Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH ISTIHSAN

Disusun Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Menyelesaikan Tugas Mata Kuliah Hukum
Islam Di Bawah Dosen Pengampu Bapak Zainal Abidin Muhja, B.IS., MIRKH

IRMA ARIANI

2140501014

PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS BORNEO TARAKAN

TA 2022
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur atas kehadirat Allah Swt yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-nya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul “Istihsan” tepat
pada waktunya.

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas dari bapak
dosen Zainal Abidin Muhja, B.IS., MIRKH pada bidang studi Hukum Islam. Selain itu,
makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang Istihsan bagi para pembaca
dan juga bagi penulis.

Saya mengucapkan terima kasih kepada bapak dosen Zainal Abidin Muhja, B.IS.,
MIRKH selaku dosen mata kuliah Hukum Islam yang telah memberikan tugas ini sehingga
dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang saya tekuni.

Saya menyadari, makalah yang saya tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena
itu, kritik dan saran yang membangun akan saya terima dengan baik demi kesempurnaan
makalah ini.

Tarakan, 13 Februari 2022

Penulis,

Irma Ariani
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................................i

DAFTAR ISI.............................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................................1

A. Latar Belakang...............................................................................................................1

B. Rumusan Masalah..........................................................................................................1

C. Tujuan Pembahasan.......................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN..........................................................................................................3

A. Pengertian Istihsan.........................................................................................................

D. Pembagian Istihsan.........................................................................................................3

1. Istihsan Bil An-Nash (Istihsan Berdasarkan Ayat Atau Hadits).............................3

2. Istihsan Bi Al-Ijma (Istihsan Yang Didasarkan Kepada Ijma)...............................4

3. Istihsan Bi Al-Qiyas Al-Khafi (Istihsan Berdasarkan Qiyas Yang Tersembunyi). 4

4. Istihsan Bi Al-Maslahah (Istihsan Berdasarkan Kemaslahatan).............................4

5. . Istihsan Bi Al-Urf (Istihsan Berdasarkan Adat Kebiasaan Yang Berlaku Umum)


................................................................................................................................5

6. Istihsan Bi Al-Dharurah (Istihsan Berdasarkan Dharurah).....................................5

E. Dasar Hukum Istihsan....................................................................................................5

F. Contoh Istihsan...............................................................................................................6

G. Hasil Diskusi Di Sesi Tanya-Jawab Pada Presentasi Materi Istihsan............................7

BAB III PENUTUP................................................................................................................10

A. Kesimpulan..................................................................................................................

B. Saran.............................................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................11
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Teman-teman ku sekalian, sebagaimana yang telah kita ketahui bahwasannya
terdapat sumber ajaran Islam yang pertama yaitu al-Qur'an. Al-Qur'an ini adalah
wahyu yang diturunkan Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wassalam, sedikit demi
sedikit dimulai di Mekah dan disudahi di Madinah. Atas dasar wahyu inilah nabi
menyelesaikan persoalan-persoalan yang timbul dalam masyarakat Islam pada saat
itu.
Dalam persoalan itu, nabi menyelesaikan dengan pemikiran dan pendapat beliau
dan terkadang pula melalui permusyawaratan dengan para sahabat. Inilah yang
kemudian dikenal dengan sunnah Rasul. Memang al-Qur'an hanya memuat prinsip-
prinsip dasar dan tidak menjelaskan segala sesuatunya secara terperinci. Sedangkan
dalam bidang muamalat, prinsip-prinsip dasar itu yang belum dijelaskan oleh
Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam diserahkan kepada umatnya untuk
mengaturnya.
Dengan demikian, persoalan yang belum ada nashnya dalam al-Qur'an dan
Hadits, maka dari itu para ulama mencoba memberikan solusi atau di istimbatkan
hukumnya dengan berbagai metode, walaupun metode dalam berijtihad berbeda satu
sama lain karena ada yang memakai metode misalnya istihsan tetapi ulama lain
menolaknya.
Dalam pembahasan pada makalah ini cukup difokuskan pada persoalan berijtihad
dengan Istihsan.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Istihsan?
2. Apa saja pembagian Istihsan?
3. Apa yang menjadi dasar hukum Istihsan?
4. Bagaimana contoh Istihsan?
5. Bagaimana hasil presentasi dengan materi Istihsan pada pemateri dan partisipan
dalam diskusi tanya-jawab?

