
Penelitian ini menggunakan metode wawancara dalam pengambilan data.
Metode analisis data pada penelitian ini menggunakan Interpretative
Phenomenological Analysis (IPA). Prosedur IPA bertitik fokus pada
pengalaman subjek melalui kehidupan pribadinya. Eksplorasi yang dilakukan
pada subjek akan memunculkan makna dalam peristiwa unik oleh subjek. Hasil
penelitian ini adalah ketiga subjek dapat menerima dan merawat anak dengan
baik karena dorongan dari dalam diri. Selain itu, faktor dukungan sosial dari
keluarga dan lingkungan juga memengaruhi dalam proses menerima dan
mengasuh anak dengan baik. Dukungan sosial yang didapatkan juga menekan
stres ketika memiliki anak down syndrome. Hal tersebut menjadikan ketiga
subjek terdorong untuk memberikan yang terbaik dengan tujuan melatih
mandiri anak melalui terapi dan pendidikan yang tepat. Penerimaan diri
dipengaruhi oleh faktor dukungan sosial yaitu keluarga dan lingkungan. Hal
tersebut mendorong subjek untuk memahami keadaan anak dan mengasuh anak
dengan penanganan yang tepat.

Kata kunci: pengalaman ibu; anak; down syndrome.

Abstract

40
This research aims to know the experience of mother who have children with
down syndrome. Characteristics of the subjects in this study is mother who
have children with down syndrome, living in Klaten, and early adult age up to
middle adulthood. Subjects in this research are three mothers. This research use
interviews method in data collection. Method of data analysis use Interpretative
Phenomenological Analysis (IPA). IPA point of view based on the experience
of the subjects through her personal life. Exploration conducted on the subject
will bring meaning in the unique occurrence by the subject. The results of this
study are the subjects receive and treat children well as encouragement of
themself. In addition, factors of social support from family and environment
also affect the process of receiving and caring for children well. Social support
obtain also suppress stress when having children with down syndrome. This
makes the subjects give the best with the purpose to train children to be
independently through therapy and right education. Self-acceptance is
influenced by social support factors that family and environment. It encourages
the subject to understand children situation and take care of children with the
proper handling.

Keywords : mother’s experience; children; down syndrome.

PENDAHULUAN

Wanita dewasa yang sudah menemukan pasangan yang cocok akan


memutuskan untuk menikah. Pernikahan dilakukan untuk membangun
keluarga baru, dan juga untuk memperoleh keturunan. Hal tersebut
menjelaskan bahwa salah satu sumber kebahagian dan kepuasan seorang
wanita adalah ketika memiliki anak. Beberapa wanita merasa sempurna ketika
setelah menikah mampu hamil dan melahirkan seorang anak. Menurut Ibrahim
dan Nur (2002), proses kehamilan merupakan masa penantian yang penuh
kebahagiaan bagi seorang ibu. Salah satu fungsi seorang wanita adalah sebagai
ibu yang secara kodrati sebagai penerus keturunan (kartono, 2007).

Beberapa pasangan suami istri menginginkan kehadiran seorang anak. Anak


merupakan aset berharga dalam sebuah keluarga. Anak yang terlahir sempurna
merupakan harapan bagi orangtua. Orangtua mendambakan anak yang sehat,
baik secara jasmani maupun rohani. Namun tidak semua anak dilahirkan dan
tumbuh dalam keadaan normal. Beberapa di antaranya memiliki keterbatasan
baik secara fisik maupun psikis, yang telah dialami sejak awal masa
perkembangan. Anak yang mengalami gangguan perkembangan adalah anak
berkebutuhan khusus.

