OLEH : KELOMPOK V
(LIMA)
Kelompok V
DAFTAR ISI
Status gizi adalah salah satu unsur penting dalam membentuk status kesehatan. Status
gizi (nutritional satus) adalah keadaan yang diakibatkan oleh keseimbangan antara
asupan zat gizi dari makanan dan kebutuhan zat gizi oleh tubuh. Status gizi sangat
dipengaruhi oleh asupan gizi. Pemanfaatan zat gizi dalam tubuh dipengaruhi oleh dua
faktor, yaitu primer dan sekunder. Faktor primer adalah keadaan yang mempengaruhi
asupan gizi dikarenakan susunan makanan yang dikonsumsi tidak tepat, sedangkan
faktor sekunder adalah zat gizi tidak mencukupi kebutuhan tubuh karena adanya
gangguan pada pemanfaatan zat gizi dalam tubuh (Agus, S, 2016).
Masalah gizi di Indonesia yang terbanyak meliputi gizi kurang atau yang mencakup
susunan hidangan yang tidak seimbang maupun konsumsi keseluruhan yang tidak
mencukupi kebutuhan badan. Anak balita (1-5 tahun) merupakan kelompok umur
yang paling sering menderita akibat kurang gizi (KEP) atau termasuk salah satu
kelompok masyarakat yang rentan gizi. Masalah gizi kurang dan gizi buruk kembali
ditemukan pada awal 2008, di Jawa Timur sebanyak 5000 balita dinyatakan
mengalami masalah kurang gizi, hal ini disebabkan oleh tingginya jumlah penduduk
miskin di daerah tersebut (Agus, S, 2016).
Ada beberapa cara melakukan penilaian status gizi pada seorang anak balita (bawah
lima tahun). Salah satunya adalah dengan pengukuran tubuh manusia yang dikenal
dengan antropometri. Antropometri gizi merupakan penilaian status gizi dengan
pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan
tingkat gizi. Berbagai jenis ukuran tubuh antara lain : berat badan, tinggi badan,
lingkar lengan atas, lingkar kepala, lingkar dada, dan lapisan lemak bawah kulit
(Susilowati, 2008)
Rujukan adalah baku pertumbuhan yang merupakan standar pertumbuhan pada suatu
negara, tetapi dapat digunakan sebagai acuan pertumbuhan di negara lain. Beberapa
contoh baku rujukan yang tersedia adalah baku Harvard, baku Tunner, baku WHO-
NCHS (World Health Organization-National Centre Health Statistic). Rujukan Harvard
dan rujukan WHO-NCHS pernah digunakan di Indonesia sebagai rujukan pertumbuhan
anak. Rujukan terdiri dari dua bentuk, yaitu rujukan lokal dan rujukan internasional.
Rujukan lokal adalah rujukan pertumbuhan yang menjadi rujukan penilaian status gizi
pada suatu wilayah atau negara tertentu. Indonesia pada tahun 1980-an pernah
menggunakan rujukan lokal. Rujukan lokal yang digunakan berasal dari standar
Harvard yang disesuaikan dengan normapertumbuhan anak-anak di Indonesia, dengan
cara mengurangi nilai standar pertumbuhan yang ada pada standar Harvard.
Kelemahan rujukan lokal adalah status gizi yang dihasilkan tidak dapat dibandingkan
dengan status gizi dari negara lain (Kemenkes RI, 2011).
Rujukan internasional adalah standar pertumbuhan yang berlaku pada negara tertentu,
kemudian dijadikan rujukan pertumbuhan pada negara lain. Pada tahun 1990-an di
Indonesia menggunakan standar pertumbuhan WHO-NCHS. Standar WHO-NCHS ini
dalam pembuatannya menggunakan pertumbuhan anak-anak dari satu negara, yaitu
USA. Akibatnya, status gizi yang dihasilkan dengan menggunakan rujukan WHO-
NCHS adalah anak-anak Indonesia cenderung memiliki masalah gizi yang tinggi.