1
C. Tujuan Pembahasan
1. Agar lebih bisa memahami pengertian Istihsan
2. Agar lebih bisa memahami pembagian Istihsan
3. Agar lebih bisa memahami dasar hukum Istihsan
4. Agar lebih bisa memahami contoh Istihsan
5. Agar lebih bisa memahami hasil diskusi di sesi tanya-jawab pada presentasi
materi Istihsan

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Istihsan
1. Istihsan adalah menurut bahasa berarti menganggap baik.
2. Menurut istilah, Istihsan adalah meninggalkan qiyas yang nyata untuk
menjalankan qiyas yang tidak nyata (samar-samar) atau meninggalkan hukum
kulli (umum) untuk menjalankan hukum istina’i (pengecualian) disebabkan ada
dalil yang menurut logika membenarkannya.
3. Istihsan secara istilah menurut ulama Malikiyah adalah mengutamakan
meninggalkan pengertian suatu dalil dengan cara istina’ dan berdasarkan pada
keringanan agama karena adanya hukum yang bertentangan.
4. Pengertian Istihsan oleh seorang ulama Hanafiyah adalah beralih kepada
penetapan hukum suatu masalah dan meninggalkan yang lainnya karena adanya
dalil syara’ yang lebih khusus.
Jadi kesimpulannya, Istihsan adalah tindakan meninggalkan satu hukum kepada
hukum lainnya disebabkan karena ada suatu dalil syara` yang mengharuskan untuk
meninggalkannya.

B. Pembagian Istihsan
Ulama Hanafiah membagi Istihsan kepada enam (6) macam. Sebagaimana di
jelaskan oleh al-Syatibi dalam kitabnya al-Muwaffaqat Fi Ushul al-Syariah, yaitu :

1. Istihsan Bil An-Nash (Istihsan Berdasarkan Ayat Atau Hadits)


Yaitu penyimpangan suatu ketentuan hukum berdasarkan ketetapan qiyas
kepada ketentuan hukum yang berlawanan dengan yang ditetapkan berdasarkan
nash al-kitab dan sunnah.
Contoh Istihsan dengan sunnah Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam
adalah dalam kasus orang yang makan dan minum karena lupa pada waktu ia
sedang berpuasa. Menurut kaidah umum (qiyas), puasa orang ini batal karena
telah memasukan sesuatu kedalam tenggorokannya dan tidak menahan puasanya
sampai pada waktu berbuka. Akan tetapi hukum ini dikecualikan oleh hadits
Nabi yang mengatakan :
3
“Siapa yang makan atau minum karena lupa ia tidak batal puasanya, karena hal
itu merupakan rizki yang diturunkan Allah kepadanya.” (HR. At.Tirmidzi).
2. Istihsan Bi Al-Ijma (Istihsan Yang Didasarkan Kepada Ijma)
Yaitu meninggalkan keharusan menggunakan qiyas pada suatu persoalan
karena ada ijma. Hal ini terjadi karena ada fatwa mujtahid atas suatu peristiwa
yang berlawanan dengan pokok atau kaidah umum yang ditetapkan, atau para
mujtahid bersikap diam dan tidak menolak apa yang dilakukan manusia, yang
sebetulnya berlawanan dengan dasar-dasar pokok yang telah ditetapkan.
Misalnya dalam kasus pemandian umum. Menurut kaidah umum, jasa
pemandian umum itu harus jelas, yaitu harus berapa lama seseorang harus mandi
dan berapa liter air yang dipakai. Akan tetapi, apabila hal itu dilakukan maka
akan menyulitkan bagi orang banyak. Oleh sebab itu, para ulama sepakat
menyatakan bahwa boleh menggunakan jasa pemandian umum sekalipun tanpa
menentukan jumlah air dan lamanya waktu yang dipakai.
3. Istihsan Bi Al-Qiyas Al-Khafi (Istihsan Berdasarkan Qiyas Yang
Tersembunyi)
Yaitu memalingkan suatu masalah dari ketentuan hukum qiyas yang jelas
kepada ketentuan qiyas yang samar, tetapi keberadaannya lebih kuat dan lebih
tepat untuk diamalkan.
Misalnya, dalam wakaf lahan pertanian. Menurut qiyas jali, wakaf ini sama
dengan jual beli karena pemilik lahan telah menggugurkan hak miliknya dengan
memindah tangankan lahan tersebut. Oleh sebab itu, hak orang lain untuk
melewati tanah tersebut atau mengalirkan air ke lahan pertanian melalui tanah
tersebut tidak termasuk ke dalam akad wakaf itu, kecuali jika dinyatakan dalam
akad. Dan menurut qiyas al-khafi wakaf itu sama dengan akad sewa-menyewa,
karena maksud dari wakaf itu adalah memanfaatkan lahan pertanian yang
diwakafkan.
Dengan sifat ini, maka seluruh hak melewati tanah pertanian itu atau hak
mengalirkan air diatas lahan pertanian tersebut termasuk kedalam akad wakaf,
sekalipun tidak dijelaskan dalam akad.
4. Istihsan Bi Al-Maslahah (Istihsan Berdasarkan Kemaslahatan)
Misalnya kebolehan dokter melihat aurat wanita dalam proses pengobatan.
Menurut kaidah umum seseorang dilarang melihat aurat orang lain. Tapi, dalam

