Dasar-Dasar Fonologi
A. Pendahuluan
Sesuai dengan tujuan/sasaran pembelajaran, maka materi yang disajikan dalam bab ini
mencakup :
1. Fungsi Fonem
2. Alternasi alofonemis
3. Ekafonem dan dwifonem.
4. Asimilasi fonemis
5. Cara memodifikasi vokal.
6. Penghilangan fonem dan kontraksi.
7. Disimilasi dan metatesis.
8. Intonasi
9. Nada dan fungsinya.
10. Aksen, nada dan tekanan.
Manfaat yang diharapkan dapat diperoleh mahasiswa dari materi yang disajikan dalam
bab ini adalah :
1
1. Mahasiswa memiliki pengetahuan/wawasan tentang fonem dan fungsinya.
2. Mahasiswa memiliki pengetahuan/wawasan tentang alternasi alofonemis.
Materi-materi pembelajaran yang disajikan dalam bab ini merupakan dasar dalam
memahami materi-materi/pokok-pokok bahasan selanjutnya. Materi-materi ini sangat penting
untuk dipelajari, agar mahasiswa telah memiliki pengetahuan dasar fonologi, sebelum
mempelajari morfologi.
Untuk mempelajari materi-materi pembelajaran dalam bab 3 ini mahasiswa dimintakan
untuk :
1. Membaca terlebih dahulu materi yang tercantum dalam setiap pokok bahasan.
2. Terlibat aktif dalam kelompok-kelompok diskusi, baik di kelas maupun di luar kelas,
mempresentasikan hasil diskusi, menyimpulkan hasil diskusi, menanyakan hal-hal yang tidak
dipahami, menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh dosen.
3. Merumuskan hasil pembahasan
4. Mengerjakan tugas-tugas mandiri, tugas terstruktur dan tugas kelompok.
B. Penyajian Materi
Ilmu linguistik adalah ilmu empiris. Menurut Verhaar (1999:68-70) pengenalan tentang
identitas fonemmerupakan hal empiris. Tidak cukup bila hanya merasakansaja bahwa [t] pada
kata stopdan [th] pada kata topdalam bahasa Inggris merupakan dua bentuk dari satu fonem, yaitu
/t/ saja. Apakah kedua bunyi ini merupakan bunyi yang tidak sama atau dua bentuk dari satu
bunyi yang sama ?. Perhatikanlah contoh kata rupa dan lupa. Satu-satunya perbedaan di antara
kedua kata dalam bahasa Indonesia itu ialah menyangkut bunyi pertama, [l] dan [r]. Oleh karena
yang lainnya dalam pasangan kedua kata ini sama, maka pasangan tersebut disebut "pasangan
minimal". Disebut pasangan minimal, karena perbedaan di dalam pasangan itu "minimal"
(disebut "perbedaan minimal").
Perbedaan antara [l] dan [r] adalah apa yang membedakan (dari sudut analisis bunyi)
rupa dan lupa. Oleh karena itu, fonem /1/ dan /r/ dalam bahasa Indonesia, merupakan fonem-
fonem yang berbeda identitasnya. Sebaliknya, dalarn bahasa Jepang, bunyi [l] dapat juga berupa
2
[r]. Jadi, dapat saja tidakmembedakan dua kata dalam pasangan minimal. Oleh karena itu, kedua
bunyi tersebut tidak merupakan fonem-fonem yang berbeda dalam bahasa Jepang.
Selanjutnya, bandingkan perbedaan antara [t h] dalam topdan [t] dalam stop dalam bahasa
Inggris. Apakah top dan stop merupakan pasangan?. Tentu sajatop dan stop adalah dua kata yang
berbeda. Apakah pasangan ini merupakan pasangan minimal?. Tentu saja tidak, karena, selain
dari perbedaan antara [th] dan [t] masih ada perbedaan yang lain: stop memiliki /s/ dan top tidak.
Kesimpulannya: pasangan (yang tidak minimal) top - stop tidak dapat membuktikan bahwa [t h]
dan [t] merupakan fonem yang berbeda.
3.2.Alternasi Alofonemis
3
Seperti sudah dipelajari sebelumnya bahwa bunyi [t] dan [th] dalam bahasa Inggris tidak
berbeda secara fonemis, karena keduanya berasal darisatu fonem yang lazimnya dilambangkan
sebagai /t/. Bentuk-bentuk [t] dan [th] hanyalah "alofon-alofon" dari fonem /t/. Perbedaan di
antaranya memang bersifat fonetis, tetapi dari sudut fonologi "alofon-alofon" itu dapat dipandang
sebagai anggota-anggotadari fonem /t/.
Mengapa ada perbedaan pelafalan di antara anggota-anggota dari fonem yang sama?.
Perbedaan alofonemis dilihat berdasarkan lingkunganalofon tersebut. Fonem /t/ pada awal kata,
langsung disusul vokal, seperti pada kata top, pengucapannya[th]; bila tidak pada awal kata,
seperti pada kata stop, pengucapannya adalah [t].Memang masih ada berbagai alofon yang lain, di
samping [th] dan [t], untuk fonem /t/, tergantungdari lingkungan. Misalnya dalam kata butler /t/-
nya mempunyai plosi lateral (plosi sampingan). Dalam lingkungan /t/ pada kata butler, maka /t/
yang apikal itu disusul /1/ yang apikal pula, sehingga tidak perlu /t/ dilepaskan plosinya dengan
melepaskan ujung lidah; cukup sisi-sisi lidah saja diturunkan. (Bila anda ingin
melambangkannya, terserah lambang mana mau dipilih, misalnya t disusul l untuk lateralyang
ditulis agak ke bawah [t1]. Menurut Verhaar (1999:71) tidak perlu semua alofon itu diberi
lambang-lambang sendiri-sendiri.
Contoh alofon lain lagi dari fonem /t/ dalam bahasa Inggris ialah pelafalan /t/ pada akhir
kata, seperti dalam kata hat atau that, yang sering diartikulasikan dengan implosi tetapi tanpa
eksplosi(ujung lidah dibiarkan saja tetap pada ceruk, tanpa melepaskannya). Carilah alofon-
alofon, untuk bahasa tertentu (misalnya bahasa pertama anda sendiri), untuk masing-masing
fonemtentunya.
Selanjutnya, identifikasilah fonem-fonem terlebih dahulumelalui contoh pasangan-
pasangan minimal. Misalnya saja, carilah alofon-alofon dari fonem /k/ dalam bahasa Inggris,
contoh, [k] dan [kh]. Apakah alofon [k] hanya implosif saja?.Karena dasar perbedaan-perbedaan
alofonemis adalah lingkungan fonem, maka secara tak langsung dapat disimpulkan. bahwa dan
/h/ /ŋ/ dalam bahasa Inggris merupakan fonem-fonem yang berbeda. Alasannya, untuk status
fonemis hanya ada dua kemungkinan untuk kedua bunyi tersebut, yaitu (i) kedua bunyi itu
merupakan dua fonem yang berbeda, (ii) kedua bunyi itu merupakan dua alofon dari fonem yang
sama. Kemungkinan (ii) tidak masuk akal, karena pengartikulasian masing-masing bunyiterlalu
berbedadan kedua bunyi itu berada dalam lingkungan yang tidak sama. Paling sedikit haruslah
pada tempat yang sama. Misalnya, bunyi terakhiratau bunyi pertama di dalam kata. Untuk kasus
semacam ini hanyalah kemungkinan [i] saja yang dapat dijadikan alasan untuk status fonemis [k]
dan [kh].
Alternasi alofonemistergantung dari lingkungandan dapat diramalkan dari lingkungan
pula. Alternasi alofonemis misalnya alofon Inggris [th] terdapat hanya sebagai konsonan pertama
sebelum vokal; dan alofon [t] terdapat hanya bila /t/ itu tidak ada pada awal kata. Alternasi
alofonemis tidak terjadi begitu saja, melainkan menurut kaidah tertentu, yang agak berbeda dalam
bahasa tertentu dibanding dengan bahasa tertentu yang lain. Misalnya, bahasa Inggris
mewujudkan fonem /t/ secara fonetis sebagai alofon [th] sebelum vokal (tanpa adanya konsonan
lain sebelum atau sesudah /t/ itu). Namun, tidak demikian halnya dengan /t/ + vokal dalam bahasa
Belanda.Alofon [th] dan fonem /t/ tidak ditemukan dalam bahasa Belanda.
Dalam bahasa Jerman vokal tertentu, misalnya /i/, seperti dalam kata ich `saya', didahului
oleh bunyi [?]: pelafalannya[?iɦ]. Padahal, bila tidak pada awal kata, /i/ tidak didahului oleh
bunyi hamzah [?], seperti padanicht 'tidak' yang dilafalkan /niɦt/. Akan tetapi, bunyi [?] dalam
4
bahasa ini tidak berstatus fonemis. Dalam bahasa ini tak ada pasangan minimal dengan oposisi
antara [?] dan bunyi lain mana pun juga. Oleh karena itu, bunyi [?i] dan [i] dalam bahasa ini
merupakan dua alofon dari fonem /i/ saja.
Selain alofon ada juga yang disebut variasi bebas. Variasi bebas menyangkut adanya
lebih dari satu bentuk kata, untuk kata-kata tertentu (bentuk fonemisnya). Misalnya, telur/telor,
berjuang / berjoang, nasehat / nasihat, dsbnya. Pasangan-pasangan ini adalah pasangan
minimal.Perbedaan antara telur dan telor, dan di antara berjuang dan berjoang adalah
perbedaan minimal, yaitu perbedaan di antara /u/ dan /ò/.
Yang menarik dari pasangan seperti ini adalah pertama, variasi di antaranya bukan
alternasi alofonemis, melainkan perubahan fonemis. Fonem /u/ dan /ò/ merupakan fonem-fonem
yang berbeda.Kedua, telur dan telor tidak dibedakan, karena kedua kata itu adalah kata yang
sama. Pasangan-pasangan kata tertentu terkait denga perbedaannya biasanya minimal secara
fonemis, tidak secara alofonemis, dan pasangan tersebut merupakan dua bentuk dari satu kata.
Bentuk itu kebetulan berbeda secara fonemis.
Istilah "oposisi" dan "kontras" memainkan peranan penting dalam penelitian fonologis.
Kata lupa dan rupa dikatakan "beroposisi" atau "berkontras"ditulis dengan panah kembar di
antaranya atau dengan tanda titik dua, lupa : rupa. Oposisi dibedakan sebagai "opisisi langsung"
dan "oposisi tak langsung". Oposisi langsung terdapat dalam pasangan minimal, seperti /1/ dalam
pasangan lupa : rupa. Sekarang bandingkan fonem-fonem Inggris /h/ dan /ŋ/. Kedua fonem
tersebut tidak pernah terdapat dalam pasangan minimal. Oleh sebab itu mudah dimengerti
bahwa /h/ ditemukan hanya pada awal kata, sedangkan /ŋ/ tidak pernah terdapat pada awal kata,
sehingga tidak pernah dapat beroposisi dalam pasangan apapun (minimal atau tidak minimal). Di
pihak lain, /h/ dan /ŋ/ jelas berbeda menurut identitas fonemisnya. Oleh karena itu, fonem /h/ dan
fonem /ŋ/ dikatakan tidak beroposisi langsung atauberoposisi "tak langsung". Dalam hal ini para
ahli fonologi sering memakai istilah "kontras". Jadi fonem /h/ dan /g/ "berkontras".
5
Tentu saja, bila dalam kata bridge kita akui adanya baik fonem /d/ maupun fonem /ʒ/,
maka /d/-nya berwujud bukan secara alveolar, melainkan secara laminal.Hal itu mudah
dimengerti, karena akibat dari artikulasi laminal dan /ʒ/, maka [d] yang laminal di depannya
merupakan alofon dari fonem /d/ (alveolar). Sama halnya dengan akhir kata pitch 'tone' dapat
ditafsirkan sebagai dwifonem, yaitu /t/ dan /ʃ/, dan dapatditafsirkan pula sebagai ekafonem, yaitu
sebagai satu fonem afrikat saja, yaitu /tʃ/. Sebenarnya, baik penafsiran ekafonem maupun
dwifonem dipandang sah-sah saja. Namun,dalam buku ini /dʒ/ dan /tʃ/ (dalam bahasa Inggris)
akan ditafsirkan sebagai ekafonem saja, dan demikian pula dengan fonem /ň/ dalam bahasa
Indonesia.
Pilihan antara penafsiran ekafonem dan penafsiran dwifonem kita temukan juga dalam
bunyi kembar atau jeminat. Analisislah katacassa(bahasa Itali) 'dos', `kasa'. Apakah /kasa/
(ekafonem) atau /kassa/ (dwifonem)?. Para ahli linguistik lazimnya menafsirkan bunyi tersebut
secara ekafonem.Setiap penafsiran dapat saja dipertahankan, tapi yang perlu disadari adalah
akibat dari pilihan itu. Bila memilihekafonem, maka sebagai jeminatkata cassa‘dos’, ‘kasa’ dan
casa `rumah' adalah pasangan minimal. Sebaliknya bila memilih penafsiran dwifonem, maka
pasangan tersebut bukan pasangan minimal. Demikian juga dengan pasangan Inggris hedge
'pagar' danhead `kepala'.
