Anda di halaman 1dari 11

PAPER KEPERAWATAN JIWA

MODEL KONSEPTUAL DALAM KEPERAWATAN JIWA SOSIAL

Disusun Oleh :

Lili Yunita

Puji Lestari

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN

YAYASAN RUMAH SAKIT ISLAM PONTIANAK

TAHUN 2022
MODEL KONSEPTUAL DALAM KEPERAWATAN JIWA SOSIAL

Dengan berkembangnya teknologi maka manusia harus dituntut untuk berkembang


dengan kemajuan teknologi saat ini. seseorang atau individu itu sendiri harus mampu
mengikuti perkembangan tersebut dengan kemampuan dan support system dalam beradaptasi.
Karena akan banyaknya timbul stressor yang berasal dari lingkungan luar maupun dalam
lingkup individu itu sendiri. Seiring dengan semakin tingginya stressor yang dihadapi
individu dalam masyarakat, seperti tuntutan pemenuhan kebutuhan hidup yang semakin
kompleks, berdampak pada tingkat stress individu. Kondisi tersebut beresiko tinggi
menyebabkan gangguan fisik dan jiwa, sehingga dapat diprediksi angka kesakitan semakin
meningkat khususnya gangguan jiwa. Disinilah konsep – konsep keperawatan jiwa akan
disampaikan khususnya pada konsep modal sosial.
Model konseptual keperawatan jiwa mengurai situasi yang terjadi dalam lingkungan
atau stresor yang mengakibatkan seseorang individu menciptakan perubahan yang adaptif
baik secara mandiri maupun bantuan perawat. Model konseptual keperawatan jiwa
merupakan upaya yang dilakukan baik oleh perawat untuk  menolong seseorang dalam
mempertahankan keseimbangan melalui mekanisme koping yang positif untuk mengatasi
stresor yang dialaminya (Videbeck, 2008 : 54).
Sedangkan model sosial itu sendiri adalah lingkungan sosial. Lingkungan sosial
tersebut dapat berakibat terhadap individu dan pengalaman individu dalam
hidupnya. Menurut Szass & Caplan dalam Stuart & Laraia (2005), budaya dapat berguna
dalam mengartikan gangguan jiwa, terapi dan memastikan masa depan pasien.
Masalah Gangguan jiwa pada individu bisa terjadi karena kehidupan sosial individu
tersebut di dalam masyarakat. Ganguan jiwa yang disebabkan faktor lingkungan sosial ini
seperti isolasi sosial. Dimana  tindakan isolasi sosial ini akan membuat individu tersebut akan
menimbulkan masalah gangguan jiwa yang lebih kompleks yaitu halusinasi yang akan terjadi
oleh individu tersebut terhadap lingkungannya, keluarga, orang lain , bahkan dirinya
sendiri. Berdasarkan masalah-masalah di atas, kami tertarik untuk membahas model
konseptual keperawatan jiwa secara lebih mendalam khususnya tentang model sosial.
Banyak ahli kesehatan jiwa memiliki pandangan yang berbeda-beda mengenai konsep
gangguan jiwa dan bagaimana proses timbulnya gangguan jiwa. Perbedaan tersebut,
dijelaskan dalam teori model konseptual kesehatan jiwa. Setiap model konseptual memiliki
pandangan yang berbeda-beda mengenai konsep gangguan jiwa. Pandangan model
psikoanalisa berbeda dengan pandangan model sosial, model perilaku, model eksistensial,
model medical, berbeda pula dengan model stress – adaptasi. Masing-masing model memiliki
pendekatan unik dalam terapi gangguan jiwa.
Model konseptual merupakan kerangka kerja konseptual, sistem atau skema yang
menerangkan serangkaian ide global tentang keterlibatan individu, kelompok, situasi, atau
kejadian terhadap suatu ilmu dan perkembangannya. Model konseptual memberikan
keteraturan untuk berfikir, mengobservasi dan menginterpretasi apa yang dilihat, memberikan
arah riset untuk mengidentifikasi suatu pertanyaan untuk menjawab fenomena dan
menunjukkan pemecahan masalah (Christensen & Kenny, 2009)
Model konseptual keperawatan merupakan suatu cara untuk memandang situasi dan
