Anda di halaman 1dari 12

LAPORAN PENDAHULUAN

STENOSIS

Disusun oleh :

Ariska Widiastuti

2111040115

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO
2021
1. Definsi
Stenosis duodenum adalah penyempitan atau striktura lumen duodenum yang
abnormal menyebabkan obstruksi yang tidak lengkap. duodenum yang abnormal
menyebabkan obstruksi yang tidak lengkap.Bedakan dengan atresia yang menyebabkan
obstruksi lengkap Stenosis dan Bedakan dengan atresia yang menyebabkan obstruksi
lengkap Stenosis dan atresia duodenum umumnya terdapat pada bagian pertama dan
kedua atresia duodenum umumnya terdapat pada bagian pertama dan kedua duodenum,
kebanyakan pada daerah sekitar kan pada daerah sekitar papilla Vater.papilla Vater.

2. Etiologi
a. kompresi dari permukaan duodenum oleh band-band Ladd sekunder untuk rotasi lengkap
dari usus
b. Annular membungkus pancreas
c. Keturunan resesif autosomal
d. Adanya Polyhidramnion (saat kehamilan)

3. Manifestasi Klinis
 saat berumur beberapa bulan/tahun Gejala = Muntah , bilious dan non bilious Bisa
timbul saat dewasa, refluks gastroesofageal, ulserasi peptic, atau obstruksi
duodenum  proksimal dari stenosis oleh bezoar.
 Gejala sering tidak berkembang pada masa neonates
 Biasanya anak mengalami mual intermiten dengan muntah. Muntahan berisi
empedu
 Anak gagal untuk berkembang
 dapat ditemukan di perut bagian atas kembung.
 diwarnai empedu muntah pada neonatus berusia 24 jam

4. Pathofisiologi
Penyumbatan intestinal mekanik yang terjadi karena adanya daya mekanik yang
bekerja atau mempengaruhi dinding usus sehingga menyebabkan penyempitan atau
penyumbatan lumen usus, hal tersebut menyebabkan pasase lumen usus terganggu.
Sehingga terjadi pengumpulan isi lumen usus yang berupa gas dan cairan pada bagian
proksimal tempat penyumbatan yang menyebabkan pelebaran dinding usus (distensi).
Awalnya, peristaltik pada bagian proksimal usus meningkat sebagai kompensasi
adanya sumbatan atau hambatan. Bila obstruksi terus berlanjut dan terjadi peningkatan
tekanan intraluminal, maka bagian proksimal dari usus tidak akan berkontraksi dengan
baik dan bising usus menjadi tidak teratur dan hilang. Peningkatan tekanan intraluminal
dan adanya distensi menyebabkan gangguan vaskuler terutama stasis vena. Dinding usus
menjadi udem dan terjadi translokasi bakteri ke pembuluh darah. Produksi toksin yang
disebabkan oleh adanya translokasi bakteri menyebabkan timbulnya gejala sistemik. Efek
lokal peregangan usus adalah iskemik akibat nekrosis disertai absorbsi toksin-toksin
bakteri ke dalam rongga peritoneum dan sirkulasi sistemik. Hal ini biasanya terjadi pada
obstruksi usus dengan strangulasi. Bahaya umum dari keadaan ini adalah sepsis.
Pada obstruksi mekanik sederhana, hambatan pasase muncul tanpa disertai
gangguan vaskuler dan neurologik. Makanan dan cairan yang tertelan, sekresi usus dan
udara akan berkumpul dalam jumlah yang banyak jika obstruksinya komplit.Bagian
proksimal dari usus mengalami distensi dan bagian distalnya kolaps. Fungsi sekresi dan
absorbsi membran mukosa usus menurun dan dinding usus menjadi edema dan kongesti.
distensi intestinal yang berat dengan sendirinya secara terusmenerus dan progresif akan
mengacaukan peristaltik dan fungsi sekresi mukosa serta meningkatkan risiko terjadinya
dehidariasi, iskemik, nekrosis, perforasi, peritonitis dan kematian

