Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

PENDEKATAN PEMBELAJARAN DI SEKOLAH DASAR

Disusun untuk memenuhi tugas

Mata kuliah

TEKNIK PENULISAN KARYA ILMIAH

Yang dibimbing oleh:

INDAH PERMAISARI S.Pd M.Pd

NAMA : ROBSON MELFIANTOSO

NIM : 859497515

JURUSAN : PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS TERBUKA

2022

1
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan ke Hadirat Allah SWT yang telah memberikan
Rahmat dan Hidayah-Nya kepada kita, dan tidak lupa pula kami
mengucapkan Do’a beserta salam kepada Nabi junjungan kita yakni Nabi
Muhammad SAW yang telah membawa kita dari alam yang tidak
berpendidikan ke alam yang berpendidikan, seperti yang dapat kita rasakan
sekarang ini.
Tidak lupa pula kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang
terkait dan membantu dalam menyelesaikan makalah ini, yakni:
1. Tuhan Yang Maha Esa
2. Indah Permaisari S.Pd M.Pd
3. Orang tua saya yang selalu mendukung.
4. Teman-teman yang selalu dukungan, kritikan, dan saran.
Kami menyusun Makalah Pendekatan Pembelajaran di Sekolah Dasar ini
bertujuan untuk memenuhi tugas yang diberikan oleh Dosen Mata Kuliah
Pendidikan Anak di SD dan agar bisa dimanfaatkan ke arah yang lebih baik bagi
pembacanya.
Dalam penulisan Makalah ini masih terdapat banyak kekurangan-kekurangan
yang harus diperbaiki, maka dari itu kami senantiasa menerima kritikan dan saran
dari pembaca Makalah ini.

Sumarorong, 23 Mey 2022

ROBSON MELFIANTOSO

2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .......................................................................................... 2
DAFTAR ISI ...................................................................................................... 3
BAB 1 PENDAHULUAN .................................................................................... 4
A. Latar Belakang ...................................................................................... 4
B. Rumusan Masalah ................................................................................. 5
C. Tujuan Penulisan ................................................................................... 5
D. Manfaat Penulisan ................................................................................ 5
BAB II PENDEKATAN PEMBELAJARAN DI SEKOLAH DASAR ............................ 6
A. Pendekatan Pembelajaran Holistik dan Kontruktivisme ...................... 6
1. Pengertian Pendekatan Pembelajaran .................................................. 6
a. Pendekatan holistik ............................................................................... 8
b. Pendekatan kontruktivisme .................................................................. 10
BAB III PENUTUP ............................................................................................. 14
A. Kesimpulan ........................................................................................... 14
B. Saran .................................................................................................... 15
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 16

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Arus globalisasi yang semakin canggih saat ini sangat memberikan peluang
yang besar kepada setiap individu, termasuk di dalamnya siswa Sekolah Dasar,
untuk mengakses berbagai informasi dengan mudah. Melalui informasi tersebut,
mereka dapat belajar banyak tentang berbagai hal yang dibutuhkannya.
Fenomena ini tidak berarti akan menggeser posisi guru dalam proses
pembelajaran, justru peran guru akan semakin penting. Gurulah yang memiliki
posisi strategis untuk mengorganisasikan siswa, menyeleksi informasi yang
penting, dan mengolah pesan sehingga tercipta suasana yang dapat menimbulkan
keinginan dalam diri siswa untuk melakukan aktivitas belajar. Sehingga guru
dituntut untuk menguasai berbagai pendekatan pembelajaran.
Pendekatan pembelajaran sendiri memiliki arti suatu sudut pandang
tentang proses pembelajaran yang masih dalam arti umum yang di dalamnya
dapat mewadahi, menguatkan, memberikan inspirasi. Penting untuk diperhatikan
adalah mana yang cocok untuk diterapkan pada proses pembelajaran. Adapun
pendekatan yang dipilih merupakan hasil dari penelaahan dan solusi yang tepat
dengan kondisi yang tepat pula.
Sebagai calon guru yang akan mengelola Sekolah Dasar, hendaknya kita
memahami bagaimana anak seusia SD melakukan aktivitas belajar sehingga dapat
menjadi fasilitator yang tepat bagi berlangsungnya belajar siswa. Diperlukan
pijakan yang jelas dan telah teruji keandalannya. Di sini kita akan memahami
mengenai berbagai pembelajaran di Sekolah Dasar. Ada dua pendekatan
pembelajaran yang akan dibahas, yakni: Holistik, Kontruktivisme
Pendekatan pembelajaran tersebut merupakan pembelajaran kontemporer
yang sedang trend dan digunakan di Sekolah Dasar saat ini yang telah teruji
secara empirik. Namun demikian, pendekatan pembelajaran tersebut dalam
penerapannya pada konteks Sekolah Dasar di Indonesia perlu pengkajian kreasi
dari para guru.