41
Menurut Santoso (2012), anak berkebutuhan khusus disebut juga dengan istilah
anak cacat, anak berkelainan, anak tuna dan dalam pembelajarannya menjadi
salah satu kelompok anak yang memiliki kebutuhan khusus. Menurut Somantri
(2007), anak berkebutuhan khusus salah satunya adalah retardasi mental (tuna
grahita) yang mempunyai kemampuan intelektual dibawah rata-rata dan tingkat
kelainan ringan, berat, dan sangat berat yaitu dengan IQ 70-25. Salah satu anak
retardasi mental / tunagrahita adalah down syndrome. Perkembangan yang
lambat merupakan ciri utama pada anak down syndrome. Selain itu
Penyandang down syndrome memiliki fitur wajah yang khas, termasuk lipatan-
lipatan di sudut, mata sipit yang cenderung mengarah ke atas, hidung yang rata,
wajah seperti orang mongol, dan mulut kecil dengan langit-langit datar
sehingga lidah mereka sedikit terjulur keluar. Pada anak down syndrome pada
umumnya dapat dengan mudah melipat dan melengkungkan tubuhnya, padahal
anak normal tidak dapat melakukan hal tersebut (Mangunsong, 2009).

Anak down syndrome mengalami hambatan perkembangan fisik maupun


mental, hal ini yang menyebabkan keluarga sulit untuk menerima keadaan anak
dengan down syndrome. Menurut Gunarhadi (2005), faktor yang menyebabkan
tingginya resiko melahirkan anak down syndrome adalah usia ibu, yaitu 35
tahun lebih. Namun bukan berarti bayi lahir mengalami down syndrome hanya
dari kalangan ibu yang berusia 35 tahun lebih. Menurut Stray (dalam
Gunarhadi, 2005), kenyataanya 80% anak down syndrome lahir dari ibu yang
berusia kurang dari 35 tahun. Menurut Gunarhadi (2005), alat reproduksi pada
anak down syndrome berfungsi seperti anak normal seuisanya. Hal tersebut
merupakan tantangan khusus bagi orang tua untuk memberikan pemahaman
mengenai alat reproduksi pada anak dan memberikan penanganan apabila anak
sudah memasuki masa pubertas.

Memiliki anak dengan berkebutuhan khusus merupakan salah satu sumber stres
dan beban bagi orang tua baik secara fisik maupun mental. Lestari (2012),
menyatakan sumber stres adalah salah satunya masalah anggota keluarga yang
berkebutuhan khusus. Beban yang dialami orang tua dengan anak
berkebutuhan khusus memunculkan reaksi emosional didalam dirinya.
Penolakan tidak hanya dilakukan oleh individu lain di sekitar tempat
tinggalnya, namun beberapa bahkan tidak diterima dalam keluarganya sendiri.

Anak yang terlahir dengan gangguan perkembangan menyebabkan orang tua


melakukan penolakan dan menyalahkan diri sendiri terhadap kondisi yang
dialami yaitu dengan kehadiran anaknya yang tidak sesuai dengan harapan
(Triana & Andriany, 2010). Beban yang dialami orang tua dengan anak
berkebutuhan khusus memunculkan reaksi emosional didalam dirinya.
Penolakan tidak hanya dilakukan oleh individu lain di sekitar tempat

42
tinggalnya, namun beberapa bahkan tidak diterima dalam keluarganya sendiri.
Hal yang perlu disoroti adalah sebagian dari orangtua masih mengalami
kendala dalam mengakses informasi yang tepat sehingga tidak mengetahui
secara pasti tentang penanganan anak dengan baik. Kemis dan Rosnawati
(2013), mengatakan bahwa akibat dari kendala dan stres yang dialami orang
tua akan menimbulkan penolakan atau justru mungkin akan memberikan
perlindungan secara berlebihan, sehingga akan mengakibatkan masalah
perilaku dan emosi pada anak. Hasil penelitian Anggraini (2013), yang
berjudul “Persepsi Orangtua Terhadap Anak Berkebutuhan Khusus”
menyebutkan bahwa dari 29 orang tua dengan anak berkebutuhan khusus,
sebanyak 17 orangtua (58,62%) merasa malu dengan kehadiran anak
berkebutuhan khusus. Kemudian sebanyak 10 orangtua (34,48%) merasa
sangat kecewa karena anaknya tergolong ABK dan tidak memenuhi apa yang
diharapkan. Penelitian Ricci & Hodopp (dalam Gousmett, 2006), menunjukkan
bahwa beberapa ibu lebih stres dibandingkan ayah.