Dalam penafsiran ekafonem, /hedʒ/ : /hed/ merupakan pasangan minimal, tetapi dengan
penafsiran dwifonem, /hedʒ/ : /hed/ tidak merupakan pasangan minimal. Akhirnya, bila dalam
bahasa Indonesia kita memilih penafsiran ekafonem dari bunyi sengau laminal dalam kata hanya,
yaitu sebagai /haňa/, maka hanya dan hama adalah pasangan minimal.Jika ditafsirkan secara
dwifonem, tidaklah demikian.Yang penting sebenarnya, bagaimana kita menyadari konsekuensi
dari penafsiran yang dipilih. Selain itu perlu memperhitungkan juga tradisi-tradisi yang sudah ada
di dalam masyarakat. Coba amati sekali lagi bunyi laminal dalam kata Indonesia menyalak.
Ingatlah bahwa para ahli linguistik yang pernah mempersiapkan Ejaan Baru Yang
Disempurnakan memandang bunyi laminal sengau itu secara ekafonem, yaitu, sebagai /ň/. Oleh
karena itu, pemenggalan kata menyalak ini pada akhir baris secara baku adalah me-nyalak, bukan
men-yalak. Akan tetapi, pemenggalan kata tak penuh pada akhir baris haruslah sejauh mungkin
mengikuti pembagian morfemis. Secara morfemis memang bentuk dasar dari menyalak adalah
salak. Oleh sebab itu, dalam penafsiran dwifonem kaidah-kaidah baku untuk pembagian kata
tidak penuh pada akhir baris seharusnya menuntut pemenggalan men-yalak.Tetapi, dengan
penafsiran ekafonem (yang dulu diterima oleh para ahli bahasa) terpaksa harus dinyatakan
sebagai me-nyalak.
Dahulu kita dapat saja mengatakan bahwa para ahli seharusnya menerapkan penafsiran
dwifonem pada bunyi sengau laminal itu. Namun, menurut Verhaar (1999:75), baik penafsiran
dwifonem maupun ekafonem sebenarnya dapat dibenarkan. Akan tetapi,kita menyesuaikan saja
dengan apa yang sudah ditetapkan dalamejaan yang berlaku sekarang ini, bila kita menerapkan
penafsiran ekafonem.
Sebagaimana yang sudah dikemukakan dalam bab seblumnya, bahwa pengucapan setiap
fonem tergantung dari lingkungan fonem yang bersangkutan dan perbedaan alofonemis tidak
mengubah identitas fonem itu sendiri. Misalnya, dalam Bahasa Inggris, [t h] dan [t] merupakan
6
dua bentuk atau dua "anggota" fonem yang kita lambangkan sebagai /t/.Akan tetapi, ada juga
perubahan pengucapan fonem sehingga bentuk yang "baru" itu merupakan fonem yang lain.
Analisislah klausa Belanda ik eet vis `saya makan ikan'. Kata vis `ikan', yang memiliki
bentuk fonemis /vis/, dimulai dengan frikatif labiodental bersuara /v/, sedangkan kata eet 'makan'
berakhir dengan fonem /t/, sebuah letupan apiko-alveolar tak bersuara. Sesudah kata eet, setiap
/v/ berubah menjadi konsonan homorgan tak bersuara, yaitu /f/. Akibatnya klausa tadi memiliki
analisis fonemis /ɨk et fɨs/Perhatikanlah bahwa fonem /v/ telah menjadi fonem yang lain, yaitu /f/.
Perubahan semacam ini bukan merupakan akibat asimilasi fonetis, melainkan akibat asimilasi
fonemis.
Di samping asimilasi fonemis masih ada berbagai perubahan yang lain yang
menyebabkan fonem tertentu menjadi fonem yang lain. Perubahan-perubahan tersebut antara lain,
modifikasi vokal jenis umlaut, modifikasi vokal jenis ablaut, modifikasi vokal jenis harmoni
vokal, netralisasi, hilangnya fonem dan kontraksi, disimilasi, dan metatesis.
Contoh Belanda ik eet vis /ik et fis/ menunjukkan bahwa fonem /v/ (dari vis /vis/)
berubah menjadi fonem homorgan yang tak bersuara /f/, akibat asimilasi; Asimilasi tersebut
bersifat "progresif': /t/ yang mendahului mempengaruhi /v/ yang mengikutinya menjadi
/f/.Asimilasi yang mengubah fonem tertentu menjadi fonem tertentu yang lain disebut "asimilasi
fonemis". Asimilasi fonemis berbeda de-ngan asimilasi fonetis (periksa Bab 5, pasal [l]) claim hal
ini bahwa asimilasi fonetis tidak mengubah status fonem bunyi yang dipengaruhi, sedangkan
asimilasi fonemis mengubah fonem tertentu menjadi fonem yang lain. Misalnya, dalam kata
Belanda zakdoek `sapu tangan' kata majemuk yang terdiri atas zak‘kantong' dan doek `kain', [k]
yang tak bersuara padazak menjadi [g]. Kebetulan sekali dalam bahasa Be-landa [g] hanya
merupakan alofon dari fonem /k/ saja—tidak ada fonem /g/ dalam bahasa ini. Karena itu,
asimilasi di dalam kata zakdoek /zagduk/ merupakan asimilasi fonetis sebab tak ada perubahan
fonem.
fonologi
7
fonetik asmimilasi fonetis penyesuaian bunyi dengan
bunyi lain
Perubahan bunyi dalam asimilasi jenis ini tidak merubah identitas bunyi fonem.
Asimilasi fonetis hanya menyangkut bidang fonetik saja. Akan tetapi, apabila terjadi perubahan
bunyi,dan bunyi yang baru itu merupakan alternasi alofonemis, maka perubahan tersebut
termasuk pada bidang kajian fonologi. Seluruh asimiIasi fonemis termasuk fonologi, karena
fonem tertentu yang satu diubah menjadi fonem tertentu yang lain.Bahasa-bahasa di dunia agak
berbeda-beda dalam hal asimilasi fonemis. Oleh karena itu,asimilasi fonemis hanya berlaku untuk
bahasa tertentu saja.
Asimilasi fonemis dapat dikelompokkan ke dalam tiga jenis, yaitu asimilasi progresif,
asimilasi regresif, dan asimilasi timbal balik(resiprokal).Contoh asimilasi (fonemis) progresif
sudah kita amati, dalam klausa Belanda ik eet vis. Dalam bahasa ini terdapat pula asimilasi
regresif. Contohnya adalahop de weg 'di jalan' (de adalah kata sandang atau artikel definit) yang
pelafalannya /obdəwex/, dengan /b/ yang bersuara pada akhir op. Meskipun secara normal op
dilafalkan /op/, dalam lingkungan ini /p/ pada akhir kata op berubah menjadi /b/ yang bersuara
karena pengaruh /d/ yang bersuara pada awal artikel de. Asimilasi ini dikategorikan asimilasi
fonemis, karena /p/ dan /b/ dalam bahasa Belanda terbukti merupakan fonem-fonem yang
berbeda.
Selanjutnya, mengapa terjadi asimilasi progresif dalam ik eet vis dan asimilasi regresif
dalam op de weg pada batas kata?. Hal itu memang tergantung dari kaidah-kaidah asimilasi
(fonemis) yang berlaku khusus untuk bahasa Belanda. Dalam bahasa Jerman ada asimilasi
progresif pada batas kata, tetapi nampaknya yang regresif tidak ada. Misalnya, dalam kelompok
kata (frasa) mit der Frau‘bersama dengan wanita itu', /d/ padader, di bawah pengaruh /t/ pada mit,
diubah menjadi /t/ pula, sehingga pengucapan frasa tadi adalah/mit ter frau/ (dan bukan */mid der
frau/).
Asimilasi fonemisdalam bahasa Inggris cukup menarik perhatian, karena dalam bahasa
ini asimilasi tersebut (entah progresif atau regresif), tidak ada. Misalnya frasa at that, ucapannya
adalah /aetdaet/, bukan */aeddaet/. Artinya, /t/-nya tetap /t/, tidak menjadi /d/. Akibat
ketidakhomorganan kedua konsonan tersebut, /t/-nya padaat memang biasanya tidak
letup.Jadi,dalam hal ini terdapat asimilasi fonetis, bukan asimilasi fonemis.
Sejauh diketahui, satu-satunya perkecualian adalah kata newspaper `koran', kata
majemuk, terdiri atas news /nyuz/ dan paper /peipə/: dalam pengucapan kata newspaper
/nyuspeipə/, /z/ telah menjadi /s/, akibat /p/ yang tak bersuara yang mengikutinya. Akan tetapi,
pada umunya asimilasi fonemis tidak terjadi pada batas komponen kata majemuk atau pada batas
kata. Misalnya frasa hot day 'hari panas' diucapkan /hɔt dei/, bukan */hɔd de'/ atau */hɔt tei/. Oleh
karena /t/ dan /d/ adalah homorgan, agak sulitlah melafalkan /hɔt de'/ secara tepat bagi mereka
yang baru mulai belajar bahasa Inggris. Sebenarnya /t/ tersebut dilafalkan hanya secara implosif
8
saja (acap kali juga disertai [?] untuk banyak penutur Inggris), tetapi [t] yang hanya implosif
tersebut tidak termasuk asimilasi fonemis.
Perkecualian tadi, yaitu newspaper, dapat saja menggoda anda untuk mencari
perkecualian yang lain, yaitublackguard‘penjahat’, /blægad/, cupboard ‘lemari', /kɅbad/,
raspberry `prambos', /râzbəri/, dangooseberry `buah talok', /guzbəri/. Periksa pelafalannya: /k/
dari black- menjadi /g/; /p/ dari cup- menjadi /bl, /sp/ dari rasp- menjadi /zb/, dan /s/ dari goose-
menjadi /z/. Tidakkah itu asimilasi yang sebenarnya ?. Memang tidak. Karena asimilasi itu di
sini adalah historis belaka. Hanya dari sudut diakronik sajalah dapat kita katakan bahwa ada
asimilasi.
Kata blackguard tidak lagi dirasakanorang sebagai kata majemuk (terdiri dari black dan
guard), dan cupboard tidak lagi dirasakan orang sebagai suatu board untuk cup (cupboard adalah
lemari untuk apa saja, tidak hanya untuk mangkok). Demikian juga dengan raspberry dan
gooseberry. Bandingkan saja kata majemuk blackboard yang pelafalannya memang tidak
menunjuldcan asimilasi (/blaekbòd/): /k/ tetap /k/, tidak menjadi /g/, karena ada /b/ yang bersuara
yang mengikutinya. Walaupun begitu, kata blackboard tetap dirasakan sebagai kata
majemuk.Akhirnya ada pula asimilasi timbal balik atau resiprokal, yang menyebabkan dua fonem
yang berdekatan (dan yang tidak sama) menjadi fonem yang ketiga. Sebagai contoh telitilah kata
Batak Toba bereng /bereŋ/ ‘lihat' dan hamu /hamu/ `kamu'.
Dalam konstruksi bereng hamu‘lihatlah (oleh kamu)', baik /ŋ/ padabereng
maupun /h/padahamu diubah menjadi /k/, sehingga bereng kamu dilafalkan /berek kamu/.
Inibenar-benar merupakan asimilasi fonemis, karena /ŋ/, /h/ dan /k/ adalah fonem-fonem yang
berbeda dalam bahasa ini.
9
A. Disimilasi
Seperti halnya asimilasi menyebabkan penyamaan dua fonem yang berbeda, maka apa
yang disebut "disimilasi" menyebabkan dua fonem yang sama (berdekatan atau tidak) menjadi
fonem yang lain.Contoh Indonesia adalah belajar, yang dihasilkan oleh penggabungan awalan
ber dan ajar. Akan tetapi,dalam bahasa Indonesia ada kecenderumgan untuk menghindari dua /r/,
sehingga sering muncul bentuk *berajar. Contoh belajar adalah kasus disimilasi yang sinkronik.
Secara diakronik ada kasus-kasus disimilasi juga. Contohnya ialah kata-kata Indonesia cinta dan
cipta. Kedua kata itu berasal dari kata Sanskerta citta, jadi salah satu konsonan /t/ pada kata citta
dihilangkan dan diganti dengan /p/ menjadi /pt/ untuk cipta dan /nt/ untuk cinta. Contoh lain
terdapat dalam kata langsir, yang dulu pemah dipungut dari bahasa Belanda (rangeren): karena
ada dua /r/ dalam kata bahasa Belanda itu, maka /r/ yang pertamasecara disimilatif diubah
menjadi /1/.
B. Metatesis
Dalam proses metatesis yang diubah adalah urutan fonem-fonem tertentu. Biasanya
bentuk asli dan bentuk yang mengalami metatesis itu terdapat bersama-sama, sehingga ada variasi
bebas. Dalam bahasa Indonesia, ada brantas dan bantras, jalur dan lajur, kerikil dan kelikir.
Contoh-contoh seperti ini adalah contoh sinkronik. Contoh diakroniknya seperti pada kata
almari(bahasa Portugis) yang telah menjadi lemari, kata Arba(bahasa Arab) yang telah menjadi
Rebo atau Rabu.
