Anda di halaman 1dari 36

MAKALAH ASUHAN KEPERAWATAN

IBU HAMIL DENGAN ASMA


Makalah Ini Dibuat Untuk Memenuhi Tugas Maternitas II

ANGGOTA KELOMPOK:

Bunga Fortuna S (11212023)


Dewi Sartika (11212033)
Hasatia Ragaini (11212067)
Ian Satrian (11212071)
Lia Yuliana (11212088)
Martha Nababan (11212095)
Novi Citra L. Harahap(11212116)
Nunung Nurmayanti (11212120)
Yuliawaty (11212200)

S1 KEPERAWATAN NON REGULER ANGKATAN XV


SEKOLAH TINGGI ILMU KEPERAWATAN PERTAMEDIKA
2021-2022

1
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
 LATAR BELAKANG .................................................................... 2
 TUJUAN ......................................................................................... 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
 PERSALINAN ................................................................................ 4
 ASMA ............................................................................................. 11
BAB III KESIMPULAN
 KESIMPULAN ............................................................................... 40
 SARAN ........................................................................................... 40
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 41

2
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Asma adalah suatu penyakit dengan ciri meningkatnya respon trakea dan bronkus
terhadap berbagai rangsangan dengan manifestasi adanya penyempitan jalan napas yang
luas dan derajatnya dapat berubah-ubah, baik secara spontan maupun sebagai hasil
pengobatan (Muttaqin, 2008). Asma bronkial merupakan salah satu penyakit saluran
napas yang sering dijumpai kehamilan dan persalinan (Mustika, 2008). Pengaruh
kehamilan terhadap timbulnya serangan asma selalu sama terhadap setiap penderita,
bahkan pada seorang penderita asma, serangan tidak sama pada kehamilan pertama dan
berikutnya. Penyakit ini menimbulkan yang serius pada wanita hamil. Asma yang tidak
terkontrol dengan baik, dapat berpengaruh terhadap ibu dan janin. Penyakit asma terdapat
3,4 – 8,4 % pada wanita hamil dan gangguan nafas sangat sering terjadi pada wanita
hamil (Sity, 2013).
Terdapat risiko yang jelas baik pada ibu maupun janin, bila gejala asma memburuk. Pada
penelitian menyatakan asma dihubungkan dengan meningkatnya kematian perinatal dua
kali lipat. Selain itu juga meningkatkan risiko komplikasi berupa hiperemesis,
preeklampsia, dan perdarahan pada pasien yang mengidap asma, begitupula halnya terjadi
peningkatan angka kematian neonatal dan persalinan prematur. Hal ini menunjukkan
betapa pentingnya penanganan aktif pasien hamil untuk menghindari eksaserbasi akut
asma bronkhial.

B. Tujuan
Tujuan penyusun dalam penyusunan makalah ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu
tujuan umum dan tujuan khusus,dimana:
1. Tujuan Umum
Tujuan umum dalam penyusunan makalah ini yaitu untuk mengetahui dan
memahami tentang konsep dasar penyakit asma pada ibu hamil dan asuhan
keperawatan yang benar pada ibu hamil dengan asma.
2. Tujuan Khusus
a. Dapat mengetahui dan memahami tentang konsep dasar penyakit asma pada
ibu hamil yang meliputi definisi asma, etiologi, patofisiologi dan pathways,
komplikasi dan penatalaksanaan.
b. Dapat mengidentifikasi konsep asuhan keperawatan yang benar pada ibu

3
hamil dengan asma yang meliputi pengkajian, diagnosa keperawatan, dan
perencanaan keperawatan.

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Teori Medis
1. Persalinan
a. Pengertian Persalinan
Persalinan adalah proses pengeluaran (kelahiran) hasil konsepsi yang dapat hidup
di luar uterus melalui vagina ke dunia luar. Proses tersebut dapat dikatakan normal
atau spontan jika bayi yang dilahirkan berada pada pisisi letak belakang kepala
dan berlangsung tanpa bantuan alat-alat atau pertolongan, serta tidak melukai ibu
dan bayi. Pada umumnya proses ini berlangsung dalam waktu kurang dari 24 jam
(Sondakh, 2013).
Persalinan normal adalah proses pengeluaran bayi dengan usia kehamilan cukup
bulan, letak memanjang atau sejajar sumbu badan ibu, presentasi belakang kepala,
keseimbangan diameter kepala bayi dan panggul ibu, serta dengan tenaga ibu
sendiri. Hampir sebagian besar persalinan merupakan persalinan normal, hanya
sebagian saja (12-15%) merupakan persalinan patologik. Pada beberapa kondisi,
persalinan normal dapat beralih menjadi persalinan patologik apabila terjadi
kesalahan dalam penilaian kondisi ibu dan bayi atau juga akibat kesalahan dalam
memimpin proses persalinan. (Saifuddin, 2006 : 450).
Persalinan adalah serangkaian kejadian yang berakhir dengan pengeluaran bayi
cukup bulan atau hampir cukup bulan, disusul dengan pengeluaran plasenta dan
selaput janin dari tubuh ibu (Yanti: 2009).
Patologi merupakan cabang bidang kedokteran yang berkaitan dengan ciri–ciri
dan perkembangan penyakit melalui analisis perubahan fungsi atau keadaan
bagian tubuh. (Sujiatini, dkk, 2009).
Patologi adalah cabang ilmu kedokteran yang mempelajari sifat esensial penyakit,
khususnya perubahan pada jaringan dan organ tubuh yang menyebabkan atau
disebabkan penyakit. (Kamus Dorland)
Patologi adalah spesialisasi medis yang bersangkutan dengan studi tentang proses
penyakit dengan penekanan pada pemahaman sifat dan penyebab penyakit.
b. Tanda persalinan
Tanda - tanda persalinan menurut (Yanti, 2009 : 9-10) adalah sebagai berikut:
1) His persalinan ialah his pembukaan dengan sifat-sifatnya:

5
a) Nyeri melingkar dari punggung memancar ke perut depan.
b) Makin lama makin pendek intervalnya dan makin kuat intensitasnya.
c) Kalau dibawa berjalan bertambah kuat.
d) Mempunyai pengaruh pada pendataran dan pembukaan serviks.
2) Bloody show ( lendir disertai darah dari jalan lahir).
3) Premature Rupture of Membrane ( keluarnya cairan banyak dengan
sekonyong-konyong dari jalan lahir).
c. Sebab-sebab mulainya persalinan menurut (Yanti, 2009)
1) Penurunan kadar progesteron
Progesteron menimbulkan relaksasi otot-otot rahim sebaliknya esterogen
meninggikan kerentanan otot rahim. Selama kehamilan terdapat keseimbangan antara
kadar progesteron dan esterogen di dalam darah, tetapi pada akhir kehamilan kadar
progesterone menurun sehingga timbul his.
2) Teori oxytocin
Pada akhir kehamilan kadar oxytocin bertambah. Oleh karena itu timbul kontraksi
otot-otot rahim.
3) Keregangan otot-otot
Seperti halnya kandung kencing dan lambung bila dinddingnya teregang oleh karena
isinya bertambah maka timbul kontraksi untuk mengeluarkan isinya. Demikian pula
dengan rahim, maka dengan majunya kehamilan makin teregang otot-otot rahim
makin rentan.
4) Pengaruh janin
Hypofise dan kelenjar suprarenal janin rupa-rupanya juga memegang peranan oleh
karena pada anenchepalus kehamilan sering lebih lama dari biasa.
5) Teori prostaglandin
Prostaglandin yang dihasilkan oleh decidua, disangka menjadi salah satu sebab
permulaan persalinan. Hasil dari percobaan menunjukkan bahwa prostaglandin F2
atau E2 yang diberikan secara intravena, intra dan ekstraamnial menimbulkan
kontraksi myometrium pada setiap umur kehamilan. Hal ini juga disokong dengan
adanya kadar prostaglandin yang tinggi baik dalam air krtuban maupun darah perifer
pada ibu-ibu hamil sebelum melahirkan atau selama persalinan.
d. Faktor-faktor yang mempengaruhi persalinan menurut (Yanti, 2009: 21).
1) Faktor power
Power adalah kekuatan yang mendorong janin keluar. Kekuatan yang mendorong
janin keluar dalam persalinan adalah: his, kontraksi otot-otot perut, kontraksi