Penerimaan orang tua terhadap kondisi anak sangat memengaruhi


perkembangan anak-anak yang berkebutuhan khusus di masa mendatang.
Menurut Lestari (2012), orang tua sangat berpengaruh dalam membantu
mengembangkan kemampuan anak yang merupakan anugerah dari Tuhan yang
harus dijaga dan dirawat. Menurut Mangunsong (2011), Parenting support
group memengaruhi tentang penerimaan diri seorang ibu yang memiliki anak
berkebutuhan khusus. Parenting support group adalah sikap, tindakan dan
penerimaan keluarga terhadap anggotanya

Menurut Barnard dan Martell (dalam Santrock, 2007), bahwa dalam beberapa
keluarga menganggang tanggung jawab utama atas anak dan pekerjaan rumah
tangga merupakan tugas ibu. Ibu sebagai salah satu dari orangtua anak down
syndrome sangat berperan penting dalam mengetahui perkembangan anak.
Hasil penelitian Karina (2012), bahwa ibu dengan anak down syndrome
memberikan pengasuhan dengan menerima keadaan anak dan memberikan
ekspresi kasih sayang yang berdampak pada perkembangan anak down
syndrome yang lebih optimal. Apabila orangtua kurang memiliki pemahaman
tentang down syndrome, maka dapat berakibat kurangnya perhatian pada anak
dan menganggap anak mengalami cacat atau bahkan tidak bisa berbicara
selamanya. Orang tua adalah penentu kehidupan anak sebelum dan sesudah
dilahirkan dan bertanggung jawab merawat dan memperlakukannya
sebagaimana anak yang lahir secara normal (Lestari, 2012).

Keterampilan merupakan cara yang dapat dilakukan untuk melatih kemandirian


anak down syndrome (Gunarhadi, 2005) yaitu: (1) Keterampilan bina diri
adalah keterampilan yang berkaitan dengan mengurus diri dan pekerjaan yang

43
berkaitan dengan kerumahtanggaan, (2) keterampilan pengetahuan dan
fungsional adalah keterampilan yang berkaitan dengan penguasaan
pengetahuan dasar, (3) keterampilan fisik adalah keterampilan yang berkaitan
dengan tubuh dan fungsinya, (4) keterampilan sosial adalah keterampilan
dalam berkomunikasi dengan orang lain, dan (5) keterampilan vokasional
adalah keterampilan yang berkaitan dengan yang menghasilkan produk tertentu
baik bersifat jasa atau kerumahtanggaan.

Menururt Mangunsong (2011), ada beberapa peran orang tua dari anak
berkebutuhan khusus, yaitu: (1) orangtua sebagai pengambil keputusan. Tenaga
profesional hanya sekedar membantu melayani, memberikan berbagai alternatif
pemecahan masalah sesuai dengan problem yang dihadapi oleh anak
berkebutuhan khusus. Namun pilihan mengenai alternatif yang akan dilakukan
adalah hak dan kewajiban orang tua. (2) tanggung jawab sebagai orangtua.
Proses penyesuaian diri bahwa orangtua dari anak berkebutuhan khusus dapat
menerima realita, dan mampu melakukan penyesuaian secara emosianal.
Merencanakan masa depan anak, (3) tanggung jawab sebagai guru. Orang tua
memiliki pengaruh yang kuat terhadap anak, dan merupakan orang yang
mengetahui anak karena memiliki waktu yang lebih banyak bersama anak.
sehingga orangtua memahami kebutuhan pendidikan anak sesuai dengan
perkembangannya, (4) sebagai penasehat. Orangtua bertanggung jawab sebagai
pendukung dan memberikan arahan anak berkebutuhan khusus.

Ada tahapan yang dilalui oleh orangtua sebelum dapat menerima keadaan anak
(Safaria, 2005), yaitu : (1) tahap denial (penolakan) yaitu muncul rasa tidak
percaya saat menerima diagnosa dari seorang ahli, perasaan orangtua
selanjutnya akan diliputi kebingungan. Bingung mengenai diagnosa, bingung
akan apa yang harus dilakukan, sekaligus bingung mengapa hal ini dapat
terjadi pada anak mereka. (2) Tahap anger (marah) yaitu tahapan yang ditandai
dengan adanya reaksi emosi/ marah pada orang tua yang memiliki anak down
syndrome dan orangtua menjadi peka dan sensitif terhadap masalah-masalah
kecil yang pada akhirnya menimbulkan kemarahan.