Sebagai contoh, seorang anak balita laki-laki berumur 48 bulan memiliki berat
badan 14,9 kg. Nilai median berat badan anak laki-laki berumur 48 bulan adalah
16,7 kg maka nilai persen terhadap median anak tersebut adalah:
14,9 x 100% = 89,2%
16,7
Jika batas ambang untuk indeks BB/U >80% dikategorikan normal atau baik,
anak dengan nilai 89,2% tersebut tergolong dalam keadaan gizi normal atau baik.
Cara penghitungan ini dapat diterapkan pada indikator status gizi lainnya, yaitu
TB/U dan BB/TB.
Kelemahan penilaian status gizi berdasarkan persen terhadap median adalah nilai
persen median tidak menggambarkan distribusi perubahan status gizi pada suatu
populasi. Nilai ini tidak selalu memberikan gambaran yang sama untuk setiap
umur. Jika hasil penilaian status gizi menurut umur diplot pada grafik, kurva
prevalensi kekurangan energi protein (KEP) yang diperoleh akan menunjukkan
distribusi yang bervariasi. Kelompok umur termuda memberi gambaran status
gizi yang lebih berat dibandingkan dengan kelompok umur lebih tua.
2.1.3 Persentil
Penilaian status gizi berdasarkan persentil dilakukan dengan membandingkan
nilai rata-rata status gizi terhadap nilai 50 persentil (median) baku rujukan. Nilai
normal terbawah adalah 3 persentil dan teratas 97 persentil. Batas ambang yang
digunakan untuk kategori KEP adalah di bawah 3 persentil. Jika posisi indeks
BB/U seorang anak berada di bawah 3 persentil, status gizi anak tersebut
dikategorikan sebagai KEP.
Kelemahan persentil adalah status gizi pada kelompok yang posisi berat atau
tinggi badannya berada di bawah batas terendah (3 persentil) tidak terliput
sehingga informasi keadaan status gizi golongan ini tidak terpantau. Selain itu,
penggunaan 3 persentilsebagai batasnormalnila; terendah di negara-negara
berkembang tampaknya terlalu tinggi. Batasan ini ditetapkan berdasarkan hasil
analisis data survei di negara-negara maju.
Contoh 1
Seorang anak laki-laki memiliki tinggi badan 69 cm dan berat badan 6,3 kg.
Berdasarkan tabel distribusi normal dari baku WHO-NCHS pada tinggi badan 69
cm, dapat diketahui nilai median berat badan adalah 8,5 kg dan nilai - 1SD
adalah 7,5 kg. Maka, nilai z-skor BB/TB dapat dihitung sebagai berikut.
(6,3 - 8,5) = - 2,2
1,0
Nilai SD (simpang baku) anak laki-laki tersebut adalah 8,5-7,5 = 1,0 maka dapat
dihitung nilai z-skor anak laki-laki itu adalah:
Contoh 2
Seorang anak perempuan memiliki tinggi badan 93,5 cm dan berat badan 17 kg.
Berdasarkan tabel distribusi normal dari baku WHO-NCHS pada tinggi badan
93,5 cm, dapat diketahui nilai median berat badan adalah 13,7 kg dan nilai 1SD
adalah 15,2 kg maka nilai z-skor BB/TB dapat dihitung sebagai berikut.
Nilai SD anak perempuan dengan tinggi 93,5 cm adalah 15,2-13,7 = 1,5 maka,
dapat dihitung nilai z-skor anak perempuan itu adalah:
Standar pertumbuhan bagi anak dan remaja usia 5 tahun 1 bulan sampai 19 tahun,
juga telah dikembangkan oleh WHO dengan sebutan Standar Pertumbuhan anak
dan remaja WHO 2007. Indikator pertumbuhan yang terdapat pada Standar
Pertumbuhan WHO 2007 dikelompokkan dalam 3 indikator, yaitu indikator berat
badan menurut umur (BB/U) untuk anak usia 5 tahun 1 bulan sampai dengan 10
tahun, indikator tinggi badan menurut umur (TB/U) untuk anak usia 5 tahun 1
bulan sampai usia 19 tahun, dan indikator indeks masa tubuh menurut umur
(IMT/U) untuk anak usia 5 tahun 1 bulan sampai usia 19 tahun. Pemanfaatan
standar WHO 2007 untuk pemantauan pertumbuhan remaja pada dasarnya sama
dengan standar pertumbuhan anak WHO 2005.