6
diafragma, dan aksi dari ligament, dengan kerjasama yang baik dan sempurna.
a) His (kontraksi Uterus)
His adalah kontraksi uterus karena otot-otot polos rahim bekerja dengan baik dan
sempurna dengan sifat-sifat: kontraksi simetris, fundus dominant, kemudian diikuti
relaksasi. Pada saat kontraksi otot-otot rahim menguncup sehingga menjadi tebal dan
lebih pendek. Kavum uteri menjadi lebih kecil mendorong janin dan kantong amnion ke
arah bawah rahim dan serviks.
b) Tenaga mengejan
Setelah pembukaan lengkap dan setelah ketuban pecah tenaga yang mendorong anak
keluar selain his, terutama disebabkan oleh kontraksi otot-otot dinding perut yang
mengakibatkan peninggian tekanan intra addominal. Tenaga ini serupa dengan tenaga
mengejan waktu kita buang air besar tapi jauh lebih kuat lagi
2) Faktor passanger
Faktor lain yang berpengaruh terhadap persalinan adalah faktor janin, yang meliputi sikap
janin, letak janin, presentasi janin, bagian terbawah, dan posisi janin.
a) Sikap (habitus)
Sikap janin menunjukkan hubungan bagian-bagian janin dengan sumbu janin, biasanya
terhadap tulang punggungnya. Janin umumnya dalam sikap fleksi di mana kepala, tulang
punggung, dan kaki dalam keadaan fleksi, lengan bersilang di dada.
b) Letak
Letak janin adalah bagaimana sumbu janin berada terhadap sumbu ibu misalnya: (1) letak
lintang di mana sumbu janin tegak lurus pada sumbu ibu, (2) letak membujur di mana
sumbu janin sejajar dengan sumbu ibu, ini bisa letak kepala atau letak sungsang.
c) Presentasi
Presentasi dipakai untuk menentukan bagian janin yang ada di bagian bawah rahim yang
dijumpai pada palpasi atau pada pemeriksaan dalam. Misalnya presentasi kepala,
presentasi bokong, presentasi bahu dan lain-lain.
d) Bagian terbawah janin
Bagian terbawah janin sama dengan presentasi hanya lebih diperjelas istilahnya.
e) Posisi janin
Posisi janin digunakan untuk indikator atau menetapkan arah bagian terbawah janin
apakah sebelah kanan, kiri, depan atau belakang terhadap sumbu ibu (maternal-pelvis).
Misalnya pada letak belakang (LBK) ubun-ubun kecil (UUK) kiri depan, UUK kanan
belakang.
3) Faktor passage (jalan lahir)
Passage atau faktor jalan lahir dibagi atas: (1) bagian keras: tulang-tulang panggul (rangka

7
panggul) dan (2) gagian lunak: otot-otot, jaringan-jaringan dan ligament-ligament.

e. Proses Berlangsungnya persalinan Menurut (Yanti, 2009) proses berlangsungnya


persalinan dibedakan menjadi :
1) Persalinan Spontan
Bila persalinan berlangsung dengan kekuatan ibu sendiri, melalui jalan lahir ibu.
2) Persalinan buatan
Bila persalinan dibantu dengan tenaga dari luar misalnya ekstraksi forceps, atau dilakukan
operasi Sectio Caesaria.
3) Persalinan anjuran
Persalinan yang tidak dimulai dengan sendirinya tetapi baru berlangsung setelah
pemecahan ketuban, pemberian pitocin atau prostaglandin.

f. Pembagian tahap persalinan


Menurut Wiknjosastro (2005:182) persalinan dibagi dalam 4 kala, yaitu:
1) Kala I (kala pembukaan)
Pembukaan serviks dari mulai pembukaan 1 cm sampai pembukaan lengkap (10 cm)
akibat dari timbulnya his. Proses membukanya serviks sebagai akibat his dibagi dalam 2
fase, yaitu:
a) Fase laten: berlangsung selama 8 jam. Pembukaan terjadi sangat lambat
sampai mencapai ukuran 3 cm.
b) Fase aktif: dibagi dalam 3 fase lagi, yakni:
(1) Fase akselerasi: dalam waktu 2 jam pembukaan 3 cm tadi menjadi 4 cm.
(2) Fase dilatasi maksimal: dalam waktu 2 jam pembukaan berlangsung sangat
cepat, dari 4 cm menjadi 9 cm.
(3) Fase deselerasi: pembukaan menjadi lambat kembali, dalam waktu 2 jam
pembukaan dari 9 cm menjadi lengkap (10 cm).
Kala I selesai apabila pembukaan serviks uteri telah lengkap. Pada primigravida kala I
berlangsung kira-kira 13 jam, sedangkan pada multipara kira-kira 7 jam
(Wiknjosastro, 2005:182).
2) Kala II (kala pengeluaran janin)
Pada kala II his menjadi lebih kuat dan lebih cepat, kira-kira 2 sampai 3 menit sekali.
Karena biasanya dalam hal ini kepala janin sudah masuk di ruang panggul, maka pada his
dirasakan tekanan pada otot-otot dasar panggul, yang secara reflektoris menimbulkan rasa
mengedan. Wanita merasa pula tekanan kepada rectum dan hendak buang air besar.

8
Kemudian perineum mulai menonjol dan menjadi lebar dengan anus membuka. Labia
mulai membuka dan tidak lama kemudian kepada janin tampak dalam vulva pada waktu
his. Bila dasar panggul sudah lebih berelaksasi, kepala janin tidak masuk lagi di luar his,
dan dengan his dan kekuatan mengedan maksimal kepala janin dilahirkan dengan
suboksiput di bawah simfisis dan dahi, muka, dan dagu melewati perineum. Setelah
istirahat sebentar, his mulai lagi untuk mengeluarkan badan, dan anggota bayi. Pada
primigravida kala II berlangsung rata-rata 1,5 jam dan pada multipara rata-rata 0,5 jam
(Wiknjosastro, 2005:184).
3) Kala III (kala pengeluaran uri)
Setelah bayi lahir, uterus teraba keras dengan fundus uteri agak di atas pusat. Beberapa
menit kemudian uterus berkontraksi lagi untuk melepaskan plasenta dari dindingnya.
Biasanya plasenta lepas dalam 6 sampai 15 menit setelah bayi lahir dan keluar spontan
atau dengan tekanan pada fundus uteri. Pengeluaran plasenta disertai dengan pengeluaran
darah (Wiknjosastro, 2005:185).
4) Kala IV (Observasi)
Dimulai dari saat lahirnya plasenta sampai 2 jam pertama postpartum. Kala ini diperlukan
untuk mengamati apakah ada perdarahan postpartum (Wiknjosastro, 2005:186).
g. Mekanisme persalinan normal (Wiknjosastro, 2005:188).
1) Penurunan
His adalah salah satu kekuatan pada ibu yang menyebabkan serviks membuka dan
mendorong janin ke bawah. Pada presentasi kepala, bila his sudah cukup kuat,
kepala akan turun dan mulai masuk ke dalam rongga panggul.
2) Fleksi
Akibat sumbu kepala janin yang eksentrik atau tidak simetris, dengan sumbu lebih
mendekati suboksiput, maka tahanan oleh jaringan di bawahnya terhadap kepala yang
akan menurun, menyebabkan bahwa kepala mengadakan fleksi di dalam rongga panggul.
Dengan fleksi kepala janin memasuki ruang panggul dengan ukuran yang paling kecil
yakni dengan diameter suboksipitobregmatikus (9,5 cm) dan dengan sirkumferensia
suboksipitobregmatikus (32 cm). sampai di dasar panggul kepala janin berada dalam
keadaan fleksi maksimal.
3) Putaran paksi dalam
4) Akibat kombinasi elastisitas diafragma pelvis dan tekanan intrauterine disebabkan oleh
his yang berulang-ulang, kepala mengadakan rotasi, disebut pula putaran paksi dalam,
dalam hal mengadakan rotasi ubun-ubun kecil akan berputar kea rah depan, sehingga di
dasar panggul ubun-ubun kecil di bawah simfisis.
5) Ekstesi

9
Sesudah kepala janin sampai di dasar panggul dan ubun-ubun kecil di bawah simfisis,
maka dengan suboksiput sebagai hipomoklion, kepala mengadakan gerakan
defleksi/ekstensi untuk dapat dilahirkan. Dengan kekuatan his bersamaan dengan
kekuatan mengedan, berturut-turut tampak bregma, dahi, muka, dan akhirnya dagu.
6) Putaran paksi luar
Sesudah kepala lahir, kepala segera mengadakan rotasi, yang disebut putaran paksi luar.
Putaran paksi luar ini ialah gerakan kembali sebelum putaran paksi dalam terjadi, untuk
menyesuaikan kedudukan kepala dengan punggung bayi.
7) Ekspulsi
Bahu melintasi pintu atas panggul dalam keadaan miring. Di dalam rongga panggul bahu
akan menyesuaikan diri dengan bentuk panggul yang dilaluinya, sehingga di dasar
panggul, apabila kepala telah dilahirkan, bahu akan berada dalam posisi depan belakang.
Selanjutnya dilahirkan bahu depan dahulu, kemudian bahu belakang. Demikian pula
dilahirkan trokanter depan terlebih dahulu, baru kemudian trokanter belakang. Kemudian,
bayi lahir seluruhnya.