(3) Tahap bargainning (tawar-menawar) yaitu tahapan dimana orangtua mulai


berusaha untuk menghibur diri dengan pernyataan seperti “Mungkin kalau
kami menunggu lebih lama lagi, keadaan akan membaik dengan sendirinya”
dan berpikir tentang upaya apa yang akan dilakukan untuk membantu proses
penyembuhan anak. (4)Tahap depression (depresi) yaitu tahapan yang muncul
dalam bentuk putus asa dan kehilangan harapan. Kadangkala depresi dapat juga
menimbulkan rasa bersalah, terutama di pihak ibu, yang khawatir apakah
keadaan anak mereka akibat dari kelalaian selama hamil, atau akibat dosa di
masa lalu. (5) Tahap acceptance (penerimaan) yaitu orangtua pada tahap ini

44
mulai menerima keadaan anak sehingga cenderung mengharapkan yang terbaik
sesuai dengan kapasitas dan kemampuan anak mereka. Tujuan dari penelitian
ini adalah untuk mengetahui secara lebih mendalam mengenai pengalaman ibu
yang memiliki anak down syndrome.

METODE

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah fenomenologi.


Polkinghorne (dalam Herdiansyah, 2010) mendefinisikan fenomenologi
sebagai studi yang digunakan untuk memberikan gambaran mengenai arti dari
pengalaman-pengalaman beberapa individu mengenai suatu konsep tertentu.
Fenomenologi berusaha menemukan makna-makna psikologis yang
terkandung dalam fenomena melalui penyelidikan dan analisis contoh-contoh
hidup. Tujuan penelitian fenomenologi menurut Smith (2009) adalah
menangkap informasi- informasi sedekat mungkin bagaimana fenomena
tersebut dialami di dalam konteks terjadinya fenomena tersebut.

Penelitian ini menggunakan metode wawancara. Menurut Sugiyono (2015),


wawancara merupakan teknik pengumpulan data yang digunakan peneliti
untuk menggali informasi secara lebih mendalam dengan jumlah responden
yang berjumlah sedikit. Analisis data dalam penelitian ini menggunakan
metode IPA (Interpretative Phenomenological Analysis). Menurut Smith
(2009), metode IPA yang digunakan untuk analisis data memiliki tahapan
sebagai berikut:
1. membuat transkrip dari hasil wawancara telah dilaksanakan.
2. membaca berulang-ulang transkrip wawancara yang telah disusun dan
memberi komentar eksploratif merupakan tanggapan peneliti dari setiap
jawaban subjek. Tanggapan tersebut berbentuk komentar deskriptif,
konseptual, dan lingusitik.
3. mencari tema emergen dalam setiap jawaban subjek dalam transkrip. Tema
emergen merupakan ringkasan penafsiran peneliti dari jawaban subjek
yang telah di buat komentar eksploratif untuk dijadikan tema tertentu.
4. mengelompokkan tema-tema emergen yang relevan untuk memperoleh
tema super-ordinat.
5. beralih ke transkrip subjek selanjutnya.
6. mencari tema induk dengan cara mengaitkan tema superordinat antar
subjek.
7. mendeskripsikan tema induk.

HASIL DAN PEMBAHASAN

45
Penelitian ini memunculkan empat tema induk , yaitu: (1) upaya penanganan
profesional yaitu mengenai upaya penanganan profesional (medis). Upaya para
subjek untuk mendapatkan diagnosis dan solusi dari medis mengenai keadaan
anak. (2) Stressor memiliki anak down syndrome yaitu mengenai proses
penerimaan diri mengenai keadaan dan diagnosis medis ketiga subjek
mengalami perubahan emosi. Hal itu dipengaruhi oleh problematika dalam
keluarga, lingkungan, diri sendiri, dan dalam pola pengasuhan anak, Sehingga
hal tersebut juga memunculkan stres pada ketiga subjek. (3) Dukungan sosial
dan penyesuaian diri yaitu mengenai dukungan sosial dan penyesuaian diri
berisi mengenai dorongan secara positif yang memengaruhi proses penerimaan
diri. Faktor dukungan sosial sendiri berasal dari keluarga dan lingkungan.
Ketiga subjek mendapatkan dukungan keluarga dan lingkungan. Cara
mengatasi masalah juga memengaruhi dalam proses penerimaan diri. (4)
Pengasuhan anak down syndrome yaitu mengenai yaitu mengenai pengasuhan
anak down syndrome yang dipengaruhi faktor dari dalam dan luar. Tema
pengasuhan anak down syndrome meliputi penerimaan diri subjek dan
penerapan pengasuhan pada anak.