Standar pertumbuhan WHO 2005 menjelaskan bahwa penilaian status gizi
dihitung berdasarkan nilai simpangan baku. Nilai simpangan baku disebut juga
standar deviasi (SD) atau z-skor. Nilai ini digunakan untuk memperkirakan
seberapa jauh penyimpangan dari nilai median. Penghitungan nilai z-skor berbeda
untuk setiap populasi rujukan, tergantung pola distribusinya, apakah normal atau
tidak normal.
Gambar di atas menunjukkan sebaran data yang terdistribusi normal. Sebaran data
tinggi badan anak laki-laki maupun perempuan pada umur tertentu umumnya
membentuk distribusi normal (hampir normal). Kurva di atas adalah distribusi
normal yang merupakan sebaran data dari tinggi badan anak laki-laki atau
perempuan dalam jumlah besar pada umur tertentu. Pada sebaran data distribusi
normal, nilai z-skor -1 dan 1 mempunyai jarak yang sama dari angka median,
tetapi dengan arah yang berbeda (Kemenkes RI, 2011). Karena distribusi tinggi
badan selalu terdistribusi normal maka untuk menghitung nilai z-skor indikator
tinggi badan menurut umur (TB/U) menggunakan rumus berikut.
Contoh
Seorang anak laki-laki bernama Sam berumur 2 tahun 4 bulan, mempunya tinggi
badan 96,1 cm. Nilai median standar untuk tinggi badan anak lakilaki yang
berumur 2 tahun 4 bulan (28 bulan) adalah 90,4 cm. Nilai z-skor populasi standar
adalah sebesar 3,3 (lihat tabel 5.1) maka dapat di hitung nilai z-skor TB/U Sam
sebagai berikut.
Pada sebaran data distribusi tidak normal, jarak antar z-skor tidak sama. Sebagai
contoh, jarak antara nilai z-skor 3 dan 2 lebih besar dibandingkan jarak antara nilai
z-skor 2 dan 1. Untuk menghitung nilai z-skor dari satu hasil pengukuran,
diperlukan perhitungan dengan menggunakan rumus berikut.
Rumus ini kemudian disebut dengan rumus LMS. Rumus ini digunakan terutama
untuk menghitung nilai z-skor indikator berat badan menurut umur (BB/U), berat
badanmenurut panjangbadan(BB/PB),berat badan menurut tinggi badan (BB/TB),
dan indeks massa tubuh menurut umur (IMT/U).
Contoh
Seorang anak bernama Sam (anak laki-laki pada contoh sebelumnya) mempunyai
berat badan 11,9 kg dan umur 2 tahun 4 bulan. Untuk menghitung nilai z-skor
indikator BB/U, perlu mengetahui nilai standar M, L, dan S. Nilai z-skor BB/U
Sam adalah sebagai berikut (lihat Tabel 5.2).
Setiap tahun, sekitar 10,5 juta kematian anak terkait kekurangan gizi, dan 98% dari
kasus kematian ini terjadi di negara berkembang (Dividend, 2007). Target SDGs yang
ingin dicapai pada tahun 2030, memastikan sistem produksi pangan yang
berkelanjutan, peningkatan kerja sama internasional dan mengenai cadangan pangan
untuk membantu membatasi perubahan ekstrim harga pangan, mengakhiri kelaparan
dan segala bentuk kekurangan gizi yang diharapkan dapat meningkatkan gizi
masyarakat (World Health Organization, 2016).
