Penyusun:
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Panyayang, Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang
telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga
kami dapat menyelesaikan makalah Fiqih Muamalah dengan judul ”Harta
(Maal) dan Kepemilikan (Milkiyyah)”.
Makalah ini telah kami susun dengan maksimaldan mendapatkan bantuan
dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini.
Untuk itu kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang
telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.Terlepas dari semua itu,
Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi
susunan kalimat maupun tata bahasanya serta bobot materi. Oleh karena itu
dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca
agar kami dapat memperbaiki makalah ini. Akhir kata kami berharap semoga
makalah ini dapat memberikan manfaat maupun inspirasi terhadap pembaca.
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Manusia sebagai makhluk sosial pada prinsipnya selalu ingin hidup
bermasyarakat. Dalam kehidupan bermasyarakat, manusia akan menghadapi
berbagai macam persoalan untuk menutupi kebutuhan antara yang satu dengan
yang lain, sehingga dibutuhkan sikap saling tolong- menolong. Setiap
individu pada dasarnya mengalami ketergantungan pada nilai-nilai kemanusiaan
dan keberadaannya dalam satu kelompok.
Ketergantungan seseorang dikarenakan setiap manusia mempunyai
kebutuhan. Kebutuhan yang harus dipenuhi oleh ekonomi itu berbeda dari
masyarakat yang lain, dari orang yang satu ke orang yang lain. Perbedaan itu
disebabkan oleh berbagai faktor, salah satunya sesuai kebutuhan. Ajaran
islam merupakan ajaran yang sempurna mencakup seluruh kehidupan maka kita
wajib berpendirian bahwa islam sebagai agama yang telah menggariskan prinsip-
prinsip kehidupan mencakup berbagai aspek, termasuk apsek ekonomi.
Islam mempunyai corak ekonomi sendiri, berdiri sendiri dan berbeda
denga kapitalisme. Perbedaan itu terlihat dalam praktek sistem ekonomi kapitalis
yang tujuan utamanya untuk memperoleh keuntungan material, sehingga muncul
egoism, monopoli, dan usaha mengumpulkan harta kekayaan semata. Islam
memelihara keseimbangan antara hak milik pribadi dan kolektif sehingga islam
menjamin pembagian kekayaan seluas- luasnya dan paling bermanfaat melalui
lembaga-lembaga yang didirikan. Permasalahnnya banyak yang belum
memahami bagaimana islam memandang harta dan kepemilikan.
1
1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan
2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Harta (Maal)
1
Ruston Ruston Nawawi, ‘Etika Terhadap Harta Dalam Perspektif Al -Qur’an’, Qof, 2.2 (2018), 147–59
<https://doi.org/10.30762/qof.v2i2.712>.
2
Basrowi dan M. Zaki, ‘MANAJEMEN HARTA DALAM ISLAM DARI PERSPEKTIF HADITS Basrowi1’, 2018, 1 –
21.
3
Toha Andiko, ‘Konsep Harta Dan Pengelolaannya Dalam Alquran’, Al-Intaj, 2.1 (2016), 57–70.
4
Sarmiana Batubara, ‘Harta Dalam Perspektif Alquran: (Studi Tafsir Ayat-Ayat Ekonomi)’, Imara: JURNAL
RISET EKONOMI ISLAM, 2.2 (2018) <https://doi.org/10.31958/imara.v2i2.1255>.
3
Berdasarkan beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa harta
merupakan sesuatu yang bernilai, dan diminati oleh manusia sehingga dapat
ditukar dengan sesuatu yang bernilai lainnya. Dalam penggunaannya harta harus
senantiasa dimanfaatkan sebagai wujud mendekatkn diri kepada Allah, apabila
dalam wujud harta pribadi maka harta tersebut bisa dimanfaatkan atau
disedekahkan untuk kepentingan sosial atau sebagai wujud membantu sesama
manusia.