1. Upaya Penanganan Profesional


Ketiga subjek melakukan pemeriksaan dan melakukan penentuan diagnosis
medis mengenai keterlambatan pada anak. Subjek WT, S, dan RM
mendapatkan informasi mengenai kesehatan anak tidak mengalami gangguan
namun anak mengalami down sydrome. Wahyuning (dalam Gunarhadi, 2005)
menyatakan bahwa anak dengan down syndrome 90-95 persen memiliki
kecerdasan (IQ) rendah, yaitu dibawah 30. Medis memberikan solusi pada
ketiga subjek atas kelainan anak, yaitu dengan cara memberikan terapi dan
menyekolahkan anak pada sekolah khusus. Upaya penanganan khusus yang
dilakukan subjek WT, S dan RM dengan tujuan agar anak dapat tertangani
dengan baik. Mark Slikowits (dalam Gunarhadi, 2005) menyatakan bahwa
intervensi yang diberikan pada anak down syndrome adalah terapi okupasi,
wicara, fisiologis, dan pendidikan khusus.

2. Stressor Memiliki Anak Down syndrome


Subjek WT, S, dan RM merasakan kekecewaan akan hasil diagnosis yang
berasal dari ahli sekaligus muncul kecemasan akan masa depan anak. Hal ini
termasuk tahapan denial (penolakan), Safaria (2005), menyatakan pada tahap
ini dimulai rasa tidak percaya akan diagnosa dari medis dan selanjutnya diliputi
kebingungan. Didukung dengan pendapat Mangunsong (2011), bahwa reaksi
yang muncul pertama kali pada orang tua yang mengetahui anaknya
mengalami kelainan yaitu terkejut, menolak, cemas, bahkan marah dengan
kenyataan yang dialami anak. Ketiga subjek marah akan kejadian yang
dialaminya. Sering kali muncul pernyataan yang menyalahkan keadaan, merasa
tidak adil kenapa keluarganya yang mengalami hal tersebut. Menurut Safaria
(2005), subjek mengalami masa tahapan anger (marah) dimana muncul rasa
ketidak adilan dalam diri mengenai keadaan yang dialami.

46
Muncul problematika dalam keluarga dari ketiga subjek, yaitu penolakan
saudara. Kondisi ketiga anak subjek yang mengalami down sydrome
menjadikan pemicu munculnya pembicaraan lingkungan sekitar. Hal tersebut
merupakan sumber stressor ketiga subjek. Hasil penelitian Ghoniyah dan
Savira (2015), bahwa ketika memiliki anak down syndrome beberapa tetangga
lingkungan sekitar tempat tinggal memberikan tekanan dan respon negatif.

Ketiga Subjek mengalami stres pengasuhan yaitu karena kurang memahami


penanganan down syndrome. Menurut Lestari (2012), stres atau situasi penuh
tekanan yang terjadi pada saat pengasuhan anak. Hasil penelitian Ghoniyah dan
Savira (2015), juga menunjukkan bahwa ibu dengan anak down syndrome
mengalami berbagai masalah dalam kehidupan terkait mengenai pengasuhan
anak. Sehingga memengaruhi kondisi psikologis subjek. Didukung hasil
penelitian Ghoniyah dan Savira (2015), bahwa ibu yang memiliki anak down
syndrome mengalami kecemasan pada saat mengasuh anak. Ketiga subjek
mengalami kendala pada ekonomi yang merupakan salah satu stressor karena
kurang mencukupi kebutuhan anak terapi.