2. ASMA
a. Pengertian
Asma merupakan suatu penyakit gangguan jalan nafas obstruktif intermiten yang bersifat
reversibel, ditandai dengan adanya periode bronkospasme, peningkatan respon trakea dan
bronkus terhadap berbagai rangsangan yang menyebabkan penyempitan jalan nafas.
Asama bronkiale merupakan salah satu penyakit salauran nafas yang sering di jumpai
dalam kehamilan dan persalinan (Rukiyah, 2010).
Asma merupakan gangguan inflamasi kronik pada jalan napas. Inflamasi menyebabkan
episode mengi berulang, sesak nafas, sesak dada dan batuk, dan gejala lebih sering terjadi
pada malam hari dan dini hari. ( Bothamley Judy, 2009).
Asma adalah suatu gangguan pada saluran bronkial yang mempunyai ciri bronkospasme
periodik (kontraksi spasme pada saluran nafas) terutama pada percabangan trakeobronkial
yang dapat diakibatkan oleh berbagai stimulus seperti oleh faktor biokemikal, endokrin,
infeksi, otonimik, dan psikologi. (Somantri Irman, 2009).
Asma merupakan penyakit yang bervariasi dalam berespon terhadap stimulus atau
pencetus tertentu, terjadi inflamasi dan perubahan struktural di paru. (Robson dan waugh,
2011).
b. Tipe Asma
Tipe asma berdasarkan penyebabnya terbagi menjadi alergi, idiopatik, dan non
alergik atau campuran (mixed).

10
1) Asma alergik/ ekstrinsik, merupakan suatu bentuk asma dengan alergen seperti
bulu binatang, debu, ketombe, tepung sari, makanan, dan lain-lain. Alergen
terbanyak adalah airborne dan musiman (seasonal). Klien dengan asma alergik
biasanya mempunyai riwayat penyakit alergi pada keluarga dan riwayat
pengobatan eksim atau rhinitis alergik. Paparan terhadap alergi akan
mencetuskan serangan asma. Bentuk asma ini biasanya dimulai sejak kanak-
kanak.
2) Idiopatik atau nonalergik asma/ instrinsik, tidak berhubungan secara langsung
dengan alergen spesifik. Faktor-faktor seperti common cold, infeksi saluran
nafas atas, aktivitas, emosi/stress, dan polusi lingkungan akan mencetuskan
serangan. Beberapa agen farmakologi, seperti antagonis adrenergik dan bahan
sulfat (penyedap makanan) juga dapat menjadi faktor penyebab. Serangan dari
asma idiopatik atau nonalergik menjadi lebih berat dan seringkali dengan
berjalannya waktu dapat berkembang menjadi bronkitis dan emfisema. Pada
beberapa kasus dapat berkembang menjadi asma campuran. Bentuk asma ini
biasanya dimulai ketika dewasa (>35 tahun).
3) Asma campuran (mixed asma), merupakan bentuk asma yang paling sering.
Dikarakteristik dengan bentuk kedua jenis asma alergi dan idiopatik atau non
alergi. (Somantri Irman, 2009).
c. Etiologi
Sampai saat ini etiologi asma belum diketahui dengan pasti, suatu hal yang
menonjol pada semua penderita asma adalah fenomena hiperaktivitas bronkus.
Bronkus penderita asma sangat peka terhadap rangsangan imunologi maupun non
imunologi. Oleh karena sifat inilah, maka serangan asma mudah terjadi ketika
rangsangan baik fisik, metabolik, kimia, alergen, infeksi, dan sebagainya.
Penderita asma perlu mengetahui dan sedapat mungkin menghindari rangsangan
atau pencetus yang dapat menimbulkan asma. (Somantri Irman, 2009).
d. Patofisologi
Asma ditandai dengan adanya kontraksi spastic dari otot polos bronkeolus yang
menyeabkan sulit bernafas. Penyebab yang umum adalah hipersensitibilitas
bronkeolus terhadap benda asing di udara. Reaksi yang timbul pada asma tipe
alergi diduga terjadi dengan cara sebagai berikut: seseorang yang alergi diduga
mempunyai kecenderungan untuk membentuk sejumlah antibodi Ig E abnormal
dalam jumlah besar dan antibodi ini terutama melekat pada sel mast yang melekat

11
pada interstisial paru yang berhubungan erat dengan bronkeolus dan bronkus
kecil. Bila seseorang menghirup alergen maka antibodi Ig E orang tersebut
meningkat, alergen bereaksi dengan antibodi yang sudah terlekat pada sel mast
dan menyebabkan sel ini akan mengeluarkan berbagai macam zat yang
diantaranya histamin zat anafilaksis yang bereaksi lambat. Faktor kemotatik
eosinofilik dan bradikinin. Efek gabungan dari semua faktor ini akan
menghasilkan edema lokal pada dinding bronkeolus kecil maupun sekeresi mukus
yang kental dalam lumen bronkeolus dan spasme otot polos bronkeolus sehingga
menyebabkan tahanan saluran nafas menjadi sangat meningkat. Pada asma,
diameter bronkeolus lebih berkurang selama ekspirasi daripada inspirasi karena
peningkatan tekanan dalam paru selama sekresi paksa menekan bagian luar
bronkeolus. Karena bronkeolus tersumbat sebagian, maka sumbatan selanjutnya
akibat dari tekanan ekternal yangmenimbulkan obstruksi berat terutama selama
ekspirasi. Pada penderita asma biasanya bias melakukan inspirasi dengan baik dan
adekuat, tetapi sekali- kali melakukan ekpirasi. Hal ini menyebabkan dispnea.
Kapasitas residu fungsional dan volume residu menjadi meningkat selama
serangan asma akibat kesukaran mengeluarkan udara ekspirasi dari paru. (Wahid
dan Suprapto, 2012).
e. Faktor predisposisi
1) Genetik
Diturunkannya bakat alergi dari keluarga dekat, meski belum diketahui bagaimana
penurunannya dengan jelas. Karena adanya bakat alergi ini. Penderita sangat mudah
terkena asma apabila dia terpapar dengan faktor pencetus:
2) Alergen
Adalah suatu bahan penyebab alergi. Dimana ini dibagi menjadi tiga yaitu :
a) Inhalan, yang masuk dalam pernafasan.
(Debu, bulu binatang, serbuk bunga, bakteri, polusi)
b) Ingestan, yang melalui mulut. (Makanan dan obat – obatan)
c) Kontaktan, yang masuk dengan melalui kontak kulit. (Perhiasan, logam, dan
jam tangan
3) Perubahan Cuaca
Cuaca yang lembab dan hawa yang dingin sering mempengaruhi asma, perubahan cuaca
menjadi pemicu serangan asma. Kadang serangan berhubungan asma seperti : musim
hujan, musim bunga, musim kemarau. Hal ini berhubungan dengan angin, serbuk bunga,

12
dan debu.
4) Merokok atau Asap rokok bagi perokok aktif maupun pasif
Asap rokok berhubungan dengan penurunan fungsi paru. Pajanan asap rokok, sebelum
dan sesudah kelahiran berhubungan dengan efek berbahaya yang dapat diukur seperti
meningkatkan risiko terjadinya gejala serupa asma pada usia dini.
5) Lingkungan kerja
Mempunyai hubungan langsung dengan sebab terjadinya asma, hal ini berkaitan dengan
dimana dia bekerja. Misalnya orang yang bekerja di pabrik kayu, polisi lalu lintas. Gejala
ini membaik pada waktu libur atau cuti.
6) Obesitas
Obesitas atau peningkatan Body Mass Index (BMI), merupakan faktor risiko asma.
Mediator tertentu seperti leptin dapat mempengaruhi fungsi saluran napas dan
meningkatkan kemungkinan terjadinya asma. Meskipun mekanismenya belum jelas,
penurunan berat badan penderita obesitas dengan asma, dapat memperbaiki gejala fungsi
paru, morbiditas dan status kesehatan. Olahraga. Sebagian besar akan mendapat serangan
asma bila sedang bekerja dengan berat / aktivitas berat. Serangan asma karena aktivitas
biasanya segera setelah aktivitas selesai. Lari cepat paling mudah menimbulkan serangan
asma.
7) Stress
Gangguan emosi dapat menjadi pencetus terjadinya serangan asma, selain itu juga bisa
memperberat serangan asma yang sudah ada. Disamping gejala asma harus segera diobati,
penderita asmayang mengalami stres harus diberi nasehat untuk menyelesaikan
masalahnya. (Wahid dan Suprapto, 2012).
f. Tanda dan gejala Asma menurut (Bothamley dan boyle, 2011)
1) Batuk.
2) Peningkatan respirasi.
3) Sesak nafas.
4) Takikardia.
5) Pernapasan mengi.
6) Penggunaan otot pernafasan tambahan.
7) Dada terasa sesak.
8) Tidak dapat mengatakan satu kalimat penuh.
9) Memburuk pada malam dan dini hari.
g. Komplikasi penyakit Asma
Penyakit asma yang semakin parah kerap kali berhubungan dengan