4
Akan lebih baik jika keunggulan dari masing-masing pendekatan itu bukan
diterapkan secara lugas melainkan dikreasikan kembali sehingga muncul
pendekatan pembelajaran yang sesuai dengan konteks Indonesia.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan umum dalam
makalah ini adalah: “Bagaimana pendekatan pembelajaran di Sekolah Dasar?”.
Sub-sub masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
 Apakah pedekatan pembelajaran Holistik?
 Apakah pedekatan pembelajaran Kontruktivisme?

C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan masalah di atas, maka tujuan penulisan umum dalam makalah
ini adalah: “Memahami berbagai pendekatan pembelajaran di Sekolah Dasar”.
Sub-sub tujuan dari penulisan dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
 Memahami pendekatan pembelajaran Holistik.
 Memahami pendekatan pembelajaran Kontruktivisme.

D. Manfaat penulisan
Adapun manfaat dalam penulisan makalah ini baik bagi penulis maupun
pembaca adalah sebagai berikut:
 Agar dapat mengetahui berbagai macam pendekatan pembelajaran di
Sekolah Dasar seperti pendekatan pembelajaran Holistik, pendekatan
pembelajaran Kontruktivisme.
 Agar dapat diaplikasikan di masa yang akan datang.

5
BAB II
PENDEKATAN PEMBELAJARAN DI SEKOLAH DASAR

A. Pendekatan Pembelajaran Holistik dan Konstruktivisme


1. Pengertian Pendekatan Pembelajaran
Ada dua istilah yang berkaitan erat dengan pembelajaran, yaitu pendidikan
dan pelatihan. Pendidikan lebih menitikberatkan pada pembentukan dan
pengembangan kepribadian, sehingga memiliki pengertian yang lebih luas.
Sedangkan pelatihan lebih menekankan pada pembentukan keterampilan.
Pendidikan dilaksanakan dalam lingkungan sekolah, sedangkan pelatihan pada
umumnya dilaksanakan dalam lingkungan industri. Akan tetapi, pendidikan
kepribadian saja belum cukup. Para siswa perlu juga memiliki keterampilan agar
dapat bekerja, bereproduksi, dan menghasilkan berbagai hal yang diperlukan
untuk memenuhi kebutuhannya. Oleh karena itu, kedua istilah tersebut
hendaknya tidak dapat dipisahkan melainkan perlu dipadukan dalam suatu
proses yang disebut pengajaran.
Perumusan tujuan merupakan hal yang utama dalam setiap proses
pengajaran agar senantiasa dapat diarahkan untuk mencapai tujuan yang telah
ditetapkan. Sehingga, proses pengajaran harus direncanakan agar dapat dikontrol
sejauh mana tingkat pencapaian tujuan yang telah ditetapkan. Itu sebabnya,
suatu sistem pengajaran selalu mengalami dan mengikuti tiga tahapan, yakni:
 Tahap analisis untuk menentukan dan merumuskan tujuan;
 Tahap sintesis yaitu tahap perencanaan proses yang akan ditempuh;
 Tahap evaluasi untuk menilai tahap pertama dan kedua. (Oemar
Hamalik, 1999)
Makna pembelajaran menurut Oemar Hamalik (1999) merupakan suatu
sistem yang tersusun dari unsur-unsur manusiawi, material, fasilitas,
perlengkapan, dan prosedur yang saling mempengaruhi pencapaian tujuan
pembelajaran. Manusia yang terlibat dalam sistem pengajaran terdiri dari siswa,
guru, dan tenaga lainnya, misalnya tenaga laboratorium. Material yang meliputi
buku-buku, papan tulis dan kapur, fotografi, slide dan film, audio dan video tape,
serta material lainnya. Fasilitas dan perlengkapan, terdiri atas ruangan kelas,