Ketiga subjek tidak hanya memiliki tekanan dalam diri melainkan juga stressor
berasal dari luar, yaitu dari keluarga, lingkungan sekitarnya dan masa depan
anak. Didukung dengan penelitian Ghoniyah dan Savira (2015), yang
menyatakan bahwa kecemasan atau stressor muncul karena perlakuan negatif
lingkungan dan masa depan anak. selain itu juga karena penyakit yang diderita
anak. kendala ekonomi juga memengaruhi akan stres pada diri subjek.
3. Dukungan Sosial dan Penyesuaian Diri
Dukungan keluarga yang berasal dari luar ketiga subjek mendorong untuk
menerima keadaan anak. Selain itu ketiga subjek juga dapat mengasuh anak
dengan baik dan menyelesaikan masalah yang muncul. Hasil penelitian
Ghoniyah dan Savira (2015), menunjukkan bahwa dukungan sosial dari pihak
keluarga dalam mengasuh anak down syndrome membuat ibu mampu
mengatasi permasalahan yang muncul. Dukungan emosional dari suami dalam
bentuki perhatian dan motivasi juga membuat subjek menjadi nyaman dan
tenang. Menurut Sarafino (2006), dukungan emosi adalah dukungan yang
berupa perhatian dan empati yang muncul pada diri seseorang ketika melihat
keadaan orang lain. Didukung dengan Sarafino (2006), yang menyatakan
bahwa dukungan emosional memunculkan rasa nyaman pada diri seseorang
dalam keadaan stres. Adanya dukungan dari suami, akan membuat ibu merasa
diterima dengan keadaan yang dialaminya sehingga ibu tidak merasa sendiri
dalam menghadapi keadaan yang sangat sulit (Lestari, 2012). Kahn &
Antonoucci (Roy, 2011), menyatakan bahwa dukungan sosial berasal dari
orang orang yang selalu berada dalam sepanjang hidupnya setiap hari seperti

47
orang tua, anak, dan suami/ istri. Hasil penelitian Putri dan Lestari (2015),
bahwa dalam proses pengasuhan ibu lebih banyak berperan akan, suami juga
berupaya membantu mengasuh anak.

Subjek S mendapatkan dukungan instrumental, menurut Sarafino (2006),


dukungan instrumental adalah dukungan secara langsung dan nyata dengan
memberikan atau meminjamkan uang. Saudara-suadara S membantu dalam hal
perhatian dan finansial yang bertujuan untuk meringankan masalah
perekonomian subjek dalam merawat anak sehingga membuat subjek merasa
lebih tenang.

Dukungan dari lingkungan juga didapatkan oleh ketiga subjek sehingga dapat
mengelola emosi menjadi lebih positif. Subjek WT dan RM mendapatkan
dukungan dari sesama ibu-ibu yang memiliki anak down syndrome. Didukung
dengan hasil penelitian Suri (2012), bahwa sesama orang tua yang memiliki
anak down syndrome dan saling bertukar pendapat memberikan efek positif
pada diri mereka. Berbeda dengan subjek S mendapatkan dukungan dari guru
mengaji, yang membuat S untuk menerima keadaan anak. Dukungan yang
diperoleh dari lingkungan akan membuat subjek tidak merasa tertekan dan
mengalami stres dalam mengasuh anaknya (Zeisler, 2011). Hasil penelitian
Wijayanti (2015), menyatakan bahwa dukungan lingkungan memengaruhi
pengelolaan emosi positif pada ibu yang memiliki anak down syndrome.
Selanjutnya ibu yang memiliki anak down syndrome dapat menerima keadaan
anak ketika keluarga dan lingkungan tidak mempermasalahkan kondisi anak.
Pada tahap ini mulai proses tawar menawar pada subjek, menurut Safaria
(2005), tahapan ini merupakan tahapan ketika proses menghibur diri atas
keadaan anak.

Penyesuaian diri subjek berawal dari cara subjek coping stress , yaitu
emotional focused coping. Menurut Lestari (2012), salah satu strategi coping
adalah emotional focused coping adalah usaha yang dilakukan untuk mengubah
pengalaman emosi terhadap stres dengan cara mengatur respon emosional
dengan tujuan dapat menyesuaikan diri pada situasi yang dianggap penuh
tekanan. Subjek menanggap permasalahan yang dialami dapat diselesaikan
dengan baik. Sesuai dengan hasil penelitian Suri (2012), bahwa orang tua yang
memiliki anak down syndrome menganggap permasalahan yang dihadapi akan
membuat pribadi menjadi lebih baik dalam menghadapi masalah karena
masalah tidak bisa dihindari dan mencari solusi untuk menyelesaikan.