13
ketidakpatuhan pasien yang mungkin memiliki kekhawatiran yang tidak pada
tempatnya bahwa obat – obat asma bersifat teratogenik. Bagi ibu hamil yang
menderita penyakit asma yang berat terdapat resiko bahwa gejala sesaknya
akan bertambah parah pada kehamilan lanjut atau masa postpartum.
Penyakit asma yang ringan atau sedang dapat membaik. Pada kehamilan
tetapi menjadi lebih parah pada saat melahirkan dan sesudah melahirkan.
Pengaruh asma pada ibu dan janin sangat tergantung dari sering dan
beratnya serangan, karena ibu dan janin akan kekurangan oksigen atau
hipoksia. Keadaan hipoksia bila tidak segera diatasi tentu akan berpengaruh
pada janin dan sering terjadi keguguran, partus prematurus, gangguan
pertumbuhan janin atau berat badan lahir rendah, lahir mati, pertambahan
berat badan ibu yang buruk, seksio sesarea, hipertensi yang diinduksi
kehamilan atau preeklamsia, takipnea sementara pada bayi baru lahir, kejang
neonatus, hipoglikemia neonatus, masuk ke unit perawatan intensif neonatus.
(Marmi, 2011 dan Bothamley boyle, 2011).

h. Karakteristik Umum
1) Mengi
2) Nafas pendek
3) Sesak didada
4) Asma ekstrinsik pada anak, biasanya disertai dengan manifestasi lain atopi.

i. Diagnosis
Seperti pada penyakit lain, diagnosis penyakit asma dapat ditegakkan dengan
anamnesis yang baik. Pemeriksaan fisik dan pemeriksaan faal paru akan lebih
meningkatkan nilai diagnostik.
1) Anamnesis
Anamnesis yang baik meliputi riwayat tentang penyakit/gejala, yaitu:
a) Asma bersifat episodik, sering bersifat reversibel dengan atau tanpa
pengobatan
b) Asma biasanya muncul setelah adanya paparan terhadap alergen, gejala
musiman, riwayat alergi/atopi, dan riwayat keluarga pengidap asma.
c) Gejala asma berupa batuk, mengi, sesak napas yang episodik, rasa berat di

14
dada dan berdahak yang berulang
d) Gejala timbul/memburuk terutama pada malam/dini hari
e) Mengi atau batuk setelah kegiatan fisik
f) Respon positif terhadap pemberian bronkodilator
2) Pemeriksaan Fisik
Gejala asma bervariasi sepanjang hari sehingga pemeriksaan fisik dapat normal (GINA,
2009). Kelainan pemeriksaan fisik yang paling umum ditemukan pada auskultasi adalah
mengi. Pada sebagian penderita, auskultasi dapat terdengar normal walaupun pada
pengukuran objektif (faal paru) telah terdapat penyempitan jalan napas. Oleh karena itu,
pemeriksaan fisik akan sangat membantu diagnosis jika pada saat pemeriksaan terdapat
gejala- gejala obstruksi saluran pernapasan (Chung, 2002). Sewaktu mengalami serangan,
jalan napas akan semakin mengecil oleh karena kontraksi otot polos saluran napas, edema
dan hipersekresi mukus. Keadaan ini dapat menyumbat saluran napas; sebagai
kompensasi penderita akan bernapas pada volume paru yang lebih besar untuk mengatasi
jalan napas yang mengecil (hiperinflasi). Hal ini akan menyebabkan timbulnya gejala
klinis berupa batuk, sesak napas, dan mengi (GINA, 2009).
3) Faal Paru
Pengukuran faal paru sangat berguna untuk meningkatkan nilai diagnostik. Ini disebabkan
karena penderita asma sering tidak mengenal gejala dan kadar keparahannya, demikian
pula diagnosa oleh dokter tidak selalu akurat. Faal paru menilai derajat keparahan
hambatan aliran udara, reversibilitasnya, dan membantu kita menegakkan diagnosis asma.
Akan tetapi, faal paru tidak mempunyai hubungan kuat dengan gejala, hanya sebagai
informasi tambahan akan kadar kontrol terhadap asma (Pellegrino dkk, 2005). Banyak
metode untuk menilai faal paru, tetapi yang telah dianggap sebagai standard pemeriksaan
adalah: (1) pemeriksaan spirometri dan (2) Arus Puncak Ekspirasi meter (APE).
Pemeriksaan spirometri merupakan pemeriksaan hambatan jalan napas dan reversibilitas
yang direkomendasi oleh GINA (2009). Pengukuran volume ekspirasi paksa detik
pertama (VEP1) dan kapasiti vital paksa (KVP) dilakukan dengan manuver ekspirasi
paksa melalui spirometri. Untuk mendapatkan hasil yang akurat, diambil nilai tertinggi
dari 3 ekspirasi. Banyak penyakit paru-paru menyebabkan turunnya angka VEP1. Maka
dari itu, obstruksi jalan napas diketahui dari nilai VEP1 prediksi (%) dan atau rasio
VEP1/KVP (%). Pemeriksaan dengan APE meter walaupun kurang tepat, dapat dipakai
sebagai alternatif dengan memantau variabilitas harian pagi dan sore (tidak lebih dari
20%). Untuk mendapatkan variabiliti APE yang akurat, diambil nilai terendah pada pagi
hari sebelum mengkonsumsi bronkodilator selama satu minggu (Pada malam hari
gunakan nilai APE tertinggi). Kemudian dicari persentase dari nilai APE terbaik (PDPI,

15
2006).
Menurut Global Initiative for Asthma (GINA) penggolongan asma berdasarkan
beratnya penyakit dibagi 4 (empat) yaitu:
a) Asma Intermiten (asma jarang).
(1) gejala kurang dari seminggu.
(2) serangan singkat.
(3) gejala pada malam hari < 2 kali dalam sebulan.
(4) APE dan VEP1 > 80%
(5) Variasi diurnal < 20%
b) Asma mild persistent (asma persisten ringan)
(1) gejala lebih dari sekali seminggu.
(2) serangan mengganggu aktivitas dan tidur.
(3) gejala pada malam hari > 2 kali sebulan
(4) APE atau VEP1 > 80%.
(5) Variasi diurnal 20% – 30%
c) Asma moderate persistent (asma persisten sedang)
(1) gejala setiap hari
(2) serangan mengganggu aktivitas dan tidur
(3) gejala pada malam hari > 1 dalam seminggu
(4) APE atau VEP1 60% – 80%
(5) Variasi diurnal > 30%
d) Asma severe persistent (asma persisten berat)
(1) gejala setiap hari
(2) serangan terus menerus
(3) gejala pada malam hari setiap hari
(4) terjadi pembatasan aktivitas fisik
(5) APE atau VEP1 <60%
(6) Variasi diurnal > 30%.
j. Pemeriksaan Diagnostik
1) Pemeriksaan laboratorium
a) Pemeriksaan spuntum
Pemeriksaan untuk melihat adanya :
(1) Kristal-kristal charcot leyden yang merupakan degranulasi dari
kristal eosinopil.

16
(2) Spiral crushman, yakni merupakan cast cell (sel cetakan) dari
cabang bronkus.
(3) Creole yang merupakan fragmen dari epitel bronkus.
(4) Netrofil dan eosinofil yang terdapat pada spuntum, umumnya
bersifat mukoid dengan vikositas yang tinggi dan kadang terdapat
mucus plug.
b) Pemeriksaan Darah
(1) Analisis gas darah pada umumnya normal akan tetapi dapat terjadi
hipoksemia, hipercapnia, atau sianosis.
(2) Kadang pada darah terdapat peningkatan SGOT dan LDH.
(3) Hiponatremia dan kadar leukosit kadang di atas 15.000/mm3 yang
menandakan adanya infeksi.
(4) Pemeriksaan alergi menunjukkan peningkatan IgE pada waktu
serangan dan menurun pada saat bebas serangan asma.
c) Pemeriksaan Penunjang
(1) Pemeriksaan radiologi
Pada waktu serangan menunjukkan gambaran hiperinflasi paru yakni
radiolusin yang bertambah dan peleburan rongga intercostalis, serta
diafragma yang menurun. Pada penderita dengan komplikasi terdapat
gambaran sebagai berikut :
(a) Bila disertai dengan broncitis, maka bercak – bercak dihilus
akan bertambah.
(b) Bila ada empisema (COPD), gambaran radiolusen semakin
bertambah.
(c) Bila terdapat komplikasi, maka terdapat gambaran infiltrase
paru.
(d) Dapat menimbulkan gambaran atelektasis paru.
(e) Bila terjadi pneumonia gambarannya adalah radiolusen pada
paru.
(2) Pemeriksaan tes kulit
Dilakukan untuk mencari faktor alergen yang dapat bereaksi positif pada
asma.
(3) Elektrokardiografi
(a) Terjadinya right axisdeviation.