6
perlengkapan audio visual, juga komputer. Sedangkan prosedur, meliputi jadwal
dan metode penyampaian informasi, praktek, belajar, ujian, dan sebagainya.
Rumusan makna pembelajaran tersebut mengandung isyarat bahwa proses
pembelajaran tidak terbatas dilaksanakan dalam ruangan saja, melainkan dapat
dilaksanakan di sembarang tempat dengan cara membaca buku, informasi melalui
film, surat kabar, televisi, internet, dan sebagainya tergantung kepada organisasi
dan interaksi antara berbagai komponen yang saling berkaitan, untuk
membelajarkan siswa.
Dengan semakin meluas dan cepatnya arus informasi di era global, makin
memudahkan para siswa mengakses berbagai informasi yang gilirannya dapat
mempermudah terjadinya perilaku belajar. Namun demikian, hal tersebut tidak
otomatis menumbuhkan keinginan siswa untuk belajar. Untuk itu, peran guru dan
upaya bagaimana membelajarkan siswa tetap dianggap penting.
Dalam kegiatan belajar mengajar di Sekolah Dasar yang pada umumnya
menganut sistem guru kelas, setiap guru mengajarkan semua bidang studi, kecuali
Agama dan Olah raga pada kelas binaannya. Fenomena ini menunjukkan betapa
pentingnya keterampilan mengorganisasi siswa agar mereka dapat belajar. Guru
juga menghadapi bahan pengetahuan yang berasal dari buku teks, dari
kehidupan, sumber informasi lain, atau kenyataan di sekitar sekolah. Hal tersebut
menunjukkan betapa pentingnya keterampilan yang dimiliki guru untuk mengolah
pesan. Pembelajaran juga berarti meningkatkan kemampuan kognitif, afektif dan
keterampilan siswa yang dikembangkan bersama dengan perolehan pengalaman
belajar sesuatu.
Perolehan pengalaman-pengalaman tersebut merupakan suatu proses yang
berlaku secara deduktif, induktif, atau proses yang lain. Dengan menghadapi
sejumlah siswa, berbagai pesan yang terkandung dalam bahan ajar, peningkatan
kemampuan siswa, dan proses perolehan pengalaman, maka setiap guru
memerlukan pengetahuan tentang pendekatan pembelajaran (Dimyati dan
Mudjiono, 1999).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pendekatan pembelajaran
pada hakikatnya merupakan kerangka acuan yang dianut seorang guru dalam
praktek pembelajaran yang dilakukan melalui pengorganisasian siswa dan
pengolahan pesan untuk mencapai sasaran belajar berupa peningkatan