4. Pengasuhan Anak Down Syndrome.

48
Coping stress yang telah dilakukan membuat ketiga subjek dapat menerima
keadaan anak mereka dengan ikhlas dan dapat menyesuaikan diri. Hal yang
demikian menurut hasil penelitian Ghoniyah dan Savira (2015), bahwa lambat
laun setelah ibu menjalani kehidupan dengan anak down syndrome mampu
memahami dan menyesuaikan diri dengan keadaan anak. Selain itu
ketiga subjek juga tidak merasa malu dengan keadaan anak yang memiliki
kekurangan. Ketiga subjek telah melewati tahapan Acceptance (penerimaan),
hal yang demikian menurut Sarafino (2005), tahapan tersebut tahapan dimana
orang tua telah mencapai titik pasrah dan menerima keadaan anak dan
mengharapkan yang terbaik seusuai kemampuan anak.

Penerimaan diri pada keadaan anak ditunjukkan ketiga subjek dalam penerapan
pola asuh pada anak agar mandiri. Menurut Menurut Lestari (2012),
pengasuhan anak bertujuan untuk mengembangkan atau meningkatkan
kemampuan anak yang dilandasi dengan rasa kasih sayang. Didukung dengan
penelitian Wiryadi (2014), yang menyebutkan bahwa orangtua sangat berperan
penting dalam mengantarkan keberhasilan pendidikan terhadap kemandirian
anak down syndrome. Ketiga subjek menyekolahkan anak dengan tujuan agar
anak dapat mandiri dan dapat bermanfaat untuk lingkungan sekitar. Menurut
Gunarhadi (2005), keterampilan tersebut merupakan cara melatih kemandirian
anak down syndrome. Menurut mangunsong (2011), ada empat peran orang
tua, yaitu orang tua sebagai pengambil keputusan, tanggung jawab sebagai
orang tua, tanggung jawab sebagai guru, dan sebagai penasehat. Ketiga subjek
melakukan keempat peran tersebut. Pertama mengambil keputusan dalam
memberikan penanganan medis. Ketiga subjek bertanggung jawab atas
kehadiran anak down sydnrome sehingga merencanakan masa depan anak.
Subjek juga memberikan pendidikan anak yang sesuai dengan perkembangan
dan hambatan anak. Subjek WT, S, dan RM juga memberikan nasehat dan
arahan pada anak.

KESIMPULAN

Diagnosis medis, problematika keluarga, dan problematika lingkungan


mengakibatkan terjadinya konflik pada diri ibu. Dukungan sosial berupa
dukungan emosi suami serta dukungan suadara dan dukungan lingkungan yang
diberikan membuat ibu melakukan coping stress. Faktor-faktor Tersebut
memengaruhi penerapan pengasuhan pada anak down syndrome.

DAFTAR PUSTAKA

49
Anggraini, R. R. (2013). Persepsi orang tua terhadap anak berkebutuhan khusus.
Jurnal PLB FIP UNP, 1(1). Diunduh dari
http://ejournal.unp.ac.id/index.php/jupekhu/article/viewFile
/951/807

Ghoniyah, Z., & Savira, S.I. (2015). Gambaran psychological well being pada
perempuan yang memiliki anak down syndrome. Jurnal Psikologi
UNESA, 3(1). Diunduh dari https://www.google.com/search?
q=Gambaran+psychological+well+bein+pada+%09pere
mpuan+yang+memiliki+anak+down+syndrome.&ie=utf8oe=utf8&clien
t=firefox-b

Gousmett, S. L. (2006). Families of children with developmental disabilities:


family environment, social support and sibling well-being. Thesis.
Psychology University of Canterbury Upper Riccarton.

Gunarhadi. (2008). Penanganan anak down syndrome dalam lingkungan


keluarga dan sekolah. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.