Konsep harta dalam Islam sangat komprehensif, dimana Islam tidak hanya
mengatur bagaimana harta itu dapat diperoleh dengan cara yang halal, bagaimana
harta dapat dikembangkan, dan didayagunakan, akan tetapi juga mengatur
bagaimana agar harta itu dapat berfungsi mensejahterakan umat, yaitu dengan
menggerakkan para pemilik untuk mendistribusikan guna memenuhi kebutuhan
hidupnya.5 Maka dari itu perlu diketahui terkait macam-macam harta, yang dapat
dilihat dari berbagai sudut pandang.
5
Ali Akbar, ‘Konsep Kepemilikan Dalam Islam Oleh : Ali Akbar’, Jurnal Ushuluddin, XVIII.2 (2012), 124–40.
6
Maisarah Leli, ‘Konsep Harta Dan Kepemilikan Dalam Perspektif Islam’, At-Tasyri’iy, 2.2 (2019), 1–16.
4
b. Harta ghairu mutaqawwim (harta tidak bernilai), yaitu harta yang
tidak boleh dimanfaatkannya menurut ketentuan syara’, baik
jenisnya, cara memperolehnya, maupun cara penggunaannya.
Contoh arak termasuk harta ghair mutaqawim karena jenisnya yang
haram. Selain itu barang yang diperoleh dari hasil mencuri
termasuk harta ghairu mutaqawwim karena cara memperolehnya
yang haram.
Akibat hukum dari perbedaan harta dari segi sifatnya ini Imam Malik
berpendapat, sebagai berikut:8
a) Berlakunya hak syuf ’ah (hak istimewa yang dimiliki
seseorang ke atas rumah jirannya yang akan dijual, agar rumah
itu terlebih dahulu ditawarkan kepadanya). Ini berlaku bagi
harta tidak bergerak. Akan tetapi, jika harta itu bergerak, maka
tidak tetap syuf ’ah, sekira ia dijual berasingan dengan dari
ghairu manqul
7
Naerul Edwin Kiky Aprianto, ‘Konsep Harta Dalam Tinjauan Maqashid Syariah’, Journal of Islamic
Economics Lariba, 3.2 (2017), 65–74.
8
Rizal, ‘Eksistensi Harta Dalam Islam (Suatu Kajian Analisis Teori tis)’, Jurnal Penelitian, 9.1 (2015), 93–112
<https://doi.org/10.21043/jupe.v9i1.853>.
5
b) Dalam masalah wakaf, menurut ulama Hanafiyah, hanya
benda tidak bergerak yang boleh diwakafkan. Mewakafkan
harta bergerak tidak dibolehkan kecuali harta bergerak itu
mengikuti sesuatu yang ’aqar. Akan tetapi, Jumhur ulama
berpendapat bahwa kedua-dua benda tersebut boleh
diwaqafkan.
6
a. Harta isti’mal, ialah harta yang apabila digunakan atau
dimanfaatkan benda itu kekal zatnya (tidak habis), sekalipun
manfaatnya sudah banyak digunakan. Contohnya kebun, tempat
tinggal.
b. Harta istihlak hakiki ialah suatu benda yang menjadi harta yang
secara jelas nyata zatnya habis sekali digunakan. Misalnya korek
api, bila dibakar maka habislah harta yang berupa kayu itu. Istihlak
haquqi ialah harta yang sudah habis nilainya bila telah digunakan,
tetapi zatnya masih tetap ada. Misalnya uang yang digunakan
untuk membayar utang, dipandang habis menurut hokum walaupun
uang tersebut masih utuh, hanya pindah kepemilikannya. 9
9
Leli.
10
Rizal.
11
Aprianto.
7
a. Harta mitsli (Harta serups), yaitu harta yang jenisnya mudah
didapat di pasaran (secara persis dari segi bentuk atau nilai). Harta
mitsli terbagi atas empat bagian, meliputi: (1) harta yang ditakar,
seperti gandum; (2) harta yang ditimbang, seperti besi; (3) harta
yang dapat dihitung, seperti telur; dan (4) harta yang dijual dengan
meter, seperti kain, papan, dan lain-lain.
b. Harta qimi (harta senilai, yaitu harta yang tidak ada jenis yang
sama dalam satuannya di pasaran, atau ada jenisnya tetapi pada
setiap unitnya berbeda dalam kualitasnya, seperti satuan
pepohonan, logam mulia, dan alat-alat rumah tangga.