3.5.4. Intonasi
Pada jenis-jenis kalimat tertentu, intonasi adalah sesuai dengan jenis kalimat. Oleh karena
itu disebut bersifat fonemis. Perhatikan contoh kalimat bahasa Indonesia berikut ini :
1). Dengan cara yang demikian, anda dapat ikut serta dalam upacara
Bandingkan kalimat deklaratif dalam contoh (1) berikut ini, dengan kalimat tanya atau
interogatif dalam contoh (2) dan (3) (tingginya nada dilambangkan dengan nomor-nomor, misalnya
dari 1 di bawah sampai dengan 5 di atas).
Secara fonologis, ada dua segmen utama, yaitu (1) sampai dengan jeda (yang dilambangkan
dengan koma), dan (2) sesudah jeda. Segmen pertama mulai dengan intonasi yang menurun sedikit,
10
lalu menaik tents sampai jeda itu. Naik turunnya intonasi itu bersifat fonemis karena memang
melambangkan bahwa ada segmen lain yang akan menyusul. Sesudah jeda itu, intonasi terns menurun
sampai akhir kalimat, dan lagu tersebut bersifat fonemis pula, karena melam-bangkan akhir seluruh
kalimat yang deklaratif itu.
Contoh (2) dan (3) merupakan kalimat interogatif: (2) tipe yang namanya "pertanyaan ya
/tidak" (yaitu pertanyaan dengan jawaban ya atau tidak), dan (3) tipe yang namanya "pertanyaan apa"
(yaitu pertanyaan yang menanyakan tentang `apa?' atau `siapa?' atau `bagaimana?' atau kata tanya
serupa).
(2) Apakah anda sudah mendaftarkan diri?
Dalam bahasa Indonesia, intonasi pada kalimat interogatif mulai dan tinggi dan menurun lalu
menaik lagi, sehingga tinggi pada akhir. Intonasi yang menaik pada akhir merupakan sifat kalimat
interogatif dalam bahasa ini.Oleh karena itu, intonasi tersebut dapat dikatakan berupa fonemis.
Apakah perbedaan antara intonasi deklaratif pada contoh (1) dan intonasi interogatif pada
contoh (2) (atau (3)) merupakan perbedaan minimal?. Memang tidak demikian, karena selain dari
perbedaan supra-segmental ada juga yang segmental, yaitu kata tanya (seperti apakah dalam (2) atau
siapa pada (3)). Mungkin sekarang anda akan me-nyanggah bahwa sifat fonemis dan intonasi
interogatif tidak terbukti oleh pasangan (1) dan (2), atau oleh pasangan (1) dan (3), oleh karena
perbedaannya tidak minimal. Sanggahan itu harus diakui berlaku, jadi baiklah kita amati pasangan
[deklaratif] : [interogatif] yang memang minimal, dalam contoh (4) dan (5) berikut ini:
11
Kalimat (4) adalah deklaratif, dan (5) interogatif Kalimat (5) ada-lah kalimat interogatif
dengan konstruksi sintaktis yang deklaratif, artinya perbedaan di antara (4) dan (5) adalah [intonasi
deklaratif], [intonasi interogatif], dan perbedaan tersebut adalah perbedaan minimal. Dengan
demikian sifat fonemis dari intonasi interogatif terbuktidalam (5).
Memang banyak bahasa memungkinkan konstruksi interogatif seperti itu, bahasa Inggris di
antaranya: misalnya You have already registered, You have already registered?
Fungsi fonemis dari intonasi yang khusus interogatif berbeda-beda juga menurut bahasanya.
Telitilah contoh dalam bahasa Inggris (6) dan (7) berikut ini :
(6) Did you see anything there? (7) What did you see there?
Perhatikanlah bahwa dalam (6) intonasi menaik pada akhir kalimat, sedangkan dalam (7)
intonasi menurun pada akhir. Apa sebabnya? Hal itu terjadi oleh karena kaidah yang berlaku untuk
bahasa Inggris Inggris (meskipun tidak begitu umum berlaku dalam bahasa Inggris Amerika), yaitu:
pertanyaan "ya / tidak" (6) berintonasi naik, sedangkan "pertanyaan apa" (seperti (7) berintonasi
turun.
C. Rangkuman
Mengidentifikasi fonem yang dikaitkan dengan fungsinya bukanlah perkerjaan yang mudah,
karena di dunia ini ada begitu banyak bahasa. Dalam hal ini fonetik tidak dapat
menyelesaikannya. Fonetik hanya mengidentifikasi bunyi-bunyibahasa secara
fonetis(identifikasi fonetis). Oleh karena itu, dibutuhkan cabang linguistik yang disebut
12
fonologi(fonemik). Fonologi dapat dikatakan sebagai ilmu yang mengkaji tentang bunyi secara
fungsional.Ilmu linguistik adalah ilmu empiris. Oleh karena itu, pengenalan tentang identitas
fonemmerupakan juga hal empiris.
Berbicara tentang bunyi bukanlah hal yang mudah, tidak cukup bila hanya merasakan saja
bunyi-bunyi itu.Untuk memastikan kedua bunyi pada kata yang tidak sama merupakan bunyi yang
tidak sama atau dua bentuk dari satu bunyi yang sama memerlukan ketelitian.Untuk mengidentifikasi
fonem-fonem terlebih dahulumelalui contoh pasangan-pasangan minimal. Satu-satunya perbedaan di
antara kata lupa dan rupa dalam bahasa Indonesia ialah menyangkut bunyi pertama, [l] dan [r].
Pasangan kedua kata ini sama, yaitu [-pa] dan [-pa], oleh sebab itu, pasangan tersebut disebut
"pasangan minimal". Disebut pasangan minimal, karena perbedaan di dalam pasangan itu minimal.
Perbedaan antara [l] dan [r] hanyalah padasesuatu yang membedakan dari sudut analisis bunyi rupa
dan lupa. Oleh karena itu, fonem /1/ dan /r/ dalam bahasa Indonesia, disebut fonem-fonem yang
berbeda identitasnya. Sebaliknya, dalam bahasa Jepang, bunyi [l] dapat juga berupa [r]. Jadi, dapat
saja tidakmembedakan dua kata dalam pasangan minimal. Oleh karena itu, kedua bunyi tersebut tidak
merupakan fonem-fonem yang berbeda dalam bahasa Jepang.
Selanjutnya, perbedaan bunyi antara [th] dalam kata topdan [t] dalam stop dalam bahasa
Inggris jalas menunjukkan bahwakatatop dan stop bukan pasanganminimal. Fonem /t/ pada [th] dan
[t]adalah fonem-fonem yang berbeda identitasnya. Selain itu adajuga perbedaan yang lain, yaitustop
memiliki /s/ dan top tidak. Dengan demikian top dan stop adalah dua kata yang berbeda. Dikatakan
bukan pasangan minimal karenatop dan stop tidak dapat membuktikan bahwa [th] dan [t] merupakan
fonem yang berbeda.Tapi apakah kedua bunyi inimerupakan bunyi yang tidak sama, ataukah dua
bentuk dari satu bunyi yang sama ?. Demikian juga denganbunyi hamzah [?] dan [k] dalam bahasa
Indonesia dan bunyi [t] yang “tidak beraspirasi” dan bunyi [t h] “beraspirasi’ dalam bahasa Mandarin,
apakah merupakan dua bunyi yang berbeda identitasnya, ataukah hanya dua bentuk saja dari bunyi
yang sama?.Bunyi [th] dan [t]merupakan bunyi yang sama secara fungsional. Oleh karena itu bunyi
fungsional disebut "fonem". Jadi, dasar bukti identitas fonem terletak pada "fungsi pembeda", sebagai
sifat khas fonem itu.
Fonem itu dilambangkan sebagai huruft diapit di antara dua garis miring: /t/.Jadi, [t] dan [th]
merupakan dua bentuk yang berbeda dari fonemyang sama. Demkian pula [?] dan [k] dalam bahasa
Indonesia merupakan dua bentuk yang berbeda dari fonem yang sama, yaitu /k/. Untuk membuktikan
bahwa [th] dan [t] merupakan fonem-fonem yang berbeda (dalam bahasa Inggris), perlulah dicari
pasangan minimal dengan perbedaan di antara [t h] dan [t] sebagai perbedaan minimal. Namun,
pasangan semacam ini tidak ditemukan dalarn bahasa Inggris. Sebaliknya, dalam bahasa Cina
Mandarin ada pasangan minimalseperti tin `paku' dan thin `mendengar’, dan pasangan itulah yang
membuktikan bahwa memang dalam bahasaMandarin/t h/ dan /t/ merupakan fonem-fonem yang tidak
sama identitasnya.Bahasa Cina mandarin membedakan [t] yang “tidak beraspirasi” dan [t h]
“beraspirasi’. Dalam bahasa tersebut kedua bunyi ini berasal dari fonem yang tidak sama. B entuk [t]
dan [th] dari fonem /t/ berlaku untuk bahasa Inggris, tetapi bahasa Cina Mandarin membedakan [t]
yang tidak "beraspirasi" dan [th] "beraspirasi" itu sebagai fonem yang tidak sama. Jadi ada dua fonem:
/t/ dan /th/ dalam bahasa Mandarin itu. Demikian pula, dalam bahasa Indonesia [?] dan [k] hanya
merupakan dua bentuk yang berbeda dari fonem /k/ yang sama. Namun, dalarn bahasa yang lain /k/
dan /?/ merupakan fonem-fonem yang berbeda.Dasar bukti identitas fonem terletak pada "fungsi
pembeda", sebagai sifat khas fonem itu.Hal-hal seperti ini perlu dibuktikan secara empiris.
13
Bunyi [t] dan [th] dalam bahasa Inggris tidak berbeda secara fonemis, karena keduanya
berasal darisatu fonem yang lazimnya dilambangkan sebagai /t/. Bentuk-bentuk [t] dan [t h] hanyalah
"alofon-alofon" dari fonem /t/. Perbedaan di antaranya memang bersifat fonetis, tetapi dari sudut
fonologi "alofon-alofon" itu dapat dipandang sebagai anggota-anggotadari fonem /t/.
Ada perbedaan pelafalan di antara anggota-anggota dari fonem yang sama. Perbedaan
alofonemis dilihat berdasarkan lingkunganalofon tersebut. Fonem /t/ pada awal kata, langsung disusul
vokal, seperti pada kata top, pengucapannya[th]; bila tidak pada awal kata, seperti pada kata stop,
pengucapannya adalah [t].Memang masih ada berbagai alofon yang lain, di samping [t h] dan [t].
Untuk fonem /t/, tergantungdari lingkungan. Misalnya dalam kata butler /t/-nya mempunyai plosi
lateral (plosi sampingan). Dalam lingkungan /t/ pada kata butler, maka /t/ yang apikal itu disusul /1/
yang apikal pula, sehingga tidak perlu /t/ dilepaskan plosinya dengan melepaskan ujung lidah; cukup
sisi-sisi lidah saja diturunkan.
Dasar perbedaan-perbedaan alofonemis adalah lingkungan fonem.Untuk status fonemis hanya
ada dua kemungkinan untuk kedua bunyi tertentu, yaitu (i) kedua bunyi itu merupakan dua fonem
yang berbeda, (ii) kedua bunyi itu merupakan dua alofon dari fonem yang sama. Ada bunyi-bunyi
yang tidak masuk akal, karena pengartikulasian masing-masing bunyi terlalu berbedadan kedua bunyi
itu berada dalam lingkungan yang tidak sama. Paling sedikit haruslah pada tempat yang sama.
Misalnya, bunyi terakhiratau bunyi pertama di dalam kata.
Alternasi alofonemistergantung dari lingkungan dan dapat diramalkan dari lingkungan pula.
Alternasi alofonemis yang terdapat pada alofon Inggris [th] hanya sebagai konsonan pertama sebelum
vokal; dan alofon [t] terdapat hanya bila /t/ itu tidak ada pada awal kata. Alternasi alofonemis tidak
terjadi begitu saja, melainkan menurut kaidah tertentu, yang agak berbeda dalam bahasa tertentu
dibanding dengan bahasa tertentu yang lain. Misalnya, bahasa Inggris mewujudkan fonem /t/ secara
fonetis sebagai alofon [th] sebelum vokal (tanpa adanya konsonan lain sebelum atau sesudah /t/).
Namun, tidak demikian halnya dengan /t/ + vokal dalam bahasa Belanda.Kedua alofon ini tidak
ditemukan dalam bahasa Belanda.
Dalam bahasa Jerman vokal tertentu, misalnya /i/, seperti dalam kata ich `saya', didahului
oleh bunyi [?]: pelafalannya[?iɦ]. Padahal, bila tidak pada awal kata, /i/tidak didahului oleh bunyi
hamzah [?], seperti padanicht 'tidak' yang dilafalkan /niɦt/. Akan tetapi, bunyi [?] dalam bahasa ini
tidak berstatus fonemis. Dalam bahasa ini tak ada pasangan minimal dengan oposisi antara [?] dan
bunyi lain mana pun juga. Oleh karena itu, bunyi [?i] dan [i] dalam bahasa ini merupakan dua alofon
dari fonem /i/ saja.