kondisi pekerjaan yang melibatkan perawat di dalamnya. Model konseptual keperawatan
merupakan petunjuk bagi perawat untuk mendapatkan informasi agar perawat peka terhadap
apa yang terjadi pada suatu saat dengan dan tahu apa yang harus perawat kerjakan
(Brockopp, 1999, dalam Hidayati, 2009). Marriner-Tomey (2004), dalam Nurrachmah,
(2010) menjelaskan bahwa, model konseptual keperawatan telah memperjelas kespesifikan
area fenomena ilmu keperawatan dengan melibatkan empat konsep yaitu manusia sebagai
pribadi yang utuh dan unik. Konsep kedua adalah lingkungan yang bukan hanya merupakan
sumber awal masalah tetapi juga merupakan sumber pendukung bagi individu. Ketiga adalah
Kesehatan menjelaskan tentang rentang sehat - sakit sepanjang siklus mulai konsepsi hingga
kematian. Konsep keempat adalah keperawatan sebagai komponen penting dalam perannya
sebagai faktor penentu meningkatnya keseimbangan kehidupan seseorang (klien).
Model konseptual keperawatan merupakan suatu cara untuk memandang situasi dan
kondisi pekerjaan yang melibatkan perawat di dalamnya. Model konseptual keperawatan
memperlihatkan petunjuk bagi organisasi dimana perawat mendapatkan informasi agar
mereka peka terhadap apa yang terjadi pada suatu saat dengan apa yang terjadi pada suatu
saat juga dan tahu apa yang harus perawat kerjakan (Brockopp, 1999 : 73).
Model konseptual keperawatan jiwa mengurai situasi yang terjadi dalam situasi
lingkungan atau stresor yang mengakibatkan seseorang individu berupa menciptakan
perubahan yang adaktif dengan menggunakan sumber-sumber yang tersedia. Model
konseptual keperawatan jiwa mencerminkan upaya menolong orang tersebut
mempertahankan keseimbangan melalui mekanisme koping yang positif unutk mengatasi
stresor ini (Videbeck, 2008 : 54).
Model konseptual keperawatan Hildegard E. Peplau dikenal dengan “Interpersonal
Process”. Peplau berpikir bahwa psikodinamik keperawatan ditekankan pada kemampuan
yang dimiliki oleh perawat agar dapat memahami perilakunya sendiri dalam menolong orang
lain, sehingga mampu mengidentifikasi kesulitan yang dirasakannya. Bukunya yang sangat
berpengaruh di dunia keperawatan jiwa yaitu Interpersonal Relations in Nursing (1952), yang
bermakna hubungan perawat dan klien sebagai “sebuah proses interpersonal yang terapeutik
dan penting” (Alligood, 2014). Melalui pengembangan paradigma hubungan interpersonal ini
membantu perawat dalam meningkatkan pemahamannya tentang apa yang terjadi selama
hubungan perawat - klien dan perawat belajar dari tanggapan klien terhadap pengalaman
yang berhubungan dengan kesehatan dan penyakitnya (Querido et al., 2021). Model
konseptual Peplau terdiri dari empat fase dimulai dari fase orientasi, identifikasi, eksploitasi,
dan resolusi (Alligood, 2014).
Lebih lanjut Tomey mengatakan, konseptualisasi keperawatan umumnya memandang
manusia sebagai mahluk biopsikososial yang berinteraksi dengan keluarga, masyarakat, dan
kelompok lain termasuk lingkungan fisiknya. Cara pandang dan fokus penekanan pada skema
konseptual dari setiap ilmuwan dapat berbeda satu sama lain, seperti penekanan pada sistem
adaptif manusia, subsistem perilaku atau aspek komplementer.
Tujuan dari model konseptual keperawatan (Ali, 2001) : Menjaga konsistensi
pemberian asuhan keperawatan, Mengurangi konflik, tumpang tindih dan kekosongan
pelaksanaan asuhan keperawatan oleh tim keperawatan, Menciptakan kemandirian dalam
memberikan asuhan keperawatan, Memberikan pedoman dalam menentukan kebijaksanaan
dan keputusa, Menjelaskan dengan tegas ruang lingkup dan tujuan asuhan keperawatan bagi