5. Komplikasi

1. Intestinal obstruksi e.c


2. adhesive Duodenal dismotility
3. Megaduodenum dengan sindrom blind loop Refluks duodenogastrik
4. gastritis Ulkus Peptic Cholelithiasis
5. Komplikasi yang terkait dengan operasi besar mungkin terjadi
6. Perdarahan
7. Infeksi
8. Gangguan pernapasan (kesulitan bernafas)
9. Hipotermia (suhu tubuh rendah)
10. Rendah urin
11. Obstruksi usus
12. Fistula – kebocoran pada garis jahitan Pos Operasi dan Perawatan Setelah
6. Penatalaksanaan medis
 Indikasi untuk Bedah

Indikasi ditentukan oleh derajat obstruksi usus Sebuah obstruksi bermutu tinggi biasanya
dilakukan pada kebijaksanaan dokter bedah (intervensi bedah elektif)
Tingkat rendah penghalang parsial mungkin pergi bertahun-tahun tanpa membutuhkan
pembedahan.Sebagian besar operasi berlangsung di tahun-tahun dewasa dengan operasi
sesekali di masa kecil

 Operasi

Pembedahan dilakukan di bawah anestesi umum Sayatan dibuat di perut bagian atas
Stenosis ini biasanya dilewati tanpa menghapus apapun pankreas atau jaringan duodenum.
Prosedur memotong berbagai:

 Duodeno duodenostomy – lubang dibuat di sisi duodenum atas dan di bawah stenosis
diikuti dengan penjahitan dinding duodenum di lubang bersama untuk membentuk bypass
(sisi untuk memotong sisi)
 Duodeno jejunostomy – akhir untuk memotong sisi duodenum untuk jejunum
 Gastrojejunostomy – sisi perut bagian bawah ke sisi bypass jejunum
 Gastroduodenostomy – sisi perut bagian bawah ke sisi dari bypass duodenum
 Resusitasi cairan
 Dekompresi dengan NGT
 Antibiotika
7. Pathway
8. ASUHAN KEPERAWATAN
A. PENGUMPULAN DATA
1. Identitas Identitas pasien
meliputi : nama, jenis kelamin, umur, pendidikan, agama, kebangsaan, suku, alamat,
tanggal dan jam masuk RS, No. Reg, ruangan, serta identitas yang bertanggung
jawab.
2. Keluhan Utama
Bayi dengan stenosis duodenum datang dengan keluhan muntahmuntah setelah diberi
ASI/MPASI, kembung.
3. Riwayat Kesehatan
a. Riwayat kesehatan sekarang.
Pada umumnya bayi sering mengalami kembung, muntahmuntah, anorexia, lemah,
keringat dingin, demam
b. Riwayat kesehatan lalu.
Pasien mempunyai riwayat tertentu seperti : demam tinggi, demam kejang, icterus,
distensi abdomen, sering mengalami muntah
c. Riwayat kesehatan keluarga
Keluarganya tidak mempunyai penyakit menular atau mempunyai penyakit menular

4. Pola Fungsi Kesehatan


a. Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat
Meliputi : kebiasaan memandikan/menyeka klien, mengganti baju klien.
b. Pola nutrisi dan Metabolisme Meliputi : penurunan nafsu makan, mual, muntah
c.Pola eliminasi
Meliputi : oliguria sampai aneuri (penurunan asupan cairan)
d. Pola istirahat dan tidur Meliputi : lama tidur pasien sebelum MRS dan MRS,
gangguan waktu tidur, merasa tenang setelah tidur, sering merengek, rewel
e. Pola aktifitas dan latihan Meliputi : kegiatan pasien dirumah dan di RS, serta
lamanya aktivitas.