7
kemampuan kognitif, afektif dan psikomotor serta kepribadian siswa secara
keseluruhan.
a. Pendekatan Holistik
Pendekatan Holistik atau terpadu dalam pembelajaran, diilhami oleh
Psikologi Gelstalt yang dipelopori oleh Wertheimer, Koffka, dan Kohler. Menurut
mereka, objek atau peristiwa tertentu akan dipandang oleh individu sebagai suatu
keseluruhan yang terorganisasikan. Suatu objek atau peristiwa akan dapat dilihat
maknanya jika diamati dari segi keseluruhannya dan keseluruhan itu bukan
jumlah bagian-bagian. Sebaliknya suatu bagian baru akan bermakna jika berada
dalam kaitan dengan keseluruhan. Produk pembelajaran seharusnya tidak dilihat
dari dampaknya terhadap salah satu aspek individual siswa, melainkan harus dari
keseluruhan aspek yang mencakup dimensi fisik, sosial, kognitif, emosi, moral dan
kepribadian secara utuh.
Aplikasi, teori Gestalt dalam pendekatan pembelajaran antara lain adalah
dalam hal-hal sebagai berikut (Moh.Surya, 1999):
1. Pengalaman memahami (insight)
Berdasarkan percobaannya, Kohler menyatakan bahwa memahami memegang
peranan penting dalam perilaku. Sehubungan dengan hal itu dalam proses
pembelajaran, hendaknya guru membantu siswa agar para siswa memiliki
kemampuan insight yaitu kemampuan mengenal keterkaitan unsur-unsur dalam
suatu objek atau peristiwa. Guru juga hendaknya mengembangkan kemampuan
siswa dalam memecahkan masalah dengan proses insight.
2. Pembelajaran yang bermakna (meaningful learning)
Kebermaknaan unsur-unsur yang terkait dalam suatu objek atau peristiwa,
akan menunjang pembentukan insight dalam proses pembelajaran. Makin jelas
makna hubungan suatu unsur, akan makin efektif sesuatu dipelajari. Oleh karena
itu aturan-aturan yang mendasari unsur-unsur dalam suatu objek hendaknya
dipahami dan dijadikan dasar dalam pengembangan insight dan pemahaman
keseluruhan objek atau peristiwa. Hal ini sangat penting dalam kegiatan
pemecahan masalah khususnya dalam identifikasi masalah dan pengembangan
alternatif dan pemecahannya. Hal-hal yang dipelajari siswa hendaknya memiliki
makna yang jelas dan logis dengan proses kehidupannya.
3. Perilaku bertujuan (purposive behavior)
8
Prinsip ini dikembangkan oleh Edward Tolman yang meyakini bahwa pada
hakikatnya perilaku itu terarah kepada suatu tujuan. Perilaku bukan hanya
sekedar hubungan antara stimulus dan respon (tindak balas), akan tetapi adanya
keterkaitan yang erat dengan tujuan atau sesuatu yang ingin diperoleh. Bagi
Tolman, pembelajaran terjadi karena siswa membawa harapan-harapan
(expectancies) tertentu ke dalam situasi pembelajaran. Berdarkan prinsip ini,
proses pembelajaran akan lebih efektif apabila dapat membantu siswa untuk
mengenal tujuan yang akan dicapainya, selanjutnya mampu mengarahkan
perilaku belajarnya ke tujuan tersebut. Oleh karena itu, guru hendaknya
menyadari tujuan sebagai arah aktivitas pengajaran dan membantu siswa dalam
memahami tujuan itu untuk selanjutnya mengembangkan aktivitas pembelajaran
yang efektif.
4. Prinsip ruang hidup (file space)
Konsep ini dikembangkan oleh Kurt Lewin dalam teori medan (filed theory)
yang menyatakan bahwa perilaku individu mempunyai keterkaitan dengan
lingkungan atau medan di mana ia berada. Individu berada dalam suatu
lingkungan medan psikologis yang mempunyai pola-pola perilakunya. Prinsip ini
mengimplikasikan adanya padanan dan kaitan antara proses pembelajaran
dengan tuntutan dan kebutuhan lingkungan. Materi yang diajarkan guru
hendaknya memiliki padanan dan kaitan dengan situasi kondisi lingkungannya.
5. Transfer dalam pembelajaran
Transfer dalam pembelajaran adalah pemindahan pola-pola perilaku dari
suatu situasi pembelajaran tertentu kepada situasi lain. Sesuai dengan teori
Gestalt, pembelajaran mempunyai makna sebagai proses membentuk suatu pola
Gestalt atau keseluruhan atau konfigurasi yang mempunyai bentuk dan arti.
Menurut teori ini, transfer terjadi dengan jalan melepaskan pengertian atau objek
dari suatu konfigurasi lain dalam tata-susunan yang tepat. Sejalan dengan konsep
Gestalt ini, Judd mengembangkan teori generalisasi dalam pembelajaran. Judd
menekankan pentingnya penanganan prinsip-prinsip pokok yang luas dalam
pembelajaran dan kemudian menyusun ketentuan-ketentuan umum
(generalisasi). Menurut teori ini, transfer akan terjadi apabila siswa menangkap
prinsip-prinsip pokok dari suatu masalah, dan menemukan generalisasi untuk
kemudian digunakan dalam memecahkan masalah dalam situasi lain. Dalam
hubungan dengan pembelajaran di kelas, hendaknya guru membantusiswa untuk
menguasai prinsip-prinsip pokok darimateri-materi yang diajarkannya kemudian

