Anda di halaman 1dari 10

Bab I

Pendahuluan

1.1 Latar Belakang


Dalam kerangka Pengajaran Bahasa Komunikatif (Communicative Language
Teaching/CLT), bahasa tidak lagi dipandang hanya sebagai sebuah mekanisme kognitif,
tetapi lebih penting lagi dianggap sebagai alat interaksi sosial (Dik, 1980). Bahasa
pengguna selalu menggunakan pengalaman khusus mereka, yang mencerminkan perilaku
sosial mereka (Callagan & Rothery, 1988; Halliday, 1985; Melrose, 1995). Sebagai
refleksi dari perilaku sosial penggunanya, penggunaan bahasa yang tepat dan pilihan
linguistik tertentu tergantung sepenuhnya pada konteks situasi. Terinspirasi
dengan kerangka ini, Profesor MAK Halliday (1979, 1985) mengembangkan pendekatan
untuk pengajaran tata bahasa, yang disebut “linguistik sistemik (systemic
linguistics)” atau dikenal sebagai “tata bahasa fungsional sistemik systemic functional
grammar)”. Pendekatan ini berusaha untuk menghubungkan penggunaan
bahasa dengan setting sosial secara eksplisit dan sistemik melalui fokus pada makna
daripada bentuk, dan teks keseluruhan bukan pada kalimat terpisah.
Tulisan ini terlebih dahulu akan menjelaskan konsep Grammar Fungsional
Sistemik (systemic functional grammar) dan bagaimana hal itu berbeda dari tata bahasa
tradisional dan transformasional. Kemudian, akan ada deskripsi beberapa fitur bahasa
generik yang menyatu dalam teks, serta diskusi tentang fitur linguistik
generik sebuah teks, yang meliputi tema, pantun, referensi, konjungsi, proses kata kerja,
dan tenses. Setelah itu, genre tertulis akan dibahas, diikuti dengan analisis teks. Selain itu,
saran implikasi untuk pengajaran bahasa di kelas sangat direkomendasikan. Akhirnya
akan ada kesimpulan dari apa yang telah dibahas pada bagian sebelumnya.
Grammar Fungsional Sistemik adalah sebuah pendekatan untuk pengajaran dan
pembelajaran tata bahasa yang pada awalnya dikembangkan oleh Profesor MAK Halliday
(1985). Ini adalah teknik pembelajaran bahasa yang berorientasi pada proses yang
menempatkan konteks dan tujuan sebagai aspek utama yang perlu dipertimbangkan dalam
proses menciptakan hasil fungsi sosial yang sesuai dari berbagai genre atau jenis teks
(Melrose (1995). Pada konteks sosial yang berbeda-beda, pada akhirnya, jenis teks

1
berbeda tidak hanya dari segi tujuan tetapi juga berbeda dalam kaitannya dengan situasi
tertentu di mana jenis teks tersebut sedang digunakan (Derewianka, 1983). 

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa Yang Dimaksud Aliran Linguistik Sistemik ?
2. Bagaimana Karakteristik Tokoh Tokoh Pada Aliran Linguistik Sistemik ?
3. Apa Kelebihan Dan Kekurangan Aliran Linguistik Sistemik ?

1.3 Tujuan
1. Mengetahui Siapa Dan Bagaimana Karakteristik Tokoh Pada Aliran Sistemik
2. Bisa Mengidentifikasi Apa Kelebihan Dan Kekurangan Aliran Linguistik Sistemik.