setiap anggota tim keperawatan.
Berikut ini akan dijelaskan berbagai macam model konseptual yang dikembangkan
oleh beberapa ahli diantaranya menurut: Diantaranya Social (Caplan, Szasz) Model ini
berfokus pada lingkungan fisik dan situasi sosial yang dapat menimbulkan stress dan
mencetuskan gangguan jiwa (social and environmental factors create stress, which cause
anxiety and symptom). Menurut Szasz, setiap individu bertanggung jawab terhadap
perilakunya, mampu mengontrol dan menyesuaikan perilaku sesuai dengan nilai atau budaya
yang diharapkan masyarakat. Kaplan, meyakini bahwa, konsep pencegahan primer, sekunder
dan tertier sangat penting untuk mencegah timbulnya gangguan jiwa. Situasi sosial yaga
dapat menimbulkan gangguan jiwa adalah kemiskinan, tingkat pendidikan yang rendah,
kurangnya support system dan koping mekanisme yang mal adaptif. Selain itu dalam
bukunya “Principles of Community Psychiatry” menjelaskan bahwa upaya peningkatan
kesehatan jiwa berorientasi pada populasi, pendekatan krisis, konsultasi dan metode
kolaborasi untuk memberikan hasil yang lebih baik bagi populasi sasaran (Huffine, 2004).
Proses terapi: Prinsip proses terapi yang sangat penting dalam modifikasi lingkungan dan
adanya support system. Proses terapi dilakukan dengan menggali support system yang
dimiliki klien seperti: suami/istri, keluatga atau teman sejawat. Selain itu therapist berupaya :
menggali system sosial klien seperti suasana dirumah, di kantor, di sekolah, di masyarakat
atau tempat kerja.
Model Konseptual Sosial yang menyatakan bahwa perilaku dipengaruhi lingkungan
sosial dan budaya. Caplan percaya bahwa situasi sosial dan menjadi faktor predisposisi klien
mengalami gangguan mental, seperti kejadian kemiskinan, masalah keluarga dan pendidikan
yang rendah. Karena kondisi ini akhirnya individu mengalami ketidak mampuan mengkoping
stres, ditambah lagi dukungan dari lingkungan sangat sedikit. Individu mengembangkan
koping yang patologis. Seseorang akan mengalami gangguan jiwa atau penyimpangan
perilaku apabila banyaknya factor sosial dan factor lingkungan yang akan memicu
munculnya stress pada seseorang (social and environmental factor create stress, which cause
anxiety and symptom).
Pada lingkungan sosial yang mempengaruhi individu dan pengalaman hidupnya.
kondisi sosial bertanggung jawab terhadap penyimpangan perilaku. Prilaku yang dianggap
normal pada suatu daerah tertentu mungkin sebagai penyimpangan pada daerah yang lain.
Individu yang sudah dilabel atau dicap jika tidak dapat menyesuaikan diri dengan norma
lingkungan, maka perilaku tersebut memerlukan perawatan atau dirawat. Kaplan, meyakini
bahwa situasi sosial dapat mencetuskan gangguan jiwa. Oleh karena itu situasi yang dapat
menjadi pencetus: Kemiskinan, situasi keuangan tidak stabil, pendidikan tidak adekuat,
Kurang mampu mengatasi stress, Kurang support system.
Di dalam kehidupan sosial masyarakat, individu memiliki beberapa aspek faktor
terjadinya gangguan prilaku sosial terhadap individu.
Pertama Fisik, Kondisi fisik adalah salah satu kondisi tejadinya kehilangan organ
tubuh akibat bencana yang memerlukan pelayanan dalam rangka adaptasi terhadap kondisi
fisiknya. Tetapi disini lingkungan tidak dapat menerima dan memberikan adaptasi yang baik
sesuai dengan keadaan normal sebelumnya. Maka hal ini bisa menyebabkan sesorang tidak
mau bersosialisasi pada masyarakat sekitarnya. Ini merupakan salah satu factor pemicu
terjadinya HDR pada sesorang tersebut.
Kedua Psikologi, Berbagai masalah psikologi yang dialami masyarakat atau individu