9
dilatihkan untuk dapat diterapkan dalam situasi-situasi lain yang mungkin
berbeda sifatnya.
b. Pendekatan Kontruktivisme
Cikal bakal kontruktivisme bermula dari gagasan Giambatissta Vico, seorang
epistemolog Italia kemudian dimunculkan dalam tulisan Mark Baldwin yang
kemudian diperdalam dan disebarkan oleh Jean Piaget.
Para penganut kontruktivisme berpendapat bahwa pengetahuan itu adalah
merupakan kontruksi dari kita yang sedang belajar. Pengetahuan bukanlah
kumpulan fakta dari suatu kenyataan yang sedang dipelajari, tetapi merupakan
konstruksi kognitif seseorang terhadap objek, pengalaman, maupun
lingkungannya. Pengetahuan bukanlah sesuatu yang sudah ada di sana dan orang
tinggal mengambilnya tetapi merupakan suatu bentukan terus-menerus dari
seseorang yang setiap kali mengadakan reorganisasi karena munculnya
pemahaman yang baru (Paul Suparno, 1977).
Kaum kontruktivis menyatakan bahwa manusia dapat mengetahui sesuatu
dengan inderanya. Dengan berinteraksi terhadap objek dan lingkungannya
melalui proses melihat, mendengar, menjamah, membau dan merasakan, orang
dapat mengetahui sesuatu.
Bagi kaum ini, pengetahuan bukanlah sesuatu yang sudah tertentu, tetapi
merupakan proses menjadi. Menurut Von Glaserfeld, tokoh filsafat
kontruktivisme di Amerika Serikat, pengetahuan bukanlah suatu barang yang
dapat dipindahkan dari pikiran seseorang yang mempunyai pengetahuan (guru)
kepikiran orang yang belum punya pengetahuan (siswa). Bahkan bila guru
bermaksud untuk mentransfer konsep, ide dan pengertiannya kepada siswa,
pemindahan itu harus diinterprestasikan dan dikontruksikan oleh siswa sendiri
dengan pengalaman mereka. Von Glaserfeld menyebutkan beberapa kemampuan
yang diperlukan untuk proses pembentukan pengetahuan itu, seperti:
 Kemampuan mengingat dan mengungkapkan kembali pengalaman;
 Kemampuan membandingkan dan mengambil keputusan akan
kesamaan dan perbedaan; dan
 Kemampuan untuk lebih menyukai suatu pengalaman yang satu
daripada yang lain.

10
Bagi kontruktivis, pengetahuan bukanlah kenyataan ontologis. Malah
secara ekstrim mereka menyatakan bahwa kita tidak dapat mengerti realitas
(kenyataan) yang sesungguhnya, yang kita mengerti adalah struktur kontruksi kita
akan suatu objek. Bettencourt menyatakan memang kontruktivisme tidak
bertujuan mengerti realitas, tetapi lebih menekankan bagaimana kita tahu atau
menjadi tahu. Bagi kontruktivisme, realitas hanya ada sejauh berhubungan
dengan pengamat.
Kontruktivisme meletakkan kebenaran dari pengetahuan dengan
viabilitisnya, yaitu berlakunya konsep atau pengetahuan itu dalam penggunaan.
Semakin dalam dan luas suatu pengetahuan dapat digunakan, semakin luas
kebenarannya. Dalam kaitan ini maka pengetahuan tarafnya, mulai dari yang
berlaku secara terbatas sampai yang lebih umum sehingga pengetahuan itu ada
batasnya.
Bettencourt menyebutkan beberapa hal yang membatasi proses kontruksi
pengetahuan, yaitu:
 Kontruksi yang lama;
 Domain pengalaman kita; dan
 Jaringan struktur kognitif kita.

Proses dan hasil kontruksi pengetahuan kita yang lalu menjadi pembatas
kontruksi pengetahuan kita yang mendatang. Pengalaman akan fenomena yang
baru menjadi unsur yang penting dalam pembentukan dan pengembangan
pengetahuan, dan keterbatasan pengalaman akan membatasi pengetahuan kita
pula. Von Glaserfeld membedakan tiga level kontruktivisme dalam kaitan
hubungan pengetahuan dan kenyataan, yakni kontruktivisme radikal, realisme
hipotesis, dan kontruktivisme yang biasa.
Von Glaserfeld membedakan tiga level pengetahuan dan kenyataan, yakni
hipotetik, dan kontruktivisme yang biasa. Kontruktivisme radikal
mengesampingkan hubungan antara pengetahuan dan kenyataan sebagai kriteria
kebenaran. Bagi kaum radikal pengetahuan adalah suatu pengaturan atau
organisasi dari suatu objek yang dibentuk oleh seseorang. Menurut aliran ini kita
banyak tahu apa yang dikontruksi oleh pikiran kita. Pengetahuan bukanlah
representasi kenyataan. Realisme hipotetik memandang pengetahuan sebagai
suatu hipotesis dari struktur kenyataan dan sedang berkembang menuju