Herdiansyah, H.(2010). Metodologi penelitian kualitatif untuk ilmu-


ilmu sosial. Jakarta: Salemba Humandika.

Ibrahim, M., & Nur, M. (2002). Pembelajaran berdasarkan masalah.


Surabaya: UNESA University Press.

Karina, D.P. (2012). Pengasuhan ibu yang memiliki anak down syndrome.
Jurnal Psikologi Pendidikan dan Perkembangan,1(2).Diunduh dari
http://journal.unair.ac.id/filerPDF/abstrak_449553_tpjua.pdf

Kartono, K. (2007). Psikologi wanita mengenal wanita sebagai ibu dan nenek.
Bandung: CV mandar maju.

Kemis., & Rosnawati, A. (2013). Pendidikan anak berkebutuhan khusus


Tunagrahita. Jakarta: Luxima Metro Media.

50
Lestari, S. (2012). Psikologi keluarga: Penanaman nilai dan
penanganan konflik dalam keluarga. Jakarta: Kencana.

Mangunsong, F. (2009). Psikologi dan pendidikan anak berkebutuhan khusus.


Jakarta: LPSP3 UI.

Mangunsong, F. (2011). Psikologi dan pendidikan anak berkebutuhan khusus.


Jakarta:LPSP3 UI.

Putri, D.P.K., & Lestari, S. (2015). Pembagian peran dalam rumah tangga pada
pasangan suami istri jawa. Jurnal Penelitian Humaniora, 16(1).
Diunduh dari https://www.google.com/ search?
q=Pembagian+peran+dalam+rumah+tangga+pada+
%09pasangan+suami+istri+ja wa&ie=utf8&oe=utf8&client=firefox-b

Roy, R. (2011). Social support, health, and illness. Toronto:

University of Toronto Press Santrock, J. W. (2007). Perkembangan

anak. Jakarta: Erlangga.

Safaria, T. (2005). Autisme: Pemahaman baru untuk hidup bermakna bagi


orangtua. Yogyakarta: Penerbit Graha Ilmu.

Santoso, H. (2012). Cara memahami dan mendidik anak berkebutuhan khusus.


Yogyakarta: Gosyen Publishing.

Sarafino, E.P. (2006). Health psychology: Biopsychosocial interaction. New


York: John Wiley & Sons.

Somantri, S. (2007). Psikologi anak luar biasa. Bandung:

Refika Aditama. Smith, A. J. (2009). Psikologi kualitatif.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

51
Sugiyono. (2015). Metode penelitian kuantitatif, kualitatif, dan R & D.
Yogyakarta: Alfabeta.

Suri, D.P., & Daulay, W. (2012). Mekanisme koping pada orang tua yang
memiliki anak down syndrome di sdlb negeri 107708 lubuk pakam
kabupaten deli serdang. Jurnal USU, 1(1). Diunduh dari
http://jurnal.usu.ac.id/index.php/jkh/article/view/57/0

Triana, N. Y.,& Andryani, M.(2010). Stres dan koping keluarga dengan anak
tunagrahita di SLB C dan SLB C1 Widya Bhakti Semarang. E-journal Fakultas
Kedokteran. Semarang: Universitas Diponegoro.

Wijayanti, D. (2015). Subjective well-being daan penerimaan diri ibu yang


memiliki anak down syndrome.Jurnal psikologi UNMUL, 4(1), 120-
130. Diunduh dari
http://ejournal.psikologi.fisipunmul.ac.id/site/wpcontent/uploads/2015/
12/ejounal%20 dian%20wijayanti%20(12-08-15-06- 26-24).pdf

Wiryadi, S.S. (2014). Pola asuh orang tua dalam upaya pembentukan
kemandirian anak down syndrome x kelas d1/c1 di slb negeri 2 padan.
Jurnal Ilmiah Pendidikan Khusus FIP UNP, 3(3). Diunduh dari
http://ejornal.unp.ac.id/index.php/jupekhu/aticle/viewFile/ 3911/3145

Zeisler, L. (2011). Assosiation between stress an decisional procastinations of


children with down syndrome during their developmental transitions.
South Orange: Seton Hall University.

52

Anda mungkin juga menyukai