Disusun oleh:
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT. Shalawat, rahmat, dan salam
selalu tercurahkan kepada Baginda nabi besar Muhammad SAW atas limpahan
rahmat-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul
“Teori Abduksi Umberto Eco” tepat pada waktunya. Penulisan makalah ini dibuat
untuk memenuhi tugas pada mata kuliah Filsafat Ilmu di Universitas Brawijaya.
Kami mengucapkan terima kasih kepada bapak Yohanes Padmo Adi Nugroho, S.S.
M. Hum. selaku dosen yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah
pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang kami tekuni. Kami juga
mengucapkan banyak terima kasih kepada pihak-pihak lainnya yang telah turut
membagi pengetahuannya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini.
Kami menyadari, makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang membangun akan kami nantikan demi
kesempurnaan makalah ini.
Penulis
ii
BAB I
PENDAHULUAN
Pada kehidupan sehari-hari tentu saja kita akan menemukan tanda-tanda baik dalam
bentuk simbol, bahasa, rambu, dan lainnya. Tanda yang kita lihat tentu memiliki
maksud di baliknya. Maka dari itu lahirlah sebuah ilmu pengetahuan yang khusus
mengkaji tanda-tanda dan makna yang disebut dengan semiotika. Pada makalah ini
kami akan menjelaskan salah satu tokoh yang bisa dianggap sebagai pelopor
modern ilmu semiotika. Ia adalah Umberto Eco, seorang filsuf sekaligus novelis
yang terkenal akan novelnya yang berjudul “The Name of The Rose” atau dalam
bahasa Italia menjadi “Il nome della rosa”.
1
1.3 Tujuan
1. Untuk dapat mengetahui siapa itu Umberto Eco.
2. Untuk dapat mengetahui maksud dari abduksi.
3. Untuk dapat mengetahui maksud dari konsep semiotika Eco dan juga cara
kerjanya.
2
BAB II
PEMBAHASAN
Setelah mendapatkan gelarnya di Universitas Turin pada tahun 1954, Eco bekerja
di Radio Televisi Italia sebagai seorang editor budaya dan juga ia menjadi salah
satu pengajar di Universitas Turin dari tahun 1956 hingga 1964. Pada tahun 1971,
penelitian dan studi awalnya berkaitan dengan estetika, sebuah cabang filsafat yang
berurusan dengan keindahan, seni, rasa dan juga berurusan dengan penciptaan dan
apresiasi keindahan itu sendiri. Karya utamanya di bidang ini adalah Opera aperta
dimana ia berpendapat bahwa di dalam kebanyakan musik modern dan syair
simbolis pesan-pesan yang disampaikan pada dasarnya bersifat ambigu dan
mengundang pendengar untuk turut ikut berpartisipasi dalam proses interpretasi dan
kreatif. Dari karyanya yang berjudul Opera aperta inilah Eco mulai mengeksplor
lebih dalam mengenai komunikasi dan juga semiotika hingga ia akhirnya
menuliskan buku berjudul A Theory of Semiotics dan juga Semiotic and the
Philosophy of Language dimana kedua buku itu dituliskan menggunakan bahasa
Inggris. Pada tahun 1988, Eco mendirikan Departemen Studi Media di Universitas
Republik San Marino lalu pada tahun 1992 ia mendirikan Institut Komunikasi
Disiplin di Universitas Bologna dan kemudian mendirikan Sekolah Tinggi Studi
Humaniora di institusi yang sama. Lalu pada sekitar awal 2000-an, Eco
mengeluarkan novel berjudul Baudolino yang menceritakan mengenai seorang pria
3
Baudolino yang hidup di abad ke 12. Setelah itu ia mengeluarkan buku berjudul
The Mysterious Flame of Queen Loana di tahun 2005, lalu pada 2010 ia merilis
buku berjudul The Prague Cemetery dan pada tahun 2015 buku berjudul Numero
Zero dirilis dan menjadi karya sastra terakhir dari Eco.
Sebagai seorang akademisi yang mempelajari filsafat, semiotika, dan budaya, Eco
memisahkan kritiknya. Apakah teorinya harus dilihat sebagai sesuatu yang luar
biasa atau sebagai projek kesombongan yang hanya memperdulikan hal-hal kecil.
Sedangkan karya tulis fiksinya dipenuhi dengan kompleksitas dan kepopuleran.
Peirce membedakan tiga bentuk kesimpulan, yaitu deduksi, induksi, dan abduksi.
Menurut Peirce, abduksi adalah membuktikan bahwa sesuatu mungkin akan
berjalan dengan cara tertentu. Abduksi adalah cara pembuktian yang
memungkinkan hipotesis dibentuk. Bagi Peirce, abduksi merupakan bentuk
4
inferensi yang probabel, yang berarti tidak memberikan kepastian mutlak. Dari
ketiga bentuk tersebut, hanya abduksi yang merupakan bentuk argumen yang
memperluas pengetahuan manusia karena abduksi menawarkan suatu hipotesis.
Lalu dengan deduksi kita mengembangkan konsekuensi dari hipotesis tersebut dan
menguji kemungkinan prediksi itu diperkuat dengan induksi.
Dikarenakan merupakan bagian dari membangun hipotesa dari sebuah kasus, dan
menyimpulkannya, maka abduksi digunakan sebagai tahap pertama penelitian.