11
pengetahuan sejati yang dekat dengan realitas. Sedangkan kontruktivisme yang
biasa masih melihat pengetahuan sebagai suatu gambaran yang dibentuk dari
kenyataan suatu objek.
Dari segi subjek yang membentuk pengetahuan, dapat dibedakan amtara
kontruktivisme psikologis, personal dan sosio-kulturalisme, dan kontruktivisme
sosilogis. Personal dengan tokohnya Piaget menekankan bahwa pengetahuan
dibentuk oleh seseorang secara pribadi di dalam berinteraksi dengan pengalaman
objek yang dihadapinya. Sosiokulturalisme yang ditokohi oleh Vygotsky,
menjelaskan bahwa pengetahuan dibentuk baik secara pribadi tetapi juga oleh
interaksi sosial dan kultural dengan orang-orang yang lebih tahu tentang hal itu
dan lingkungan yang mendukung. Sedangkan kontruktivisme sosiologis
menyatakan bahwa pengetahuan itu dibentuk oleh masyarakat sosial.
Pandangan kontruktivisme pengetahuan pada dasarnya dibangun oleh
siswa melalui interaksi dengan lingkungan. Asumsi ini mengisyaratkan bahwa
proses yang bermakna bagi siswa akan terjadi kalau ia berbuat atas
lingkungannya, mengkreasi, atau memanipulasi objek. Menurut Greenberg (1984)
siswa akan terlibat dalam belajar secara intensif jika ia membangun sesuatu
daripada sekedar melakukan atau meniru yang diangun orang lain.
Pengetahuan baru itu dibangun anak melalui interaksi antara pengalaman
eksternal dan struktur mental internal. Pentingnya interaksi sosial bagi
perkembangan kognitif dan berfikir siswa juga ditegaskan oleh Vygotsky (Berk,
1994). Dengan alinea mengacu kepada pandangan kontruktivisme., Bredekamp
dan Rosegrant (1992) akhirnya menyimpulkan bahwa anak akan belajar dengan
baik dan bermakna apabila dalam proses pembelajaran tersebut:
o Anak merasa aman secara psikologis serta kebutuhan-kebutuhan
fisiknya terpenuhi,
o Anak mengkontruksi pengetahuan,
o Anak belajar melalui interaksi sosial dengan orang dewasa dan anak-
anak lainnya,
o Anak belajar melalui bermain,
o Minat dan kebutuhan anak untuk mengetahui dapat terpenuhi, dan
o Unsur variasi individual anak diperhatikan.

12
M. solehuddin (1999) merumuskan sejumlah pemikiran yang
memungkinkan aktivitas belajar anak SD lebih bermakna dengan menerapkan
prinsip konstruktivisme. Jika para guru cenderung menggunakan cara
pembelajaran yang terarah dengan berpusat pada guru (teacher-centered
teaching approuch), tentu pendekatan itu tidak relevan dengan prinsip-prinsip
pandangan konstruktivistik. Cara mengajar demikian tidak memberikan peluang
kepada anak untuk mengkreasi dan membangun pengetahuan. Sebaliknya,
pandangan kontruktivisme menghendaki para guru untuk menerapkan
pendekatan mengajar yang berpusat pada anak (child-centered teaching
approuch). Secara lebih rinci, cara pembelajaran anak yang diharapkan dapat
dideskripsikan berikut ini:
o Orientasi mengajar tidak hanya pada segi pencapaian prestasi
akademik,
o Untuk membuat pelajaran bermakna bagi anak, topik-topik yang
dipilih dan dipelajari didasarkan pada pengalaman-pengalaman anak
yang relevan,
o Metode mengajar yang digunakan harus membuat anak terlibat
dalam suatu aktivitas langsung dan bersifat bermain yang
menyenangkan atau a pleasurable hands-on and playful activity dan
bukannya sekedar membuat anak mengikuti pelajaran yang alami
dan bermakna,
o Dalam proses belajar, kesempatan anak untuk bermain dan bekerja
sama dengan orang lain juga diprioritaskan.
o Bahan-bahan pelajaran yang digunakan hendaknya bahan-bahan
yang konkrit dan kalau mungkin ini bahkan yang sebenarnya,
o Dalam menilai hasil belajar siswa, para guru tidak hanya menekankan
aspek kognitif dengan menggunakan tes tertulis (paper-pencil test),
tetapi harus pula mencakup semua domain perilaku anak yang
relevan dengan melibatkan sejumlah alat penilaian,
o Ide di atas akhirnya diimplikasikan perlunya guru menampilkan peran
utama sebagai guru dalam proses pembelajaran anak, dan bukannya
sebagai transmitor pengetahuan kepada anak.