Selain alofon ada juga yang disebut variasi bebas. Variasi bebas menyangkut adanya lebih
dari satu bentuk kata, untuk kata-kata tertentu (bentuk fonemisnya). Misalnya, telur/telor, berjuang /
berjoang, nasehat / nasihat, dsbnya. Pasangan-pasangan ini adalah pasangan minimal.Perbedaan
antara telur dan telor, dan di antara berjuang dan berjoang adalah perbedaan minimal, yaitu
perbedaan di antara /u/ dan /ò/. Yang menarik dari pasangan seperti ini adalah pertama, variasi di
antaranya bukan alternasi alofonemis, melainkan perubahan fonemis. Fonem /u/ dan /ò/ merupakan
fonem-fonem yang berbeda.Kedua, telur dan telor tidak dibedakan, karena kedua kata itu adalah kata
yang sama. Pasangan-pasangan kata tertentu terkait denga perbedaan biasanya minimal secara
fonemis, tidak secara alofonemis, dan pasangan tersebut merupakan dua bentuk dari satu kata. Bentuk
itu kebetulan berbeda secara fonemis.
Istilah "oposisi" dan "kontras" memainkan peranan penting dalam penelitian fonologis. Kata
lupa dan rupa dikatakan "beroposisi" atau "berkontras"ditulis dengan panah kembar di antaranya atau
14
dengan tanda titik dua, lupa : rupa. Oposisi dibedakan sebagai "opisisi langsung" dan "oposisi tak
langsung". Oposisi langsung terdapat dalam pasangan minimal, seperti /1/ dalam pasangan lupa :
rupa. Bandingkan dengan fonem-fonem Inggris /h/ dan /ŋ/. Kedua fonem tersebut tidak pernah
terdapat dalam pasangan minimal. Oleh sebab itu/h/ ditemukan hanya pada awal kata, sedangkan /ŋ/
tidak pernah terdapat pada awal kata, sehingga tidak pernah dapat beroposisi dalam pasangan apapun
(minimal atau tidak minimal). Di pihak lain, /h/ dan /ŋ/ jelas berbeda menurut identitas fonemisnya.
Oleh karena itu, fonem /h/ dan /ŋ/ dikatakan tidak beroposisi langsung atauberoposisi "tak langsung".
Dalam hal ini para ahli fonologi sering memakai istilah "kontras". Jadi fonem /h/ dan /g/ "berkontras".
Menurut Verhaar (1999:75), baik penafsiran dwifonem maupun ekafonem sebenarnya dapat
dibenarkan. Akan tetapi,kita menyesuaikan saja dengan apa yang sudah ditetapkan dalamejaan yang
berlaku sekarang ini, untuk penafsiran ekafonem dan dwifonem, seperti pada kata banyak, bridge,
pitch, cassa, hedge-head, hanya-hama, menyalak, dsbnya.
Pengucapan setiap fonem tergantung dari lingkungan fonem yang bersangkutan dan
perbedaan alofonemis tidak mengubah identitas fonem itu sendiri. Misalnya, dalam Bahasa Inggris,
[th] dan [t] merupakan dua bentuk atau dua anggotafonem yang kita lambangkan sebagai /t/.Akan
tetapi, ada juga perubahan pengucapan fonem sehingga bentuk yang baru itu merupakan fonem yang
lain. Di samping asimilasi fonemis masih ada beberapa perubahan yang lain, yang menyebabkan
fonem tertentu menjadi fonem yang lain. Perubahan-perubahan tersebut antara lain, modifikasi vokal
jenis umlaut, modifikasi vokal jenis ablaut, modifikasi vokal jenis harmoni vokal, netralisasi,
hilangnya fonem dan kontraksi, disimilasi, dan metatesis.
Selain asimilasi ada juga perubahan fonem yang terjadi yang disebut disimilasi, yaitu yang
menyebabkan dua fonem yang sama (berdekatan atau tidak) menjadi fonem yang lain. Ada dua
bentuk disimilasi, yaitu disimilasi sinkronik dandisimilasi diakronik.Selain disimilasi ada juga bentuk
yang mengalami metatesis. Dalam proses metatesis yang diubah adalah urutan fonem-fonem tertentu.
Biasanya bentuk asli dan bentuk yang mengalami metatesis itu terdapat bersama-sama, sehingga ada
variasi bebas. Dalam fonologi dibahas pula tentang intonasi, aksen dan tekanan. Pada jenis-jenis
kalimat tertentu, intonasi adalah sesuai dengan jenis kalimat.
D. Latihan/Evaluasi
15
9. Di samping asimilasi fonemis masih ada beberapa perubahan yang lain yang
menyebabkan fonem tertentu menjadi fonem yang lain. Perubahan-perubahan semacam
apakah itu ?. Jelaskan dan berikan contoh !.
10. Sebutkan jenis-jenis asimilasi, jelaskan dan berikan contoh !.
11. Jelaskan perbedaan asimilasi fonemis dan asimilasi fonetis !.
12. Apa yang dimaksud dengan disimilasi dan metatesis ?. Jelaskan dan berikan contoh !.
13. Apa yang dimaksud dengan disimilasi sinkronik dandisimilasi diakronik ? Jelaskan !.
14. Dalam bahasa Indonesia ada kata jalur-lajur dan kata almari-lemari. Bentuk yang
manakah yang disebut disimilasi diakronik dan yang mana yang disebuti disimilasi
sinkronik ?.
15. Apa yang dimaksud dengan intonasi, aksen, dan tekanan. Jelaskan !.
16
BAB IV
DASAR-DASAR MORFOLOGI
A. Pendahuluan
Sesuai dengan tujuan/sasaran pembelajaran, maka materi yang disajikan dalam bab ini
mencakup :
1. Pengertian morfologi.
2. Morfem, morf dan alomorf.
3. Alternasi Alomorfemis : Kaidah morfofonemis yang berupa morfemis.
4. Morfem bebas dan morfem terikat.
5. Morfem utuh dan morfem terbagi.
6. Morfem segmental dan nonsegmental.
7. Morfem beralomorf Zero.
8. Morfem bermakna leksikal dan tidak bermakna leksikal.
9. Pengertian kata
17
10. Konsep kata dan klasifikasi kata.
11. Jenis-jenis proses pembentukan kata : gramatikalisasi, afiksasi, reduplikasi, komposisi.
12. Fleksi dan jenis-jenis fleksi
13. Pengertian derivasi
Manfaat yang diharapkan dapat diperoleh mahasiswa dari materi yang disajikan dalam
bab ini adalah :
1. Mahasiswa memiliki pengetahuan/wawasan tentang morfologi.
2. Mahasiswa memiliki pengetahuan/wawasan tentang morfem, morf dan alomorf.
3. Mahasiswa memiliki pengetahuan/wawasan tentang alternasi alomorfemis.
4. Mahasiswa memiliki pengetahuan/wawasan tentangmorfem bebas dan morfem terikat.
5. Mahasiswa memiliki pengetahuan/wawasan tentang morfem utuh dan morfem terbagi.
6. Mahasiswa memiliki pengetahuan/wawasan tentang morfem segmental dan
nonsegmental.
7. Mahasiswa memiliki pengetahuan/wawasan tentang morfem beralomorf Zero.
8. Mahasiswa memiliki pengetahuan/wawasan tentang morfem bermakna leksikal dan tidak
bermakna leksikal.
9. Mahasiswa memiliki pengetahuan/wawasan tentangpenegertian kata.
10. Mahasiswa memiliki pengetahuan/wawasan tentangkonsep kata dan klasifikasi kata.
11. Mahasiswa memiliki pengetahuan/wawasan tentang proses pembentukan kata.
12. Mahasiswa memiliki pengetahuan/wawasan tentang fleksi dan jenis-jenis fleksi.
13. Mahasiswa memiliki pengetahuan/wawasan tentang derivasi.
B. Penyajian Materi
Untuk menentukan apakah sebuah satuan gramatikal itu morfem atau bukan, perlu
membandingkan bentuk satuan gramatikal tersebut dengan bentuk-bentuk lain. Jika bentuk
tersebut muncul secara berulang-ulang (walaupun dalam bentuk lain), maka bentuk tersebut
adalah sebuah morfem. Di samping merupakan bentuk yang berulang, morfem juga
menunjukkan makna tertentu baik leksikal maupun gramatikal. Sebagai contoh bentuk di-
dalam beberapa bentuk berikutini:
Contoh 1
dibawa
dikirim
diambil
dijual
Semua bentuk di- pada beberapa contoh kata di atas ternyata dapat disegmentasikan
sebagai satuan tersendiri dan yang mempunyai makna yang sama, yaitu menyatakan tindakan
pasif. Dengan demikian bentuk di- dapat dikatakan sebagai sebuah morfem, karena merupakan
18
bentuk terkecil yang berulang-ulang dan mempunyai makna yang sama. Perhatikan bentuk di-
pada kata-kata berikut ini:
Contoh 2
di kampus
di taman
di pasar
di toko
Bentuk di- pada beberapa contoh kata di atas dapat disegmentasikan sebagai satuan
tersendiri dan mempunyai arti yang sama yaitu mengacu pada tempat. Dengan demikian di- pada
contoh tersebut adalah sebuah morfem. Pertanyaannya adalah, apakah di- pada contoh 1dengan
di- pada contoh 2merupakan morfem yang sama atau berbeda. Adapun kedua bentuk di- itu
bukanlah morfem yang sama, karena makna di- pada dibawa dan di pasar tidak sama.Meskipun
bentuknya sama, namun keduanya merupakan dua morfem yang berbeda. Jadi,ciri atau identitas
sebuah morfem dapat dilihat pada kesamaan arti dan kesamaan bentuk.
Sekarang perhatikan bentuk-bentuk lain yang ada pada contoh berikut:
Contoh 3
membaca
terbaca
dibaca
pembaca
Pada contoh di atas dapat dilihat bahwa ada bentuk yang sama, yang disegmentasikan
dari bagian unsur-unsur lainnya. Bagian yang sama itu adalah bentuk baca. Bentuk bacapada
contoh di atas adalah juga sebuah morfem, karena bentuknya sama dan maknanya juga
sama.Dalam studi morfologi, suatu satuan bentuk yang berstatus sebagai
morfembiasanyadilambangkan di antara kurung kurawal. Misalnya, morfem rumah
dilambangkan sebagai {rumah}; kata dipukul dilambangkan sebagai {di} + {pukul}. Bentuk yang
diapit oleh kurung kurawal disebut lambang atau “morfem” (baca Verhaar, 1999: 105-106).
19
Rumus ganda seperti ini hanya mungkin apabila semua morfem adalah morfem
segmental (perhatikan perbedaan antara morfem segmental dan morfem
suprasegmental).
Lambang morfem digunakan dalam analisis struktur-struktur morfemis. Hal yang sering
menjadi masalah terkait dengan pelambangan morfem ini adalah tidak semua morfem berupa
segmental. Tetapi, kita dapat memperlakukan kata dalam bentuk jamak, seperti feet sebagai
{foot} dan menuliskan kata “jamak”, atau bentuk jamak sheep sebagai {sheep} + {Ø}.
Pelambangan {jamak} sudah menunjukkan bahwa morfem itu merupakan suatu satuan yang
abstrak, yaitu dapat berupa segmental (utuh atau terbagi) atau dapat berupa “zero” (nol), dan
dapat juga berupa nada tertentu.
Berbeda dengan morfem-morfem, alomorf-alomorf jauh lebih konkrit, meskipun berupa
segmental tidak mutlak perlu. Namun demikian, untuk pemerian yang mudah dibutuhkan suatu
bentuk yang cukup konkrit. Bentuk konkrit itu disebut “morf”. Misalnya untuk penjamakan
nomina dalam bahasa Inggris dipilih morf {-s}. Hurus s tidak hanya dapat mewakilialofon-
alofon -/s/, -/z/, dan -/ɨz/, tetapi juga -/ən/ untuk jamak oxen atau perubahan vocal plus -/rən/
untuk jamak children.
Menurut Verhaar (1999:106) untuk lambang morf yang umum dapat digunakan {-s} saja.
Kata children dapat dilambangkan {child}+{-s}, walaupun sebenarnya tidak ada bunyi sibilan
sebagai morfem penjamak untuk kata children. Demikian juga morf {men-] dapat saja dipakai
untuk segala macam “pranasalisasi” dalam pembentukan verba bahasa Indonesia, meskipun agak
berbeda realisasi alofonemisnya.Contoh : {mən-}, {mə-/-} dan {mən-}.
Sebagaimana yang sudah diuraikan sebelumnya bahwa morfem adalah bentuk yang
sama, yang muncul berulang-ulang dan mempunyai makna yang sama. Perhatikan contoh berikut
ini:
Contoh 4
merajut mencari
membaca menyapu
mengukur mengebor
Pada bentuk-bentuk di atas dapat dilihat bentuk yang mirip yang juga sama maknanya.