Monitoring antropometri juga diperlukan, sebagai skrining awal dari masalah gizi,
termasuk stunting dan wasting sehingga memudahkan intervensi yang akan dilakukan
untuk mencegah efek jangka panjang dan tahap selanjutnya dalam siklus
perkembangan balita. Penelitian yang dilakukan oleh McDonald et al., (2012) di
Tanzania menyatakan bahwa prematuritas dan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR)
merupakan faktor penting yang dapat mempengaruhi stunting, wasting, dan
underweight pada anak usia 6-24 bulan. Selain itu, pendidikan ibu, sumber air minum
dan sanitasi yang tidak aman, juga memiliki hubungan yang berkaitan erat dengan
kejadian stunting. Faktor lain yang juga ikut berpengaruh adalah status ASI eksklusif,
ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Tiwari et al., (2014) bahwa ada
hubungan yang signifikan antara pemberian ASI eksklusif dengan kejadian stunting
pada balita. Riset lain menunjukkan bahwa tingkat sosial ekonomi keluarga anak
mempunyai dampak signifikan pada pertumbuhan dan perkembangan. Pada semua usia
anak dari keluarga kelas atas dan menengah mempunyai tinggi badan lebih dari
keluarga strata ekonomi rendah.
Hasil riset WHO tahun 2013 menunjukkan prevalensi stunting dan wasting
internasional pada balita masing-masing 37,2% dan 12,1%, prevalensi ini
menunjukkan belum ada perubahan, bahkan ada peningkatan dari tahun sebelummnya,
yaitu 36.8% dan 35.6% untuk stunting. Prevalensi wasting berturut-turut sebesar 13.6%
dan 13.3%. Sedangkan prevalesi anak sangat pendek sebanyak 27.6% dan 15% anak
masuk dalam kategori pendek. Untuk anak sangat kurus 5.6% dan 6.2% masuk dalam
kategori kurus. Masalah kesehatan masyarakat dianggap tinggi bila prevalensi
kependekan sebesar 30-39% dan prevalensi dikatakan sangat tinggi bila 40%. Kejadian
wasting sudah dianggap serius bila prevalensi BB/TB kurus pada balita 11.8%.
Definisi operasional stunting adalah status responden yang dinilai berdasarkan data
antropometri, yaitu tinggi badan/menurut umur. Alat ukur yang digunakan adalah
penimbangan dengan timbangan digital dan tinggi badan dengan stature meter yang
mengacu pada standar World Health Organization (WHO). Wasting adalah status
responden yang dinilai berdasarkan data antropometri, yaitu berat badan/tinggi badan.
Alat ukur yang digunakan adalah penimbangan dengan timbangan digital dan tinggi
badan dengan stature meter yang mengacu pada standar WHO.
Pada tahun 2005, WHO mengeluarkan sebuah kurva pertumbuhan "standar" yang
menggambarkan pertumbuhan anak umur 0-59 bulan di lingkungan yang diyakini
dapat mendukung pertumbuhan optimal anak. Untuk membuat kurva pertumbuhan ini,
WHO melakukan penelitian multicenter pada tahun 1997 sampai 2003 dengan tujuan
untuk menggambarkan pertumbuhan anak yang hidup di lingkungan yang tidak
memiliki faktor penghambat pertumbuhan. Data dikumpulkan dari 6 negara yaitu
Brazil, Ghana, India, Norwegia, Oman dan Amerika (IDAI, 2013). Studi Referensi
Pertumbuhan Multicenter WHO (MGRS) dibentuk untuk mengumpulkan data untuk
membuat kurva pertumbuhan dari lahir sampai usai 5 tahun. Karakteristik kunci dari
standar baru ini adalah membuat menyusui sebagai norma biologis dan menetapkan
ASI sebagai model pertumbuhan normatif (Onis et al, 2014).