4
keadaan tertentu seseorang harus membuka bajunya untuk di diagnosa
penyakitnya. Maka, untuk kemaslahatan orang itu, maka menurut kaidah Istihsan
seorang dokter dibolehkan melihat aurat wanita yang berobat kepadanya.
5. Istihsan Bi Al-Urf (Istihsan Berdasarkan Adat Kebiasaan Yang Berlaku
Umum)
Yaitu penyimpangan hukum yang berlawanan dengan ketentuan qiyas,
karena adanya Urf yang sudah dipraktikkan dan sudah dikenal dalam kehidupan
masyarakat.
Contohnya seperti menyewa wanita untuk menyusukan bayi dengan
menjamin kebutuhan makan, minum dan pakaiannya.
6. Istihsan Bi Al-Dharurah (Istihsan Berdasarkan Dharurah)
Yaitu seorang mujtahid meninggalkan keharusan pemberlakuan qiyas atas
sesuatu masalah karena berhadapan dengan kondisi darurat, dan mujtahid
berpegang kepada ketentuan yang mengharuskan untuk memenuhi hajat atau
menolak terjadinya kemudharatan.
Misalnya dalam kasus sumur yang kemasukan najis. Menurut kaidah umum
sumur tersebut sulit dibersihkan dengan mengeluarkan seluruh air dari sumur
tersebut, karena sumur yang sumbernya dari mata air sulit dikeringkan. Akan
tetapi ulama Hanafiah mengatakan bahwa dalam keadaan seperti ini untuk
menghilangkan najis tersebut cukup dengan memasukan beberapa galon air
kedalam sumur itu, karena keadaan dharurat menghendaki agar orang tidak
mendapatkan kesulitan untuk mendapatkan air untuk ibadah.

C. Dasar Hukum Istihsan


Para ulama yang memakai Istihsan mengambil dalil dari al-Qur’an dan Sunnah
yang menyebutkan kata Istihsan dalam pengertian denotatif (lafal yang seakar dengan
Istihsan) seperti Firman Allah Swt dalam Al-Qur'an.

َ ‫ك الَّ ِذينَ هَدَاهُ ُم هَّللا ُ ۖ َوُأو ٰلَِئ‬


ِ ‫ك هُ ْم ُأولُو اَأْل ْلبَا‬
‫ب‬ َ ‫الَّ ِذينَ يَ ْستَ ِمعُونَ ْالقَوْ َل فَيَتَّبِعُونَ َأحْ َسنَهُ ۚ ُأو ٰلَِئ‬

Artinya :

5
“Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya.
Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah Swt petunjuk dan mereka Itulah
orang-orang yang mempunyai akal.” (Q.S. Az-Zumar: 18).
Ayat ini menurut mereka, menegaskan bahwa pujian Allah Swt bagi hamba-Nya
yang memilih dan mengikuti perkataan yang terbaik, dan pujian tentu tidak ditujukan
kecuali untuk sesuatu yang disyariatkan oleh Allah Swt.

‫َواتَّبِعُوا َأحْ َسنَ َما ُأ ْن ِز َل ِإلَ ْي ُك ْم ِم ْن َربِّ ُك ْم‬

Artinya :
“Dan turutlah (pimpinan) yang sebaik-baiknya yang telah diturunkan kepadamu dari
Tuhanmu”….(Q.S. Az-Zumar: 55).
Menurut mereka, dalam ayat ini Allah Swt memerintahkan kita untuk mengikuti
yang terbaik, dan perintah menunjukkan bahwa ia adalah wajib. Dan di sini tidak ada
hal lain yang memalingkan perintah ini dari hukum wajib. Maka ini menunjukkan
bahwa Istihsan adalah hujjah.