2
Bab II

Pembahasan

2.1 Aliran Linguistik Sistemik.


Linguistik Sistemik Fungsional (Systemic Functional Linguistics, SFL ) adalah aliran
linguistik yang dikenalkan pada awal tahun 1960-an oleh Michael Alexander Kirkwood
Halliday, seorang linguis yang lahir pada tahun 1925 di Leeds, Inggris, dan meninggal di
Sydney, Australia pada tahun 2018. Kata sistem pada sistemik mengacu kepada sistem
pilihan, yaitu bahwa secara paradigmatis, penggunaan bahasa berada pada pilihan
bentuk. Misalnya, pada peristiwa komunikasi, pengguna bahasa dihadapkan pada pilihan
klausa, apakah deklaratif ataukah indikatif dan apakah aktif ataukah pasif. Adapun kata
fungsional mengandung makna bahwa bahasa berada dalam konteks penggunaan, dan
bahwa bentuk-bentuk bahasa mengemban fungsi. Dengan demikian, SFL . Untuk alasan
keseragaman dan kemudahan dalam pengucapan, singkatan yang digunakan SFL, yang
diambil dari nama bahasa Inggrisnya: Systemic Functional Linguistics.
Systemic Functional Linguistics. adalah linguistik yang mempermasalahkan cara
pemilihan bentukbentuk bahasa pada konteks penggunaan bahasa sebagai teks. Dalam
peta linguistik, istilah fungsional sering dikontraskan dengan istilah formal. Istilah yang
pertama mengacu kepada aliran yang dikelompokkan ke dalam linguistik fungsional, dan
biasanya dianalogikan dengan aliran linguistik yang dipelopori oleh Halliday. Di pihak
lain, istilah yang kedua mengacu kepada aliran yang dikelompokkan ke dalam linguistik
formal, dan biasanya dianalogikan dengan aliran linguistik yang dipelopori oleh linguis
Amerika, Noam Chomsky (lahir tahun 1928). Pada masing-masing kelompok di atas,
terdapat berbagai macam variasi, dengan jumlah tokoh yang tidak terbilang. Namun
demikian, kedua kelompok tersebut dapat dibedakan dengan melihat tradisi pemikiran
tempat kedua kelompok itu berakar. Secara umum, telah dikenal keberadaan dua tradisi
pemikiran yang berbeda tentang bahasa yang berkembang di Barat. Kelompok
fungsional berakar pada tradisi yang menginterpretasikan bahasa sebagai fungsi dengan
berorientasi kepada retorika dan etnografi. Kelompok formal berakar pada tradisi yang
menginterpretasikan bahasa sebagai bentuk dengan berorientasi kepada logika dan
filsafat.

3
Linguistik fungsional berkembang dari dan ke beberapa arah, dan SFL milik Halliday
adalah salah satu variasinya. Perkembangan itu secara ringkas dapat dikemukakan
sebagai berikut. Tradisi fungsional bermula dari Eropa Timur yang pada saat itu di
kalangan Formalisme Rusia telah timbul kesadaran mengenai pentingnya konteks secara
sosiologis, yang berbeda dengan yang terjadi di Eropa Barat. Formalisme Timur ini
berpengaruh kepada Aliran Fungsionalisme Moscow (yang dipelopori oleh Propp,
Voloshinov, Bakhtin, dan Roman Jakobson), dan berpengaruh pula kepada aliran
Fungsionalisme Praha (yang dipelopori oleh V. Mathesius, J. Mukarovsky, dan F.
Daneš). Fungsionalisme Fraha kemudian dibawa oleh B. Malinowski ke Inggris, yang
kemudian berkembang Pengantar Ringkas Linguistik Sistemik Fungsional 3 menjadi
Aliran Fungsionalisme Inggris (yang dipelopori oleh John Rupert Firth, M.A.K.
Halliday, dan J. McH. Sinclair). Melalui Jerman, Formalisme Timur juga berkembang
menuju Amerika (yang dipelopori oleh E. Sapir, B.L. Whorf, M. Silverstein, dan J.
Gumperz), meskipun pada akhirnya lebih berkembang ke arah antropologi ketimbang
linguistik. Aliran Fungsionalisme Inggris kemudian dibawa ke Australia oleh Halliday
dan Ruqaiya Hasan, dan ke Canada oleh Michael Gregory. Di Canada, J.R. Martin
belajar di bawah asuhan Gregory, lalu berguru kepada Halliday di Inggris, yang akhirnya
juga pindah ke Australia, menyusul Halliday di The University of Sydney. Cabang
fungsionalisme yang lain berkembang di Denmark (yang dipelopori oleh L. Hjemslev),
di Prancis (yang dipelopori oleh A Martinet dan C. Hagege), di Belanda (yang dipelopori
oleh Teun van Dijk, dan di Austria-Jerman (yang dipelopori oleh W. Dressler). Di
samping itu, perlu dikemukakan bahwa terdapat hubungan yang sangat erat antara
fungsionalisme dan sosiolinguistik (sebagaimana dikembangkan oleh W. Labov, J.
Gumperz, J. Fishman, dan W. Dressler), serta antara linguistik fungsional dan linguistik
antropologi dengan tokoh-tokoh yang agak sulit dipisahkan satu dan yang lain
(Diadaptasikan dari Lemke, http://www-personal. umich. edu/~jaylemke/theories.htm,
2005). Terdapat beberapa model linguistik fungsional, yang menurut Tomlin (1990)
dapat dikelompokkan menjadi empat besar, yaitu: (1) Kelompok SFL yang dipelopori
oleh M.A.K. Halliday, (2) Kelompok Linguistik Fungsional Praha yang dipelopori oleh
František Daneš, (3) Kelompok Linguistik Fungsional Eropa (terutama berkembang di
Belanda dan Belgia) yang dipelopori oleh Simon C. Dik, dan (4) Kelompok Linguistik
Fungsional Amerika Utara yang dipelopori oleh Talmy Givon. Ketiga kelompok yang
disebut terakhir mempunyai kesamaan pandangan dengan SFL yang dikembangkan oleh