Bentuk itu adalah me- pada merajut, mem- pada membaca, men- pada mencari, meny- pada
menyapu, meng- pada mengukur, dan menge- pada mengebor. Pertanyaannya apakah me-, mem-,
men-, meny-, meng-, dan menge- adalah morfem atau bukan, karena meskipun maknanya sama
tetapi bentuknya tidak persis sama. Jawabannya adalah keenam bentuk itu adalah sebuah morfem.
Bentuk-bentuk ini tidak persis sama, tetapiperbedaannya dapat dijelaskan.
Seperti halnya juga dengan fonem tertentu yang direalisasikan dalam bentuk alofon-
alofon yang berbeda berdasarkan lingkungannya, demikian halnya juga dengan morfem. Morfem
tertentu direalisasikan dalam bentuk alomorf-alomorf tertentu sesuai dengan
kaidah-kaidah/ditentukan oleh lingkungannya. Contoh di atas menunjukkan “alternasi
alomorfemis” (baca Verhaar, 1999: 103-106).
4.3.1.Kaidah Morfofonemis
21
mengapa vokal tersebut harus mutlak /i/, dan bukan /a/, atau vokal lain?. Kesimpulannya, tidak
semua perubahan morfofonemis berdasarkan fonologis.
Sama saja dengan alomorf-alomorf imbuhan men- dalam bahasa Indonesia. Bahwasanya
men- menjadi mem- sebelum /m/ atau /b/, hal itu boleh saja dipandang sebagai hal fonemis, karena
kehomorganan. Untuk perubahan men- menjadi meny- boleh saja disebut "asimilasi", tetapi
penyebabnya tidak secara asimilatif. Mengapa?.Karena, bentuk dasar mulai dengan /s/, misalnya
sapu → menyapu. Dalam hal ini secara artikulasi /n/ dan /s/ sudah homorgan. Perhatikan bentuk
mencetak dalam bahasa Indonesia, tetapi dalam bahasa atau dialek Jawa nyetak.
22
yang hanya dapat muncul pada pasangan tetap, seperti renta (yang hanya muncul pada tua renta),
kerontang (kering kerontang), dan kuyup (basah kuyup).
Berdasarkan kriteria tertentu, morfem dapat diklasifikasikan menjadi beberapa jenis,
yaitu (1) ditinjau dari segi hubungannya dan (2) ditinjau dari distribusinya (Samsuri, 1982:186;
Prawirasumantri, 1985:139). Ditinjau dari hubungannya, masih dapat dilihat lagi dari hubungan
struktural dan hubungan posisi.
Bentuk-bentuk yang bersifat maskulin adalah bentuk feminin yang dikurangi konsonan
akhir.
Dilihat dari hubungan posisinya, morfem dapat dibagi menjadi tiga macam, yakni
morfem yang bersifat urutan, sisipan, dan simultan. Contoh morfem yang bersifat urutan terdapat
pada kata berpakaian yang terdiri dari{ber-}+{-an}. Ketiga morfem itu bersifat berurutan yakni
yang satu terdapat sesudah yang lainnya.Contoh morfem yang bersifat sisipan seperti pada kata
23
telunjuk. Bentuk tunjuk merupakan bentuk kata bahasa Indonesia selaintelunjuk sebagai kata yang
memiliki arti yang lain. Kalau diuraikan maka akan menjadi /t+{-el-}+unjuk/.
Selanjutnya,morfem simultan atau disebut juga morfem tidak langsung terdapat pada
kata-kata seperti /k∂hujanan/, /k∂siaηgan/ dan sebagainya. Bentuk /k ∂hujanan/ terdiri dari /k∂…
an/ dan /hujan/, sedang /kesiangan/ terdiri dari /ke…an/ dan /siaη/. Bentuk /k ∂-an/ dalam bahasa
Indonesia merupakan morfem simultan, terbukti karena bahasa Indonesia tidak mengenal
bentuk /k∂hujan/ atau /hujanan/ maupun /k∂siaη/ atau /sianaη/. Morfem simultan sering juga
disebut morfem kontinu (discontinous morpheme ).
24
4.6.Morfem Segmental dan Nonsegmental
Morfem dapat dibedakan berdasarkan jenis fonem yang membentuknya, yaitu morfem
segmental dan morfem suprasegmental. Morfem segmental adalah morfem yangdibentuk oleh
fonem-fonem segmental, seperti morfem {lama}dan {ter}. Semua morfem yang berwujud bunyi
disebutmorfem segmental. Sedangkan, morfem yang dibentuk oleh unsur-unsur suprasegmental
disebut morfem suprasegmental.Dalam bahasa Babah kata botar yang berarti ‘putih’, tekanannya
terletak pada suku pertama. Di samping itu, ada juga bentuk botar yang artinya artinya ‘darah’,
yang tekanannyaterletak pada suku kedua.Di sini unsur segmental kedua bentuk itu sama yaitu b,
o, t, a, r, sedangkan unsur suprasegmentalnya adalah tekanan.
4.9.Pengertian Kata
Para ahli bahasa tradisional pada umumnya memberi pengertian kata berdasarkan arti dan
ortografi. Menurut mereka, kata adalah satuan bahasa yang memiliki satu pengertian. Kata adalah
deretan huruf yang diapit oleh dua buah spasi dan mempunyai satu arti (makna).Para ahli bahasa
struktural, terutama penganut aliran Bloomfield, berpendapat bahwa kata adalah satuan bebas
terkecil (minimal free form). Aliran Generatif Transformasi yang dicetuskan dan dikembangkan
oleh Chomsky, menyatakan bahwa kata adalah dasar analisis kalimat yang diperlihatkan dengan
simbol-simbol V (verba), N (nomina), A (ajektiva), dan sebagainya.
Batasan tentang kata yang umum dijumpai adalah suatu bentuk yang mempunyai susunan
fonologis yang stabil. Artinya bahwa setiap kata mempunyai susunan fonem yang urutannya tetap
25
dan tidak dapat berubah, serta tidak dapat diselipi oleh fonem lain. Contoh kata sakit, urutan
fonemnya adalah /s/, /a/, /k/, /i/, dan /t/, Urutan itu tidak dapat diubah misalnya menjadi /t/ /a/, /k/,
/i/, dan /s/ atau diselipi fonem lain, menjadi /t/, /a/, /k/, /u/, dan /s/. Di samping itu, setiap kata
mempunyai kebebasan berpindah tempat di dalam kalimat atau tempatnya dapat diisi atau
digantikan oleh kata lain atau juga dapat dipisahkan dari kata lainnya.
Kata adalah satuan gramatikal yang menurut Verhaar (1999) bentuk-bentuk kata seperti
dalam bahasa Indonesia, mengajar, diajar, kauajar, terajar, dan ajarlah bukanlah lima buah kata
yang berbeda, sedangkan mengajar, pengajar, pengajaran, pelajaran, dan ajaran adalah lima buah
kata yang berlainan. Kalau deretan kata-kata yang terakhir disebut lima buah kata yang berlainan
tentu tidak menjadi masalah, meskipun kita tidak tahu sebabnya. Tetapi, kalau deretan kata yang
pertamadikatakan lima buah varian dari sebuah kata yang sama, tentu menjadi persoalan dan kita
juga perlu mengetahui alasannya.
Istilah kata sering kita dengar dan sering kita gunakan. Namun demikian, para linguis
yang sehari-hari bergelut dengan bahasa,sampai saat ini belummemiliki kesamaan pendapat
tentang konsep kata.
4.9.1.Klasifikasi Kata
Klasifikasi kata disebut juga penggolongan kata. Dalam sejarah linguistik klasifikasi kata
menjadi salah satu topik pembicaraan sejak zaman Aristoteles sampai saat ini, termasuk juga
dalam kajian linguistik Indonesia. Hal ini terjadi karena setiap bahasa mempunyai cirinya
masing-masing dan disamping itu karena kriteria yang digunakan untuk membuat klasifikasi kata
bermacam-macam.Para ahli bahasa tradisional menggunakan kriteria makna dan kriteria fungsi.
Kriteria makna digunakan untuk mengidentifikasikan kelas verba, nomina, dan adjektiva,
sedangkan kriteria fungsi digunakan untuk mengidentifikasikan preposisi, konjungsi, adverbia,
dan pronomina.
Para ahli bahasa strukturalis membuat klasifikasi kata berdasarkan distribusi kata dalam
suatu struktur atau konstruksi. Misalnya, yang disebut nomina adalah kata yang dapat
berdistribusi di belakang kata bukan atau dapat mengisikonstruksi bukan. Dengan demikian, kata-
kata seperti buku, pensil, dan nenek termasuk nomina, sebab dapat berdistribusi di belakang kata
bukan. Sementara itu, kata-kata seperti makan, minum, dan lari termasuk ke dalam kelas verba,
karena dapat berdistribusi di belakang kata tidak. Demikian juga halnya untuk jenis kata yang lain
yang penentuannya menggunakan kriteria distribusi kata. Dewasa ini kriteria untuk kajian
bahasaIndonesia yang digunakan para ahli bahasa strukturalis banyak diikuti orang, karena
dianggap lebih baik dan lebih konsisten dari pada kriteria yang digunakan oleh para ahli bahasa
tradisional. Namun, untuk menentukan kelas kata terdapat juga kelompok linguis yang
menggunakan kriteria fungsi sintaksis sebagai patokan.
Secara umum, fungsi subyek diisi oleh kelas nomina, fungsi predikat diisi oleh verba atau
adjektiva, fungsi obyek diisi oleh kelas nomina, dan fungsi keterangan diisi oleh adverbia. Oleh
karena itu, semua kata yang menduduki fungsi subyek atau obyek dimasukkan ke dalam
golongan nomina; yang menduduki fungsi predikat dimasukkan ke dalam golongan verba atau
adjektiva; yang menduduki fungsi keterangan dimasukkan ke dalam golongan adverbia. Kriteria
ini pun menimbulkan masalah, sebab dalam berbagai hal subyek dapat diisi oleh selain nomina,
seperti dalam kalimat berenang itu menyehatkan badan.
26
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa identifikasi kata bukan sesuatu yang
mudah. Kriteria apapun yang digunakan selalu menimbulkan masalah. Klasifikasi katasangat
diperlukan, baik secara teoretis dalam studi semantik maupun secara praktis dalam berlatih
keterampilan berbahasa. Dengan mengenal kelas kata, yang dapat kita identifikasikan dari ciri-
cirinya, maka penggunaan atau pendistribusian kata di dalam ujaran dapat diprediksi. Sebab
hanya kata-kata yang memiliki ciri-ciri yang sama yang dapat menduduki suatu fungsi di dalam
kalimat. Contoh, kata-kata seperti mobil, motor, panggung, payung, baju, bayi, sepatu, sepeda.
Pembentukan kata sering juga disebut proses morfologi, yaitu proses terjadinya kata yang
berasal dari morfem dasar melalui perubahan morfemis. Ada beberapa jenis proses morfolgis,
yaitu:
4.9.2.1. Gramatikalisasi
Gramatikalisasi adalah proses perubahan tataran dari morfem ke kata, yang dalam tataran
sintaksis dikenal sebagai perubahan tataran pertama. Tidak semua morfem dengan sendirinya
dapat langsung berubah menjadi kata, seperti morfem {ber-},{ter-}, dan sejenisnya yang
tergolong morfem terikat. Demikian juga halnya dengan morfem {juang}, karena sebenarnya
morfem ini termasuk morfem terikat juga. Lain halnya dengan morfem {rumah} yang berstatus
morfem bebas yang dapat langsung menjadi kata. Tampaknya hanya morfem bebas saja yang
dapat melalui proses gramatikalisasi menjadi kata.
4.9.2.2. Afiksasi
Afiksasi adalah proses penambahan afiks pada sebuah dasar atau bentuk dasar. Dalam
proses ini melibatkant unsur-unsur dasar atau bentuk dasar, afiks, dan makna gramatikal. Proses
ini dapat bersifat inflektif dan derivatif. Bersifat inflektif apabila afiksasi ini tidak mengubah
kelas kata. Sebaliknya bersifat derivatif apabila hasil afiksasi mengubah kelas kata.Afiks adalah
sebuah bentuk, biasanya berupa morfem terikat, yang ditambahkan pada sebuah dasar dalam
proses pembentukan kata.Dalam bahasa Indonesia dikenal beberapa jenis afiks, yaitu:
A. Prefiks
Prefiks adalah afiks yang diletakkan di depan bentuk dasar,seperti mem-, di-, ber-, ke-,
ter-, se-, pem-, dan pe-/per- dalam bahasaIndonesia.
B. Infiks
Infiks adalah afiks yang ditambahkan ke dalam bentuk dasar, seperti afiks-el--em-, dan –
er- dalam bahasa Indonesia.
C. Sufiks
Sufiks adalah afiks yang ditambahkan di belakang bentuk dasar, seperti afiks -kan,-nya, -
wati, -wan, -man, -isme, dan -isasi.
D. Kombinasi Afiks
27
Kombinasi afiks adalah proses pembentukan kata yang berupa penambahan afiks secara
kombinasi dari dua afiks atau lebih yang dihubungkan dengan sebuah bentuk dasar. Dalam
bahasa Indonesia dikenal beberapa kombinasi afiks, yaitu me-kan, me-i, memper-kan, memper-i,
ber- kan, mem-kan, mem-i, ter-kan, pe-an, dan se-nya.