17
(b) Adanya hipertropo otot jantung right bundle branch bock
(c) Tanda hiposekmia yaitu sinus takikardi, SVES, VES atau
terjadi depresi segmen ST negatif.
(4) Scanning paru
Melalui inhilasi dapat dipelajari bahwa redistribusi udara selama
serangan asma tidak menyeluru pada paru – paru.
(5) Spirometri
Menunjukkan adanya obstruksi jalan nafas reversible, cara tepat
diagnosis asma adalah melihat respon pengobatan dengan bronkodilator.
Pemeriksaan spirometri dilakukan sebelum atau sesudah pemberian
aerosol bronkodilator (inhaler atau nebulizer), peningkatan FEV1 atau
FCV sebanyak lebih dari 20% menunjukkan diagnosis asma. Tidak
adanya respon aerosol bronkodilator lebih dari 20 %. Pemeriksaan ini
berfungsi untuk menegakkan diagnosis keperawatan. Menilai berat
obstruksi dan efek pengobatan banyak penderita tanpa keluhan pada
pemeriksaan ini menunjukkan adanya obstruksi.
k. Penatalaksanaan
1) Penatalaksanaan (Marmi, 2011).
a) Mencegah timbulnya stress.
b) Menghindari faktor resiko/pencetus yang sudah diketahui secara intensif.
c) Mencegah penggunaan obat seperti aspirin dan semacamnya yang dapat
menjadi pencetus timbulnya serangan.
d) Pada asma yang ringan dapat digunakan obat-obat local yang berbentuk
inhalasi, atau peroral seperti isoproterenol.
e) Pada keadaan lebih berat penderita harus dirawat dan serangan dapat
dihilangkan dengan 1 atau lebih dari obat dibawah ini.
(1) Epinefrin yang telah dilarutkan (1: 1000), 0,2-o,5 ml di suntikan SC.
(2) Isoproterenol (1: 1000) berupa inhalasi 3-7 hari.
(3) Oksigen.
(4) Aminopilin 250-500 mg (6 mg/kg)dalam infus glukosa 5%.
(5) Hidrokortison 260-1000 mg Iv pelan-pelan atau infus dalam D10%.
Hindari penggunaan obat-obat yang mengandung iodium karena dapat
membuat gangguan pada janin, dan berikan antibiotika kalau ada sangkaan
terdapat infeksi. Upayakan persalinan secara spontan namun bila pasien
berada dalam serangan, lakukan Vacum ekstrasi atau forcep. SC atau indikasi

18
asma jarang atau tidak pernah dilakukan. Jangan berikan anlgesik yang
mengandung histamin tapi pilihlah morfin atau analgesik epidural.
Biasanya bagi pasien yang sedang menyusui, dokter sebaiknya memilih obat
yang tidak mempengaruhi produksi ASI. Aminopilin dapat terkandung dalam
ASI sehingga bayi mengalami gangguan pencernaan, gelisah, dan gangguan
tidur. Namun obat anti asma lainnya dan kortikosteroid umumnya tidak
berbahaya karena kadarnya dalam ASI sangat kecil.
2) Pengobatan non farmakologik dan pengobatan farmakologik menurut
(yeyeh Rukiyah, 2010) yaitu :
a) Pengobatan non farmakologik
(1) Dapat dilakukan dengan memberikan penyuluhan.
(2) Menghindari faktor prncetus.
(3) Pemberian cairan.
(4) Fisioterapi.
(5) Pemberian oksigen / O2 bila perlu.
b) Pengobatan farmakologik
Perubahan – perubahan fisiologis yang diketahui berpengaruh terhadap
perjalanan asma bronkiale antara lain perubahan – perubahan berupa
membesarnya uterus, elevasi diafragma, hormonal, perubahan – perubahan
pada mekanik paru – paru dan lain – lain.
Insiden hiperemis, perdarahan, toksemia gravidarum, induksi persalinan
dengan komplikasi dan kematian ibu secara bermakna lebih sering terjadi
dibandingkan dengan ibu – ibu hamil tanpa penyakit asma brokiale.
Bermacam–macam obat–obatan yang di pakai dalam penatalaksanaan ibu
dengan asma bronkiale.sebagian diantaranya tidak mempunyai pengaruh
yang merugikan kehamilan, namun sebagian lagi diantaranya dapat
memberikan pengaruh yang sebaliknya sehingga pemakaiannya harus hati –
hati dan hanya atas indikasi – indikasi tertentu saja.
Pada kasus kehamilan disertai penyakit asma bronkiale memerlukan ANC
yang lebih intensif dengan kolaborasi bersama dokter spesialis.
Penjelasan mengenai penyakit asma, bagi pasien sangat berpengaruh besar
terhadap kesehatan ibu dan bayinya. Pemberian asuhan kebidanan sendiri
disesuaikan dengan tingkatan penyakit asma yang dideritanya.
Asma merupakan penyakit alergi, hal terpenting untuk menghindarinya
adalah menghindari faktor pencetus alergi tersebut, siapkan selalu obat anti
asma, pada umumnya penderita asma dapat melahirkan pervaginam, jenis

19
pertolongannya sendiri harus berkolaborasi dengan dokter spesialis untuk
menentukan tindakan segera apabila ada, persalinan disesuaikan dengan berat
ringannya penyakit asma sendiri, prinsip dasar asuhan kebidanan pada ibu
hamil disertai penyakit asma bronkiale, pastikan jenis penyakit asma yang
dideritanya dan tentukan asuhan kebidanan sesuai dengan tingkatan asma
klien, sarankan untuk memeriksakan diri ke dokter spesialis secara rutin,
perhatikan dalam pemberian obat, beri dukungan emosional pada ibu agar
tidak stres. Prinsip dasar asuhan kebidanan pada ibu bersalin disertai penyakit
asma bronkiale : pada dasarnya pasien memiliki penyakit asma dapat
melahirkan pervaginam, kolaborasikan dengan dokter spesialis, tentukan jenis
asma yang diseritanya, pantau kondisi kesejahteraan ibu dan janin lebih
intensif, persiapan kemungkinan bayi hipoksia.

Masalah Persalinan Penatalaksanaan dan Asuhan Medis

a. Perburukan asma akut, berat, atau a. Apabila tidak terdapat asma akut,
mengancam jiwa selama persalinan seksio sesaria hanya boleh dilakukan
sangat jarang terjadi. jika diindikasikan.
b. Ibu yang pernah mengkonsumsi b. Apabila anestesia dibutuhkan maka
steroid oral secara teratur mungkin anestesia epidural lebih dipilih
memerlukan dibandingkan anestesia umum.
hidrokortison selama persalinan. c. Informasikan kepada ibu bahwa asma
c. Ergometrin, sintometrin, dan akut jarang terjadi selama kehamilan.
postaglandin dapat menyebabkan d. Ibu harus melanjutkan pengobatan
bronkokontriksi dan harus asma mereka dalam persalinan.
digunakan dengan hati – hati. e. Ibu yang asmanya telah terkontrol
dengan baik harus mendapatkan
asuhan resiko rendah dan persalinan
yang ditangani secara normal oleh
bidan.
f. Pereda nyeri biasa dapat diberikan
dan entonox diangap aman.
g. Sintosinon adalah obat yang di pilih
untuk penatalaksanaan aktif di kala
III persalinan.