4
Halliday dalam hal bahwa bahasa merupakan fenomena sosial yang tercermin dalam
penggunaannya. Namun demikian, ketiga-tiganya berbeda

2.2 Tokoh Tokoh Aliran Linguistik Sistematik


Nama aliran linguistik sistemik tidak dapat dilepaskandari nama M.A.K Halliday,
yaitu salah seorang murid Firth yang mengembangkan teori Firth mengenai bahasa,
khususnya yang berkaitan dengan segi kemasyarakatan bahasa. Sebagaipenerus Firth,
maka teori yang dikembangkan oleh Halliday dikenal dengan Neo-Firthian Linguistic
atau Scale Category Linguistic.
Aliran ini mempunyai banyak nama, seperti teori linguistik sistematik, teori linguistik
sistemik (systemic linguistics), atau teori linguistik fungsional, apapun sebutan yang ada,
teori ini tidak bisa lepas dari seseorang yang bernama Michael Alexander Kirkwood
Halliday (MAK Halliday) yang telah menemukan dan mengembangkan teori kebahasaan
tersebut. Ia merupakan salah seorang murid dari Firth, seorang ahli bahasa yang
mengembangkan aliran Firth, guru besar di Universitas London, dimana Halliday
belajar.Sebagai penerus Firth dalam bidang kemasyarakatan bahasa serta pada sebuah
karangannya Categories of the Theory of Grammar, Halliday mengembangkan suatu teori
linguistik, yang mula-mula dikenal sebagai Neo-Firthian Linguistics atau Scale and
Categories Linguistics. Namun dikemudian waktu, muncul nama baru untuk teori ini,
Systemics Linguistics (dalam bahasa Indonesia disebut Linguistik Sistemik). Karya besar
pertamanya tentang masalah tata bahasa adalah "Kategori dari teori tata bahasa", yang
diterbitkan dalam jurnal Firman pada tahun 1961 . Dalam tulisan ini, ia berpendapat
untuk empat "kategori fundamental" bagi teori tata bahasa: "Unit", "struktur", "kelas" dan
"sistem". Kategori-kategori ini menurutnya adalah "dari urutan tertinggi abstraksi", tapi
dibela seperti yang diperlukan untuk "memungkinkan account koheren tentang apa tata
bahasa dan tempatnya dalam bahasa" Dalam mengartikulasikan unit 'kategori'.
Tata bahasa fungsional sistemik berbeda dari tata bahasa tradisional maupun tata
bahasa transformasional. Menurut Knapp dan Watkins (1994), tata bahasa tradisional
adalah istilah yang merujuk pada tata bahasa 'sekolahan’ yang diajarkan di sekolah. Hal
ini karena bahasa dilihat sebagai sistem formal, yaitu penekanan pada aspek formal
bahasa. Tata bahasa tradisional sering digambarkan berlawanan dengan tata bahasa
fungsional, tata bahasa tradisional menggambarkan bahasa sebagai suatu sistem linguistik
formal sedangkan tata bahasa fungsional menggambarkan bahasa dalam konteks