E. Konfiks
Konfiks terdiri dari dua unsur, yaitu satu unsur di depan bentuk dasar dan satu unsur di
belakang bentuk dasar, yang berfungsi sebagai satu morfem terbagi. Dalam hal ini perlu kita
bedakan antara konsep konfiks dan kombinasi afiks. Konfiks adalah satu afiks dengan satu
makna gramatikal, sedangkan kombinasi afiks bukanlah satu afiks, dan berkemungkinan
mengungkapkan beberapa makna gramatikal.Dalam bahasa Indonesia terdapat empat konfiks,
yaitu ke-... -an, pen-...-an, per-...-an, dan ber-...-an. Konfiks-konfiks ini melekat pada kata
datang→kedatangan, kirim→pengiriman, sahabat→persahabatan, dan halang→ berhalangan.
4.9.2.3. Reduplikasi
Proses morfologis yang mengulang bentuk dasar, baik secara keseluruhan, sebagian,
maupun yang disertai dengan perubahan bunyi disebut reduplikasi. Reduplikasi dapat dibedakan
menjadi reduplikasi penuh, seperti buku-buku (dari dasar buku), reduplikasi sebagian, seperti
lelaki (dari dasar laki), dan reduplikasi dengan perubahan bunyi, seperti bolak-balik (dari dasar
balik).Dalam bahasa Indonesia ada beberapa istilah yang berasal dari bahasa Jawa dan bahasa
Sunda yang merupakan reduplikasi. Istilah-istilah adalah (1)dwilingga, yakni pengulangan
morfem dasar, seperti buku-buku; (2) dwilingga salin suara, yakni pengulangan morfem dasar
dengan perubahan vokal dan fonem lainnya, seperti bolak-balik, dan mondar-mandir; (3)
dwipurwa, yakni pengulangan suku kata pertama, seperti lelaki, peparu, dan pepatah; dwiwasana,
yakni pengulangan pada akhir kata, seperti cengengesan ‘selalu tertawa' yang terbentuk dari
cenges `tertawa'; dan (4) trilingga, yakni pengulangan morfem dasar sampai dua kali, seperti dag-
dig-dug, cas, cis, cus, dan ngak ngik nguk.
Proses reduplikasi banyak terdapat dalam berbagai bahasa di seluruh dunia. Khusus
mengenai reduplikasi dalam bahasa Indonesia ada beberapa catatan yang perlu dikemukakan.
Pertama, bentuk dasar reduplikasi dalam bahasa Indonesia dapat berupa morfem dasar, seperti
meja yang menjadi meja-meja, bentuk pembangunan yang menjadi pembangunan-pembangunan,
dan bisa juga berupa bentuk gabungan kata, seperti surat kabar yang menjadi surat-surat kabar
atau surat kabar-surat kabar.
Kedua, bentuk reduplikasi yang disertai afiks prosesnya mungkin merupakan proses
reduplikasi dan proses afiksasi yang terjadi bersamaan, seperti pada bentuk berton-ton dan
bermeter-meter atau proses reduplikasi terjadi lebih dahulu, kemudian disusul oleh proses
afiksasi, seperti pada berlari-lari dan mengingat-ingat (dasarnya lari-lari dan ingat-ingat) atau
juga proses afiksasi terjadi lebih dahulu, kemudian diikuti oleh proses reduplikasi, seperti pada
kesatuan-kesatuan dan memukul-mukul (dasarnya kesatuan dan memukul).
Ketiga, pada dasar yang berupa gabungan kata, proses reduplikasi mungkin harus berupa
reduplikasi penuh, tetapi mungkin juga hanya berupa reduplikasi parsial. Misalnya, ayam itik-
ayam itik dan sawah ladang-sawah ladang (dasarnya ayam itik dan sawah ladang) adalah contoh
reduplikasi penuh, dan surat-surat kabardanrumah-rumah sakit (dasarnya surat kabar dan rumah
sakit) adalah contoh untuk reduplikasi parsial.
28
Keempat, reduplikasi dalam bahasa Indonesia tidak hanya bersifat paradigmatis dan
hanya memberi makna jamak atau variasi, tetapi juga bersifat derivasional. Perhatikan bentuk-
bentuk, seperti mereka-mereka, kita-kita, kamu-kamu, dan dia-dia tidak dapat dianggap
menyalahi kaidah bahasa Indonesia.
Kelima, ada jugareduplikasi semantis, yakni dua buah kata yang maknanya bersinonim
membentuk satu kesatuan gramatikal., seperti ilmu pengetahuan, hancur luluh, dan alim ulama.
Keenam, bentuk-bentuk, seperti kering kerontang, tua renta, dan segar bugar di satu
pihak dan di pihak lain ada bentuk-bentuk seperti mondar-mandir, tunggang-langgang, dan
komat-kamit, yang wujud bentuknya perlu dikaji lagi.
Kelompok pertama, yang salah satu komponennya berupa morfem bebas dan komponen
yang lain berupa morfem unik, apakah merupakan bentuk reduplikasi berubah bunyi, ataukah
berupa bentuk komposisi?. Kelompok kedua, yang kedua unsurnya berupa morfem terikat,
apakah merupakan bentuk reduplikasi atau bukan?. Sebab tiap-tiap unsurnya tidak dapat
ditentukan sebagai bentuk dasarnya. Manakah yang diulang?. Begitu juga dengan bentuk rama-
rama, sema-sema, ani-ani, dan tupai-tupai; serta bentuk-bentuk, seperti pipi, kuku, sisi, dan titi,
perlu dan dapat dipersoalkan apakah hasil proses reduplikasi ataukah bukan.
4.9.2.4. Komposisi
Komposisi adalah hasil dan proses penggabungan morfem dasar dengan morfem dasar,
baik yang bebas maupun yang terikat, sehingga terbentuk sebuah konstruksi yang memiliki
identitas leksikal yang berbeda atau yang baru. Komposisi terdapat dalam banyak bahasa.
Misalnya, lalu lintas, daya juang, dan rumah sakit dalam bahasa Indonesia; akhirulkalam,
malaikatulmaut, dan hajarulaswad dalam bahasa Arab; dan blackboard, bluebird, dan
greenhouse dalam bahasa Inggris. komposisi ini dalam bahasa Indonesia sangat produktif. Dalam
perkembangannya bahasa Indonesia masih memerlukanbanyak kata untuk menampung konsep-
konsep yang belum ada kosakatanya. Misalnya, untuk konsep sapi kecil atau ‘sapi yang belum
dewasa' yang lazimnya disebut anak sapi, yakni hasil penggabungan kata anak dan sapi. Padahal,
dalam bahasa lain ada pedet (bahasa Jawa) dan ada calf ( bahasa Inggris). Begitu juga, semua
yang kecil bila dibandingkan dengan yang lain atau yang umum akan disebut anak seperti anak
sungai, anak kunci, dan anak tangga.
Untuk menyatakan sesuatu yang menyerupai yang lain, maka digabungkanlah kata yang
menyatakan sesuatu itu dengan kata yang dijadikan perbandingannya. Misalnya, merah darah
yang berarti ‘merah sepertiwarna darah’; truk raksasa yang berarti `truk besar yang melebihi
ukuran biasa', karena raksasa itu lebih besar dari manusia, dan jalan tikus, yang berarti `jalan
kecil yang sukar dilewati mobil’. Untuk menyatakan sesuatu yang dibuat dari sesuatu yang lain,
maka digabungkanlah kata yang menyatakan barangnya dengan kata yang menyatakan bahannya,
seperti lemari besi yang berarti ‘lemari yang terbuat dari besi’, sate kambing yang berarti 'sate
yang terbuat dari daging kambing’, dan sikat kawat yang berarti `sikat yang terbuat dari
kawat’.Untuk menyatakan sesuatu yang berguna atau diperuntukkan bagi hal yang lain, maka
digabungkan kata yang menyatakan sesuatu barang dengan kata yang menyatakan peruntukkan
barang itu. Misalnya, lemari obat, berarti ‘lemari tempat menyimpan obat’, uang belanja berarti
`uang untuk keperluan belanja, dan mobil dinas berarti 'mobil untuk keperluan dinas'.
29
Komposisi itu memiliki jenis dan makna yang berbeda-beda. Dalam bahasa Indonesia,
produktifnya proses komposisi menimbulkan berbagai masalah dan berbagai pendapat. Masalah-
masalah itu, antara lain, masalah kata majemuk, aneksi, dan frase.Konsep kata majemuk di dalam
bahasa Indonesia sejak dulu sampai sekarang belum pernah terselesaikan. Artinya sampai kini
pendapat tentang konsepnya masih simpang siur, sehingga mengundang banyak perdebatan.
Para ahli tata bahasa tradisional, seperti Sutan Takdir Alisjahbana (1951)berpendapat
bahwa kata majemuk adalah sebuah kata yang memiliki makna baru yang bukan merupakan
gabungan makna unsur-unsurnva. Misalnya, bentuk kumis kucingyang berarti `sejenis tumbuhan'
dan mata sapi‘telur yang digoreng tanpa dihancurkan' adalah kata majemuk. Tetapi,kumis
kucingyang berarti‘kumis dari binatang kucing' dan mata sapiyang berarti `mata dari binatang
sapi' bukan kata majemuk. Lain halnya dengan matahari dan mata hati yang merupakan kata
majemuk karena tidak memiliki arti sebenarnya. Sebaliknya mata kiri dan mata adik bukan kata
maiemuk karena memiliki makna sebenarnya.
Kelompok linguisyang berpihak pada tata bahasa struktural menyatakan suatu komposisi
disebut kata majemuk, apabila di antara unsur-unsur pembentuknya tidak dapat lagi
disisipkanunsur lainyang dapat merusakkomposisi itu. Suatu komposisi bisa juga disebut kata
majemuk kalau unsur-unsurnya tidak dapat ditukar tempatnya. Misalnya, bentuk adik mandi
bukan kata majemuk, karena antara unsur adik dan unsur mandi masih dapat disisipkan kata lain,
misalnya menjadi adik (sedang) mandi.Demikian juga unsur manditidak dapat dipertukarkan
posisinya menjadi mandi adik. Sebaliknya, kamar mandi adalah kata majemuk, sebab antara
unsur kamar dan unsur mandi tidak dapat disisipkan apa-apa, sepertikamar (sedang mandi adalah
bentuk yang tidak dapat diterima; begitu juga bentuk kamar mandi tidak dapat dibalik menjadi
mandi kamar.
Lalu, bagaimana dengan bentuk seperti daya juang?. Bentuk tersebut juga termasuk kata
majemuk, sebab tidak bisa berubah menjadi dayaku juang; atau juga juang daya. Ada juga ahli
yang menyatakan bahwa sebuah komposisi adalah kata majemuk kalau identitas leksikal
komposisi itu sudah berubah dari identitas leksikal unsur-unsurnya. Misalnya, bentuk lalu lintas
mempunyai unsur yang berkategori verba dan unsur lintas yang juga berkategori verba. Namun,
komposisi lalu lintas itu tidak berkategori verba, melainkan berkategori nomina, seperti dalam
kalimat lalu lintas di Jakarta sekarang sangat padat.
Verhaar (1999) menyatakan suatu komposisi disebut kata majemuk kalau hubungan
kedua unsurnya tidak bersifat sintaksis. Komposisi matahari, bumiputera, dan daya juang adalah
kata majemuk, sebab tidak dapat dikatakan matahari adalah matanya hari (bandingkan dengan
mata adik yang bisa dikatakan matanya adik), bumiputera tidak dapat dianalisis menjadi bumi
milik putera (bandingkan dengan bumi kita yang dapat dianalisis menjadi bumi milik kita) dan
dayajuang yang tidak bisa dianalisis menjadi daya untuk berjuang. Komposisimatahari,
bumiputera, dan daya juangdikategorikan kata majemuk,karena tidak dapat disisipikan sesuatu di
antara kedua unsurnya, menjadi matanya hari, bumi punya putera, dan dayaku juang.
Menurut Kridalaksana (1985) kata majemuk haruslah tetap berstatus kata. Kata majemuk
harus dibedakan dari idiom, sebab kata majemuk adalah konsep sintaksis, sedangkan idiom
adalah konsep semantis. Maka, bentuk-bentuk seperti orang tuayang berarti `ayah ibu, meja hijau
'pengadilan', dan mata sapi `telur goreng tanpa dihancurkan' bukan kata majemuk. Yang termasuk
kata majemuk seperti antipati, akhirulkalam, geografi, mahakuasa, multinasional, dan pasfoto,
karena kata-kata ini memenuhi persyaratan sebagai bentuk yang berstatus kata.
30
4.10.Fleksi dan Derivasi
4.10.1 Paradigma Fleksi dan Derivasi
31
4.10.2. Jenis-Jenis Fleksi
Proses morfemis yang diterapkan pada kata sebagai unsur leksikal yang sama dalam
morfologi infleksionaldisebut fleksi, sedangkan proses morfemis yang mengubah kata sebagai
unsur leksikal tertentu menjadi unsur leksikal yang lain dalam morfologi derivasional disebut
derivasi (Verhaar, 1999: 143-151).