5. Keadaan umum
Pada bayi dengan stenosis duodenum keadaannya lemah dan hanya merintih,
kesadaran composmentis
6. Tanda-tanda Vital Untuk bayi preterm beresiko terjadinya hipothermi bila suhu
tubuh < 36 C dan beresiko terjadi hipertermi bila suhu tubuh < 37 C. Sedangkan
suhu normal tubuh antara 36,5C – 37,5C, nadi normal antara 120-140 kali per menit
respirasi normal antara 40-60 kali permenit, sering pada bayi post asfiksia berat
pernafasan belum teratur.
7. Pemeriksaan fisik
a. Kulit Warna kulit tubuh merah, tidak terdapat luka atau benjolan.
b. Kepala Kemungkinan ditemukan caput succedaneum atau cephal haematom, ubun-
ubun besar cekung atau cembung kemungkinan adanya peningkatan tekanan
intrakranial.
c. Mata
Warna conjunctiva anemis atau tidak anemis, tidak ada bleeding conjunctiva, warna
sklera tidak kuning, pupil menunjukkan refleks terhadap cahaya.
d. Hidung
Ada/tidak pernafasan cuping hidung dan terdapat penumpukan lendir.
e. Mulut
Bibir berwarna pucat ataupun merah, ada lendir atau tidak.
f. Telinga
Perhatikan kebersihannya dan adanya kelainan
g. Leher
Perhatikan kebersihannya karena leher nenoatus pendek
h. Thorax
Bentuk simetris, terdapat tarikan intercostal, perhatikan suara wheezing dan ronchi,
frekwensi bunyi jantung lebih dari 100 kali per menit.
i. Abdomen
Bentuk silindris, hepar bayi terletak 1 – 2 cm dibawah arcus costaae pada garis papila
mamae, lien tidak teraba, perut buncit berarti adanya asites atau tumor, perut cekung
adanya hernia diafragma, bising usus timbul 1 sampai 2 jam setelah
masa kelahiran bayi, sering terdapat retensi karena GI Tract belum sempurna, dapat
terjadi distensi abdomen.
j. Umbilikus
Tali pusat layu, perhatikan ada pendarahan atau tidak, adanya tanda – tanda infeksi
pada tali pusat.
k. Genitalia
Pada neonatus aterm testis harus turun, lihat adakah kelainan letak muara uretra pada
neonatus laki – laki, neonatus perempuan lihat labia mayor dan labia minor, adanya
sekresi mucus keputihan, kadang perdarahan.
l. Anus
Perhatiakan adanya darah dalam tinja, frekuensi buang air besar serta warna dari
faeses.
m. Ekstremitas
Warna biru, gerakan lemah, akral dingin, perhatikan adanya patah tulang atau adanya
kelumpuhan syaraf atau keadaan jarijari tangan serta jumlahnya.
n. Refleks
Pada bayi reflek moro dan sucking kuat. Reflek moro dapat memberi keterangan
mengenai keadaan susunan syaraf pusat atau adanya patah tulang

Diagnosa Keperawatan yang mungkin muncul

Diagnosa 1: Bersihan jalan nafas tidak efektif (SDKI, 2017)


2.1.1 Definisi
Pengalaman sensorik atau emosional yang berkaitan dengan kerusakan
jaringan aktual atau fungsional, dengan onset mendadak atau lambat dan
berintensitas ringan hingga berat yang berlangsung lebih dari 3 bulan.
2.1.2 Batasan karakteristik
 Mengeluh sesak nafas
 Sputum berlebih/obstruksi di jalan nafas
2.1.3 Faktor yang berhubungan
 bronkospasme
Diagnosa 2: Gangguan pertukaran gas (SDKI, 2017)
2.1.4 Definisi
Kelebihan atau kekurangan oksigenasi dan/eliminasi karbondioksida pada
membrane alveolus-kapiler
2.1.5 Batasan karakteristik
• Dispnea
•bunyi nafas tambahan
•o2 menurun
2.1.6 Faktor yang berhubungan
• Ketidakseimbangan ventilasi-perfusi

Diagnosa 3: Anxietas (SDKI, 2017)


2.1.7 Definisi
Kondisi emosi dan pengalam subyektif individu terhadap objek yang tidak
jelas dan spesifik akibat antisipasi bahaya yang memungkinkan individu
melakukantindakan untuk menghadapi ancaman.
2.1.8 Batasan karakteristik
• tampak gelisah
• merasa khawatir dengan akibat dari kondisi yg dihadapi
•frekuensi nafas meningkat
•frekuensi nadi meningkat

2.1.9 Faktor yang berhubungan


• gejala penyakit

2.2 Perencanaan
Diagnosa : Bersihan jalan nafas tidak efektif b.d bronkospasme
2.2.1 Tujuan dan Kriteria hasil (outcomes criteria):
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan 2x24 jam, diharapkan
jalan nafas efektif
Kriteria Hasil:
 Produksi sputum
 Tidak ada bunyi nafas tambahan
 Pola nafas dan irama normal
2.2.2 Intervensi keperawatan dan rasional:
Intervensi:
- Monitor frekuensi dan kedalaman nafas
- Monitor bunyi nafas tambahan
- Monitor saturasi oksigen
- Berikan posisi semi fowler 30-45°
- Pasang oksimetri nadi
- Pasang oksigenasi untuk mempertahankan spO2 ≥90 %
- Anjurkan bernafas lambat dan dalam
- Ajarkan mengidentifikasi dan menghindari pemicu (debu,su hu
ekstrem,polutan udara)
- Kolaborasi pemberian bronkodilator