seperti ketakutan, trauma, kecemasan maupun kondisi yang lebih berat di karenakan kondisi
suatu peristiwa atau insiden yang terjadi di lingkungan pada masa lalu.
Ketiga Sosial. Dimana seseorang akan mengalami keadaan duka dan konflik
berkepanjangan seperti kehilangan keluarga yang di cintai, kehilangan pekerjaan, tempat
tinggal dan harta benda akibat musibah yang melanda. Akibat tidak adanya pelayanan dari
berbagai sektor dapat memicu ketidakpuasan dalam kehidupan sosial.
Keempat Budaya. Semakin berkembangnya budaya idealisme di dalam masyarakat
kita menjadi lebih mementingkan diri masing - masing, yang seharusnya budaya lebih
mementingkan kebersamaan untuk menciptakan masyarakat yang lebih nyaman. Hal ini lah
yang dapat membuat terjadinya kesenjangan di dalam masyarakat.
Kelima spiritual. Nilai - nilai agama yang terlalu kuat di dalam masyarakat dapat
menimbulkan deskriminasi terhadap agama minoritas. Potensi inilah yang dapat berkembang
di masyarakat terjadinya konflik dan berbagai masalah yang tidak dapat terselesaikan.
Model Terapi. Peran perawat dalam memberikan terapi menurut model ini adalah
pasien harus menyampaikan masalah menggunakan sumber yang ada di masyarakat
melibatkan teman sejawat, atasan, keluarga atau suami-istri. Sedangkan terapis berupaya
menggali system sosial klien seperti suasana dirumah, di kantor, di sekolah, di masyarakat
atau tempat kerja.
Peran klien : 1. Bekerja samalah dengan terapis dengan menceritakan seluruh
masalah  yang dialaminya dan aktif terlibat dalam proses pemulihan. Disini tujuannya yaitu
perawat mampu menganalisa faktor utama yang menyebabkan klien mengalami gangguan
jiwa, selain itu klien juga dapat membina hubungan baik antara perawat  sehingga lebih
mudah dalam proses pemulihan. 2. Menggunakan sistem pendukung sosial. yang dimaksud
kan system pendukung sosial disini adalah selain terapis dalam proses pemulihan juga
diharapkan berperannya anggota keluarga lain yang dapat membantu karena klien akan lebih
mudah mengerti tujuan utama yang diharapkan oleh terapis jika yang menyampaikan adalah
orang terdekat klien. Selain itu dalam proses sosialisasi juga dibutuhkan alat bantu
pendukung seperti gambar, buku cerita sehingga klien lebih mudah untuk mengerti. 3.
Mengubah perilaku sehingga menjadi sehat. Disini klien diharapkan secara bertahap mampu
untuk memulihkan prilaku yang kurang baik menjadi baik, juga klien dapat mengerjakan
sesuatu dimulai dari hal yang terkecil seperti mengurusi mandi sendiri pada setiap hari.
Peran terapis : Terapi yang dianjurkan adalah terapi sosial dan pasien tidak dianjurkan
untuk dirawat di rumah sakit. Terapis dianjurkan untuk ke mengunjungi pasien di
masyarakat. Dan aktivitas yang dilakukan adalah penyuluhan terhadap kelompok masyarakat
dan konseling
Ketentuan hubungan pasien dan terapis (perawat) adalah terapi akan dapat menolong
pasien hanya apabila pasien meminta pertolongan. Pasien datang ke terapis untuk
menjelaskan masalahnya dan meminta untuk dibantu menenyelesaikan masalahnya. Pasien
juga mempunyai hak menolak intervensi terapeutik yang diberikan. Terapi akan sukses jika
pasien puasa dengan perubahan yang terjadi dalam hidupnya. Terapis bersama-sama dengan
pasien meningkatkan perubahan. Perubahan tersebut menyangkut membuat rekomendasi
tentang arti yang mungkin dari apa elemen penyesuain diri yang efektif, tidak termasuk
beberapa elemen yang termasuk dalam paksaan terhadap tindakan di rumah sakit jika pasien
tidak setuju dengan rekomendasi yang dianjurkan oleh terapis. Ketentuan dari terapi juga
termasuk didalamnya perlindungan pasien dari tuntutan sosial terhadap prilaku kekerasan di