20
Tabel 2.1 Penatalaksanaan dan Asuhan Sumber Robson dan Waugh,
(2011)

Sedangkan penatalaksanaan menurut (Somantri Irman, 2009) dalam


Asuhan keperawatan pada klien asma :
a. Pengkajian
1) Biodata
Asma bronkial terjadi dapat menyerang segala usia tetapi lebih sering
dijumpai pada usia dini. Separuh kasus timbul sebelum usia 10
tahun dan sepertiga kasus lainnya terjadi sebelum usia 40 tahun.
Predisposisi laki-laki dan perempuan di usia dini sebesar 2: 1 yang
kemudia sma pada pada usia 30 tahun.
2) Riwayat kesehatan
a) Keluhan utama
Keluhan utama yang timbul pada klien dengan asma bronkial adalah
dispnea (bisa sampai berhari-hari atau berbulan-bulan), batuk,
mengi (pada beberapa kasus lebih banyak paroksismal).
b) Riwayat kesehatan dahulu
Terdapat data yang menyatakan adanya faktor predisposisi timbulnya
penyakit ini, diantaranya adalah riwayat alergi dan riwayat penyakit
saluran nafas bagian bawah (rhinitis, urtikaria, dan eksim).
c) Riwayat kesehatan keluarga
Klien dengan asma bronkial sering kali didapatkan adanya riwayat
penyakit keturunan, tetapi pada beberapa klien lainnya tidak
ditemukan adanya penyakit yang sama pada anggota keluarganya.
3) Pemeriksaan fisik.
a) Objektif
(1) Batuk produktif/ nonproduktif.
(2) Respirasi terdengar kasar dan suara mengi (wheezing)
pada kedua fase respirasi semakin menonjol.
(3) Dapat disertai batuk dengan sputum kental yang sulit
dikeluarkan.
(4) Bernafas dengan menggunakan otot-otot nafas
tambahan.

21
(5) Sianosis, takikardia, gelisah, dan pulsus paradoksus.
(6) Fase ekspirasi memanjang disertai wheezing (di apeks
dan hilus).
(7) Penurunan berat badan secara bermakna.
b) Subjektif
Klien merasa sukar bernafas, sesak dan anoreksia.
c) Psikososial
(1) Cemas, takut, dan mudah tersinggung.
(2) Kurangnya pengetahuan klien terhadap situasi
penyakitnya.
(3) Data tambahan (medikal terapi).
d) Bronkodilator
Tidak digunakan bronkodilator oral, tetapi dipakai secara inhalasi atau
parenteral. Jika sebelumnya telah digunakan obat golongan
simpatomimetik, maka sebaiknya diberikan aminophilin secara
parenteral, sebab mekanisme yang berlainan demikian pula
sebaliknya, bila sebelumnya telah digunakan obat golongan teofilin
oral, maka sebaiknya diberikan obat golongan simpatomimetik
secara aerosol atau parenteral.
Obat-obatan bronkodilator golongan simpatomimetik bentuk selektif
terhadap adrenoreseptor (Orsiprendlin, Salbutamol, Terbutalin,
Ispenturin, Fenoterol) mempunyai sifat lebih efektif dan masa kerja
lebih lama serta efek samping kecil dibandingkan dengan bentuk
non selektif (Adrenalin, efedrin, isoprendlin).
(1) Obat-obat bronkodilator serta aerosol bekerja lebih
cepat dan efek samping sistemiknya lebih kecil. Baik digunakan untuk sesak nafas berat pada
anak-anak dan dewasa. Mula-mula diberikan dua sedotan dari Metered Aerosol Defire
(Afulpen Metered Aerosol). Jika menunjukkan perbaikan dapat diulang setiap empat jam,
jika tidak adda perbaikan dalam 10-15 menit
setelah pengobatan, maka berikan Aminophilin intravena.
(2) Obat-obat bronkodilator simpatomimetik memberi efek
samping takikardia, penggunaan parenteral pada orang tua harus hati-hati, berbahaya pada
penyakit hipertensi, kardiovaskular dan serebrovaskular. Pada dewasa dicoba dengan 0,3 ml
larutan epinephrin 1:1000 secara subkutan. Pada anak-anak 0,01 mg/Kg BB subkutan (1 mg

22
per mil) dapat diulang setiap 30 menit untuk 2-3 kali sesuai kebutuhan.
(3) Pemberian aminophilin secara intravena dengan dosis
awal 5-6 mg/KgBB dewasa/anak-anak, disuntikkan perlahan dalam 5-10 menit, untuk dosis
penunjang dapat diberikan sebanyak 0,9 mg/KgBB/jam secara intravena. Efek sampingnya
tekanan darah menurun bila tidak dilakukan secara perlahan.
e) Kortikosteroid
Jika pemberian obat-obat bronkodilator tidak menunjukkan perbaikan,
maka bisa dilanjutkan dengan pengobatan kortikosteroid, 200 mg
hidrokortison secara oral atau dengan dosis 3-4 mg/KgBB intravena
sebagai dosis permulaan dan dapat diulang 2-4 jam secara
parenteral sampai serangan akut terkontrol, dengan diikuti
pemberian 30-60 mg prednison atau dengan dosis 1-2 mg/KgBB/
hari
secara oral dalam dosis terbagi, kemudian dosis dikurangi secara
bertahap.
f) Pemberian oksigen
Oksigen dialirkan melalui kanul hidung dengan kecepatan 2-4
liter/menit, menggunakan air (humidifer) untuk memberikan
kelembapan. Obat ekspektoran seperti Gliserolguaiakolat juga
dapat digunakan untuk memperbaiki dehidrasi, oleh karena itu
intake cairan per oral dan infus harus cukup, sesuai dengan prinsip
rehidrasi, sedangkan antibiotik diberikan bila ada infeksi.
g) Beta agonis.
Beta agonis (B adrenergik agents) merupakan pengobatan awal yang
digunakan dalam penatalaksanaan penyakit asma, dikarenakan obat
ini bekerja dengan cara mendilatasikan otot polos (vasodilator).
Adrenergic agents juga meningkatkan pergerakan siliari,
menurunkan mediator kimia anafilaksis dan dapat meningkatkan
efek bronkodilatasi dari kortikosteroid. Adrenergik yang sering
digunakan antara lain epineprin, albuterol, metaproterenol,
isoproterenol,isoetarin, dan terbutalin. Biasanya diberikan secara
parenteral atau inhalasi. Jalan inhalasi merupakan salah satu pilihan
dikarenakan dapat mempengaruhi secara langsung dan mempunyai
efek samping yang lebih kecil.

23
Bagan 2.2 Asma
Asma

Ekstrinsik Instrinksik

Aktivitas
Bulu binatang Pada ibuEmosi / stress
Debu Polusi lingkungan
Ketombe Keguguran
Tepung sari Partus prematurus
Asma bronkiale

Penanganan Oksigen
Pengobatan non
Penyuluhan
farmakologik
Pada janin Fisioterapi
Komplikasi
Pemberian cairan
Kekurangan oksigen/hipoksia
Fetal distress
BBLR
Lahir mati