D. Contoh Istihsan
Berikut ini adalah contoh Istihsan dalam bentuk umum.
Menurut Madzhab Hanafi, sisa minuman burung buas, seperti elang, burung
gagak dan sebagainya adalah suci dan halal diminum. Hal ini ditetapkan dengan
Istihsan. Padahal seharusnya kalau menurut qiyas (jali), sisa minuman binatang buas,
seperti anjing dan burung-burung buas adalah haram diminum karena sisa minuman
yang telah bercampur dengan air liur binatang itu diqiyaskan kepada dagingnya.
Binatang buas itu langsung minum dengan mulutnya, sehingga air liurnya masuk ke
tempat minumnya.
Sedangkan menurut qiyas khafi, burung buas itu berbeda mulutnya dengan mulut
binatang buas. Mulut binatang buas terdiri dari daging yang haram dimakan, sedang
mulut burung buas merupakan paruh yang terdiri atas tulang atau zat tanduk dan
tulang atau zat tanduk bukan merupakan najis. Karena itu sisa minum burung buas itu
tidak bertemu dengan dagingnya yang haram dimakan, sebab di antara oleh paruhnya,
demikian pula air liurnya.

6
Dalam hal ini keadaan yang tertentu yang ada pada burung buas yang
membedakannya dengan binatang buas. Berdasarkan keadaan inilah ditetapkan
perpindahan dari qiyas jali kepada qiyas khafi, yang disebut Istihsan.

E. Hasil Diskusi Di Sesi Tanya-Jawab Pada Presentasi Materi Istihsan


1. Nama :
Paguita Mine
NPM :
2140501025
Pertanyaan :
Bisakah Anda memberikan saya contoh daripada pembagian Istihsan yang
berdasarkan ayat al-Quran nya atau Istihsan yang telah tertera di al-Quran dengan
bukti surahnya?
Jawaban :
Contohnya ialah pencuri lebih dari satu nishab maka wajib dipotong
tangannya. Sebagaimana dalam Q.S. Al-Ma'idah ayat 38 :

‫هّٰللا هّٰللا‬ ۤ
ِ ‫َّارقَةُ فَا ْقطَع ُْٓوا اَ ْي ِديَهُ َما َج َزا ۢ ًء بِ َما َك َسبَا نَ َكااًل ِّمنَ ِ ۗ َو ُ ع‬
‫َز ْي ٌز َح ِك ْي ٌم‬ ُ ‫َّار‬
ِ ‫ق َوالس‬ ِ ‫َوالس‬

Was-sāriqu was-sāriqatu faqṭa'ū aidiyahumā jazā`am bimā kasabā nakālam


minallāh, wallāhu 'azīzun ḥakīm.
Artinya :
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan
keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai
siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
Tetapi dalam keadaan musim paceklik (masa sulit) mereka tidak dipotong
tangannya, karena alasan mereka dalam keadaan terpaksa. Sebagaimana dalam
Q.S. Al-Baqarah ayat 173 :

‫اغ َّواَل عَا ٍد فَٓاَل ِا ْث َم َعلَ ْي ِه ۗ ِا َّن هّٰللا َ َغفُوْ ٌر َّر ِح ْي ٌم‬
ٍ َ‫فَ َم ِن اضْ طُ َّر َغ ْي َر ب‬