lingkungan sosial (Caplan dalam Stuart & Laraia, 2005).
Terapi kelompok merupakan intervensi psikologis yang diberikan kepada beberapa
individu yang bertujuan untuk menangani masalah yang mereka hadapi yang dipandu oleh
terapis atau konselor (Gidron, 2020). Tujuan dari terapi kelompok terapeutik adalah
mengantisipasi dan mengatasi masalah yang diakibatkan gangguan fisik dan psikiatri dengan
mengembangkan potensi yang dimiliki oleh anggota kelompok itu sendiri (Keliat &
Pawirowiyono, 2005). Terapi kelompok terapeutik juga bertujuan untuk menawarkan
dukungan kepada pasien dari seorang terapis selama periode kekacauan, atau dekompensasi
sementara, memulihkan dan memperkuat pertahanan sementara serta mengintegrasikan
kapasitas yang telah terganggu (Grossmark, 2015; Sadock & Ruiz, 2015; Sadock, Sadock, &
Kaplan, 2009).
Aplikasi model sosial Caplan dalam terapi kelompok dapat dilihat pada penelitian
Surtiningrum, Hamid, dan Waluyo dalam (Keliat, 2019) yang menyatakan terapi suportif
dapat meningkatkan kemampuan bersosialisasi klien isolasi sosial. Penelitian Kealy et al.
(2020) juga menunjukan bahwa keterlibatan kelompok berkontribusi pada manfaat yang lebih
besar terhadap peningkatan fungsi sosial yang pada akhirnya meningkatkan kepuasan hidup
melalui pengobatan. Saswati dan Sutinah (2018) dalam penelitiannya juga memperoleh hasil
bahwa terdapat pengaruh terapi aktivitas kelompok sosialisasi terhadap kemampuan
sosialisasi pada klien isolasi sosial di ruang rawat inap Rumah Sakit Jiwa. Demikian juga
penelitian yang dilakukan oleh Hastuti et al. (2019) yang menunjukan bahwa ada pengaruh
penerapan TAK: permainan kuartet terhadap kemampuan sosialisasi pada pasien isolasi sosial
di RSJD Dr. RM. Soedjarwadi Provinsi Jawa Tengah.
Berdasarkan Penelitian yang dilakukan Dian Pitaloka Priasmoro pada tahun 2016
yang berjudul Literatur Review:Aplikasi Model Sosial Dalam Pelayanan Kesehatan Jiwa
Pada Ibu Hamil Dengan Hiv/Aids. Berdasarkan hasil artikel yang dikumpulkan dan analisa
penulis didapatkan bahwa situasi sosial dan menjadi faktor predisposisi klien mengalami
gangguan jiwa, seperti kejadian kemiskinan, masalah keluarga dan pendidikan yang rendah.
Karena kondisi ini akhirnya individu mengalami ketidakmampuan mengkoping stress,
ditambah lagi dukungan dari lingkungan sangat sedikit. Individu mengembangkan koping
yang patologis. Krisis juga bisa menyebabkan klien mengalami perubahan perilaku.Koping
yang selama ini dipakai dan dukungan dari lingkungan tidak dapat dipakai lagi sehingga klien
mengalami penyimpangan perilaku. Stressor dari lingkungan diperparah oleh hubungan sosial
seperti keluarga yang tidak memberikan dukungan, suami yang tidak bertanggung jawab,
anak yang nakal, tetangga yang buruk, atau teman sebaya yang jahat akan memunculkan
berbagai stressor dan membangkitkan kecemasan. Prinsip proses terapi yang penting dalam
konsep model social ini adalah Environment Manipulation and Social Support (pentingnya
modifikasi lingkungan dan adanya dukungan sosial). Sebagai contoh dirumah harus teratur ,
bersih, harum tidak bising, ventilasi cukup, penataan alat dan perabotan yang teratur.
Lingkungan kantor yang asri , bersahabat ada taman , tata lampu yang indah, hubungan kerja
yang harmonis, serta hubungan suami istri yang memuaskan. Peran perawat dalam
memberikan terapi menurut model ini adalah pasien harus menyampaikan masalah
menggunakan sumber yang ada dimasyarakat melibatkan teman sejawat, atasan, keluarga
atau suami istri. Sedangkan terapis berupaya menggali sistem sosial klien seperti suasana