A. Konsep Asuhan Keperawatan


1. Pengkajian
a. Identitas klien.
1) Pengkajian mengenai nama, umur dan jenis kelamin perlu di kaji
pada penyakit status asthmatikus.
2) Alamat menggambarkan kondisi lingkungan tempat klien berada,
dapat mengetahui kemungkinan faktor pencetus serangan asma.
3) Gangguan emosional yang timbul dalam keluarga atau lingkungan
merupakan faktor pencetus serangan asma
4) Pekerjaan, serta bangsa perlu juga digaji untuk mengetahui adanya
pemaparan bahan alergen.
Persalinan pervaginam
Pengobatan farmakologik Vacum ekstraksi / forcep
24 SC
5) Hal lain yang perlu dikaji tentang : Tanggal MRS, Nomor Rekam
Medik, dan Diagnosa medis.
b. Keluhan Utama
Pasien akan mengeluh sesak yang bertambah berat pada usia kehamilan 24-36 minggu.
c. Riwayat penyakit sekarang.
Klien dengan serangan asma datang mencari pertolongan dengan keluhan, terutama sesak
napas yang hebat dan mendadak kemudian diikuti dengan gejala-gejala lain yaitu :
Wheezing, Penggunaan otot bantu pernapasan, Kelelahan, gangguan kesadaran, Sianosis
serta perubahan tekanan darah. Perlu juga dikaji kondisi awal terjadinya serangan.
d. Riwayat penyakit dahulu.
Penyakit yang pernah diderita pada masa-masa dahulu seperti infeksi saluran napas atas,
sakit tenggorokan, amandel, sinusitis, polip hidung. Riwayat serangan asma frekuensi,
waktu, alergen-alergen yang dicurigai sebagai pencetus serangan serta riwayat
pengobatan yang dilakukan untuk meringankan gejala asma (Tjen Daniel, 1991)
e. Riwayat kesehatan keluarga.
Pada klien dengan serangan status asthmatikus perlu dikaji tentang riwayat penyakit asma
atau penyakit alergi yang lain pada anggota keluarganya karena hipersensitifitas pada
penyakit asma ini lebih ditentukan oleh faktor genetik oleh lingkungan, (Hood Alsagaf,
1993)
f. Riwayat psikososial
Gangguan emosional sering dipandang sebagai salah satu pencetus bagi serangan asma
baik ganguan itu berasal dari rumah tangga, lingkungan sekitar sampai lingkungan kerja.
Seorang yang punya beban hidup yang berat berpotensial terjadi serangan asma. yatim
piatu, ketidakharmonisan hubungan dengan orang lain sampai ketakutan tidak bisa
menjalankan peranan seperti semula, (Antony Croket, 1997 dan Tjen Daniel, 1991).
g. Pola-pola fungsi kesehatan
1) Aktivitas
Keletihan, kelelahan, malaise, ketidakmampuan melakukan aktivitas sehari-hari,
ketidakmampuan untuk tidur, perlu posisi kepala lebih tinggi waktu tidur, dipsneu pada
saat istirahat, gelisah, insomnia,
2) Sirkulasi
Pembengkakan pada ekstremitas bawah, peningkatan tekanan darah, distensi vena leher,
pucat dapat menunjukkan anemia, warna kulit normal / sianosis
3) Integritas ego
Peningkatan factor resiko, perubahan pola hidup, ansietas, ketakutan peka rangsang
4) Makanan dan cairan
Edema dependen, berkeringat
25
5) Hygiene
Penurunan kemampuan perawatan diri, kebersihan buruk, bau badan
6) Pernafasan
Pernafasan pendek khususnya saat aktivitas, sulit nafas, dada tertekan, penggunaan
oksigen, riwayat pneumonia keluarga, menggunakan otot bantu pernafasan.
Dada : saat inspeksi dapat dilihat hiperinflasi dengan peninggian diameter ap, gerakan
diafragma minimal, bunyi nafas redup dengan ekspirasi mengi, ronchi, mengi, saat
perkusi ditemukan hipersonor pada area paru, bunyi pekak pada area paru, kesulitan
bicara kalimat.
7) Keamanan
Riwayat reaksi alergi, berkeringat atau kemerahan
8) Seksualitas Penurunan libido
9) Interaksi sosial
Hubungan ketergantungan, kurang sistem pendukung, kegagalan dukungan, penyakit
lama, keterbatasan mobilitas fisik, kelalaian hubungan dengan orang lain
10) Penyuluhan dan pembelajaran
Penggunaan dan penyalahgunaan obat pernafasan, kesulitan menghentikan rokok,
konsumsi alcohol

h. Pemeriksaan fisik pada pasien Asma Bronchiale


1) Status kesehatan umum
Perlu dikaji tentang kesadaran klien, kecemasan, gelisah, kelemahan suara bicara, tekanan
darah nadi, frekuensi pernapasan yang meningkatan, penggunaan otot-otot pembantu
pernapasan sianosis batuk dengan lendir lengket dan posisi istirahat klien (Laura A. T.;
1995, Karnen B ;19983).
2) Integumen
Dikaji adanya permukaan yang kasar, kering, kelainan pigmentasi, turgor kulit,
kelembapan, mengelupas atau bersisik, perdarahan, pruritus, ensim, serta adanya bekas
atau tanda urtikaria atau dermatitis pada rambut di kaji warna rambut, kelembaban dan
kusam. (Karnen B ;1994, Laura A. Talbot; 1995).
3) Kepala
Dikaji tentang bentuk kepala, simetris adanya penonjolan, riwayat trauma, adanya
keluhan sakit kepala atau pusing, vertigo kejang ataupun hilang kesadaran. (Laura
A.Talbot;1995).
4) Mata
Adanya penurunan ketajaman penglihatan akan menambah stres yang dirasakan klien.
Serta riwayat penyakit mata lainya (Laura
26
A. Talbot ; 1995)).
5) Hidung
Adanya pernafasan menggunakan cuping hidung, rinitis alergi dan fungsi olfaktori
(Karnen B.;1994, Laura A. Talbot;1995).
6) Mulut dan laring
Dikaji adanya perdarahan pada gusi. Gangguan rasa menelan dan mengunyah, dan sakit
pada tenggorok serta sesak atau perubahan suara. (Karnen B.:1994)).
7) Leher
Dikaji adanya nyeri leher, kaku pada pergerakaan, pembesaran tiroid serta penggunaan
otot-otot pernafasan (Karnen B.;1994).
8) Thorak
Inspeksi : Dinding torak tampak mengembang, diafragma terdorong ke bawah disebabkan
oleh udara dalam paru-paru susah untuk dikeluarkan karena penyempitan jalan nafas.
Frekuensi pernafasan meningkat dan tampak penggunaan otot- otot tambahan
Palpasi : Pada palpasi dikaji tentang kesimetrisan, ekspansi dan taktil fremitus. Pada
asma, paru-paru penderita normal karena yang menjadi masalah adalah jalan nafasnya
yang menyempit (Laura A.T.;1995).
Perkusi : Pada perkusi didapatkan suara normal sampai hipersonor sedangkan diafragma
menjadi datar dan rendah disebabkan karena kontraksi otot polos yang mengakibatkan
penyempitan jalan nafas sehingga udara susah dikeluarkan dari paru-paru (Laura
A.T.;1995).
Auskultasi : Terdapat suara vesikuler yang meningkat disertai dengan expirasi lebih dari
4 detik atau lebih dari 3x inspirasi, dengan bunyi pernafasan wheezing karena sekresi
mucus yang kental dalam lumen bronkhioulus dan spasme otot polos bronkhiolus
sehingga menyebabkan tahanan saluran napas menjadi sangat meningkat (Karnen
B .;1994).
Kardiovaskuler : Jantung dikaji adanya pembesaran jantung atau tidak, bising nafas dan
hyperinflasi suara jantung melemah. Tekanan darah dan nadi yang meningkat serta
adanya pulsus paradoksus, (Robert P.;1994, Laura A. T.;1995).
Abdomen : Perlu dikaji tentang bentuk, turgor, nyeri, serta tanda- tanda infeksi karena
dapat merangsang serangan asma frekwensi pernafasan, serta adanya konstipasi karena
dapat nutrisi (Hudak dan Gallo;1997, Laura A.T.;1995).
Ekstrimitas : Dikaji adanya edema extremitas, tremor dan tanda- tanda infeksi pada
extremitas karena dapat merangsang serangan asma,(Laura A.T.;1995)
2. Diagnosa Keperawatan
a. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan
broncospasme, peningkatan sekresi pulmoner
27
b. Ansietas berhubungan dengan ancaman jiwa sekunder terhadap sesak
nafas dan takut
c. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan, kelelahan,
sekunder
d. Kurangnya pengetahuan berhubungan dengan prognosis penyakit saat
hamil
3. Perencanaan Keperawatan
a. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan
broncospasme, peningkatan sekresi pulmoner
Tujuan : menunjukkan pembersihan jalan nafas yang efektif, yang dibuktikan oleh
pencegahan aspirasi status pernafasan, kepatenan jalan nafas, dan status pernafasan :
ventilasi tidak terganggu.
Kriteria hasil :
1) Pencegahan aspirasi : tindakan personal untuk mencegah masuknya
cairan dan partikel padat kedalam paru.
2) Status pernafasan : kepatenan jalan nafas : jalan nafas
trakeobronkeal, terbukan dan bersih untuk pertukaran gas.
3) Status pernafasan : ventilasi : pergerakan udara masuk dan keluar
paru.

Rencana Tindakan (NIC):

Intervensi Rasional
1. Kaji tanda-tanda vital dan1. Beberapa derajat spasme
auskultasi bunyi nafas bronkus terjadi dengan obstruksi
jalan nafas,

2. Berikan klien untuk posisi2. Peninggian kepala tempat


yang nyaman tidur mempermudah fungsi
pernapasan.

28
3. Pertahankan lingkungan yang3. Pencetus tipe reaksi alergi
nyaman pernapasan yang dapat
menimbulkan episode akut.

4. Tingkatkan masukan cairan,4. Membantu mempermudah


dengan memberikan air hangat pengeluaran sekret

5. Dorong atau bantu latihan


nafas dalam dan batuk efektif 5. Memberikan cara untuk
mengatasi dan mengontrol dispnea,
mengeluarkan sekret.
6. Kolaborasi dalam pemberian
obat dan humidifikasi, 6. Menurunkan kekentalan
seperti nebulizer sekret dan mengeluarkan
sekret.

b. Ansietas berhubungan dengan ancaman jiwa sekunder terhadap sesak


nafas dan takut
Tujuan : Ansietas berkurang dibuktikan dengan bukti tingkat ansietas hanya ringan
sampai sedang dan selalu menunjukkan pengendalian diri terhadap ansietas, konsentrasi
dan Koping.
Kriteria Hasil :
1) Menunjukkan pengendalian diri terhadap ansietas
2) Menggunakan teknik relaksasi untuk meredakan ansietas
Rencana Tindakan (NIC)

Intervensi Rasional
1. Batasi aktivitas pasien 1. Mengurangi keluhan

29
2. Anjurkan tehnik relaksasi 2. Memberikan tehnik untuk
pada pasien. mengurangi ansietas

3. Anjurkan pasien memilih 3. Posisi yang nyaman dapat


posisi yang nyaman. mengurangi keluhan

4. Berikan penjelasan tentang4. Menurunkan ansietas pasien


penyakitnya.