Pada umumnya dalam bahasa-bahasa di dunia, seluruh morfologi infleksional melibatkan
"konjugasi" dan "deklinasi". Konjugasi adalah altemasi infleksional pada verba, dan deklinasi
adalah altemasi infleksional pada nomina dan pada kelas-kelas kata yang dapat disebut
"nominal", seperti pronomina dan ajektiva. Pronomina dekat pada nomina karena mengganti
nomina ("pro-", artinya ‘sebagai pengganti’)di dalam konteks dan ajektiva dekat juga pada
nomina karena menyesuaikan diripada nomina yang dimodifikasi dengan bermacam-macam
cara.Pertanyaannya, bagaimana adverbia yang dimarkahi sebagai adverbia, seperti ajektiva
Inggris light →lightly?. Jawabannya, -ly yang adverbial itu adalah derivasional, bukan
infleksional, karena mengubah kelas kata, yaitu dari ajektiva menjadi adverbia. Lalu, bagaimana
dengan derajat perbandinganajektiva, yaitu pembentukan bentuk komparatif dan superlatif,
seperti easy →easier →easiest?. Proses semacam ini disebut proses derivasional, bukan
infleksional.
Fleksi dapat berupa segmental dan nonsegmental. Fleksi segmental adalah fleksi berupa
afiksasional atau reduplikatif. Sedangkan, flesi nonsegmental adalah fleksi yang berupa
modifikasi vokal, dan dapat juga berupa suprasegmental. Fleksi afiksasional adalah fleksi yang
melibatkan afiks berupa prefiks, sufiks, infiks, atau konfiks (reduplikasi sebagai proses
paradigmatis).
Fleksi nonsegmental terdiri atas modifikasi vokal, atas dasar fonologis, seperti dalam
umlaut atau ablaut), dan atas dasar morfologis, seperti dalam paradigma verbal dengan akar tri-
konsonantal dalam bahasa Arab. Harmoni vokal bukan modifikasi vokal, melainkan
morfofonernis. Fleksi nonsegmental dapat juga berupa suprasegmental, seperti dalam perubahan
aksen atau nada.
Bahasa-bahasa di dunia memiliki perbedaan dalam hal fleksi. Bahkan ada yang tidakatau
hampir tidak memiliki fleksi, seperti bahasa Cina dan bahasa Vietnam). Bahasa yang berfleksi
dapat dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu (1) bahasa pemarkah induk, (2) bahasa pemarkah
bawahan, dan (3) bahasa pemarkah rangkap. Apa yang dimaksud dengan"induk" dan apa itu
"bawahan" (lihat Verhaar, 1999, Bab 22). Perhatikan klausa Seniman ini menggambar puteri.
Verba menggambar adalah (konstituen) "induk", sedangkan seniman danputeri merupakan
(konstituen) "bawahan". Demikian juga dalam frasa seniman ini, induknya adalah seniman dan
bawahannya adalah ini.
Dalam bahasa yang mengenal pemarkah induk, hanya induk itu saja yang dimarkahi
secara morfemis, dan bawahannya tidak. Dalam bahasa yang mengenal pemarkah bawahan,
hanya bawahan saja yang dimarkahi dan induk-nya tidak dimarkahi.Sedangkan dalam bahasa
yang mengenal pemarkah rangkap, baik induk maupun bawahan kedua-duanya
dimarkahi.Misalnya, konjugasi itu adalah verbal dan dengan demikian fleksinya merupakan
32
pemarkahan induk. Sebaliknya, deklinasi menurut kasus adalah pemarkahan Subjek sebagai
Subjek atau Objek sebagai Objek. Jadi pemarkahan kasus adalah pemarkahan bawahan.
Bahasa Latin adalah bahasa yang mengenal pemarkah rangkap Pemarkahan yang paling
mencolok adalah pemarkahan bawahan.Bahasa Indonesia adalah bahasa yang mengenal
pemarkah induk. Tak ada kasus nominal, tetapi verba sering dimarkahi untuk hubungannya yang
sintaktis itu. Frasa seperti anak Pak Tarjo tak adapemarkahan samasekali, tetapi dalam frasa
Jawa anake Pak Tardjo induknya (anak) yang dimarkahi, dan bukan bawahannya yang
dimarkahi. Sehubungan dengan tipologi pemarkah induk dan pemarkah bawahan ituakan lebih
mudah dimengertiapabila kita mempelajari bahasa yangmemiliki kaidah konjugasi dan deklinasi.
4.1.11.1.Afiksasi Konyugasi
Penggunaan istilah "konjugasi" disini adalah berdasarkan paradigma morfologis atau
perifrastisverba, sedangkan istilah "deklinasi" berdasarkan paradigma "nominal", yaitu untuk
nomina dan ajektiva. Dalam bahasa-bahasa yang menggunakan pengafiks untuk verba ada
bermacam-macam kelas afiks. Banyak bahasa membedakan bentuk "finit" dan bentuk "nonfinit".
Bentuk finit mencakup afiks untuk kala, aspek, modus, diatesis, persona, jumlah", dan
"jenis".Bentuk nonfinit meliputi infinitif, partisipia, dan beberapa bentuk lainnya. Bentuk-bentuk
ini bila diafiksasi,mengikuti kaidah-kaidah deklinasi, bukan konjugasi.Berikut iniadalah contoh-
contoh pengafiksan berkonjugasi pada bentuk-bentuk finit, atas dasar kala, aspek, modus,
diatesis, dan persona, jumlah, dan jenis.
33
ke aspek "pungtual", kata “berlangsungnya” menunjuk ke aspek "duratif' atau "progresif', kata
“selesai tidaknya” menunjuk ke aspek "imperfektif' (jika belum selesai) dan "perfektif jika sudah
selesai, kata“ada tidaknya hasil” menunjuk ke aspek "resultatif' (jika ada hasil) atau
"nonresultatif' (jika tidak ada hasil), dan kata “adanya kebiasaan” menunjuk ke aspek "habituatif'.
Dalam banyak bahasa, aspek-aspek verbal itu dimarkahi secara perifrastis, tidak secara
morfologis. Misalnya aspek progresif dalam bahasa Indonesia diartikan oleh sedang(dia sedang
menulis) dan dalam bahasa Inggris dengan verba bantu be + ingdari verba (he is writing
letters),aspek perfektif diartikan (dalam bahasa Indonesia) oleh telah atau sudah (kami telah
mendaftarkan diri) dan oleh pemarkah pinis(dalam bahasa Tok Pisin), aspek habituatif dalam
bahasa Tok Pisin adalah anti verba bantu save, dan dalam bahasa Ponape oleh partikel kin (Lihat
Verhaar, 1999:128). Prefiks [ber-] untuk aspek statif dalam bahasa Indonesia, yang status
infleksionalnya sering menjadi pertanyaan, dan [ber-] yang dapat juga dipandang sebagai prefiks
derivasional.
34
subjek), tetapi verba tetap sesuai dengan persona dan jumlah. Ada juga dalam bahasa tertentu
jenis tidak dibedakan dalam pronomina personal, kecuali ketiga jamak (Lihat Verhaar, 1999:132).
Buku ini hanya mengkaji paradigma infleksional saja. Pemarkahan verba untuk persona,
jumlah dan jenis disebut "persesuaian" (Lihat Verhaar Bab 14, pasal 9- 11). Persesuaian ini tidak
ditemukan dalam bahasa-bahasa tertentu, sepert bahasa Jepang,yang tidak memiliki persesuaian
verbal dengan frasa nominal apa pun (kecuali dilihat secara sosial), seperti yang dapat dilihat
dalam contoh dalam bab di atas.
Bahasa Indonesia tidak memarkahi verba yang berawalan men- untuk persona dan
jumlah dari subjek, tetapi memarkahinya untuk objek anaforis, misalnya mengundangku,
memandangnya, dsbnya), dan verba transitif tanpa men- yang dimarkahi untuk pelaku, misalnya
dibandingnya, kubuat, dsbnya).
Dalam banyak bahasa konsep “jumlah” meliputi tunggal dan jamak, dan di antaranya ada
banyak pembentukan jamak dengan pengafiksan. Ada juga bahasa yang mempunyai jumlah
"dual" (untuk jumlah dua), "trial" (untuk jumlah tiga), atau "paukal" (untuk jumlah tak terinci
yang rendah). Dual dan trial khususnya terdapat dalam sistem pronominal. Untuk contoh tentang
pengafiks jumlah dalam kelas nomina dapatdilihat dalam pasal 10 (Verhaar, 1999). Dalam bahasa
tertentu jumlah (tunggal, dual, trial, jamak) dan pronominal personal merupakan sufiks untuk
jumlah nontunggal). Tetapi ada juga jumlah (tunggal dan jamak) dan pronomina demonstratif
(Verhaar, 1999:139).
35
"Jenis" berfungsi dalam banyak bahasa, sebagai maskulin dan feminin, dan dalam bahasa
tertentu juga sebagai neutrul. Pembedaan jenis untuk nomina bersifat derivasional, bukan
paradigmatis, dan tidak berupa deklinasi, karena membedakan unsur-unsur leksikal yang berbeda
(Lihat Verhaar Bab 11). Pengafiksan menurut jenis, pada bahasa Latin, terdapat pada ajektiva,
yaitu menurut jumlah dan kasus juga). Sedangkan dalam bahasa Jerman terdapat pada kata
sandang definit dan indefinit, serta ajektiva bersamadengan kata sandang itu. Deklinasi pengafiks
jenis dalam bahasa Jerman dapat dilihat pada ajektiva menurut jenis kasusnya nominatif, akusatif,
datif, dan genitifdan jumlahnya.
Dalam bahasa Jerman ada tiga macam konstruksi, yaitu [i] ajektiva + nomina, tanpa kata
sandang atau pronomina di depannya (disebut "deklinasi kuat" untuk ajektiva); [ii] kata sandang
definit + ajektiva + nomina (disebut "deklinasi lemah" untuk ajektiva); dan [iii] kata sandang
indefinit + ajektiva + nomina(campuran deklinasi kuat dan lemah, dan hanya tunggal saja) (Lihat
Verhaar, 1999:140-142).
C. Rangkuman
Untuk menentukan apakah sebuah satuan gramatikal itu morfem atau bukan, perlu
membandingkan bentuk satuan gramatikal tersebut dengan bentuk-bentuk lain. Jika bentuk
tersebut muncul secara berulang-ulang (walaupun dalam bentuk lain), maka bentuk tersebut
adalah sebuah morfem.
Sama halnya dengan bunyi fonetis yang dilambangkan dengan mengapitnya diantara
kurung persegi [ ] dan fonem-fonem yang dilambangkan dengan cara mengapitnya diantara garis
miring / /, demikian juga dengan morfem-morfem biasanya dilambangkan dengan cara
mengapitnya di antara kurung kurawal { }. Lambang morfem digunakan dalam analisis struktur-
struktur morfemis.
Hal yang sering menjadi masalah terkait dengan pelambangan morfem ini adalah tidak
semua morfem berupa segmental. Tetapi, kita dapat memperlakukan kata dalam bentuk
jamak.Pelambangan {jamak} sudah menunjukkan bahwa morfem itu merupakan suatu satuan
yang abstrak, yaitu dapat berupa segmental (utuh atau terbagi) atau dapat berupa “zero” (nol), dan
dapat juga berupa nada tertentu. Berbeda dengan morfem-morfem, alomorf-alomorf jauh lebih
konkrit, meskipun berupa segmental tidak mutlak perlu. Namun demikian, untuk pemerian yang
mudah dibutuhkan suatu bentuk yang cukup konkrit. Bentuk konkrit itu disebut “morf”.
Seperti halnya juga dengan fonem tertentu yang direalisasikan dalam bentuk alofon-
alofon yang berbeda berdasarkan lingkungannya, demikian halnya juga dengan morfem. Morfem
tertentu direalisasikan dalam bentuk alomorf-alomorf tertentu sesuai dengan
kaidah-kaidah/ditentukan oleh lingkungannya.Alternasi ini dikenal dengan “alternasi
alomorfemis.Kaidah-kaidah yang berlaku untuk alternasi alomorfemis ada dua ienisnya, yaitu
kaidah morfofonemis yang berupa fonemis dan kaidah alomorfemis yang tidak berupa
fonemis.Istilah "morfofonemis" di sini sudah menunjukkan bahwa kaidah tersebut menyesuaikan
bentuk alomorf-alomorf yang bersangkutan secara fonemis.
Istilah morfem dasar biasanya digunakan sebagai bandingan dengan morfem terikat
seperti afiks. Sebuah morfem dasar dapat menjadi sebuah bentuk dasar atau dasar (base) dalam
suatu proses morfologi. Bentuk ini bisa diberi afiks tertentu dalam proses afiksasi, bisa diulang
dalam suatu proses reduplikasi, atau juga bisa digabung dengan morfem lain dalam suatu proses
36
komposisi. Konsep bentuk dasar biasanya digunakan untuk menyebut sebuah bentuk yang
menjadi dasar dalam suatu proses morfologi. Bentuk dasar ini dapat berupa morfem tunggal dan
juga dapat berupa gabungan morfem.