13
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Pendekatan pembelajaran pada hakikatnya merupakan kerangka acuan yang
dianut seorang guru dalam praktek pembelajaran yang dilakukan melalui
pengorganisasian siswa dan pengolahan pesan untuk mencapai sasaran belajar
berupa peningkatan kemampuan kognitif, afektif dan psikomotor serta
kepribadian siswa secara keseluruhan.
Pendekatan Holistik atau terpadu dalam pembelajaran, diilhami oleh Psikologi
Gelstalt yang dipelopori oleh Wertheimer, Koffka, dan Kohler. Menurut mereka,
objek atau peristiwa tertentu akan dipandang oleh individu sebagai suatu
keseluruhan yang terorganisasikan. Aplikasi, teori Gestalt dalam pendekatan
pembelajaran antara lain adalah dalam hal-hal sebagai berikut (Moh.Surya, 1999):
pengalaman memahami (insight), pembelajaran yang bermakna (meaningful
learning), perilaku bertujuan (purposive behavior), prinsip ruang hidup (file
space), dan transfer dalam pembelajaran.
Para penganut kontruktivisme berpendapat bahwa pengetahuan itu adalah
merupakan kontruksi dari kita yang sedang belajar. Pengetahuan bukanlah
kumpulan fakta dari suatu kenyataan yang sedang dipelajari, tetapi merupakan
konstruksi kognitif seseorang terhadap objek, pengalaman, maupun
lingkungannya. Pengetahuan bukanlah sesuatu yang sudah ada di sana dan orang
tinggal mengambilnya tetapi merupakan suatu bentukan terus-menerus dari
seseorang yang setiap kali mengadakan reorganisasi karena munculnya
pemahaman yang baru (Paul Suparno, 1977).
Kontruktivisme meletakkan kebenaran dari pengetahuan dengan viabilitisnya,
yaitu berlakunya konsep atau pengetahuan itu dalam penggunaan. Semakin
dalam dan luas suatu pengetahuan dapat digunakan, semakin luas kebenarannya.
Dalam kaitan ini maka pengetahuan tarafnya, mulai dari yang berlaku secara
terbatas sampai yang lebih umum sehingga pengetahuan itu ada batasnya.

14
Von Glaserfeld membedakan tiga level pengetahuan dan kenyataan, yakni
hipotetik, dan kontruktivisme yang biasa. M. solehuddin (1999) merumuskan
sejumlah pemikiran yang memungkinkan aktivitas belajar anak SD lebih bermakna
dengan menerapkan prinsip konstruktivisme.
Dengan mengacu kepada pendapat Walter dan Marks (1981), Wisnubrata
selanjutnya mengemukakan definisi lain yaitu:
B. Saran
Sebagai calon guru hendaknya kita memilih menggunakan pendekatan
pembelajaran model seperti apa, usahakan untuk mengetahui kebutuhan yang
cocok untu berbagai macam karakteristik siswa, dan jangan memaksakan
menggunakan pendekatan pembelajaran namun bertentangan dengan realita
siswa. Sehingga dapat dicapai hasil belajar siswa yang memuaskan.

15
DAFTAR PUSTAKA

Endra Maulana. (2014). Dunia Informasi Pendidikan Teraktual. (Online).


(http://www.informasi-pendidikan.com/2014/01/pengertian-pendekatan.html?
m=1, dikunjungi 4 November 2013).
Mikarsa, H.L, dkk. (2005). Pendidikan Anak Di SD. Jakarta:Universitas Terbuka.

16

Anda mungkin juga menyukai