dirumah, dikantor, disekolah, dimasyarakat atau tempat kerja (Yosep,2009).
Gangguan kesehatan jiwa yang umum meliputi depresi dan gangguan kecemasan. Di
Amerika serikat, prevalensi gangguan kesehatan jiwa yang umum terjadi saat kehamilan telah
diprediksi pada kisaran 8%-13%. Penyebab gangguan kesehatan jiwa umumnya disebabkan
karena posisi pada kehidupan sosial yang tidak berharga, yang ditunjukkan dengan rendahnya
tingkat pendidikan, pendapatan yang rendah, dan kehilangan atau tidak adanya dukungan
sosial. Terlebih lagi gangguan ini dapat disebabkan karena adanya faktor resiko yang terjadi
selama kehamilan atau kehamilan yang beresiko. Seperti gangguan penyakit penyerta saat
hamil, HIV/AIDS, prematur ataupun berat bayi saat lahir rendah. Kesemuanya itu akan
menyebabkan konsekuensi negatif saat post partum terutama kepada kesehatan psikologis
ibu, perilaku perkembangan anak, dan perkembangan saraf (Ibanez,Blondel,et al 2015).
Hampir 30% wanita hamil dengan riwayat stress, depresi, atau kecemasan
menunjukkan masalah kesehatan jiwa di masa mendatang. Di negara berkembang
kebanyakan terjadinya gangguan selama kehamilan dan persalinan bahkan dapat
menyebabkan kematian setelah periode perinatal.Lebih jauh lagi dua dekade belakangan hasil
penelitian menunjukkan bahwa kesehatan jiwa pada kehamilan yang buruk berhubungan
dengan kelahiran dan perkembangan anak yang selalu bermusuhan (Kingston,Austin,et al
2015).
Gangguan kesehatan jiwa pada wanita hamil dengan HIV/AIDS sering dihubungkan
dengan adanya stigma lingkungan terkait penderita penyakit HIV, dimana penyakit ini identik
dengan multi sexual partner, wanita perokok atau riwayat konsumsi alkohol maupun
penyalahgunaan zat. Pengucilan sosial atau isolasi sosial terhadap penderita sering menyertai
kondisi ini (Manenti, 2011).
Hal ini serupa dengan teori sosial yang disampaikan Szass dalam Kaplan&Saddock,
2014 yang menyatakan bahwa situasi sosial dapat menjadi faktor predisposisi dari gangguan
jiwa. Berdasarkan pendekatan model sosial ini kondisi sosial besar pengaruhnya terhadap
penyimpangan perilaku. Szass juga berpendapat bahwa lingkungan sosial dapat menjadi tidak
menyenangkan dengan memberikan suatu label pada individu. Individu yang diberikan label
tersebut biasanya tidak mampu menolak dan menyesuaikan diri dengan norma sosial dan
tingkah laku mereka biasanya akan cenderung mengisolasi diri. Dimensi kesehatan jiwa ini
hanya sedikit yang mengetahui dan memahami merupakan bagian dari pelayanan kesehatan
profesional. Terlebih lagi kesehatan jiwa ini merupakan aspek penting karena mencerminkan
kognitif dan emosional seseorang dalam siklus kehidupannya. Dimensi inilah yang pada
perkembangannya menjadi fokus kebijakan pelayanan kesehatan Internasional terutama bagi
wanita misalnya di Kanada dan Amerika Serikat. Pelayanan kesehatan promotif menjadi
penekanan utama pelayanan dibandingkan dengan upaya pengobatan penyakit. Kesejahteraan
individu merupakan hal yang sifatnya subyektif dan disana terdapat beberapa ciri pengukuran
diri (Ibanez,Blondel,Prunet et al 2015).
Menurut Duffy et al, 2015 pelayanan kesehatan jiwa dan HIV yang terintegrasi terdiri
dari 3 tahap, tahap pertama merupakan tahap screening kesehatan jiwa, perawat melakukan
identifikasi terjadinya depresi atau ansietas. Ada beberapa alat ukur yang digunakan misalnya
SSQ (Shona Symptom Questionare) yang dapat mengetahui gangguan misalnya ide tentang
bunuh diri, penyalahgunaan obat-obat.
Tahap kedua merupakan tahap intervensi terapeutik, dari data yang terkumpul pada