5
sosio fungsional, seperti fitur linguistik. Butt, et al. (1998) menyatakan bahwa tata bahasa
tradisional berkaitan dengan “kelompok istilah” seperti ; noun, adjective, verb, adverb,
pronoun, article, conjunction, dan preposition. “Kelompok istilah” ini  memungkinkan
kita untuk mengklasifikasikan kata-kata sesuai dengan cara mereka digunakan dalam
kalimat tetapi seberapa akurat dan bermanfaat kata-kata ini dalam konteks diabaikan.
Bahkan, pendekatan ini menganalisa arti dari bahasa tersebut pada level masing-masing
kata-kata atau dalam kalimat secara terpisah.
Seperti tata bahasa tradisional, transformasi (generatif) tata bahasa (transformational
(generative) grammar), yang dikembangkan berdasarkan ide-ide Chomsky (1957),
melihat arti dari bahasa pada tingkat sintaksis. 'Sintaks' dianggap komponen terdalam dari
suatu tata bahasa generatif (Davis, 1973). Selanjutnya, ia mengklaim bahwa melalui
'sintaks' kita dapat melihat bagaimana kata-kata saling terkait dan mengekspresikan
segalanya dengan bahasa. Namun, pernyataan ini diragukan setiap kali kita memeriksa
ketepatan makna kata-kata dalam konteks. Kita tidak dapat melihat arti dari konteks
secara keseluruhan dengan menafsirkan kata demi kata. Selain itu, tata bahasa tradisional
dan transformasional berusaha untuk mengatur apa peran bahasa seharusnya, inilah yang
Fromkin, dkk (1999) sebut “tata bahasa preskriptif (prescriptive grammar)”
Tata bahasa fungsional sistemik (Systemic functional grammar), di sisi lain, melihat
bahasa dari perspektif sosio-fungsional di mana komunikasi adalah berhubungan dengan
konteks dan tujuan. Pendekatan ini berkaitan dengan analisa wacana. Dengan kata lain,
itu adalah cara lain untuk menganalisa wacana. Ini adalah analisa bahasa dari
sisi pemikiran yang disebut 'Systemis'. Pendekatan ini berpendapat bahwa teks-teks selalu
dihasilkan dalam konteks, bahwa arti bahasa ditemukan dalam teks secara keseluruhan
dan bukan dalam kalimat yang terpisah. Hal ini juga menyatakan bahwa model fungsional
bahasa menjelaskan bagaimana bahasa digunakan pada tingkat teks, tidak pada tingkat
kata per kata dan kalimat secara terpisah. Fokus dari pendekatan fungsional ini
adalah pada hasil sosio-budaya, tujuan, dan penggunaan bahasa tersebut. Sehingga secara
umum pendekatan ini ditujukan untuk mengungkapkan banyaknya pilihan  yang dimiliki
pengguna bahasa dalam interaksi dan menun- jukkan maknanya (Gerot & Wignell, 1994).
Apa saja fitur bahasa secara umum (general language features) dari tata bahasa
fungsional sistemik? Halliday (1985) menyatakan bahwa teori di balik pendekatan ini,
dikenal sebagai teori “sistemik”, adalah teori sebuah makna sebagai pilihan, di mana
sebuah bahasa, atau sistem semiotik lain, diartikan sebagai susunan “pilihan antar
jaringan”. Kerangka konseptual dari pendekatan ini didasarkan pada satu fungsi daripada