5. Beri support mental dari 5. Memberikan motivasi pada


keluarganya. pasien

c. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan, kelelahan,


sekunder
Tujuan : menoleransi aktivitas yang biasa dilakukan
Kriteria hasil :
1) Toleransi aktivitas
2) Ketahanan
3) Penghematan energy
4) Kebugaran fisik
5) Perawatan diri Rencana Tindakan (NIC):

Intervensi Rasional
1. Baringkan pasien semi 1. Memaksimalkan ekspansi
flower. dada

2. Secara bertahap tingkatkan 2. Dapat mempertahankan


aktifitas pasien. aktivitas

3. Anjurkan tehnik relaksasi 3. Dengan tehnik dapat

30
yang tepat. membantu mempertahankan
aktivitas

4. Anjurkan latihan ringan 4. Menghindarkan dari


sesuai toleransi aktivitas yang berlebihan

d. Kurangnya pengetahuan berhubungan dengan prognosis penyakit saat


hamil
Tujuan : pasien mengerti tentang prognosis penyakit
Kriteria hasil : Pasien dan keluarga akan :
1) Mengidentifikasi kebutuhan terhadap informasi tambahan
mengenai perilaku promosi kesehatan atau program terapi
2) Memperlihatkan kempuan untuk mengetahui dan memahami tentan
penyakit yang diderita
Rencana Tindakan (NIC):

Intervensi Rasional
1. Ajarkan pasien menghindari1. Mencegah terjadinya
alergi yang diketahui. keluhan

2. Observasi tingkat 2. Mengetahui pengetahuan


pengetahuan mengenai pasien
proses penyakit

3. Jelaskan latihan pernapasan 3. Agar pernafasan tetap


adekuat

4. Jelaskan obat-obatan yang4. Menghindari penyalahgunaan


mengakibatkan penyakit kambuh. obat

31
5. Jadwalkan pemberian obat5. Agar pasien tahu jadwal
yang tepat. minum obat

6. Hindari terhadap pemajanan6. Menghindari factor


iritan penyebab asma

32
BAB 3
TINJAUAN KASUS

Ny. D umur 24 tahun, G1P0A0, hamil 12 minggu datang ke RB. Cinta Bunda dengan
keluhan sering sesak nafas atau kambuh gejala asmanya,. Dari hasil pemeriksaan fisik
diperoleh data: TD 130/85 mmHg, nadi 88 kali/menit, RR 24 kali/menit, suhu 37,0 ᵒC,
TB 158 cm, BB 60 Kg, kaki tampak udem derajat 2, dan protein urin negatif, DJJ 128
kali/menit, TFU 30 cm, kepala belum masuk PAP. Klien mengatakan memiliki riwayat
asma sejak kecil dan sering kambuh rata-rata sebulan sekali jika kontak dengan faktor
pencetus yaitu udara dingin. Selama ini klien hanya menggunakan obat bronkodilator saat
sakitnya kambuh. Saat ini klien tidak mau menggunakan obat bronkodilator tersebut
karena khawatir mengganggu kesehatan janinnya. Klien mengatakan khawatir janinnya
tidak sehat/ cacat karena kondisi kesehatan ibu yang punya riwayat asma dan sering
kambuh.

A. Pengkajian
1. Identitas
Nama: Ny. D
Usia: 24 th
G1P0A0, Hamil 12 minggu
Ruangan: Melati

2. Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat Asma sejak 12 tahun yang lalu, sering kambuh rata-rata sebulan sekali jika
kontak dengan faktor pencetus yaitu udara dingin. Selama ini klien hanya
menggunakan obat bronkodilator saat sakitnya kambuh

3. Riwayat Penyakit Sekarang


keluhan sering sesak nafas atau kambuh gejala asmanya dan Klien mengatakan
khawatir janinnya tidak sehat/ cacat karena kondisi kesehatan ibu yang punya
riwayat asma dan sering kambuh.

4. Pemeriksaan fisik
a. Kepala dan Leher
Kepala normal, tidak ada cuping hidung
Leher: tidak ada pembesaran kelenjar Tiroid

b. Dada
Inspeksi: Bentuk Simetris, tidak ada retraksi dada
Palpasi: tidak ada nyeri, tidak ada
Perkusi: suara sonor
Auskultasi: tidak ada suara tambahan seperti rhongki

c. Abdomen
Inspeksi: TFU 30 cm, terdapat striae,
Palpasi: kepala belum masuk PAP
33
Perkusi: tidak dilakukan
Auskultasi: DJJ 128 kali/menit

d. Ekstremitas Atas
Tidak ada kelainan

e. Ekstremitas Bawah
Inspeksi: kaki tampak udem derajat 2
Palpasi:
Perkusi:
Auskultasi:

f. Punggung
Inspeksi:
Palpasi:
Perkusi:
Auskultasi:

g. Genetalia
h. Tanda-Tanda Vital
TD 130/85 mmHg
Nadi 88 kali/menit
RR 24 kali/menit
Suhu 37,0 ᵒC
TB 158 cm
BB 60 Kg

5. Data Penunjang
Hasil Lab
H2TL: Hb: 13 gr/dl, Leukosit 9,8rb dr/dl
UL: Protein urin negative

B. Analisa Data
C. Diagnosa Keperawatan
D. Intervensi Keperawatan
E. Implementasi Keperawatan
F. Evaluasi Keperawatan

34
BAB 4
PENUTUP

A. Kesimpulan
Asma dalam kehamilan gangguan adalah inflamasi kronik jalan napas terutama sel mast
dan eosinofil sehingga menimbulkan gejala periodik berupa mengi, sesak napas, dada
terasa berat, dan batuk yang ditemukan pada wanita hamil. Asma mungkin membaik,
memburuk atau tetap tidak berubah selama masa kehamilan, tetapi pada kebanyakan
wanita gejala-gejalanya cenderung meningkat selama tiga bulan terakhir dari masa
kehamilan. Faktor yang menimbulkan munculnya asma yaitu faktor intrinsik (alergen)
seperti debu, faktor ekstrinsik (non-alergen) seperti cuaca, dan gabungan dari keduanya.
Gejala-gejala yang lazim muncul pada Asma Bronkhial adalah batuk, dispnea, dan
wheezing. Serangan seringkali terjadi pada malam hari. Komplikasi yang dapat timbul
dari asma pada ibu dan janin, diantaranya yaitu hipoksia janin dan ibu, abortus, persalinan
premature, dan BBLR. Panatalaksanaan pada penderita asma antara lain mencegah
adanya strees, menghindari factor pencetus yang sudah diketahui secara intensif,
mencegah penggunaan aspirin karena dapat menimbulkan serangan, pada serangan ringan
dapat digunakan obat inhalan, dan pada keadaan yang lebih berat penderita harus dirawat
dan serangan dapat dihilangkan seperti efinefrin/sc dan oksigen.

B. Saran
Pembaca sebaiknya tidak hanya membaca dari materi makalah ini saja karena masih
banyak referensi yang lebih lengkap yang membahas materi dari makalah ini. Oleh
karena itu, pembaca sebaiknya membaca dari referensi dan literatur lain untuk menambah
wawasan yang lebih luas tentang materi ini.

35
DAFTAR PUSTAKA

Gloria M. Bulechek, et al. 2013. Nursing Interventions Classifications (NIC), Edisi Keenam.
Missouri: Mosby Elsevier
Hudak dan Gallo. 1997. Keperawatan Kritis: Pendekatan Holistik. Volume 1. Jakarta: EGC
Morhedd, dkk. 2013. Nursing Outcomes Classification (NOC), Edisi Kelima. Missouri: Mosby
Elsevier
Muttaqin, Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Imunologi.
Jakarta: Salemba Medika.
NANDA. 2015. Diagnosis Keperawatan : Definisi & Klasifikasi 2015-2017. Edisi 10. Jakarta: EGC
Smeltzer, Suzanne C. dan Bare, Brenda G. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner
dan Suddarth. Edisi 8 Volume 1,2. Alih Bahasa oleh Agung Waluyo…(dkk). Jakarta:
EGC.
Tjen, Daniel. 1991. Pengaruh Debu terhadap Kesehatan Paru. Gajahmada University Press.

36

Anda mungkin juga menyukai