Rasional:
 Menentukan tindakan keperawatan selanjutnya
 Memantau ttv
 Memantau bunyi nafas tambahan

Diagnosa 2: gangguan pertukaran gas b.d ketidakseimbangan ventilasi-


perfusi
2.2.3 Tujuan dan Kriteria hasil (outcomes criteria):
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan 2x24 jam, diharapkan
spo2 meningkat
Kriteria Hasil:
 Pasien tidak sesak
 Tidak ada bunyi nafas tambahan
 Pola nafas dan irama normal
2.2.4 Intervensi keperawatan dan rasional:
Intervensi:
- monitor frekuensi irama kedalaman dan upaya nafas
- Auskultasi bunyi paru
- Monitor saturasi oksigen
- Monitor nadi
- Atur interval pemantauan respirasi sesuai kondisi pasien
- Dokumentasi hasi pemantauan
- Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan

Rasional:
 Menentukan tindakan keperawatan selanjutnya
 Memantau ttv
 Memantau bunyi nafas tambahan

Diagnosa 3: resiko infeksi b.d prosedur invasive


Tujuan dan Kriteria hasil (outcomes criteria):
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan 2x24 jam, diharapkan
resiko infeksi terkontrol

Kriteria Hasil:
 Kemampuan mencari informasi tentang resiko
 Kemampuan mengidentifikasi factor resiko
 Kemampuan melakukan strategi kontrol resiko
Intervensi keperawatan dan rasional:
Intervensi:
-periksa kondisi umum pasien (ttv)
-periksa kondisi stoma pasien
-identifikasi kemampuan dan pengetahuan tentang stoma
-terapkan Teknik aseptic dan keamanan selama merawat stoma
-buang dan bebaskan stoma dari kantung sebelumnya
- Rasional:
 Menentukan tindakan keperawatan selanjutnya
 Memantau ttv
 Mempertahankan Teknik aseptic untuk menghindari infeksi
DAFTAR PUSTAKA

Bilodeau A, Prasil P, Cloutier R, Laframboise R, Meguerditchian A, Roy G, Leclerc S,


Peloquin J. Hereditary multiple intestinal atresia: thirty years later. Journal of Pediatric
Surgery, Vol. 39, No. 5, 2004.

Botto LD, Olney RS, Erickson JD. Vitamin supplements and the risk for congenital
anomalies other than neural tube defects. American Journal of Medical Genetics Part C
(Semin. Med. Genet.), Vol. 125C, 2004.

Bound JP, Harvey PW, Francis BJ. Seasonal prevalence of major congenital malformations
in the Fylde of Lancashire 1957-1981. J Epidemiol Community Health 1989;43:330-342.
Cardonic E, Iacobucci A. Use of chemotherapy during human pregnancy. Lancet, Vol. 5,
May 2004.

Cordier S, Chevrier C, Robert-Gnansia E, Lorente C, Brula C, Hours M. Risk of congenital


anomalies in the vicinity of municipal solid waste incinerators. Occup Environ Med, Vol. 61,
2004.

Rittler M, Lopez-Camelo J, Castilla EE. Sex ratio and associated risk factors for 50
congenital anomaly types: lues for causal heterogeneity. Birth Defects Research (Part A),
Vol. 70, 2004.

Van Bokhoven H, Celli J, van Reeuwijk J, Rinne T, Glaudemans B, van Beusekom E, Rieu
P, Newbury-Ecob RA, Chiang C, Brunner HG. MYCN haploinsufficiency is associated with
reduced brain size and intestinal atresias in eingold syndrome. Nature Genetics, Vol. 37, No.
5, 2005.

Werler MM, Sheehan JE, Mitchell AA. Association of vasoconstrictive exposures with risks
of gastroschisis and small intestinal atresia. Epidemiology, Vol. 14, 2003.

Yang J, Carmichael SL, Kaidarova Z, Shaw GM. Risks of selected congenital malformations
among offspring of mixed race-ethnicity. Birth Defects Research (Part A): Clinical and
Molecular Teratology, Vol. 70, 2004.

Anda mungkin juga menyukai