6
satu struktur. Dengan kata lain, ia dirancang untuk menjelaskan bagaimana bahasa
digunakan. Derewianka (1990) menjelaskan bahwa pendekatan fungsional melihat
bagaimana bahasa memungkinkan kita untuk melakukan sesuatu. Hal ini berkaitan
dengan bagaimana orang menggunakan bahasa yang nyata untuk tujuan yang nyata.
Dalam pendekatan ini dinyatakan bahwa makna dan bagaimana bahasa yang digunakan
dalam pengembangan makna sangat ditekankan.
Selain itu, Halliday dikutip dalam Teich (1999) menjelaskan bahwa untuk melihat
cara kerja bahasa, kita harus mempertimbangkan cara itu digunakan dalam konteks
tertentu, baik budaya dan situasional. Malinowski dikutip dalam Knapp dan Watkins
(1994) menjelaskan bahwa konteks budaya adalah sistem kepercayaan, nilai dan sikap
yang pembicara bawa ke dalam setiap interaksi sosial, sementara konteks situasi adalah
situasi ketika guru memperhitungkan variabilitas kelompok lingkungan. Menurut Knapp
dan Watkins (1994), untuk melihat makna konteks, ada tiga fitur bahasa secara umum
(tiga aspek atau parameter menurut Butt, dkk, 1998.) sebuah teks yang harus
dipertimbangkan, yaitu: lapangan, tenor dan modus (field, tenor dan mode). Tiga faktor
ini bersama-sama akan menentukan “nilai dari sebuah teks (Reuter, 2000).
Lapangan (field) adalah istilah teknis yang diberikan kepada 'apa' dari konteks situasi
(Knapp & Watkins, 1994) atau 'apa' adalah masalah pokok teks tersebut (Derewianka,
1990). Bidang situasi mengacu pada 'apa yang sedang terjadi' – sedang berlangsung dan
terjadi - tentang apa teks tersebut. Selanjutnya, Swales (1990) menyatakan bahwa
lapangan terkait dengan pengelolaan ide. Ini termasuk kolokasi semantik, kohesi leksikal,
kata-kata topik atau contentive (kata benda, kata kerja, kata sifat, keterangan). Lapangan
atau bidang teks tentang sebuah situasi kira-kira sejajar dengan “makna
ideasional (ideational meaning)” dalam istilah semantik ketika melihat tata bahasa
teks tersebut. Makna ideasional adalah cara yang bahasa
wakili secara simbolis tentang apa yang terjadi di dunia ini. Ada tiga istilah yang
mewakili makna ideasional: (1) proses, verba atau kelompok-kelompok kerja seperti
mengambil keranjang, akan, bekerja, dll (2) peserta, kata benda atau kelompok kata benda
seperti serigala, nenek, tukang kayu, dan (3) keadaan, kata atau frasa seperti di hutan, di
dalam lemari, ke kamar tidur, dll.
Tenor adalah istilah yang menggambarkan 'siapa' dari situasi konteks yang terjadi. Ini
juga menggambarkan hubungan antara peserta: pembicara atau pendengar, penulis atau
pembaca (Derewianka, 1990). Hal ini terkait dengan pengelolaan hubungan pribadi
(Swales, 1990). Jangka waktu teks akan tergantung pada peran peserta dan hubungan