Fa maniḍṭurra gaira bāgiw wa lā 'ādin fa lā iṡma 'alaīh, innallāha gafụrur raḥīm


7
Artinya :
“Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak
menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa
baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Nah inilah dinamakan contoh dari Istihsan yang berdasarkan ayat al-Quran
(Istihsan Bil An-Nash).
2. Nama :
Nuraini Permatasari
NPM :
2140501023
Pertanyaan :
Apakah hubungan Qiyas dengan Istihsan?
Jawaban :
Di dalam Istihsan ada yang namanya qiyas yang terbagi menjadi yaitu qiyas
khafi (dalil lemah) dan qiyas jali (dalil kuat). Istihsan dikatakan ialah mengambil
qiyas khafi (dalil lemah) dan meninggalkan qiyas jali (dalil kuat) karena di dalam
qiyas khafi terdapat kelebihan ataupun kebaikan sehingga mujtahid
mengambil/beralih kepada qiyas khafi (dalil lemah). Jadi kesimpulannya ialah
bahwa hubungan Istihsan dengan qiyas itu sangat erat, dapat dikatakan bahwa
qiyas masuk ke dalam unsur daripada Istihsan ataupun kedalam penetapan suatu
hukum Islam melalui Istihsan.
3. Nama :
Nurul Kholisah
NPM :
2140501024
Pertanyaan :
Mengapa Istihsan dikatakan “mengambil dalil yang lemah dan meninggalkan
dalil yang kuat”?
Jawaban :
Seorang mujtahid seharusnya memilih dalil yang kuat dan meninggalkan
dalil yang lemah. Namun karena ada kebaikan di dalam dalil yang lemah ataupun
ada kebaikan di dalam qiyas khafi maka kemudian mujtahid memilih dalil yang
lemah tersebut atau memilih qiyas khafi dan meninggalkan qiyas jali.

8
Idealnya atau seharusnya yang diambil adalah qiyas jali yaitu qiyas yang illat
nya itu jelas dan meninggalkan qiyas khafi, tetapi karena di dalam qiyas khafi itu
ada kebaikan maka kemudian mujtahid itu mengambil qiyas khafi karena di
dalam dalil yang lemah itu ada kebaikan maka mujtahid itu meninggalkan dalil
yang kuat. Maka hal ini di sebut sebagai Istihsan.
Istihsan ini di tumbuh kembangkan oleh Imam Hanafi dan disetujui oleh
Madzhab Maliki. Istihsan diperbolehkan oleh mereka karena dalam rangka jalbul
masholih (yaitu untuk mewujudkan kemaslahatan) dan roful haraj
(meninggalkan/menghilangkan kesulitan).

9
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang dapat penulis tarik, berdasarkan permasalahan yang
telah dikemukakan adalah sebagai berikut :
1. Istihsan adalah sebuah konsep penalaran yang mana menggali dan menemukan
hukum suatu kejadian yang tidak pernah ditetapkan hukumnya secara jelas oleh
nash, dimana posisi daripada Istihsan ini disamakan dengan Qiyas namun dengan
sandaran yang lebih kuat.
2. Berdasarkan bentuk pembagian daripada Istihsan ini ialah di bagian ke dalam
enam (6) pembagian, yaitu diantaranya :
a) Istihsan Bil An-Nash (Istihsan Berdasarkan Ayat Atau Hadits)
b) Istihsan Bi Al-Ijma (Istihsan Yang Didasarkan Kepada Ijma)
c) Istihsan Bi Al-Qiyas Al-Khafi (Istihsan Berdasarkan Qiyas Yang
Tersembunyi)
d) Istihsan Bi Al-Maslahah (Istihsan Berdasarkan Kemaslahatan)
e) Istihsan Bi Al-Urf (Istihsan Berdasarkan Adat Kebiasaan Yang Berlaku
Umum)
f) Istihsan Bi Al-Dharurah (Istihsan Berdasarkan Dharurah)
3. Dasar hukum Istihsan sebagaimana dalam firman Allah Swt melalui suatu surah
yaitu pada Q.S. Az-Zumar ayat 18 dan Q.S. Az-Zumar ayat 55.

B. Saran
Berdasarkan kesimpulan diatas, maka penulis dapat memperoleh saran, yakni
sebagai masyarakat Indonesia, khususnya umat Islam di Indoneisa hendaknya dapat
memahami ataupun mengetahui Istihsan dengan baik, karena pada hakekatnya
Istihsan digunakan untuk mendapatkan kemashlatan dan menolak kemadharatan atau
dengan kata lain digunakan untuk menemukan kemaslahatan yang lebih kuat atau
kemadlaratan yang lebih sedikit, sehingga Istihsan bisa dikatakan untuk digunakan
sebagai sumber dan metode hukum Islam.

10
DAFTAR PUSTAKA

Madani, B. (2017, 05 31). Pengertian Istihsan, Dasar Hukum, Pembagian dan Contoh
Istihsan. Ushul Fiqih. Retrieved from
https://www.bacaanmadani.com/2017/05/pengertian-istihsan-dasar-hukum.html

11

Anda mungkin juga menyukai