Menurut Wahbah al-Zuhayli, pertukaran harta mithliy menjadi harta
qimiy bisa terjadi dalam empat keadaan:13
a) Tidak ada stok di pasar. Jika harta mithliy terputus (tidak ada
stok) di pasar, maka ia bertukar menjadi harta qimiy.
b) Percampuran. Jika dua harta mithliy yang terdiri dari satu jenis
yang berbeda, seperti gandum dan beras, bercampur maka
percampuran itu menjadi qimiy.
c) Jika harta mithliy terbakar atau tenggelam, maka harta itu
menjadi harta yang bernilai khusus.
d) Cacat atau digunakan. Jika harta mithliy menjadi cacat atau
telah digunakan maka ia menjadi harta yang bernilai khusus.
12
Aprianto.
13
Rizal.
14
Aprianto.
8
b. Harta Mubah ialah sesuatu yang pada asalnya bukan milik
seseorang, seperti air pada mata air, binatang buruan darat, laut,
pohon-pohon dihutan dan buah-buahannya.
c. Harta Mahjur ialah sesuatu yang tidak dibolehkan dimiliki sendiri
dan memberikan kepada orang lain menurut syari’at, adakalanya
benda itu benda wakaf ataupun benda yang dikhususkan untuk
masyarakat umum, seperti jalan raya, mesjid-mejid, kuburan-
kuburan lainnya
9. Dilihat dari segi harta yang berbentuk benda dan harta yang berbentuk
tanggungan, dibagi:15
15
Eka Murlana, ‘KONSEP KEPEMILIKAN HARTA DALAM EKONOMI ISLAM MENURUT AFZALUR RAHMAN DI
BUKU ECONOMIC DOCTRINES OF ISLAM’, 2011, pp. 1–83.
9
a. Harta ain ialah harta yang berbentuk benda, seperti rumah, pakaian,
beras, kendaraan (mobil) dan yang lainnya. Harta ‘ain terbagi
menjadi dua, yaitu: (1) harta ‘ain dzati qimah, yakni benda yang
memiliki bentuk yang dipandang sebagai harta karena memiliki
nilai;dan (2) harta ‘ain ghair dzati qimah, yakni benda yang tidak
dapat dipandang sebagai harta karena tidak memiliki harga, seperti
sebiji beras.
b. Harta dayn yaitu sesuatu yang berada dalam tangung jawab.
Artinya, si pemilik hanya memiliki harta tersebut,nnamun ia tidak
memiliki wujudnya dikarenakan berada dalam tanggungan orang
lain. Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa harta tidak dapat dibagi
menjadi harta ‘ain dan dayn, karena harta menurutnya ialah sesuatu
yang berwujud, maka sesuatu yang tidak berwujud .tidaklah
sebagai harta, misalnya hutang tidak dipandang sebagai harta,
tetapi hutang menurutnya adalah sifat pada tanggung jawab. 16
Seperti uang dalam tanggung jawab seseorang.
Harta pokok ialah harta yang mungkin darinya terjadi harta yang
lain. Harta pokok disebut juga modal, misalnya uang emas dan yang
lainnya, contoh harta pokok dan harta hasil seperti bulu domba dihasilkan
dari domba, maka domba merupakan harta pokok dan bulunya merupakan
harta hasil, atau kerbau yang beranak, anaknya dianggap sebagai tsamarah
dan induknya yang melahirkannya disebut harta pokok.
16
Aprianto.
17
Leli.
10
Kepemilikan berasal dari bahasa Arab dari akar kata “malaka” yang
artinya memiliki. Dalam bahasa Arab “milik” berarti penguasaan orang terhadap
suatu (barang atau harta) dan barang tersebut dalam genggamannya baik secara
riil maupun secara hukum. Dimensi penguasaan ini direfleksikan dalam bentuk
bahwa orang yang memiliki sesuatu barang berarti mempunyai kekuasaan
terhadap barang tersebut sehingga ia dapat mempergunakannya menurut
kehendaknya dan tidak ada orang lain, baik secara individual maupun
kelembagaan, yang dapat menghalang-halangi dan memanfaatkan barang yang
dimilikinya itu.