Dalam kajian morfologi biasanya digunakan istilah, seperti morfem dasar, bentuk dasar
(base), pangkai (stem), dan akar (root). Pengertian pangkal (stem) digunakan untuk menyebut
bentuk dasar dalam proses infleksi atau proses pembubuhan afiks inflektif. Dalam bahasa
Indonesia kata menangisi bentuk pangkalnya adalah tangisi dan morfem {me-} adalah sebuah
afiks inflektif. Sedangkan istilah akar (root) digunakan untuk menyebut bentuk yang tidak dapat
dianalisis lebih jauh lagi. Akar adalah bentuk yang tersisa setelah semua afiksnya ditanggalkan.
Dilihat dari status atau potensinya dalam proses gramatikal ada tiga macam morfem dasar
bahasa Indonesia, yaitu pertama,morfem dasar bebas, yakni morfem dasar yang berpotensi
menjadi kata, sehingga langsung dapat digunakan dalam ujaran. Contohnya, {meja). {kursi},
{pergi}, dan {kuning}. Namun, dalam hal ini berlaku derajat kebebasan yang tidak sama.
Morfem-morfem seperti, {pada} dan {kalau} mempunyai derajat kebebasan yang lebih rendah
daripada morfem {kuning}. Kedua morfem dasar yang kebebasannva dipersoalkan, seperti
sejumlah morfem berakar verba, yang dalam kalimat imperatif atau kalimat sisipan tidak perlu
diberi imbuhan, dan dalam kalimat deklaratif imbuhannya dapat ditanggalkan. Ketiga, morfem
dasar terikat, yakni morfem dasar yang tidak mempunyai potensi untuk menjadi kata tanpa
terlebih dahulu mendapat proses morfologi. Misalnya, morfem-morfem {juang}, {henti}, {gaul}.
Ke dalam kelompok ketiga ini dapat dimasukkan juga sejumlahmorfem yang hanya dapat muncul
pada pasangan tetap, seperti renta (yang hanya muncul pada tua renta), kerontang (kering
kerontang), dan kuyup (basah kuyup).
Berdasarkan kriteria tertentu, morfem dapat diklasifikasikan menjadi beberapa jenis,
yaitu (1) ditinjau dari segi hubungannya dan (2) ditinjau dari distribusinya (Samsuri, 1982:186;
Prawirasumantri, 1985:139). Ditinjau dari hubungannya, masih dapat dilihat lagi dari hubungan
struktural dan hubungan posisi.Selanjutnya pengklasifikasian morfem atas morfem utuh dan
morfem terbagi didasarkan pada bentuk formal yang dimiliki morfem tersebut, yaitu apakah
merupakan satu kesatuan yang utuh atau merupakan dua bagian yang terpisah atau terbagi,
karenadisisipi morfem lain. Contoh morfem utuh, seperti{kursi}, {kecil},{laut}. Demikian juga
dengan sebagian morfem terikat, seperti {ter-}, {henti}, dan {juang}. Sedangkan morfemterbagi
adalah sebuah morfem yang terdiri dari dua bagian yang terpisah, satu di depan dan satu di
belakang.
Sehubungan dengan morfem terbagi ini, untuk bahasa Indonesia, ada catatan yang perlu
diperhatikan, yaitu, semua afiks dalam bahasa Indonesia yang disebut konfiks seperti{ber-/-an},
{per- /-an}, dan {pe-/-an} termasuk morfem terbagi. Namun, bentuk {ber-/-an} bisa merupakan
konfiks, seperti pada bermunculanyang berarti `banyak yang tiba-tiba muncul; dan bersalaman
‘saling menyalami’, tetapi bisa juga bukan konfiks, seperti pada beraturan `mempunyai aturan’,
dan berpakaian ‘mengenakan pakaian’.
Untuk menentukan apakah bentuk {ber-/-an} konfiks atau bukan konfiks, harus
diperhatikan makna gramatikal yang disandangnya. Dalam bahasa Indonesia ada afiks yang
disebut infiks yang disisipkan di tengah morfem dasar. Misalnya, afiks {-er-} pada kata gerigi, {-
el-} pada kata pelatuk, dan {-em-} pada kata gemilang. Penambahan infiks akan mengubah
morfem utuh {kelip}, {gembung},{getar} menjadi morfem terbagi.
37
Morfem dapatpula dibedakan berdasarkan jenis fonem yang membentuknya, yaitu
morfem segmental dan morfem suprasegmental. Morfem segmental adalah morfem yangdibentuk
oleh fonem-fonem segmental, seperti morfem {lama}dan {ter}. Semua morfem yang berwujud
bunyi disebutmorfem segmental. Sedangkan, morfem yang dibentuk oleh unsur-unsur
suprasegmental disebut morfem suprasegmental.
Morfem beralomorf zero dikenal juga dengan istilah morfem Nol, yaitu morfem yang
salah satu alomorfnya tidak berwujud bunyi segmental atau berupa prosodi (unsur
suprasegmental), melainkan berupa "kekosongan".Dalam bahasa Inggris alomorf zero ditemukan
pada morfem penanda kala lampau.Selanjutnya yang dimaksud dengan morfem bermakna
leksikal adalah morfem-morfem yang secara inheren telah memiliki makna pada dirinya sendiri
atau tanpa perlu berproses dengan morfem lain. Misalnya, dalam bahasa Indonesia, morfem-
morfem seperti {kolam}, {patuh} dan {marah}. Morfem-morfem seperti inisudah dapat
digunakan secara bebas dalam ujaran, dan mempunyai kedudukan yang otonom.Sebaliknya,
morfem tak bermakna leksikal tidak mempunyai makna apa-apa pada dirinya sendiri. Morfem ini
akan mempunyai makna ketika bergabung dengan bentuk lain dalam ujaran. Yang termasuk
morfem tak bermakna leksikal dalam bahasa Indonesia adalah morfem-morfem, seperti {tetapi},
{kalau} dan morfem afiks{ke}, dan sebagainya.
Selain morfem, satuan lingual yang dikaji dalam morfologi adalah “kata”. Para ahli
bahasa tradisional pada umumnya memberi pengertian kata berdasarkan arti dan ortografi.
Menurut mereka, kata adalah satuan bahasa yang memiliki satu pengertian. Kata adalah deretan
huruf yang diapit oleh dua buah spasi dan mempunyai satu arti (makna).Para ahli bahasa
struktural, terutama penganut aliran Bloomfield, berpendapat bahwa kata adalah satuan bebas
terkecil (minimal free form). Aliran Generatif Transformasi yang dicetuskan dan dikembangkan
oleh Chomsky, menyatakan bahwa kata adalah dasar analisis kalimat yang diperlihatkan dengan
simbol-simbol V (verba), N (nomina), A (ajektiva), dan sebagainya.
Batasan tentang kata yang umum dijumpai adalah suatu bentuk yang mempunyai susunan
fonologis yang stabil. Artinya bahwa setiap kata mempunyai susunan fonem yang urutannya tetap
dan tidak dapat berubah, serta tidak dapat diselipi oleh fonem lain. Di samping itu, setiap kata
mempunyai kebebasan berpindah tempat di dalam kalimat atau tempatnya dapat diisi atau
digantikan oleh kata lain atau juga dapat dipisahkan dari kata lainnya.
Kata adalah satuan gramatikal yang menurut Verhaar (1999) bentuk-bentuk kata seperti
dalam bahasa Indonesia, mengajar, diajar, kauajar, terajar, dan ajarlah bukanlah lima buah kata
yang berbeda, sedangkan mengajar, pengajar, pengajaran, pelajaran, dan ajaran adalah lima buah
kata yang berlainan. Kalau deretan kata-kata yang terakhir disebut lima buah kata yang berlainan
tentu tidak menjadi masalah, meskipun kita tidak tahu sebabnya. Tetapi, kalau deretan kata yang
pertamadikatakan lima buah varian dari sebuah kata yang sama, tentu menjadi persoalan dan kita
juga perlu mengetahui alasannya. Istilah “kata” sering kita dengar dan sering kita gunakan.
Namun demikian, para linguis yang sehari-hari bergelut dengan bahasa,sampai saat ini
belummemiliki kesamaan pendapat tentang konsep kata.
Klasifikasi kata disebut juga penggolongan kata. Setiap bahasa mempunyai cirinya
masing-masing dan disamping itu karena kriteria yang digunakan untuk membuat klasifikasi kata
bermacam-macam.Para ahli bahasa tradisional menggunakan kriteria makna dan kriteria fungsi.
Kriteria makna digunakan untuk mengidentifikasikan kelas verba, nomina, dan adjektiva,
sedangkan kriteria fungsi digunakan untuk mengidentifikasikan preposisi, konjungsi, adverbia,
38
dan pronomina.Sedangkan, para ahli bahasa strukturalis membuat klasifikasi kata berdasarkan
distribusi kata dalam suatu struktur atau konstruksi. Dewasa ini kriteria untuk kajian
bahasaIndonesia yang digunakan para ahli bahasa strukturalis banyak diikuti orang, karena
dianggap lebih baik dan lebih konsisten dari pada kriteria yang digunakan oleh para ahli bahasa
tradisional. Namun, untuk menentukan kelas kata terdapat juga kelompok linguis yang
menggunakan kriteria fungsi sintaksis sebagai patokan.
Secara umum, fungsi subyek diisi oleh kelas nomina, fungsi predikat diisi oleh verba atau
adjektiva, fungsi obyek diisi oleh kelas nomina, dan fungsi keterangan diisi oleh adverbia. Oleh
karena itu, semua kata yang menduduki fungsi subyek atau obyek dimasukkan ke dalam
golongan nomina; yang menduduki fungsi predikat dimasukkan ke dalam golongan verba atau
adjektiva, dan yang menduduki fungsi keterangan dimasukkan ke dalam golongan adverbia.
Kriteria ini pun menimbulkan masalah, sebab dalam berbagai hal subyek dapat diisi oleh selain
nomina, seperti dalam kalimat berenang itu menyehatkan badan.
Identifikasi kata bukan sesuatu yang mudah. Kriteria apapun yang digunakan selalu
menimbulkan masalah. Klasifikasi katasangat diperlukan, baik secara teoretis dalam studi
semantik maupun secara praktis dalam berlatih keterampilan berbahasa. Dengan mengenal kelas
kata, yang dapat kita identifikasikan dari ciri-cirinya, maka penggunaan atau pendistribusian kata
di dalam ujaran dapat diprediksi. Sebab hanya kata-kata yang memiliki ciri-ciri yang sama yang
dapat menduduki suatu fungsi di dalam kalimat.
Pembentukan kata sering juga disebut proses morfologi, yaitu proses terjadinya kata yang
berasal dari morfem dasar melalui perubahan morfemis. Ada beberapa jenis proses morfolgis,
yaitugramatikalisasi, afiksasi, reduplikasi, dan komposisi.
D. Latihan/Evaluasi
1. Apakah yang dimaksud dengan morfem, morf dan alomorf ?. Berikan contoh masing-
masing !.
2. Apakah yang dimaksud dengan alternasi alomorfemis ?. Berikan contoh berdasarkan
kaidah-kaidah yang berlaku !.
3. Mengapa morfem dapat dibedakan menjadi morfem dasar dan morfem terikat?.
4. Dalam kajian morfologi biasanya digunakan istilah, morfem dasar, bentuk dasar
(base), pangkai (stem), dan akar (root). Mengapa demikian ?. Jelaskan dan berikan
contoh !.
5. Dilihat dari status atau potensinya dalam proses gramatikal adaberapa macamkah
morfem dasar bahasa Indonesia?. Berikanlah beberapa contoh untuk setiap morfem !.
6. Mengapa morfem dapat diklasifikasikan atas morfem utuh dan morfem terbagi ?.
Jelaskan dan berikan contoh !.
7. Mengapa disebut morfem segmental dan morfem nonsegmental, morfem beralomorf
Zero, morfem bermakna leksikal dan morfem tak bermakna leksikal ? Jelaskan dan
berikan contoh !.
8. Sebutkan 2 definisi kata menurut para ahli !.
9. Apakah kriteria yang digunakan para ahli bahasa tradisional dan ahli bahasa
struktural dalam mengklasifikasikan kelas kata ?. Jelaskan dan berikan contoh !.
10. Apakah bentuk-bentuk kata seperti mengajar, diajar, kauajar, terajar, dan ajarlah
dapat disebutsebagai lima buah varian dari sebuah kata yang sama. Jelaskan !.
39
11. Mengapa mengajar, pengajar, pengajaran, pelajaran, dan ajaran disebut lima buah
kata yang berlainan ?.
12. Sebutkan kelas kata apakah yang mengisi fungsi subjek, predikat, objek dan
keterangan ?.
13. Berapakah jenis proses pembentukan kata yang anda ketahui ?. Jelaskan dan berikan
contoh !.
14. Mengapa bentuk-bentuk seperti orang tua, meja hijau dan mata sapitidak dapat
digolongkan sebagai kata majemuk ?. Jelaskan !.
15. Berikan contoh kata-kata majemuk dan katapengulangan (reduplikasi) dalam bahasa
Indonesia.
40