tahap pertama, klien menerima intervensi terapeutik untuk kesehatan jiwa yang positif.
Beberapa terapi kelompok diterapkan seperti Focus Group Discussion untuk menggali
informasi khusus dalam merencanakan intervensi terapeutik terintegrasi. Perawat melaporkan
klien lebih percaya diri dan tetap memiliki harapan dengan adanya ketersediaan konseling,
serta memahamkan klien tentang “bagaimana hidup setelah terdiagnosis HIV”. Termasuk
memberikan pemahaman kepada anggota keluarga dan teman-teman klien bahwa konseling
serta dukungan menjadi strategi yang sangat berguna.(Duffy, 2015). Dalam intervensi ini
perawat dapat menerapkan berbagai konseptual model keperawatan jiwa salah satunya
‘model sosial’. Dijelaskan model ini oleh beberapa ahli. Menurut Kulkarni, 2007 hubungan
terapeutik antara perawat dan klien dalam hal ini berperan sangat penting dalam bagian
penyembuhan klien secara menyeluruh. Intervensi secara khusus pada wanita sebagai seorang
ibu difokuskan pada kebutuhan khusus wanita. Sehingga wanita yang telah menjalani
pengobatan dan pemulihan emosional dapat kembali bekerja maupun menjalankan perannya
sebagai ibu. Sedangkan menurut Purwanto (2015) proses terapeutik klien dibantu untuk
menghadapi sistem sosialnya dengan menggunakan pendekatan primer, krisis intervensi
manipulasi lingkungan dan sistem pendukung sosial, keluarga dan masyarakat yang titik
pusatnya adalah kesehatan jiwa masyarakat. Peran klien dan terapis aktif menyampaikan
masalahnya dan bekerja sama untuk memperoleh resolusi. Terapis menggali atau
mengeksplorasi sistem sosial klien dan membantu pasien menggali sistem yang sesuai dan
menciptakan sumber baru. Sebagai hasil akhir pada tahap intervensi terapeutik ini menurut
Duffy et al (2015) adalah adanya dukungan dan keterlibatan anggota keluarga maupun
teman-teman klien dalam proses konseling. Keterlibatan atau dukungan sekitar dan laki-laki
sebagai pasangannya menunjukkan menjadi faktor yang krusial pada wanita dalam menerima
kehamilannya yang telah terdeteksi HIV/AIDS (Ezeanolue,2015)
Tahap ketiga atau tahap penerimaan adalah tahap dimana perawat menginisiasi dan
memfasilitasi klien berdasarkan penerimaan klien terhadap diri dan kondisinya.Penerimaan
ini sering terjadi secara internal dari dalam diri klien. Sedangkan secara eksternal dapat
terjadi karena konseling, perawat, penyedia layanan kesehatan seperti rumah sakit maupun
secara pendekatan agama Sehingga secara umum proses kunci yang perlu diperhatikan dalam
proses tersebut adalah adanya latihan dan supervisi dalam pelaksanaan kesehatan jiwa oleh
tenaga kesehatan, hambatan dalam penyediaan dukungan pelayanan psikososial untuk
menanggapi klien memerlukan dukungan dari level masyarakat, serta adanya kebijakan yang
menerima dan berorientasi terhadap pelayanan klien HIV yang terintegrasi (Duffy, et al
2015).
DAFTAR PUSTAKA

Zulhaini Sartika A, dkk. (2021). Teori dan Model Konseptual Kesehatan/Keperawatan Jiwa
yang Relevan dengan Terapi Kelompok. Di akses dari
https://j-hest.web.id/index.php/depan/article/view/49

Ns. Nurhalimah, S.Kep, M.Kep. Sp.Kep.J. Keperawatan Jiwa. Jakarta ; Pusdik SDM
Kesehatan

Stuart, sundeen. 1998. Buku saku Keperawatan jiwa edisi 3. Jakarta ; EGC

Ns.Erita,S.Kep.,M.Kep, Ns.Sri Hununwidiastuti,M.Kep.,Sp.Jiwa Ns.Hasian


Leniwita,S.Kep.,M.Kep. 2019. Buku Materi Pembelajaran Keperawatan Jiwa

Dian Pitaloka Priasmoro.(2016). Literatur Review:Aplikasi Model Sosial Dalam Pelayanan


Kesehatan Jiwa Pada Ibu Hamil Dengan Hiv/Aids. Diakses dari
https://jik.ub.ac.id/index.php/jik/article/view/62

Anda mungkin juga menyukai