Apabila seseorang telah memiliki suatu benda yang sah menurut syara’,
maka orang tersebut bebas bertindak terhadap benda tersebut, baik akan dijual
maupun akan digadaikan, baik dia sendiri maupun dengan perantara orang lain.18
Dengan demikian, milik merupakan penguasaan seseorang terhadap suatu harta
sehingga seseorang mempunyai kekuasaan khusus terhadap harta tersebut.
Sedangkan menurut istilah dapat di definisikan suatu iktishas yang menghalangi
yang lain, menurut syariat yang membenarkan pemilik iktishas itu untuk bertindak
terhadap barang miliknya sekehendaknya kecuali ada penghalang. 19
Terdapat beberapa definisi tentang Milkiyah yang disampaikan oleh para
fuqaha, antara lain:
1. Ta’rif yang disampaikan oleh Mustafa Ahmad al Zarqa’:
Milik adalah keistimewaan (iktishash) yang bersifat menghalangi (orang lain)
yang syara’ memberikan kewenangan kepada pemiliknya bertasharruf kecuali
terhadap halangan.
2. Ta’rif yang disampaikan oleh Wahbah al Zuhaily
Milik adalah keistimewaan (iktishash) terhadap sesuatu yang menghalangi
orang lain darinya dan pemiliknua bebas melakukan tasharruf secara langsung
kecuali ada halangan syar’i.
Dari ta’rif tersebut diatas, telah jelas bahwa yang dijadikan kata kunci
milkiyah adalah penggunaan term iktishash. Dalam ta’rif tersebut terdapat dua
iktishash atau keistimewaan yang diberikan oleh syara’ kepada pemilik harta,
diantaranya:
18
Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), 33.
19
Mustafa Ahmad al -Zarqa’, al-Madkhal al Fiqh al ‘Amm (Beirut: Jilid 1, Darul Fikr, 1968), 240.
11
1. Keistimewaan dalam menghalangi orang lain untuk memanfaatkan tanpa
kehendak atau izin pemiliknya.
2. Keistimewaan dalam bertasharruf. Tasharruf adalah sesuatu yang
dilakukan oleh seseorang berdasarkan iradah (kehendak)nya dan syara’
menetapkan batasnya beberapa konsekuensi yang berkaitan dengan hak. 20
Jadi pada prinsipnya atas dasar milkiyah (kepemilikan) seseorang mempunyai
keistimewaan berupa kebebasan dalam bertasharruf (berbuat sesuatu atau tidak
berbuat sesuatu) kecuali ada halangan tertentu yang diakui oleh syara’. Kata
halangan disini adalah sesuatu yang mencegah orang yang bukan pemilik suatu
barang untuk mempergunakan atau memanfaatkan dan bertindak tanpa
persetujuan lebih dahulu dari pemiliknya. 21
20
Ghufron A. Mas’adi, Fiqih Muamalah Kontekstual (Jakarta: PT. Grafindo Persada, 2002), 55.
2121
Suhrawardi K. Lubis, Hukum Ekonomi Islam (Jakarta: Sinar Grafika O ffset, 2000), 5.
12
2.4 Macam-Macam Kepemilikan (Milkiyyah)
22
Abul Hasan Bani Sadr, “Ekonomi Islam: Kepemilikan dan Ekonomi Tauhid” dalam Etika Ekonomi Politik:
Elemen-elemen Strategis Pembangunan Masyarakat Islam,(Surabaya : Risalah Gusti, 1997), 37
13
c) Sumber daya alam yang sifat pembentukannya menghalangi untuk
dimiliki hanya oleh individu secara perorangan. Yang merupakan
fasilitas umum adalah apa saja yang dianggap sebagai kepentingan
manusia secara umum.
c. Kepemilikan Negara
Masih ada harta yang tidak termasuk dalam kategori milik umum,
melainkan milik individu, karena harta tersebut berbentuk benda yang bisa
dimiliki secara pribadi, semisal tanah, dan barang-barang bergerak. Namun,
barang-barang tersebut terkadang terkait dengan hak kaum muslim secara
umum. Dengan begitu, barang-barang tersebut tidak termasuk milik individu,
tetapi juga tidak termasuk milik umum. Pada kondisi ini, barang-barang
tersebut menjadi milik negara.