7
mereka seperti seberapa baik mereka mengenal satu sama lain, usia mereka,
status hubungan keluarga mereka, dan seterusnya. Knapp & Watkins (1994) memberikan
penjelasan lebih lanjut bahwa jangka waktu konteks juga berkaitan dengan 'makna
interpersonal' dari tata bahasanya. Ini berkaitan dengan pertukaran ide dan informasi
dari beberapa kalimat dalam teks.
Mode berhubungan dengan 'bagaimana' dari konteks situasi tersebut. Ini adalah lay
out teks atau bentuk bahasa yang menggambarkan kegiatan sosial tertentu (Reuter, 2000).
Ini adalah bagaimana sebuah konteks sedang dikomunikasikan, apakah itu lisan atau
tertulis serta formal maupun informal. Knapp & Watkins (1994) menguraikan
bahwa mode/modus sebuah konteks berkaitan dengan 'makna tekstual (textual meaning )'
yang menunjukkan cara teks menggunakan 'tema, referensi, kohesi leksikal, dan koneksi
logis untuk menyampaikan pesan yang koheren dan kohesif.
Setelah membahas fitur bahasa umum dari pendekatan fungsional, mari kita lihat fitur
linguistik secara umum (generic linguistic features) jenis teks. Jenis teks biasanya
merupakan bentuk kategori fungsional. Klasifikasi kategori fungsional disebut 'genre'.
Menurut Reuter (2000) ada lima kategori fitur linguistik generik di setiap jenis teks.
Kategori pertama disebut " theme and rheme (thema dan rheme)'. 'Theme/tema' berarti
kata utama (Reuter, 2000) atau nama gramatikal yang diberikan kepada bagian pertama
dari kalimat yang menetapkan informasi yang telah diketahui bersama antara penulis dan
pembaca (Knapp & Watkins, 1994). 'Rheme' adalah kata-kata topik asosiasi (Reuter,
2000) atau informasi baru yang diperkenalkan oleh tema. Contoh berikut ini diambil dari
teks yang dianalisis dalam tulisan ini.

2.3 Kelebihan Dan Kekurangan Aliran Linguistik Sistemik


2.3.1 Kelemahan Linguistik sistemik Fungsional.
Dalam kebahasaan, aliran ini tentunya memiliki beberapa titik lema
diantaranya gagasan fungsional tidak menyentuh secara mendalam komponen
fungsional untuk menentukan makna dalam penelitian bahasa, seperti pada
tataran sintaksis hanya menyebutkan adanya fungsi dalam setiap struktur
bahasa, namun tidak menjelaskan terminologi apa saja yang tercakup di
dalamnya. Selanjutnya, bagaimana menyusun kalimat yang benar berdasarkan
fungsi pun tidak jelas. Demikian halnya pada tataran fonologi dan morfologi.
Jadi, kelemahan aliran ini adalah tidak mampu menguraikan fungsi unsur
linguistik lebih rinci, khsususnya . pada tataran sintaksis. Dalam struktur

8
kalimat, gagasan aliran ini tidak menjelaskan komponen apa saja yang
tercakup dalam aspek fungsional pada kalimat. Sebagaimana kita ketahui ada
fungsi lain dalam kalimat yaitu fungsi semantis dan fungsi pragmatis.

2.3.2 Kelebihan sistem linguistik sistemik Fungsional


Keunggulan aliran ini adalah kita dapat mengetahui bahwa setiap fonem
(bunyi) itu memiliki fungsi, sehingga dapat, membedakan arti. Setiap monem
(istilah Martinet) yang diartikulasikan memiliki isi dan ekspresi dengan begitu
dapat dilihat fungsinya. Kemudian pada tataran yang lebih besar yaitu
sintaksis, aliran ini menekan kan pada fungsi preposisi dan struktur kalimat,
maksudnya unsur linguistik dalam sebuah kalimat dapat dijelaskan dengan
merujuk pada fungsi sehingga ditemukan pemahaman logis yang utuh. Jadi,
aliran ini telah berhasil melihat setiap komponen bahasa berdasarkan fungsi
dan menginspirasi gagasan adanya relasi antara struktur dan fungsi
bahasa.Sementara dalam dunia sastra, gagasan Jakobson tentang enam fungsi
bahasa menjadi pijakan dalam menelaah karya sastra. Idenya tersebut
melahirkan istilah model komunikasi sastra, yang memusatkan pada pesan
yang terkandung dalam karya sastra. Model ini banyak diadopsi untuk
menggali fungsi bahasa dalam wacana baik wacana ilmiah maupun non
ilmiah, sastra maupun non sastra.

9
Bab III

Penutup

3.1 Kesimpulan
3.2 Saran

10

Anda mungkin juga menyukai