2. Individual Assessment
Individual assesment berguna untuk memantau perkembangan anak dari waktu
ke waktu selama balita (59 bulan). Jika sudah lewat dari 59 bulan menggunakan
Anthro Plus. Software ini merupakan prediksi pemakaian di posyandu modern.
Jika data pengukuran selama balita dimasukkan, dapat dicetak menjadi grafik
lengkap seperti halnya Kartu Menuju Sehat (KMS).
Keluarannya sama seperti pada sub-menu antropometric calculator yakni; z
score dan grafik z score, tetapi juga bisa digunakan untuk mengamati
perkembangan motorik balita , nilai z score dan data antropometri-pun dapat
disimpan dalam basis data kemudian dapat juga disajikan dalam bentuk
laporan.
3. Nutritional Survey
Nutritional survey berguna untuk mengolah data status gizi balita secara massal
(di suatu daerah), dimana merupakan hasil pengumpulan data secara cross
sectional (survey/penelitian). Sehingga didapatkan hasil perbandingan status
gizi antara satu anak dengan anak lain dan dibandingkan dengan sebuah kurva
normal.
Dalam pengolahan data lanjutan harus disertai perangkat lunak lainnya seperti
Mc. Excel dan SPSS. Dalam pengolahan data tersebut Mc. Excel digunakan
untuk pengolahan data secara otomatis, dapat berupa perhitungan dasar, rumus,
pemakaian fungsi-fungsi, pengolahan data dan tabel, pembuatan grafik dan
manajemen data. Sementara itu SPPS (Statistical Package for The Social
Sciences) dapat digunakan untuk pengklasifikasian data atau mempermudah
dalam mengolah data, sehingga data yang ada dapat menjadi data yang mudah
dibaca. sebagai contohnya yaitu pengolahan data penilaian status gizi.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Ada beberapa cara melakukan penilaian status gizi pada seorang. Salah satunya adalah
dengan pengukuran tubuh manusia yang dikenal dengan antropometri. Antropometri
gizi merupakan penilaian status gizi dengan pengukuran dimensi tubuh dan komposisi
tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi.
WHO anthro yang dapat digunakan untuk menghitung status gizi dan memantau
perkembangan motorik anak. Aplikasi tersebut menggunakan data antropometri seperti
umur, berat badan, tinggi badan, lingkar lengan, dan lingkar kepala sehingga tidak
perlu dilakukan lagi melakukan perhitungan manual untuk penilaian status gizi.
3.2 Saran
Penyusun menyadari makalah ini banyak sekali memiliki kekurangan yang jauh dari
kata sempurna. Tentunya akan terus memperbaiki makalah dengan mengacu kepada
sumber yang bisa dipertanggung jawabkan nantinya. Oleh sebab itu penyusun
mengharapkan adanya kritik serta saran mengenai makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
De Onis M, Onyango AW, Van den Broeck J, Chumlea WC, Martorell R for the WHO
Multicentre Growth Reference Study Group. Measurement And Standardization
Protocols For Anthropometry Used In The Construction Of A New International
Growth Reference. Journal of Food and Nutrition Bulletin 2014;25
Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). 2013. Kurva Pertumbuhan WHO. [Online].
Tersedia: http://idai.or.id/professional-resources/growth-chart/kurva-pertumbuhan-
who.html [Diakses 18 April 2022]
Kementerian Kesehatan RI. 2011. Keputusan Kementerian Kesehatan RI tentang Standar
Antropometri Penilaian Status Gizi Anak. Dirjen Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan
Anak. Jakarta.
Kementerian Kesehatan RI. 2011 . Modul Pelatihan Penilaian Pertumbuhan Anak. Jakarta.
Kementerian Kesehatan RI 2011. Profil Kesehatan Indonesia 2010. Pusat Data dan
Informasi, Kementerian Kesehatan. Jakarta
Więch, P., Sałacińska, I., Bączek, M., & Bazaliński, D. (2022). The nutritional status of
healthy children using bioelectrical impedance and anthropometric measurement.
Jornal de Pediatria, 98(2), 161–167.