Milik negara adalah harta yang merupakan hak seluruh kaum muslimin,
sementara pengelolaannya menjadi wewenang khalifah, ia bisa
menghususkan sesuatu untuk sebagian kaum muslimin, sesuai dengan apa
yang menjadi pandangannya. Pengelolaan oleh khalifah ini bermakna bahwa
khalifah memiliki kekuasaan untuk mengelolanya. Inilah makna kepemilikan.
Sebab, kepemilikan bermakna adanya kekuasaan pada diri seseorang atas
harta miliknya atas dasar ini, setiap kepemilikan yang pengelolaannya
bergantung pada pandangan dan ijtihadkhalifah dianggap sebagai kepemilikan
negara.
Syara’ telah menjadikan harta-harta tertentu sebagai milik negara,
khalifah berhak untuk mengelolanya sesuai dengan pandangan dan ijtihadnya,
semisal harta fa’i, kharaj, jizyah dan sebagainya.
14
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Harta merupakan sesuatu yang bernilai, dan diminati oleh manusia
sehingga dapat ditukar dengan sesuatu yang bernilai lainnya. Dalam
penggunaannya harta harus senantiasa dimanfaatkan sebagai wujud mendekatkn
diri kepada Allah, apabila dalam wujud harta pribadi maka harta tersebut bisa
dimanfaatkan atau disedekahkan untuk kepentingan sosial atau sebagai wujud
membantu sesama manusia.
Sedangkan kepemilikan (milkiyah ) yang disampaikan oleh para fuqaha,
antara lain:
1. Ta’rif yang disampaikan oleh Mustafa Ahmad al Zarqa’
Milik adalah keistimewaan (iktishash) yang bersifat menghalangi (orang lain)
yang syara’ memberikan kewenangan kepada pemiliknya bertasharruf kecuali
terhadap halangan.
15
DAFTAR PUSTAKA
Bani Sadr, Abul Hasan. 1997. Ekonomi Islam: Kepemilikan dan Ekonomi Tauhid dalam
Etika Ekonomi Politik: Elemen-elemen Strategis Pembangunan Masyarakat
Islam, Surabaya : Risalah Gusti
Akbar, Ali. 2012. Konsep Kepemilikan Dalam Islam Oleh : Ali Akbar, Jurnal Ushuluddin,
XVIII.2
Zaki, M dan Basrowi. 2018. Manajemen Harta Dalam Islam dari Perspektif Hadis
Basrowi1
Murlana, Eka. 2011. Konsep Kepemilikan Harta Dalam Ekonomi Islam Menurut Afzalur
Rahman Di Buku Economic Doctrines Of Islam
Leli,Maisarah. 2019. Konsep Harta Dan Kepemilikan Dalam Perspektif Islam, At-
Tasyri’iy
Ahmad al-Zarqa’, Mustafa. 1968. al-Madkhal al Fiqh al ‘Amm Beirut: Jilid 1, Darul Fikr
Kiky Aprianto, Naerul Edwin. 2017. Konsep Harta Dalam Tinjauan Maqashid Syariah,
Journal of Islamic Economics Lariba
Rizal. 2015. Eksistensi Harta Dalam Islam (Suatu Kajian Analisis Teoritis, Jurnal
Penelitian
Nawawi,Ruston. 2018. Etika Terhadap Harta Dalam Perspektif Al-Qur’an’, Qof, 2.2
Batubara, Sarmiana. 2018. Harta Dalam Perspektif Alquran: (Studi Tafsir Ayat-Ayat
Ekonomi), Imara: Jurnal Riset Ekonomi Islam, 2.2
Lubis,Suhrawardi.K. 2000. Hukum Ekonomi Islam, Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2000
Andiko,Toha. 2016. Konsep Harta Dan Pengelolaannya Dalam Alquran’, Al-Intaj, 2.1
16