Dikarenakan sebagai bagian dari hipotesa (dalam bentuk silogisme), maka
penggalian atas fakta menjadi tidak begitu penting (Keraf dan Dua, 2001). Sebagai
awal penelitian, peneliti lebih memfokuskan pada bagaimana membangun hipotesa
secara general terhadap sebuah kasus.
5
Hipotesa-hipotesa akan dicoba, dan hipotesa mana yang dirasa mampu menjelaskan
fakta.
6
things. Things lalu masuk ke dalam kognisi dan menjadi objek representasi dari
gajah. Dengan begitu terciptalah korelasi antara things dengan objek yang
memunculkan sebuah space untuk menafsirkan kata ‘gajah’ yang akan kita pahami
bahwa gajah adalah hewan mamalia terbesar di darat.
Konsep semiotika milik Eco lebih memilih untuk menyelidiki sifat-sifat dinamis
pada tanda. Eco menjelaskan perkembangan dan pembaruan kode dengan konsep
abduksi, ia melihat bahwa “Suatu konteks ambigu yang tidak terkodekan yang
ditafsirkan secara konsisten, jika diterima masyarakat, menghasilkan konvensi, dan
dengan demikian menimbulkan pasangan pengkodean”. Menurut Eco,
pembentukan tanda melalui empat tahap sebagai berikut (Eco, 2009):
1. Kerja fisik
Upaya yang dilakukan untuk membuat tanda.
2. Pengenalan
Objek atau peristiwa dilihat sebagai suatu ungkapan kandungan tanda
seperti tanda, gejala, atau bukti.
3. Penampilan
Suatu objek atau tindakan menjadi contoh jenis objek atau tindakan.
4. Replika
Kecenderungan ke arah ratio difficilis secara prinsip, tapi mengambil
bentuk-bentuk kodifikasi melalui pengayaan.
5. Penemuan
Kasus yang paling jelas dari ratio difficilis. Sebagai yang tidak terlihat oleh
kode dan menjadi landasan continum materi baru.
7
Membahas penalaran abduksi, dimana sebuah penalaran ilmiah bisa berangkat
hanya dari bermodal hipotesis semata dan digunakan sebagai tahap pertama
penelitian, metode ini digunakan untuk menjelaskan event yang kita amati. Perlu
diingat bahwa dalam pendekatan abduksi, hipotesis tersusun dari kemungkinan-
kemungkinan sehingga mungkin sekali terdapat kesalahan dalam membangun
hipotesis. Namun penjelasan hipotesis tersebut harus mampu dijelaskan sesuai fakta
yang menjadi objek masalah. Dalam pendekatan abduksi, ada syarat dalam
mengajukan hipotesis dengan pendekatan tersebut, yakni mempunyai pengalaman
mengenai konteks tersebut secara ilmiah dan rasional. Mungkin tidak dapat
diandalkan. Namun, manusia sering menerangkan sesuatu dengan cara tersebut, dan
mempertahankan hipotesanya hingga ada bukti lain yang mendukung penjelasan.
Karena pendekatan ini bertumpu pada hipotesa dan kesimpulan, jadi tidak
diperlukan observasi langsung, namun cukup melakukan verifikasi saja dan
prosesnya bisa terus berlanjut sesuai dengan hipotesis yang dikemukakan.
Walaupun tidak perlu observasi langsung, namun hipotesis harus melalui syarat
ideal keilmiahan yang dapat diuji sebagai bagian dari tanggung jawab keilmuan
yakni dengan menggunakan pengalaman keilmuan dan akal manusia. Dengan
penjelasan hipotesis yang rasional dan logis, metode ini bisa menjelaskan fakta
yang ada.
8
BAB III
PENUTUPAN
3.1 Kesimpulan
Umberto Eco adalah seorang filsuf intelektual yang masuk ke dalam filsuf era abad
20 dan 21. Ia lahir di Alessandria, Piedmont, Italia pada tanggal 5 Januari 1932 dan
meninggal dunia di Milan, Lombardy, Italia pada 19 Februari 2016 dikarenakan
penyakit kanker pankreas yang ia derita. Selain merupakan seorang filsuf, Eco juga
merupakan seorang novelis dimana tulisan-tulisannya banyak didominasi oleh
karya sastra yang beraliran penyelidikan terhadap ilmu pengetahuan. Karyanya
yang paling terkenal berjudul The Name of The Rose. Ia juga merupakan seorang
medievalist (pakar mengenai abad pertengahan), semiotikawan, kritikus budaya,
dan juga komentator politik dan sosial. Sebagai seorang akademisi yang
mempelajari filsafat, semiotika, dan budaya, Eco memisahkan kritik dengan
karyanya.
Lalu selanjutnya adalah teori abduksi. Sebelumnya terdapat dua konsep penalaran
yang bertahan hingga berabad-abad lamanya yakni konsep penalaran logika dan
konsep penalaran deduksi. Lalu pada akhir abad ke-18, Charles Sander Pierce
melahirkan sebuah pemikiran penalaran baru bernama abduksi. Pemikiran ini
kononnya merupakan bagian dari pemikiran Aristoteles yang dikenal dengan
sebutan epagoge yang lalu dilanjutkan oleh Pierce sekitar dua ribu tahun kemudian.
Penalaran abduksi Eco ini berhubungan dengan konsep semiotikanya. Dimana ia
menjadi penegah bagi konsep-konsep sebelumnya yang telah ada. Namun, konsep
miliknya ini lebih condong kepada konsep milik Peirce.
9
DAFTAR PUSTAKA
10